BAB II TINJAUAN PUSTAKA

advertisement
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab II ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang berhubungan dengan konsep,
teori dan metoda yang diperlukan dalam pengembangan model default prediction
untuk digunakan dalam proses analisa kredit. Studi literatur ini meliput:
manajemen resiko, default prediction, Metoda Statistik untuk klasifikasi, analisa
kredit serta sistem pendukung keputusan (SPK).
II.1 Manajemen Resiko
II.1.1 Pengertian Resiko
Istilah resiko memiliki berbagai definisi. Resiko dikaitkan dengan kemungkinan
kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran
organisasi.
Beberapa
definisi
resiko
dapat
dikemukan
sebagai
berikut
(Vaughan,1996):
a. Resiko adalah potensi untuk mendapat kerugian (chance of loss)
Potensi kerugian berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap
kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, potensi atau peluang
dipergunakan untuk menunjukan tingkat probabilitas akan munculnya.
Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat
resiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal potensi kerugian 100% berarti
kerugian adalah pasti sehingga resiko tidak ada.
b. Resiko adalah kemungkinan untuk mendapat kerugian (possibility of loss)
Istilah possibility berarti bahwa probabilitas suatu peristiawa diantara nol dan
satu. Definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisa secara kuantitas.
c. Resiko adalah ketidak pastian (uncertainty)
Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty
pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Obyektif uncertainty
akan dijelaskan pada definisi resiko berikut:
d. Resiko adalah penyebaran hasil aktual dari dari hasil yang diharapkan.
Ahli statistik mendefinisikan resiko sebagai derajat penyempangan sesuatu
nilai di sekitas suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata.
13
e. Resiko adalah probabilitas sesuatu outcom berbeda dengan outcome yang
diharapkan. Resiko bukanlah probabilitas dari suatu kejadian tunggal, tetapi
probabilitas dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan.
f. Resiko adalah kemungkinan terjadinya suatu kejadian atau keadaan yang
dapat memberikan efek kepada pencapaian objective dari suatu organisasi.
Dari semua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa resiko dihubungkan
dengan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk yang tidak di inginkan atau
tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukan adanya
ketidak pastian. Definisi lengkap dari resiko dapat di jelaskan sebagai berikut:
Potensi terjadinya suatu peristiwa atau kejadian baik yang diperkirakan maupun
tidak diperkirakan yang langsung maupun tidak langsung menimbulkan kerugian
keuangan maupun non keuangan dan atau menyebabkan organisasi memiliki
keterbatasan atau kendala dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
Resiko diyakini tidak dapat dihindari secara penuh, namun resiko dapat dikurangi
dan bahkan dihindari dengan manajemen resiko. Peran dari manajemen resiko
diharapkan
dapat
mengantisipasi
lingkungan
yang
cepat
berubah,
mengembangkan corporate governance, mengoptimalkan penyusunan strategik
manajemen, mengamankan sumber daya dan aset yang dimiliki organisasi dan
mengurangi reactive desicion making dari manajemen puncak.
2.1.2. Pandangan lama dan baru mengenai resiko

Pandangan lama menganggap ada hubungan yang positif antara resiko dengan
tingkat keuntungan.

Sedangkan pandangan baru mengatakan bahwa tingkat resiko tidak bersifat
linier akan tetapi non linier dengan dengan keuntungan.
14
KEUNTUNGAN
KEUNTUNGAN
Zone 3
Resiko Berlebih
Keuntungan Kurang
Resiko tinggi
akan
memberikan
keuntungan
yang tinggi
Zone 1
Kurang Resiko
Keuntungan Kurang
Zone 2
Resiko Optiml
Keuntungan Optimal
RESIKO
RESIKO
PANDANGAN LAMA: SEMAKIN TINGGI RESIKO,
SEMAKIN TINGGI TINGKAT KEUNTUNGAN
PANDANGAN BARU: RESIKO HARUS DIKELOLA
Gambar II.1 Hubungan Resiko dan tingkat keuntungan (Lam, 2007)
II.1.3 Pengertian Manajemen Resiko
Beberapa definisi dari manajemen resiko dapat di terangkan sebagai berikut:

Menurut COSO (Committee Of Sponsoring Organizations of the Treadway
Commission) manajemen resiko mempunyai istilah sebagai Enterprises Risk
Management (ERM) dan definisikan sebagai “Manajemen resiko dapat
diartikan sebagai sebuah proses yang melibatkan board direktur, manajemen
dan personel secara keseluruhan, di aplikasikan pada setting strategi untuk
seluruh perusahaan, di rancang untuk mengidentifikasi kejadian yang
berpotensi terjadi dan memberikan efek pada kesuruhan. Manajemen resiko
harus memperhatikan penerimaan terhadap resiko (risk appetite) dengan
menyediakan jaminan agar kesuruhan obyektif dapat di peroleh”

Manajemen resiko adalah metoda sistematis pelaksanaan fungsi-fungsi
manajemen dalam penanggulangan resiko, terutama resiko yang dihadapi oleh
organisasi/perusahaan,
keluarga
dan
masyarakat.
Menajemen
resiko
mencangkup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun, memimpin/
mengkoordinir
dan
mengawasi
(termasuk
penanggulangan resiko (Djojosoedarso,1999)
15
mengevaluasi)
program

Enteprises Risk Manajemen adalah kerangka yang komprehensif untuk
mengelola resiko kredit, resiko pasar, modal ekonomis, transfer resiko untuk
memaksimimkan nilai perusahaan (Lam, 2007)
II.1.4 Framework manajemen resiko
Pemahaman risk menajemen memungkinkan manajemen untuk terlibat secara
efektif dalam menghadapi uncertainty dengan resiko dan peluang yang
berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai
tambah. Framework manajemen resiko adalah suatu kerangka pengelolaan yang
digunakan dalam mengelola resiko guna mencapai obyektif yang diinginkan oleh
suatu organisasi. Terdapat beberapa framework yang digunakan pengelolaan
resiko diantaranya adalah sebagai berikut:
a. COSO’s ERM – Integrated Framework
b. Australia/New Zealand Standard –Manajemen Resiko
c. ISO Risk Manajemen - Draft Standard
d. The Combined Code and Turnbull Guidance
e. Federation of European Risk Manajemen Associations (FERMA)
f. Basel II Pendekatan manajemen resiko untuk industri keuangan
Pada studi literatur ini akan dibahas tiga framework yang paling banyak
digunakan yaitu COSO dan Australia/New Zealand Standard Risk dan Basel II
secara sekilas.
1) Framework manajemen Resiko COSO
Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO)
adalah suatu lembaga nirlaba yang di dedikasikan untuk meningkatkan kualitas
pelaporan keuangan, melalui etika bisnis, pengendalian internal yang efektif dan
tata kelola usaha (corporate governace). COSO didukung oleh lembaga-lembaga
yang memiliki reputasi tinggi dibidang akutansi, keuangan dan audit yang
diantaranya adalah IIA (The Institute of Internal Auditor).
Framework ini dikeluarkan oleh COSO bersama-sama dengan konsultan
Pricewater House Cooper pada tahun 2002 dan merupakan pengembangan dari
16
framework untuk internal control. Integrated Framework ini lebih robust dan
fokus pada subyek ERM (Enteprice Risk Management), dimana internal control
adalah bagian dari ERM. Pendekatan ERM dapat dilakukan dengan memuaskan
keperluan dari internal kontrol dan dikembangkan selanjutnya pada proses
manajemen resiko secara keseluruhan.
Framework ini mendefinisikan komponen penting pada suatu ERM sehingga satu
bahasa dan menyediakan arah dan guidence yang jelas untuk enterprice risk
manajemen. Obyek dari manajemen resiko dapat dilihat dari empat kategori
konteks sebagai berikut:
a. Strategi (Strategic)
b. Operasional (Operations)
c. Pelaporan (Reporting)
d. Penerapan (Compliance)
Manajemen mempertimbangkan bagaimana resiko individu saling berinteraksi.
Manajemen membangun suatu gambaran dari dua perspektif yaitu Business unit
level dan Entity level. ERM mempertimbangkan aktivitas pada semua level
organisasi sebagai berikut:
a. Leval Organisasi (Enterprise-level)
b. Level Divisi (Division or subsidiary)
c. Level Busnis Unit (Business unit processes)
Proses manajemen resiko dapat dibagi menjadi delapan komponen (tahap) sebagai
berikut:
a. Pengenalan Lingkungan Internal (Internal Environment )
b. Seting Obyektif (Objective Setting)
c. Identifikasi Potensi Resiko (Event Identification)
d. Analisa Resiko (Risk Asssement)
e. Tanggapan terhadap resiko (Risk Response)
f. Aktivitas Control (Control Activities)
g. Infromasi dan Komunikasi (Information and Communication)
h. Monitoring (Monitoring)
17
Integrasi dari framework COSO dapat dilihat pada gambar dibawah ini sebagai
berikut:
5. Tanggapan Terhadap Resiko
6. Aktivitas Kontrol
LEVEL SUBDIARY
4. Analisa Resiko
LEVEL BUSINES UNIT
3. Identifikasi Potensi Resiko
LEVEL DIVISI
2. Setting Obyektif
LEVEL ORGANISASI
1. Pengenalan Lingkungan Internal
7. Informasi Dan Komunikasi
8. Monitoring
Gambar II.2. Manajemen Resiko Model COSO
(i) Internal Environment
Kompenen ini berkaitan dengan lingkungan dimana suatu organisasi berada dan
beroperasi. Cakupannya adalah risk manajemen philosophy (kultur manajemen
tentang resiko), integritas, perspektif terhadap resiko, selera atau penerimaan
terhadap resiko (risk appetite), nilai moral, struktur organisai dan pendelegasian
wewenang.
(ii) Obyektif setting
Manajemen
harus
menetapkan
obyektif
dari
organisasi
agar
dapat
mengidentifikasikan, mengakses dan mengelola resiko. Obyektif dapat di
klasifikasikan menjadi strategi obyektif dan aktivitas obyektif. Strategis obyektif
berhubungan dengan pencapaian dan peningkatan kinerja organisasi dalam jangka
menengah dan panjang, dan merupakan implementasi dari visi dan misi organisasi
tersebut.
18
Sementara itu aktivitas obyektif dapat dipilah menjadi tiga kategori yaitu:
operasional, reporting dan complience obyektif. Penentuan obyektif ini harus
mempergunakan pendekatan SMART (Spesific, Measureble, Agreed, Realistic
dan Trackable) serta penentuan risk appetite dan risk tolerance dari tujuan yang
dapat diterima. Risk tolerance dapat diartikan sebagai variasi dalam pencapaian
obyektif yang dapat diterima oleh manajemen.
(iii) Identifikasi resiko
Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kenadian potensial baik yang terjadi di
lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi strategi atau
pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bisa berdampak positif
namun pula sebaliknya negatif. Terdapat empat model dalam identifikasi resiko
yaitu: eksposure analyst, environment analyst, threath skenario dan brainstorming.
(iv) Penilaian Resiko (Risk Assesment)
Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari events (kejadian atau keadaan)
dapat mengganggu pencapaian dari obyektif. Besarnya dampak dapat diketahui
dari inherent dan residual risk, dan dapat di analisa dalam dua perspektif, yaitu
likelihood (kecenderungan atau peluang) dan impact /consequence (besaran dari
terealisirnya resiko). Dengan demikian, besaran resiko atas setiap organisasi
merupakan perkalian antara likelihood dan consequence.
V=PxS

(II-1)
P: Potensial occurance/ Likelihood: besaran kecenderungan atau peluang
terjadinya suatu event

S: Significance/Consequence: besaran dampak dari terealisirnya suatu
resiko

V: Vulnerability / Kerawanan: besaran dari suatu resiko
Penilaian resiko dapat menggunakan dua teknik yaitu (1) kualitatif teknik dan (2)
kuantitatif teknik. Kuantitatif teknik menggunakan beberapa tool seperti self
assesment (low, medium, high), Kuesioner dan internal audit review. Sementara
19
itu kuantitatif teknik mempergunakan data yang berbentuk angka yang diperoleh
dari tool seperti probabilitas based, default prediction, benchmarking, nonprobabilitas model (optimalkan hanya asumsi konsekuensi).
RESIKO (RISK)
Peluang Resiko
(Likelihood)
d
f
b
e
a
c
Konsekuensi (Consequence)
Gambar II.3. Gambar pemetaan dan kuantifikasi resiko
Dari Gambar II.2. dapat terlihat bahwa penilaian resiko atas setiap aktivitas akan
menghasilkan informasi berupa peta dan angka resiko. Aktivitas yang paling kecil
resikonya adalah aktivitas (a) dan (e) dan aktivitas yang paling beresiko yang
paling beresiko tinggi dengan kemungkinan terjadi tinggi ada pada aktivitas (d).
Sedangkan untuk aktifitas c walaupun memiliki dampak yang besar, namun
memiliki resiko terjadi yang rendah. Kebalikan dengan f memiliki kemungkingan
terjadi yang besar namun memiliki dampak yang kecil.
Yang perlu dicermati di sini adalah event relationship atau hubungan antara
kejadian / keadaan. Event yang terpisah mungkin memilik resiko kecil, namun
bila digabung bisa menjadi signifikan. Demikian pula resiko yang mempengaruhi
banyaknya business unit perlu dikelompokan dalam commont event categories
dan dinilai secara agregate.
(v) Sikap atas Resiko (Risk response)
Strategi dalam memilih resiko dijelaskan pada gambar dibawah ini:
20
Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian resiko. Risk response dari
organisasi dapat berupa:

Avoidence, yaitu dihentikan aktivitas atau pelayanan yang menyebabkan
terjadinya resiko.

Reduction,
yaitu
mengambil
langkah-langkah
untuk
mengurangi
likelihood atau impac dari resiko.

Sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama resiko atau
sebagian dari resiko dengan pihak lain.

Acceptance, yaitu menerima resiko yang terjadi (biasanya resiko yang
kecil ) dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan.
Dalam memilih respon perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti:

Pengaruh tiap respon terhadap risk likehood dan impact.

Respon yang optimal (yang dapat memberikan pemenuhan risk apetite dan
tolerance)

Analisis cost versus benefit.

dan peluang yang dapat timbul dari setiap risk response.
(vi) Aktivitas pengendali resiko
Komponen ini berperan dalam menyusun kebijakan-kebijakan dan prosedur yang
menjamin risk response terlaksana dengan efektif. Aktivitas pengendali
memelurkan lingkungan pengendali yang meliputi (1) integritas dan nilai etika (2)
kompetensi (3) kebijakan dan praktek-praktek SDM (4) Budaya organisasi (5)
philosophy dan budaya kepemimpinan manajemen (6) struktur organisasi dan (7)
wewenang dan tanggung jawab.
Dari pemahaman terhadap lingkungan pengendali dapat ditentukan jenis dan
aktivitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian diantarannya adalah
preventive, detection, corrective dan directive. Sementara aktivitas pengendali
berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur  preventive) (2) pengamanan
kekayaan organisasi  detection and corrective (3) Delegasi wewenang dan
pemisahan fungsi  preventive (4) supervisi atasan  directive
21
Aktivitas pengendalian hendaknya terintegrasi dengan manajemen resiko
sehingga pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi
optimal
(vii) Information dan Komunikasi
Fokus dari element ini adalah menyampaikan informasi yang relevan kepada
pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor yang perlu
diperhatikan dalam penyampaian informasi dan komunikasi adalah kualitas
informasi, arah komunikasi dan alat komunikasi.
Informasi yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang diingin
disampaikan daan kualitas informasi dapat dipilah menjadi appropriate, timely,
current, accurate dan accessible. Arah komunikasi dapat bersifat internal dan
eksternal sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya manual, memo, buletin
dan pesan-pesan melalui media elektronik.
(viii) Monitoring
Monitoring dapat dilaksanakan dengan baik secara terus menerus maupun terpisah,
aktivitas monitoring terus menerus tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi
dan aktivitas rutin lainnya.
Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu/ per kasus. Pada
monitoring ini ditentukan skope tugas, frekuensi, proses evaluasi metodelogi,
dokumentasi dan action plan. Pada proses monitoring perlu dicermati adanya
kendala seperti reporting deficiencies yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau
bahkan berlebihan dan tidak relevan. Kendala ini timbul dari berbagai faktor
seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang disampaikan laporan dan
arahan bagi pelaporan.
22
2) Framework
manajemen Resiko Australia/New Zealand Standard
(AS/NZS4360:2004)
Membangun Sasaran dan Ruang Lingkup
Stakeholde konsultasi dan
Komunikasi
Identifikasi Resiko
Monitor /
dan review
Analisa Resiko
Kecenderungan
(Probabilitas)
Konsekuensi
Memperkirakan Level Resiko
Evaluasi Resiko
Mengelola Resiko
Gambar II.4. Konsep manajemen resiko AS/NZS4360:2004
Proses menagemen resiko ini dimulai dari pengenalan konteks, lalu dilanjutkan
dengan risk assesment (perkiraan resiko). Perkiraan resiko terdiri dari identitas
analisis dan evaluasi resiko. Kemudian proses ini dilanjutakan dengan
penanggulangan resiko. Keseluruhan tahap tersebut perlu dikomunikasikan dan di
konsultasikan, serta diawasi untuk menjamin proses tersebut berjalan sesuai
dengan standar yang diinginkan (lihat Gambar II.3)
(i) Pengenalan konteks
Pengenalan konteks adalah mempelajari situasi, kondisi dan lingkungan yang
akan dikaji. Kondisi dan situasi yang berbeda akan memerlukan perlakuan yang
berbeda pula. Pengenalan konteks menjadi langkah awal dalam proses manajemen
resiko yang harus dijalankan. Hal ini harus dilakukan dengan baik agar hasil akhir
yang didapat benar-benar sesuai dengan permasalahan dalam sistem yang dikaji.
Cara
pengenalan
konteks
bermacam-macam
23
yaitu
dengan
mempelajari
operasional sistem, dokumen terkait, pengamatan lapangan, wawancara, dan lain
sebagainya.
(iii) Identifikasi
Identifikasi
adalah
langkah-langkah
mencari
kemungkinan-kemungkinan
terjadinya bahaya atau resiko yang dihadapi. Langkah ini adalah yang paling sulit
namun juga paling penting. Sebab keberhasilan pengelolaan resiko sangat
bergantung pada hasil identifikasi ini. Berikut ini adalah beberapa cara
mengidentifikasi dari resiko:

Kuesioner

Flow chart

Inspeksi langsung

Interaksi ke departemen lain

Interkaksi ke pihak luar

Analisa terhadap kontrak-kontrak

Catatan dan statistik

Analisa lingkungan
(iv) Analis dan Evaluasi Resiko
Analis dan evaluasi termasuk ke dalam penilaian resiko, oleh karena itu dalam
beberapa kajian, analis dan evaluasi digabung menjadi satu yaitu penilaian resiko
(Covan, 1995). Penilaian resiko dapat ditinjau dalam dua hal yaitu frekuensi dan
kegawatan. Kedua aspek ini merupakan hal yang kualitatif sehingga orang dapat
mempunyai persepsi yang berbeda. Oleh karena itu penilaian aspek tersebut
distandarkan dengan metoda yang sudah baku diantaranya seperti kreteria
Sverdrup.

Kegawatan/ Significant adalah efek terjadinya suatu resiko. Kegawatan dapat
dinilai dengan kriteria Sverdrup sebagai berikut: Catastropic, Critical,
marginal dan neglegible

Frekuensi/ likelihood merupakan kecenderungan atau kemungkinan terjadinya
resiko. Frekuensi ini dapat di nilai dengan menggunakan kriteria Sverdrup
24
dalam lima kelompok sebagai berikut: Frequent, Probable, Occacional,
Remote, Improbable

Bobot Resiko atau Kerawanan (Vulnerable). Penentuan bobot resiko dapat
dilakukan dengan mempergunakan matrik perkiraan resiko sverdrup dimana
Frekuensi ada pada row dan Kegawatan diletakan pada kolom.
(v) Penanggulangan Resiko
Penanggulangan resiko harus dilakukan untuk menghilangkan, mengurangi atau
meminimasi resiko tersebut. Banyak cara-cara dan pendekatan-pendekatan yang
biasa digunakan dalam menanggulangi resiko. Dalam banyak kasus diperlukan
kombinasi penanggulangan resiko sampai tingkat yang dapat diterima. Contoh
pendekatan yang dapat digunakan dalam penanggulangan resiko adalah 4E/5E
(Baurer 1990). Resiko dapat dikelola tanggulangi dengan Education, Engineering,
Enforcement, Empowerman, dan yang ke lima Enable.
3) Basel II Framework
The Basel Committee (Committee on Banking Regulations and Supervisory
Practices) dibangun oleh Gubernur Bank Central dari G10. Basel II merupakan
hasil kerja dari basel Committe yang di publikasikan pada Juni 2004. Basel II
bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan
menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory
review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan
forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan
dan penyesuaian dari waktu ke waktu.
Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan
yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen
risiko. Basel II mempunyai tiga pilar yaitu (1) minimum capital requirement (2)
supervisory reiview dan (3) market disiplin.
25
BASEL II
3 PILAR BASEL II
Keperluan
Kapital
Minimum
Proses
Review
Supervisi
Minimum
Capital
Requirement
(Supervisory
Review
Process)
Disiplin
Pasar
(Market
Disipline)
Menyediakan sebuah framework management resiko
capital yang sensitif dan fleksibel
Gambar II.5. Tiga Pilar Basel II (Sumber : Implementasi Basel II Bank Indonesia)
(i) Pilar I Minimum Capital Requirement
Pilar pertama merupakan framework untuk mempertahankan regulasi dari rasio
minimum kecukupan modal (CAR = Capital Acid Rasio). Rumus dari CAR
adalah sebagai berikut
Minimum_Capital _ Rasio 8%
Resiko Market
Resiko Kerugian dari posisi
dalam on dan off balance
sheet yang timbul karena
perubahan faktor pasar
(Suku Bunga dan Nilai
Tukar)
Modal
Aktiva _tertimbang _ menurut _ resiko
Resiko Kredit
Resiko kerugian karena
debitur gagal memenuhi
kewajiban sesuai perjanjian
yang disepakati
Resiko Operasional
Resiko kerugian langsung
maupun tidak langsung
yang disebabkan faktor
kelemahan atau kegagalan
proses internal , SDM,
sistem dan kejadian
eksternal
Gambar II.6 Bagan CAR (Sumber : Implementasi Basel II Bank Indonesia)
Pada pilar satu ini hanya di hitung berdasarkan tiga resiko utama pada bank yaitu
credit risk, operasional risk dan market risk. Resiko yang lain akan di hitung
pada pilar II

Credit Risk dapat dihitung dengan tiga cara yaitu pendekatan standar,
Pembangunan IRB dan Advance IRB (IRB=Internal rating based Approach)
26

Operasional Risk terdapat tiga pendekatan yaitu basic indikator approach
(BIA), standardized approach (SA) dan advance Measurement approach
(AMA)

Untuk resiko market digunakan pendekatan VaR (Value at risk)
(ii) Pilar II Supervisi Review
Pilar kedua ini dilakukan perhitungan alokasi modal untuk antisipasi kerugian
karena risiko-risiko lain diluar pilar 1 seperti risiko likuiditas (liquidity risk),
risiko strategik (strategic risk), risiko suku bunga di banking book (interest rate
risk in the banking book) dan risiko-risiko lainnya. Pendekatan di atas disebut
juga sebagai Individual Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yang
akan menjadi tantangan bagi bank dan pengawas. Diperlukan peningkatan
kompetensi dan kapasitas pengawas serta manajemen resiko yang efektif dalam
untuk dapat melakukan pilar II dengan baik
(iii) Pilar III Market Disiplin
Pilar III memandang peran aktif masyarakat dalam mengawasi bank dipandang
juga menentukan sehingga dari awal masyarakat diharapkan mampu pula menilai
risiko yang hadapi serta mengetahui tingkat kecukupan modal yang dimiliki oleh
bank. Pilar ke III ini di desain memperbolehkan market untuk mendapatkan
gambaran yang lebih baik dari resiko keseluruhan dari bank dan memperbolehkan
untuk ikut menentukan sebagai counter part dalam masalah price dan
kesepakatan.
Sinergi penerapan dari ketiga Pilar yang terdapat dalam Basel II di atas tidak
dapat dipisahkan dalam mencapai industri perbankan dan sistem keuangan yang
sehat dan stabil. Prasyarat utama agar Basel II dapat diterapkan dengan baik
meliputi:

Penerapan manajemen risiko di bank sebagaimana telah diatur dalam PBI
No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko
BagiBank Umum

Penyesuaian standar akuntansi yang mengacu kepada standar akuntansi
internasional (IAS) antara lain IAS 32 dan IAS 39.
27

Penerapan perhitungan permodalan secara konsolidasi dengan perusahaan
tertentu dalam sektor keuangan kecuali asuransi

Pengakuan perusahaan pemeringkat oleh Bank Indonesia untuk dapat
melakukan rating terhadap debitur bank (Laporan BI Implementasi Basel II)
II.2 Default Prediction sebagai Risk Assement Manajemen Resiko Kredit.
Default Prediction atau Prediksi kebangkrutan merupakan topik yang banyak
dibahas dalam studi kegagalan bisnis suatu perusahaan. Bangkrut dalam hal ini di
identikan dengan kesulitan keuangan, dimana arus kas operasional tidak cukup
untuk memenuhi kewajiban-kewajiban lancarnya seperti utang dagang atau biaya
bunga.
Pengertian tersebut dapat diperluas dengan mengaitkannya dengan insolvency.
Insolvency sendiri di definisikan dalam dictionary sebagai “ketidakmampuan
debitur untuk membayar hutang, debitur kekurang alat untuk membayar hutang
sedemikian rupa sehinga aset tidak dapat memenuhi “ Ketidakmampuan
perusahaan untuk membayar (insolvency) adalah gejala awal yang dapat
menyebabkan kegagalan perusahaan. Kesimpulannya adalah bahwa kesulitan
keuangan merupakan akibat dari semua faktor kegagalan pengelolaan perusahan
maupun kegagalan karena faktor lain di luar perusahaan.
Sebelum tahun 1960 terdapat empat model yang digunakan untuk memprediksi
kebangkrutan yaitu dengan rasio laporan keuangan, cash flow, stock return dan
return standar deviation. Kesemua ini merupakan mempergunakan pendekatan
akunting dan univariat. Kelemahan dari pendekatan ini adalah bersifat univariat
sehingga sulit memberikan penjelasan yang kualitatif tentang rasio keuangan
mana yang komprehensif dan berpengaruh dalam suatu penilaian kinerja
perusahaan (Weston 1992).
Rasio-rasio keuangan dimasukan sebagai variabel bebas untuk di olah dan di
analisa sedemikian rupa, sehingga di peroleh variabel pembeda yang terbaik, yaitu
rasio keungan terpenting yang mampu memprediksi kesulitan keuangan di masa
mendatang (Van Horne, 1983). Dengan menaruh perhatian besar pada rasio
28
keuangan terpenting tersebut, manajemen dapat melakukan tindakan perbaikan
untuk mencegah kebangkrutan perusahaan.
II.2.1 Default Prediction
Beaver (awal tahun 1960) merupakan salah satu akademisi yang menjadi pioneer
dalam meneliti corporate failure dan penelitiannya sering dianggap sebagai
milestone penelitian corporate failure. Pendekatan yang dipakai Beaver adalah
univariat, yaitu setiap rasio, tanpa diikuti oleh rasio lainnya, diuji kemampuannya
untuk memperkirakan corporate failure. (Hadad, 2003)
Altman (1968) mencoba memperbaiki penelitian Beaver dengan menerapkan
multivariate linear discriminant analysi
(MDA), suatu metoda yang kerap
dibuktikan memiliki keterbatasan. Teknik MDA yang digunakan oleh Altman
merupakan suatu teknik regresi dari beberapa uncorrelated time series variables,
dengan menggunakan cut-off value untuk menetapkan kriteria klasifikasi masingmasing kelompok. Kelebihan penggunaan teknik MDA ini adalah seluruh ciri
karakteristik variabel yang diobservasi dimasukkan, bersamaan dengan interaksi
mereka.
Altman
juga
menyimpulkan
bahwa
MDA
mengurangi
jarak
pengukuran/dimensionality dari para peneliti dengan menggunakan cut-off points.
Pada umumnya, karena MDA mudah digunakan dan diinterpretasikan, MDA
sering menjadi pilihan para peneliti default prediction selama ini.
Namun demikian, dalam menggunakan rasio keuangan untuk memprediksi
corporate failure, teknik MDA menggunakan metoda error yang mengikuti
karakteristik data yang digunakan. Dengan kondisi tersebut, issu penting yang
banyak didiskusikan di literatur-literatur penelitian adalah pada penggunaan
asumsi proporsionalitas dan zero intercept dari rasio keuangan (Hadad , 2003)
Dengan demikian, secara keseluruhan, bukti empiris yang dihasilkan menjadi
lebih tidak pasti dan belum ada pernyataan resmi yang menyebutkan bahwa
bentuk rasio yang lebih canggih akan lebih baik dari rasio dasar tersebut. Untuk
29
alasan tersebut, rasio-rasio sederhana masih tetap digunakan dalam kebanyakan
studi default prediction.
Masalah lain yang terkait dengan MDA pada prediksi corporate failure adalah
masalah normalitas data, inequality dari matriks dispersion dari seluruh kelompok
dan non-random-sampling dari perusahaan yang fail maupun tidak fail. Setiap
masalah tersebut menyebabkan output regresi menjadi biasa. Para peneliti pada
umumnya, tampak mengabaikan keterbatasan tersebut dan tetap melanjutkan
penelitian Altman, dengan harapan mendapatkan model yang lebih akurat lagi.
Beberapa contoh dari penelitian lanjutan tersebut adalah : Penggunaan quadratic
classifier (Altman, Haldeman and Narayanan, 1977)
Lebih lanjut, pada kebanyakan kasus, aplikasi pemakaian model-model kepailitan
tersebut menghadapi kesulitan karena model-model yang digunakan ternyata lebih
kompleks (Hadad , 2003).
Yang perlu mendapatkan perhatian mengenai perkembangan teknik pengujian
statistik yang digunakan untuk memprediksi kepailitan adalah teknik pengujian
statistic yang digunakan Ohlson (1980). Ohlson pada tahun 1980, menggunakan
logistic regression (logit analysis) untuk memprediksi kepailitan, suatu metoda
yang menghindari keterbatasan teknik MDA.
Pada Logit analysis, asumsi multivariate normal distribution diabaikan. Dengan
adanya asumsi inilah maka keterbatasan yang terdapat pada teknik pengujian
statistik untuk kepailitan dengan menggunakan MDA dapat diatasi oleh Logit.
Logit, bersama dengan probit analysis (variasi dari logit), disebut sebagai
conditional probability model karena Logit menyediakan conditional probability
dari observasi yang berasal dalam suatu kelompok.
Pertimbangan lain untuk memilih Logit antara lain karena Logit model memiliki
keunggulan secara statistik. Namun demikian, model tersebut perlu dimodifikasi
30
untuk menjamin kevalidan koefisien parameter dengan pengaruh kelompok yang
ditimbulkan oleh panel data.
Altman model dengan pendekatan diskriminan analisisnya merupakan model
statistikal pertama dari prediksi kebangkrutan. Metoda diskriminan, walaupun
secara praktis banyak kesulitan seperti kebutuhan normalitas atas data, telah
menginspirasi beberapa usulan baru. Beberapa pendekatan baru adalah logit dan
probit model, expanded logit model, recursive partitioning model, survival analyst,
proportional hazard model, neural network serta expert system.
Jenis pengelompokan default prediction dapat dilihat pada tabel dibawah ini
sebagai berikut:
Tabel II.1 Pengelompokan metodalogi default prediction (Jozef Pociecha, 2005)
II.3 Metoda Statistik untuk Klasifikasi
Masalah klasifikasi sering kali ditemui di kehidupan sehari-hari, apakah itu terkait
dengan data sosial, data industri manufaktur, data marketing maupun data
akademik. Melihat, mendeskripsikan dan memaparkan keunikan dari suatu
pengelompokkan merupakan hal yang menarik dan dapat memberikan ide-ide
tertentu. Namun bagaimana jika, penge lompokan
ini tidak benar atau ada
observasi-observasi tertentu yang salah dalam proses pengelompokkan. Jika
pengelompokkan/ pengklasifikasian ini menyangkut pengambilan keputusan yang
31
cukup penting seperti akreditasi, jabatan maka akibatnya akan cukup fatal. Oleh
karenanya, perlu dilakukan review pada proses klasifikasi.
Dalam ilmu statistik dikenal tiga metoda klasifikasi yang pada umumnya dipakai,
yakni: analisis diskriminan, regresi logistik, model probit maupun analisa regresi.
Dibandingkan dengan analisis diskriminan, Kurt (2006) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa regresi logistik merupakan metoda klasifikasi yang cukup
baik, setidaknya pada saat ada variabel independen berskala kuantitatif maupun
kualitatif ataupun keduanya. Berbeda lagi dengan hasil penelitian Mesbhane,dkk
(1996) yang menyatakan bahwa analisis diskriminan adalah analisis yang lebih
baik digunakan pada saat ukuran sampel kecil.
Pada studi literatur ini, sesuai dengan kebutuhan dari penelitian hanya akan
dibahas dua metodelogi yaitu regresi logistik dan analisa diskriminan yang
direncanakan akan dievaluasi secara mendalam kesesuaiannya untuk menjadi
model analisa kredit di lembaga keuangan mikro.
II.3.1. Analisis Diskriminan
1) Konsep Dasar
Diskriminan analisis adalah salah satu tehnik analisa Statistika dependensi yang
memiliki kegunaan untuk mengklasifikasikan objek beberapa kelompok.
Pengelompokan dengan analisis diskriminan ini terjadi karena ada pengaruh satu
atau lebih variabel lain yang merupakan variabel independen. Kombinasi linier
dari variabel-variabel ini akan membentuk suatu fungsi diskriminan (Tatham et.
al., 1998).
(II-2)
32
Fungsi diskriminan lain yang dapat digunakan antara lain fungsi diskriminan
linier Fisher. Secara detail fungsi ini dijelaskan dalam Johson dan Winchern
(1992). Nilai diskriminan Z dari (1) merupakan dasar untuk menentukan suatu
obyek masuk kelompok yang mana dengan membandingkannya dengan rata-rata
(centroid) dari nilai Z masing-masing kelompok. Jika ada dua kelompok, misalkan
A dan B, maka
(II-3)
Ilustrasi Grafik dari Diskriminan analisis dapat dilihat pada ilustrasi grafik sebagai
berikut:
x2
x1
Cutt Off
Fungsi Diskriminant
Gambar II.7 Ilustrasi analisa diskriminan dengan dua varibel x1 dan x2
33
2) Tabel Klasifikasi
Selanjutnya, untuk mengevaluasi seberapa tepat klasifikasi dilakukan digunakan
Apparent Error Rates (APER). APER dihitung dengan terlebih dulu membuat
tabel klasifikasi seperti yang tertera pada Tabel berikut
Tabel II.2. Tabel Klasifikasi
Prediksi Group
Aktual Group
0 = Tdk lancar
1 = Lancar
0 = Tdk lancar
N0
Kesalahan type
2
1 = Lancar
Kesalahan type
1
N1
3) Beberapa Ketentuan Umum Analisa Diskriminan
Beberapa ketentuan dalam Multivariate diskriminan analyst adalah sebagai
berikut:
 Variabel dependen

dikotomi – multikotomi

kategori artifisial

pendekatan polar extereme
 Ukuran sampel

ideal: 20 sampel per prediktor

min: 5 sampel per prediktor

min: 20 sampel per grup

diusahakan seimbang antar grup
 Pembagian sampel

sampel analisis vs holdout sample
34
4) Asumsi dalam Multivariate Discriminant Analyst (MDA)

Variabel independen berdistribusi normal multivariat (masalah estimasi
fungsi)

Matriks variansi-kovariansi dari variabel-variabel independen dalam
masing-masing kelompok adalah sama (pengaruh: klasifikasi objek)

Multikolinearitas

Hubungan linier & isu outlier
II.3.2. Regresi Logistik
1) Konsep Umum
Regresi Logistik merupakan salah satu metoda klasifikasi yang sering digunakan.
Regresi logistik biner digunakan saat variabel dependen merupakan variabel
dikotomus (Y dengan 2 macam kategori), sedangkan Regresi Logistik
Multinomial digunakan saat variabel dependen adalah variabel kategorik dengan
lebih dari 2 kategori. Regresi logistik tidak memodelkan secara langsung variabel
dependen (Y) dengan variabel independen (X), melainkan melalui transformasi
variabel dependen ke variabel logit yang merupakan natural log dari odds ratio
(Fractal, 2003). Model regresi logistik multivariate dengan k variabel prediktor
dinyatakan pada persamaan berikut
 P 
f (x)  ln event  b0 bx
i i ... bnxn
1

P
 event 
P ( Y 1 ) 
e x p ( f ( x ))
1  e x p ( f ( x ))

P(Y=1)
: adalah probabilistik terjadinya suatu event (Y=1)

x1.....xk
: adalah indenpendent variabel

bo … bn
: parameter logistik pada bentuk logit
(II-4)
(II-5)
Regresi logistic ekuivalen dengan diskriminan analis dua grup dan dalam banyak
hal lebih cocok pada berbagai situasi. Regresi logistik memerlukan variabel
dependen berupa binary dengan nilai 0 dan 1. Tidak masalah group mana yang di
35
dedikasikan untuk 1 atau 0. Regresi logistik ini di desain untuk memprediksi
kemungkinan terjandinya suatu event yang didedikasikan berkode 1. (Hair, 2006)
2) Penggunaan Kurva Logistik
Karena variable dependen pada regresi logistik hanya bernilai 0 dan 1, nilai
prediksi (probabilistic) harus dalam range tersebut. Untuk mendefinisikan
hubungan
antara
variabel
indenpenden
dan
dependen,
regresi
logistik
menggunakan kurva logistik seperti terlihat pada Gambar II.9 dibawah ini. Pada
level terbawah dari independent variabel, nilai probabilitas mendekati nilai 0, tapi
tidak pernah mencapai nol. Sedangkan pada nilai kelompok independent variabel
tinggi probabilitas meningkat dan kemudian menurun sampai mendatar sehingga
tidak pernah mencapai nilai 1.
Sifat seperti ini tidak dapat diakomodasi oleh model regresi linier. Hubungan
regresi linier walaupun dengan transformasi untuk efek non linier tidak dapat
menggaransi nilai variabel dependen dalam range 0 – 1.
Gambar II.8. fungsi Logistik ( Sigmoid Curved)
3) Sifat Unik dari Dependen Regresi Logistik
Variabel dependen yang binari (0 dan 1) mempunyai sifat unik yang tidak sesuai
dengan asumsi untuk multiple regression. Pertama error dari suatu variabel diskrit
mengikuti distribusi binomial dari pada normal distribusi, hal ini mengakibatkan
semua pengetesan statistik yang menggunakan asumsi normal menjadi tidak valid.
Kedua variasi dari variabel dikotomus tidak konstan, dan juga heterocedascity.
36
Hal ini tidak dapat dibetulkan walaupun melalui transformasi dari dependen
maupun indenpenden variabel.
Regresi logistik di bangun khusus untuk mengatasi masalah ini. Regresi logistik
merupakan hubungan yang unik antara dependen dan invariabel dependen. Hal ini
memerlukan pendekatan yang berbedan dalam mengestimasi parameter,
melakukan evaluasi kesesuaian model dan juga mengintepretasi ketika di
bandingkan dengan multiple regression.
4) Pembangunan Model Regresi Logistik
Persamaan yang digunakan dalam mengestimasi parameter dapat berbentuk logit
ataupun Odds sebagai berikut:
 probevent
Logiti  ln 
 1  probevent

  b0  bi xi  ...  bn xn

 probevent  b0 bi xi ...bn xn
Oddsi  
e
 1  probevent 
(II-6)
(II-7)
Kedua persamaan tersebut adalah sama, namun dengan perbedaan cara
mengintepretasinya. Multiple regression mempergunakan metoda Least squares
yang meminimasi jumlah dari kuadrat selisih antara aktual dengan prediksi valus
dari variabel dependen. Sifat yang non linier dari regresi logistik memerlukan
pendekatan lain yaitu maximum likelihood procedure.
Maximum likelihood estimation (MLE) adalah suatu prosedur yang digunakan
untuk menghitung dari logit koefisien. Ini kontras dengan pendekatan least square
yang biasa (OLS) yang digunakan dalam mengestimasi suatu koefisien untuk
persamaan regresi. OLS mencari nilai minimum dari suatu selisih kuadrat data
dengan model. Sedangkan ML mencari nilai maksimum dari log likelihood, LL,
yang merefleksikan bagaimana nilai dependen yang di observasi dapat di prediksi
dari nilai independen yang di observasi.
Atau dengan penjelasan lain sebagai berikut OLS dapat dilihat sebagai salah satu
tipe dari MLE untuk kasus khusus dari sebuah model linier dengan karekteristik
37
error yang terdistribusi normal di sekitas garis regresi, dimana koefisien regresi
dihitung dari memaksimalkan likelihood yang diperoleh dari nilai terkecil error
kuadrat. Ketika error tidak normal terdistribusi dan ketika variabel juga tidak
normal terdisribusi, MLE adalah lebih sesuai digunakan karena tidak bias pada
kasus khusus pada OLS. (David, 2009).
Prosedur ini mempergunakan proses iterasi Newton Raphson untuk mendapatkan
estimasi yang paling mendekati untuk parameter. Estimasi maximum likelihood
merupakan pendekatan dari estimasi Weighted Least Square, dimana matrik
pembobotnya berubah setiap putaran. Proses menghitung estimasi maksimum
likelihood ini disebut juga sebagai Iteratif Reweighted Least Square (Hosmer dan
Lemeshow, 1989).
Obyektif dari iterasi prosedur ini adalah memaksimalkan kecenderungan
(likelihood) suatu event akan terjadi. Nilai likelihood ini kemudian akan
digunakan untuk menghitung kecocokan model secara keseluruhan, dengan
mempergunakan evaluasi model yang berbeda dengan multiple regression.
5) Evaluasi ketepatan model dalam regresi logistik
Evaluasi ketepatan model (the goodness of fit) untuk pendekatan regresi logistic
dapat dilakukan dengan dua cara: (1) Melakukan evaluasi model dengan
menggunakan nilai “pseudo” R2, serupa dengan yang ditemukan pada multiple
regression. (2) Melakukan evaluasi keakuratan dari prediksi model (serupa
dengan analisa diskriminan). Kedua hal ini dilihat dari dua perspektif yang
berbeda, namun hasilnya haruslah seiring.
(i) “pseudo” R2
Pengukuran dasar mengenai seberapa baik estimasi dari maksimum likelihood
adalah mempergunakan nilai likelihood, Hal ini serupa dengan nilai dari sum of
square yang digunakan pada multiple regresion. Regresi logistik mempergunakan
nilai dari -2 x nilai log of likelihood (-2LL). Dimana nilai minimum untuk -2LL
adalah 0, nilai ini menggambarkan model yang fit sempurna dengan data.
(likelihood = 1 dan -2LL adalah 0). Oleh karena itu semakin kecil dari nilai -2LL
38
maka semakin baik model tersebut. Nilai -2LL ini juga kemudian akan digunakan
untuk mengukur “pseudo” R2 sebagai berikut:
R 2 Logit 
2 LLnull  (2 LLmod el )
2 LLnull
(II-8)
Seperti multiple regresion, nilai “pseudo” R2 ini ada pada range 0 sampai dengan
1. Jika model yang diusulkan lebih sesuai dengan fakta (fit) maka nilai -2LL akan
menurun dan “pseudo” R2 akan semakin meningkat. Pada keadaan yang sempurna
makan nilai dari -2LL adalah sangat kecil atau nol dan sehingga nilai dari
“pseudo” R2
adalah 1.
Terdapat dua pengukuran yang serupa dengan “pseudo” R2 dan juga dapat
dikategorikan pengukuran tersebut adalah “pseudo” R2 juga. Pengukuran tersebut
adalah: The Cox and Snell R2 dan Nagelkerke, kedua pengukuran ini juga
mengindikasikan nilai 1 sebagai model yang sempurna. Nilai Nagelkerke R2 dapat
ditafsirkan sebagaimana R2 dalam metoda OLS, yaitu bahwa variabel X dapat
menjelaskan variasi Y sebesar persentase tertentu sesuai hasil dari perhitungan
Nagelkerke ataupun the Cox and Snell R2.
(ii) Evaluasi Ketepatan Prediksi
Regresi logistik mempunyai kesamaan dengan konsep R2 pada regresion sebagai
pengukuran untuk kesesuaian model secara keseluruhan. Dari metoda diskriminan
analis, regresi logistik mempunyai kesamaan dalam pengukuran ketepatan
prediksi secara keseluruhan. Terdapat dua pendekatan yang umum digunakan
yaitu matrik klasifikasi dan chi square based measure of fit.
a. Matrik klasifikasi
Pendekatan matrik klasifikasi yang digunakan pada regresi logistik adalah
serupa dengan yang digunakan pada analisa diskriminan. Matrik ini mengukur
seberapa baik suatu group di klasifikasikan dan juga nilai hit ratio nya. Bentuk
matrik klasifikasi dapat dilihat pada tabel II.2.
b. Chi Square – Based Measure
Hosmer and lemeshow [1] membangun suatu komprehensif klasifikasi test
untuk memprediksi keakuratan berdasarkan actual prediksi dari variabel
39
dependen. Pada SPSS test ini di rekomendasikan sebagai overall fit of binary
logistic regression model. Biasa juga disebut dengan Chi square test. Test ini
lebih robust daripada tradisional chi-square test, khususnya untuk untuk
covariate yang continue terdapat pada model dan sample size yang kecil. Nilai
yang tidak significant dapat diartikan bahwa model sudah sesuai dengan data.
Test ini juga lebih disukai dari table klasifikasi ketika mengevaluasi
kesesuaian model.
Cara bekerja Hosmer dan Lemeshow test dapat diterangkan sebagai berikut:

Ho: ada perbedaan yang signifikan antara nilai hasil observasi dengan nilai
hasil prediksi

Ha: Tidak terdapat perbedaan yang significant antara hasil observasi
dengan nilai hasil prediksi
Jika nilai HL test ≥ 0,05 maka Ho di tolak yang berarti mengindikasikan
bahwa model prediksi tidak berbeda secara significant dengan data observasi.
Hal ini menunjukan bahwa model dapat diterima.
(iii) Pengujian untuk Signifikansi dari koefisien
Pada multiple regresion dilakukan statistikal test (t test) apakan suatu koefisien
tersebut signifikan atau tidak dari nilai 0. Sebuat koefisien nol mengindikasikan
bahwa koefisient tersebut tidak mempunyai contribusi untuk memprediksi
variabel dependen.
Pada regresi logistik digunakan juga statistik test seperti ini dinamakan Wald
Statistic. Pada regresi logistik juga dievaluasi apakan statu koefisien signifikan
atau tidak dari nilai 0, namun karena regresi logistik menggunakan logit pada
pengukuran variabel dependennya maka nilai logia = 0 berkorespondensi dengan
nilai odds = 1, atau pada probabilitas 0,5. Nilai ini mengindikasikan bahwa
probabilitas dari setiap grup adalah sama (sehingga tidak terdapat efek dari
independen ini untuk memprediksi nilai variabel dependen).

Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel tersebut dalam
memprediksi variabel dependen
40

Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel tersebut dalam
memprediksi dependent variabel
Untuk model dengan logit koefiesien yang besar standar error juga mengambang,
dan mengurangi nilai Wald statistik sehingga mengarahkan pada kesalahan type II
(false alarm) dimana diprediksi tidak signifikan padahal signifikan. Demikian juga
untuk model yang mempergunakan dummy variabel, adalah lebih baik untuk
melakukan test dengan mempergunakan likelihood rasio test untuk model yang
berbeda dengan dan tanpa parameter yang ditest.
Dicatat pula Wald statistik sensitif terhadap asumsi dari besar sample pada regresi
logistik. Untuk beberapa alasan ini maka likelihood ratio test adalah lebih disukai
/ disarankan (David Garson, 2009)
Pemilihan antara diskriminan analis dengan regresi logistik tergantung pada
asumsi yang diperlukan oleh kedua metoda tersebut. Analisis diskriminan
mengasumsikan data berdistribusi multivariate normal, sedangkan regresi logistik
tidak mengasumsikan data harus berdistribusi tertentu. Pelanggaran asumsi
multivariate normal pada analisis diskriminan biasanya menghasilkan tingkat
ketepatan klasifikasi yang rendah. Ada peneliti yang menganjurkan tetap
menggunakan analisis diskriminan meskipun ada pelanggaran asumsi, dengan
catatan tidak ada data yang outlier (Meshbane, 1996).
6) Perbandingan Regresi Logistik dengan Multiple regression
Konsep dari multiple regression dan regresi logistik adalah serupa pengetesan
dasar dari keduannya kompatible dengan perbedaan yang ada timbil dari
penggunaan metoda yang digunakan dari dua teknik ini (Least square dan
Maximum likelihood)
41
Tabel II.3 Perbandingan multiple regression dan regresi logistik (Hair, 2006)
Perbandingan dari evaluasi kesesuaian model
Multiple Regression
Logistic Regression
Total sum of square
-2LL of base model (model null)
Error sum of square
-2LL of proposed model
Regression sum of square
Difference of -2LL for base dan
proposed model
F test of Model
Chi square test of -2LL difference
Coeficient Determination (R2)
“pseudo” R2
Jika diketahui bahwa tipe data variabel respon (Y) adalah nominal, yaitu
kategorisasi keputusan manajemen bank apakah akan kredit lancar atau tidak
(misal lancar dilambangkan angka 1, sedangkan tidak lancar dengan angka 0),
sedangkan tipe data untuk variabel bebas (X) adalah nominal ataupun campuran
kualitatif maupun kuantitatif. Bila metoda regresi linier biasa diterapkan pada
kasus semacam ini, menurut Kutner, dkk.(2004), akan terdapat 2 pelanggaran
asumsi Gauss-Markov dan 1 buah pelanggaran terhadap batasan dari nilai duga
(fitted value) dari variabel respon (Y), yaitu:
1. Error dari model regresi yang didapat tidak menyebar normal.
2. Ragam (variance) dari error tidak homogen (terjadi heteroskedastisitas
pada ragam error).
3. Sedangkan, pelanggaran bagi batasan nilai duga Y (fitted value) adalah
bahwa nilai duga yang dihasilkan dari model regresi linier biasa melebihi
rentang antara 0 s.d. 1. Hal ini jelas tidak masuk akal , karena batasan nilai
pada variabel Y (dalam kasus ini adalah lancar=1 dan tidak lancar=0).
Sehingga jika mendapatkan nilai Y = 4 pada saat memasukkan suatu nilai
X tertentu itu berarti tidak dapat di intepretasikan .
II.3.3 Metoda Probit
Regresi
probit
adalah
suatu
analisis
regresi
yang
digunakan
untuk
menggambarkan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen.
42
Variabel dependen (variable respon) biasa disimbolkan Y dengan skala
pengukuran dikotomus (biner) dan variabel independent (variable prediktor) biasa
disimbolkan X yang skala pengukuran bersifat dikotomus, polikotomus atau
kontinyu.
Untuk membuat harga Y selalu berada di antara 0 dan 1 , maka memerlukan suatu
fungsi monoton (non decreasing) yang memetakan hasil dari linier prediktor ke
dalam unit interval. Tranformasi tipe ini diharapkan akan mempertahankan
struktur linier dari model dan menghindari nilai peluang berada di luar interval
[0,1]. Sembarang fungsi distribusi kumulatif (CDF) akan memenuhi kriteria diatas
Y = P (Y=1 I X = xi) = P ( α + βXi)
Dimana fungsi distribusi kumulatif P(.) dipilih sebelumnya dan α dan β adalah
parameter yang akan di estimasi. Fungsi P(.) diasumsikan smooth dan simetris dan
mendekati nilai simetrik Y=1 dan 0 secara asimtotis.
Jika fungsi P(.) di asumsikan strictly increasing, maka model dapat ditulis ulang
sebagai : P-1= α + βXi
Untuk transformasi P(.) sering digunakan CDF dari distribusi normal standar yaitu
 ( z) 
1
2
z
1
x2
 e 2 dx

atau lebih umum yang biasa dikenal dengan fungsi regresi logistik sebagai :
( z) 
1
ez

1  e z 1  e z
dengan konstanta n ~3,141 dan e ~ 2,718
dengan mempergunakan CDF normal  ( z ) diperoleh probit model sebagai
berikut :
1
Yi   (   xi ) 
2
   xi

1
x2
e 2 dx

sementara itu dengan mempergunakan fungsi logistik akan diperoleh persamaan
regresi logistik sebagai berikut.
 (   xi ) 
1
1  e (   xi )

e   xi
1  e   xi
Secara umum, harga transformasi fungsi probit dan fungsi logit ekuivalen
nilainya.
43
Intepretasi fungsi probit
Misal dimiliki data tentang kepelikan rumah dengan variable Y = 1 jika memiliki
rumah dan 0 jika tidak memiliki rumah. Sedangkan X adalah pendapatan dalam
juta. Jika hasil estimasi dari data yang ada diperoleh sebagai berikut
Konstan
= -0,08133
dengan p value 0,003
X1
= 0,05846
dengan p value 0,021
Maka dengan mempergunakan model probit dapat di peroleh peluang kepemilikan
rumah sebagai berikut :
1
 i   (0,8133  0, 05846(1) 
2
0,8133 0,05846(1)

e
1 2
(1)
2
dx

maka diperoleh  (0,8133  0, 05846(1) =  (0, 7258) , dengan  (0, 7258)
adalah CDF normal standar di titik -0,7258. Jika kita lihat di dalam tabel CDF
normal standar maka dapat diketahui bahwa nilai  (0, 7258) ialah di sekitar
0,3066. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peluang kepemilikan rumah adalah
sebesar 0,3 untuk penghasilan 1 juta.
Terdapat dua kelebihan dari fungsi logit dibandingkan dengan model probit yaitu
(Rosadi, D. 2005)
1. Simplicity
Persamaan dari fungsi logistik realatif sederhana, sedangkan fungsi normal
lebih komplek. Perbedaan terutama untuk data polythomus dimana
diperlukan model multivariate logistik terlihat bahwa model logistik akan
jauh lebih sederhana
2. Interpretability
Traformasi invers dari logit model  (   xi ) dapat di interpretasikan
langsung sebagai log odds sedangkan untuk fungsi probit tidak memliki
intepretasi langsung.
44
II.4 Metoda Klasifikasi lainnya
II.4.1 Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Networks)
Jaringan Syaraf Tiruan (JST) diketahui memiliki kemampuan yang sangat baik
untuk melakukan berbagai proses klasifikasi. JST merupakan salah satu bagian
dari metoda dalam bidang Artificial Intelligence yang dikenal sebagai machine
learning (Negnevitsky dan Michael, 2002).
Machine learning merupakan metoda dalam ilmu komputer yang melibatkan
mekanisme adaptasi sehingga mesin (komputer) dapat belajar dari pengalaman.
Secara umum, JST dapat digunakan sebagai salah satu metoda untuk melakukan
pengenalan pola data (Negnevitsky dan Michael, 2002). Penggunaan JST untuk
pengenalan pola pada sebuah citra ini erat kaitannya dengan permasalahan
klasifikasi obyek yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari.
Secara umum masalah pengenalan pola ini termasuk dalam bidang computer
vision yang bertujuan untuk mengambil informasi dari data yang berdimensi
banyak dengan menggunakan mesin. JST disusun oleh elemen–elemen pemroses
yang berada pada lapisan lapisan yang berhubungan dan diberi bobot.
Dengan serangkaian inputan diluar sistem yang diberikan kepadanya jaringan ini
dapat memodifikasi bobot yang akan dihasilkannya, sehingga akan menghasilkan
output yang konsisten sesuai dengan input yang diberikan kepadanya. Setiap
elemen pemroses melaksanakan operasi matematika yang sudah ditentukan dan
menghasilkan (hanya) sebuah harga keluaran dari satu ataupun banyak masukan.
Struktur jaringan akan ditunjukkan seperti pada Gambar II-10 .
Pemodelan jaringan pada syaraf tiruan sering dikategorikan menjadi tiga yaitu:
single layer, multi layer dan competitive layer. Secara umum, tiap unit pada
lapisan (Layer) yang sama atau dapat kita sebut neuron mempunyai tingkah laku
yang sama untuk pemrosesan sinyal data. Hanya hal terpenting yang perlu
diperhatikan adalah penentuan penggunaan jenis fungsi aktifasi pada masingmasing unit pada lapisan tersebut dan pola koneksi pembobot antar lapisan.
45
Gambar II.9 Arsitektur JST dengan Single Hidden Layer
(Manel, dkk, 1999).
Namun biasanya unit pada lapisan yang sama mempunyai jenis fungsi aktifasi
yang sama dan pola koneksi pembobot yang sama pula. Pemilihan jumlah layer
bukan berarti pemilihan layer untuk neuron, namun pemilihan layer untuk
penghubung jalur pembobot antar neuron. Jadi variabel terpenting untuk
pengenalan pola adalah pembobotnya.
a. Single layer
Jaringan ini terdiri atas lapisan input dengan beberapa unit input, satu lapis
pembobot dan lapisan output yang terdiri atas beberapa unit output dimana
masing – masing unit input terkoneksi secara penuh dengan masing-masing unit
output, tetapi setiap unit output tidak terkoneksi dengan unit input maupun unit
output yang lain.
Pada jaringan ini masing-masing input unit menerima sinyal informasi dari luar
dan melalui koneksi yang ada, dilakukan proses pembobotan untuk masingmasing sinyal yang akhirnya akan direspon oleh masing-masing output unit.
Pembobot untuk satu unit output tidak akan berpengaruh pada unit output yang
lain.
46
b. Multi layer
Cara kerja dari model ini sama seperti pada jaringan lapis tunggal. Hanya saja
pada arsitekturnya terdapa tambahan beberapa layer untuk pembobot. Jadi pada
pemodelan ini terdapat tambahan beberapa atau satu layer lagi diantara input layer
dan output layer yang sering disebut dengan lapisan tersembunyi (Hidden Layer).
Sehingga dengan demikian terdapat lapisan pembobot antara input layer, hidden
layer dan output layer. Kelebihan dari arsitektur jenis ini jika dibandingkan
dengan single layer ialah dapat menyelesaikan masalah kompleks yang mungkin
tidak dapat diselesaikan oleh jaringan single layer secara sempurna. Hanya saja
proses pelatihannya membutuhkan waktu yang agak lama karena tentu saja lebih
sulit untuk dilakukan.
II.4.2 Pohon Keputusan
Pohon keputusan adalah salah satu model klasifikasi yang cukup populer karena
mudah di interpretasikan oleh manusia. Algoritma C4.5 adalah algoritma
klasifikasi data dengan metoda pohon keputusan yang memiliki kelebihan dalam
mengelolah data numerik yang kontinyu maupun diskrit. Dapat menangani nilai
uatribut yang hilang , menghasilkan aturan-aturan yang mudah di interprestasikan
dan tercepat diantara algoritma yang menggunakan memori utama di komputer.
Pohon keputusan adalah model prediksi menggunakan struktur pohon atau
struktur berhirarki. Contoh dari pohon keputusan dapat dilihat di gambar II.10.
Disini setiap percabangan menyatakan kondisi yang harus dipenuhi dan tiap ujung
pohon menyatakan kelas data. Contoh pada gambar II.10 adalah identifikasi
pembeli komputer dari pohon keputusan tersebut diketahui bahwa salah satu
kelompok yang potensial membeli komputer adalah kelompok orang yang berusia
di bawah 30 tahun dan juga pelajar.
Setelah pohon keputusan tersebut dibangun maka dapat digunakan untuk
mengklasifikas record yang belum ada kelasnya. Dimulai dari node root,
menggunakan tes terhadap atribut dari record yang belum ada kelasnya tersebut
lalu mengikuti cabang yang sesuasi dengan hasil dari test tersebut, yang akan
47
membawa kepada interval node (node yang memiliki satu cabang masuk dan duat
atau lebih cabang yang keluar), dengan cara harus melakukan test lagi terhadap
atribut atau node daun. Record yang kelasnya tidak diketahui , kemudian
diberikan kelas yang sesuai dengan sesuai dengan kelas yang ada pada node daun.
Pada pohon keputusan setiap simpul daun menandai label kelas.
Usia?
>=41
<=30
31-40
Pelajar?
tidak
Credit
rating?
tidak
Ya
tidak
Ya
Gambar II.10 Contoh pohon keputusan
(Jayanti ,2008)
Proses dalam pohon keputusan mengubah bentuk data (tabel) menjadi model
pohon kemudian mengubah model pohon (tree) menjadi aturan (rule) untuk
keperluan pengklasifikasian sesuai dengan tujuan.
II.4.3 Metoda Risk Of Ruin
Salah satu cara dalam menentukan prediksi kebangkrutan adalah dengan metoda
risk of ruin. Besarnya surplus menjadi negatif untuk pertama kali disebut saat
ruin. Yang menjadi kendala dalam menghitung peluang ruin ialah mencari bentuk
eksplisit dari peluang ruin tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan
penaksiran terhadap peluang ruin secara numerik. Untuk u  0 , peluang ruin
untuk model waktu kontinu adalah:
e Ru
 (u ) 
E e  Ru (T ) T   
48
Masalah yang timbul untuk menghitung peluang ruin tersebut adalah kesulitan
dalam mencari bentuk eksplisit dari E  e Ru (T ) T    . Salah satu cara dalam
mencari nilai tersebut adalah dengan cara menaksir nilai dari peluang ruin secara
numerik.
Ide dari metoda yang digunakan ialah mencari kaitan antara peluang ruin dengan
kerugian agregat maksimal. Kemudian batas atas dan batas bawah dari kerugian
agregat maksimal tersebut digunakan untuk mencari batas atas dan batas bawah
dari peluang ruin.
Metoda-metoda diatas memiliki keunggulan maupun kelemahan. Manel (1999)
dalam penelitiannya menemukan bahwa Artificial Neural Network (ANN) tidak
lebih baik dibandingkan regresi logistik dan analisis iskriminan dalam hal
efisiensi waktu pada proses analisisnya.
Dibandingkan dengan Analisis Diskriminan, Kurt (2006) dalam penelitiannya
menyatakan bahwa regresi logistik merupakan metoda klasifikasi yang cukup
baik, setidaknya pada saat ada variabel independen berskala kuantitatif maupun
kualitatif .
II.5 Kredit
II.4.1 Definisi
Pengertian Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan
dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara
BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi
hutangnya setelah jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran sejumlah
bunga dan adanya jaminan sebagai cerminan niat baik debitur. Pengertian tersebut
di atas mengandung unsur-unsur yaitu:

Unsur kepercayaan, yaitu mempercayai sejumlah uang untuk dikelola
peminjam

Unsur waktu, yaitu adanya jangka waktu pengembalian Kredit
49

Unsur resiko, yaitu akibat yang dapat timbul karena adanya jangka waktu
antara pemberian kredit dan pelunasannya

Unsur penyerahan, yaitu nilai ekonomi uang yang dikembalikan pada saat
pelunasan nilainya sama dengan nilai ekonomi uang saat pemberian Kredit

Unsur jaminan, yaitu suatu pengangan bagi pihak Bank terhadap debitur untuk
mengurangi unsur resiko.
II.5.2 Analisis Kredit
Tujuan utama analisis premohonan kredit adalah untuk memperoleh keyakinan
apakah nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan memenuhi kewajibannya
kepada bank secara tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya,
sesuai dengan kesepakatan dengan bank.hal-hal yang perlu diperhatikan dalam
penyelesaian kredit nasabah, terlebih dahulu harus terpenuhinya Prinsip 5 C
Analisis, yaitu sebagai berikut:
1) Character
Character adalah keadaan watak dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi
maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian terhadap karakter ini
adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana kemauan nasabah untuk memenuhi
kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Sebagai alat untuk
memperoleh gambaran tentang karakter dari calon nasabah tersebut, dapat
ditempuh melalui upaya antara lain:

Meneliti riwayat hidup calon nasabah;

Meneliti reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya;

Meminta bank to bank information;

Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana calon nasabah
berada;

Mencari informasi apakah calon nasabah suka berjudi.

Mencari informasi apakah calon nasabah memiliki hobi berfoya-foya.
2) Capital
Capital adalah jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah.
Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan, tentu semakin tinggi
50
kesungguhan calon nasabah dalam menjalankan usahanya dan bank akan merasa
lebih yakin dalam memberikan kredit. Modal sendiri juga diperlukan bank sebagai
alat kesungguhan dan tangung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya
karena ikut menangung resiko terhadap gagalnya usaha.dalam praktik,
kemampuan capital ini dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk
menyediakan self-financing, yang sebaiknya jumlahnya lebih besar daripada
kredit yang dimintakan kepada bank.
3) Capacity
Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan
usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Kegunaan dari penilaian ini
adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana calon nasabah mampu untuk
mengembalikan atau melunasi utang-utangnya secara tepat waktu dari usaha yang
diperolehnya. Pengukuran capacity tersebut dapat dilakukan melalui berbagai
pendekatan berikut ini:

Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah menunjukkan
perkembangan dari waktu ke waktu.

Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para pengurus

Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai
kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan
perjanjian kredit dengan bank.

Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan
keterampilan
nasabah
melaksanakan
fungsi-fungsi
manajemen
dalam
memimpin perusahaan.

Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon
nasabah mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan
baku, peralatan-peralatan, administrasi dan keuangan, industrial relation
sampai pada kemampuan merebut pasar.
4) Collateral
Colleteral adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan
terhadap kredit yang diterimanya. Colleteral tersebut harus dinilai oleh bank
untuk mengetahui sejauh mana resiko kewajiban finansial nasabah kepada bank.
51
Pada hakikatnya bentuk Collateral tidak hanya berbentuk kebendaan tetapi juga
collateral yang tidak berwujud seperti jaminan pribadi , letter of guarantee, letter
of comfort, rekomendasi dan avalis.
5) Condition of Economy
Condition of Economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya
yeng
mempengaruhi
keadaan
perekonomian
pada
suatu
saat
yang
kemungkinannya memengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur. Untuk
mendapat gambaran mengenai hal tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai
hal-hal antara lain:

Peraturan-peraturan pemerintah

Situasi, politik dan perekonomian dunia

Keadaan lain yang memengaruhi pemasaran
6) Constraint
Constraint adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis
untuk dilaksankan pada tempat tertentu, misalnya pendirian suatu usaha pompa
bensin yang disekitarnya banyak bengkel las atau pembakaran batu bata. Dari
keenam prinsip diatas, yang paling perlu mendapatkan perhatian account officer
adalah character, dan apabila prinsip ini tidak terpenuhi, prinsip lainnya tidak
berarti. Dengan perkataan lain, permohonannya harus ditolak.
II.5.3. Persiapan Analisa Kredit
Kegiatan analisa merupakan suatu kegiatan yang komplek. Hal itu disebabkan
keharusan menilai suatu kondisi eksternal dengan keterbatasan data yang tersedia.
Suatu penilaian bersifat prediksi karena itu diperlukan formula dan pendekatanpendekatan ilmu untuk melakukannya.
Sebelum analisa dilakukan, maka
lazimnya diperlukan beberapa persiapan yaitu:
a. Pemilihan pendekatan yang akan dilakukan dalam melakukan analisa Kredit
b. Proses pengumpulan informasi yang lengkap yang akan diperlukan dalam
suatu kegiatan analisa Kredit.
c. Penetapan titik kritis suatu proyek
d. Pemilihan Pendekatan Analisa
52

Pendekatan Karakter

Pendekatan Kemampuan Pelunasan

Pendekatan Kelayakan

Pendekatan Jaminan

Pendekatan Kondisi ekonomi di masyarakat
II.5.4 Pengumpulan Informasi
1) Informasi Umum

Reputasi calon Nasabah Kredit

Data nasabah black list, khususnya dari LKM lain

Data ekonomi sosial menyangkut proyek

Ketentuan umum perundang-undangan

Data teknis skala usaha calon debitur

Perkembangan rekening tabungan

Informasi ketenaga kerjaan
b) Informasi Khusus

Data yuridis pribadi calon Nasabah (debitur)

Data yuridis usaha calon Nasabah Kredit

Data keuangan calon Nasabah Kredit

Data teknis calon Nasabah Kredit

Data tentang manajemen dan personalia

Data ekonomis dan yuridis jaminan

Data lain yang berkaitan langsung dengan projek
II.4.5. Penetapan Titik Kritis Projek yang akan dibiayai
Analisa Kredit harus dapat menentukan titik kritis dari suatu proyek yang akan
dibiayai, yaitu penentuan aspek mana yang paling kritis untuk dianalisa, yang
merupakan faktor dominan untuk keberhasilan projek. Jika titik kritis dapat
dilakukan maka aspek lain akan dilakukan analisa kemudian.
53
II.5.6. Analisa Setiap Aspek Kredit
Setelah mengetahui secara jelas titik kritis dari suatu usaha calon debitur, maka
berikutnya adalah melakukan analisa setiap aspek yang berkaitan dengan usaha
calon debitur tersebut.
1) Aspek Yuridis
a. Kapasitas untuk mengadakan perjanjian
b. Status badan sesuai dengan ketentuan hukum berlaku
2) Aspek Pemasaran
a. Siklus hidup produk
b. Produk subtitusi
c. Perusahaan pesaing
d. Daya beli masyarakat
e. Program promosi
f. Daerah pemasaran
g. Faktor musim
h. Manajemen pemasaran
i. Kontrak penjualan
3) Aspek Teknis
a. Lokasi Usaha (Dekat pasar, bahan baku, tenaga kerja, suply peralatan,
transportasi)
b. Fasilitas gedung tempat usaha (IMB, daya tampung, persyaratan teknis)
c. Mesin-mesin yang dipakai (Kapasitas, konfigurasi mesin, merk, reparasi,
fleksibilitas)
d. Proses produksi (Efesiensi proses, standard proses, desain dan rencana
produksi)
4) Aspek Manajemen
a. Kemampuan mengelola usaha
b. Kebijakan manajemen perusahaan pemohon
5) Aspek Keuangan
54
a. Kemampuan memperoleh keuntungan
b. Sisa Kredit dengan pihak lain
c. Beban rutin di luar kegiatan usaha
d. Arus kas
6) Aspek Jaminan
a. Syarat ekonomi
b. Syarat yuridis
Analisa
yang
digunakan
pada
BPR
dalam
melakukan
analisa
kridit
mempergunakan pendekatan analisa diskriminan adalah: mempergunakan
pendekatan 6 C: Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy,
Constraint
II.6. Sistem Pendukung Keputusan (SPK)
II.6.1. Definisi
Definisi SPK berusarkan Turban (1995 ) adalah sebuah komputer bases
information sistem yang interaktif, fleksibel dan dapat beradaptasi yang
dikembangkan terutama untuk mendukung pengambilan keputusan secara lebih
baik dalam rangka mendapatkan suatu solusi dari suatu permasalahan manajemen
yang tidak terstruktur.
SPK biasa dikenal juga dengan DSS (Desicion Support System). SPK ini akan
meutilisasi data, menyediakan dialog penyelenggara (interface) yang mudah dan
memasukan pandangan dari pengambil keputusan. SPK tidak ditekankan untuk
membuat keputusan, melainkan melengkapi kemampuan untuk mengolah
informasi yang dilakukan untuk membuat keputusan. Dengan kata lain SPK
membantu manusia dalam proses pembuatan keputusan.
Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberadaan DSS bukan untuk
menggantikan tugas-tugas manajer, tetapi untuk menjadi sarana penunjang bagi
mereka. DSS sebenarnya merupakan implementasi teori-teori pengambilan
55
keputusan yang telah diperkenalkan oleh ilmu-ilmu seperti operation research
dan management science.
Hanya bedanya adalah bahwa jika dahulu untuk mencari penyelesaian masalah
yang dihadapi harus dilakukan perhitungan iterasi secara manual (biasanya untuk
mencari nilai minimum, maksimum, atau optimum), saat ini komputer PC telah
menawarkan kemampuannya untuk menyelesaikan persoalan yang sama dalam
waktu relatif singkat. Dalam kedua bidang ilmu di atas, dikenal istilah decision
modeling, decision theory, dan decision analysis – yang pada hakekatnya adalah
merepresentasikan permasalahan manajemen yang dihadapi setiap hari ke dalam
bentuk kuantitatif (misalnya dalam bentuk model matematika).
II.6.2. Manfaat SPK
Manfaat dari SPK diantaranya adalah:

Mampu mendukung solusi dari suatu permasalahan yang komplek

Memberikan jawaban yang cepat untuk situasi yang tidak diharapkan dari
suatu perubahan kondisi

Mampu untuk mencoba beberapa strategi yang berbeda di bawah
konfigurasi yang berbeda dengan cepat dan secara obyektif.

User dapat menambah wawasan melalui komposisi model dan kepekaan
dari SPK.

Memudahkan komunikas dan penghematan ongkos dan biaya yang terlibat

Bersifat obyektif (berdasarkan hasil analisa data empirik )
Sprague dan Carlson mendefinisikan DSS dengan cukup baik, sebagai sistem
yang memiliki lima karakteristik utama (Sprague , 1982):
a. Sistem yang berbasis komputer;
b. Dipergunakan untuk membantu para pengambil keputusan;
c. Untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang “mustahil” dilakukan
dengan kalkulasi manual;
d. Melalui cara simulasi yang interaktif;
e. Dimana data dan model analisis sebagai komponen utama.
56
Karakteristik d dan e merupakan fasilitas baru yang ditawarkan oleh DSS
belakangan ini sesuai dengan perkembangan terakhir kemajuan perangkat
komputer.
II.6.3. Arsitektur SPK
Arsitektur SPK yang mengambarkan keterkaitan antara komponen-komponen
yang ada pada SPK dapat dilihat pada gambar dibawah ini:
Penugasan
(TASK)
PENGGUNA
(USER)
Lingkungan
(Environment)
Gambar II.11 Arsitektur SPK (Sprague 1982)
II.6.4. Komponen-komponen SPK
Suatu SPK mempunyai empat sub elemen sub sistem utama yang menentukan
kapabilitas teknik SPK tersebut (Turan 1995), element tersebut adalah:
a. Sub sistem manajemen berbasis data (DBMS = Database Management
System) Sub sistem manajemen basis data menangani pemeliharaan data
kontrol basis data serta menyederhanakan program interface SPK dengan
basis data. Basis data merupakan mekanisme integrasi berbagai data internal
dan eksternal
b. Sub sistem manajemen basis model (MBMS = Model Based Management
System) Sub sistem manajemen basis model bertugas untuk mengitegrasikan
akses data dengan model-model yang dirancang dan dikembangkan. Hal ini
57
dilakukan dengan menambahkan model-model yang dirancang ke dalam
sistem informasi yang menggunakan basis data sebagai mekanisme integrasi
dan komunikasi diantara model-model
c. Sub sistem penyelenggara Dialog (DGMS = Dialog Generation and
Management system) Sub sistem penelenggara dialog berfungsi sebagai
pengkomunikasi antara pemakai dengan sistem komputer. Sub sistem ini harus
memberikan / memenuhi keinginan pemakai dan bersifat cukup komunikatif.
Fleksibilitas dan kekuatan karakteristisk SPK timbul dari kemampuan antara
sistem dengan pemakai.
d. Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management)
Sub sistem ini dapat mendukung segala penterjemahan sub sistem di atas atau
juga dapat bertindak sebagai komponen bebas dimana sama sekali tidak terkait
dengan sub sistem lain. Sub sistem ini sering juga di namai knowledge
management.
58
Download