perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user BAB II

advertisement
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Pustaka
1. Hakikat Kualitas Proses Pembelajaran
a. Pengertian Kualitas Pembelajaran
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kualitas adalah ukuran baik
buruk; mutu; taraf; kadar; atau derajat dari kecerdasan, kepandaian dan
sebagainya. Goestch dan Davis (dalam Tjiptono, 2000) berpendapat bahwa
kualitas merupakan suatu kondisi dinamis yang berhubungan dengan produk,
jasa, manusia, proses dan lingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.
Bedasar definisi-definisi yang ada mengenai kualitas terdapat beberapa
kesamaan, yaitu elemen-elemen sebagai berikut: (1) kualitas meliputi usaha
memenuhi atau melebihi harapan pelanggan; (2) kualitas meliputi poduk, jasa,
manusia, proses, dan lingkungan; (3) kulitas merupakan kondisi yang selalu
berubah/yang dianggap berkualitas saat ini kurang berkualitas pada masa yang
akan datang (Tjiptono, 2000).
Menurut Hamalik (2014: 57) pembelajaran merupakan suatu
kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur manusiawi, material, fasilitas,
perlengkapan, dan prosedur yang saling memperngaruhi mencapai tujuan
pembelajaran. Belajar mengajar sebagai suatu proses mengandung tiga unsur
yang dapat dibedakan, yakni tujuan pengajaran (instruksional), pengalaman
(proses) belajar-mengajar, dan hasil belajar. Tujuan intstruksional pada
hakikatnya adalah perubahan tingkah laku yang diinginkan pada diri siswa.
Oleh sebab itu, dalam penilaian hendaknya dapat diperiksa sejauh mana
perubahan tingkah laku siswa telah terjadi melalui proses belajarnya. Dengan
mengetahui tercapai-tidaknya tujuan-tujuan instruksional, dapat diambil
tindakan perbaikan pengajaran dan perbaikan siswa yang bersangkutan.
Menurut Mariani (dalam Haryati & Rochman, 2012: 2) bahwa kualitas
pembelajaran secara operasional dapat diartikan sebagai intensitas keterkaitan
commit
to user
sistemik dan sinergis guru, siswa,
materi,
iklim pembelajaran, dan media dalam
6
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
7
menghasilkan proses dan hasil belajar yang optimal sesuai dengan tuntutan
kurikuler. Indikator kualitas pembelajaran dapat di lihat antara lain dari
perilaku pembelajaran guru (teacher behavior), perilaku dan dampak belajar
siswa (student behavior), iklim pembelajaran (learning climate), materi
pembelajaran, dan media pembelajaran. Penjelasan dari masing-masing
indikator tersebut dijabarkan sebagai berikut: (1) Dari sisi guru, kualitas dapat
dilihat dari seberapa optimal guru mampu memfasilitasi proses belajar siswa;
(2) dari sisi siswa, kualitas dapat dilihat perilaku dan dampak belajar siswa
yang mampu membuat siswa termotivasi, aktif, dan kreatif; (3) dari aspek
iklim pembelajaran, kualitas dapat dilihat dari seberapa besar suasana belajar
mendukung terciptanya kegiatan pembelajaran yang menarik, menantang,
menyenangkan dan bermakna bagi siswa; (4) dari sisi media belajar kualitas
dapat dilihat dari seberapa efektif media belajar digunakan oleh guru untuk
meningkatkan intensitas belajar siswa; dan (5) aspek materi, kualitas dapat
dilihat dari kesesuaiannya dengan tujuan dan kompetensi yang harus dikuasai
siswa (Mariani dalam Haryati & Rochman, 2012: 2).
Pendapat lain menurut Hidayatullah (2009: 158-165) bahwa
pembelajaran yang berkualitas memiliki lima indikator. Indikator tersebut
antara lain :
Pertama, pembelajaran yang menantang, pembelajaran yang
menantang atau pembelajaran yang memberikan tantangan kepada peserta
didik untuk melakukan dan menyelesaikan, akan membuat anak muncul rasa
ingin tahu, ingin mencoba, ingin melakukan, ingin menyelesaikan tugas guru,
atau ingin memecahkan masalah.
Kedua, pembelajaran yang menyenangkan. Pembelajaran sebaiknya
dilaksanakan dalam suasana yang menyenangkan. Pembelajaran yang
menyenangkan akan mendorong peserta didik untuk belajar dan menyebabkan
peserta didik tertarik terhadap pembelajaran tersebut. Agar pembelajaran dapat
menyenangkan bagi peserta didik, maka guru harus pandai-pandai mengemas
sehingga peserta didik tertarik pada pembelajaran tersebut. Salah satu upaya
adalah guru memiliki metodecommit
yang to
bervariasi.
Ketiga, pembelajaran yang
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
8
mendorong eksplorasi. Pembelajaran yang disajikan dengan menyenangkan
akan
menantang
dan
menyebabkan
peserta
didik
terdorong
untuk
mengeksplorasi dan mengembangkan sendiri pembelajaran yang telah
disajikan guru sebagai tindak lanjut.
Keempat,
pembelajaran
yang
memberi
pengalaman
sukses.
Pembelajaran yang berkualitas harus mampu memberikan pengalaman sukses
kepada peserta didiknya. Pengalaman sukses yang dimaksud adalah adanya
perasaan yang menyenangkan dan membanggakan bagi peserta didik sebagai
akibat telah berhasil menyelesaikan atau memecahkan sesuatu. Pengalaman
sukses yang diperoleh peserta didik akan menumbuhkan rasa percaya diri.
Pengalamaman sukses juga akan menumbuhkan motivasi peserta didik untuk
belajar lebih lanjut. Kelima, pembelajaran yang mengembangkan kecakapan
berpikir. Pembelajaran yang berkualitas akan berdampak pada pengembangan
kecakapan berpikir. Kemampuan berpikir dapat dilihat dari kreativitas peserta
didik. Oleh karena itu, pembelajaran yang disajikan kepada peserta didik harus
dikemas sedemikian rupa sehingga mampu merangsang peserta didik.
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa kualitas
proses pembelajaran adalah segala hal yang dipergunakan atau dilakukan agar
proses pembelajaran dapat terlaksana sesuai harapan (tujuan pendidikan)
bahkan melebihi harapan, sehingga pembelajaran dapat dikatakan sukses.
b. Peranan Guru dalam Proses Belajar Mengajar
Menurut Usman (2008: 7), tugas guru sebagai profesi meliputi
mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berati meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup. Mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Menurut Hadi (2005:
23) bahwa tugas pendidik dikelompokan menjadi tiga, yaitu: (1) tugas
educational yaitu memberikan bimbingan yang diarahkan pada pembentukan
kepribadian; (2) tugas instruksional,
menitikberatkan pada perkembangan
commityaitu
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
9
dan kecerdasan daya intelektual anak didik dengan tekanan perkembangan
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik; dan (3) tugas managerial yaitu
pengelolan kehidupan lembaga (kelas).
Menurut Adam dan Decey (dalam Usman, 2008: 9) bahwa peranan
dan kompetensi guru dalam proses belajar mengajar meliputi beberapa hal,
yaitu: Pertama, guru sebagai demonstrator yaitu guru harus menguasai bahan
atau
materi
pelajaran
yang
akan
disampaikan
dan
senantiasa
mengembangkannya dalam arti meningkatkan kemampuannya karena hal ini
mempengaruhi hasil belajar siswa. Kedua, guru sebagai pengelola kelas, yaitu
guru harus bisa mengelola kelas sebagai lingkungan belajar. Ketiga, guru
sebagai mediator dan fasilitator, yaitu guru sebagai mediator hendaknya
memiliki pengetahuan dan pemamahan mengenai media pendidikan agar
pembelajaran dapat berlangsung secara komunikatif, guru sebagai fasilitator
hendaknya dapat mengusahakan sumber belajar yang berguna dan menunjang
pencapaian tujuan dan proses belajar mengajar. Keempat, guru sebagai
evaluator, yaitu untuk mengetahui apakah tujuan yang telah dirumuskan itu
tercapai atau belum dan apakah materi yang disampaikan sudah cukup tepat.
Setelah membahas mengenai tugas dan peranan guru, dapat diketahui bahwa
peranan guru sangat menentukan dalam usaha peningkatan kualitas pendidikan.
Guru harus berkompeten agar sebuah tujuan pendidikan dapat tercapai.
Kompetensi guru merupakan kemampuan seorang guru dalam melaksanakan
kewajiban secara bertanggung jawab dan layak (Usman, 2008: 14). Untuk itu,
guru sebagai agen pembelajaran dituntut untuk mampu menyelenggarakan
proses pembelajaran dengan sebaik-baiknya. Standar proses pembelajaran
harus meliputi perencanaan proses pembelajaran, pelaksanaan proses
pembelajaran,
penilaian
hasil
pembelajaran,
dan
pengawasan
proses
pembelajaran untuk terlaksananya proses pembelajaran yang efektif dan efisien
(Miarso, 2008: 71-72).
Perencanaan proses pembelajaran harus didasarkan pada prinsip
sistematis dan sistemik. Sistematis
berarti
secara runtut dan berkesinambungan,
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
10
dan sistemik dengan mempertimbangkan segala komponen yang berkaitan.
Perencanaan proses tersebut meliputi silabus dan rencana pelaksanaan
pembelajaran (RPP) yang memuat identitas mata pelajaran, standar kompetensi
(SK) dan kompetensi dasar (KD), indikator pencapaian kompetensi, tujuan
pembelajaran, materi ajar, alokasi waktu, metode pembelajaran, penilaian hasil
belajar, dan sumber belajar. Perencanaan tersebut perlu disusun secara
sistematis dan sistemik. Sistematis karena perlu disusun secara runtut, terarah
dan terukur, mulai jenjang kemampuan rendah hingga tinggi. Sistemik karena
perlu mempertimbangkan berbagai faktor yang berkaitan, yaitu tujuan meliputi
semua aspek perkembangan peserta didik (kognitif, afektif, dan psikomotorik),
karakteristik peserta didik, kondisi lingkungan, serta hal-hal lain yang
menghambat atau menunjang terlaksananya pembelajaran.
Penilaian dilakukan oleh guru terhadap hasil pembelajaran untuk
mengukur tingkat pencapaian kompetensi peserta didik, serta digunakan
sebagai bahan penyusunan laporan kemajuan belajar dan memperbaiki proses
pembelajaran. Penilaian dilaksanakan secara konsisten, sistematik, dan
terprogram dengan menggunakan tes dan nontes dalam bentuk tulis atau lisan,
pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, dan
portopolio.
c. Kriteria Keberhasilan Pengajaran
Guru sebagai pengelola proses belajar-mengajar bertindak selaku
fasilitator yang berusaha menciptakan kondisi belajar-mengajar efektif
sehingga memungkinkan proses belajar-mengajar, mengembangkan bahan
pelajaran dengan baik, dan meningkatkan kemampuan siswa untuk menyimak
pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai
(Usman, 2008: 21). Aktivitas belajar siswa dapat digolongkan ke dalam
beberapa hal, antara lain: (1) aktivitas visual seperti membaca, menulis,
melakukan eksperimen, dan demonstrasi; (2) aktivitas lisan seperti bercerita,
membaca sajak, tanya jawab,
commitdiskusi
to user dan menyanyi; (3) aktivitas
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
11
mendengarkan seperti mendengarkan penjelasan guru, ceramah, pengarahan;
(4) aktivitas gerak seperti senam, atletik, dan melukis; dan (5) aktivitas menulis
seperti mengarang, membuat makalah, dan membuat surat.
Menurut Arsyad (2003: 3) bahwa keberhasilan motivasi dan
peningkatan hasil pembelajaran diperngaruhi oleh beberapa faktor antara lain:
keberhasilan guru dalam mengelola kelas, metode pembelajaran, media
pembelajaran, sumber belajar dan siswa itu sendiri. Pendapat lain menurut
Sudjana (2014: 59) menjelaskan bahwa keberhasilan proses belajar mengajar
dapat dilihat dari efisiensi, keefektifan, relevansi, dan produktivitas proses
belajar mengajar dalam mencapai tujuan-tujuan pengajaran. Efisiensi berkaitan
dengan pengorbanan yang relatif kecil untuk memperoleh hasil yang optimal.
Keefektifan berkenaan dengan jalan, upaya, teknik, strategi yang digunakan
dalam mencapai tujuan secara tepat dan cepat. Relevansi berkenaan dengan
kesesuaian
antara
apa
yang
dilaksanakan
dengan
yang
seharusnya
dilaksanakan. Produktivitas berkenaan dengan pencapaian hasil, baik secara
kualitatif maupun kuantitatif.
Beberapa kriteria yang dapat digunakan dalam menilai proses belajar
mengajar antara lain: (1) konsistensi kegiatan belajar-mengajar dengan
kurikulum; (2) keterlaksanaan kegiatan belajar-mengajar oleh guru; (3)
keterlaksanaan kegiatan belajar-mengajar oleh siswa; (4) motivasi belajar
siswa; (5) keaktifan para siswa dalam kegiatan belajar; (6) interaksi gurusiswa; (7) kemampuan atau keterampilan guru dalam mengajar; (8) kualitas
hasil belajar yang dicapai oleh siswa, dan (9) perhatian siswa terhadap proses
pembelajaran.
Kriteria keberhasilan pembelajaran dibagi menjadi dua yaitu ditinjau
dari segi proses dan ditinjau dari segi hasil (Sudjana, 2013: 34). Kriteria dari
sudut proses menekankan kepada pengajaran sebagai suatu proses haruslah
merupakan interaksi dinamis sehingga siswa, sebagai subjek yang belajar
mampu mengembangkan potensinya melalui belajar sendiri dan tujuan yang
telah ditetapkan tercapai secara
efektif.
Kriteria dari segi hasil atau produk
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
12
menekankan kepada tingkat penguasaan tujuan oleh siswa baik dari segi
kualitas maupun kuantitas.
Menurut Sudjana (2013: 35) untuk mengukur pembelajaran dari segi
proses dapat dikaji melalui beberapa persoalan di bawah ini:
1) Apakah pengajaran direncanakan dan dipersiapkan terlebih dahulu oleh guru
dengan melibatkan siswa secara sistematik, ataukah suatu proses yang
bersifat otomatis dari segi guru disebabkan telah menjadi pekerjaan rutin?
Guru harus melibatkan siswa dalam pembelajaran, sehingga pembelajaran
dapat kreatif dan inovatif atau bukan hanya pengulangan semata.
2) Apakah kegiatan siswa belajar dimotivasi guru sehingga ia melakukan
kegiatan belajar dengan penuh kesadaran, kesungguhan dan tanpa paksaan
untuk memperoleh tingkat penguasaan pengetahuan, kemampuan serta sikap
yang dikehendaki dari pengajaran itu sendiri? Ini berarti bahwa kegiatan
belajar siswa haruslah merupakan suatu kebutuhan dirinya, bukan sekadar
memenuhi kehadiran di dalam kelas.
3) Apakah siswa menempuh beberapa kegiatan belajar sebagai akibat
penggunaan multi metode dan multi media yang dipakai guru, ataukah
terbatas kepada satu kegiatan belajar saja? Aneka ragam kegiatan belajar
akan sangat bermanfaat tercapainya hasil yang menyeluruh dan terpadu bagi
pribadi siswa. Siswa tidak hanya mengetahui fakta namun juga mengetahui
prosedur memperoleh fakta.
4) Apakah siswa memiliki kesempatan mengontrol dan menilai sendiri hasil
belajar yang dicapainya, ataukah ia tidak mengetahui apakah yang ia
lakukan benar atau salah. Proses pengajaran hendaknya menumbuhkan
kegiatan mandiri.
5) Apakah proses pengajaran dapat melibatkan semua siswa dalam kelas atau
hanya siswa tertentu yang aktif belajar. Proses pengajaran haruslah memberi
kesempatan pada setiap siswa melakukan kegiatan belajar sesuai dengan
kapasitasnya.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
13
6) Apakah suasana pengajaran
atau proses
belajar mengajar
cukup
menyenangkan dan merangsang siswa belajar ataukah suasana yang
mencemaskan dan menakutkan.
7) Apakah kelas memiliki sarana belajar yang cukup kaya sehingga menjadi
laboratorium belajar ataukah kelas yang hampa dan miskin sarana belajar
sehingga tidak memungkinkan siswa melakukan kegiatan belajar yang
optimal?
Menurut
Sudjana
(2013:
39)
beberapa
pertimbangan
dalam
menentukan keberhasilan pengajaran ditinjau dari hasil atau produk yang
dicapai siswa, antara lain:
1) Hasil belajar yang diperoleh siswa dari proses pengajaran nampak dalam
bentuk perubahan tingkah laku secara menyeluruh (kognitif, afektif dan
psikomotorik).
2) Hasil belajar yang dicapai siswa dari proses pengajaran dapat diaplikasikan
dalam kehidupan siswa terutama dalam pemecahan masalah yang dihadapi
siswa.
3) Hasil belajar tahan lama di ingat dan mengendap dalam pikirannya serta
cukup mempengaruhi perilaku dirinya.
4) Bahwa perubahan yang ditunjukan oleh siswa merupakan akibat dari proses
pengajaran.
Berdasarkan beberapa pendapat dan pandangan pakar dapat
disimpulkan keberhasilan sebuah pembelajaran dapat ditinjau dari segi proses
dan hasil pembelajaran. Pembelajaran yang baik harus memiliki kriteria
tertentu agar suatu pembelajaran dapat berhasil. Kualitas pembelajaran
dipengaruhi oleh guru dan siswa, karena dalam sebuah pembelajaran terdapat
interaksi antara guru dan siswa. Guru memegang tanggung jawab penting
dalam terwujudnya pembelajaran yang baik, namun keberhasilan siswa juga
bergantung pada pribadi siswa. Hasil belajar siswa dipengaruhi oleh dua faktor
utama yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang datang dari luar
diri siswa atau faktor lingkungan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
14
2. Hakikat Keterampilan Menulis Wacana Narasi
a. Pengertian Keterampilan Menulis
Terdapat beberapa pengertian mengenai keterampilan, salah satunya
menurut Chaplin (2006: 465) bahwa keterampilan atau biasa disebut juga skill,
diartikan sebagai suatu kemampuan tingkat tinggi yang memungkinkan
seseorang melakukan satu perbuatan motorik yang kompleks dengan lancar
disertai ketepatan. Pendapat lain menurut Muttaqin (2008: 1) mengemukakan
bahwa keterampilan adalah memiliki keahlian yang dapat bermanfaat bagi diri
sendiri dan orang lain, di samping itu keterampilan merupakan usaha untuk
memperoleh kompetensi dalam menghadapi permasalahan belajar.
Keterampilan dirancang sebagai proses komunikasi belajar untuk
mengubah perilaku siswa menjadi cekatan, cepat dan tepat dalam
menyelesaikan tugas pembelajaran di sekolah. Dalam pembelajaran, yang perlu
diperhatikan
guru
adalah penguasaan keterampilan siswa hendaknya
didasarkan pada pemahaman fakta, konsep dan prinsip, bukan hanya pada
hafalan semata-mata. Keterampilan hanya dapat diperoleh dan dikuasai dengan
jalan praktik dan banyak latihan (Tarigan, 2008: 1). Berdasarkan pendapatpendapat di atas dapat disimpulkan bahwa keterampilan adalah kemampuan
untuk melakukan sesuatu dengan prosedur yang benar dan menghasilkan
penyelesaian masalah, serta dapat diperoleh dan dikuasai dengan jalan praktik
dan banyak latihan.
Berikutnya akan dijelaskan mengenai pengertian menulis dan tahaptahap dalam menulis. Menulis merupakan salah satu keterampilan dalam
berbahasa dari rangkaian keterampilan berbahasa lainnya yaitu: keterampilan
menyimak, keterampilan berbicara, keterampilan membaca, dan keterampilan
menulis. Menulis sebagai salah satu aspek keterampilan berbahasa yang
diajarkan di sekolah agar siswa mampu kreatif untuk mengungkapkan ide dan
gagasannya secara jelas dalam bentuk tulisan. Menulis adalah sebagai bentuk
komunikasi tidak langsung yang bermediakan tulisan. Terkait dengan
pengertian menulis, Tarigan (dalam
commitAndayani,
to user 2009: 28) berpendapat bahwa
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
15
“Menulis atau mengarang adalah proses menggambarkan suatu bahasa
sehingga pesan yang disampaikan penulis dapat dipahami pembaca”. Selain
itu, Gie (dalam Andayani, 2009: 28) menyatakan bahwa “Menulis arti
pertamanya ialah pembuatan huruf, angka, nama, sesuatu tanda kebahasaan apa
pun dengan sesuatu alat tulis pada halaman tertentu. Mengarang adalah
segenap
rangkaian
kegiatan
seorang
mengungkapkan
gagasan
dan
menyampaikannya melalui bahasa tulis kepada masyarakat pembaca untuk
dipahami.”
Pengertian lain mengenai menulis diungkapkan oleh Nurgiyantoro
(dalam Andayani, 2009: 28) bahwa menulis merupakan sebagai aktivitas
mengemukakan gagasan melalui bahasa. Aktivitas pertama menekankan unsur
bahasa, sedangkan yang kedua menekankan gagasan. Dalam tulisan, gagasan
cemerlang tersirat dalam tulisan yang mampu memikat pembaca dan pada
akhirnya membuat pembaca melakukan perubahan-perubahan besar yang
berarti dalam hidupnya. Pendapat lain oleh Hernowo (2002: 212) menegaskan
bahwa menulis merupakan aktivitas intelektual praktis yang dapat dilakukan
oleh siapa saja yang amat berguna untuk mengukur sudah seberapa tinggi
pertumbuhan ruhani kedua belah otak, baik otak kanan maupun otak kiri.
Untuk melakukan kegiatan menulis terdapat komponen penting dalam
tulisan. Terkait dengan hal itu, Creme & Lea (2008: 14) berpendapat bahwa
menulis terdiri atas kata-kata dan kata-kata ini diletakkan bersama-sama dalam
susunan tertentu untuk membuat kalimat kemudian digabungkan bersama-sama
menjadi paragraf. Selain itu, pada Oxford Learner’s Pocket Dictionary (1995:
479), “Write is mark letters or numbers on a surface, esp. with a pen or
pencil”. Kalimat tersebut dapat diartikan bahwa menulis adalah membuat huruf
atau simbol-simbol di atas kertas dengan menggunakan bolpoin atau pensil.
Pendapat lain dari Semi (1990: 8) menyatakan bahwa menulis
merupakan upaya memindahkan bahasa lisan ke dalam wujud tulisan, dengan
menggunakan lambang-lambang bahasa. Terkait dengan pengertian tersebut,
Hindriyati (2011: 24) berpendapat
commit tobahwa
user kemampuan menulis adalah
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
16
kemampuan untuk mengemukakan gagasan melalui media bahasa berupa
tulisan. Ia menambahkan bahwa menulis juga bisa diartikan sebagai suatu
aktivitas aktif produktif yang dilakukan dengan mengorganisasikan gagasan
secara sistematik dan mengungkapkannya secara tersurat.
Dikemukakan oleh Andayani (2009: 29) bahwa sebuah tulisan dapat
dikatakan berhasil apabila tulisan tersebut dapat dipahami dengan mudah oleh
pembaca. Segala ide dan pesan yang disampaikan dipahami secara baik oleh
pembacanya, tafsiran pembaca sama dengan maksud penulis. Untuk
menghasilkan tulisan yang baik, seorang penulis memiliki tiga keterampilan
dasar yang meliputi: (1) keterampilan berbahasa adalah keterampilan
menggunakan ejaan, tanda baca, pembentukan kata, pemilihan kata serta
penggunaan kalimat yang efektif; (2) keterampilan penyajian adalah
keterampilan pembentukan dan pengembangan paragraf, keterampilan merinci
pokok bahasan, menyusun pokok bahasan dan sub pokok bahasan ke dalam
susunan yang sistematis; dan (3) keterampilan perwajahan merupakan
keterampilan pengaturan tipografi dan pemanfaatan sarana tulis secara efektif
dan efisien, tipe huruf, penjilidan, penyusunan tabel dan lain-lain.
Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, peneliti mengambil simpulan
bahwa menulis adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan sebuah pikiran,
ide dan gagasan ke dalam sebuah bahasa tulis dengan memperhatikan aspekaspek kebahasaan yang baik dan benar sehingga dapat dipahami oleh pembaca.
Aktivitas menuangkan ide dan gagasan tersebut dapat dilakukan
dengan melalui tahap-tahap penulisan. Untuk mempermudah menulis harus
memperhatikan
tahapan-tahapan
menulis,
antara
lain:
(1)
tahapan
persiapan/prapenulisan, tahap ini meliputi menyiapkan diri, mengumpulkan
informasi, merumuskan masalah, menentukan fokus, mengolah informasi,
menarik tafsiran dan refleksi terhadap realitas yang dihadapinya, berdiskusi,
membaca dan mengamati; (2) tahap inkubasi adalah ketika pembelajar
memproses
informasi
yang
dimilikinya
sedemikian
rupa
sehingga
mengantarkannya pada ditemukannya
masalah atau jalan keluar
commit topemecahan
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
17
yang dicarinya; (3) tahap inspirasi yaitu gagasan seakan-akan tiba dan
berloncatan pada pikiran kita; dan (4) tahap verifikasi, pada tahap ini, apa yang
dituliskan akan diperiksa kembali, diseleksi dan disusun sesuai fokus tulisan.
Untuk menghasilkan tulisan yang baik, penulis harus memperhatikan proses
menulis. Menurut Akhadiah dkk. (1999: 11) proses menulis ada tujuh langkah,
antara lain: (1) pemilihan dan penetapan topik; (2) pengumpulan informasi dan
data; (3) penetapan tujuan; (4) perancangan tulisan; (5) penulisan; (6)
penyuntingan atau revisi; dan (7) penulisan naskah jadi.
Dari tahapan tersebut, terlihat bahwa menulis merupakan suatu proses
yang tidak bisa diperoleh secara instan. Seorang penulis harus melalui berbagai
tahap dan harus memiliki kemampuan yang baik dalam kebahasaan dan non
kebahasaan untuk membuat tulisan yang berkualitas.
Dalam menulis penulis tidak hanya asal menulis tetapi menulis juga
mempunyai tujuan, tujuan menulis menurut Hugo Hartig (dalam Tarigan,
2008: 25-26) adalah sebagai berikut : (1) Tujuan penugasan (assign purpose)
sebenarnya tidak mempunyai tujuan sama sekali. Penulis menulis sesuatu
karena ditugaskan, bukan atas kemauan sendiri (misalnya para siswa yang
diberi tugas merangkum buku; sekretaris yang ditugaskan membuat laporan,
notulen rapat); (2) Tujuan altruistik (altruistic purpose) yaitu penulis bertujuan
untuk menyenangkan pembaca, menghindarkan kedudukan para pembaca,
ingin menolong para pembaca, menghargai perasaan pembaca, dan
penalarannya, ingin membuat hidup para pembaca lebih mudah dan lebih
menyenangkan dengan karyanya itu. Seseorang tidak akan dapat menulis
secara tepat guna kalau dia percaya, baik secara sadar maupun tidak sadar
bahwa pembaca akan menikamati karyanya itu adalah “lawan” atau “musuh”.
Tujuan alturistik adalah kunci keterbacaan suatu tulisan; (3) Tujuan persuasif
(persuasive purpose) adalah tulisan yang bertujuan meyakinkan para pembaca
akan kebenaran gagasan yang diutarakan; (4) Tujuan informasi, tujuan
penerangan (informational purpose) adalah tulisan yang bertujuan memberi
informasi atau keterangan kepada
para
(5) Tujuan pernyataan diri
commit
to pembaca;
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
18
(self-expressive purpose) adalah tulisan yang bertujuan memperkenalkan atau
menyatakan diri sang pengarang kepada para pembaca; (6) Tujuan kreatif
(creative purpose) yaitu tujuan yang erat berhubungan dengan tujuan
penghayatan diri. Tetapi “keinginan kreatif” di sini melebihi pernyataan diri,
dan melibatkan dirinya dengan keinginan mencapai normal artistik, atau seni
yang ideal, seni idaman. Tulisan yang bertujuan mencapai nilai-nilai artistik,
nilai-nilai kesenian; dan (7) Tujuan pemecahan masalah (problem solving
purpose), tujuan menulis adalah memproyeksikan sesuatu mengenai diri
seseorang. Tulisan mengandung nada yang serasi dengan maksud dan
tujuannya.
Menulis tidak hanya mengharuskan memilih suatu pokok pembicaraan
yang cocok dan sesuai, tetapi juga harus menentukan siapa yang akan
membaca tulisan tersebut serta apa maksud dan tujuannya. Secara garis besar
tujuan menulis adalah untuk memberitahukan atau mengajar, meyakinkan atau
mendesak,
menghibur
atau
menyenangkan,
dan
mengatakan
atau
mengekspresikan perasaan dan emosi yang berapi-api (Tarigan, 2008: 24-25).
Dari pendapat tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan menulis
untuk mengungkapkan informasi yang tersedia dengan mengutamakan kaidah
kebahasaan (penggunaan bahasa yang tertib dan teratur) sehingga tulisan
menjadi menarik dan dapat dipahami oleh orang lain yang membacanya.
Selain tujuan menulis, kita juga harus mengetahui manfaat dari
menulis. Manfaat menulis tergantung dari apa saja tujuan menulis, apa target
penulis yang ingin dicapai, serta sejauh mana usaha yang telah dilakukan
penulis untuk menyelesaikan tulisannya. Menurut Suparno (dalam Jauhari,
2013:15) manfaat menulis antara lain untuk; (1) peningkatan kecerdasan, (2)
pengembangan daya inisiatif dan kreativitas, (3) penumbuhan keberanian, dan
(4) pendorong kemauan dan kemampuan mengumpulkan informasi.
Menurut pakar lain, Harjito dan Umaya (2009:20) bahwa manfaat
yang dapat dipetik dari kegiatan menulis adalah sebagai berikut : (1) sebagai
sarana untuk mengungkapkan
diri; to
(2)user
sebagai sarana untuk pemahaman
commit
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
19
terhadap suatu hal; (3) membantu mengembangkan kepuasan pribadi,
kebanggaan, dan perasaan harga diri; (4) meningkatkan kesadaran dan
penyerapan terhadap keadaan lingkungan; (5) memunculkan keterlibatan
secara bersemangat; dan (6) mengembangkan suatu pemahaman mengenai
kemampuan dalam penggunaan bahasa.
Akhadiah, dkk. (1998:1-2) mengemukakan delapan manfaat menulis,
yaitu (1) dengan menulis, kita dapat lebih mengenali kemampuan dan potensi
diri kita, (2) melalui kegiatan menulis kita dapat mengembangkan berbagai
gagasan, (3) kegiatan menulis memaksa kita lebih banyak menyerap, mencari
serta menguasai informasi sehubungan dengan topik yang kita tulis, (4)
menulis
berarti
mengorganisasikan
gagasan
secara
sistematik
serta
mengungkapkannya secara tersurat, (5) melalui tulisan kita akan dapat
meninjau serta menilai gagasan kita sendiri secara lebih objektif, (6) dengan
menuliskan di atas kertas kita akan lebih mudah memecahkan permasalahan,
yaitu dengan menganalisisnya secara tersurat, dalam konteks yang lebih
konkret, (7) tugas menulis mengenai suatu topik mendorong kita belajar secara
aktif, dan (8) kegiatan menulis yang terencana akan membiasakan kita berpikir
serta berbahasa tertib dan teratur.
Dari pendapat beberapa ahli dapat disimpulkan bahwa menulis
mempunyai manfaat yang besar dengan menulis dapat memperluas kosakata
yang belum diketahui, dapat juga melancarkan kemampuan menulis baik
kalimat, paragraf, maupun wacana, dan dapat mengembangkan gaya penulisan
sendiri.
b. Pengertian Wacana Narasi
Pertama akan dibahas mengenai pengertian wacana. Menurut Alwi,
(200: 41) bahwa wacana adalah rentetan kalimat yang berkaitan sehingga
terbentuklah makna yang serasi di antara kalimat-kalimat itu. Menurut
Mulyana (2005: 1), wacana merupakan unsur kebahasaan yang relatif paling
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
20
kompleks dan paling lengkap. Satuan pendukung kebahasaannya meliputi
fonem, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, hingga karangan utuh.
Berikut pendapapat lain mengenai pegertian wacana. Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (2008), wacana merupakan (1) komunikasi verbal,
percakapan; (2) keseluruhan tutur yang merupakan suatu kesatuan; (3) satuan
bahasa terlengkap yang direalisasikan dalam bentuk karangan atau laporan
utuh, seperti novel, buku, artikel, pidato, atau khotbah; (4) kemampuan atau
prosedur berpikir secara sistematis; kemampuan atau proses memberikan
pertimbangan berdasarkan akal sehat; dan (5) pertukaran ide secara verbal.
Pendapat lain Chaer (2007: 267) bahwa sebagai satuan bahasa yang lengkap,
maka dalam wacana itu berarti terdapat konsep, gagasan, pikiran, atau ide yang
utuh, yang bisa dipahami oleh pembaca (dalam wacana tulis) atau pendengar
(dalam wacana lisan), tanpa keraguan apapun.
Berdasarakan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa
wacana adalah satuan bahasa terlengkap dalam bentuk karangan utuh sehingga
ide atau gagasan secara utuh dapat dipahami oleh pembaca. John Langan dalam
College Writing Skills with Readings (dalam Rohmadi dan Nasucha, 2010: 2)
mengatakan bahwa struktur umum wacana yang berupa esai adalah
introduction, body, and conclusion. Struktur wacana tulis meliputi (1)
pembukaan yang disebut paragraf pembuka, (2) isi yang disebut paragraf
penghubung, (3) kesimpulan yang berisi paragraf penutup.
Setelah mengetahui pengertian wacana di atas, kemudian akan dibahas
mengenai pengertian narasi. Istilah narasi berasal dari kata narration (Bahasa
Inggris) yang berarti “cerita” dan narrative yang berarti “yang menceritakan”
(Ahmadi, 1990:122). Paragraf narasi bertujuan mengisahkan atau menceritakan
(Rohmadi dan Nasucha, 2010: 49). Pendapat lain menurut Suparno dan Yunus
(2007:4.54) bahwa narasi adalah karangan yang menyajikan serangkaian
peristiwa. Tujuan utama narasi adalah untuk menguraikan suatu peristiwa atau
serangkaian peristiwa yang saling berhubungan sehingga maknanya muncul
atau berkembang di dalamnya. commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
21
Menurut pakar lain, Keraf (2007: 136) bahwa narasi adalah perbuatan
atau tindakan yang terjadi dalam suatu rangkaian waktu. Apa yang terjadi tidak
lain daripada tindak tanduk yang dilakukan oleh orang-orang atau tokoh-tokoh
dalam suatu rangkaian waktu. Menurut Keraf (2007: 136), narasi dapat dibatasi
sebagai suatu bentuk wacana yang sasaran utamanya adalah tindak tanduk yang
dijalin dan dirangkaikan menjadi sebuah peristiwa yang terjadi dalam suatu
kesatuan waktu. Atau dapat dirumuskan dengan cara lain: narasi adalah suatu
bentuk wacana yang berusaha menggambarkan dengan sejelas-jelasnya kepada
pembaca suatu peristiwa yang telah terjadi.
Menurut Murtono (2010: 36), narasi adalah jenis penuturan yang
bentuk kisah dengan menjadikan rangkaian peristiwa atau kejadian dalam
jangka waktu tertentu. Waktu tersebut dapat berupa: beberapa detik, beberapa
menit, beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan, bahkan beberapa tahun.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkkan bahwa wacana narasi adalah
sebuah karangan utuh yang berisi mengenai suatu tindakan yang terjadi dalam
suatu rangkaian waktu.
Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan mengenai pengertian
wacana dan narasi. Wacana narasi adalah suatu rentetan kalimat yang berisi
suatu peristiwa dalam suatu rangkaian waktu. Unsur yang biasa ada dalam
wacana narasi adalah unsur waktu, pelaku dan peristiwa. Wacana narasi
merupakan salah satu jenis wacana yang didsasarkan atas sudut pandang tujuan
berkomunikasi.
c. Ciri-ciri Wacana Narasi
Menurut Keraf (2007:136), ciri-ciri narasi, antara lain: (1)
menonjolkan unsur perbuatan atau tindakan; dan (2) dirangkai dalam urutan
waktu. Narasi dibangun oleh sebuah alur cerita. Alur ini tidak akan menarik
jika tidak ada konfiks. Selain alur cerita, konfiks dan susunan kronologis, ciriciri narasi lebih lengkap lagi diungkapkan oleh Semi (2003: 31) sebagai
berikut.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
22
1) Berupa cerita tentang peristiwa atau pengalaman penulis.
2) Kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benarbenar terjadi, dapat berupa semata-mata imajinasi atau gabungan
keduanya.
3) Berdasarkan konfiks, karena tanpa konfiks biasanya narasi tidak menarik.
4) Memiliki nilai estetika.
5) Menekankan susunan secara kronologis.
Ciri yang dikemukakan Keraf memiliki persamaan dengan Semi,
bahwa narasi memiliki ciri berisi suatu cerita, menekankan susunan kronologis
atau dari waktu ke waktu dan memiliki konfiks. Perbedaannya, Keraf lebih
memilih ciri yang menonjolkan pelaku.
d. Struktur Narasi
Struktur narasi dapat dilihat dari komponen-komponen yang
membentuknya, yaitu alur atau plot, perbuatan, penokohan, latar, dan sudut
pandang.
1) Struktur Narasi ditinjau dari Alur atau Plot
Aristoteles (dalam Keraf, 2007: 146) mengemukakan bahwa
sebuah tragedi dibagi dalam tiga bagian yang utama, yaitu bagian
pendahuluan, bagian perkembangan dan bagian penyelesaian. Ketiga bagian
tersebut selalu dianggap sebagi pola kanonik struktur sebuah narasi.
Pendapat lain menurut Keraf (2000: 147) bahwa narasi harus diberi batasan
yang lebih jelas, yaitu rangkaian tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang
penting dalam sebuah strukur yang diikat oleh waktu. Struktur tindakan
yang dimaksud adalah struktur yang mengandung tindakan-tindakan yang
mempunyai makna, bukan struktur yang hampa. Struktur narasi berdasarkan
bagian-bagian alur yaitu bagian pendahuluan, perkembangan dan peleraian.
Alur atau plot merupakan kerangka dasar yang sangat penting
dalam kisah. Alur mengatur bagaimana tindakan-tindakan harus bertalian
satu sama lain, bagaimanacommit
suatu to
insiden
user mempunyai hubungan dengan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
23
insiden yang lain, bagaimana tokoh-tokoh harus digambarkan dan berperan
dalam tindakan-tindakan itu, dan bagaimana situasi dan perasaan karakter
(tokoh) yang terlibat dalam tindakan-tindakan itu yang terikat dalam suatu
kesatuan waktu. Dasar dalam sebuah plot adalah tindak-tanduk, karakter
(tokoh), pikiran atau suasana hati, latar (setting), waktu dan kiasan makna
(khusunya narasi fiktif). Alur juga mencakup kerangka utama dari sebuah
kisah, merupakan rangkaian pola tindak tanduk yang berusaha memecahkan
konflik yang terdapat dalam narasi itu, yang berusaha memulihkan situasi ke
dalam situasi yang seimbang dan harmonis. Struktur narasi ditinjau
berdasarkan alur, antara lain sebagai berikut.
a) Bagian Pendahuluan
Perbuatan lahir dari sebuah situasi. Situasi itu juga harus
mengandung unsur-unsur yang mudah meledak, setiap situasi dapat
menghasilkan suatu perubahan yang dapat membawa akibat atau
perkembangan lebih lanjut dimasa depan.
Dalam menyajikan narasi yang menyangkut fakta, tugas pertama
seorang penulis antara lain sebagai berikut.
(1) Menganalisa materi untuk memperoleh kepastian dan keyakinan
mengenai unsur-unsur mana yang penting, unsur-unsur mana yang
mempunyai
daya
ledak,
agar
pembaca
dapat
memahami
perkembangan keadaan yang selanjutnya.
(2) Menyajikan materi dalam suatu rangakaian yang menarik, sehingga
pembaca dapat menangkap dengan mudah relasi logis antara
bermacam-macam unsur itu, serta mampu menangkap hakikat dari
kegawatan situasi itu.
Permasalahan yang dihadapi pengarang narasi imajinatif (fiktif)
sebenarnya sama sama dengan narasi faktual. Perbedaannya hanyalah
menyangkut persoalan, bahwa narasi fiktif harus menciptakan sendiri
materi-materinya. Bagian pendahuluan yang menyajikan situasi dasar,
memungkinkan pembacacommit
memahami
adegan-adegan selanjutnya. Bagian
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
24
pendahuluan menentukan daya tarik dan selera pembaca terhadap bagianbagian berikutnya, maka penulis harus menggarapnya dengan sungguhsungguh secara seni. Selain itu, bagian pendahuluan dapat juga berbentuk
suatu episode, suatu fragmen dari kejadian.
b) Bagian Perkembangan
Bagian ini merupakan rangkaian dari tahap-tahap yang membentuk
seluruh proses narasi, mencakup adegan-adegan yang berusaha
meningkatkan ketegangan, atau menggawatkan komplikasi
yang
berkembang dari situasi asli. Bagian perkembangan ini dapat dibagi lagi
atas beberapa tahap yang lebih kecil, tergantung dari sifat dan besarnya
narasi. Pada permulaan perkembangan tentu saja terjadi pertikaian
sebagai akibat logis dari situasi awal yang mengandung faktor-faktor
peledak. Dari pertikaian timbul penggawatan yang menyiapkan jalan
untuk mencapai puncak dari seluruh narasi.
c) Bagian Peleraian atau Penutup
Akhir suatu perbuatan bukan hanya menjadi titik yang menjadi
pertanda berakhirnya tindak-tanduk. Lebih tepat kalau dikatakan, bahwa
akhir dari perbuatan atau tindakan itu merupakan titik dimana tenagatenaga atau kekuatan-kekuatan yang diemban dalam situasi yang tercipta
sejak semula membersit keluar dan menemukan pemecahannya. Akhir
dari suatu tindakan yang berbentuk sederhana adalah kesadaran baru
yang timbul pada tokoh-tokoh yang terlibat, baik langsung maupun tidak
langsung dalam kisah. Bagian akhir cerita sebagai titik di mana perbuatan
tindak-tanduk dalam seluruh narasi itu memperoleh maknanya yang bulat
dan penuh. Bagian ini merupakan titik dimana para pembaca terangsang
untuk melihat seluruh makna kisah. Bagian ini sekaligus merupkan titik
di mana struktur dan makna memperoleh fungsinya sebulat-bulatnya.
Nama teknis bagian terakhir dari suatu narasi disebut juga peleraian atau
denoument.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
25
2) Struktur Narasi ditinjau berdasarkan Perbuatan
Struktur perbuatan terdiri atas sebab-akibat, karakter, waktu, makna
dan konflik.
a) Perbuatan dan Motivasi
Di samping tujuan, unsur lain yang perlu diperhatikan pada sebuah
narasi adalah motivasi. Motivasi adalah suatu penjelasan secara implisit
mengapa tokoh-tokoh dalam narasi melakukan hal-hal seperti yang
digambarkan tadi dalam pembukaanya. Motivasi dalam wacana narasi
berusaha menjawab pertanyaan „mengapa?‟, alasan tersebut dicari dalam
jiwa seseorang. Motivasi merupakan suatu tenaga atau kekuatan yang
berada dalam diri seseorang yang mendorongnya untuk melakukan
sesuatu, dapat berupa sebuah gagasan, emosi, atau suatu suasana yang
mendorong seseorang melakukan tindakan.
b) Perbuatan dan Kausalitas
Kausalitas dalam wacana narasi merupakan alasan langsung
mengapa suatu tindakan berikutnya terjadi. Kausalitas berusaha
menjawab pertanyaan „mengapa?‟, namun alasan yang dikemukakan
adalah sebuah alasan yang dapat diobservasi, yang dapat diketahui secara
eksplisit. Kausalitas selalu muncul dalam suatu rangkaian yang logis
yang dapat dikontrol oleh akal sehat dan fakta-fakta.
Dalam kausalitas selalu dikatakan bahwa suatu peristiwa
mengakibatkan peristiwa lain. Yang menjadi dasar semua tindak-tanduk
adalah motif-motif kemanuasiaan dan karakter-karakter kemanusiaan
yang tercakup dalam peristiwa itu. Seorang tokoh hanya akan mampu
melaksanakan suatu motif tertentu, jika motif itu sejalan dengan
karakternya.
c) Karakter dan Karakterisasi
Karakter adalah tokoh-tokoh dalam sebuah narasi dan karakterisasi
adalah cara seorang penulis kisah menggambarkan tokoh-tokohnya.
Perwatakan (karakterisasi)
dalam
pengisahan dapat diperoleh dengan
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
26
usaha memberi gambaran mengenai tindak-tanduk dan ucapan-ucapan
para tokohnya (pendukung karakter) sejalan tidaknya kata dan perbuatan.
Motivasi para tokoh itu dapat dipercaya atau tidak diukur melalui tindaktanduk, ucapan, kebiasaan, dan sebagainya. Proses menggambarkan
tokoh-tokoh melalui karakter-karakternya itu disebut karakterisasi.
d) Konflik
Konflik yang melibatkan manusia dan dengan demikian menjadi
faktor utama pertimbangan untuk mengangkat permasalahan itu dalam
sebuah narasi, dapat dibagi atas tiga macam, yaitu: (1) konflik melawan
alam; (2) konflik antarmanusia; dan (3) konflik batin.
e) Waktu
Gerak laju suatu peristiwa selalu dihitung dari suatu titik waktu
tertentu menuju suatu titik waktu yang lain. Narasi menyajikan suatu unit
waktu, yaitu suatu kesatuan yang lengkap dalam dirinya. Suatu unit
waktu adalah suatu rentangan di mana proses terjadi secara penuh.
3) Makna dalam sebuah Narasi
Sebuah narasi disusun bukan dari suatu rangkaian perbuatan
semata-mata, tetapi suatu rangkaian perbuatan yang memiliki makna secara
keseluruhan.
a) Perhatian
Kesatuan cerita atau narasi digalang oleh semacam pusat perhatian
(human interest) terhadap peristiwa yang terjadi, oleh suatu alur kisah
atau plot. Pusat perhatian mempunyai pertalian yang erat dengan sudut
pandangan, terutama dengan sudut pandangan terbatas (limited point of
view) atau titik pandangan interpersonal. Jika narasi disajikan melalui
penglihatan satu tokoh utama, maka rangkaian perbutan harus diarahkan
untuk menjawab pertanyaan, “Bagaimana menghadapi persoalan yang
timbul dari situasi ini?”. Jika pengisah adalah sekaligus pengamat, maka
pusat perhatiannya akan
diarahkan
commit
to user pada persoalan “Bagaimana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
27
berlangsungnya suatu peristiwa yang menyangkut seorang tokoh
narasi?”. Pusat perhatian pengamat akan diarahkan pada usaha untuk
menguraikan secara jelas dan terperinci semua peristiwa yang dialami
seorang tokoh. Pusat perhatian ditentukan oleh konflik yang perlu
dijelaskan permasalahannya.
b) Selektivitas
Sebuah narasi tidak akan pernah menyajikan semua materi secara
tuntas. Narasi memilih bagian-bagian yang diperlukan saja berdasarkan
suatu tujuan yang ingin dicapainya. Seleksi merupakan sebuah abstraksi
dari seluruh kejadian, merupakan kebenaran yang tertinggi bagi sebuah
tulisan naratif. Seleksi memegang peranan penting, karena terdapat fakta
yang harus ditinggalkan karena kurang tempat dan banyak pula harus
dibuang karena kurang relevan. Fakta yang dibuang tidak boleh
menimbulkan distorsi, tetapi demi mencapai makna untuk kepentingan
manusia itu sendiri.
c) Relevansi
Fakta yang sudah dipilih harus bersifat relevan. Fakta tersebut
harus mempunyai pertalian dengan narasi yang digarap. Antara relevansi
yang satu dengan relevansi yang lain ada perbedaan.
(1) Relevansi tema, adalah relevansi yang menyangkut perhatian utama.
Atau menyangkut narasi secara keseluruhan. Perbuatan karakter
yang mendukung perbuatan, konflik yang terjadi antara tokoh yang
satu dengan tokoh yang lain, latar
yang menggambarkan
pemandangan yang ada relevansi dengan tindakan atau perbuatan
yang berlangsung, semuanya dimasukkan dalam relevansi tema.
(2) Relevansi langsung, adalah relevansi yang mempunyai persyaratan
bahwa narasi harus merupakan presentasi langsung dari peristiwaperistiwa. Sebab itu, harus diadakan seleksi atas perincian-perincian
yang memungkinkan kesegaran dan vitalitas, seleksi atas gerak-gerik
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
28
yang khas, dan seleksi atas kata-kata yang khas dan spesifik yang
dapat mengarahkan pembaca.
d) Makna Narasi
Rangkaian aksi yang menandai sebuah narasi bukan hanya
merupakan suatu rangkain waktu saja, tetapi juga merupakan rangkaian
tindakan yang terdiri dari tahap-tahap yang penting dalam sebuah
struktur. Narasi diperlukan untuk menyiapkan pembaca untuk merasakan
kepenuhan makna sebuah proses, membuat pembaca melihat mendengar,
merasakan, dan memahami peristiwa itu sebagai suatu kesatuan.
Kebanyakan narasi tidak menyatakan maknanya secara eksplisit, tetapi
selalu berusaha untuk menyembunyikannya.
e) Makna dan Interpretasi Makna
Makna merupakan hasil dari sebuah interpretasi. Tiap pengarang
dihadapkan kepada kenyataan, bahwa ia harus meyakinkan pembaca
mengenai makna dan interpretasi yang ingin disampaikannya.
4) Sudut Pandangan
Sudut pandangan dalam sebuah narasi menyatakan bagaimana fungsi
seorang pengisah (narator) dalam sebuah narasi, apakah ia mengambil bagian
langsung dalam seluruh rangkaian kejadian (yaitu sebagai participant), atau
sebagai pengamat (observer) terhadap objek dari seluruh aksi atau tindaktanduk dalam narasi. Bukan hanya hubungan antara pengisah dan tindaktanduk yang dipersoalkan, tetapi juga hubungan dengan seluruh suasana literer:
orang yang diajak bicara, sirkumstansi tempat pembicaraan berlangsung, nada
dan diksi yang dipakai. Sudut pandangan yaitu cara seorang pengarang melihat
seluruh tindak-tanduk dalam suatu narasi. Sudut pandangan dibagi atas dua
pola utama, antara lain:
a) Sudut Pandangan Orang Pertama
Merupakan sudut pandangan yang berisi mengenai kisah suatu
pengalaman yang dialami commit
sendirito oleh
user pengarangnya atau naratornya.
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
29
Disebut juga sebagai sudut pandangan terbatas (limited point of view)
karena penulis secara sadar membatasi diri pada apa dilihat atau yang
dialami sendiri sebagai pengisah atau narator.
(1) Narator – Tokoh Utama
Narator menceritakan perbuatan atau tindak-tanduk yang melibatkan
dirinya sendiri sebagai partisipan utama dari seluruh narasi.
(2) Narator – Pengamat
Narator terlibat dalam seluruh tindakan tetapi hanya berperan sebagai
pengamat (observer). Ia tidak memperngaruhi seluruh proses kejadian
atau tindak-tanduk tokoh-tokoh dalam narasi.
(3) Narator - Pengamat Langsung
Narator mengambil bagian langsung dalam seluruh rangkaian tindakan
(sebagai partisipan) dan turut menentukan hasilnya, tetapi ia tidak
menjadi tokoh utama.
b) Sudut Pandangan Orang Ketiga
Pengarang tidak tampil sebagai pengisah, untuk itu ia menghadirkan
seorang narator yang tak berbadan, yang menyaksikan berlangungnya gerak
dan tindak-tanduk dalam seluruh narasi. Sudut pandangan orang ketiga
dibagi menjadi tiga, antara lain sebagai berikut.
(1) Sudut pandangan panormik atau serba tahu, pengarang berusaha
melaporkan semua segi dari suatu peristiwa atau suatu rangkaian
tindak-tanduk. Ia berusaha langsung menuju ke inti dari semua karakter
yang terlibat dalam seluruh gerak kegiatan. Pandangannya menyapu
seluruh ruangan, ia melaporkan apa saja yang menarik perhatian atau
apa saja yang dianggap relevan.
(2) Sudut pandangan terarah, pengarang memusatkan perhatiannya hanya
pada satu karakter saja yang mempunyai pertalian dengan proses atau
tindak-tanduk yang dikisahkan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
30
(3) Sudut pandangan campuran, yaitu percampuran antara dua sudut
pandangan atau lebih, dan dipergunakan sesuai dengan keperluan
sesaat.
e. Langkah-langkah Menulis Narasi
Menurut Murtono (2010: 36), narasi atau cerita adalah jenis penuturan
yang bentuk kisah dengan menjadikan rangkaian peristiwa atau kejadian dalam
jangka waktu tertentu. Waktu tersebut dapat berupa: beberapa detik, beberapa
menit, beberapa jam, beberapa hari, beberapa bulan,, bahkan beberapa tahun.
Tulisan narasi sering ditandai dengan adanya kata atau ucapan seperti:
sebelum, sesudah, ketika, dalam beberapa hari, pada waktu itu, dan sebagainya.
Di samping itu juga ditandai dengan adanya kegiatan konkret atau nyata, bukan
gagasan, rencana, motivasi, asumsi, alasan dan sebagainya.
Langkah-langkah praktis dalam mengembangkan menulis narasi
menurut Suparno dan Yunus (2007: 450), yaitu: (1) menentukan tema dan
amanat yang akan disampaikan; (2) menetapkan sasaran pembaca, apakah
orang dewasa, remaja atau anak-anak; (3) merancang peristiwa-peristiwa
utama yang akan ditampilkan dalam bentuk skema alur; (4) menyusun
peristiwa-peristiwa yang cocok untuk bagian awal, perkembangan dan akhir
cerita; (5) merancang peristiwa-peristiwa utama ke dalam detail-detail
peristiwa sebagai pendukung cerita; dan (6) menyusun tokoh dan perwatakan,
latar dan sudut pandang.
Berdasar pendapat para pakar di atas dapat disimpulkan bahwa
menulis wacana narasi merupakan kegiatan menuangkan ide/gagasan dalam
sebuah rentetan kalimatg yang berisi sebuah peristiwa dalam sebuah rangkaian
waktu. Wacana narasi berisi sebuah peistiwa yang terjadi secara nyata atau
fakta, namun juga dapat berisi sebuah imajinatif atau karangan penulis. Untuk
menghasilkan sebuah tulisan wacana narasi yang baik, penulis harus
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
31
memperhatikan langkah-langkah menulis, struktur dan unsur-unsur wacana
narasi.
3. Hakikat Model Problem Based Learning
a. Pengertian Problem Based Learning
Problem Based Learning pertama kali diperkenalkan pada awal tahun
1970-an di Universitas Mc Master Fakultas Kedokteran Kanada, sebagai salah
satu upaya menemukan diagnosis dengan membuat pertanyaan-pertanyaan
sesuai situasi yang ada. Ibrahim dan Nur (2002: 2) mengemukakan bahwa
“Pembelajaran
berbasis
masalah
merupakan
salah
satu
pendekatan
pembelajaran yang digunakan untuk merangsang berpikir tingkat tinggi siswa
dalam situasi yang berorientasi pada masalah dunia nyata, termasuk di
dalamnya belajar bagaimana belajar.” Menurut Moffit (dalam Rusman, 2010:
242) bahwa “Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks
bagi siswa untuk belajar tentang berpikir kritis dan keterampilan pemecahan
masalah serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang esensi dari
materi pelajaran.
Mengutip pendapat Colliver (2000 – Volume 75 – Issue 3 – p 259266) dalam jurnal internasional yang berjudul Effectiveness of Problem Based
Learning Curricula: Research and Theory bahwa “Tinjauan pustaka tidak
menunjukan bukti yang meyakinkan bahwa PBL meningkatkan pengetahuan
dan kinerja klinis, setidaknya bukan besarnya yang akan diharapkan diberikan
sumber
daya
yang
diperlukan
untuk
kurikulum
PBL.
Hasilnya
dipertimbangkan dalam terang teori pendidikan yang mendasari PBL dan
penelitian dasar. Peneliti menyimpulkan bahwa hubungan antara teori
pendidikan dan penelitian (baik dasar dan terapan) yang bebas adalah terbaik.”
Menurut Tan (dalam Rusman, 2010: 232), pembelajaran berbasis
masalah (Problem Based Learning) merupakan penggunaan berbagai macam
kecerdasan yang diperlukan untuk melakukan konfrontasi terhadap tantangan
dunia nyata, kemampuan untuk
menghadapi
commit
to user segala sesuatu yang baru dan
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
32
kompleksitas yang ada. Sudarman (2007: 69) mengatakan bahwa “problem
based learning atau pembelajaran berbasis masalah adalah suatu pendekatan
pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata sebagai suatu konteks
bagi peserta didik untuk belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan
pemecahan masalah, serta untuk memperoleh pengetahuan dan konsep yang
esensial dari materi kuliah atau materi pelajaran.” Sudarman (2007: 69) juga
menyatakan bahwa problem based learning memiliki gagasan bahwa
pembelajaran dapat dicapai jika kegiatan pendidikan dipusatkan pada tugastugas atau permasalahan yang otentik, relevan dan dipresentasikan dalam suatu
konteks. Cara tersebut bertujuan agar siswa memiliki pengalaman sebagaimana
mereka nantinya menghadapi kehidupan profesionalnya. Pengalaman tersebut
sangat penting sebagaimana dinyatakan dalam model pembelajaran Kolb
(dalam Sudarman, 2007: 69) yang menekankan bahwa pembelajaran akan
efektif bila dimulai dengan pengalaman yang konkret.
Pendapat lain dikemukakan oleh Amir (dalam Putro, 2010: 6) bahwa
“problem based learning adalah sebuah model pembelajaran yang didasarkan
pada prinsip bahwa masalah (problem) dapat digunakan sebagai titik awal
untuk mendapatkan atau mengintegrasikan ilmu (knowledge) baru.” Wulandari
dan Surjono (2013: 181) mengemukakan bahwa “problem based learning
merupakan pembelajaran aktif dan pendekatan pembelajaran berpusat pada
masalah yang tidak terstruktur yang digunakan sebagai titik awal dalam proses
pembelajaran.” Menurut Barrows dan Kelson (dalam Amir, 2009: 21), problem
based
learning
adalah
kurikulum
dan
proses
pembelajaran.
Dalam
kurikulumnya dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan
pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan
masalah, dan memiliki strategi belajar sendiri serta berpartisipasi dalam tim.
Proses pembelajarannya menggunakan pendekatan yang sistematik untuk
memecahkan masalah atau menghadapi tantangan yang nanti diperlukan di
dalam kehidupan sehari-hari.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
33
Menurut Warsono & Hariyanto (2012: 149) bahwa “problem based
learning (pembelajaran berbasis masalah) merupakan suatu tipe pengelolaan
kelas yang diperlukan untuk mendukung pendekatan kontruktivisme dalam
pengajaran dan belajar.” Duct (dalam Amir, 2009: 21) menyatakan bahwa
“problem based learning merupakan model instruksional yang menantang
siswa agar belajar untuk belajar, bekerja sama dalam kelompok untuk mencari
solusi bagi masalah yang nyata, masalah ini digunakan untuk mengingatkan
rasa keingintahuan serta kemampuan analitis dan inisiatif atas materi
pelajaran.”
Berdasarkan pengertian para ahli tersebut dapat disimpulkan bahwa
problem based learning adalah pemberian masalah yang berhubungan dengan
kehidupan sehari-hari kepada siswa kemudian siswa bekerja secara
berkelompok mencari alternatif solusi untuk menyelesaikan masalah tersebut.
b. Karakteristik Problem Based Learning
Karakteristik model problem based learning menurut Wulandari &
Surjono (2013: 181) sebagai berikut: (1) pembelajaran dimulai dengan
pemberian masalah yang mengambang yang berhubungan dengan kehidupan
nyata; (2) masalah dipilih sesuai dengan tujuan pembelajaran; (3) siswa
menyelesaikan masalah dengan penyelidikan autentik; (4) secara bersamasama dalam kelompok kecil, siswa mencari solusi untuk memcahkan masalah
yang diberikan; (5) guru bertindak sebagai tutor dan fasilitator; (6) siswa
bertanggung jawab dalam memperoleh pengetahuan dan informasi yang
bervariasi, tidak dari satu sumber saja; (7) siswa mempresentasikan hasil
penyelesaian masalah dalam bentuk produk tertentu.
Karakteristik model problem based learning lainnya disampaikan oleh
Tan (dalam Amir, 2009: 22) bahwa ada beberapa karakteristik yang terdapat
dalam problem based learning, yaitu: (1) masalah digunakan sebagai awal
pembelajaran; (2) biasanya, masalah yang digunakan merupakan masalah
dunia nyata yang disajikan secara
mengambang
(ill-structured); (3) masalah
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
34
biasanya menuntut perspektif majemuk (multiple perpective); (4) masalah
membuat pemelajar tertantang untuk mendapatkan pembelajaran di ranah
pembelajaran yang baru; (5) sangat mengutamakan belajar mandiri; (6)
memanfaatkan sumber pengetahuan yang bervariasi, tidak dari satu sumber
saja; dan (7) pembelajarannya kolaboratif, komunikatif, dan kooperatif.
c. Tujuan Model Problem Based Learning
Menurut Ibrahim dan Nur (2002), tujuan model pembelajaran problem
based
learning,
antara
lain
sebagai
berikut:
(1)
membantu
siswa
mengembangkan kemampuan berpikir dan memecahkan masalah; (2) belajar
berbagai peran orang dewasa melalui pelibatan mereka dalam pengalaman
nyata; dan (3) menjadi para siswa yang otonom.
d. Manfaat Model Problem Based Learning
Amir (2009: 27 – 29) mengemukakan berbagai macam manfaat
menggunakan model problem based learning dalam sebuah pembelajaran,
sebagai berikut: (1) menjadi lebih ingat dan meningkat peahamannya atas
materi ajar; (2) meningkatkan fokus pada pengetahuan yang relevan; (3)
mendorong untuk berpikir; (4) membangun kerja tim, kepemimpinan, dan
keterampilan social; (5) membangun kecakapan belajar; dan (6) memotivasi
pemelajar.
e. Kelemahan dan Kelebihan Model Problem Based Learning
Problem based learning merupakan suatu model pembelajaran yang
mempunyai banyak kelebihan dan kelemahan. Menurut Sanjaya (dalam
Wulandari dan Surjono, 2013: 182), kelebihan problem based learning adalah
sebagai berikut: (1) pemecahan masalah dalam problem based learning cukup
bagus untuk memahami isi pembelajaran; (2) pemecahan masalah berlangsung
selama proses pembelajaran menantang kemampuan siswa serta memberikan
kepuasan kepada siswa; (3) commit
problem
based learning dapat meningkatkan
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
35
aktivitas pembelajaran; (4) membantu proses transfer siswa untuk memahami
masalah-masalah dalam kehidupan sehari-hari; dan (5) membantu siswa
mengembangkan pengetahuannya dan membantu siswa untuk bertanggung
jawab atas pembelajarannya sendiri.
Kelemahan problem based learning adalah sebagai berikut: (1)
apabila siswa mengalami kegagalan atau kurang percaya diri dengan minat
yang rendah maka siswa enggan untuk mencoba lagi; (2) problem based
learning membutuhkan waktu yang cukup untuk persiapan; dan (3)
pemahaman yang kurang tentang mengapa masalah-masalah yang dipecahkan
maka siswa kurang termotivasi untuk belajar.
Warsono dan Hariyanto (2012: 152) menyatakan secara umum bahwa
kekuatan dari penerapan model problem based learning antara lain: (1) siswa
akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan merasa tertantang
untuk menyelesaikan masalah; (2) memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa
berdiskusi dengan teman-teman sekelompok kemudian berdiskusi dengan
teman-teman sekelasnya; dan (3) semakin mengakrabkan guru dengan siswa;
(4) membiasakan siswa dalam menerapkan model eksperimen.
Sementara itu kelemahan dari penerapan model ini antara lain: (1)
tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan
masalah; (2) seringkali memerlukan biaya mahal dan waktu yang mahal; dan
(3) aktivitas siswa yang dilaksanakan di luar sekolah sulit dipantau guru.
Berdasarkan beberapa pendapat atau pandangan pakar di atas, dapat
disimpulkan bahwa model problem based learning merupakan pembelajaran yang
berorintasi pemecahan masalah. Pemecahan masalah ini dapat membantu siswa
untuk memecahkan atau mengatasi masalah kehidupan siswa. Selain itu, model
problem based learning membuat pemahaman siswa lebih tahan lama dan dapat
diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Model ini membantu siswa belajar
bagaimana belajar. Meskipun model ini masih memiliki kelemahan, namun model
ini sangat baik untuk diterapkan dalam
pembelajaran
siswa.
commit
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
36
4. Pembelajaran dengan Model Problem Based Learning
a. Pembelajaran Bahasa Indonesia
Menurut Fuad (dalam Rohmadi dan Nasucha, 2010: 2) bahwa
pembelajaran bahasa adalah proses sadar yang menghasilkan pengetahuan
tentang bahasa dan pemerolehan bahasa dengan proses ambang sadar yang
identik dengan proses yang dilalui seorang anak dalam memperoleh bahasa
ibunya. Pembelajaran bahasa ditekankan pada proses belajar siswa, sehingga
siswa lebih aktif belajar bahasa. Menurut Mulyati (2004: 38) bahwa
pembelajaran bahasa Indonesia diarahkan untuk meningkatkan kemampuan
siswa dalam berkomunikasi dengan bahasa Indonesia, baik secara lisan
maupun tertulis. Sebagai suatu proses, pembelajaran dapat dilaksanakan pada
tahap yang berlangsung secara berkelanjutan.
Bahasa Indonesia adalah bahasa resmi yang harus dipergunakan dalam
pembelajaran. Dalam Undang-undang Dasar 1945 pasal 36 menyatakan bahwa
“Bahasa negara ialah bahasa Indonesia”. Jelas bahwa bahasa Indonesia sebagai
alat komunikasi dan sebagai bahasa pengantar dalam dunia pendidikan. Siswa
harus bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam
pembelajaran. Tenaga pendidik juga harus memberikan contoh pada siswa
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar dalam proses
pembelajaran.
Model pembelajaran problem based learning dalam pembelajaran
Bahasa Indonesia telah banyak diterapkan oleh beberapa peneliti. Penelitian
yang pernah dilakukan mengenai model pembelajaran problem based learning
namun dengan fokus masalah yang berbeda. Hasil penelitian yang dilakukan
oleh Hutahaean yang berjudul “Pengaruh Model Pembelajaran Berbasis
Masalah Terhadap Kemampuan Menulis Teks Anekdot Siswa Kelas X SMA
Negeri 1 Air Putih Tahun Pembelajaran 2013/2014” memberikan simpulan
bahwa model pembelajaran berbasis masalah memberikan pengaruh yang
signifikan, yaitu adanya peningkatan pada kemampuan menulis siswa baik
proses maupun hasil. Perbedaan
dari to
penelitian
ini adalah fokus masalah dan
commit
user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
37
subjek penelitian. Pada penelitian oleh Feronika Hutahaean, fokus masalahnya
adalah kemampuan menulis teks anekdot dan objeknya adalah siswa kelas X
SMA.
Penelitian lain dilakukan oleh Puspita dengan judul “Analisis
Penerapan
Model
Pembelajaran
Problem
Based
Learning
dalam
Pembelajaran Menulis Teks Laporan Hasil Observasi Kelas X IIS. 1 SMAN
Mendoyo.” Simpulan dari penelitian tersebut adalah penerapan model problem
based learning pada siswa kelas X IIS. 1 SMAN Mendoyo tergolong baik dan
berhasil. Keberhasilan tampak pada pemenuhan kriteria keterlaksanaan langkah
pembelajaran dan juga skor yang dihasilkan siswa selama pembelajaran
berlangsung. Selain itu, respon siswa terhadap model problem based learning
dikatakan positif. Pada penelitian oleh Eka Puspita Dewi, fokus masalahnya
adalah Menulis Teks Laporan Hasil Observasi dan objeknya adalah siswa kelas
X SMA.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Herawati dengan judul
“Peningkatan Kemampuan Menulis Melalui Model Pembelajaran Problem
Based Learning Siswa Kelas IX” memberikan simpulan bahwa model problem
based learning merangsang siswa untuk lebih berani memecahkan masalah
yang dihadapi, membuat daya pikir siswa lebih berkembang, suasana belajar
lebih kondusif, dan siswa lebih berani mengemukakan pendapatnya sehingga
dapat meningkatkan kompetensi siswa dalam keterampilan menulis. Selain itu
penggunaan model problem based learning dalam pembelajaran menulis dapat
membantu meningkatkan aktivitas siswa dalam menulis, siswa lebih senang
belajar bahasa Indonesia terutama dalam pembelajaran menulis yang kurang
disukai siswa, pembelajaran menjadi lebih efektif dan siswa menjadi aktif.
Pada penelitian oleh Neti Herawati, fokus masalahnya adalah Pembelajaran
Menulis dan objeknya adalah siswa kelas IX.
Berdasarkan beberapa hasil penelitian yang disebutkan di atas dapat
disimpulkan bahwa penerapan model problem based learning dapat
meningkatkan keterampilan menulis
siswa.
commit to
user Selain itu aktivitas siswa juga
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
38
meningkat, siswa menjadi lebih aktif dan berani mengungkapkan pendapatnya.
Penerapan model problem based learning membuat siswa lebih menyukai
pembelajaran bahasa Indonesia.
b. Tujuan Pembelajaran Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia yang baik adalah bahasa yang digunakan sesuai
dengan norma kemasyarakatan yang berlaku (Kusumaningsih, dkk., 2013: 17).
Hal itu sesuai dengan tujuan utama dari sebuah pembelajaran bahasa, yaitu
kemahiran berbahasa.
Pembelajaran bahasa hendaknya bertujuan bukan semata-mata untuk
menghasilkan bahasa saja, melainkan bagaimana mengungkapkan gagasan
dengan mengungkapkan gagasan dengan ,enggunakan sarana bahasa tulis
secara tepat. Dengan kata lain, kegiatan menulis haruslah yang mungkin
melibatkan unsur lingistik dan ekstralinguistik, memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk tidak saja berpikir bagaimana mengungkapkan bahasa
secara tepat, melainkan juga memikirkan gagasan-gagasan apa yang akan
dikemukakan.
Tugas
tersebut
berarti
melatih
peserta
didik
untuk
mengkomunikasikan gagasannya (Iskandarwassid dan Surendar, 2013: 251).
c. Pembelajaran Bahasa Indonesia di SMK
Pembelajaran bahasa pada intinya merupakan proses belajar bahasa.
Berbeda dengan pengajaran bahasa yang menitikberatkan pada proses
mengajarkan bahasa. Pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dapat dilihat
dalam Garis-Garis Besar Program Pengajaran, pada kurikulum SMA yang
terdapat pada lampiran II (1995:1) disebutkan bahwa fungsi mata pelajaran
bahasa dan sastra Indonesia adalah (1) sarana pembinaan kesatuan dan
persatuan bangsa, (2) sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan
berbahasa Indonesia dalam rangka pelestarian dan pengembangan budaya, (3)
sarana peningkatan pengetahuan dan keterampilan berbahasa Indonesia untuk
meraih dan mengembangkan ilmu
pengetahuan,
commit
to user teknologi, dan seni, (4) sarana
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
39
penyebarluasan pemakaian bahasa Indonesia yang baik untuk berbagi
keperluan menyangkut berbagai masalah, dan (5) sarana pengembangan
penalaran (dalam Rohmadi dan Nasucha, 2010: 2).
Muara akhir dari sebuah pembelajaran bahasa Indonesia bukanlah
pengetahuan kebahasaan namun terampil berbahasa Indonesia. Ada empat
keterampilan berbahasa yaitu menyimak, membaca, berbicara dan menulis.
Sebagai salah satu tujuan akhir pembelajaran bahasa Indonesia, keterampilan
menulis merupakan keterampilan yang paling kompleks apabila dibandingkan
dengan ketiga keterampilan yang lain. Pembelajaran bahasa Indonesia di SMK
banyak di isi dengan praktik menulis. Hal ini sesuai dengan isi Undang-undang
Sistem Pendidikan Nasional No. 20 Tahun 2003 pasal 3 mengenai tujuan
pendidikan nasional dan penjelasan pasal 15 yang menyebutkan bahwa
“Pendidikan kejuruan merupakan pendidikan menengah yang mempersiapkan
peserta didik terutama untuk bekerja di bidang tertentu.” Pengertian ini
mengandung pesan bahwa setiap institusi yang menyelenggarakan pendidikan
kejuruan harus berkomitmen menjadikan tamatannya mampu bekerja dalam
bidang tertentu.
Beberapa tujuan pembelajaran ketrampilan menulis berdasarkan
tingkatannya (Iskandarwassid dan Sunendar, 2008: 292-293), yaitu:
1) Tingkat Pemula
a) Menyalin satuan-satuan bahasa yang sederhana.
b) Menulis satuan bahasa yang sederhana.
c) Menulis pernyataan dan pernyataan yang sederhana.
d) Menulis paragraf pendek
2) Tingkat Menengah
a) Menulis pernyataan dan pertanyaan.
b) Menulis paragraf dan menulis surat.
c) Menulis karangan pendek.
d) Menulis laporan.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
40
3) Tingkat Lanjut
a) Menulis paragraf.
b) Menulis surat.
c) Menulis berbagai jenis karangan.
d) Menulis laporan.
d. Merencanakan dan Melaksanakan PBL
Problem based learning ditandai oleh siswa yang bekerja berpasangan
atau dalam kelompok-kelompok kecil untuk menginvestigasi masalah
kehidupan nyata yang membingungkan. Problem based learning seperti
pendekatan pengajaran interaktif lain yang berpusat pada siswa, membutuhkan
upaya perencanaan yang sama banyaknya atau bahkan lebih. Menurut Rusman
(dalam Wulandari dan Surjono, 2013: 182) kejadian yang harus muncul dalam
implementasi problem based learning adalah: (1) keterlibatan, yaitu
mempersiapkan siswa untuk berperan sebagai pemecah masalah dengan
bekerja sama; (2) inquiry dan investigasi, yaitu mengeksplorasi dan
mendistribusikan informasi; (3) performansi yaitu menyajikan temuan; (4)
tanya jawab tujuannya untuk menguji keakuratan dari solusi; (5) refleksi
terhadap pemecahan masalah.
Savoi dan Hughes (dalam Warsono dan Hariyanto, 2012: 149-150)
mengungkapkan perlunya suatu proses yang dapat digunakan untuk mendesain
pengalaman pembelajaran berbasis masalah bagi siswa. Kegiatan-kegiatan
tersebut di bawah ini diperlukan untuk menunjang proses tersebut, yaitu
sebagai berikut: (1) identifikasikan suatu masalah yang cocok bagi para siswa;
(2) kaitkan masalah tersebut dengan konteks dunia siswa sehingga mereka
dapat menghadirkan suatu kesempatan otentik; (3) organisasikan pokok
bahasan di sekitar masalah, jangan berlandaskan bidang studi; (4) berilah para
siswa tanggung jawab untuk dapat mendefinisikan sendiri pengalaman belajar
mereka serta membuat perencanaan dalam menyelesaikan masalah; (5) dorong
timbulnya kolaborasi dengan commit
membentuk
to userkelompok pembelajaran; dan (6)
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
41
berikan dukungan kepada semua siswa untuk mendemonstrasikan hasil-hasil
pembelajaran mereka misalnya dalam bentuk suatu karya atau kinerja sesuatu.
Menurut Maggi dan Claire (dalam Wulandari dan Surjono, 2013:
182), ada beberapa cara untuk menyajikan suatu masalah yang dapat menarik
minat siswa sehingga proses pembelajaran tidak monoton dan membosankan.
Beberapa cara tersebut, yaitu: (1) dimulai dengan memberikan sebuah masalah
yang sesuai dengan pengetahuan dasar siswa sehingga akan menumbuhkan
rasa antusias siswa tersebut; (2) menyajikan sebuah masalah yang mampu
menggali rasa keingintahuan siswa, misalnya masalah yang berkaitan dengan
kehidupan sehari-hari; (3) masalah yang disajikan masih berupa teka-teki yang
harus dipecahkan; (4) pastikan bahwa penyampaian masalah tersebut menarik
minat siswa; dan (5) masalah yang diangkat sebaiknya berkaitan dengan
kehidupan nyata.
Dalam sebuah model pembelajaran tentunya ada sintaks yang
terkandung di dalamnya, begitu juga model problem based learning. Sintaks
model problem based learning (Amir, 2009: 24) adalah sebagai berikut:
1) Langkah 1: Mengklarifikasi istilah dan konsep yang belum jelas, yaitu
memastikan setiap anggota memahami berbagai istilah dan konsep yang
ada dalam masalah.
2) Langkah 2: Merumuskan masalah
3) Langkah 3: Menganalisis masalah, anggota mengeluarkan pengetahuan
terkait apa yang telah dimiliki tentang masalah.
4) Langkah 4: Menata gagasan Anda dan secara sistematis menganalisisnya
dengan dalam, bagian yang telah dianalisis dilihat keterkaitannya satu sama
lain, dikelompokkan; mana yang saling menunjang, mana yang
bertentangan, dan sebagainya.
5) Langkah 5: memformulasikan tujuan pembelajaran, kelompok dapat
merumuskan tujuan pembelajaran karena kelompok telah tahu pengetahuan
mana yang masih kurang, dan mana yang masih belum jelas.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
42
6) Langkah 6: Mencari informasi tambahan dari sumber lain (di luar diskusi
kelompok)
7) Langkah 7: Mensintesa (menggabungkan) dan menguji informasi baru, dan
membuat laporan untuk dosen/ kelas.
Salah satu isi utama dalam problem based learning adalah
pembentukan masalah yang menuntut penyelesaiannya. Hudoyo (dalam
Rusman, 2010: 242) mengemukakan bahwa “Masalah yang disajikan dalam
pembelajaran berbasis masalah tidak perlu berupa penyelesaian masalah
(problem solving) sebagaimana biasa, tetapi pembentukan masalah (problem
posing) yang kemudian diselesaikan. Masalah yang ditimbulkan merupakan
masalah kontekstual, yaitu masalah yang sesuai dengan pengalaman siswa.
Hamzah dalam Rusman (2010: 246) mengemukakan bahwa “Guru
berperan mengantarkan siswa memahami konsep dan menyiapkan situasi
dengan pokok bahasan yang diajarkan.” Tugas guru dalam model problem
based learning menurut Hamzah, yaitu (a) guru hendaknya menyediakan
lingkungan belajar yang memungkinkan self regulated dalam belajar pada diri
siswa berkembang; (b) guru hendaknya selalu mengarahkan siswa mengajukan
masalah, atau pertanyaan atau memperluas masalah; (c) guru hendaknya
menyediakan beberapa situasi masalah yang berbeda-beda, berupa informasi
tertulis, benda manipulative, gambar atau yang lainnya; (d) guru dapat
memberikan masalah yang open-ended; (e) guru dapat memberikan contoh
cara merumuskan dan mengajukan masalah dengan beberapa tingkat
kesukaran, baik tingkat kesulitan pemecahan masalah; dan (f) guru
mrnyelenggarakan repiprocal teaching, yaitu pelajaran yang berbentuk dialog
antara siswa mengenai materi pelajaran dengan cara menggilir siswa berperan
sebagai guru (peer teaching).
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
43
Menurut Arends (2009: 401) sintaks yang lain serta perilaku guru
yang relevan dapat dilihat pada tabel 1 berikut.
Tabel 1. Sintaks Problem Based Learning dan Perilaku Guru yang
Relevan
No.
1.
Fase
Perilaku Guru
Fase 1: Melakukan
Guru
menyampaikan
orientasi masalah kepada
menjelaskan logistik (bahan dan alat) apa yang
siswa
diperlukan bagi penyelesaian masalah serta
memberikan
menaruh
motivasi
perhatian
tujuan
pembelajaran,
kepada
siswa
terhadap
agar
aktivitas
penyelesaian masalah.
2.
Fase 2:
Guru membantu siswa mendefinisikan dan
Mengorganisasikan siswa mengorganisasikan pembelajaran agar relevan
3.
untuk belajar
dengan penyelesaian masalah.
Fase 3: Mendukung
Guru mendorong siswa untuk mencari informasi
kelompok investigasi
yang sesuai, melakukan eksperimen dan mencari
penjelasan dan pemecahan masalahnya.
4.
Fase 4: Mengembangkan
Guru membantu siswa dalam perencanaan dan
dan menyajikan artefak
perwujudan artefak yang sesuai dengan tugas
dan memamerkannya
yang diberikan seperti: laporan, video dan
model-model, serta membantu mereka saling
berbagi satu sama lain terkait hasil karyanya.
5.
Fase 5: Menganalisis dan
Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi
mengevaluasi proses
terhadap hasil penyelidikannya serta proses-
penyelesaian masalah
proses pmbelajaran yang telah dilaksanakan.
Langkah-langkah
Pembelajaran
Menggunakan
Learning antara lain:
commit to user
Problem
Based
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
44
1) Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai, kemudian guru
menyajikan materi sebagai pengantar.
2) Melakukan orientasi masalah kepada siswa.
Pada fase ini, guru mengingatkan kembali materi yang telah dipelajari
sebelumnya, guru menyampaikan indikator pembelajaran dan memotivasi
siswa belajar dengan menghubungkan materi dengan kehidupan seharihari.
3) Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Guru mengorganisasikan siswa dalam kelompok beranggotakan 5 orang.
Guru memberikan masalah serta alat dan bahan yang digunakan untuk
memecahkan masalah pada masing-masing kelompok. Guru meminta
setiap kelompok untuk membaca dan memahami masalah, serta
memberikan kesempatan bertanya kepada siswa jika ada hal yang tidak
jelas dalam masalah yang diberikan.
4) Mendukung kelompok investigasi
Guru mengamati kerja tiap kelompok dan memberikan bantuan yang
dibutuhkan
tanpa
mencampuri
penyelidikan
siswa
dengan
cara
mengarahkan mereka dengan pernyataan atau informasi yang mendekati
penyelesaian masalah dan bukan cara penyelesaian dari masalah yang
diberikan.
5) Mengembangkan dan menyajikan artefak dan memamerkannya
Guru meminta kelompok yang telah memperoleh penyelesaian masalah
untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompok dan meminta kelompok
yang tidak presentasi untuk memberikan tanggapan. Guru dapat
merangsang siswa dengan pertanyaan-pertanyaan atau informasi-informasi
yang mengarahkan siswa untuk memperoleh penyelesaian yang benar.
6) Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Guru bersama siswa mengkaji kembali proses pemecahan masalah dan
pemecahan masalah diarahkan untuk mencari solusi. Guru memberikan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
45
tugas rumah dan tidak lupa mengingatkan siswa untuk mempelajari materi
selanjutnya.
e. Model Pembelajaran Problem Based Learning (PBL) pada KTSP
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah kurikulum
operasional yang disusun dan dilaksanakan oleh masing-masing satuan
pendidikan (Sanjaya, 2008). Penyusunan KTSP dilakukan oleh satuan
pendidikan dengan memperhatikan dan berdasarkan standar kompetensi serta
kompetensi dasar yang tertera pada Permen. No. 23 Tahun 2006. Berlakunya
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) menuntut paradigma dalam
pendidikan dan pembelajaran, khususnya pada jenis dan jenjang pendidikan
formal (persekolahan).
Salah satu perubahan paradigma pembelajaran tersebut adalah
orientasi pembelajaran yang semula berpusat pada guru (teacher centered)
beralih berpusat pada murid (student centered); metodologi yang semula lebih
didominasi ekspositori berganti ke partisipatori; dan pendekatan yang semula
lebih banyak bersifat tekstual berubah menjadi kontekstual. Semua perubahan
tersebut dimaksudkan untuk memperbaiki mutu pendidikan, baik dari segi
proses maupun hasil pendidikan (Trianto, 2012: 10). Pembelajaran ideal adalah
dengan berorientasi pada siswa (student centered), siswa akan berusaha
mengkonstruksi sendiri pengetahuannya dan terlibat aktif dalam mencari
informasi (BNSP Permendiknas 22, 2006).
Menurut Ching & Gallow (dalam Taufiq, 2009: 3) bahwa pendekatan
teacher centered sudah dianggap tradisional dan perlu diubah. Para pemelajar
membutuhkan lebih dari sesuatu yang bisa diberikan dengan pendekatan yang
berpusat pada pendidik. Yakni pendekatan yang bisa memberikan bekal
kompetensi, pengetahuan dan serangkaian kecakapan yang mereka butuhkan
dari waktu ke waktu. Dengan membiarkan pemelajar pasif, pendekatan yang
terpusat pada pendidik sulit untuk memungkinkan pemelajar mengembangkan
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
46
kecakapan berpikir, kecakapan interpersonal, dan kecakapan beradaptasi
dengan baik.
Menurut Tan (dalam Taufiq, 2009: 4) bahwa asumsi atas pengetahuan
dan bagaimana pendidik dan pemelajar berpartisipasi harus diubah. Pendidik
yang tadinya dianggap orang yang paling berotoritas atas pengetahuan tertentu
kini harus dipertanyakan. Pendidik bukan lagi satu-satunya sumber
pengetahuan. Pendidik seharusnya tidak melulu menyampaikan materi, ia harus
merangsang
pemikiran
pemelajar,
dengan
pertanyaan
penuh
selidik,
memancing penalaran dan memberikan petunjuk yang merangsang mereka
untuk menyimpulkan (Taufiq, 2009: 6).
Perubahan harus diikuti oleh guru yang bertanggung jawab atas
penyelengaraan pembelajaran disekolah baik di dalam kelas ataupun di luar
kelas. Untuk itu guru harus bijaksana dalam menentukan suatu model yang
sesuai yang dapat menciptakan situasi dan kondisi kelas yang kondusif agar
proses belajar mengajar dapat berlangsung sesuai dengan tujuan yang
diharapkan. Satu inovasi yang menarik mengiringi perubahan paradigma
tersebut adalah ditemukan dan diterapkannya model pembelajaran inovatifprogresif atau yang lebih tepat disebut „praktik belajar‟ yang dengan tepat
mampu mengembangkan dan menggali pengetahuan peserta didik secara
konkret dan mandiri. Praktik belajar berarti suatu inovasi pembelajaran yang
dirancang untuk membantu peserta didik memahami teori atau konsep
pengetahuan melalui pengalaman belajar praktik empirik. Arends (2001: 24)
menyeleksi enam model pengajaran yang sering dan praktis digunakan guru
dalam mengajar, yaitu: presentasi, pengajaran langsung, pengajaran konsep,
pembelajaran kooperatif, pembelajaran berdasar masalah, dan diskusi kelas.
Model pembelajaran berbasis masalah sangat baik untuk diterapkan
pada pembelajaran sekolah. Hal ini sesuai dengan pendapat Sumiati dan Asra
(2007: 57) hasil belajar yang dicapai dengan orientasi pada masalah lebih
tinggi nilai kemanfaatannya dibandingkan dengan belajar melalui pembelajaran
konvensional. Pembelajaran berbasis
commit tomasalah
user atau problem based learning
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
47
merupakan salah satu model pembelajaran inovatif berorientasi konstruktivistik
yang dapat membuat siswa lebih aktif dalam proses pembelajaran (Jogiyanto,
2006).
Mengutip pendapat Kolmos (2012 – Chapter 3 – p 53) dalam e-book
yang berjudul Changing the Curriculum to Problem-Based and Project-Based
Learning yaitu “There is plenty of research on PBL – most pointing out a
positive effect of PBL on students’ motivation, learning outcomes, skills
improvement and deep learning.” Jika diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
yaitu “Ada banyak penelitian tentang PBL – efek postif yang paling menonjol
dari PBL pada motivasi siswa, hasil belajar, peningkatan keterampilan dan
pembelajaran yang mendalam.” Selain itu, prinsip utama dalam KTSP adalah
pemberian atribusi secara penuh kepada instansi sekolah untuk merancang dan
merencanakan sendiri pembelajaran sesuai dengan kondisi dan tingkat
kemampuan sekolah (Trianto, 2014: 5), sehingga model problem based
learning dapat diterapkan pada KTSP.
5. Penerapan Problem Based Learning dalam Menulis Teks Wacana Narasi
pada KTSP
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa proses pembelajaran
harus berubah yang tadinya teacher centered menjadi student centered. Salah satu
model pembelajaran yang menunjang adalah model problem based learning.
Menurut John Dewey (dalam Trianto 2011: 67) problem based learning adalah
belajar berdasarkan masalah adalah interaksi antara stimulus dengan respon,
merupakan hubungan antara dua arah belajar dan lingkungan. Lingkungan
memberikan masukan kepada siswa berupa bantuan dan masalah, sedangkan
sistem saraf otak berfungsi menafsirkan bantuan itu secara efektif sehingga
masalah yang dihadapi dapat diselidiki, dinilai, dianalisis, serta dicari
pemecahannya dengan baik.
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
48
Salah satu materi dalam pelajaran Bahasa Indonesia kelas XI pada
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) adalah pembelajaran menulis
wacana narasi. Nurgiyantoro (dalam Andayani, 2009: 28) mengemukakan bahwa
“Menulis merupakan sebagai aktivitas mengemukakan gagasan melalui bahasa.”
Keraf (2007: 136) bahwa narasi adalah perbuatan atau tindakan yang terjadi dalam
suatu rangkaian waktu. Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan
bahwa menulis narasi adalah kegiatan mengemukakan gagasan, perbuatan atau
peristiwa dalam suatu rangkaian waktu melalui bahasa.
Problem based learning dengan pembelajaran menulis teks wacana
narasi memiliki keterkaitan antara keduanya. Pada model problem based learning,
permasalahan yang diberikan pada siswa merupakan permasalahan dunia nyata.
Teks wacana narasi, seperti yang telah disebutkan sebelumnya pada ciri-ciri
wcana narasi yang diungkapkan oleh Semi (2003: 31) pada point 2 bahwa
kejadian atau peristiwa yang disampaikan berupa peristiwa yang benar-benar
terjadi, dapat
berupa
semata-mata imajinasi
atau
gabungan keduanya.
Permasalahan yang diberikan pada siswa dapat membantu siswa dalam
memahami teks wacana narasi, dengan pemahaman tersebut dapat membuat siswa
lebih mahir dalam menulis teks wacana narasi, baik peristiwa yang benar-benar
terjadi atau hanya imajinatif. Selain itu dengan adanya contoh atau masalah yang
diberikan pada siswa dapat memberikan ide atau gambaran siswa mengenai
wacana narasi, sehingga mempermudah siswa dalam menulis teks wacana narasi.
Pada problem based learning, tiga hal yang diperoleh dan dilakukan
siswa adalah (1) siswa memperoleh pengetahuan yang relevan pada saat diberi
penjelasan oleh guru, saat siswa berdiskusi untuk memecahkan masalah, pada saat
siswa menyajikan hasil diskusi siswa saling bertukar pendapat dan memperoleh
pengetahuan-pengetahuan baru. Lalu (2) siswa berpikir untuk dapat memahami
masalah berupa contoh teks wacana narasi. Kemudian (3) siswa menulis teks
wacana narasi secara individu. Hal itu sesuai dengan model pembelajaran yang
dikemukakan Sale (dalam Taufiq, 2009: 9) yaitu (1) memperoleh pengetahuan
yang relevan (knowledge); (2) berpikir
dapat memahami (thinking); dan (3)
commituntuk
to user
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
49
melakukan (doing). Dengan ketiga hal tersebut yang dilakukan siswa dapat
membantu siswa dalam meningkatkan keterampilan menulis wacana narasi siswa.
Selain itu dijelaskan pada point sebelumnya bahwa model problem based learning
sah-sah saja bila diterapkan pada Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
maka dari itu penerapan model problem based learning pada menulis teks wacana
narasi akan sangat baik dilakukan.
B. Kerangka Berpikir
Menulis adalah kegiatan melahirkan atau menuangkan sebuah pikiran,
ide dan gagasan ke dalam sebuah bahasa tulis dengan memperhatikan aspek-aspek
kebahasaan yang baik dan benar sehingga dapat dipahami oleh pembaca. Dalam
pembelajaran menulis pada siswa kelas XI AP 1 SMK Kristen 1 Surakarta
dijumpai adanya masalah, yaitu hampir 90% siswa tampak kurang tertarik dan
bersungguh-sungguh dalam mengikuti pembelajaran. Hal ini disebabkan oleh
kurangnya motivasi siswa dalam pembelajaran menulis wacana narasi. Terlebih
lagi, materi yang diberikan guru hanya berdasar pada buku teks yang diberikan
pemerintah dan materi dapat dibaca dirumah sehingga siswa mudah bosan dan
tidak termotivasi dalam pembelajran tersebut.
Rendahnya keterampilan menulis wacana narasi juga disebabkan oleh
model pembelajaran yang digunakan oleh guru. Sebagian besar guru sampai saat
ini masih melaksanakan pembelajaran dengan pendekatan konvensional. Guru
memberikan pembelajaran menulis dengan model ceramah dan teknik penugasan.
Penilaian tugas menulis juga hanya memberikan daftar kesalahan baik ejaan,
kosakata maupun struktur tanpa diberi pembenarannya, sehingga siswa tidak
memahami letak kesalahannya dan bagaimana yang benar. Hal itu menyebabkan
siswa takut untuk menulis karena pada saat akan memulai menulis siswa sudah
takut jika nanti tulisan tersebut salah akibat dari kurangnya kosakata dan
rendahnya penguasaan unsur kebahasaan.
Untuk itu, perlu adanya model pembelajaran yang inovatif seperti
menggunakan model Problem Based
Learning.
commit
to user Penggunaan model ini dalam
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
50
pembelajaran menulis wacana narasi akan memudahkan siswa menyusun paragraf
wacana narasi, karena siswa sudah berlatih melalui permasalahan yang diberikan
oleh guru. Dalam diskusi permasalahan tersebut siswa juga berlatih untuk berpikir
kritis dalam menanggapi masalah, dalam proses berpikir tersebut siswa akan
berlatih mengolah kata dan mengungkapkan dalam kelompok. Siswa juga tidak
takut untuk menulis karena siswa mulai mengembangkan ide dan gagasan
berdasarkan masalah dunia nyata yang diberikan. Ide siswa mudah berkembang
melalui bantuan teknik-teknik tersebut. Hasilnya diharapkan dapat meningkatkan
kualitas proses pembelajaran dan hasil keterampilan menulis wacana narasi siswa.
Di bawah ini dapat dijelaskan pola pikir peneliti pada gambar 1.
Kondisi sebelum tindakan
Siswa pasif dalam
pembelajaran menulis
wacana narasi
Siswa sulit mengembangkan ide/
gagasan dan masih banyak
terdapat kesalahan unsur
kebahasaan yang meliputi ejaan.
Penerapan Metode
Problem Based
Learning
Kondisi Setelah Tindakan
Siswa aktif dalam pembelajaran
menulis wacana narasi
Siswa dapat mengembangkan
ide/ gagasan dengan cepat dan
jarang ditemukan kesalahan
unsur kebahasaan yang
meliputi ejaan).
Gambar
1. Kerangka
commit
to user Berpikir
perpustakaan.uns.ac.id
digilib.uns.ac.id
51
C. Hipotesis
Dalam penelitian ini diajukan hipotesis sebagai berikut:
Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dapat
meningkatkan kualitas proses pembelajaran dan keterampilan menulis wacana
narasi siswa kelas XI AP 1 SMK Kristen 1 Surakarta tahun Pelajaran 2014/2015.
Penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning dapat
meningkatkan keterampilan menulis wacana narasi siswa kelas XI AP 1 SMK
Kristen 1 Surakarta tahun Pelajaran 2014/2015.
commit to user
Download