perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kajian Pustaka 1. Hakikat Kualitas Proses Pembelajaran a. Pengertian Kualitas Pembelajaran Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kualitas adalah ukuran baik buruk; mutu; taraf; kadar; atau derajat dari kecerdasan, kepandaian dan sebagainya. Goestch dan Davis (dalam Tjiptono, 2000) berpendapat bahwa kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk, jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan. Bedasar definisi-definisi yang ada mengenai kualitas terdapat beberapa kesamaan, yaitu elemen-elemen sebagai berikut: (1) kualitas meliputi usaha memenuhi atau melebihi harapan pelanggan; (2) kualitas meliputi poduk, jasa, manusia, proses, dan lingkungan; (3) kulitas merupakan kondisi yang selalu berubah/yang dianggap berkualitas saat ini kurang berkualitas pada masa yang akan datang (Tjiptono, 2000). Menurut Hamalik (2014: 57) pembelajaran merupakan suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan, dan prosedur yang saling memperngaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Belajar mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur yang dapat dibedakan, yakni tujuan pengajaran (instruksional), pengalaman (proses) belajar-mengajar, dan hasil belajar. Tujuan intstruksional pada hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri siswa. Oleh sebab itu, dalam penilaian hendaknya dapat diperiksa sejauh mana perubahan tingkah laku siswa telah terjadi melalui proses belajarnya. Dengan mengetahui tercapai-tidaknya tujuan-tujuan instruksional, dapat diambil tindakan perbaikan pengajaran dan perbaikan siswa yang bersangkutan. Menurut Mariani (dalam Haryati & Rochman, 2012: 2) bahwa kualitas pembelajaran secara operasional dapat diartikan sebagai intensitas keterkaitan commit to user sistemik dan sinergis guru, siswa, materi, iklim pembelajaran, dan media dalam 6 perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 7 menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan tuntutan kurikuler. Indikator kualitas pembelajaran dapat di lihat antara lain dari perilaku pembelajaran guru (teacher behavior), perilaku dan dampak belajar siswa (student behavior), iklim pembelajaran (learning climate), materi pembelajaran, dan media pembelajaran. Penjelasan dari masing-masing indikator tersebut dijabarkan sebagai berikut: (1) Dari sisi guru, kualitas dapat dilihat dari seberapa optimal guru mampu memfasilitasi proses belajar siswa; (2) dari sisi siswa, kualitas dapat dilihat perilaku dan dampak belajar siswa yang mampu membuat siswa termotivasi, aktif, dan kreatif; (3) dari aspek iklim pembelajaran, kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang, menyenangkan dan bermakna bagi siswa; (4) dari sisi media belajar kualitas dapat dilihat dari seberapa efektif media belajar digunakan oleh guru untuk meningkatkan intensitas belajar siswa; dan (5) aspek materi, kualitas dapat dilihat dari kesesuaiannya dengan tujuan dan kompetensi yang harus dikuasai siswa (Mariani dalam Haryati & Rochman, 2012: 2). Pendapat lain menurut Hidayatullah (2009: 158-165) bahwa pembelajaran yang berkualitas memiliki lima indikator. Indikator tersebut antara lain : Pertama, pembelajaran yang menantang, pembelajaran yang menantang atau pembelajaran yang memberikan tantangan kepada peserta didik untuk melakukan dan menyelesaikan, akan membuat anak muncul rasa ingin tahu, ingin mencoba, ingin melakukan, ingin menyelesaikan tugas guru, atau ingin memecahkan masalah. Kedua, pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran sebaiknya dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan. Pembelajaran yang menyenangkan akan mendorong peserta didik untuk belajar dan menyebabkan peserta didik tertarik terhadap pembelajaran tersebut. Agar pembelajaran dapat menyenangkan bagi peserta didik, maka guru harus pandai-pandai mengemas sehingga peserta didik tertarik pada pembelajaran tersebut. Salah satu upaya adalah guru memiliki metodecommit yang to bervariasi. Ketiga, pembelajaran yang user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 8 mendorong eksplorasi. Pembelajaran yang disajikan dengan menyenangkan akan menantang dan menyebabkan peserta didik terdorong untuk mengeksplorasi dan mengembangkan sendiri pembelajaran yang telah disajikan guru sebagai tindak lanjut. Keempat, pembelajaran yang memberi pengalaman sukses. Pembelajaran yang berkualitas harus mampu memberikan pengalaman sukses kepada peserta didiknya. Pengalaman sukses yang dimaksud adalah adanya perasaan yang menyenangkan dan membanggakan bagi peserta didik sebagai akibat telah berhasil menyelesaikan atau memecahkan sesuatu. Pengalaman sukses yang diperoleh peserta didik akan menumbuhkan rasa percaya diri. Pengalamaman sukses juga akan menumbuhkan motivasi peserta didik untuk belajar lebih lanjut. Kelima, pembelajaran yang mengembangkan kecakapan berpikir. Pembelajaran yang berkualitas akan berdampak pada pengembangan kecakapan berpikir. Kemampuan berpikir dapat dilihat dari kreativitas peserta didik. Oleh karena itu, pembelajaran yang disajikan kepada peserta didik harus dikemas sedemikian rupa sehingga mampu merangsang peserta didik. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas proses pembelajaran adalah segala hal yang dipergunakan atau dilakukan agar proses pembelajaran dapat terlaksana sesuai harapan (tujuan pendidikan) bahkan melebihi harapan, sehingga pembelajaran dapat dikatakan sukses. b. Peranan Guru dalam Proses Belajar Mengajar Menurut Usman (2008: 7), tugas guru sebagai profesi meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berati meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Menurut Hadi (2005: 23) bahwa tugas pendidik dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) tugas educational yaitu memberikan bimbingan yang diarahkan pada pembentukan kepribadian; (2) tugas instruksional, menitikberatkan pada perkembangan commityaitu to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 9 dan kecerdasan daya intelektual anak didik dengan tekanan perkembangan kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik; dan (3) tugas managerial yaitu pengelolan kehidupan lembaga (kelas). Menurut Adam dan Decey (dalam Usman, 2008: 9) bahwa peranan dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi beberapa hal, yaitu: Pertama, guru sebagai demonstrator yaitu guru harus menguasai bahan atau materi pelajaran yang akan disampaikan dan senantiasa mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya karena hal ini mempengaruhi hasil belajar siswa. Kedua, guru sebagai pengelola kelas, yaitu guru harus bisa mengelola kelas sebagai lingkungan belajar. Ketiga, guru sebagai mediator dan fasilitator, yaitu guru sebagai mediator hendaknya memiliki pengetahuan dan pemamahan mengenai media pendidikan agar pembelajaran dapat berlangsung secara komunikatif, guru sebagai fasilitator hendaknya dapat mengusahakan sumber belajar yang berguna dan menunjang pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar. Keempat, guru sebagai evaluator, yaitu untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu tercapai atau belum dan apakah materi yang disampaikan sudah cukup tepat. Setelah membahas mengenai tugas dan peranan guru, dapat diketahui bahwa peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan. Guru harus berkompeten agar sebuah tujuan pendidikan dapat tercapai. Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan kewajiban secara bertanggung jawab dan layak (Usman, 2008: 14). Untuk itu, guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Standar proses pembelajaran harus meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran, penilaian hasil pembelajaran, dan pengawasan proses pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien (Miarso, 2008: 71-72). Perencanaan proses pembelajaran harus didasarkan pada prinsip sistematis dan sistemik. Sistematis berarti secara runtut dan berkesinambungan, commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 10 dan sistemik dengan mempertimbangkan segala komponen yang berkaitan. Perencanaan proses tersebut meliputi silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, penilaian hasil belajar, dan sumber belajar. Perencanaan tersebut perlu disusun secara sistematis dan sistemik. Sistematis karena perlu disusun secara runtut, terarah dan terukur, mulai jenjang kemampuan rendah hingga tinggi. Sistemik karena perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan, yaitu tujuan meliputi semua aspek perkembangan peserta didik (kognitif, afektif, dan psikomotorik), karakteristik peserta didik, kondisi lingkungan, serta hal-hal lain yang menghambat atau menunjang terlaksananya pembelajaran. Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan belajar dan memperbaiki proses pembelajaran. Penilaian dilaksanakan secara konsisten, sistematik, dan terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tulis atau lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, dan portopolio. c. Kriteria Keberhasilan Pengajaran Guru sebagai pengelola proses belajar-mengajar bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar-mengajar efektif sehingga memungkinkan proses belajar-mengajar, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai (Usman, 2008: 21). Aktivitas belajar siswa dapat digolongkan ke dalam beberapa hal, antara lain: (1) aktivitas visual seperti membaca, menulis, melakukan eksperimen, dan demonstrasi; (2) aktivitas lisan seperti bercerita, membaca sajak, tanya jawab, commitdiskusi to user dan menyanyi; (3) aktivitas perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 11 mendengarkan seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, pengarahan; (4) aktivitas gerak seperti senam, atletik, dan melukis; dan (5) aktivitas menulis seperti mengarang, membuat makalah, dan membuat surat. Menurut Arsyad (2003: 3) bahwa keberhasilan motivasi dan peningkatan hasil pembelajaran diperngaruhi oleh beberapa faktor antara lain: keberhasilan guru dalam mengelola kelas, metode pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar dan siswa itu sendiri. Pendapat lain menurut Sudjana (2014: 59) menjelaskan bahwa keberhasilan proses belajar mengajar dapat dilihat dari efisiensi, keefektifan, relevansi, dan produktivitas proses belajar mengajar dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Efisiensi berkaitan dengan pengorbanan yang relatif kecil untuk memperoleh hasil yang optimal. Keefektifan berkenaan dengan jalan, upaya, teknik, strategi yang digunakan dalam mencapai tujuan secara tepat dan cepat. Relevansi berkenaan dengan kesesuaian antara apa yang dilaksanakan dengan yang seharusnya dilaksanakan. Produktivitas berkenaan dengan pencapaian hasil, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam menilai proses belajar mengajar antara lain: (1) konsistensi kegiatan belajar-mengajar dengan kurikulum; (2) keterlaksanaan kegiatan belajar-mengajar oleh guru; (3) keterlaksanaan kegiatan belajar-mengajar oleh siswa; (4) motivasi belajar siswa; (5) keaktifan para siswa dalam kegiatan belajar; (6) interaksi gurusiswa; (7) kemampuan atau keterampilan guru dalam mengajar; (8) kualitas hasil belajar yang dicapai oleh siswa, dan (9) perhatian siswa terhadap proses pembelajaran. Kriteria keberhasilan pembelajaran dibagi menjadi dua yaitu ditinjau dari segi proses dan ditinjau dari segi hasil (Sudjana, 2013: 34). Kriteria dari sudut proses menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses haruslah merupakan interaksi dinamis sehingga siswa, sebagai subjek yang belajar mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri dan tujuan yang telah ditetapkan tercapai secara efektif. Kriteria dari segi hasil atau produk commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 12 menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi kualitas maupun kuantitas. Menurut Sudjana (2013: 35) untuk mengukur pembelajaran dari segi proses dapat dikaji melalui beberapa persoalan di bawah ini: 1) Apakah pengajaran direncanakan dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh guru dengan melibatkan siswa secara sistematik, ataukah suatu proses yang bersifat otomatis dari segi guru disebabkan telah menjadi pekerjaan rutin? Guru harus melibatkan siswa dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran dapat kreatif dan inovatif atau bukan hanya pengulangan semata. 2) Apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia melakukan kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan untuk memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan serta sikap yang dikehendaki dari pengajaran itu sendiri? Ini berarti bahwa kegiatan belajar siswa haruslah merupakan suatu kebutuhan dirinya, bukan sekadar memenuhi kehadiran di dalam kelas. 3) Apakah siswa menempuh beberapa kegiatan belajar sebagai akibat penggunaan multi metode dan multi media yang dipakai guru, ataukah terbatas kepada satu kegiatan belajar saja? Aneka ragam kegiatan belajar akan sangat bermanfaat tercapainya hasil yang menyeluruh dan terpadu bagi pribadi siswa. Siswa tidak hanya mengetahui fakta namun juga mengetahui prosedur memperoleh fakta. 4) Apakah siswa memiliki kesempatan mengontrol dan menilai sendiri hasil belajar yang dicapainya, ataukah ia tidak mengetahui apakah yang ia lakukan benar atau salah. Proses pengajaran hendaknya menumbuhkan kegiatan mandiri. 5) Apakah proses pengajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas atau hanya siswa tertentu yang aktif belajar. Proses pengajaran haruslah memberi kesempatan pada setiap siswa melakukan kegiatan belajar sesuai dengan kapasitasnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 13 6) Apakah suasana pengajaran atau proses belajar mengajar cukup menyenangkan dan merangsang siswa belajar ataukah suasana yang mencemaskan dan menakutkan. 7) Apakah kelas memiliki sarana belajar yang cukup kaya sehingga menjadi laboratorium belajar ataukah kelas yang hampa dan miskin sarana belajar sehingga tidak memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar yang optimal? Menurut Sudjana (2013: 39) beberapa pertimbangan dalam menentukan keberhasilan pengajaran ditinjau dari hasil atau produk yang dicapai siswa, antara lain: 1) Hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (kognitif, afektif dan psikomotorik). 2) Hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pengajaran dapat diaplikasikan dalam kehidupan siswa terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapi siswa. 3) Hasil belajar tahan lama di ingat dan mengendap dalam pikirannya serta cukup mempengaruhi perilaku dirinya. 4) Bahwa perubahan yang ditunjukan oleh siswa merupakan akibat dari proses pengajaran. Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan pakar dapat disimpulkan keberhasilan sebuah pembelajaran dapat ditinjau dari segi proses dan hasil pembelajaran. Pembelajaran yang baik harus memiliki kriteria tertentu agar suatu pembelajaran dapat berhasil. Kualitas pembelajaran dipengaruhi oleh guru dan siswa, karena dalam sebuah pembelajaran terdapat interaksi antara guru dan siswa. Guru memegang tanggung jawab penting dalam terwujudnya pembelajaran yang baik, namun keberhasilan siswa juga bergantung pada pribadi siswa. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar diri siswa atau faktor lingkungan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 14 2. Hakikat Keterampilan Menulis Wacana Narasi a. Pengertian Keterampilan Menulis Terdapat beberapa pengertian mengenai keterampilan, salah satunya menurut Chaplin (2006: 465) bahwa keterampilan atau biasa disebut juga skill, diartikan sebagai suatu kemampuan tingkat tinggi yang memungkinkan seseorang melakukan satu perbuatan motorik yang kompleks dengan lancar disertai ketepatan. Pendapat lain menurut Muttaqin (2008: 1) mengemukakan bahwa keterampilan adalah memiliki keahlian yang dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain, di samping itu keterampilan merupakan usaha untuk memperoleh kompetensi dalam menghadapi permasalahan belajar. Keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk mengubah perilaku siswa menjadi cekatan, cepat dan tepat dalam menyelesaikan tugas pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran, yang perlu diperhatikan guru adalah penguasaan keterampilan siswa hendaknya didasarkan pada pemahaman fakta, konsep dan prinsip, bukan hanya pada hafalan semata-mata. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak latihan (Tarigan, 2008: 1). Berdasarkan pendapatpendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah kemampuan untuk melakukan sesuatu dengan prosedur yang benar dan menghasilkan penyelesaian masalah, serta dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik dan banyak latihan. Berikutnya akan dijelaskan mengenai pengertian menulis dan tahaptahap dalam menulis. Menulis merupakan salah satu keterampilan dalam berbahasa dari rangkaian keterampilan berbahasa lainnya yaitu: keterampilan menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan menulis. Menulis sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa yang diajarkan di sekolah agar siswa mampu kreatif untuk mengungkapkan ide dan gagasannya secara jelas dalam bentuk tulisan. Menulis adalah sebagai bentuk komunikasi tidak langsung yang bermediakan tulisan. Terkait dengan pengertian menulis, Tarigan (dalam commitAndayani, to user 2009: 28) berpendapat bahwa perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 15 “Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca”. Selain itu, Gie (dalam Andayani, 2009: 28) menyatakan bahwa “Menulis arti pertamanya ialah pembuatan huruf, angka, nama, sesuatu tanda kebahasaan apa pun dengan sesuatu alat tulis pada halaman tertentu. Mengarang adalah segenap rangkaian kegiatan seorang mengungkapkan gagasan dan menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk dipahami.” Pengertian lain mengenai menulis diungkapkan oleh Nurgiyantoro (dalam Andayani, 2009: 28) bahwa menulis merupakan sebagai aktivitas mengemukakan gagasan melalui bahasa. Aktivitas pertama menekankan unsur bahasa, sedangkan yang kedua menekankan gagasan. Dalam tulisan, gagasan cemerlang tersirat dalam tulisan yang mampu memikat pembaca dan pada akhirnya membuat pembaca melakukan perubahan-perubahan besar yang berarti dalam hidupnya. Pendapat lain oleh Hernowo (2002: 212) menegaskan bahwa menulis merupakan aktivitas intelektual praktis yang dapat dilakukan oleh siapa saja yang amat berguna untuk mengukur sudah seberapa tinggi pertumbuhan ruhani kedua belah otak, baik otak kanan maupun otak kiri. Untuk melakukan kegiatan menulis terdapat komponen penting dalam tulisan. Terkait dengan hal itu, Creme & Lea (2008: 14) berpendapat bahwa menulis terdiri atas kata-kata dan kata-kata ini diletakkan bersama-sama dalam susunan tertentu untuk membuat kalimat kemudian digabungkan bersama-sama menjadi paragraf. Selain itu, pada Oxford Learner’s Pocket Dictionary (1995: 479), “Write is mark letters or numbers on a surface, esp. with a pen or pencil”. Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa menulis adalah membuat huruf atau simbol-simbol di atas kertas dengan menggunakan bolpoin atau pensil. Pendapat lain dari Semi (1990: 8) menyatakan bahwa menulis merupakan upaya memindahkan bahasa lisan ke dalam wujud tulisan, dengan menggunakan lambang-lambang bahasa. Terkait dengan pengertian tersebut, Hindriyati (2011: 24) berpendapat commit tobahwa user kemampuan menulis adalah perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 16 kemampuan untuk mengemukakan gagasan melalui media bahasa berupa tulisan. Ia menambahkan bahwa menulis juga bisa diartikan sebagai suatu aktivitas aktif produktif yang dilakukan dengan mengorganisasikan gagasan secara sistematik dan mengungkapkannya secara tersurat. Dikemukakan oleh Andayani (2009: 29) bahwa sebuah tulisan dapat dikatakan berhasil apabila tulisan tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh pembaca. Segala ide dan pesan yang disampaikan dipahami secara baik oleh pembacanya, tafsiran pembaca sama dengan maksud penulis. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, seorang penulis memiliki tiga keterampilan dasar yang meliputi: (1) keterampilan berbahasa adalah keterampilan menggunakan ejaan, tanda baca, pembentukan kata, pemilihan kata serta penggunaan kalimat yang efektif; (2) keterampilan penyajian adalah keterampilan pembentukan dan pengembangan paragraf, keterampilan merinci pokok bahasan, menyusun pokok bahasan dan sub pokok bahasan ke dalam susunan yang sistematis; dan (3) keterampilan perwajahan merupakan keterampilan pengaturan tipografi dan pemanfaatan sarana tulis secara efektif dan efisien, tipe huruf, penjilidan, penyusunan tabel dan lain-lain. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, peneliti mengambil simpulan bahwa menulis adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan sebuah pikiran, ide dan gagasan ke dalam sebuah bahasa tulis dengan memperhatikan aspekaspek kebahasaan yang baik dan benar sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Aktivitas menuangkan ide dan gagasan tersebut dapat dilakukan dengan melalui tahap-tahap penulisan. Untuk mempermudah menulis harus memperhatikan tahapan-tahapan menulis, antara lain: (1) tahapan persiapan/prapenulisan, tahap ini meliputi menyiapkan diri, mengumpulkan informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi, menarik tafsiran dan refleksi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi, membaca dan mengamati; (2) tahap inkubasi adalah ketika pembelajar memproses informasi yang dimilikinya sedemikian rupa sehingga mengantarkannya pada ditemukannya masalah atau jalan keluar commit topemecahan user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 17 yang dicarinya; (3) tahap inspirasi yaitu gagasan seakan-akan tiba dan berloncatan pada pikiran kita; dan (4) tahap verifikasi, pada tahap ini, apa yang dituliskan akan diperiksa kembali, diseleksi dan disusun sesuai fokus tulisan. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, penulis harus memperhatikan proses menulis. Menurut Akhadiah dkk. (1999: 11) proses menulis ada tujuh langkah, antara lain: (1) pemilihan dan penetapan topik; (2) pengumpulan informasi dan data; (3) penetapan tujuan; (4) perancangan tulisan; (5) penulisan; (6) penyuntingan atau revisi; dan (7) penulisan naskah jadi. Dari tahapan tersebut, terlihat bahwa menulis merupakan suatu proses yang tidak bisa diperoleh secara instan. Seorang penulis harus melalui berbagai tahap dan harus memiliki kemampuan yang baik dalam kebahasaan dan non kebahasaan untuk membuat tulisan yang berkualitas. Dalam menulis penulis tidak hanya asal menulis tetapi menulis juga mempunyai tujuan, tujuan menulis menurut Hugo Hartig (dalam Tarigan, 2008: 25-26) adalah sebagai berikut : (1) Tujuan penugasan (assign purpose) sebenarnya tidak mempunyai tujuan sama sekali. Penulis menulis sesuatu karena ditugaskan, bukan atas kemauan sendiri (misalnya para siswa yang diberi tugas merangkum buku; sekretaris yang ditugaskan membuat laporan, notulen rapat); (2) Tujuan altruistik (altruistic purpose) yaitu penulis bertujuan untuk menyenangkan pembaca, menghindarkan kedudukan para pembaca, ingin menolong para pembaca, menghargai perasaan pembaca, dan penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih menyenangkan dengan karyanya itu. Seseorang tidak akan dapat menulis secara tepat guna kalau dia percaya, baik secara sadar maupun tidak sadar bahwa pembaca akan menikamati karyanya itu adalah “lawan” atau “musuh”. Tujuan alturistik adalah kunci keterbacaan suatu tulisan; (3) Tujuan persuasif (persuasive purpose) adalah tulisan yang bertujuan meyakinkan para pembaca akan kebenaran gagasan yang diutarakan; (4) Tujuan informasi, tujuan penerangan (informational purpose) adalah tulisan yang bertujuan memberi informasi atau keterangan kepada para (5) Tujuan pernyataan diri commit to pembaca; user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 18 (self-expressive purpose) adalah tulisan yang bertujuan memperkenalkan atau menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca; (6) Tujuan kreatif (creative purpose) yaitu tujuan yang erat berhubungan dengan tujuan penghayatan diri. Tetapi “keinginan kreatif” di sini melebihi pernyataan diri, dan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai normal artistik, atau seni yang ideal, seni idaman. Tulisan yang bertujuan mencapai nilai-nilai artistik, nilai-nilai kesenian; dan (7) Tujuan pemecahan masalah (problem solving purpose), tujuan menulis adalah memproyeksikan sesuatu mengenai diri seseorang. Tulisan mengandung nada yang serasi dengan maksud dan tujuannya. Menulis tidak hanya mengharuskan memilih suatu pokok pembicaraan yang cocok dan sesuai, tetapi juga harus menentukan siapa yang akan membaca tulisan tersebut serta apa maksud dan tujuannya. Secara garis besar tujuan menulis adalah untuk memberitahukan atau mengajar, meyakinkan atau mendesak, menghibur atau menyenangkan, dan mengatakan atau mengekspresikan perasaan dan emosi yang berapi-api (Tarigan, 2008: 24-25). Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan menulis untuk mengungkapkan informasi yang tersedia dengan mengutamakan kaidah kebahasaan (penggunaan bahasa yang tertib dan teratur) sehingga tulisan menjadi menarik dan dapat dipahami oleh orang lain yang membacanya. Selain tujuan menulis, kita juga harus mengetahui manfaat dari menulis. Manfaat menulis tergantung dari apa saja tujuan menulis, apa target penulis yang ingin dicapai, serta sejauh mana usaha yang telah dilakukan penulis untuk menyelesaikan tulisannya. Menurut Suparno (dalam Jauhari, 2013:15) manfaat menulis antara lain untuk; (1) peningkatan kecerdasan, (2) pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, (3) penumbuhan keberanian, dan (4) pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi. Menurut pakar lain, Harjito dan Umaya (2009:20) bahwa manfaat yang dapat dipetik dari kegiatan menulis adalah sebagai berikut : (1) sebagai sarana untuk mengungkapkan diri; to (2)user sebagai sarana untuk pemahaman commit perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 19 terhadap suatu hal; (3) membantu mengembangkan kepuasan pribadi, kebanggaan, dan perasaan harga diri; (4) meningkatkan kesadaran dan penyerapan terhadap keadaan lingkungan; (5) memunculkan keterlibatan secara bersemangat; dan (6) mengembangkan suatu pemahaman mengenai kemampuan dalam penggunaan bahasa. Akhadiah, dkk. (1998:1-2) mengemukakan delapan manfaat menulis, yaitu (1) dengan menulis, kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi diri kita, (2) melalui kegiatan menulis kita dapat mengembangkan berbagai gagasan, (3) kegiatan menulis memaksa kita lebih banyak menyerap, mencari serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang kita tulis, (4) menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematik serta mengungkapkannya secara tersurat, (5) melalui tulisan kita akan dapat meninjau serta menilai gagasan kita sendiri secara lebih objektif, (6) dengan menuliskan di atas kertas kita akan lebih mudah memecahkan permasalahan, yaitu dengan menganalisisnya secara tersurat, dalam konteks yang lebih konkret, (7) tugas menulis mengenai suatu topik mendorong kita belajar secara aktif, dan (8) kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan kita berpikir serta berbahasa tertib dan teratur. Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa menulis mempunyai manfaat yang besar dengan menulis dapat memperluas kosakata yang belum diketahui, dapat juga melancarkan kemampuan menulis baik kalimat, paragraf, maupun wacana, dan dapat mengembangkan gaya penulisan sendiri. b. Pengertian Wacana Narasi Pertama akan dibahas mengenai pengertian wacana. Menurut Alwi, (200: 41) bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Menurut Mulyana (2005: 1), wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 20 kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh. Berikut pendapapat lain mengenai pegertian wacana. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), wacana merupakan (1) komunikasi verbal, percakapan; (2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan; (3) satuan bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah; (4) kemampuan atau prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan pertimbangan berdasarkan akal sehat; dan (5) pertukaran ide secara verbal. Pendapat lain Chaer (2007: 267) bahwa sebagai satuan bahasa yang lengkap, maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar (dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun. Berdasarakan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam bentuk karangan utuh sehingga ide atau gagasan secara utuh dapat dipahami oleh pembaca. John Langan dalam College Writing Skills with Readings (dalam Rohmadi dan Nasucha, 2010: 2) mengatakan bahwa struktur umum wacana yang berupa esai adalah introduction, body, and conclusion. Struktur wacana tulis meliputi (1) pembukaan yang disebut paragraf pembuka, (2) isi yang disebut paragraf penghubung, (3) kesimpulan yang berisi paragraf penutup. Setelah mengetahui pengertian wacana di atas, kemudian akan dibahas mengenai pengertian narasi. Istilah narasi berasal dari kata narration (Bahasa Inggris) yang berarti “cerita” dan narrative yang berarti “yang menceritakan” (Ahmadi, 1990:122). Paragraf narasi bertujuan mengisahkan atau menceritakan (Rohmadi dan Nasucha, 2010: 49). Pendapat lain menurut Suparno dan Yunus (2007:4.54) bahwa narasi adalah karangan yang menyajikan serangkaian peristiwa. Tujuan utama narasi adalah untuk menguraikan suatu peristiwa atau serangkaian peristiwa yang saling berhubungan sehingga maknanya muncul atau berkembang di dalamnya. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 21 Menurut pakar lain, Keraf (2007: 136) bahwa narasi adalah perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Apa yang terjadi tidak lain daripada tindak tanduk yang dilakukan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh dalam suatu rangkaian waktu. Menurut Keraf (2007: 136), narasi dapat dibatasi sebagai suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu kesatuan waktu. Atau dapat dirumuskan dengan cara lain: narasi adalah suatu bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi. Menurut Murtono (2010: 36), narasi adalah jenis penuturan yang bentuk kisah dengan menjadikan rangkaian peristiwa atau kejadian dalam jangka waktu tertentu. Waktu tersebut dapat berupa: beberapa detik, beberapa menit, beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkkan bahwa wacana narasi adalah sebuah karangan utuh yang berisi mengenai suatu tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan mengenai pengertian wacana dan narasi. Wacana narasi adalah suatu rentetan kalimat yang berisi suatu peristiwa dalam suatu rangkaian waktu. Unsur yang biasa ada dalam wacana narasi adalah unsur waktu, pelaku dan peristiwa. Wacana narasi merupakan salah satu jenis wacana yang didsasarkan atas sudut pandang tujuan berkomunikasi. c. Ciri-ciri Wacana Narasi Menurut Keraf (2007:136), ciri-ciri narasi, antara lain: (1) menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan; dan (2) dirangkai dalam urutan waktu. Narasi dibangun oleh sebuah alur cerita. Alur ini tidak akan menarik jika tidak ada konfiks. Selain alur cerita, konfiks dan susunan kronologis, ciriciri narasi lebih lengkap lagi diungkapkan oleh Semi (2003: 31) sebagai berikut. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 22 1) Berupa cerita tentang peristiwa atau pengalaman penulis. 2) Kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benarbenar terjadi, dapat berupa semata-mata imajinasi atau gabungan keduanya. 3) Berdasarkan konfiks, karena tanpa konfiks biasanya narasi tidak menarik. 4) Memiliki nilai estetika. 5) Menekankan susunan secara kronologis. Ciri yang dikemukakan Keraf memiliki persamaan dengan Semi, bahwa narasi memiliki ciri berisi suatu cerita, menekankan susunan kronologis atau dari waktu ke waktu dan memiliki konfiks. Perbedaannya, Keraf lebih memilih ciri yang menonjolkan pelaku. d. Struktur Narasi Struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang membentuknya, yaitu alur atau plot, perbuatan, penokohan, latar, dan sudut pandang. 1) Struktur Narasi ditinjau dari Alur atau Plot Aristoteles (dalam Keraf, 2007: 146) mengemukakan bahwa sebuah tragedi dibagi dalam tiga bagian yang utama, yaitu bagian pendahuluan, bagian perkembangan dan bagian penyelesaian. Ketiga bagian tersebut selalu dianggap sebagi pola kanonik struktur sebuah narasi. Pendapat lain menurut Keraf (2000: 147) bahwa narasi harus diberi batasan yang lebih jelas, yaitu rangkaian tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang penting dalam sebuah strukur yang diikat oleh waktu. Struktur tindakan yang dimaksud adalah struktur yang mengandung tindakan-tindakan yang mempunyai makna, bukan struktur yang hampa. Struktur narasi berdasarkan bagian-bagian alur yaitu bagian pendahuluan, perkembangan dan peleraian. Alur atau plot merupakan kerangka dasar yang sangat penting dalam kisah. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian satu sama lain, bagaimanacommit suatu to insiden user mempunyai hubungan dengan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 23 insiden yang lain, bagaimana tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan dalam tindakan-tindakan itu, dan bagaimana situasi dan perasaan karakter (tokoh) yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam suatu kesatuan waktu. Dasar dalam sebuah plot adalah tindak-tanduk, karakter (tokoh), pikiran atau suasana hati, latar (setting), waktu dan kiasan makna (khusunya narasi fiktif). Alur juga mencakup kerangka utama dari sebuah kisah, merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan konflik yang terdapat dalam narasi itu, yang berusaha memulihkan situasi ke dalam situasi yang seimbang dan harmonis. Struktur narasi ditinjau berdasarkan alur, antara lain sebagai berikut. a) Bagian Pendahuluan Perbuatan lahir dari sebuah situasi. Situasi itu juga harus mengandung unsur-unsur yang mudah meledak, setiap situasi dapat menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau perkembangan lebih lanjut dimasa depan. Dalam menyajikan narasi yang menyangkut fakta, tugas pertama seorang penulis antara lain sebagai berikut. (1) Menganalisa materi untuk memperoleh kepastian dan keyakinan mengenai unsur-unsur mana yang penting, unsur-unsur mana yang mempunyai daya ledak, agar pembaca dapat memahami perkembangan keadaan yang selanjutnya. (2) Menyajikan materi dalam suatu rangakaian yang menarik, sehingga pembaca dapat menangkap dengan mudah relasi logis antara bermacam-macam unsur itu, serta mampu menangkap hakikat dari kegawatan situasi itu. Permasalahan yang dihadapi pengarang narasi imajinatif (fiktif) sebenarnya sama sama dengan narasi faktual. Perbedaannya hanyalah menyangkut persoalan, bahwa narasi fiktif harus menciptakan sendiri materi-materinya. Bagian pendahuluan yang menyajikan situasi dasar, memungkinkan pembacacommit memahami adegan-adegan selanjutnya. Bagian to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 24 pendahuluan menentukan daya tarik dan selera pembaca terhadap bagianbagian berikutnya, maka penulis harus menggarapnya dengan sungguhsungguh secara seni. Selain itu, bagian pendahuluan dapat juga berbentuk suatu episode, suatu fragmen dari kejadian. b) Bagian Perkembangan Bagian ini merupakan rangkaian dari tahap-tahap yang membentuk seluruh proses narasi, mencakup adegan-adegan yang berusaha meningkatkan ketegangan, atau menggawatkan komplikasi yang berkembang dari situasi asli. Bagian perkembangan ini dapat dibagi lagi atas beberapa tahap yang lebih kecil, tergantung dari sifat dan besarnya narasi. Pada permulaan perkembangan tentu saja terjadi pertikaian sebagai akibat logis dari situasi awal yang mengandung faktor-faktor peledak. Dari pertikaian timbul penggawatan yang menyiapkan jalan untuk mencapai puncak dari seluruh narasi. c) Bagian Peleraian atau Penutup Akhir suatu perbuatan bukan hanya menjadi titik yang menjadi pertanda berakhirnya tindak-tanduk. Lebih tepat kalau dikatakan, bahwa akhir dari perbuatan atau tindakan itu merupakan titik dimana tenagatenaga atau kekuatan-kekuatan yang diemban dalam situasi yang tercipta sejak semula membersit keluar dan menemukan pemecahannya. Akhir dari suatu tindakan yang berbentuk sederhana adalah kesadaran baru yang timbul pada tokoh-tokoh yang terlibat, baik langsung maupun tidak langsung dalam kisah. Bagian akhir cerita sebagai titik di mana perbuatan tindak-tanduk dalam seluruh narasi itu memperoleh maknanya yang bulat dan penuh. Bagian ini merupakan titik dimana para pembaca terangsang untuk melihat seluruh makna kisah. Bagian ini sekaligus merupkan titik di mana struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya. Nama teknis bagian terakhir dari suatu narasi disebut juga peleraian atau denoument. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 25 2) Struktur Narasi ditinjau berdasarkan Perbuatan Struktur perbuatan terdiri atas sebab-akibat, karakter, waktu, makna dan konflik. a) Perbuatan dan Motivasi Di samping tujuan, unsur lain yang perlu diperhatikan pada sebuah narasi adalah motivasi. Motivasi adalah suatu penjelasan secara implisit mengapa tokoh-tokoh dalam narasi melakukan hal-hal seperti yang digambarkan tadi dalam pembukaanya. Motivasi dalam wacana narasi berusaha menjawab pertanyaan „mengapa?‟, alasan tersebut dicari dalam jiwa seseorang. Motivasi merupakan suatu tenaga atau kekuatan yang berada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan sesuatu, dapat berupa sebuah gagasan, emosi, atau suatu suasana yang mendorong seseorang melakukan tindakan. b) Perbuatan dan Kausalitas Kausalitas dalam wacana narasi merupakan alasan langsung mengapa suatu tindakan berikutnya terjadi. Kausalitas berusaha menjawab pertanyaan „mengapa?‟, namun alasan yang dikemukakan adalah sebuah alasan yang dapat diobservasi, yang dapat diketahui secara eksplisit. Kausalitas selalu muncul dalam suatu rangkaian yang logis yang dapat dikontrol oleh akal sehat dan fakta-fakta. Dalam kausalitas selalu dikatakan bahwa suatu peristiwa mengakibatkan peristiwa lain. Yang menjadi dasar semua tindak-tanduk adalah motif-motif kemanuasiaan dan karakter-karakter kemanusiaan yang tercakup dalam peristiwa itu. Seorang tokoh hanya akan mampu melaksanakan suatu motif tertentu, jika motif itu sejalan dengan karakternya. c) Karakter dan Karakterisasi Karakter adalah tokoh-tokoh dalam sebuah narasi dan karakterisasi adalah cara seorang penulis kisah menggambarkan tokoh-tokohnya. Perwatakan (karakterisasi) dalam pengisahan dapat diperoleh dengan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 26 usaha memberi gambaran mengenai tindak-tanduk dan ucapan-ucapan para tokohnya (pendukung karakter) sejalan tidaknya kata dan perbuatan. Motivasi para tokoh itu dapat dipercaya atau tidak diukur melalui tindaktanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya. Proses menggambarkan tokoh-tokoh melalui karakter-karakternya itu disebut karakterisasi. d) Konflik Konflik yang melibatkan manusia dan dengan demikian menjadi faktor utama pertimbangan untuk mengangkat permasalahan itu dalam sebuah narasi, dapat dibagi atas tiga macam, yaitu: (1) konflik melawan alam; (2) konflik antarmanusia; dan (3) konflik batin. e) Waktu Gerak laju suatu peristiwa selalu dihitung dari suatu titik waktu tertentu menuju suatu titik waktu yang lain. Narasi menyajikan suatu unit waktu, yaitu suatu kesatuan yang lengkap dalam dirinya. Suatu unit waktu adalah suatu rentangan di mana proses terjadi secara penuh. 3) Makna dalam sebuah Narasi Sebuah narasi disusun bukan dari suatu rangkaian perbuatan semata-mata, tetapi suatu rangkaian perbuatan yang memiliki makna secara keseluruhan. a) Perhatian Kesatuan cerita atau narasi digalang oleh semacam pusat perhatian (human interest) terhadap peristiwa yang terjadi, oleh suatu alur kisah atau plot. Pusat perhatian mempunyai pertalian yang erat dengan sudut pandangan, terutama dengan sudut pandangan terbatas (limited point of view) atau titik pandangan interpersonal. Jika narasi disajikan melalui penglihatan satu tokoh utama, maka rangkaian perbutan harus diarahkan untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana menghadapi persoalan yang timbul dari situasi ini?”. Jika pengisah adalah sekaligus pengamat, maka pusat perhatiannya akan diarahkan commit to user pada persoalan “Bagaimana perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 27 berlangsungnya suatu peristiwa yang menyangkut seorang tokoh narasi?”. Pusat perhatian pengamat akan diarahkan pada usaha untuk menguraikan secara jelas dan terperinci semua peristiwa yang dialami seorang tokoh. Pusat perhatian ditentukan oleh konflik yang perlu dijelaskan permasalahannya. b) Selektivitas Sebuah narasi tidak akan pernah menyajikan semua materi secara tuntas. Narasi memilih bagian-bagian yang diperlukan saja berdasarkan suatu tujuan yang ingin dicapainya. Seleksi merupakan sebuah abstraksi dari seluruh kejadian, merupakan kebenaran yang tertinggi bagi sebuah tulisan naratif. Seleksi memegang peranan penting, karena terdapat fakta yang harus ditinggalkan karena kurang tempat dan banyak pula harus dibuang karena kurang relevan. Fakta yang dibuang tidak boleh menimbulkan distorsi, tetapi demi mencapai makna untuk kepentingan manusia itu sendiri. c) Relevansi Fakta yang sudah dipilih harus bersifat relevan. Fakta tersebut harus mempunyai pertalian dengan narasi yang digarap. Antara relevansi yang satu dengan relevansi yang lain ada perbedaan. (1) Relevansi tema, adalah relevansi yang menyangkut perhatian utama. Atau menyangkut narasi secara keseluruhan. Perbuatan karakter yang mendukung perbuatan, konflik yang terjadi antara tokoh yang satu dengan tokoh yang lain, latar yang menggambarkan pemandangan yang ada relevansi dengan tindakan atau perbuatan yang berlangsung, semuanya dimasukkan dalam relevansi tema. (2) Relevansi langsung, adalah relevansi yang mempunyai persyaratan bahwa narasi harus merupakan presentasi langsung dari peristiwaperistiwa. Sebab itu, harus diadakan seleksi atas perincian-perincian yang memungkinkan kesegaran dan vitalitas, seleksi atas gerak-gerik commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 28 yang khas, dan seleksi atas kata-kata yang khas dan spesifik yang dapat mengarahkan pembaca. d) Makna Narasi Rangkaian aksi yang menandai sebuah narasi bukan hanya merupakan suatu rangkain waktu saja, tetapi juga merupakan rangkaian tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang penting dalam sebuah struktur. Narasi diperlukan untuk menyiapkan pembaca untuk merasakan kepenuhan makna sebuah proses, membuat pembaca melihat mendengar, merasakan, dan memahami peristiwa itu sebagai suatu kesatuan. Kebanyakan narasi tidak menyatakan maknanya secara eksplisit, tetapi selalu berusaha untuk menyembunyikannya. e) Makna dan Interpretasi Makna Makna merupakan hasil dari sebuah interpretasi. Tiap pengarang dihadapkan kepada kenyataan, bahwa ia harus meyakinkan pembaca mengenai makna dan interpretasi yang ingin disampaikannya. 4) Sudut Pandangan Sudut pandangan dalam sebuah narasi menyatakan bagaimana fungsi seorang pengisah (narator) dalam sebuah narasi, apakah ia mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaian kejadian (yaitu sebagai participant), atau sebagai pengamat (observer) terhadap objek dari seluruh aksi atau tindaktanduk dalam narasi. Bukan hanya hubungan antara pengisah dan tindaktanduk yang dipersoalkan, tetapi juga hubungan dengan seluruh suasana literer: orang yang diajak bicara, sirkumstansi tempat pembicaraan berlangsung, nada dan diksi yang dipakai. Sudut pandangan yaitu cara seorang pengarang melihat seluruh tindak-tanduk dalam suatu narasi. Sudut pandangan dibagi atas dua pola utama, antara lain: a) Sudut Pandangan Orang Pertama Merupakan sudut pandangan yang berisi mengenai kisah suatu pengalaman yang dialami commit sendirito oleh user pengarangnya atau naratornya. perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 29 Disebut juga sebagai sudut pandangan terbatas (limited point of view) karena penulis secara sadar membatasi diri pada apa dilihat atau yang dialami sendiri sebagai pengisah atau narator. (1) Narator – Tokoh Utama Narator menceritakan perbuatan atau tindak-tanduk yang melibatkan dirinya sendiri sebagai partisipan utama dari seluruh narasi. (2) Narator – Pengamat Narator terlibat dalam seluruh tindakan tetapi hanya berperan sebagai pengamat (observer). Ia tidak memperngaruhi seluruh proses kejadian atau tindak-tanduk tokoh-tokoh dalam narasi. (3) Narator - Pengamat Langsung Narator mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaian tindakan (sebagai partisipan) dan turut menentukan hasilnya, tetapi ia tidak menjadi tokoh utama. b) Sudut Pandangan Orang Ketiga Pengarang tidak tampil sebagai pengisah, untuk itu ia menghadirkan seorang narator yang tak berbadan, yang menyaksikan berlangungnya gerak dan tindak-tanduk dalam seluruh narasi. Sudut pandangan orang ketiga dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut. (1) Sudut pandangan panormik atau serba tahu, pengarang berusaha melaporkan semua segi dari suatu peristiwa atau suatu rangkaian tindak-tanduk. Ia berusaha langsung menuju ke inti dari semua karakter yang terlibat dalam seluruh gerak kegiatan. Pandangannya menyapu seluruh ruangan, ia melaporkan apa saja yang menarik perhatian atau apa saja yang dianggap relevan. (2) Sudut pandangan terarah, pengarang memusatkan perhatiannya hanya pada satu karakter saja yang mempunyai pertalian dengan proses atau tindak-tanduk yang dikisahkan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 30 (3) Sudut pandangan campuran, yaitu percampuran antara dua sudut pandangan atau lebih, dan dipergunakan sesuai dengan keperluan sesaat. e. Langkah-langkah Menulis Narasi Menurut Murtono (2010: 36), narasi atau cerita adalah jenis penuturan yang bentuk kisah dengan menjadikan rangkaian peristiwa atau kejadian dalam jangka waktu tertentu. Waktu tersebut dapat berupa: beberapa detik, beberapa menit, beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan,, bahkan beberapa tahun. Tulisan narasi sering ditandai dengan adanya kata atau ucapan seperti: sebelum, sesudah, ketika, dalam beberapa hari, pada waktu itu, dan sebagainya. Di samping itu juga ditandai dengan adanya kegiatan konkret atau nyata, bukan gagasan, rencana, motivasi, asumsi, alasan dan sebagainya. Langkah-langkah praktis dalam mengembangkan menulis narasi menurut Suparno dan Yunus (2007: 450), yaitu: (1) menentukan tema dan amanat yang akan disampaikan; (2) menetapkan sasaran pembaca, apakah orang dewasa, remaja atau anak-anak; (3) merancang peristiwa-peristiwa utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur; (4) menyusun peristiwa-peristiwa yang cocok untuk bagian awal, perkembangan dan akhir cerita; (5) merancang peristiwa-peristiwa utama ke dalam detail-detail peristiwa sebagai pendukung cerita; dan (6) menyusun tokoh dan perwatakan, latar dan sudut pandang. Berdasar pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa menulis wacana narasi merupakan kegiatan menuangkan ide/gagasan dalam sebuah rentetan kalimatg yang berisi sebuah peristiwa dalam sebuah rangkaian waktu. Wacana narasi berisi sebuah peistiwa yang terjadi secara nyata atau fakta, namun juga dapat berisi sebuah imajinatif atau karangan penulis. Untuk menghasilkan sebuah tulisan wacana narasi yang baik, penulis harus commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 31 memperhatikan langkah-langkah menulis, struktur dan unsur-unsur wacana narasi. 3. Hakikat Model Problem Based Learning a. Pengertian Problem Based Learning Problem Based Learning pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an di Universitas Mc Master Fakultas Kedokteran Kanada, sebagai salah satu upaya menemukan diagnosis dengan membuat pertanyaan-pertanyaan sesuai situasi yang ada. Ibrahim dan Nur (2002: 2) mengemukakan bahwa “Pembelajaran berbasis masalah merupakan salah satu pendekatan pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di dalamnya belajar bagaimana belajar.” Menurut Moffit (dalam Rusman, 2010: 242) bahwa “Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari materi pelajaran. Mengutip pendapat Colliver (2000 – Volume 75 – Issue 3 – p 259266) dalam jurnal internasional yang berjudul Effectiveness of Problem Based Learning Curricula: Research and Theory bahwa “Tinjauan pustaka tidak menunjukan bukti yang meyakinkan bahwa PBL meningkatkan pengetahuan dan kinerja klinis, setidaknya bukan besarnya yang akan diharapkan diberikan sumber daya yang diperlukan untuk kurikulum PBL. Hasilnya dipertimbangkan dalam terang teori pendidikan yang mendasari PBL dan penelitian dasar. Peneliti menyimpulkan bahwa hubungan antara teori pendidikan dan penelitian (baik dasar dan terapan) yang bebas adalah terbaik.” Menurut Tan (dalam Rusman, 2010: 232), pembelajaran berbasis masalah (Problem Based Learning) merupakan penggunaan berbagai macam kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan dunia nyata, kemampuan untuk menghadapi commit to user segala sesuatu yang baru dan perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 32 kompleksitas yang ada. Sudarman (2007: 69) mengatakan bahwa “problem based learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.” Sudarman (2007: 69) juga menyatakan bahwa problem based learning memiliki gagasan bahwa pembelajaran dapat dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugastugas atau permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasikan dalam suatu konteks. Cara tersebut bertujuan agar siswa memiliki pengalaman sebagaimana mereka nantinya menghadapi kehidupan profesionalnya. Pengalaman tersebut sangat penting sebagaimana dinyatakan dalam model pembelajaran Kolb (dalam Sudarman, 2007: 69) yang menekankan bahwa pembelajaran akan efektif bila dimulai dengan pengalaman yang konkret. Pendapat lain dikemukakan oleh Amir (dalam Putro, 2010: 6) bahwa “problem based learning adalah sebuah model pembelajaran yang didasarkan pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru.” Wulandari dan Surjono (2013: 181) mengemukakan bahwa “problem based learning merupakan pembelajaran aktif dan pendekatan pembelajaran berpusat pada masalah yang tidak terstruktur yang digunakan sebagai titik awal dalam proses pembelajaran.” Menurut Barrows dan Kelson (dalam Amir, 2009: 21), problem based learning adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam kurikulumnya dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta berpartisipasi dalam tim. Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan di dalam kehidupan sehari-hari. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 33 Menurut Warsono & Hariyanto (2012: 149) bahwa “problem based learning (pembelajaran berbasis masalah) merupakan suatu tipe pengelolaan kelas yang diperlukan untuk mendukung pendekatan kontruktivisme dalam pengajaran dan belajar.” Duct (dalam Amir, 2009: 21) menyatakan bahwa “problem based learning merupakan model instruksional yang menantang siswa agar belajar untuk belajar, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari solusi bagi masalah yang nyata, masalah ini digunakan untuk mengingatkan rasa keingintahuan serta kemampuan analitis dan inisiatif atas materi pelajaran.” Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa problem based learning adalah pemberian masalah yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari kepada siswa kemudian siswa bekerja secara berkelompok mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut. b. Karakteristik Problem Based Learning Karakteristik model problem based learning menurut Wulandari & Surjono (2013: 181) sebagai berikut: (1) pembelajaran dimulai dengan pemberian masalah yang mengambang yang berhubungan dengan kehidupan nyata; (2) masalah dipilih sesuai dengan tujuan pembelajaran; (3) siswa menyelesaikan masalah dengan penyelidikan autentik; (4) secara bersamasama dalam kelompok kecil, siswa mencari solusi untuk memcahkan masalah yang diberikan; (5) guru bertindak sebagai tutor dan fasilitator; (6) siswa bertanggung jawab dalam memperoleh pengetahuan dan informasi yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja; (7) siswa mempresentasikan hasil penyelesaian masalah dalam bentuk produk tertentu. Karakteristik model problem based learning lainnya disampaikan oleh Tan (dalam Amir, 2009: 22) bahwa ada beberapa karakteristik yang terdapat dalam problem based learning, yaitu: (1) masalah digunakan sebagai awal pembelajaran; (2) biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah dunia nyata yang disajikan secara mengambang (ill-structured); (3) masalah commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 34 biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perpective); (4) masalah membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah pembelajaran yang baru; (5) sangat mengutamakan belajar mandiri; (6) memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber saja; dan (7) pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif. c. Tujuan Model Problem Based Learning Menurut Ibrahim dan Nur (2002), tujuan model pembelajaran problem based learning, antara lain sebagai berikut: (1) membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah; (2) belajar berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman nyata; dan (3) menjadi para siswa yang otonom. d. Manfaat Model Problem Based Learning Amir (2009: 27 – 29) mengemukakan berbagai macam manfaat menggunakan model problem based learning dalam sebuah pembelajaran, sebagai berikut: (1) menjadi lebih ingat dan meningkat peahamannya atas materi ajar; (2) meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan; (3) mendorong untuk berpikir; (4) membangun kerja tim, kepemimpinan, dan keterampilan social; (5) membangun kecakapan belajar; dan (6) memotivasi pemelajar. e. Kelemahan dan Kelebihan Model Problem Based Learning Problem based learning merupakan suatu model pembelajaran yang mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Menurut Sanjaya (dalam Wulandari dan Surjono, 2013: 182), kelebihan problem based learning adalah sebagai berikut: (1) pemecahan masalah dalam problem based learning cukup bagus untuk memahami isi pembelajaran; (2) pemecahan masalah berlangsung selama proses pembelajaran menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan kepada siswa; (3) commit problem based learning dapat meningkatkan to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 35 aktivitas pembelajaran; (4) membantu proses transfer siswa untuk memahami masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari; dan (5) membantu siswa mengembangkan pengetahuannya dan membantu siswa untuk bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri. Kelemahan problem based learning adalah sebagai berikut: (1) apabila siswa mengalami kegagalan atau kurang percaya diri dengan minat yang rendah maka siswa enggan untuk mencoba lagi; (2) problem based learning membutuhkan waktu yang cukup untuk persiapan; dan (3) pemahaman yang kurang tentang mengapa masalah-masalah yang dipecahkan maka siswa kurang termotivasi untuk belajar. Warsono dan Hariyanto (2012: 152) menyatakan secara umum bahwa kekuatan dari penerapan model problem based learning antara lain: (1) siswa akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa tertantang untuk menyelesaikan masalah; (2) memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan teman-teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan teman-teman sekelasnya; dan (3) semakin mengakrabkan guru dengan siswa; (4) membiasakan siswa dalam menerapkan model eksperimen. Sementara itu kelemahan dari penerapan model ini antara lain: (1) tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah; (2) seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang mahal; dan (3) aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru. Berdasarkan beberapa pendapat atau pandangan pakar di atas, dapat disimpulkan bahwa model problem based learning merupakan pembelajaran yang berorintasi pemecahan masalah. Pemecahan masalah ini dapat membantu siswa untuk memecahkan atau mengatasi masalah kehidupan siswa. Selain itu, model problem based learning membuat pemahaman siswa lebih tahan lama dan dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Model ini membantu siswa belajar bagaimana belajar. Meskipun model ini masih memiliki kelemahan, namun model ini sangat baik untuk diterapkan dalam pembelajaran siswa. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 36 4. Pembelajaran dengan Model Problem Based Learning a. Pembelajaran Bahasa Indonesia Menurut Fuad (dalam Rohmadi dan Nasucha, 2010: 2) bahwa pembelajaran bahasa adalah proses sadar yang menghasilkan pengetahuan tentang bahasa dan pemerolehan bahasa dengan proses ambang sadar yang identik dengan proses yang dilalui seorang anak dalam memperoleh bahasa ibunya. Pembelajaran bahasa ditekankan pada proses belajar siswa, sehingga siswa lebih aktif belajar bahasa. Menurut Mulyati (2004: 38) bahwa pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan maupun tertulis. Sebagai suatu proses, pembelajaran dapat dilaksanakan pada tahap yang berlangsung secara berkelanjutan. Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus dipergunakan dalam pembelajaran. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 36 menyatakan bahwa “Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Jelas bahwa bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Siswa harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam pembelajaran. Tenaga pendidik juga harus memberikan contoh pada siswa dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam proses pembelajaran. Model pembelajaran problem based learning dalam pembelajaran Bahasa Indonesia telah banyak diterapkan oleh beberapa peneliti. Penelitian yang pernah dilakukan mengenai model pembelajaran problem based learning namun dengan fokus masalah yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hutahaean yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis Masalah Terhadap Kemampuan Menulis Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA Negeri 1 Air Putih Tahun Pembelajaran 2013/2014” memberikan simpulan bahwa model pembelajaran berbasis masalah memberikan pengaruh yang signifikan, yaitu adanya peningkatan pada kemampuan menulis siswa baik proses maupun hasil. Perbedaan dari to penelitian ini adalah fokus masalah dan commit user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 37 subjek penelitian. Pada penelitian oleh Feronika Hutahaean, fokus masalahnya adalah kemampuan menulis teks anekdot dan objeknya adalah siswa kelas X SMA. Penelitian lain dilakukan oleh Puspita dengan judul “Analisis Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning dalam Pembelajaran Menulis Teks Laporan Hasil Observasi Kelas X IIS. 1 SMAN Mendoyo.” Simpulan dari penelitian tersebut adalah penerapan model problem based learning pada siswa kelas X IIS. 1 SMAN Mendoyo tergolong baik dan berhasil. Keberhasilan tampak pada pemenuhan kriteria keterlaksanaan langkah pembelajaran dan juga skor yang dihasilkan siswa selama pembelajaran berlangsung. Selain itu, respon siswa terhadap model problem based learning dikatakan positif. Pada penelitian oleh Eka Puspita Dewi, fokus masalahnya adalah Menulis Teks Laporan Hasil Observasi dan objeknya adalah siswa kelas X SMA. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati dengan judul “Peningkatan Kemampuan Menulis Melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning Siswa Kelas IX” memberikan simpulan bahwa model problem based learning merangsang siswa untuk lebih berani memecahkan masalah yang dihadapi, membuat daya pikir siswa lebih berkembang, suasana belajar lebih kondusif, dan siswa lebih berani mengemukakan pendapatnya sehingga dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam keterampilan menulis. Selain itu penggunaan model problem based learning dalam pembelajaran menulis dapat membantu meningkatkan aktivitas siswa dalam menulis, siswa lebih senang belajar bahasa Indonesia terutama dalam pembelajaran menulis yang kurang disukai siswa, pembelajaran menjadi lebih efektif dan siswa menjadi aktif. Pada penelitian oleh Neti Herawati, fokus masalahnya adalah Pembelajaran Menulis dan objeknya adalah siswa kelas IX. Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang disebutkan di atas dapat disimpulkan bahwa penerapan model problem based learning dapat meningkatkan keterampilan menulis siswa. commit to user Selain itu aktivitas siswa juga perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 38 meningkat, siswa menjadi lebih aktif dan berani mengungkapkan pendapatnya. Penerapan model problem based learning membuat siswa lebih menyukai pembelajaran bahasa Indonesia. b. Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai dengan norma kemasyarakatan yang berlaku (Kusumaningsih, dkk., 2013: 17). Hal itu sesuai dengan tujuan utama dari sebuah pembelajaran bahasa, yaitu kemahiran berbahasa. Pembelajaran bahasa hendaknya bertujuan bukan semata-mata untuk menghasilkan bahasa saja, melainkan bagaimana mengungkapkan gagasan dengan mengungkapkan gagasan dengan ,enggunakan sarana bahasa tulis secara tepat. Dengan kata lain, kegiatan menulis haruslah yang mungkin melibatkan unsur lingistik dan ekstralinguistik, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk tidak saja berpikir bagaimana mengungkapkan bahasa secara tepat, melainkan juga memikirkan gagasan-gagasan apa yang akan dikemukakan. Tugas tersebut berarti melatih peserta didik untuk mengkomunikasikan gagasannya (Iskandarwassid dan Surendar, 2013: 251). c. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK Pembelajaran bahasa pada intinya merupakan proses belajar bahasa. Berbeda dengan pengajaran bahasa yang menitikberatkan pada proses mengajarkan bahasa. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dapat dilihat dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran, pada kurikulum SMA yang terdapat pada lampiran II (1995:1) disebutkan bahwa fungsi mata pelajaran bahasa dan sastra Indonesia adalah (1) sarana pembinaan kesatuan dan persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk meraih dan mengembangkan ilmu pengetahuan, commit to user teknologi, dan seni, (4) sarana perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 39 penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagi keperluan menyangkut berbagai masalah, dan (5) sarana pengembangan penalaran (dalam Rohmadi dan Nasucha, 2010: 2). Muara akhir dari sebuah pembelajaran bahasa Indonesia bukanlah pengetahuan kebahasaan namun terampil berbahasa Indonesia. Ada empat keterampilan berbahasa yaitu menyimak, membaca, berbicara dan menulis. Sebagai salah satu tujuan akhir pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks apabila dibandingkan dengan ketiga keterampilan yang lain. Pembelajaran bahasa Indonesia di SMK banyak di isi dengan praktik menulis. Hal ini sesuai dengan isi Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa “Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan peserta didik terutama untuk bekerja di bidang tertentu.” Pengertian ini mengandung pesan bahwa setiap institusi yang menyelenggarakan pendidikan kejuruan harus berkomitmen menjadikan tamatannya mampu bekerja dalam bidang tertentu. Beberapa tujuan pembelajaran ketrampilan menulis berdasarkan tingkatannya (Iskandarwassid dan Sunendar, 2008: 292-293), yaitu: 1) Tingkat Pemula a) Menyalin satuan-satuan bahasa yang sederhana. b) Menulis satuan bahasa yang sederhana. c) Menulis pernyataan dan pernyataan yang sederhana. d) Menulis paragraf pendek 2) Tingkat Menengah a) Menulis pernyataan dan pertanyaan. b) Menulis paragraf dan menulis surat. c) Menulis karangan pendek. d) Menulis laporan. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 40 3) Tingkat Lanjut a) Menulis paragraf. b) Menulis surat. c) Menulis berbagai jenis karangan. d) Menulis laporan. d. Merencanakan dan Melaksanakan PBL Problem based learning ditandai oleh siswa yang bekerja berpasangan atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menginvestigasi masalah kehidupan nyata yang membingungkan. Problem based learning seperti pendekatan pengajaran interaktif lain yang berpusat pada siswa, membutuhkan upaya perencanaan yang sama banyaknya atau bahkan lebih. Menurut Rusman (dalam Wulandari dan Surjono, 2013: 182) kejadian yang harus muncul dalam implementasi problem based learning adalah: (1) keterlibatan, yaitu mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah dengan bekerja sama; (2) inquiry dan investigasi, yaitu mengeksplorasi dan mendistribusikan informasi; (3) performansi yaitu menyajikan temuan; (4) tanya jawab tujuannya untuk menguji keakuratan dari solusi; (5) refleksi terhadap pemecahan masalah. Savoi dan Hughes (dalam Warsono dan Hariyanto, 2012: 149-150) mengungkapkan perlunya suatu proses yang dapat digunakan untuk mendesain pengalaman pembelajaran berbasis masalah bagi siswa. Kegiatan-kegiatan tersebut di bawah ini diperlukan untuk menunjang proses tersebut, yaitu sebagai berikut: (1) identifikasikan suatu masalah yang cocok bagi para siswa; (2) kaitkan masalah tersebut dengan konteks dunia siswa sehingga mereka dapat menghadirkan suatu kesempatan otentik; (3) organisasikan pokok bahasan di sekitar masalah, jangan berlandaskan bidang studi; (4) berilah para siswa tanggung jawab untuk dapat mendefinisikan sendiri pengalaman belajar mereka serta membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah; (5) dorong timbulnya kolaborasi dengan commit membentuk to userkelompok pembelajaran; dan (6) perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 41 berikan dukungan kepada semua siswa untuk mendemonstrasikan hasil-hasil pembelajaran mereka misalnya dalam bentuk suatu karya atau kinerja sesuatu. Menurut Maggi dan Claire (dalam Wulandari dan Surjono, 2013: 182), ada beberapa cara untuk menyajikan suatu masalah yang dapat menarik minat siswa sehingga proses pembelajaran tidak monoton dan membosankan. Beberapa cara tersebut, yaitu: (1) dimulai dengan memberikan sebuah masalah yang sesuai dengan pengetahuan dasar siswa sehingga akan menumbuhkan rasa antusias siswa tersebut; (2) menyajikan sebuah masalah yang mampu menggali rasa keingintahuan siswa, misalnya masalah yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari; (3) masalah yang disajikan masih berupa teka-teki yang harus dipecahkan; (4) pastikan bahwa penyampaian masalah tersebut menarik minat siswa; dan (5) masalah yang diangkat sebaiknya berkaitan dengan kehidupan nyata. Dalam sebuah model pembelajaran tentunya ada sintaks yang terkandung di dalamnya, begitu juga model problem based learning. Sintaks model problem based learning (Amir, 2009: 24) adalah sebagai berikut: 1) Langkah 1: Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas, yaitu memastikan setiap anggota memahami berbagai istilah dan konsep yang ada dalam masalah. 2) Langkah 2: Merumuskan masalah 3) Langkah 3: Menganalisis masalah, anggota mengeluarkan pengetahuan terkait apa yang telah dimiliki tentang masalah. 4) Langkah 4: Menata gagasan Anda dan secara sistematis menganalisisnya dengan dalam, bagian yang telah dianalisis dilihat keterkaitannya satu sama lain, dikelompokkan; mana yang saling menunjang, mana yang bertentangan, dan sebagainya. 5) Langkah 5: memformulasikan tujuan pembelajaran, kelompok dapat merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok telah tahu pengetahuan mana yang masih kurang, dan mana yang masih belum jelas. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 42 6) Langkah 6: Mencari informasi tambahan dari sumber lain (di luar diskusi kelompok) 7) Langkah 7: Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan membuat laporan untuk dosen/ kelas. Salah satu isi utama dalam problem based learning adalah pembentukan masalah yang menuntut penyelesaiannya. Hudoyo (dalam Rusman, 2010: 242) mengemukakan bahwa “Masalah yang disajikan dalam pembelajaran berbasis masalah tidak perlu berupa penyelesaian masalah (problem solving) sebagaimana biasa, tetapi pembentukan masalah (problem posing) yang kemudian diselesaikan. Masalah yang ditimbulkan merupakan masalah kontekstual, yaitu masalah yang sesuai dengan pengalaman siswa. Hamzah dalam Rusman (2010: 246) mengemukakan bahwa “Guru berperan mengantarkan siswa memahami konsep dan menyiapkan situasi dengan pokok bahasan yang diajarkan.” Tugas guru dalam model problem based learning menurut Hamzah, yaitu (a) guru hendaknya menyediakan lingkungan belajar yang memungkinkan self regulated dalam belajar pada diri siswa berkembang; (b) guru hendaknya selalu mengarahkan siswa mengajukan masalah, atau pertanyaan atau memperluas masalah; (c) guru hendaknya menyediakan beberapa situasi masalah yang berbeda-beda, berupa informasi tertulis, benda manipulative, gambar atau yang lainnya; (d) guru dapat memberikan masalah yang open-ended; (e) guru dapat memberikan contoh cara merumuskan dan mengajukan masalah dengan beberapa tingkat kesukaran, baik tingkat kesulitan pemecahan masalah; dan (f) guru mrnyelenggarakan repiprocal teaching, yaitu pelajaran yang berbentuk dialog antara siswa mengenai materi pelajaran dengan cara menggilir siswa berperan sebagai guru (peer teaching). commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 43 Menurut Arends (2009: 401) sintaks yang lain serta perilaku guru yang relevan dapat dilihat pada tabel 1 berikut. Tabel 1. Sintaks Problem Based Learning dan Perilaku Guru yang Relevan No. 1. Fase Perilaku Guru Fase 1: Melakukan Guru menyampaikan orientasi masalah kepada menjelaskan logistik (bahan dan alat) apa yang siswa diperlukan bagi penyelesaian masalah serta memberikan menaruh motivasi perhatian tujuan pembelajaran, kepada siswa terhadap agar aktivitas penyelesaian masalah. 2. Fase 2: Guru membantu siswa mendefinisikan dan Mengorganisasikan siswa mengorganisasikan pembelajaran agar relevan 3. untuk belajar dengan penyelesaian masalah. Fase 3: Mendukung Guru mendorong siswa untuk mencari informasi kelompok investigasi yang sesuai, melakukan eksperimen dan mencari penjelasan dan pemecahan masalahnya. 4. Fase 4: Mengembangkan Guru membantu siswa dalam perencanaan dan dan menyajikan artefak perwujudan artefak yang sesuai dengan tugas dan memamerkannya yang diberikan seperti: laporan, video dan model-model, serta membantu mereka saling berbagi satu sama lain terkait hasil karyanya. 5. Fase 5: Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi mengevaluasi proses terhadap hasil penyelidikannya serta proses- penyelesaian masalah proses pmbelajaran yang telah dilaksanakan. Langkah-langkah Pembelajaran Menggunakan Learning antara lain: commit to user Problem Based perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 44 1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai, kemudian guru menyajikan materi sebagai pengantar. 2) Melakukan orientasi masalah kepada siswa. Pada fase ini, guru mengingatkan kembali materi yang telah dipelajari sebelumnya, guru menyampaikan indikator pembelajaran dan memotivasi siswa belajar dengan menghubungkan materi dengan kehidupan seharihari. 3) Mengorganisasikan siswa untuk belajar Guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok beranggotakan 5 orang. Guru memberikan masalah serta alat dan bahan yang digunakan untuk memecahkan masalah pada masing-masing kelompok. Guru meminta setiap kelompok untuk membaca dan memahami masalah, serta memberikan kesempatan bertanya kepada siswa jika ada hal yang tidak jelas dalam masalah yang diberikan. 4) Mendukung kelompok investigasi Guru mengamati kerja tiap kelompok dan memberikan bantuan yang dibutuhkan tanpa mencampuri penyelidikan siswa dengan cara mengarahkan mereka dengan pernyataan atau informasi yang mendekati penyelesaian masalah dan bukan cara penyelesaian dari masalah yang diberikan. 5) Mengembangkan dan menyajikan artefak dan memamerkannya Guru meminta kelompok yang telah memperoleh penyelesaian masalah untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan meminta kelompok yang tidak presentasi untuk memberikan tanggapan. Guru dapat merangsang siswa dengan pertanyaan-pertanyaan atau informasi-informasi yang mengarahkan siswa untuk memperoleh penyelesaian yang benar. 6) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah Guru bersama siswa mengkaji kembali proses pemecahan masalah dan pemecahan masalah diarahkan untuk mencari solusi. Guru memberikan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 45 tugas rumah dan tidak lupa mengingatkan siswa untuk mempelajari materi selanjutnya. e. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada KTSP Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan pendidikan (Sanjaya, 2008). Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta kompetensi dasar yang tertera pada Permen. No. 23 Tahun 2006. Berlakunya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut paradigma dalam pendidikan dan pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan formal (persekolahan). Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered) beralih berpusat pada murid (student centered); metodologi yang semula lebih didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi proses maupun hasil pendidikan (Trianto, 2012: 10). Pembelajaran ideal adalah dengan berorientasi pada siswa (student centered), siswa akan berusaha mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan terlibat aktif dalam mencari informasi (BNSP Permendiknas 22, 2006). Menurut Ching & Gallow (dalam Taufiq, 2009: 3) bahwa pendekatan teacher centered sudah dianggap tradisional dan perlu diubah. Para pemelajar membutuhkan lebih dari sesuatu yang bisa diberikan dengan pendekatan yang berpusat pada pendidik. Yakni pendekatan yang bisa memberikan bekal kompetensi, pengetahuan dan serangkaian kecakapan yang mereka butuhkan dari waktu ke waktu. Dengan membiarkan pemelajar pasif, pendekatan yang terpusat pada pendidik sulit untuk memungkinkan pemelajar mengembangkan commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 46 kecakapan berpikir, kecakapan interpersonal, dan kecakapan beradaptasi dengan baik. Menurut Tan (dalam Taufiq, 2009: 4) bahwa asumsi atas pengetahuan dan bagaimana pendidik dan pemelajar berpartisipasi harus diubah. Pendidik yang tadinya dianggap orang yang paling berotoritas atas pengetahuan tertentu kini harus dipertanyakan. Pendidik bukan lagi satu-satunya sumber pengetahuan. Pendidik seharusnya tidak melulu menyampaikan materi, ia harus merangsang pemikiran pemelajar, dengan pertanyaan penuh selidik, memancing penalaran dan memberikan petunjuk yang merangsang mereka untuk menyimpulkan (Taufiq, 2009: 6). Perubahan harus diikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas penyelengaraan pembelajaran disekolah baik di dalam kelas ataupun di luar kelas. Untuk itu guru harus bijaksana dalam menentukan suatu model yang sesuai yang dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Satu inovasi yang menarik mengiringi perubahan paradigma tersebut adalah ditemukan dan diterapkannya model pembelajaran inovatifprogresif atau yang lebih tepat disebut „praktik belajar‟ yang dengan tepat mampu mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik secara konkret dan mandiri. Praktik belajar berarti suatu inovasi pembelajaran yang dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori atau konsep pengetahuan melalui pengalaman belajar praktik empirik. Arends (2001: 24) menyeleksi enam model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru dalam mengajar, yaitu: presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasar masalah, dan diskusi kelas. Model pembelajaran berbasis masalah sangat baik untuk diterapkan pada pembelajaran sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumiati dan Asra (2007: 57) hasil belajar yang dicapai dengan orientasi pada masalah lebih tinggi nilai kemanfaatannya dibandingkan dengan belajar melalui pembelajaran konvensional. Pembelajaran berbasis commit tomasalah user atau problem based learning perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 47 merupakan salah satu model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik yang dapat membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran (Jogiyanto, 2006). Mengutip pendapat Kolmos (2012 – Chapter 3 – p 53) dalam e-book yang berjudul Changing the Curriculum to Problem-Based and Project-Based Learning yaitu “There is plenty of research on PBL – most pointing out a positive effect of PBL on students’ motivation, learning outcomes, skills improvement and deep learning.” Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia yaitu “Ada banyak penelitian tentang PBL – efek postif yang paling menonjol dari PBL pada motivasi siswa, hasil belajar, peningkatan keterampilan dan pembelajaran yang mendalam.” Selain itu, prinsip utama dalam KTSP adalah pemberian atribusi secara penuh kepada instansi sekolah untuk merancang dan merencanakan sendiri pembelajaran sesuai dengan kondisi dan tingkat kemampuan sekolah (Trianto, 2014: 5), sehingga model problem based learning dapat diterapkan pada KTSP. 5. Penerapan Problem Based Learning dalam Menulis Teks Wacana Narasi pada KTSP Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa proses pembelajaran harus berubah yang tadinya teacher centered menjadi student centered. Salah satu model pembelajaran yang menunjang adalah model problem based learning. Menurut John Dewey (dalam Trianto 2011: 67) problem based learning adalah belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respon, merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari pemecahannya dengan baik. commit to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 48 Salah satu materi dalam pelajaran Bahasa Indonesia kelas XI pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah pembelajaran menulis wacana narasi. Nurgiyantoro (dalam Andayani, 2009: 28) mengemukakan bahwa “Menulis merupakan sebagai aktivitas mengemukakan gagasan melalui bahasa.” Keraf (2007: 136) bahwa narasi adalah perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa menulis narasi adalah kegiatan mengemukakan gagasan, perbuatan atau peristiwa dalam suatu rangkaian waktu melalui bahasa. Problem based learning dengan pembelajaran menulis teks wacana narasi memiliki keterkaitan antara keduanya. Pada model problem based learning, permasalahan yang diberikan pada siswa merupakan permasalahan dunia nyata. Teks wacana narasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada ciri-ciri wcana narasi yang diungkapkan oleh Semi (2003: 31) pada point 2 bahwa kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benar-benar terjadi, dapat berupa semata-mata imajinasi atau gabungan keduanya. Permasalahan yang diberikan pada siswa dapat membantu siswa dalam memahami teks wacana narasi, dengan pemahaman tersebut dapat membuat siswa lebih mahir dalam menulis teks wacana narasi, baik peristiwa yang benar-benar terjadi atau hanya imajinatif. Selain itu dengan adanya contoh atau masalah yang diberikan pada siswa dapat memberikan ide atau gambaran siswa mengenai wacana narasi, sehingga mempermudah siswa dalam menulis teks wacana narasi. Pada problem based learning, tiga hal yang diperoleh dan dilakukan siswa adalah (1) siswa memperoleh pengetahuan yang relevan pada saat diberi penjelasan oleh guru, saat siswa berdiskusi untuk memecahkan masalah, pada saat siswa menyajikan hasil diskusi siswa saling bertukar pendapat dan memperoleh pengetahuan-pengetahuan baru. Lalu (2) siswa berpikir untuk dapat memahami masalah berupa contoh teks wacana narasi. Kemudian (3) siswa menulis teks wacana narasi secara individu. Hal itu sesuai dengan model pembelajaran yang dikemukakan Sale (dalam Taufiq, 2009: 9) yaitu (1) memperoleh pengetahuan yang relevan (knowledge); (2) berpikir dapat memahami (thinking); dan (3) commituntuk to user perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 49 melakukan (doing). Dengan ketiga hal tersebut yang dilakukan siswa dapat membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan menulis wacana narasi siswa. Selain itu dijelaskan pada point sebelumnya bahwa model problem based learning sah-sah saja bila diterapkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), maka dari itu penerapan model problem based learning pada menulis teks wacana narasi akan sangat baik dilakukan. B. Kerangka Berpikir Menulis adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan sebuah pikiran, ide dan gagasan ke dalam sebuah bahasa tulis dengan memperhatikan aspek-aspek kebahasaan yang baik dan benar sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Dalam pembelajaran menulis pada siswa kelas XI AP 1 SMK Kristen 1 Surakarta dijumpai adanya masalah, yaitu hampir 90% siswa tampak kurang tertarik dan bersungguh-sungguh dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh kurangnya motivasi siswa dalam pembelajaran menulis wacana narasi. Terlebih lagi, materi yang diberikan guru hanya berdasar pada buku teks yang diberikan pemerintah dan materi dapat dibaca dirumah sehingga siswa mudah bosan dan tidak termotivasi dalam pembelajran tersebut. Rendahnya keterampilan menulis wacana narasi juga disebabkan oleh model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Sebagian besar guru sampai saat ini masih melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Guru memberikan pembelajaran menulis dengan model ceramah dan teknik penugasan. Penilaian tugas menulis juga hanya memberikan daftar kesalahan baik ejaan, kosakata maupun struktur tanpa diberi pembenarannya, sehingga siswa tidak memahami letak kesalahannya dan bagaimana yang benar. Hal itu menyebabkan siswa takut untuk menulis karena pada saat akan memulai menulis siswa sudah takut jika nanti tulisan tersebut salah akibat dari kurangnya kosakata dan rendahnya penguasaan unsur kebahasaan. Untuk itu, perlu adanya model pembelajaran yang inovatif seperti menggunakan model Problem Based Learning. commit to user Penggunaan model ini dalam perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 50 pembelajaran menulis wacana narasi akan memudahkan siswa menyusun paragraf wacana narasi, karena siswa sudah berlatih melalui permasalahan yang diberikan oleh guru. Dalam diskusi permasalahan tersebut siswa juga berlatih untuk berpikir kritis dalam menanggapi masalah, dalam proses berpikir tersebut siswa akan berlatih mengolah kata dan mengungkapkan dalam kelompok. Siswa juga tidak takut untuk menulis karena siswa mulai mengembangkan ide dan gagasan berdasarkan masalah dunia nyata yang diberikan. Ide siswa mudah berkembang melalui bantuan teknik-teknik tersebut. Hasilnya diharapkan dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan hasil keterampilan menulis wacana narasi siswa. Di bawah ini dapat dijelaskan pola pikir peneliti pada gambar 1. Kondisi sebelum tindakan Siswa pasif dalam pembelajaran menulis wacana narasi Siswa sulit mengembangkan ide/ gagasan dan masih banyak terdapat kesalahan unsur kebahasaan yang meliputi ejaan. Penerapan Metode Problem Based Learning Kondisi Setelah Tindakan Siswa aktif dalam pembelajaran menulis wacana narasi Siswa dapat mengembangkan ide/ gagasan dengan cepat dan jarang ditemukan kesalahan unsur kebahasaan yang meliputi ejaan). Gambar 1. Kerangka commit to user Berpikir perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id 51 C. Hipotesis Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut: Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan keterampilan menulis wacana narasi siswa kelas XI AP 1 SMK Kristen 1 Surakarta tahun Pelajaran 2014/2015. Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dapat meningkatkan keterampilan menulis wacana narasi siswa kelas XI AP 1 SMK Kristen 1 Surakarta tahun Pelajaran 2014/2015. commit to user