Islamic Hedging untuk Sukuk Negara Oleh: Eri Hariyanto, pegawai Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Kementerian Keuangan*) I. Pendahuluan Krisis ekonomi pada tahun 1997-1998 menjadi pelajaran sangat berharga bagi pengelolaan keuangan negara. Ketika krisis memuncak, banyak sekali industri keuangan terutama perbankan yang mengalami kesulitan likuiditas untuk membayar kewajiban kepada nasabah yang menarik uang secara besar-besaran (rush). Jatuhnya nilai tukar rupiah terhadap USD karena tindakan spekulan telah mendorong meningkatnya beban utang luar negeri industri perbankan nasional. Risiko ini terjadi karena tidak adanya perlindungan nilai tukar mata uang lokal terhadap mata uang asing. Ketika terjadi depresiasi rupiah, pembayaran kewajiban dalam mata uang asing meningkat sangat drastis. Keadaan ini dapat mengakibatkan kondisi yang lebih fatal yaitu gagal bayar (default). Dalam situasi ini, Pemerintah melakukan perannya untuk menyelamatkan industri keuangan domestik dari kegagalan sistemik. Pada saat itu pemerintah melakukan program rekapitulasi dan restrukturisasi perbankan dengan biaya tidak kurang dari 650 triliun rupiah agar industri keuangan domestik dapat berjalan normal kembali. Pada saat yang sama, industri keuangan syariah mulai tumbuh dengan berbagai cabang industrinya. Pada akhir tahun 1990-an, industri keuangan syariah mulai memperlihatkan perkembangan asset yang signifikan. Negara-negara Timur Tengah dan Asia, termasuk Indonesia, terlibat dalam mendorong pertumbuhan keuangan syariah. Pada awal pertumbuhannya keuangan syariah telah menunjukkan ketangguhannya bertahan dari krisis keuangan. Karakteristik keuangan syariah yang lebih prudent dalam mengelola transaksinya dan penggunaan underlying asset menjadi salah satu benteng keuangan syariah. Walaupun demikian, industri keuangan syariah tidak terlepas dari risiko. Menurut Sugema (2012), mekipun keuangan syariah telah dipraktikkan dengan memegang teguh governance dari keuangan syariah, tetap tidak dapat terlepas dari dinamika dan risiko keuangan konvensional. Ada dua alasan mengapa hal tersebut terjadi: pertama, secara teori, sumber utama krisis keuangan adalah akibat kelebihan pembiayaan oleh perbankan yang dilakukan secara tidak hati-hati. Kasus gagal bayar Dubai World akibat ekspansi berlebihan dalam menerbitkan sukuk kiranya dapat dijadikan pelajaran. Kedua, keterkaitan erat keuangan syariah dengan sektor riil bukan berarti keuangan syariah bebas risiko karena sektor riil juga dapat mengalami fluktuasi. Belum lagi risiko-risiko lain seperti penurunan volume perdagangan, risiko tingkat suku bunga dan nilai tukar. Beberapa studi empiris menunjukkan bahwa akibat krisis global, keuangan syariah terkena dampak dari penurunan kinerja sektor riil akibat depresiasi asset (terutama asset properti), penurunan pembiayaan perdagangan (trade finance) akibat penurunan perdagangan dunia, dan penurunan penerbitan sukuk di pasar keuangan internasional. Dalam rangka pemenuhan target pembiayaan APBN, pemerintah telah melakukan berbagai diversifikasi sumber pembiayaan. Salah satu langkah yang ditempuh oleh pemerintah adalah dengan menerbitkan Surat Berharga Negara (SBN) termasuk Sukuk Negara di pasar internasional dalam valuta asing. Sebagai bagian dari instrumen keuangan syariah, Sukuk Global juga tidak terlepas dari dinamika dan risiko keuangan global yang dapat berdampak buruk terhadap pengelolaan Sukuk Negara. Mengingat perannya yang sangat strategis sebagai salah satu sumber pembiayaan, Direktorat Pembiayaan Syariah sebagai penerbit Sukuk Negara sangat concern terhadap berbagai risiko yang mungkin timbul dalam pengelolaan Sukuk Negara, termasuk Sukuk Global yang sangat dipengaruhi oleh berbagai kondisi makroekonomi dunia. Salah satu risiko yang dihadapi dalam penerbitan Sukuk Negara dalam valuta asing adalah risiko nilai tukar. Risiko ini dapat terjadi ketika Sukuk Negara jatuh tempo. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya risiko nilai tukar pada saat Sukuk Negara jatuh tempo, tentu membutuhkan kebijakan khusus yang proporsional diantaranya adalah kebijakan Islamic hedging (lindung nilai sesuai syariah). II. Islamic Hedging Hedging atau lindung nilai merupakan suatu strategi investasi yang dilakukan untuk mengurangi atau meniadakan risiko pada suatu investasi, di samping tetap dimungkinkan untuk memperoleh keuntungan dari invetasi tersebut. Instrumen keuangan untuk memperjualbelikan risiko yang paling dikenal dalam pelaksanaan hedging adalah derivatif yaitu suatu kontrak bilateral atau perjanjian penukaran pembayaran yang nilainya diturunkan atau berasal dari produk yang menjadi "acuan pokok" atau juga disebut "produk turunan" (underlying product). Pelaku pasar membuat suatu perjanjian untuk saling mempertukarkan uang, asset, atau suatu nilai di suatu masa yang akan datang dengan mengacu pada asset yang menjadi acuan pokok, tanpa memperdagangkan atau menukarkan asset secara fisik. Ada empat produk hedging yaitu: forward, future, swap dan option. Semakin berkembangnya keuangan syariah dan kemungkinan terdampak risiko seperti dalam keuangan konvensional, maka para praktisi keuangan syariah memandang perlu untuk mengembangkan hedging yang sesuai prinsip-prinsip keuangan syariah. Teknik ini disebut al-Tahawwuth al-Islami atau Islamic Hedging yaitu cara untuk mengurangi risiko yang timbul maupun yang diperkirakan akan timbul akibat adanya fluktuasi nilai tukar berdasarkan prinsip syariah. Dalam fatwa terbaru dari Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI), yaitu Nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar, dijelaskan lebih rinci mengenai akad dan mekanisme yang dapat digunakan dalam transaksi lindung nilai, sebagai berikut: 1. 'Aqd al-Tahawwuth al-Basith (Transaksi Lindung Nilai Sederhana) adalah transaksi lindung nilai dengan skema Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang; 2. 'Aqd al-Tahawwuth al-Murakkab (Transaksi Lindung Nilai Kompleks) adalah transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian Transaksi Spot dan Forward Agreement yang diikuti dengan Transaksi Spot pada saat jatuh tempo serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang; dan, 3. 'Aqd al-Tahawwuth fi Suq al-Sil'ah (Transaksi Lindung Nilai melalui Bursa Komoditi Syariah) adalah transaksi lindung nilai dengan skema berupa rangkaian transaksi jualbeli komoditi (sil'ah) dalam mata uang rupiah yang diikuti dengan jual-beli komoditi (sil'ah) dalam mata uang asing serta penyelesaiannya berupa serah terima mata uang pada saat jatuh tempo. Selanjutnya dalam fatwa tersebut juga diatur pula beberapa ketentuan pelaksanaan Islamic Hedging yaitu: transaksi lindung nilai syariah atas nilai tukar tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bersifat spekulatif (untung-untungan), hanya boleh dilakukan apabila terdapat kebutuhan nyata (lil hajah), hak pelaksanaan muwa'adah dalam mekanisme lindung nilai tidak boleh diperjualbelikan. III. Perlunya Islamic Hedging untuk Sukuk Negara Dalam statistik utang yang disajikan website Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko dapat dilihat bahwa per bulan Juni 2016 jumlah utang pemerintah mencapai Rp3.363 triliun. Komposisi utang yang berdenominasi valuta asing mencapai 110 miliar USD atau sekitar 43,2 % dari total utang pemerintah. Adapun outstanding penerbitan Sukuk Global dengan 9,5 miliar USD. Melihat proporsi utang pemerintah dalam valuta asing yang cukup tinggi, ada beberapa risiko yang mungkin dihadapi pemerintah diantaranya adalah: (1) risiko pasar, yaitu risiko terjadinya pembalikan arus modal ke luar negeri (sudden reversal) yang menyebabkan penurunan harga SBN, dan (2) risiko nilai tukar terutama pada saat kewajiban jatuh tempo. Mengamati pergerakan nilai tukar rupiah dalam 4 tahun terakhir dapat diketahui bahwa nilai tukar rupiah secara rata-rata mengalami penurunan yang signifikan sekitar 8% pertahun sejak tahun 2011 s.d. tahun 2015. Penurunan nilai rupiah ini tentu saja akan menambah beban pembayaran bunga dan pokok utang yang telah jatuh tempo, terutama bertambahnya penyediaan dana dalam mata uang rupiah. Dalam kondisi perekonomi yang belum menentu saat ini (gloomy), kondisi penurunan nilai tukar rupiah kemungkinan masih dapat terjadi pada masa yang akan datang. Berdasarkan kondisi di atas, pemerintah kiranya perlu mengkaji lebih dalam penerapan strategi lindung nilai (hedging) terhadap utang yang berdenominasi valuta asing. Hal ini perlu juga diterapkan untuk instrumen lainnya yaitu SBN termasuk Global Sukuk. Pemerintah akan sangat diuntungkan dengan penerapan hedging terhadap SBN khususnya SBN dalam valuta asing karena dapat memitigasi risiko peningkatan pembayaran pokok dan imbalan SBN. Dalam exercise sederhana diketahui bahwa setiap terjadi penurunan nilai tukar sebesar Rp100,- dibandingkan dengan USD, maka akan mengakibatkan tambahan biaya sebesar 0.7%. Sehingga dengan diterapkannya hedging akan menghemat biaya baik untuk pembayaran imbalan maupun pokok. Saat ini DSN MUI telah menerbitkan fatwa nomor 96/DSN-MUI/IV/2015 tanggal 2 April 2015 tentang Transaksi Lindung Nilai Syariah (Al-Tahawwuth Al-Islami / Islamic Hedging) Atas Nilai Tukar. Fatwa ini sejatinya untuk industri perbankan yang memerlukan lindung nilai atas kewajibannya dalam mata uang asing. Untuk itu, apabila pemerintah memandang perlu menerapkan Islamic Hedging, nampaknya perlu melakukan diskusi intensif dengan DSN MUI mengenai pengaturan teknis pelaksanaan hedging untuk Sukuk Global. Selain itu, pemerintah perlu mengindetifikasi pihak-pihak (counterparties) yang dapat dijadikan partner dalam melakukan kontrak lindung nilai dengan pemerintah. Selanjutnya pemerintah juga dapat menindaklanjuti rencana hedging dengan berbagai simulasi, sebelum dilaksanakan secara resmi. *) Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis bekerja