NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL Oleh: ARDIMAN ADAMI RR INDAH RIA SULISTYORINI PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA 2006 i NASKAH PUBLIKASI HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL Telah Disetujui pada Tanggal Dosen Pembimbing Utama (Rr. Indah Ria Sulistyorini, S.Psi., Psi.) ii Syair Sabtu, 27 Mei Siang dan malam semuanya menatap utara siapa yang pernah menyangka selatan justru mengguncangkan bencana Sekian ribu nyawa melayang dalam cekam rumah-rumah dan gedung berdebam desa dan kota tinggallah puing reruntuhan Duhai jiwa yang pagi-pagi tersentak derita masihkah cermin tak retak untuk berkaca bagi langkah yang limbung tak lagi gempa AM Azzet iii HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL Ardiman Adami Rr. Indah Ria Sulistyorini INTISARI Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Semakin tinggi tingkat spiritualitas survivor gempa, semakin baik proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat spiritualitas survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya. Subjek dalam penelitian ini berjumlah 92 orang adalah warga Bantul yang menjadi survivor bencana gempa bumi pada 27 Mei 2006 lalu. Adapun skala yang digunakan adalah Skala Proactive Coping pada Survivor Gempa yang mengacu pada Proactive Coping Inventory (Greeanglass, 2002). Skala ini terdiri atas enam aspek, yaitu proactive coping, reflective coping, strategic planning, preventive coping, instrumental support seeking, dan emotional support seeking yang dikemukakan oleh Greenglass (2001). Koefisien reliabilitas (a) skala proactive coping sebesar 0,909 dan memiliki korelasi item-total bergerak dari 0,253-0,772. Sementara Skala Spiritualitas yang digunakan mengacu pada Spiritual Transendence Scale (Piedmont, 1999). Skala ini terdiri atas tiga aspek, yaitu prayer fulfillment (pengamalan ibadah), universality (universalitas), dan connectedness (keterkaitan) yang dikemukakan oleh Piedmont (2001). Koefisien reliabilitas (a) skala spiritualitas sebesar 0,933 dan memiliki korelasi item-total bergerak dari 0,268-0,789. Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan analisis korelasi product moment Pearson melalui prosedur bivariate correlation dari komputer program SPSS 12.0 for Windows untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kedua variabel. Analisis data menunjukkan adanya korelasi yang sangat signifikan sebesar 0,741 (p = 0,000 atau p < 0,01), dengan sumbangan efektif sebesar 54,9 %. Hal ini berarti, baik atau buruknya proactive coping pada survivor gempa dipengaruhi oleh tingkat spiritualitas individu, di mana spiritualitas memiliki peranan sebesar 54,9 % terhadap proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Kata Kunci: Spiritualitas, Proactive Coping, Survivor Gempa iv PENGANTAR Latar Belakang Masalah Bencana gempa tektonik berkekuatan 5,9 skala Richter telah mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/05/2006) pukul 05:53 WIB. Bencana ini merupakan peristiwa katastropik dan traumatis terburuk yang pernah terjadi di Indonesia, setelah bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda Provinsi Aceh dan Sumatrera Utara di penghujung Desember 2004 yang menewaskan sekitar 170.000 jiwa (Kompas, 28/05/2006). Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta kali ini telah menewaskan lebih dari 6.000 jiwa serta meluluhlantakkan ribuan bangunan, infrastruktur, dan memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul. Khusus wilayah Bantul, sebanyak 4.143 korban tewas dan 779.287 jiwa lainnya harus tinggal di tenda-tenda pengungsian. Adapun kerusakan rumah warga yang ditimbulkan oleh gempa adalah sebanyak 71.763 unit roboh, 71.372 unit rusak berat/sedang, serta 73.669 unit rusak ringan (http://www.portalinfaq.org). Masyarakat yang menjadi survivor dari suatu bencana cenderung memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi oleh survivor tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka. Kejadian gempa di Yogyakarta menjadi beban dan tekanan tersendiri bagi para survivor karena musibah ini baru pertama kali dialami dan merupakan kejadian yang tidak terduga sama sekali. Bagi sebagian orang yang luput dari maut, menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan banyak hal akibat gempa adalah hal yang menyakitkan 1 dan sulit dilakukan. Meski terasa lebih ringan karena bencana ini melanda banyak orang, namun perubahan yang begitu mendadak dan dianggap bernilai karena mencakup penghidupan selanjutnya, cukup sulit untuk diterima. Hal ini terlihat pada beberapa survivor gempa yang belum bisa menerima kenyataan bahwa dirinya telah kehilangan rumah dan sanak keluarga. Mereka masih merasa bahwa segalanya baik-baik saja, sikap mudah tersinggung bila orang bertanya mengenai gempa atau kondisi dirinya setelah gempa terjadi, menjadi mudah marah akan hal-hal kecil, kehilangan semangat untuk hidup, dan menjadi terlalu pasrah akan kehidupan (fatalistik). Dalam hal ini, para survivor gempa dituntut untuk memiliki kemampuan proactive coping yang efektif untuk keluar dari tekanan psikis yang dialami dan menata kembali kehidupan mereka pasca-bencana berdasarkan tujuan hidup yang hendak dicapai. Greenglass (2001) mengungkapkan bahwa secara teoritis, proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu, di mana apabila terjadi perubahan-perubahan yang berpotensi mengganggu keseimbangan individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri dan lingkungannya. Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka bersyukur masih diberi keselamatan, sehingga menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan serta menyadari berbagai dosa dan kesalahan yang telah diperbuat selama ini. 2 Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta (Maarif, 2006). Kenyataan tersebut mengingatkan bahwa manusia adalah satu kesatuan utuh yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Bastaman (1995), untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial, dan spiritual). Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi spiritualitas para survivor bencana gempa bumi di Bantul. Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Richards, dkk. (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order). Menurut Nashir (2006), seorang muslim yang bertauhid akan memaknai bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Meskipun boleh jadi bencana tersebut terdapat dimensi azab (siksa) Tuhan di dalamnya, terutama dalam menghukum perilaku manusia yang merusak (fasad) di alam semesta. Sebuah musibah tentu selalu memerlukan kepasrahan iman dalam sabar dan tawakal, juga hikmah bagi kehidupan. Oleh karena itu, sebagai sebuah musibah, bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi sesuatu yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan. 3 Pengertian Proactive Coping Menurut Schwarzer (Greenglass, 2001), proactive coping adalah suatu pencapaian tujuan menuju sikap mandiri dan perbaikan diri dengan berusaha merealisasikan tujuan tersebut melalui proses pengaturan diri untuk mencapai tujuan yang diinginkan dan menjelaskan apa yang memotivasi seseorang dalam mencapai tujuan tersebut, serta berkomitmen terhadap diri sendiri untuk memanajemen kualitas pribadi. Sementara itu, Greenglass (2001) mendefinisikan proactive coping sebagai strategi coping yang multidimensional dan lebih banyak melihat pada pencapaian tujuan akhir. Proactive coping memfokuskan pada perbaikan kualitas hidup (personal quality of life management) dengan menggabungkan elemenelemen psikologi positif. Lebih jauh menurut Greenglass, proactive coping mengintegrasikan proses dari kualitas personal dalam memanajemen kehidupan dengan pengaturan diri (self regulatory) untuk mencapai tujuan. Proactive coping ditunjukkan dengan tiga hal utama, yaitu: a. Kemampuan untuk mengintegrasikan rencana dan strategi-strategi preventif dengan cara proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka pencapaian tujuan. b. Kemampuan untuk melakukan identifikasi dan menggunakan sumber-sumber sosial (social resources) untuk mencapai tujuan secara proaktif. c. Menggunakan penyelesaian masalah secara emosional dengan proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa proactive coping merupakan suatu cara atau usaha bagaimana individu mampu mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan mengintegrasikan kualitas personal seseorang dalam hal perencanaan, penentuan strategi-strategi 4 preventif, dan identifikasi masalah dengan dukungan sosial, sikap optimis, serta kemampuan efikasi diri individu dalam melihat tesiko, di mana tuntutan dan hambatan selama proses pencapaian tujuan sebagai sesuatu yang menantang dan bukan sebagai ancaman. Aspek-aspek Proactive Coping Greeglass, Schwarzer, Jakubiec, Fiksenbaum, dan Taubert (Greenglass, 2001) mengungkapkan bahwa proactive coping terdiri dari enam aspek, yaitu: a. Proactive Coping, yakni mekanisme pengatasan masalah yang mengkombinasikan potensi kognitif dan perilaku individu untuk mencapai tujuan (goal attainment) dengan cara mengatur diri. b. Reflective Coping, yakni mekanisme penanganan masalah yang mengacu pada ranah kognitif secara maksimal untuk berimajinasi ataupun melakukan refleksi atas pengalaman yang telah lalu berkaitan dengan pencarian solusi. c. Strategic Planning, yakni strategi pengatasan masalah yang memfokuskan pada proses pencapaian tujuan yang berorientasi pada aksi yang telah terjadwal dan telah disusun dengan cara memilah-milah masalah menjadi beberapa bagian masalah yang lebih kecil. d. Preventive Coping, yakni strategi pengatasan masalah yang sifatnya mencegah segala bentuk kemungkinan buruk atau sumber stres yang sewaktu-waktu dapat menekannya. e. Instrumental Support Seeking, yakni strategi pengatasan masalah yang memfokuskan pada masalah yang dihadapi dengan pencarian dukungan, informasi-informasi yang ada, dan mendapatkan timbal balik dari orang lain ketika dalam keadaan tertekan atau dalam menghadapi masalah. 5 f. Emotional Support Seeking, yakni strategi pengatasan masalah yang berupa pencarian dukungan emosional ketika dalam keadaan stres atau tertekan dengan lebih fokus untuk membangkitkan empati, dan mencari dukungan emosional dari orang-orang terdekat. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proactive Coping Greenglass (2002) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi proactive coping yang dilakukan oleh individu menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal meliputi self efficacy dan optimisme. Sedangkan faktor eksternal meliputi dukungan sosial (social support) dalam bentuk informasi yang diperoleh, pengalaman yang dialami oleh diri sendiri maupun orang lain, serta dukungan emosional dari orang lain. Pengertian Spiritualitas Spiritualitas merupakan sebuah bentuk multidimensi dan dinamis. Emmons (2000) mengatakan bahwa sangatlah terlalu sederhana untuk menganggap spiritualitas sebagai tingkah laku yang pasif dan statis yang dimiliki seseorang, atau perilaku yang terikat di dalamnya, seperti ritual-ritual. Dia memandang spiritualitas sebagai sebuah rangkaian keahlian (skills), kekayaan (resources), kekuatan (capacities), atau kemampuan-kemampuan (abilities) yang memungkinkan seseorang untuk bisa memecahkan masalah serta mencapai tujuan-tujuan di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berdasarkan alasan-alasan tersebut, Emmons berpendapat bahwa spiritualitas dapat dipahami sebagai sebuah bentuk dari kecerdasan. 6 Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku individu. Lebih jauh, Piedmont (2001) mendefinisikan spiritualitas sebagai usaha individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi dalam konteks kehidupan setelah mati (eschatological). Hal ini berarti bahwa sebagai manusia, kita sepenuhnya sadar akan kematian (mortality). Dengan demikian, kita akan mencoba sekuat tenaga untuk membangun beberapa pemahaman akan tujuan dan pemaknaan akan hidup yang sedang kita jalani. Aspek-aspek Spiritualitas Piedmont (2001) membagi spiritualitas atas tiga aspek, yaitu: a. Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yakni sebuah perasaan gembira dan bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transenden. b. Universality (universalitas), yakni sebuah keyakinan akan kesatuan kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya. c. Connectedness (keterkaitan), yakni sebuah keyakinan bahwa seseorang merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui generasi dan kelompok tertentu. Spiritualitas dan Religiusitas Pembahasan tentang spiritualitas sering kali membawa para ahli untuk mencari konsep spiritualitas sebagai hal yang berbeda dengan religiusitas. Elkins, dkk. (Smith, 1994) mengatakan bahwa spiritualitas memiliki makna yang sangat luas karena mencakup keyakinan-keyakinan 7 serta perwujudan- perwujudan, baik yang religius maupun yang bukan religius. Sementara Richards, dkk. (1999) menekankan pentingnya membuat perbedaan antara spritualitas dan religiusitas. Meskipun agama secara tradisi bersumber dari halhal di mana spiritualitas berkembang, namun sudah jamak untuk mencapai kesucian dalam hubungan seseorang melalui seni, puisi, atau alam. Pendapat tentang perlunya membedakan spiritualitas dan religiusitas didukung secara empiris oleh penelitian Woods dan Ironson (1999). Mereka menemukan perbedaan antara orang spiritual dan orang yang religius. Subyek yang menyatakan dirinya sebagai seorang religius cenderung melihat sisi spiritualitasnya yang berhubungan dengan institusi, tradisi, dan tindakantindakan. Sedangkan subyek yang menyatakan diri mereka sebagai seorang spiritual memandang spiritualitas mereka sebagai alat untuk menjadi saling berkaitan dengan makna transenden. Spiritualitas kemudian digambarkan sebagai sebuah bentuk hubungan manusia dengan dimensi yang lebih tinggi (The Higher Power) dan Tuhan di dalam dirinya. Agama lebih merupakan sebuah sistem keyakinan dengan sekumpulan dogma religius. 8 METODE PENELITIAN Subjek Penelitian Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang berdomisili di Bantul dan mengalami peristiwa bencana gempa bumi. Pemilihan subjek ini didasarkan atas petimbangan praktis. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan metode angket atau kuesioner untuk mendapat jenis data kuantitatif. Metode ini digunakan dengan alasan kepraktisan. Menurut Hadi (2000), pada penggunakan metode self report seperti ini, ada beberapa anggapan yang harus dipegang oleh peneliti, yaitu subjek adalah orang yang paling tahu tentang dirinya, apa yang dikatakan subjek adalah benar dan dapat dipercaya, dan interpretasi subjek tentang pertanyaan atau pernyataan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti. Alat Ukur Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah angket yang terdiri atas dua skala pengukuran, yaitu: 1. Skala Spiritualitas Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat spiritualitas subjek. Hampir sebagian pernyataan yang terdapat dalam skala ini merupakan hasil modifikasi dan atau adaptasi dari STS (Spiritual Transcendence Scale) yang dikembangkan oleh Piedmont (1999). 9 2. Skala Proactive Coping pada Survivor Gempa Skala ini digunakan untuk mengetahui baik atau buruknya proactive coping subjek. Hampir sebagian pernyataan yang terdapat dalam skala ini merupakan hasil modifikasi dan atau adaptasi dari PCI (Proactive Coping Inventory) yang dikembangkan oleh Greenglass (2002). Metode Analisis Data Alat ukur yang digunakan untuk mengambil data terlebih dahulu harus dipastikan validitas dan reliabilitasnya sebagai dasar untuk mempercayai bahwa alat ukut tersebut memang layak digunakan dalam suatu penelitian. Validitas dapat diartikan sebagai sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2004). Sementara itu, uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat keajegan alat ukur yang pada dasarnya menunjukkan sejauhmana suatu pengukuran dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan pengukuran ulang pada subjek yang sama (Azwar, 2004). Pengujian reliabilitas skala ini memakai teknik Alpha Cronbach dengan bantuan komputer program SPSS 12.0 for Windows. Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik product moment dari Pearson karena peneliti bertujuan mencari korelasi antara dua variabel penelitian, yaitu proactive coping dan spiritualitas pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Seluruh perhitungan dilakukan dengan menggunakan komputer program SPPS 12.0 for Windows. 10 HASIL PENELITIAN Tabel 1: Deskripsi Data Penelitian Variabel Spiritualitas Proactive Coping Min 43 32 Hipotetik Max Mean 172 107,5 128 80 SD 21,5 16 Min 99 70 Empirik Max Mean SD 164 131,5 10,83 114 92 7,33 Deskripsi di atas menunjukkan bahwa rerata empirik variabel spiritualitas lebih besar daripada rerata hipotetiknya. Hal ini berarti bahwa tingkat spiritualitas subjek cenderung tinggi. Sementara itu, rerata empirik variabel proactive coping lebih besar daripada rerata hipotetiknya. Hal ini berarti bahwa tingkat proactive coping subjek cenderung tinggi pula. Tabel 2: Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Spiritualitas Kategori Tinggi Sedang Rendah Skor X > 129 86 < X < 129 X < 86 Jumlah Subjek 60 32 – Prosentase 65,22 % 34,78 % – Berdasarkan kategorisasi skor variabel di atas, maka dapat diketahui bahwa 65,22 % (60 orang) memperoleh skor tinggi dan 34,78 % (32 orang) memperoleh skor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek yang memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Tabel 3: Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Proactive Coping Kategori Tinggi Sedang Rendah Skor X > 96 64 < X < 96 X < 64 Jumlah Subjek 18 74 – Prosentase 19,57 % 80,43 % – Berdasarkan kategorisasi skor variabel di atas, maka diketahui bahwa hanya 19,57 % (18 orang) memperoleh skor tinggi dan 80,43 % (74 orang) 11 memperoleh skor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil subjek yang memiliki tingkat proactive coping yang tinggi. Uji Asumsi a. Uji Normalitas Uji normalitas yang menggunakan teknik One Sample KolmogorovSmirnov Test dari program SPSS 12.0 for Windows ini diperoleh sebaran skor pada variabel spiritualitas juga normal (K-S Z = 1,174; p = 0,127) dan sebaran skor pada variabel proactive coping pada survivor gempa adalah normal (K-S Z = 0,632; p = 820 atau p > 0,05). Hasil uji normalitas tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa kedua skala tersebut memiliki sebaran data yang normal. Tabel 4: Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Spirituality N Normal Parameters(a,b) Most Extreme Differences Mean Std. Deviation Absolute Positive Negative Kolmogorov-Smirnov Z Asymp. Sig. (2-tailed) 92 133,3804 17,92220 Proactive Coping 92 87,8261 8,64261 ,122 ,066 ,122 -,112 1,174 ,127 ,063 -,066 ,632 ,820 Test distribution is Normal. b. Uji Linearitas Hasil uji linearitas menunjukkan koefisien F = 108, 326 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Hal ini berarti bahwa hubungan antara spiritualitas dan variabel proactive coping pada survivor gempa memenuhi asumsi linearitas (membentuk garis lurus) dan kecenderungan menyimpang dari garis linearnya sebesar p = 0,531 atau p > 0,05. 12 Tabel 5: Uji Linearitas ANOVA Table Proactive Coping * Spirituality Between Groups (Combined) Linearity Deviation from Linearity Within Groups Total Sum of Squares 5143.317 43 Mean Square 119.612 3732.501 1 3732.501 1410.816 42 33.591 1653.900 6797.217 48 91 34.456 Measures of Association R Proactive Coping * Spirituality R Squared .741 .549 Eta .870 Eta Squared .757 13 df Uji Hipotesis Hasil analisis data menunjukkan bahwa antara spiritualitas dan proactive coping pada survivor gempa diperoleh koefisien korelasi rxy = 0,741 dengan p = 0,000 (p < 0,01). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Semakin tinggi spiritualitas survivor gempa, semakin baik proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah spiritualitas survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya. Tabel 6: Uji Hipotesis Correlations Spirituality Spirituality Proactive Coping Pearson Correlation Sig. (1-tailed) N Pearson Correlation Sig. (1-tailed) Proactive Coping 1 ,741(**) . 92 ,000 92 ,741(**) 1 ,000 92 . 92 N ** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed). Hal lain yang diperoleh dari hasil analisis data tersebut adalah nilai koefisien determinasi (R squared) sebesar 0,549 yang berarti bahwa spiritualitas memberikan sumbangan efektif sebesar 54,9 % terhadap proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Sedangkan sisanya 45,1 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. Tabel 7: Koefisien determinasi Measures of Association R Proactive Coping * Spirituality R Squared .741 .549 14 Eta .870 Eta Squared .757 Pembahasan Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari lapangan, terlihat bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara variabel spiritualitas dan proactive coping pada survivor gempa (rxy = 0,741). Hubungan positif ini menunjukkan bahwa semakin tinggi spiritualitas survivor gempa, semakin baik proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah spiritualitas survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya. Dari hasil wawancara dan observasi lapangan, diperoleh data bahwa dalam menghadapi situasi yang sulit setelah gempa terjadi, para korban memiliki keinginan kuat untuk mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka bersyukur masih diberi keselamatan, sehingga menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan serta menyadari berbagai dosa dan kesalahan yang telah diperbuat selama ini. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Hal ini sesuai dengan konsep prayer fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah perasaan gembira dan bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transenden (Piedmont, 2001), di mana para korban berusaha mencari rasa tenang dan tentram sebagai efek dari mengenal Tuhannya. Sikap tersebut diikuti dengan kepasrahan dan tawakal kepada Tuhan. Kepasrahan inilah yang akan mengarahkan individu kepada penerimaan akan kondisi kehidupannya, sehingga individu mampu bangkit dari keterpurukan untuk memulai lagi kehidupannya. Keyakinan ini akan mendorong individu untuk berusaha 15 semaksimal mungkin dan membuat perencanaan strategis dengan harapan akan memberikan kemungkinan hasil akhir yang terbaik. Universality dapat dilihat dari interaksi positif antara individu dan alam sekitarnya, terutama sebelum dan sesudah terjadinya musibah. Termasuk meyakini kekuasaan Tuhan terhadap alam semesta. Tingkat universality yang tinggi tampak pada perilaku individu dalam menjaga keseimbangan alam untuk meminimalkan kemungkinan terjadi musibah. Selain itu, individu meyakini bahwa bencana alam yang terjadi merupakan ketentuan dari Sang Pencipta. Individu juga mampu membaca fenomena alam untuk mengantisipasi datangnya musibah pada masa yang akan datang, sehingga tidak menimbulkan penderitaan dan kerugian yang lebih besar. Sedangkan connectedness tampak pada pola interaksi interpersonal antara individu dengan orang lain, termasuk keluarga. Tingkat connectedness yang tinggi ditunjukkan melalui sikap meringankan penderitaan orang lain dan tidak mementingkan kepentingan diri sendiri (individualistik). Dalam suatu musibah, transaksi interpersonal biasanya diwujudkan dalam bentuk dukungan sosial berupa nasehat atau masukan, pemberian informasi, maupun dukungan emosional untuk memelihara keadaan psikologis individu yang mengalami tekanan. Apabila individu memperoleh dukungan sosial yang tinggi, maka ia akan mengalami hal yang positif dalam hidupnya, mempunyai harga diri yang lebih tinggi, dan mempunyai pandangan yang lebih optimistis terhadap kehidupannya. Tinggi-rendahnya spiritualitas dan baik-buruknya proactive coping pada survivor gempa secara otomatis memperlihatkan korelasi antara keduanya. Hal ini terlihat pada kondisi subjek yang rata-rata memiliki proactive coping yang 16 sedang (80,43 %) dan tinggi (19,57), sementara mayoritas subjek memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi (62,22%). Survivor gempa yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan memaknai aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan. Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikan mereka kuat dalam menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatanhambatan yang ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalagalanya. Bencana dapat diubah menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki makna bagi kehidupan yang akan datang. Hal tersebut menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Graham, dkk. (2001) yang menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi seseorang, maka semakin besar kemampuannya mengatasi masalah yang dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran yang sangat penting dalam mengatasi masalah. Spiritualitas bisa melibatkan sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam hidup seseorang. Kesehatan spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang; mengandalkan Tuhan atau suatu kekuatan yang lebih tinggi (The Higher Power), merasakan kedamaian, atau merasakan hubungan dengan alam semesta. 17 Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sumbangan efektif yang diberikan spiritualitas terhadap efektivitas proactive coping pada survivor gempa adalah sebesar 54,9 %. Persentase tersebut menunjukkan bahwa pengaruh spiritualitas terhadap proactive coping pada survivor gempa tergolong tinggi. Sedangkan sisanya 45,1 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti optimisme, kepercayaan terhadap kemampuan sendiri (self efficacy), dan dukungan sosial. Bagi para survivor gempa, berbagai bentuk proactive coping ini akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah yang dialami, mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, membantu dalam menemukan makna positif dari pengalaman dan kehidupannya pasca-bencana, serta meningkatkan keimanan kepada kekuasaan Tuhan, di mana pada saat bersamaan dapat meningkatkan spiritualitas dalam diri mereka. Makna yang diresapi dari usahausaha proactive coping ini akan lebih memudahkan individu menerima apa yang terjadi pada dirinya, sehingga akan mendorong individu untuk mencapai suatu tujuan hidup yang lebih bermakna. 18 KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Semakin tinggi tingkat spiritualitas survivor gempa, maka semakin baik pula proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat spiritualitas survivor gempa, maka semakin buruk pula proactive coping yang dilakukannya. SARAN-SARAN Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti mencoba untuk memberikan beberapa saran sebagai berikut: 1. Bagi Survivor Bencana Gempa Bumi Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa subjek memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan para survivor gempa tetap mempertahankan tingkat spiritualitas tersebut karena dapat mempengaruhi baik atau buruknya proactive coping yang dilakukan, sehingga mereka akan mampu mengatasi masalah yang dihadapi untuk mencapai kehidupan yang lebih bermakna. Secara kongkrit, beberapa hal yang perlu dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, yaitu: a. Mengamalkan ibadah dengan ikhlas untuk memperoleh kekuatan dan ketenangan sebagai media pendekatkan diri kepada Tuhan. b. Senantiasa berdoa dan tawakal kepada Tuhan dalam keadaan apapun. c. Mengambil hikmah atas musibah yang dialami. d. Meyakini takdir Tuhan atas setiap musibah yang terjadi. e. Menjaga interaksi yang positif dengan orang lain dan alam sekitar. 19 2. Bagi Para Relawan dan Konselor Survivor Gempa Peran para relawan, pembimbing, dan konselor dirasa sangat penting dalam menangani masalah-masalah psikologis yang dialami oleh para survivor gempa dalam bentuk dukungan emosional. Dukungan tersebut berperan penting dalam memelihara keadaan psikologis para survivor gempa yang mengalami tekanan. Keberadaan mereka membuat para survivor gempa merasa lebih diperhatikan, bernilai, dan dicintai. Kehidupan masyarakat Bantul yang kental dengan nilai-nilai religius mengharuskan para relawan dan konselor untuk membekali diri dengan pengetahuan agama secara memadai, sehingga mereka tidak kaku dalam mengarahkan para survivor gempa untuk lebih meningkatkan keimanan dan ketakwaannya kepada Tuhan dalam menghadapi musibah yang terjadi. Bila diperlukan, para relawan dan konselor dibekali kemampuan untuk melakukan terapi psikospiritual (Adz-Dzakiey, 2004). Terapi ini mencakup tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self awareness), tahapan penyucian dan pengenalan citra diri (self identification), dan tahapan pengembangan diri (self development). Terapi ini akan memberikan penerimaan yang tulus atas musibah, mengurangi kesedihan dan tekanan psikologis, serta membantu para survivor gempa dalam menemukan makna positif dari pengalaman dan kehidupannya. 3. Bagi Pejabat Pemerintahan dan Tokoh Masyarakat Setempat Hendaknya para pejabat pemerintahan mulai dari tingkat pedukuhan sampai kabupaten bahkan provinsi, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk dapat mempertahankan tradisi keagamaan dalam masyarakat yang sudah ada selama ini, serta mendukung kegiatan keagamaan yang ada di masyarakat 20 dalam rangka peningkatan nilai-nilai spiritualitas masyarakat setempat. Internalisasi spiritualitas yang kuat pada masyarakat merupakan potensi besar dan kuat yang telah dibuktikan secara empirik. 4. Bagi Peneliti Selanjutnya Untuk penelitian selanjutnya, perlu lebih mencermati metode dan proses pengambilan data. Peneliti perlu terlibat langsung mendampingi para subjek dalam menjawab angket yang disediakan, sehingga jawaban yang mereka berikan sesuai dengan keadaan mereka yang sesungguhnya. Penelitian ke depan diharapkan mampu memahami konstruksi dalam mengembangkan alat ukur yang telah ada, serta memfokuskan pada perluasan konsep pada masingmasing variabel, sehingga alat ukur yang dibuat benar-benar mewakili aspek untuk mengungkap hal yang akan diungkap. Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti tema yang sama disarankan untuk mempertimbangkan variabel lain yang berhubungan dengan proactive coping pada survivor gempa, sehingga dapat ditentukan faktor-faktor lain yang juga mempengaruhi proactive coping pada survivor gempa. 21 DAFTAR PUSTAKA Adz-Dzakiey, M. H. B. 2004. Konseling dan Psikoterapi Islam: Penerapan Metode Sufistik. Edisi Revisi. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru. Agus, D. 2005. Bencana Alam, Bencana Teknologi, Racun dan Polusi Udara: Sebuah Tinjauan Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi, 13 (1): 18-37. Anonim. 2003. Awas Indonesia Sasaran Tsunami. Harian Kedaulatan Rakyat. Edisi 12 Maret 2003. Anonim. 2003. Lindu Sesar Merambat Jauh. Majalah Berita Mingguan Gatra. Edisi 7 Juni 2006. Anonim. 2003. Rumitnya Menanti Derma Bencana. Majalah Berita Mingguan Gatra. Edisi 13 September 2006. Anonim. 2005. Panduan Bagi Petugas dan Relawan Kesehatan Mental. Jakarta: Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Anonim. 2006. 12.000 Orang Butuh Penanganan Psikologis Jangka Waktu Lama. http://a11.ugm.ac.id/ (Diakses tanggal 20/06/2006). Anonim. 2006. Apakah Gempa Bumi Itu? http://www.iagi.or.id/. (Diakses tanggal 16/09/2006). Anonim. 2006. Apa Penyebab Gempa 27 Mei 2006? http://www.a11.ugm.ac.id/. (Diakses tanggal 24/07/2006). Anonim. 2003. Gempa Bumi. http://www.pirba.ristek.go.id/. (Diakses tanggal 16/09/2006). Anonim. 2006. Gempa Yogya Tewaskan 3.098 Orang. Harian Kompas. Edisi 28 Mei 2006. Anonim. 2006. Kabar Jogja Hari Ini. http://www.portalinfaq.org/ (Diakses tanggal 20/06/2006). Anonim. 2005. Membangun Kekuatan Spiritual. http://hizbut-tahrir.co.id/ (Diakses tanggal 20/06/2006). 22 Anonim. 2006. Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta dan http://www.echoprojects.com/ (Diakses tanggal 25/06/2006). Klaten. Anonim. 2006. Sekilas Situasi-Kondisi Kabupaten http://www.bantul.go.id/. (Diakses tanggal 17/09/2006). Bantul. Aspinwall, L. G. & Taylor, S. E. 1997. Self-Regulation and Proactive Coping. Psychological Bulletin, 121 (3): 417-436. Atkinson, dkk. 1993. Pengantar Psikologi Jilid 2. Batam: Interaksara. Azwar, S. 1999. Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2004. Penyusunan Alat Ukur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. 2004. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bastaman, H. D. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami. Editor: Fuad Nashori. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Yayasan Insan Kamil. Baron, R. A. & Byrne, D. 1991. Social Psychology Understanding Human Interaction. 6th ed. Boston: Allyn & Bacon. Effendi, R. W. & Tjahjono, E. 1999. Hubungan antara Perilaku Coping dan Dukungan Sosial dengan Kecemasan pada Ibu Hamil Anak Pertama. Anima, 14 (54): 214-227. Emmons, R. A. 2000. Is Spirituality an Intelligence? Motivation, Cognition, and the Psychology of Ultimate Concern. International Journal for The Psychology, 10 (1). Kazdin, A. F. (Ed.). 2000. Encyclopedia of Psychology, Volume 7. American Psychological Assosiation: Oxford University Press. Folkman, S. & Lazarus, R. S. 1988. Coping as Mediator of Emotion. Journal of Personality and Social Psychology, 54: 466-475. Gardner, H. 2000. A Case Againts Spiritual Intelligence. International Journal for The Psychology, 10: 27-34. 23 Garmezy, N. & Rutter, M. 1983. Stress, Coping and Development in Children. McGrawn Hill Book Co. Graham, S., Furr, S., Flowers, C. &. Burke, M. T. 2001. Religion and Spirituality in Coping with Stress. Journal of Counseling and Values, 46. Greenglass, E. R. 2001. Proactive Coping, Work Stress and Burnout. Stress News, 13 (2): 1-4. Greenglass, E. R. 2002. Chapter 3: Proactive Coping. Dalam E. Frydenberg (Ed.), Beyond Coping: Meeting Goals, Visions and Challenges (hal. 3762). London: Oxford University Press. Hadi, S. 2000. Metodologi Research; Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Hadi, S. 2000. Statistik; Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset. Holt, C. L. dkk. 2003. Spirituality, Brents Cancer Beliefs and Mammography Utilization among Urban African american Woman. Journal of Health Psychology, 8: 383-396. Lazarus, R. S. & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York: Springer. Maarif, S. 2006. Musibah. Majalah Berita Mingguan Gatra. Edisi 14 Juni 2006. Mu’tadin, Z. 2002. Strategi Coping. http://www.e-psikologi.com/ (Diakses tanggal 25/06/2006). Muluk, H. 2005. Aceh Pasca-Tsunami. Majalah Berita Mingguan Gatra. Edisi 15 Januari 2005 Nashir, H. 2006. Kosmologi Bencana. Harian Republika. Edisi 11 Juni 2006. Nashori, F. & Ancok, D. 2004. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problemproblem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Naqiyah, N. 2005. Penanganan Trauma Pasca http://www.najlah.blogspot.com/. (Diakses tanggal 19/07/2006). Tsunami. Nisa’, K. 2006. Proactive Coping Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Tugas Akhir Ditinjau dari Self Efficacy. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. 24 Keliat, B. A. 1998. Penatalaksanaan Stres. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGS. Larson, B. L. & Larson, S. B. 2003. Spirituality is Potential Relevance to Physical and Emotional Health: A Brief Review of Quantitative Research. Journal of Psychology and Theology, 31: 37-49. Nasr, S. H. 1994. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda Muslim. Bandung: Mizan. O’Brien, K. M. 2003. Measuring Career Self-Efficacy Promoting Confidence and Happiness at Work. Dalam Lopez, S. J. & Snyder, C. R. (Ed.), Handbook of Positive Psychological Assessment (hal. 109 – 126). Washington, DC: American Psycological Association. Ondeck, D. M. 2002. Religion and Spirituality. Home Health Care Management and Practice, 14 (3): 231-232. Pandu, D. 2006. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Proactive Coping pada Mahasiswa Berorganisasi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta: Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia. Parry, G. 1990. Coping With Stress. British: BPCC Wheatons Ltd. Piedmont, R. L. 2001. Spiritual Transcendence and the Scientific Study of Spirituality. Journal of Rehabilitation, 67 (1): 4-14. Richards, T. A. dkk. 1999. Spiritual Aspects of Loss Among Partners of Men with AIDS: Post Bereavement Follow-Up. Death Study, 23: 105-107. Sarason, B. 1983. Assessing Social Support: The Social Support Questionaire. Journal of Personality and Social Psychology, 44. Schwarzer, R. & Taubert, S. 2002. Tenacious Goal Pursuits and Striving Toward Personal Growth: Proactive Coping. Dalam E. Frydenberg (Ed.), Beyond Coping: Meeting Goals, Visions and Challenges (hal. 19-35). London: Oxford University Press. Schwarzer, R. & Knoll, N. 2003. Positive Coping: Mastering Demands and Searching for Meaning. Dalam Lopez, S. J. & Snyder, C. R. (Ed.), Handbook of Positive Psychological Assessment (hal. 393-409). Washington, DC: American Psycological Association. 25 Shin, M., Rosano, M., Morch, H. & Chestnut, D. E. 1984. Coping With Job Stress and Burnout in the Human Services. Journal of Personality and Social Psychology, 46 (4), 864-876. Siegel, L. J. & Smith, K. E. 1991. Coping and Adaptation in Children’s Pain. Dalam Bush, J. P & Harkins, S. W. (Ed.), Children in Pain Research Issues from a Development Perspective (hal. 149-170). New York: Springer. Smith, D. W. 1994. Theory of Spirituality. Journal of Holistic Nursing, 9. Stein, S. J. & Book, H. E. 2004. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa. Sundberg, L. L. 2005. The Relationship Between Proactive Coping Skill and Job Satisfaction, Absenteeism, Tardiness, and Performance. http://www.midwestacademy.org/Proceedings/2005/papers/Sundberg Taubert, S. 1999. Development and Validation of a Psychometric Instrument for the Assessment of Proactive Coping. Diploma Thesis. Germany: School of Education and Psychology Free University of Berlin. Taylor, S. 1995. Health Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill, Inc. Tepper, L., Rogers, S. A., Coleman, E. M. & Maloney, H. N. 2001. The Prevalence of Religious Coping Among Persons with Persistent Mental Illness. Journal of Psychiatric Services, 52: 660-665. Thoresen, C. E. 1999. Spirituality and Health: Is There a Relationship? Journal of Health Psychology, 4: 291-300. Wikipedia, The Free Encyclopedia. Spirituality. http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Template:spirituality&action=edit (Diakses tanggal 25/06/2006). Wong-McDonald, A. & Gorsuch, R. L. 2000. Surrender to God: An Additional Coping Style? Journal Psychology and Theology, 28: 149-161. Woods, T. E. & Ironson, G. H. 1999. Religion and Spirituality in the Face of Illness: How Cancer, Cardias, and HIV Patients Describe Their Spirituality/Religiosity. Journal of Health Psychology, 4: 393-412. 26 Young, J. S., Cashwell, C. S. & Shcherbakova, J. 2000. The Moderating Relationship of Spirituality on Negative Life Events and Psychological Adjustment. Journal of Counseling and Values, 45: 153-169. Zohar, D. & Marshall, I. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung: Mizan Media Utama. 27 IDENTITAS PENULIS Nama Lengkap : ARDIMAN ADAMI Kelahiran : Kendari, 11 Mei 1982 Jenis Kelamin : Laki-laki Anak ke- : 4 dari 4 bersaudara Alamat Rumah : Jl. Bunga Seroja Gg. Bonzai No. 27 Kemaraya, Kendari 93121 Sulawesi Tenggara Alamat Kost : Jl. Kaliurang Km. 14 Gg. Gudhel No. 10 D Tegal Manding, Sleman 55584 Yogyakarta Telepon : 0852 288 62 765 E-mail : [email protected] Motto Hidup : Impossible is Nothing