BAB II TINJAUAN PUSTAKA Pada bab II ini akan dijelaskan tinjauan pustaka yang berhubungan dengan konsep, teori dan metoda yang diperlukan dalam pengembangan model default prediction untuk digunakan dalam proses analisa kredit. Studi literatur ini meliput: manajemen resiko, default prediction, Metoda Statistik untuk klasifikasi, analisa kredit serta sistem pendukung keputusan (SPK). II.1 Manajemen Resiko II.1.1 Pengertian Resiko Istilah resiko memiliki berbagai definisi. Resiko dikaitkan dengan kemungkinan kejadian atau keadaan yang dapat mengancam pencapaian tujuan dan sasaran organisasi. Beberapa definisi resiko dapat dikemukan sebagai berikut (Vaughan,1996): a. Resiko adalah potensi untuk mendapat kerugian (chance of loss) Potensi kerugian berhubungan dengan suatu exposure (keterbukaan) terhadap kemungkinan kerugian. Dalam ilmu statistik, potensi atau peluang dipergunakan untuk menunjukan tingkat probabilitas akan munculnya. Sebagian penulis menolak definisi ini karena terdapat perbedaan antara tingkat resiko dengan tingkat kerugian. Dalam hal potensi kerugian 100% berarti kerugian adalah pasti sehingga resiko tidak ada. b. Resiko adalah kemungkinan untuk mendapat kerugian (possibility of loss) Istilah possibility berarti bahwa probabilitas suatu peristiawa diantara nol dan satu. Definisi ini kurang cocok dipakai dalam analisa secara kuantitas. c. Resiko adalah ketidak pastian (uncertainty) Uncertainty dapat bersifat subjective dan objective. Subjective uncertainty pada pengetahuan dan sikap individu yang bersangkutan. Obyektif uncertainty akan dijelaskan pada definisi resiko berikut: d. Resiko adalah penyebaran hasil aktual dari dari hasil yang diharapkan. Ahli statistik mendefinisikan resiko sebagai derajat penyempangan sesuatu nilai di sekitas suatu posisi sentral atau di sekitar titik rata-rata. 13 e. Resiko adalah probabilitas sesuatu outcom berbeda dengan outcome yang diharapkan. Resiko bukanlah probabilitas dari suatu kejadian tunggal, tetapi probabilitas dari beberapa outcome yang berbeda dari yang diharapkan. f. Resiko adalah kemungkinan terjadinya suatu kejadian atau keadaan yang dapat memberikan efek kepada pencapaian objective dari suatu organisasi. Dari semua definisi diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa resiko dihubungkan dengan dengan kemungkinan terjadinya akibat buruk yang tidak di inginkan atau tidak terduga. Dengan kata lain, kemungkinan itu sudah menunjukan adanya ketidak pastian. Definisi lengkap dari resiko dapat di jelaskan sebagai berikut: Potensi terjadinya suatu peristiwa atau kejadian baik yang diperkirakan maupun tidak diperkirakan yang langsung maupun tidak langsung menimbulkan kerugian keuangan maupun non keuangan dan atau menyebabkan organisasi memiliki keterbatasan atau kendala dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Resiko diyakini tidak dapat dihindari secara penuh, namun resiko dapat dikurangi dan bahkan dihindari dengan manajemen resiko. Peran dari manajemen resiko diharapkan dapat mengantisipasi lingkungan yang cepat berubah, mengembangkan corporate governance, mengoptimalkan penyusunan strategik manajemen, mengamankan sumber daya dan aset yang dimiliki organisasi dan mengurangi reactive desicion making dari manajemen puncak. 2.1.2. Pandangan lama dan baru mengenai resiko Pandangan lama menganggap ada hubungan yang positif antara resiko dengan tingkat keuntungan. Sedangkan pandangan baru mengatakan bahwa tingkat resiko tidak bersifat linier akan tetapi non linier dengan dengan keuntungan. 14 KEUNTUNGAN KEUNTUNGAN Zone 3 Resiko Berlebih Keuntungan Kurang Resiko tinggi akan memberikan keuntungan yang tinggi Zone 1 Kurang Resiko Keuntungan Kurang Zone 2 Resiko Optiml Keuntungan Optimal RESIKO RESIKO PANDANGAN LAMA: SEMAKIN TINGGI RESIKO, SEMAKIN TINGGI TINGKAT KEUNTUNGAN PANDANGAN BARU: RESIKO HARUS DIKELOLA Gambar II.1 Hubungan Resiko dan tingkat keuntungan (Lam, 2007) II.1.3 Pengertian Manajemen Resiko Beberapa definisi dari manajemen resiko dapat di terangkan sebagai berikut: Menurut COSO (Committee Of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission) manajemen resiko mempunyai istilah sebagai Enterprises Risk Management (ERM) dan definisikan sebagai “Manajemen resiko dapat diartikan sebagai sebuah proses yang melibatkan board direktur, manajemen dan personel secara keseluruhan, di aplikasikan pada setting strategi untuk seluruh perusahaan, di rancang untuk mengidentifikasi kejadian yang berpotensi terjadi dan memberikan efek pada kesuruhan. Manajemen resiko harus memperhatikan penerimaan terhadap resiko (risk appetite) dengan menyediakan jaminan agar kesuruhan obyektif dapat di peroleh” Manajemen resiko adalah metoda sistematis pelaksanaan fungsi-fungsi manajemen dalam penanggulangan resiko, terutama resiko yang dihadapi oleh organisasi/perusahaan, keluarga dan masyarakat. Menajemen resiko mencangkup kegiatan merencanakan, mengorganisir, menyusun, memimpin/ mengkoordinir dan mengawasi (termasuk penanggulangan resiko (Djojosoedarso,1999) 15 mengevaluasi) program Enteprises Risk Manajemen adalah kerangka yang komprehensif untuk mengelola resiko kredit, resiko pasar, modal ekonomis, transfer resiko untuk memaksimimkan nilai perusahaan (Lam, 2007) II.1.4 Framework manajemen resiko Pemahaman risk menajemen memungkinkan manajemen untuk terlibat secara efektif dalam menghadapi uncertainty dengan resiko dan peluang yang berhubungan dan meningkatkan kemampuan organisasi untuk memberikan nilai tambah. Framework manajemen resiko adalah suatu kerangka pengelolaan yang digunakan dalam mengelola resiko guna mencapai obyektif yang diinginkan oleh suatu organisasi. Terdapat beberapa framework yang digunakan pengelolaan resiko diantaranya adalah sebagai berikut: a. COSO’s ERM – Integrated Framework b. Australia/New Zealand Standard –Manajemen Resiko c. ISO Risk Manajemen - Draft Standard d. The Combined Code and Turnbull Guidance e. Federation of European Risk Manajemen Associations (FERMA) f. Basel II Pendekatan manajemen resiko untuk industri keuangan Pada studi literatur ini akan dibahas tiga framework yang paling banyak digunakan yaitu COSO dan Australia/New Zealand Standard Risk dan Basel II secara sekilas. 1) Framework manajemen Resiko COSO Committee of Sponsoring Organizations of the Treadway Commission (COSO) adalah suatu lembaga nirlaba yang di dedikasikan untuk meningkatkan kualitas pelaporan keuangan, melalui etika bisnis, pengendalian internal yang efektif dan tata kelola usaha (corporate governace). COSO didukung oleh lembaga-lembaga yang memiliki reputasi tinggi dibidang akutansi, keuangan dan audit yang diantaranya adalah IIA (The Institute of Internal Auditor). Framework ini dikeluarkan oleh COSO bersama-sama dengan konsultan Pricewater House Cooper pada tahun 2002 dan merupakan pengembangan dari 16 framework untuk internal control. Integrated Framework ini lebih robust dan fokus pada subyek ERM (Enteprice Risk Management), dimana internal control adalah bagian dari ERM. Pendekatan ERM dapat dilakukan dengan memuaskan keperluan dari internal kontrol dan dikembangkan selanjutnya pada proses manajemen resiko secara keseluruhan. Framework ini mendefinisikan komponen penting pada suatu ERM sehingga satu bahasa dan menyediakan arah dan guidence yang jelas untuk enterprice risk manajemen. Obyek dari manajemen resiko dapat dilihat dari empat kategori konteks sebagai berikut: a. Strategi (Strategic) b. Operasional (Operations) c. Pelaporan (Reporting) d. Penerapan (Compliance) Manajemen mempertimbangkan bagaimana resiko individu saling berinteraksi. Manajemen membangun suatu gambaran dari dua perspektif yaitu Business unit level dan Entity level. ERM mempertimbangkan aktivitas pada semua level organisasi sebagai berikut: a. Leval Organisasi (Enterprise-level) b. Level Divisi (Division or subsidiary) c. Level Busnis Unit (Business unit processes) Proses manajemen resiko dapat dibagi menjadi delapan komponen (tahap) sebagai berikut: a. Pengenalan Lingkungan Internal (Internal Environment ) b. Seting Obyektif (Objective Setting) c. Identifikasi Potensi Resiko (Event Identification) d. Analisa Resiko (Risk Asssement) e. Tanggapan terhadap resiko (Risk Response) f. Aktivitas Control (Control Activities) g. Infromasi dan Komunikasi (Information and Communication) h. Monitoring (Monitoring) 17 Integrasi dari framework COSO dapat dilihat pada gambar dibawah ini sebagai berikut: 5. Tanggapan Terhadap Resiko 6. Aktivitas Kontrol LEVEL SUBDIARY 4. Analisa Resiko LEVEL BUSINES UNIT 3. Identifikasi Potensi Resiko LEVEL DIVISI 2. Setting Obyektif LEVEL ORGANISASI 1. Pengenalan Lingkungan Internal 7. Informasi Dan Komunikasi 8. Monitoring Gambar II.2. Manajemen Resiko Model COSO (i) Internal Environment Kompenen ini berkaitan dengan lingkungan dimana suatu organisasi berada dan beroperasi. Cakupannya adalah risk manajemen philosophy (kultur manajemen tentang resiko), integritas, perspektif terhadap resiko, selera atau penerimaan terhadap resiko (risk appetite), nilai moral, struktur organisai dan pendelegasian wewenang. (ii) Obyektif setting Manajemen harus menetapkan obyektif dari organisasi agar dapat mengidentifikasikan, mengakses dan mengelola resiko. Obyektif dapat di klasifikasikan menjadi strategi obyektif dan aktivitas obyektif. Strategis obyektif berhubungan dengan pencapaian dan peningkatan kinerja organisasi dalam jangka menengah dan panjang, dan merupakan implementasi dari visi dan misi organisasi tersebut. 18 Sementara itu aktivitas obyektif dapat dipilah menjadi tiga kategori yaitu: operasional, reporting dan complience obyektif. Penentuan obyektif ini harus mempergunakan pendekatan SMART (Spesific, Measureble, Agreed, Realistic dan Trackable) serta penentuan risk appetite dan risk tolerance dari tujuan yang dapat diterima. Risk tolerance dapat diartikan sebagai variasi dalam pencapaian obyektif yang dapat diterima oleh manajemen. (iii) Identifikasi resiko Komponen ini mengidentifikasi kejadian-kenadian potensial baik yang terjadi di lingkungan internal maupun eksternal organisasi yang mempengaruhi strategi atau pencapaian tujuan dari organisasi. Kejadian tersebut bisa berdampak positif namun pula sebaliknya negatif. Terdapat empat model dalam identifikasi resiko yaitu: eksposure analyst, environment analyst, threath skenario dan brainstorming. (iv) Penilaian Resiko (Risk Assesment) Komponen ini menilai sejauh mana dampak dari events (kejadian atau keadaan) dapat mengganggu pencapaian dari obyektif. Besarnya dampak dapat diketahui dari inherent dan residual risk, dan dapat di analisa dalam dua perspektif, yaitu likelihood (kecenderungan atau peluang) dan impact /consequence (besaran dari terealisirnya resiko). Dengan demikian, besaran resiko atas setiap organisasi merupakan perkalian antara likelihood dan consequence. V=PxS (II-1) P: Potensial occurance/ Likelihood: besaran kecenderungan atau peluang terjadinya suatu event S: Significance/Consequence: besaran dampak dari terealisirnya suatu resiko V: Vulnerability / Kerawanan: besaran dari suatu resiko Penilaian resiko dapat menggunakan dua teknik yaitu (1) kualitatif teknik dan (2) kuantitatif teknik. Kuantitatif teknik menggunakan beberapa tool seperti self assesment (low, medium, high), Kuesioner dan internal audit review. Sementara 19 itu kuantitatif teknik mempergunakan data yang berbentuk angka yang diperoleh dari tool seperti probabilitas based, default prediction, benchmarking, nonprobabilitas model (optimalkan hanya asumsi konsekuensi). RESIKO (RISK) Peluang Resiko (Likelihood) d f b e a c Konsekuensi (Consequence) Gambar II.3. Gambar pemetaan dan kuantifikasi resiko Dari Gambar II.2. dapat terlihat bahwa penilaian resiko atas setiap aktivitas akan menghasilkan informasi berupa peta dan angka resiko. Aktivitas yang paling kecil resikonya adalah aktivitas (a) dan (e) dan aktivitas yang paling beresiko yang paling beresiko tinggi dengan kemungkinan terjadi tinggi ada pada aktivitas (d). Sedangkan untuk aktifitas c walaupun memiliki dampak yang besar, namun memiliki resiko terjadi yang rendah. Kebalikan dengan f memiliki kemungkingan terjadi yang besar namun memiliki dampak yang kecil. Yang perlu dicermati di sini adalah event relationship atau hubungan antara kejadian / keadaan. Event yang terpisah mungkin memilik resiko kecil, namun bila digabung bisa menjadi signifikan. Demikian pula resiko yang mempengaruhi banyaknya business unit perlu dikelompokan dalam commont event categories dan dinilai secara agregate. (v) Sikap atas Resiko (Risk response) Strategi dalam memilih resiko dijelaskan pada gambar dibawah ini: 20 Organisasi harus menentukan sikap atas hasil penilaian resiko. Risk response dari organisasi dapat berupa: Avoidence, yaitu dihentikan aktivitas atau pelayanan yang menyebabkan terjadinya resiko. Reduction, yaitu mengambil langkah-langkah untuk mengurangi likelihood atau impac dari resiko. Sharing, yaitu mengalihkan atau menanggung bersama resiko atau sebagian dari resiko dengan pihak lain. Acceptance, yaitu menerima resiko yang terjadi (biasanya resiko yang kecil ) dan tidak ada upaya khusus yang dilakukan. Dalam memilih respon perlu dipertimbangkan faktor-faktor seperti: Pengaruh tiap respon terhadap risk likehood dan impact. Respon yang optimal (yang dapat memberikan pemenuhan risk apetite dan tolerance) Analisis cost versus benefit. dan peluang yang dapat timbul dari setiap risk response. (vi) Aktivitas pengendali resiko Komponen ini berperan dalam menyusun kebijakan-kebijakan dan prosedur yang menjamin risk response terlaksana dengan efektif. Aktivitas pengendali memelurkan lingkungan pengendali yang meliputi (1) integritas dan nilai etika (2) kompetensi (3) kebijakan dan praktek-praktek SDM (4) Budaya organisasi (5) philosophy dan budaya kepemimpinan manajemen (6) struktur organisasi dan (7) wewenang dan tanggung jawab. Dari pemahaman terhadap lingkungan pengendali dapat ditentukan jenis dan aktivitas pengendalian. Terdapat beberapa jenis pengendalian diantarannya adalah preventive, detection, corrective dan directive. Sementara aktivitas pengendali berupa: (1) pembuatan kebijakan dan prosedur preventive) (2) pengamanan kekayaan organisasi detection and corrective (3) Delegasi wewenang dan pemisahan fungsi preventive (4) supervisi atasan directive 21 Aktivitas pengendalian hendaknya terintegrasi dengan manajemen resiko sehingga pengalokasian sumber daya yang dimiliki organisasi dapat menjadi optimal (vii) Information dan Komunikasi Fokus dari element ini adalah menyampaikan informasi yang relevan kepada pihak terkait melalui media komunikasi yang sesuai. Faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam penyampaian informasi dan komunikasi adalah kualitas informasi, arah komunikasi dan alat komunikasi. Informasi yang disajikan tergantung dari kualitas informasi yang diingin disampaikan daan kualitas informasi dapat dipilah menjadi appropriate, timely, current, accurate dan accessible. Arah komunikasi dapat bersifat internal dan eksternal sedangkan alat komunikasi berupa diantaranya manual, memo, buletin dan pesan-pesan melalui media elektronik. (viii) Monitoring Monitoring dapat dilaksanakan dengan baik secara terus menerus maupun terpisah, aktivitas monitoring terus menerus tercermin pada aktivitas supervisi, rekonsiliasi dan aktivitas rutin lainnya. Monitoring terpisah biasanya dilakukan untuk penugasan tertentu/ per kasus. Pada monitoring ini ditentukan skope tugas, frekuensi, proses evaluasi metodelogi, dokumentasi dan action plan. Pada proses monitoring perlu dicermati adanya kendala seperti reporting deficiencies yaitu pelaporan yang tidak lengkap atau bahkan berlebihan dan tidak relevan. Kendala ini timbul dari berbagai faktor seperti sumber informasi, materi pelaporan, pihak yang disampaikan laporan dan arahan bagi pelaporan. 22 2) Framework manajemen Resiko Australia/New Zealand Standard (AS/NZS4360:2004) Membangun Sasaran dan Ruang Lingkup Stakeholde konsultasi dan Komunikasi Identifikasi Resiko Monitor / dan review Analisa Resiko Kecenderungan (Probabilitas) Konsekuensi Memperkirakan Level Resiko Evaluasi Resiko Mengelola Resiko Gambar II.4. Konsep manajemen resiko AS/NZS4360:2004 Proses menagemen resiko ini dimulai dari pengenalan konteks, lalu dilanjutkan dengan risk assesment (perkiraan resiko). Perkiraan resiko terdiri dari identitas analisis dan evaluasi resiko. Kemudian proses ini dilanjutakan dengan penanggulangan resiko. Keseluruhan tahap tersebut perlu dikomunikasikan dan di konsultasikan, serta diawasi untuk menjamin proses tersebut berjalan sesuai dengan standar yang diinginkan (lihat Gambar II.3) (i) Pengenalan konteks Pengenalan konteks adalah mempelajari situasi, kondisi dan lingkungan yang akan dikaji. Kondisi dan situasi yang berbeda akan memerlukan perlakuan yang berbeda pula. Pengenalan konteks menjadi langkah awal dalam proses manajemen resiko yang harus dijalankan. Hal ini harus dilakukan dengan baik agar hasil akhir yang didapat benar-benar sesuai dengan permasalahan dalam sistem yang dikaji. Cara pengenalan konteks bermacam-macam 23 yaitu dengan mempelajari operasional sistem, dokumen terkait, pengamatan lapangan, wawancara, dan lain sebagainya. (iii) Identifikasi Identifikasi adalah langkah-langkah mencari kemungkinan-kemungkinan terjadinya bahaya atau resiko yang dihadapi. Langkah ini adalah yang paling sulit namun juga paling penting. Sebab keberhasilan pengelolaan resiko sangat bergantung pada hasil identifikasi ini. Berikut ini adalah beberapa cara mengidentifikasi dari resiko: Kuesioner Flow chart Inspeksi langsung Interaksi ke departemen lain Interkaksi ke pihak luar Analisa terhadap kontrak-kontrak Catatan dan statistik Analisa lingkungan (iv) Analis dan Evaluasi Resiko Analis dan evaluasi termasuk ke dalam penilaian resiko, oleh karena itu dalam beberapa kajian, analis dan evaluasi digabung menjadi satu yaitu penilaian resiko (Covan, 1995). Penilaian resiko dapat ditinjau dalam dua hal yaitu frekuensi dan kegawatan. Kedua aspek ini merupakan hal yang kualitatif sehingga orang dapat mempunyai persepsi yang berbeda. Oleh karena itu penilaian aspek tersebut distandarkan dengan metoda yang sudah baku diantaranya seperti kreteria Sverdrup. Kegawatan/ Significant adalah efek terjadinya suatu resiko. Kegawatan dapat dinilai dengan kriteria Sverdrup sebagai berikut: Catastropic, Critical, marginal dan neglegible Frekuensi/ likelihood merupakan kecenderungan atau kemungkinan terjadinya resiko. Frekuensi ini dapat di nilai dengan menggunakan kriteria Sverdrup 24 dalam lima kelompok sebagai berikut: Frequent, Probable, Occacional, Remote, Improbable Bobot Resiko atau Kerawanan (Vulnerable). Penentuan bobot resiko dapat dilakukan dengan mempergunakan matrik perkiraan resiko sverdrup dimana Frekuensi ada pada row dan Kegawatan diletakan pada kolom. (v) Penanggulangan Resiko Penanggulangan resiko harus dilakukan untuk menghilangkan, mengurangi atau meminimasi resiko tersebut. Banyak cara-cara dan pendekatan-pendekatan yang biasa digunakan dalam menanggulangi resiko. Dalam banyak kasus diperlukan kombinasi penanggulangan resiko sampai tingkat yang dapat diterima. Contoh pendekatan yang dapat digunakan dalam penanggulangan resiko adalah 4E/5E (Baurer 1990). Resiko dapat dikelola tanggulangi dengan Education, Engineering, Enforcement, Empowerman, dan yang ke lima Enable. 3) Basel II Framework The Basel Committee (Committee on Banking Regulations and Supervisory Practices) dibangun oleh Gubernur Bank Central dari G10. Basel II merupakan hasil kerja dari basel Committe yang di publikasikan pada Juni 2004. Basel II bertujuan meningkatkan keamanan dan kesehatan sistem keuangan, dengan menitikberatkan pada perhitungan permodalan yang berbasis risiko, supervisory review process, dan market discipline. Framework Basel II disusun berdasarkan forward-looking approach yang memungkinkan untuk dilakukan penyempurnaan dan penyesuaian dari waktu ke waktu. Hal ini untuk memastikan bahwa framework Basel II dapat mengikuti perubahan yang terjadi di pasar maupun perkembangan-perkembangan dalam manajemen risiko. Basel II mempunyai tiga pilar yaitu (1) minimum capital requirement (2) supervisory reiview dan (3) market disiplin. 25 BASEL II 3 PILAR BASEL II Keperluan Kapital Minimum Proses Review Supervisi Minimum Capital Requirement (Supervisory Review Process) Disiplin Pasar (Market Disipline) Menyediakan sebuah framework management resiko capital yang sensitif dan fleksibel Gambar II.5. Tiga Pilar Basel II (Sumber : Implementasi Basel II Bank Indonesia) (i) Pilar I Minimum Capital Requirement Pilar pertama merupakan framework untuk mempertahankan regulasi dari rasio minimum kecukupan modal (CAR = Capital Acid Rasio). Rumus dari CAR adalah sebagai berikut Minimum_Capital _ Rasio 8% Resiko Market Resiko Kerugian dari posisi dalam on dan off balance sheet yang timbul karena perubahan faktor pasar (Suku Bunga dan Nilai Tukar) Modal Aktiva _tertimbang _ menurut _ resiko Resiko Kredit Resiko kerugian karena debitur gagal memenuhi kewajiban sesuai perjanjian yang disepakati Resiko Operasional Resiko kerugian langsung maupun tidak langsung yang disebabkan faktor kelemahan atau kegagalan proses internal , SDM, sistem dan kejadian eksternal Gambar II.6 Bagan CAR (Sumber : Implementasi Basel II Bank Indonesia) Pada pilar satu ini hanya di hitung berdasarkan tiga resiko utama pada bank yaitu credit risk, operasional risk dan market risk. Resiko yang lain akan di hitung pada pilar II Credit Risk dapat dihitung dengan tiga cara yaitu pendekatan standar, Pembangunan IRB dan Advance IRB (IRB=Internal rating based Approach) 26 Operasional Risk terdapat tiga pendekatan yaitu basic indikator approach (BIA), standardized approach (SA) dan advance Measurement approach (AMA) Untuk resiko market digunakan pendekatan VaR (Value at risk) (ii) Pilar II Supervisi Review Pilar kedua ini dilakukan perhitungan alokasi modal untuk antisipasi kerugian karena risiko-risiko lain diluar pilar 1 seperti risiko likuiditas (liquidity risk), risiko strategik (strategic risk), risiko suku bunga di banking book (interest rate risk in the banking book) dan risiko-risiko lainnya. Pendekatan di atas disebut juga sebagai Individual Capital Adequacy Assessment Process (ICAAP) yang akan menjadi tantangan bagi bank dan pengawas. Diperlukan peningkatan kompetensi dan kapasitas pengawas serta manajemen resiko yang efektif dalam untuk dapat melakukan pilar II dengan baik (iii) Pilar III Market Disiplin Pilar III memandang peran aktif masyarakat dalam mengawasi bank dipandang juga menentukan sehingga dari awal masyarakat diharapkan mampu pula menilai risiko yang hadapi serta mengetahui tingkat kecukupan modal yang dimiliki oleh bank. Pilar ke III ini di desain memperbolehkan market untuk mendapatkan gambaran yang lebih baik dari resiko keseluruhan dari bank dan memperbolehkan untuk ikut menentukan sebagai counter part dalam masalah price dan kesepakatan. Sinergi penerapan dari ketiga Pilar yang terdapat dalam Basel II di atas tidak dapat dipisahkan dalam mencapai industri perbankan dan sistem keuangan yang sehat dan stabil. Prasyarat utama agar Basel II dapat diterapkan dengan baik meliputi: Penerapan manajemen risiko di bank sebagaimana telah diatur dalam PBI No.5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei 2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko BagiBank Umum Penyesuaian standar akuntansi yang mengacu kepada standar akuntansi internasional (IAS) antara lain IAS 32 dan IAS 39. 27 Penerapan perhitungan permodalan secara konsolidasi dengan perusahaan tertentu dalam sektor keuangan kecuali asuransi Pengakuan perusahaan pemeringkat oleh Bank Indonesia untuk dapat melakukan rating terhadap debitur bank (Laporan BI Implementasi Basel II) II.2 Default Prediction sebagai Risk Assement Manajemen Resiko Kredit. Default Prediction atau Prediksi kebangkrutan merupakan topik yang banyak dibahas dalam studi kegagalan bisnis suatu perusahaan. Bangkrut dalam hal ini di identikan dengan kesulitan keuangan, dimana arus kas operasional tidak cukup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban lancarnya seperti utang dagang atau biaya bunga. Pengertian tersebut dapat diperluas dengan mengaitkannya dengan insolvency. Insolvency sendiri di definisikan dalam dictionary sebagai “ketidakmampuan debitur untuk membayar hutang, debitur kekurang alat untuk membayar hutang sedemikian rupa sehinga aset tidak dapat memenuhi “ Ketidakmampuan perusahaan untuk membayar (insolvency) adalah gejala awal yang dapat menyebabkan kegagalan perusahaan. Kesimpulannya adalah bahwa kesulitan keuangan merupakan akibat dari semua faktor kegagalan pengelolaan perusahan maupun kegagalan karena faktor lain di luar perusahaan. Sebelum tahun 1960 terdapat empat model yang digunakan untuk memprediksi kebangkrutan yaitu dengan rasio laporan keuangan, cash flow, stock return dan return standar deviation. Kesemua ini merupakan mempergunakan pendekatan akunting dan univariat. Kelemahan dari pendekatan ini adalah bersifat univariat sehingga sulit memberikan penjelasan yang kualitatif tentang rasio keuangan mana yang komprehensif dan berpengaruh dalam suatu penilaian kinerja perusahaan (Weston 1992). Rasio-rasio keuangan dimasukan sebagai variabel bebas untuk di olah dan di analisa sedemikian rupa, sehingga di peroleh variabel pembeda yang terbaik, yaitu rasio keungan terpenting yang mampu memprediksi kesulitan keuangan di masa mendatang (Van Horne, 1983). Dengan menaruh perhatian besar pada rasio 28 keuangan terpenting tersebut, manajemen dapat melakukan tindakan perbaikan untuk mencegah kebangkrutan perusahaan. II.2.1 Default Prediction Beaver (awal tahun 1960) merupakan salah satu akademisi yang menjadi pioneer dalam meneliti corporate failure dan penelitiannya sering dianggap sebagai milestone penelitian corporate failure. Pendekatan yang dipakai Beaver adalah univariat, yaitu setiap rasio, tanpa diikuti oleh rasio lainnya, diuji kemampuannya untuk memperkirakan corporate failure. (Hadad, 2003) Altman (1968) mencoba memperbaiki penelitian Beaver dengan menerapkan multivariate linear discriminant analysi (MDA), suatu metoda yang kerap dibuktikan memiliki keterbatasan. Teknik MDA yang digunakan oleh Altman merupakan suatu teknik regresi dari beberapa uncorrelated time series variables, dengan menggunakan cut-off value untuk menetapkan kriteria klasifikasi masingmasing kelompok. Kelebihan penggunaan teknik MDA ini adalah seluruh ciri karakteristik variabel yang diobservasi dimasukkan, bersamaan dengan interaksi mereka. Altman juga menyimpulkan bahwa MDA mengurangi jarak pengukuran/dimensionality dari para peneliti dengan menggunakan cut-off points. Pada umumnya, karena MDA mudah digunakan dan diinterpretasikan, MDA sering menjadi pilihan para peneliti default prediction selama ini. Namun demikian, dalam menggunakan rasio keuangan untuk memprediksi corporate failure, teknik MDA menggunakan metoda error yang mengikuti karakteristik data yang digunakan. Dengan kondisi tersebut, issu penting yang banyak didiskusikan di literatur-literatur penelitian adalah pada penggunaan asumsi proporsionalitas dan zero intercept dari rasio keuangan (Hadad , 2003) Dengan demikian, secara keseluruhan, bukti empiris yang dihasilkan menjadi lebih tidak pasti dan belum ada pernyataan resmi yang menyebutkan bahwa bentuk rasio yang lebih canggih akan lebih baik dari rasio dasar tersebut. Untuk 29 alasan tersebut, rasio-rasio sederhana masih tetap digunakan dalam kebanyakan studi default prediction. Masalah lain yang terkait dengan MDA pada prediksi corporate failure adalah masalah normalitas data, inequality dari matriks dispersion dari seluruh kelompok dan non-random-sampling dari perusahaan yang fail maupun tidak fail. Setiap masalah tersebut menyebabkan output regresi menjadi biasa. Para peneliti pada umumnya, tampak mengabaikan keterbatasan tersebut dan tetap melanjutkan penelitian Altman, dengan harapan mendapatkan model yang lebih akurat lagi. Beberapa contoh dari penelitian lanjutan tersebut adalah : Penggunaan quadratic classifier (Altman, Haldeman and Narayanan, 1977) Lebih lanjut, pada kebanyakan kasus, aplikasi pemakaian model-model kepailitan tersebut menghadapi kesulitan karena model-model yang digunakan ternyata lebih kompleks (Hadad , 2003). Yang perlu mendapatkan perhatian mengenai perkembangan teknik pengujian statistik yang digunakan untuk memprediksi kepailitan adalah teknik pengujian statistic yang digunakan Ohlson (1980). Ohlson pada tahun 1980, menggunakan logistic regression (logit analysis) untuk memprediksi kepailitan, suatu metoda yang menghindari keterbatasan teknik MDA. Pada Logit analysis, asumsi multivariate normal distribution diabaikan. Dengan adanya asumsi inilah maka keterbatasan yang terdapat pada teknik pengujian statistik untuk kepailitan dengan menggunakan MDA dapat diatasi oleh Logit. Logit, bersama dengan probit analysis (variasi dari logit), disebut sebagai conditional probability model karena Logit menyediakan conditional probability dari observasi yang berasal dalam suatu kelompok. Pertimbangan lain untuk memilih Logit antara lain karena Logit model memiliki keunggulan secara statistik. Namun demikian, model tersebut perlu dimodifikasi 30 untuk menjamin kevalidan koefisien parameter dengan pengaruh kelompok yang ditimbulkan oleh panel data. Altman model dengan pendekatan diskriminan analisisnya merupakan model statistikal pertama dari prediksi kebangkrutan. Metoda diskriminan, walaupun secara praktis banyak kesulitan seperti kebutuhan normalitas atas data, telah menginspirasi beberapa usulan baru. Beberapa pendekatan baru adalah logit dan probit model, expanded logit model, recursive partitioning model, survival analyst, proportional hazard model, neural network serta expert system. Jenis pengelompokan default prediction dapat dilihat pada tabel dibawah ini sebagai berikut: Tabel II.1 Pengelompokan metodalogi default prediction (Jozef Pociecha, 2005) II.3 Metoda Statistik untuk Klasifikasi Masalah klasifikasi sering kali ditemui di kehidupan sehari-hari, apakah itu terkait dengan data sosial, data industri manufaktur, data marketing maupun data akademik. Melihat, mendeskripsikan dan memaparkan keunikan dari suatu pengelompokkan merupakan hal yang menarik dan dapat memberikan ide-ide tertentu. Namun bagaimana jika, penge lompokan ini tidak benar atau ada observasi-observasi tertentu yang salah dalam proses pengelompokkan. Jika pengelompokkan/ pengklasifikasian ini menyangkut pengambilan keputusan yang 31 cukup penting seperti akreditasi, jabatan maka akibatnya akan cukup fatal. Oleh karenanya, perlu dilakukan review pada proses klasifikasi. Dalam ilmu statistik dikenal tiga metoda klasifikasi yang pada umumnya dipakai, yakni: analisis diskriminan, regresi logistik, model probit maupun analisa regresi. Dibandingkan dengan analisis diskriminan, Kurt (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa regresi logistik merupakan metoda klasifikasi yang cukup baik, setidaknya pada saat ada variabel independen berskala kuantitatif maupun kualitatif ataupun keduanya. Berbeda lagi dengan hasil penelitian Mesbhane,dkk (1996) yang menyatakan bahwa analisis diskriminan adalah analisis yang lebih baik digunakan pada saat ukuran sampel kecil. Pada studi literatur ini, sesuai dengan kebutuhan dari penelitian hanya akan dibahas dua metodelogi yaitu regresi logistik dan analisa diskriminan yang direncanakan akan dievaluasi secara mendalam kesesuaiannya untuk menjadi model analisa kredit di lembaga keuangan mikro. II.3.1. Analisis Diskriminan 1) Konsep Dasar Diskriminan analisis adalah salah satu tehnik analisa Statistika dependensi yang memiliki kegunaan untuk mengklasifikasikan objek beberapa kelompok. Pengelompokan dengan analisis diskriminan ini terjadi karena ada pengaruh satu atau lebih variabel lain yang merupakan variabel independen. Kombinasi linier dari variabel-variabel ini akan membentuk suatu fungsi diskriminan (Tatham et. al., 1998). (II-2) 32 Fungsi diskriminan lain yang dapat digunakan antara lain fungsi diskriminan linier Fisher. Secara detail fungsi ini dijelaskan dalam Johson dan Winchern (1992). Nilai diskriminan Z dari (1) merupakan dasar untuk menentukan suatu obyek masuk kelompok yang mana dengan membandingkannya dengan rata-rata (centroid) dari nilai Z masing-masing kelompok. Jika ada dua kelompok, misalkan A dan B, maka (II-3) Ilustrasi Grafik dari Diskriminan analisis dapat dilihat pada ilustrasi grafik sebagai berikut: x2 x1 Cutt Off Fungsi Diskriminant Gambar II.7 Ilustrasi analisa diskriminan dengan dua varibel x1 dan x2 33 2) Tabel Klasifikasi Selanjutnya, untuk mengevaluasi seberapa tepat klasifikasi dilakukan digunakan Apparent Error Rates (APER). APER dihitung dengan terlebih dulu membuat tabel klasifikasi seperti yang tertera pada Tabel berikut Tabel II.2. Tabel Klasifikasi Prediksi Group Aktual Group 0 = Tdk lancar 1 = Lancar 0 = Tdk lancar N0 Kesalahan type 2 1 = Lancar Kesalahan type 1 N1 3) Beberapa Ketentuan Umum Analisa Diskriminan Beberapa ketentuan dalam Multivariate diskriminan analyst adalah sebagai berikut: Variabel dependen dikotomi – multikotomi kategori artifisial pendekatan polar extereme Ukuran sampel ideal: 20 sampel per prediktor min: 5 sampel per prediktor min: 20 sampel per grup diusahakan seimbang antar grup Pembagian sampel sampel analisis vs holdout sample 34 4) Asumsi dalam Multivariate Discriminant Analyst (MDA) Variabel independen berdistribusi normal multivariat (masalah estimasi fungsi) Matriks variansi-kovariansi dari variabel-variabel independen dalam masing-masing kelompok adalah sama (pengaruh: klasifikasi objek) Multikolinearitas Hubungan linier & isu outlier II.3.2. Regresi Logistik 1) Konsep Umum Regresi Logistik merupakan salah satu metoda klasifikasi yang sering digunakan. Regresi logistik biner digunakan saat variabel dependen merupakan variabel dikotomus (Y dengan 2 macam kategori), sedangkan Regresi Logistik Multinomial digunakan saat variabel dependen adalah variabel kategorik dengan lebih dari 2 kategori. Regresi logistik tidak memodelkan secara langsung variabel dependen (Y) dengan variabel independen (X), melainkan melalui transformasi variabel dependen ke variabel logit yang merupakan natural log dari odds ratio (Fractal, 2003). Model regresi logistik multivariate dengan k variabel prediktor dinyatakan pada persamaan berikut P f (x) ln event b0 bx i i ... bnxn 1 P event P ( Y 1 ) e x p ( f ( x )) 1 e x p ( f ( x )) P(Y=1) : adalah probabilistik terjadinya suatu event (Y=1) x1.....xk : adalah indenpendent variabel bo … bn : parameter logistik pada bentuk logit (II-4) (II-5) Regresi logistic ekuivalen dengan diskriminan analis dua grup dan dalam banyak hal lebih cocok pada berbagai situasi. Regresi logistik memerlukan variabel dependen berupa binary dengan nilai 0 dan 1. Tidak masalah group mana yang di 35 dedikasikan untuk 1 atau 0. Regresi logistik ini di desain untuk memprediksi kemungkinan terjandinya suatu event yang didedikasikan berkode 1. (Hair, 2006) 2) Penggunaan Kurva Logistik Karena variable dependen pada regresi logistik hanya bernilai 0 dan 1, nilai prediksi (probabilistic) harus dalam range tersebut. Untuk mendefinisikan hubungan antara variabel indenpenden dan dependen, regresi logistik menggunakan kurva logistik seperti terlihat pada Gambar II.9 dibawah ini. Pada level terbawah dari independent variabel, nilai probabilitas mendekati nilai 0, tapi tidak pernah mencapai nol. Sedangkan pada nilai kelompok independent variabel tinggi probabilitas meningkat dan kemudian menurun sampai mendatar sehingga tidak pernah mencapai nilai 1. Sifat seperti ini tidak dapat diakomodasi oleh model regresi linier. Hubungan regresi linier walaupun dengan transformasi untuk efek non linier tidak dapat menggaransi nilai variabel dependen dalam range 0 – 1. Gambar II.8. fungsi Logistik ( Sigmoid Curved) 3) Sifat Unik dari Dependen Regresi Logistik Variabel dependen yang binari (0 dan 1) mempunyai sifat unik yang tidak sesuai dengan asumsi untuk multiple regression. Pertama error dari suatu variabel diskrit mengikuti distribusi binomial dari pada normal distribusi, hal ini mengakibatkan semua pengetesan statistik yang menggunakan asumsi normal menjadi tidak valid. Kedua variasi dari variabel dikotomus tidak konstan, dan juga heterocedascity. 36 Hal ini tidak dapat dibetulkan walaupun melalui transformasi dari dependen maupun indenpenden variabel. Regresi logistik di bangun khusus untuk mengatasi masalah ini. Regresi logistik merupakan hubungan yang unik antara dependen dan invariabel dependen. Hal ini memerlukan pendekatan yang berbedan dalam mengestimasi parameter, melakukan evaluasi kesesuaian model dan juga mengintepretasi ketika di bandingkan dengan multiple regression. 4) Pembangunan Model Regresi Logistik Persamaan yang digunakan dalam mengestimasi parameter dapat berbentuk logit ataupun Odds sebagai berikut: probevent Logiti ln 1 probevent b0 bi xi ... bn xn probevent b0 bi xi ...bn xn Oddsi e 1 probevent (II-6) (II-7) Kedua persamaan tersebut adalah sama, namun dengan perbedaan cara mengintepretasinya. Multiple regression mempergunakan metoda Least squares yang meminimasi jumlah dari kuadrat selisih antara aktual dengan prediksi valus dari variabel dependen. Sifat yang non linier dari regresi logistik memerlukan pendekatan lain yaitu maximum likelihood procedure. Maximum likelihood estimation (MLE) adalah suatu prosedur yang digunakan untuk menghitung dari logit koefisien. Ini kontras dengan pendekatan least square yang biasa (OLS) yang digunakan dalam mengestimasi suatu koefisien untuk persamaan regresi. OLS mencari nilai minimum dari suatu selisih kuadrat data dengan model. Sedangkan ML mencari nilai maksimum dari log likelihood, LL, yang merefleksikan bagaimana nilai dependen yang di observasi dapat di prediksi dari nilai independen yang di observasi. Atau dengan penjelasan lain sebagai berikut OLS dapat dilihat sebagai salah satu tipe dari MLE untuk kasus khusus dari sebuah model linier dengan karekteristik 37 error yang terdistribusi normal di sekitas garis regresi, dimana koefisien regresi dihitung dari memaksimalkan likelihood yang diperoleh dari nilai terkecil error kuadrat. Ketika error tidak normal terdistribusi dan ketika variabel juga tidak normal terdisribusi, MLE adalah lebih sesuai digunakan karena tidak bias pada kasus khusus pada OLS. (David, 2009). Prosedur ini mempergunakan proses iterasi Newton Raphson untuk mendapatkan estimasi yang paling mendekati untuk parameter. Estimasi maximum likelihood merupakan pendekatan dari estimasi Weighted Least Square, dimana matrik pembobotnya berubah setiap putaran. Proses menghitung estimasi maksimum likelihood ini disebut juga sebagai Iteratif Reweighted Least Square (Hosmer dan Lemeshow, 1989). Obyektif dari iterasi prosedur ini adalah memaksimalkan kecenderungan (likelihood) suatu event akan terjadi. Nilai likelihood ini kemudian akan digunakan untuk menghitung kecocokan model secara keseluruhan, dengan mempergunakan evaluasi model yang berbeda dengan multiple regression. 5) Evaluasi ketepatan model dalam regresi logistik Evaluasi ketepatan model (the goodness of fit) untuk pendekatan regresi logistic dapat dilakukan dengan dua cara: (1) Melakukan evaluasi model dengan menggunakan nilai “pseudo” R2, serupa dengan yang ditemukan pada multiple regression. (2) Melakukan evaluasi keakuratan dari prediksi model (serupa dengan analisa diskriminan). Kedua hal ini dilihat dari dua perspektif yang berbeda, namun hasilnya haruslah seiring. (i) “pseudo” R2 Pengukuran dasar mengenai seberapa baik estimasi dari maksimum likelihood adalah mempergunakan nilai likelihood, Hal ini serupa dengan nilai dari sum of square yang digunakan pada multiple regresion. Regresi logistik mempergunakan nilai dari -2 x nilai log of likelihood (-2LL). Dimana nilai minimum untuk -2LL adalah 0, nilai ini menggambarkan model yang fit sempurna dengan data. (likelihood = 1 dan -2LL adalah 0). Oleh karena itu semakin kecil dari nilai -2LL 38 maka semakin baik model tersebut. Nilai -2LL ini juga kemudian akan digunakan untuk mengukur “pseudo” R2 sebagai berikut: R 2 Logit 2 LLnull (2 LLmod el ) 2 LLnull (II-8) Seperti multiple regresion, nilai “pseudo” R2 ini ada pada range 0 sampai dengan 1. Jika model yang diusulkan lebih sesuai dengan fakta (fit) maka nilai -2LL akan menurun dan “pseudo” R2 akan semakin meningkat. Pada keadaan yang sempurna makan nilai dari -2LL adalah sangat kecil atau nol dan sehingga nilai dari “pseudo” R2 adalah 1. Terdapat dua pengukuran yang serupa dengan “pseudo” R2 dan juga dapat dikategorikan pengukuran tersebut adalah “pseudo” R2 juga. Pengukuran tersebut adalah: The Cox and Snell R2 dan Nagelkerke, kedua pengukuran ini juga mengindikasikan nilai 1 sebagai model yang sempurna. Nilai Nagelkerke R2 dapat ditafsirkan sebagaimana R2 dalam metoda OLS, yaitu bahwa variabel X dapat menjelaskan variasi Y sebesar persentase tertentu sesuai hasil dari perhitungan Nagelkerke ataupun the Cox and Snell R2. (ii) Evaluasi Ketepatan Prediksi Regresi logistik mempunyai kesamaan dengan konsep R2 pada regresion sebagai pengukuran untuk kesesuaian model secara keseluruhan. Dari metoda diskriminan analis, regresi logistik mempunyai kesamaan dalam pengukuran ketepatan prediksi secara keseluruhan. Terdapat dua pendekatan yang umum digunakan yaitu matrik klasifikasi dan chi square based measure of fit. a. Matrik klasifikasi Pendekatan matrik klasifikasi yang digunakan pada regresi logistik adalah serupa dengan yang digunakan pada analisa diskriminan. Matrik ini mengukur seberapa baik suatu group di klasifikasikan dan juga nilai hit ratio nya. Bentuk matrik klasifikasi dapat dilihat pada tabel II.2. b. Chi Square – Based Measure Hosmer and lemeshow [1] membangun suatu komprehensif klasifikasi test untuk memprediksi keakuratan berdasarkan actual prediksi dari variabel 39 dependen. Pada SPSS test ini di rekomendasikan sebagai overall fit of binary logistic regression model. Biasa juga disebut dengan Chi square test. Test ini lebih robust daripada tradisional chi-square test, khususnya untuk untuk covariate yang continue terdapat pada model dan sample size yang kecil. Nilai yang tidak significant dapat diartikan bahwa model sudah sesuai dengan data. Test ini juga lebih disukai dari table klasifikasi ketika mengevaluasi kesesuaian model. Cara bekerja Hosmer dan Lemeshow test dapat diterangkan sebagai berikut: Ho: ada perbedaan yang signifikan antara nilai hasil observasi dengan nilai hasil prediksi Ha: Tidak terdapat perbedaan yang significant antara hasil observasi dengan nilai hasil prediksi Jika nilai HL test ≥ 0,05 maka Ho di tolak yang berarti mengindikasikan bahwa model prediksi tidak berbeda secara significant dengan data observasi. Hal ini menunjukan bahwa model dapat diterima. (iii) Pengujian untuk Signifikansi dari koefisien Pada multiple regresion dilakukan statistikal test (t test) apakan suatu koefisien tersebut signifikan atau tidak dari nilai 0. Sebuat koefisien nol mengindikasikan bahwa koefisient tersebut tidak mempunyai contribusi untuk memprediksi variabel dependen. Pada regresi logistik digunakan juga statistik test seperti ini dinamakan Wald Statistic. Pada regresi logistik juga dievaluasi apakan statu koefisien signifikan atau tidak dari nilai 0, namun karena regresi logistik menggunakan logit pada pengukuran variabel dependennya maka nilai logia = 0 berkorespondensi dengan nilai odds = 1, atau pada probabilitas 0,5. Nilai ini mengindikasikan bahwa probabilitas dari setiap grup adalah sama (sehingga tidak terdapat efek dari independen ini untuk memprediksi nilai variabel dependen). Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan dari variabel tersebut dalam memprediksi variabel dependen 40 Ha: Terdapat pengaruh yang signifikan dari variabel tersebut dalam memprediksi dependent variabel Untuk model dengan logit koefiesien yang besar standar error juga mengambang, dan mengurangi nilai Wald statistik sehingga mengarahkan pada kesalahan type II (false alarm) dimana diprediksi tidak signifikan padahal signifikan. Demikian juga untuk model yang mempergunakan dummy variabel, adalah lebih baik untuk melakukan test dengan mempergunakan likelihood rasio test untuk model yang berbeda dengan dan tanpa parameter yang ditest. Dicatat pula Wald statistik sensitif terhadap asumsi dari besar sample pada regresi logistik. Untuk beberapa alasan ini maka likelihood ratio test adalah lebih disukai / disarankan (David Garson, 2009) Pemilihan antara diskriminan analis dengan regresi logistik tergantung pada asumsi yang diperlukan oleh kedua metoda tersebut. Analisis diskriminan mengasumsikan data berdistribusi multivariate normal, sedangkan regresi logistik tidak mengasumsikan data harus berdistribusi tertentu. Pelanggaran asumsi multivariate normal pada analisis diskriminan biasanya menghasilkan tingkat ketepatan klasifikasi yang rendah. Ada peneliti yang menganjurkan tetap menggunakan analisis diskriminan meskipun ada pelanggaran asumsi, dengan catatan tidak ada data yang outlier (Meshbane, 1996). 6) Perbandingan Regresi Logistik dengan Multiple regression Konsep dari multiple regression dan regresi logistik adalah serupa pengetesan dasar dari keduannya kompatible dengan perbedaan yang ada timbil dari penggunaan metoda yang digunakan dari dua teknik ini (Least square dan Maximum likelihood) 41 Tabel II.3 Perbandingan multiple regression dan regresi logistik (Hair, 2006) Perbandingan dari evaluasi kesesuaian model Multiple Regression Logistic Regression Total sum of square -2LL of base model (model null) Error sum of square -2LL of proposed model Regression sum of square Difference of -2LL for base dan proposed model F test of Model Chi square test of -2LL difference Coeficient Determination (R2) “pseudo” R2 Jika diketahui bahwa tipe data variabel respon (Y) adalah nominal, yaitu kategorisasi keputusan manajemen bank apakah akan kredit lancar atau tidak (misal lancar dilambangkan angka 1, sedangkan tidak lancar dengan angka 0), sedangkan tipe data untuk variabel bebas (X) adalah nominal ataupun campuran kualitatif maupun kuantitatif. Bila metoda regresi linier biasa diterapkan pada kasus semacam ini, menurut Kutner, dkk.(2004), akan terdapat 2 pelanggaran asumsi Gauss-Markov dan 1 buah pelanggaran terhadap batasan dari nilai duga (fitted value) dari variabel respon (Y), yaitu: 1. Error dari model regresi yang didapat tidak menyebar normal. 2. Ragam (variance) dari error tidak homogen (terjadi heteroskedastisitas pada ragam error). 3. Sedangkan, pelanggaran bagi batasan nilai duga Y (fitted value) adalah bahwa nilai duga yang dihasilkan dari model regresi linier biasa melebihi rentang antara 0 s.d. 1. Hal ini jelas tidak masuk akal , karena batasan nilai pada variabel Y (dalam kasus ini adalah lancar=1 dan tidak lancar=0). Sehingga jika mendapatkan nilai Y = 4 pada saat memasukkan suatu nilai X tertentu itu berarti tidak dapat di intepretasikan . II.3.3 Metoda Probit Regresi probit adalah suatu analisis regresi yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara variabel dependen dan variabel independen. 42 Variabel dependen (variable respon) biasa disimbolkan Y dengan skala pengukuran dikotomus (biner) dan variabel independent (variable prediktor) biasa disimbolkan X yang skala pengukuran bersifat dikotomus, polikotomus atau kontinyu. Untuk membuat harga Y selalu berada di antara 0 dan 1 , maka memerlukan suatu fungsi monoton (non decreasing) yang memetakan hasil dari linier prediktor ke dalam unit interval. Tranformasi tipe ini diharapkan akan mempertahankan struktur linier dari model dan menghindari nilai peluang berada di luar interval [0,1]. Sembarang fungsi distribusi kumulatif (CDF) akan memenuhi kriteria diatas Y = P (Y=1 I X = xi) = P ( α + βXi) Dimana fungsi distribusi kumulatif P(.) dipilih sebelumnya dan α dan β adalah parameter yang akan di estimasi. Fungsi P(.) diasumsikan smooth dan simetris dan mendekati nilai simetrik Y=1 dan 0 secara asimtotis. Jika fungsi P(.) di asumsikan strictly increasing, maka model dapat ditulis ulang sebagai : P-1= α + βXi Untuk transformasi P(.) sering digunakan CDF dari distribusi normal standar yaitu ( z) 1 2 z 1 x2 e 2 dx atau lebih umum yang biasa dikenal dengan fungsi regresi logistik sebagai : ( z) 1 ez 1 e z 1 e z dengan konstanta n ~3,141 dan e ~ 2,718 dengan mempergunakan CDF normal ( z ) diperoleh probit model sebagai berikut : 1 Yi ( xi ) 2 xi 1 x2 e 2 dx sementara itu dengan mempergunakan fungsi logistik akan diperoleh persamaan regresi logistik sebagai berikut. ( xi ) 1 1 e ( xi ) e xi 1 e xi Secara umum, harga transformasi fungsi probit dan fungsi logit ekuivalen nilainya. 43 Intepretasi fungsi probit Misal dimiliki data tentang kepelikan rumah dengan variable Y = 1 jika memiliki rumah dan 0 jika tidak memiliki rumah. Sedangkan X adalah pendapatan dalam juta. Jika hasil estimasi dari data yang ada diperoleh sebagai berikut Konstan = -0,08133 dengan p value 0,003 X1 = 0,05846 dengan p value 0,021 Maka dengan mempergunakan model probit dapat di peroleh peluang kepemilikan rumah sebagai berikut : 1 i (0,8133 0, 05846(1) 2 0,8133 0,05846(1) e 1 2 (1) 2 dx maka diperoleh (0,8133 0, 05846(1) = (0, 7258) , dengan (0, 7258) adalah CDF normal standar di titik -0,7258. Jika kita lihat di dalam tabel CDF normal standar maka dapat diketahui bahwa nilai (0, 7258) ialah di sekitar 0,3066. Dari sini dapat disimpulkan bahwa peluang kepemilikan rumah adalah sebesar 0,3 untuk penghasilan 1 juta. Terdapat dua kelebihan dari fungsi logit dibandingkan dengan model probit yaitu (Rosadi, D. 2005) 1. Simplicity Persamaan dari fungsi logistik realatif sederhana, sedangkan fungsi normal lebih komplek. Perbedaan terutama untuk data polythomus dimana diperlukan model multivariate logistik terlihat bahwa model logistik akan jauh lebih sederhana 2. Interpretability Traformasi invers dari logit model ( xi ) dapat di interpretasikan langsung sebagai log odds sedangkan untuk fungsi probit tidak memliki intepretasi langsung. 44 II.4 Metoda Klasifikasi lainnya II.4.1 Jaringan Syaraf Tiruan (Artificial Neural Networks) Jaringan Syaraf Tiruan (JST) diketahui memiliki kemampuan yang sangat baik untuk melakukan berbagai proses klasifikasi. JST merupakan salah satu bagian dari metoda dalam bidang Artificial Intelligence yang dikenal sebagai machine learning (Negnevitsky dan Michael, 2002). Machine learning merupakan metoda dalam ilmu komputer yang melibatkan mekanisme adaptasi sehingga mesin (komputer) dapat belajar dari pengalaman. Secara umum, JST dapat digunakan sebagai salah satu metoda untuk melakukan pengenalan pola data (Negnevitsky dan Michael, 2002). Penggunaan JST untuk pengenalan pola pada sebuah citra ini erat kaitannya dengan permasalahan klasifikasi obyek yang sering muncul dalam kehidupan sehari-hari. Secara umum masalah pengenalan pola ini termasuk dalam bidang computer vision yang bertujuan untuk mengambil informasi dari data yang berdimensi banyak dengan menggunakan mesin. JST disusun oleh elemen–elemen pemroses yang berada pada lapisan lapisan yang berhubungan dan diberi bobot. Dengan serangkaian inputan diluar sistem yang diberikan kepadanya jaringan ini dapat memodifikasi bobot yang akan dihasilkannya, sehingga akan menghasilkan output yang konsisten sesuai dengan input yang diberikan kepadanya. Setiap elemen pemroses melaksanakan operasi matematika yang sudah ditentukan dan menghasilkan (hanya) sebuah harga keluaran dari satu ataupun banyak masukan. Struktur jaringan akan ditunjukkan seperti pada Gambar II-10 . Pemodelan jaringan pada syaraf tiruan sering dikategorikan menjadi tiga yaitu: single layer, multi layer dan competitive layer. Secara umum, tiap unit pada lapisan (Layer) yang sama atau dapat kita sebut neuron mempunyai tingkah laku yang sama untuk pemrosesan sinyal data. Hanya hal terpenting yang perlu diperhatikan adalah penentuan penggunaan jenis fungsi aktifasi pada masingmasing unit pada lapisan tersebut dan pola koneksi pembobot antar lapisan. 45 Gambar II.9 Arsitektur JST dengan Single Hidden Layer (Manel, dkk, 1999). Namun biasanya unit pada lapisan yang sama mempunyai jenis fungsi aktifasi yang sama dan pola koneksi pembobot yang sama pula. Pemilihan jumlah layer bukan berarti pemilihan layer untuk neuron, namun pemilihan layer untuk penghubung jalur pembobot antar neuron. Jadi variabel terpenting untuk pengenalan pola adalah pembobotnya. a. Single layer Jaringan ini terdiri atas lapisan input dengan beberapa unit input, satu lapis pembobot dan lapisan output yang terdiri atas beberapa unit output dimana masing – masing unit input terkoneksi secara penuh dengan masing-masing unit output, tetapi setiap unit output tidak terkoneksi dengan unit input maupun unit output yang lain. Pada jaringan ini masing-masing input unit menerima sinyal informasi dari luar dan melalui koneksi yang ada, dilakukan proses pembobotan untuk masingmasing sinyal yang akhirnya akan direspon oleh masing-masing output unit. Pembobot untuk satu unit output tidak akan berpengaruh pada unit output yang lain. 46 b. Multi layer Cara kerja dari model ini sama seperti pada jaringan lapis tunggal. Hanya saja pada arsitekturnya terdapa tambahan beberapa layer untuk pembobot. Jadi pada pemodelan ini terdapat tambahan beberapa atau satu layer lagi diantara input layer dan output layer yang sering disebut dengan lapisan tersembunyi (Hidden Layer). Sehingga dengan demikian terdapat lapisan pembobot antara input layer, hidden layer dan output layer. Kelebihan dari arsitektur jenis ini jika dibandingkan dengan single layer ialah dapat menyelesaikan masalah kompleks yang mungkin tidak dapat diselesaikan oleh jaringan single layer secara sempurna. Hanya saja proses pelatihannya membutuhkan waktu yang agak lama karena tentu saja lebih sulit untuk dilakukan. II.4.2 Pohon Keputusan Pohon keputusan adalah salah satu model klasifikasi yang cukup populer karena mudah di interpretasikan oleh manusia. Algoritma C4.5 adalah algoritma klasifikasi data dengan metoda pohon keputusan yang memiliki kelebihan dalam mengelolah data numerik yang kontinyu maupun diskrit. Dapat menangani nilai uatribut yang hilang , menghasilkan aturan-aturan yang mudah di interprestasikan dan tercepat diantara algoritma yang menggunakan memori utama di komputer. Pohon keputusan adalah model prediksi menggunakan struktur pohon atau struktur berhirarki. Contoh dari pohon keputusan dapat dilihat di gambar II.10. Disini setiap percabangan menyatakan kondisi yang harus dipenuhi dan tiap ujung pohon menyatakan kelas data. Contoh pada gambar II.10 adalah identifikasi pembeli komputer dari pohon keputusan tersebut diketahui bahwa salah satu kelompok yang potensial membeli komputer adalah kelompok orang yang berusia di bawah 30 tahun dan juga pelajar. Setelah pohon keputusan tersebut dibangun maka dapat digunakan untuk mengklasifikas record yang belum ada kelasnya. Dimulai dari node root, menggunakan tes terhadap atribut dari record yang belum ada kelasnya tersebut lalu mengikuti cabang yang sesuasi dengan hasil dari test tersebut, yang akan 47 membawa kepada interval node (node yang memiliki satu cabang masuk dan duat atau lebih cabang yang keluar), dengan cara harus melakukan test lagi terhadap atribut atau node daun. Record yang kelasnya tidak diketahui , kemudian diberikan kelas yang sesuai dengan sesuai dengan kelas yang ada pada node daun. Pada pohon keputusan setiap simpul daun menandai label kelas. Usia? >=41 <=30 31-40 Pelajar? tidak Credit rating? tidak Ya tidak Ya Gambar II.10 Contoh pohon keputusan (Jayanti ,2008) Proses dalam pohon keputusan mengubah bentuk data (tabel) menjadi model pohon kemudian mengubah model pohon (tree) menjadi aturan (rule) untuk keperluan pengklasifikasian sesuai dengan tujuan. II.4.3 Metoda Risk Of Ruin Salah satu cara dalam menentukan prediksi kebangkrutan adalah dengan metoda risk of ruin. Besarnya surplus menjadi negatif untuk pertama kali disebut saat ruin. Yang menjadi kendala dalam menghitung peluang ruin ialah mencari bentuk eksplisit dari peluang ruin tersebut. Untuk mengatasi hal tersebut dilakukan penaksiran terhadap peluang ruin secara numerik. Untuk u 0 , peluang ruin untuk model waktu kontinu adalah: e Ru (u ) E e Ru (T ) T 48 Masalah yang timbul untuk menghitung peluang ruin tersebut adalah kesulitan dalam mencari bentuk eksplisit dari E e Ru (T ) T . Salah satu cara dalam mencari nilai tersebut adalah dengan cara menaksir nilai dari peluang ruin secara numerik. Ide dari metoda yang digunakan ialah mencari kaitan antara peluang ruin dengan kerugian agregat maksimal. Kemudian batas atas dan batas bawah dari kerugian agregat maksimal tersebut digunakan untuk mencari batas atas dan batas bawah dari peluang ruin. Metoda-metoda diatas memiliki keunggulan maupun kelemahan. Manel (1999) dalam penelitiannya menemukan bahwa Artificial Neural Network (ANN) tidak lebih baik dibandingkan regresi logistik dan analisis iskriminan dalam hal efisiensi waktu pada proses analisisnya. Dibandingkan dengan Analisis Diskriminan, Kurt (2006) dalam penelitiannya menyatakan bahwa regresi logistik merupakan metoda klasifikasi yang cukup baik, setidaknya pada saat ada variabel independen berskala kuantitatif maupun kualitatif . II.5 Kredit II.4.1 Definisi Pengertian Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara BPR dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu disertai dengan pembayaran sejumlah bunga dan adanya jaminan sebagai cerminan niat baik debitur. Pengertian tersebut di atas mengandung unsur-unsur yaitu: Unsur kepercayaan, yaitu mempercayai sejumlah uang untuk dikelola peminjam Unsur waktu, yaitu adanya jangka waktu pengembalian Kredit 49 Unsur resiko, yaitu akibat yang dapat timbul karena adanya jangka waktu antara pemberian kredit dan pelunasannya Unsur penyerahan, yaitu nilai ekonomi uang yang dikembalikan pada saat pelunasan nilainya sama dengan nilai ekonomi uang saat pemberian Kredit Unsur jaminan, yaitu suatu pengangan bagi pihak Bank terhadap debitur untuk mengurangi unsur resiko. II.5.2 Analisis Kredit Tujuan utama analisis premohonan kredit adalah untuk memperoleh keyakinan apakah nasabah mempunyai kemauan dan kemampuan memenuhi kewajibannya kepada bank secara tertib, baik pembayaran pokok pinjaman maupun bunganya, sesuai dengan kesepakatan dengan bank.hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyelesaian kredit nasabah, terlebih dahulu harus terpenuhinya Prinsip 5 C Analisis, yaitu sebagai berikut: 1) Character Character adalah keadaan watak dari nasabah, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam lingkungan usaha. Kegunaan dari penilaian terhadap karakter ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana kemauan nasabah untuk memenuhi kewajibannya sesuai dengan perjanjian yang telah ditetapkan. Sebagai alat untuk memperoleh gambaran tentang karakter dari calon nasabah tersebut, dapat ditempuh melalui upaya antara lain: Meneliti riwayat hidup calon nasabah; Meneliti reputasi calon nasabah tersebut di lingkungan usahanya; Meminta bank to bank information; Mencari informasi kepada asosiasi-asosiasi usaha dimana calon nasabah berada; Mencari informasi apakah calon nasabah suka berjudi. Mencari informasi apakah calon nasabah memiliki hobi berfoya-foya. 2) Capital Capital adalah jumlah dana/modal sendiri yang dimiliki oleh calon nasabah. Semakin besar modal sendiri dalam perusahaan, tentu semakin tinggi 50 kesungguhan calon nasabah dalam menjalankan usahanya dan bank akan merasa lebih yakin dalam memberikan kredit. Modal sendiri juga diperlukan bank sebagai alat kesungguhan dan tangung jawab nasabah dalam menjalankan usahanya karena ikut menangung resiko terhadap gagalnya usaha.dalam praktik, kemampuan capital ini dimanifestasikan dalam bentuk kewajiban untuk menyediakan self-financing, yang sebaiknya jumlahnya lebih besar daripada kredit yang dimintakan kepada bank. 3) Capacity Capacity adalah kemampuan yang dimiliki calon nasabah dalam menjalankan usahanya guna memperoleh laba yang diharapkan. Kegunaan dari penilaian ini adalah untuk mengetahui sampai sejauh mana calon nasabah mampu untuk mengembalikan atau melunasi utang-utangnya secara tepat waktu dari usaha yang diperolehnya. Pengukuran capacity tersebut dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan berikut ini: Pendekatan historis, yaitu menilai past performance, apakah menunjukkan perkembangan dari waktu ke waktu. Pendekatan finansial, yaitu menilai latar belakang pendidikan para pengurus Pendekatan yuridis, yaitu secara yuridis apakah calon nasabah mempunyai kapasitas untuk mewakili badan usaha yang diwakilinya untuk mengadakan perjanjian kredit dengan bank. Pendekatan manajerial, yaitu menilai sejauh mana kemampuan dan keterampilan nasabah melaksanakan fungsi-fungsi manajemen dalam memimpin perusahaan. Pendekatan teknis, yaitu untuk menilai sejauh mana kemampuan calon nasabah mengelola faktor-faktor produksi seperti tenaga kerja, sumber bahan baku, peralatan-peralatan, administrasi dan keuangan, industrial relation sampai pada kemampuan merebut pasar. 4) Collateral Colleteral adalah barang-barang yang diserahkan nasabah sebagai agunan terhadap kredit yang diterimanya. Colleteral tersebut harus dinilai oleh bank untuk mengetahui sejauh mana resiko kewajiban finansial nasabah kepada bank. 51 Pada hakikatnya bentuk Collateral tidak hanya berbentuk kebendaan tetapi juga collateral yang tidak berwujud seperti jaminan pribadi , letter of guarantee, letter of comfort, rekomendasi dan avalis. 5) Condition of Economy Condition of Economy, yaitu situasi dan kondisi politik, sosial, ekonomi, budaya yeng mempengaruhi keadaan perekonomian pada suatu saat yang kemungkinannya memengaruhi kelancaran perusahaan calon debitur. Untuk mendapat gambaran mengenai hal tersebut, perlu diadakan penelitian mengenai hal-hal antara lain: Peraturan-peraturan pemerintah Situasi, politik dan perekonomian dunia Keadaan lain yang memengaruhi pemasaran 6) Constraint Constraint adalah batasan dan hambatan yang tidak memungkinkan suatu bisnis untuk dilaksankan pada tempat tertentu, misalnya pendirian suatu usaha pompa bensin yang disekitarnya banyak bengkel las atau pembakaran batu bata. Dari keenam prinsip diatas, yang paling perlu mendapatkan perhatian account officer adalah character, dan apabila prinsip ini tidak terpenuhi, prinsip lainnya tidak berarti. Dengan perkataan lain, permohonannya harus ditolak. II.5.3. Persiapan Analisa Kredit Kegiatan analisa merupakan suatu kegiatan yang komplek. Hal itu disebabkan keharusan menilai suatu kondisi eksternal dengan keterbatasan data yang tersedia. Suatu penilaian bersifat prediksi karena itu diperlukan formula dan pendekatanpendekatan ilmu untuk melakukannya. Sebelum analisa dilakukan, maka lazimnya diperlukan beberapa persiapan yaitu: a. Pemilihan pendekatan yang akan dilakukan dalam melakukan analisa Kredit b. Proses pengumpulan informasi yang lengkap yang akan diperlukan dalam suatu kegiatan analisa Kredit. c. Penetapan titik kritis suatu proyek d. Pemilihan Pendekatan Analisa 52 Pendekatan Karakter Pendekatan Kemampuan Pelunasan Pendekatan Kelayakan Pendekatan Jaminan Pendekatan Kondisi ekonomi di masyarakat II.5.4 Pengumpulan Informasi 1) Informasi Umum Reputasi calon Nasabah Kredit Data nasabah black list, khususnya dari LKM lain Data ekonomi sosial menyangkut proyek Ketentuan umum perundang-undangan Data teknis skala usaha calon debitur Perkembangan rekening tabungan Informasi ketenaga kerjaan b) Informasi Khusus Data yuridis pribadi calon Nasabah (debitur) Data yuridis usaha calon Nasabah Kredit Data keuangan calon Nasabah Kredit Data teknis calon Nasabah Kredit Data tentang manajemen dan personalia Data ekonomis dan yuridis jaminan Data lain yang berkaitan langsung dengan projek II.4.5. Penetapan Titik Kritis Projek yang akan dibiayai Analisa Kredit harus dapat menentukan titik kritis dari suatu proyek yang akan dibiayai, yaitu penentuan aspek mana yang paling kritis untuk dianalisa, yang merupakan faktor dominan untuk keberhasilan projek. Jika titik kritis dapat dilakukan maka aspek lain akan dilakukan analisa kemudian. 53 II.5.6. Analisa Setiap Aspek Kredit Setelah mengetahui secara jelas titik kritis dari suatu usaha calon debitur, maka berikutnya adalah melakukan analisa setiap aspek yang berkaitan dengan usaha calon debitur tersebut. 1) Aspek Yuridis a. Kapasitas untuk mengadakan perjanjian b. Status badan sesuai dengan ketentuan hukum berlaku 2) Aspek Pemasaran a. Siklus hidup produk b. Produk subtitusi c. Perusahaan pesaing d. Daya beli masyarakat e. Program promosi f. Daerah pemasaran g. Faktor musim h. Manajemen pemasaran i. Kontrak penjualan 3) Aspek Teknis a. Lokasi Usaha (Dekat pasar, bahan baku, tenaga kerja, suply peralatan, transportasi) b. Fasilitas gedung tempat usaha (IMB, daya tampung, persyaratan teknis) c. Mesin-mesin yang dipakai (Kapasitas, konfigurasi mesin, merk, reparasi, fleksibilitas) d. Proses produksi (Efesiensi proses, standard proses, desain dan rencana produksi) 4) Aspek Manajemen a. Kemampuan mengelola usaha b. Kebijakan manajemen perusahaan pemohon 5) Aspek Keuangan 54 a. Kemampuan memperoleh keuntungan b. Sisa Kredit dengan pihak lain c. Beban rutin di luar kegiatan usaha d. Arus kas 6) Aspek Jaminan a. Syarat ekonomi b. Syarat yuridis Analisa yang digunakan pada BPR dalam melakukan analisa kridit mempergunakan pendekatan analisa diskriminan adalah: mempergunakan pendekatan 6 C: Character, Capacity, Capital, Collateral, Condition of Economy, Constraint II.6. Sistem Pendukung Keputusan (SPK) II.6.1. Definisi Definisi SPK berusarkan Turban (1995 ) adalah sebuah komputer bases information sistem yang interaktif, fleksibel dan dapat beradaptasi yang dikembangkan terutama untuk mendukung pengambilan keputusan secara lebih baik dalam rangka mendapatkan suatu solusi dari suatu permasalahan manajemen yang tidak terstruktur. SPK biasa dikenal juga dengan DSS (Desicion Support System). SPK ini akan meutilisasi data, menyediakan dialog penyelenggara (interface) yang mudah dan memasukan pandangan dari pengambil keputusan. SPK tidak ditekankan untuk membuat keputusan, melainkan melengkapi kemampuan untuk mengolah informasi yang dilakukan untuk membuat keputusan. Dengan kata lain SPK membantu manusia dalam proses pembuatan keputusan. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa keberadaan DSS bukan untuk menggantikan tugas-tugas manajer, tetapi untuk menjadi sarana penunjang bagi mereka. DSS sebenarnya merupakan implementasi teori-teori pengambilan 55 keputusan yang telah diperkenalkan oleh ilmu-ilmu seperti operation research dan management science. Hanya bedanya adalah bahwa jika dahulu untuk mencari penyelesaian masalah yang dihadapi harus dilakukan perhitungan iterasi secara manual (biasanya untuk mencari nilai minimum, maksimum, atau optimum), saat ini komputer PC telah menawarkan kemampuannya untuk menyelesaikan persoalan yang sama dalam waktu relatif singkat. Dalam kedua bidang ilmu di atas, dikenal istilah decision modeling, decision theory, dan decision analysis – yang pada hakekatnya adalah merepresentasikan permasalahan manajemen yang dihadapi setiap hari ke dalam bentuk kuantitatif (misalnya dalam bentuk model matematika). II.6.2. Manfaat SPK Manfaat dari SPK diantaranya adalah: Mampu mendukung solusi dari suatu permasalahan yang komplek Memberikan jawaban yang cepat untuk situasi yang tidak diharapkan dari suatu perubahan kondisi Mampu untuk mencoba beberapa strategi yang berbeda di bawah konfigurasi yang berbeda dengan cepat dan secara obyektif. User dapat menambah wawasan melalui komposisi model dan kepekaan dari SPK. Memudahkan komunikas dan penghematan ongkos dan biaya yang terlibat Bersifat obyektif (berdasarkan hasil analisa data empirik ) Sprague dan Carlson mendefinisikan DSS dengan cukup baik, sebagai sistem yang memiliki lima karakteristik utama (Sprague , 1982): a. Sistem yang berbasis komputer; b. Dipergunakan untuk membantu para pengambil keputusan; c. Untuk memecahkan masalah-masalah rumit yang “mustahil” dilakukan dengan kalkulasi manual; d. Melalui cara simulasi yang interaktif; e. Dimana data dan model analisis sebagai komponen utama. 56 Karakteristik d dan e merupakan fasilitas baru yang ditawarkan oleh DSS belakangan ini sesuai dengan perkembangan terakhir kemajuan perangkat komputer. II.6.3. Arsitektur SPK Arsitektur SPK yang mengambarkan keterkaitan antara komponen-komponen yang ada pada SPK dapat dilihat pada gambar dibawah ini: Penugasan (TASK) PENGGUNA (USER) Lingkungan (Environment) Gambar II.11 Arsitektur SPK (Sprague 1982) II.6.4. Komponen-komponen SPK Suatu SPK mempunyai empat sub elemen sub sistem utama yang menentukan kapabilitas teknik SPK tersebut (Turan 1995), element tersebut adalah: a. Sub sistem manajemen berbasis data (DBMS = Database Management System) Sub sistem manajemen basis data menangani pemeliharaan data kontrol basis data serta menyederhanakan program interface SPK dengan basis data. Basis data merupakan mekanisme integrasi berbagai data internal dan eksternal b. Sub sistem manajemen basis model (MBMS = Model Based Management System) Sub sistem manajemen basis model bertugas untuk mengitegrasikan akses data dengan model-model yang dirancang dan dikembangkan. Hal ini 57 dilakukan dengan menambahkan model-model yang dirancang ke dalam sistem informasi yang menggunakan basis data sebagai mekanisme integrasi dan komunikasi diantara model-model c. Sub sistem penyelenggara Dialog (DGMS = Dialog Generation and Management system) Sub sistem penelenggara dialog berfungsi sebagai pengkomunikasi antara pemakai dengan sistem komputer. Sub sistem ini harus memberikan / memenuhi keinginan pemakai dan bersifat cukup komunikatif. Fleksibilitas dan kekuatan karakteristisk SPK timbul dari kemampuan antara sistem dengan pemakai. d. Manajemen Pengetahuan (Knowledge Management) Sub sistem ini dapat mendukung segala penterjemahan sub sistem di atas atau juga dapat bertindak sebagai komponen bebas dimana sama sekali tidak terkait dengan sub sistem lain. Sub sistem ini sering juga di namai knowledge management. 58