naskah publikasi hubungan antara spiritualitas dengan proactive

advertisement
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS
DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR
BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL
Oleh:
ARDIMAN ADAMI
RR INDAH RIA SULISTYORINI
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI
FAKULTAS PSIKOLOGI DAN ILMU SOSIAL BUDAYA
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
2006
i
NASKAH PUBLIKASI
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS
DENGAN PROACTIVE COPING PADA SURVIVOR
BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL
Telah Disetujui pada Tanggal
Dosen Pembimbing Utama
(Rr. Indah Ria Sulistyorini, S.Psi., Psi.)
ii
Syair
Sabtu, 27 Mei
Siang dan malam semuanya menatap utara
siapa yang pernah menyangka
selatan justru mengguncangkan bencana
Sekian ribu nyawa melayang dalam cekam
rumah-rumah dan gedung berdebam
desa dan kota tinggallah puing reruntuhan
Duhai jiwa yang pagi-pagi tersentak derita
masihkah cermin tak retak untuk berkaca
bagi langkah yang limbung tak lagi gempa
AM Azzet
iii
HUBUNGAN ANTARA SPIRITUALITAS DENGAN PROACTIVE COPING
PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI BANTUL
Ardiman Adami
Rr. Indah Ria Sulistyorini
INTISARI
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara
spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi di
Bantul. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah ada hubungan positif
antara spiritualitas dengan proactive coping pada survivor bencana gempa bumi
di Bantul. Semakin tinggi tingkat spiritualitas survivor gempa, semakin baik
proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat
spiritualitas survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya.
Subjek dalam penelitian ini berjumlah 92 orang adalah warga Bantul yang
menjadi survivor bencana gempa bumi pada 27 Mei 2006 lalu. Adapun skala
yang digunakan adalah Skala Proactive Coping pada Survivor Gempa yang
mengacu pada Proactive Coping Inventory (Greeanglass, 2002). Skala ini terdiri
atas enam aspek, yaitu proactive coping, reflective coping, strategic planning,
preventive coping, instrumental support seeking, dan emotional support seeking
yang dikemukakan oleh Greenglass (2001). Koefisien reliabilitas (a) skala
proactive coping sebesar 0,909 dan memiliki korelasi item-total bergerak dari
0,253-0,772. Sementara Skala Spiritualitas yang digunakan mengacu pada
Spiritual Transendence Scale (Piedmont, 1999). Skala ini terdiri atas tiga aspek,
yaitu prayer fulfillment (pengamalan ibadah), universality (universalitas), dan
connectedness (keterkaitan) yang dikemukakan oleh Piedmont (2001). Koefisien
reliabilitas (a) skala spiritualitas sebesar 0,933 dan memiliki korelasi item-total
bergerak dari 0,268-0,789.
Metode analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini menggunakan
analisis korelasi product moment Pearson melalui prosedur bivariate correlation
dari komputer program SPSS 12.0 for Windows untuk menguji apakah terdapat
hubungan antara kedua variabel. Analisis data menunjukkan adanya korelasi
yang sangat signifikan sebesar 0,741 (p = 0,000 atau p < 0,01), dengan
sumbangan efektif sebesar 54,9 %. Hal ini berarti, baik atau buruknya proactive
coping pada survivor gempa dipengaruhi oleh tingkat spiritualitas individu, di
mana spiritualitas memiliki peranan sebesar 54,9 % terhadap proactive coping
pada survivor bencana gempa bumi di Bantul.
Kata Kunci: Spiritualitas, Proactive Coping, Survivor Gempa
iv
PENGANTAR
Latar Belakang Masalah
Bencana
gempa
tektonik
berkekuatan
5,9
skala
Richter
telah
mengguncang Yogyakarta dan sekitarnya, Sabtu (27/05/2006) pukul 05:53 WIB.
Bencana ini merupakan peristiwa katastropik dan traumatis terburuk yang pernah
terjadi di Indonesia, setelah bencana gempa dan gelombang tsunami yang
melanda Provinsi Aceh dan Sumatrera Utara di penghujung Desember 2004
yang menewaskan sekitar 170.000 jiwa (Kompas, 28/05/2006).
Gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta kali ini telah menewaskan lebih
dari 6.000 jiwa serta meluluhlantakkan ribuan bangunan, infrastruktur, dan
memutuskan jaringan telekomunikasi di Yogyakarta dan Bantul. Khusus wilayah
Bantul, sebanyak 4.143 korban tewas dan 779.287 jiwa lainnya harus tinggal di
tenda-tenda pengungsian. Adapun kerusakan rumah warga yang ditimbulkan
oleh gempa adalah sebanyak 71.763 unit roboh, 71.372 unit rusak berat/sedang,
serta 73.669 unit rusak ringan (http://www.portalinfaq.org).
Masyarakat yang menjadi survivor dari suatu bencana cenderung
memiliki masalah penyesuaian perilaku dan emosional. Perubahan mendadak
sering membawa dampak psikologis yang cukup berat. Beban yang dihadapi
oleh survivor tersebut dapat mengubah pandangan mereka tentang kehidupan
dan menyebabkan tekanan pada jiwa mereka. Kejadian gempa di Yogyakarta
menjadi beban dan tekanan tersendiri bagi para survivor karena musibah ini baru
pertama kali dialami dan merupakan kejadian yang tidak terduga sama sekali.
Bagi sebagian orang yang luput dari maut, menerima kenyataan bahwa
dirinya telah kehilangan banyak hal akibat gempa adalah hal yang menyakitkan
1
dan sulit dilakukan. Meski terasa lebih ringan karena bencana ini melanda
banyak orang, namun perubahan yang begitu mendadak dan dianggap bernilai
karena mencakup penghidupan selanjutnya, cukup sulit untuk diterima. Hal ini
terlihat pada beberapa survivor gempa yang belum bisa menerima kenyataan
bahwa dirinya telah kehilangan rumah dan sanak keluarga. Mereka masih
merasa bahwa segalanya baik-baik saja, sikap mudah tersinggung bila orang
bertanya mengenai gempa atau kondisi dirinya setelah gempa terjadi, menjadi
mudah marah akan hal-hal kecil, kehilangan semangat untuk hidup, dan menjadi
terlalu pasrah akan kehidupan (fatalistik).
Dalam hal ini, para survivor gempa dituntut untuk memiliki kemampuan
proactive coping yang efektif untuk keluar dari tekanan psikis yang dialami dan
menata kembali kehidupan mereka pasca-bencana berdasarkan tujuan hidup
yang hendak dicapai. Greenglass (2001) mengungkapkan bahwa secara teoritis,
proactive coping diarahkan oleh sikap yang proaktif. Sikap tersebut merupakan
kepercayaan yang relatif terus menerus ada pada setiap individu, di mana
apabila
terjadi
perubahan-perubahan
yang
berpotensi
mengganggu
keseimbangan individu, maka sikap tersebut mampu memperbaiki diri dan
lingkungannya.
Ketika seseorang tertimpa suatu musibah, biasanya ia akan mendekat
kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan perbuatan baik lainnya. Hal ini
diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul yang mengaku tawakal dengan
memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka bersyukur masih diberi
keselamatan, sehingga menjadikan mereka semakin dekat kepada Tuhan serta
menyadari berbagai dosa dan kesalahan yang telah diperbuat selama ini.
2
Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras Tuhan kepada manusia
yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta (Maarif, 2006).
Kenyataan tersebut mengingatkan bahwa manusia adalah satu kesatuan
utuh yang meliputi sisi psikologis, sosial, dan spiritual. Menurut Bastaman (1995),
untuk dapat memahami manusia seutuhnya, baik dalam keadaan sehat maupun
sakit, pendekatan yang digunakan mestinya tidak lagi memandang manusia
sebagai makhluk bio-psiko-sosial (jasmani, psikologis, dan sosial), melainkan
manusia sebagai makhluk bio-psiko-sosio-spiritual (jasmani, psikologis, sosial,
dan spiritual). Dalam konteks ini, penting untuk diperhatikan bagaimana kondisi
spiritualitas para survivor bencana gempa bumi di Bantul.
Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai
rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku
individu. Richards, dkk. (1999) mendefinisikan spiritualitas sebagai suatu bagian
dalam diri seseorang yang menghasilkan arti dan tujuan hidup, yang terungkap
dalam pengalaman-pengalaman transendental individu dan hubungannya
dengan ajaran-ajaran ketuhanan (universal order).
Menurut Nashir (2006), seorang muslim yang bertauhid akan memaknai
bencana sebagai sebuah musibah, bukan petaka atau azab. Meskipun boleh jadi
bencana tersebut terdapat dimensi azab (siksa) Tuhan di dalamnya, terutama
dalam menghukum perilaku manusia yang merusak (fasad) di alam semesta.
Sebuah musibah tentu selalu memerlukan kepasrahan iman dalam sabar dan
tawakal, juga hikmah bagi kehidupan. Oleh karena itu, sebagai sebuah musibah,
bencana bukan akhir segala-galanya. Bencana dapat diubah menjadi sesuatu
yang memiliki makna, bukan kesia-siaan apalagi keterkutukan.
3
Pengertian Proactive Coping
Menurut Schwarzer (Greenglass, 2001), proactive coping adalah suatu
pencapaian tujuan menuju sikap mandiri dan perbaikan diri dengan berusaha
merealisasikan tujuan tersebut melalui proses pengaturan diri untuk mencapai
tujuan yang diinginkan dan menjelaskan apa yang memotivasi seseorang dalam
mencapai tujuan tersebut, serta berkomitmen terhadap diri sendiri untuk
memanajemen kualitas pribadi.
Sementara itu, Greenglass (2001) mendefinisikan proactive coping
sebagai strategi coping yang multidimensional dan lebih banyak melihat pada
pencapaian tujuan akhir. Proactive coping memfokuskan pada perbaikan kualitas
hidup (personal quality of life management) dengan menggabungkan elemenelemen psikologi positif. Lebih jauh menurut Greenglass, proactive coping
mengintegrasikan proses dari kualitas personal dalam memanajemen kehidupan
dengan pengaturan diri (self regulatory) untuk mencapai tujuan. Proactive coping
ditunjukkan dengan tiga hal utama, yaitu:
a. Kemampuan untuk mengintegrasikan rencana dan strategi-strategi preventif
dengan cara proaktif untuk pengaturan diri dalam rangka pencapaian tujuan.
b. Kemampuan untuk melakukan identifikasi dan menggunakan sumber-sumber
sosial (social resources) untuk mencapai tujuan secara proaktif.
c. Menggunakan penyelesaian masalah secara emosional dengan proaktif
untuk pengaturan diri dalam rangka mencapai tujuan.
Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
proactive coping merupakan suatu cara atau usaha bagaimana individu mampu
mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan mengintegrasikan kualitas
personal seseorang dalam hal perencanaan, penentuan strategi-strategi
4
preventif, dan identifikasi masalah dengan dukungan sosial, sikap optimis, serta
kemampuan efikasi diri individu dalam melihat tesiko, di mana tuntutan dan
hambatan selama proses pencapaian tujuan sebagai sesuatu yang menantang
dan bukan sebagai ancaman.
Aspek-aspek Proactive Coping
Greeglass, Schwarzer, Jakubiec, Fiksenbaum, dan Taubert (Greenglass,
2001) mengungkapkan bahwa proactive coping terdiri dari enam aspek, yaitu:
a. Proactive
Coping,
yakni
mekanisme
pengatasan
masalah
yang
mengkombinasikan potensi kognitif dan perilaku individu untuk mencapai
tujuan (goal attainment) dengan cara mengatur diri.
b. Reflective Coping, yakni mekanisme penanganan masalah yang mengacu
pada ranah kognitif secara maksimal untuk berimajinasi ataupun melakukan
refleksi atas pengalaman yang telah lalu berkaitan dengan pencarian solusi.
c. Strategic Planning, yakni strategi pengatasan masalah yang memfokuskan
pada proses pencapaian tujuan yang berorientasi pada aksi yang telah
terjadwal dan telah disusun dengan cara memilah-milah masalah menjadi
beberapa bagian masalah yang lebih kecil.
d. Preventive Coping, yakni strategi pengatasan masalah yang sifatnya
mencegah segala bentuk kemungkinan buruk atau sumber stres yang
sewaktu-waktu dapat menekannya.
e. Instrumental Support Seeking, yakni strategi pengatasan masalah yang
memfokuskan pada masalah yang dihadapi dengan pencarian dukungan,
informasi-informasi yang ada, dan mendapatkan timbal balik dari orang lain
ketika dalam keadaan tertekan atau dalam menghadapi masalah.
5
f.
Emotional Support Seeking, yakni strategi pengatasan masalah yang berupa
pencarian dukungan emosional ketika dalam keadaan stres atau tertekan
dengan lebih fokus untuk membangkitkan empati, dan mencari dukungan
emosional dari orang-orang terdekat.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proactive Coping
Greenglass (2002) membagi faktor-faktor yang mempengaruhi proactive
coping yang dilakukan oleh individu menjadi dua bagian, yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal meliputi self efficacy dan optimisme. Sedangkan
faktor eksternal meliputi dukungan sosial (social support) dalam bentuk informasi
yang diperoleh, pengalaman yang dialami oleh diri sendiri maupun orang lain,
serta dukungan emosional dari orang lain.
Pengertian Spiritualitas
Spiritualitas merupakan sebuah bentuk multidimensi dan dinamis.
Emmons (2000) mengatakan bahwa sangatlah terlalu sederhana untuk
menganggap spiritualitas sebagai tingkah laku yang pasif dan statis yang dimiliki
seseorang, atau perilaku yang terikat di dalamnya, seperti ritual-ritual. Dia
memandang spiritualitas sebagai sebuah rangkaian keahlian (skills), kekayaan
(resources), kekuatan (capacities), atau kemampuan-kemampuan (abilities) yang
memungkinkan seseorang untuk bisa memecahkan masalah serta mencapai
tujuan-tujuan di dalam kehidupan mereka sehari-hari. Berdasarkan alasan-alasan
tersebut, Emmons berpendapat bahwa spiritualitas dapat dipahami sebagai
sebuah bentuk dari kecerdasan.
6
Secara eksplisit, Piedmont (2001) memandang spiritualitas sebagai
rangkaian karakteristik motivasional (motivational trait); kekuatan emosional
umum yang mendorong, mengarahkan, dan memilih beragam tingkah laku
individu. Lebih jauh, Piedmont (2001) mendefinisikan spiritualitas sebagai usaha
individu untuk memahami sebuah makna yang luas akan pemaknaan pribadi
dalam konteks kehidupan setelah mati (eschatological). Hal ini berarti bahwa
sebagai manusia, kita sepenuhnya sadar akan kematian (mortality). Dengan
demikian, kita akan mencoba sekuat tenaga untuk membangun beberapa
pemahaman akan tujuan dan pemaknaan akan hidup yang sedang kita jalani.
Aspek-aspek Spiritualitas
Piedmont (2001) membagi spiritualitas atas tiga aspek, yaitu:
a. Prayer Fulfillment (pengamalan ibadah), yakni sebuah perasaan gembira dan
bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan realitas transenden.
b. Universality
(universalitas),
yakni
sebuah
keyakinan
akan
kesatuan
kehidupan alam semesta (nature of life) dengan dirinya.
c. Connectedness (keterkaitan), yakni sebuah keyakinan bahwa seseorang
merupakan bagian dari realitas manusia yang lebih besar yang melampaui
generasi dan kelompok tertentu.
Spiritualitas dan Religiusitas
Pembahasan tentang spiritualitas sering kali membawa para ahli untuk
mencari konsep spiritualitas sebagai hal yang berbeda dengan religiusitas.
Elkins, dkk. (Smith, 1994) mengatakan bahwa spiritualitas memiliki makna yang
sangat
luas
karena
mencakup
keyakinan-keyakinan
7
serta
perwujudan-
perwujudan, baik yang religius maupun yang bukan religius. Sementara
Richards, dkk. (1999) menekankan pentingnya membuat perbedaan antara
spritualitas dan religiusitas. Meskipun agama secara tradisi bersumber dari halhal di mana spiritualitas berkembang, namun sudah jamak untuk mencapai
kesucian dalam hubungan seseorang melalui seni, puisi, atau alam.
Pendapat tentang perlunya membedakan spiritualitas dan religiusitas
didukung secara empiris oleh penelitian Woods dan Ironson (1999). Mereka
menemukan perbedaan antara orang spiritual dan orang yang religius. Subyek
yang menyatakan dirinya sebagai seorang religius cenderung melihat sisi
spiritualitasnya yang berhubungan dengan institusi, tradisi, dan tindakantindakan. Sedangkan subyek yang menyatakan diri mereka sebagai seorang
spiritual memandang spiritualitas mereka sebagai alat untuk menjadi saling
berkaitan dengan makna transenden. Spiritualitas kemudian digambarkan
sebagai sebuah bentuk hubungan manusia dengan dimensi yang lebih tinggi
(The Higher Power) dan Tuhan di dalam dirinya. Agama lebih merupakan sebuah
sistem keyakinan dengan sekumpulan dogma religius.
8
METODE PENELITIAN
Subjek Penelitian
Subjek yang digunakan dalam penelitian ini adalah orang yang
berdomisili di Bantul dan mengalami peristiwa bencana gempa bumi. Pemilihan
subjek ini didasarkan atas petimbangan praktis.
Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
dengan metode angket atau kuesioner untuk mendapat jenis data kuantitatif.
Metode ini digunakan dengan alasan kepraktisan. Menurut Hadi (2000), pada
penggunakan metode self report seperti ini, ada beberapa anggapan yang harus
dipegang oleh peneliti, yaitu subjek adalah orang yang paling tahu tentang
dirinya, apa yang dikatakan subjek adalah benar dan dapat dipercaya, dan
interpretasi subjek tentang pertanyaan atau pernyataan yang diajukan
kepadanya adalah sama dengan apa yang dimaksud oleh peneliti.
Alat Ukur
Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebuah angket yang
terdiri atas dua skala pengukuran, yaitu:
1. Skala Spiritualitas
Skala ini digunakan untuk mengetahui tingkat spiritualitas subjek. Hampir
sebagian pernyataan yang terdapat dalam skala ini merupakan hasil modifikasi
dan atau adaptasi dari STS (Spiritual Transcendence Scale) yang dikembangkan
oleh Piedmont (1999).
9
2. Skala Proactive Coping pada Survivor Gempa
Skala ini digunakan untuk mengetahui baik atau buruknya proactive
coping subjek. Hampir sebagian pernyataan yang terdapat dalam skala ini
merupakan hasil modifikasi dan atau adaptasi dari PCI (Proactive Coping
Inventory) yang dikembangkan oleh Greenglass (2002).
Metode Analisis Data
Alat ukur yang digunakan untuk mengambil data terlebih dahulu harus
dipastikan validitas dan reliabilitasnya sebagai dasar untuk mempercayai bahwa
alat ukut tersebut memang layak digunakan dalam suatu penelitian. Validitas
dapat diartikan sebagai sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur
dalam melakukan fungsi ukurnya (Azwar, 2004).
Sementara itu, uji reliabilitas dimaksudkan untuk mengukur tingkat
keajegan alat ukur yang pada dasarnya menunjukkan sejauhmana suatu
pengukuran dapat memberi hasil yang relatif tidak berbeda bila dilakukan
pengukuran ulang pada subjek yang sama (Azwar, 2004). Pengujian reliabilitas
skala ini memakai teknik Alpha Cronbach dengan bantuan komputer program
SPSS 12.0 for Windows.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan teknik product moment dari
Pearson karena peneliti bertujuan mencari korelasi antara dua variabel
penelitian, yaitu proactive coping dan spiritualitas pada survivor bencana gempa
bumi di Bantul. Seluruh perhitungan dilakukan dengan menggunakan komputer
program SPPS 12.0 for Windows.
10
HASIL PENELITIAN
Tabel 1: Deskripsi Data Penelitian
Variabel
Spiritualitas
Proactive Coping
Min
43
32
Hipotetik
Max Mean
172 107,5
128
80
SD
21,5
16
Min
99
70
Empirik
Max Mean
SD
164 131,5 10,83
114
92
7,33
Deskripsi di atas menunjukkan bahwa rerata empirik variabel spiritualitas
lebih besar daripada rerata hipotetiknya. Hal ini berarti bahwa tingkat spiritualitas
subjek cenderung tinggi. Sementara itu, rerata empirik variabel proactive coping
lebih besar daripada rerata hipotetiknya. Hal ini berarti bahwa tingkat proactive
coping subjek cenderung tinggi pula.
Tabel 2: Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Spiritualitas
Kategori
Tinggi
Sedang
Rendah
Skor
X > 129
86 < X < 129
X < 86
Jumlah Subjek
60
32
–
Prosentase
65,22 %
34,78 %
–
Berdasarkan kategorisasi skor variabel di atas, maka dapat diketahui
bahwa 65,22 % (60 orang) memperoleh skor tinggi dan 34,78 % (32 orang)
memperoleh skor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar subjek
yang memiliki tingkat spiritualitas yang tinggi.
Tabel 3: Kategorisasi Subjek Berdasarkan Skor Proactive Coping
Kategori
Tinggi
Sedang
Rendah
Skor
X > 96
64 < X < 96
X < 64
Jumlah Subjek
18
74
–
Prosentase
19,57 %
80,43 %
–
Berdasarkan kategorisasi skor variabel di atas, maka diketahui bahwa
hanya 19,57 % (18 orang) memperoleh skor tinggi dan 80,43 % (74 orang)
11
memperoleh skor sedang. Hal ini menunjukkan bahwa hanya sebagian kecil
subjek yang memiliki tingkat proactive coping yang tinggi.
Uji Asumsi
a. Uji Normalitas
Uji normalitas yang menggunakan teknik One Sample KolmogorovSmirnov Test dari program SPSS 12.0 for Windows ini diperoleh sebaran skor
pada variabel spiritualitas juga normal (K-S Z = 1,174; p = 0,127) dan sebaran
skor pada variabel proactive coping pada survivor gempa adalah normal (K-S Z =
0,632; p = 820 atau p > 0,05). Hasil uji normalitas tersebut menunjukkan
menunjukkan bahwa kedua skala tersebut memiliki sebaran data yang normal.
Tabel 4: Uji Normalitas
One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test
Spirituality
N
Normal Parameters(a,b)
Most Extreme
Differences
Mean
Std. Deviation
Absolute
Positive
Negative
Kolmogorov-Smirnov Z
Asymp. Sig. (2-tailed)
92
133,3804
17,92220
Proactive Coping
92
87,8261
8,64261
,122
,066
,122
-,112
1,174
,127
,063
-,066
,632
,820
Test distribution is Normal.
b. Uji Linearitas
Hasil uji linearitas menunjukkan koefisien F = 108, 326 dengan p = 0,000
(p < 0,01). Hal ini berarti bahwa hubungan antara spiritualitas dan variabel
proactive coping pada survivor gempa memenuhi asumsi linearitas (membentuk
garis lurus) dan kecenderungan menyimpang dari garis linearnya sebesar p =
0,531 atau p > 0,05.
12
Tabel 5: Uji Linearitas
ANOVA Table
Proactive Coping *
Spirituality
Between Groups
(Combined)
Linearity
Deviation from
Linearity
Within Groups
Total
Sum of
Squares
5143.317
43
Mean Square
119.612
3732.501
1
3732.501
1410.816
42
33.591
1653.900
6797.217
48
91
34.456
Measures of Association
R
Proactive Coping *
Spirituality
R Squared
.741
.549
Eta
.870
Eta Squared
.757
13
df
Uji Hipotesis
Hasil analisis data menunjukkan bahwa antara spiritualitas dan proactive
coping pada survivor gempa diperoleh koefisien korelasi rxy = 0,741 dengan p =
0,000 (p < 0,01). Hal tersebut menunjukkan bahwa terdapat hubungan positif
yang sangat signifikan antara spiritualitas dan proactive coping pada survivor
bencana gempa bumi di Bantul. Semakin tinggi spiritualitas survivor gempa,
semakin baik proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah
spiritualitas survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya.
Tabel 6: Uji Hipotesis
Correlations
Spirituality
Spirituality
Proactive Coping
Pearson
Correlation
Sig. (1-tailed)
N
Pearson
Correlation
Sig. (1-tailed)
Proactive Coping
1
,741(**)
.
92
,000
92
,741(**)
1
,000
92
.
92
N
** Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).
Hal lain yang diperoleh dari hasil analisis data tersebut adalah nilai
koefisien determinasi (R squared) sebesar 0,549 yang berarti bahwa spiritualitas
memberikan sumbangan efektif sebesar 54,9 % terhadap proactive coping pada
survivor bencana gempa bumi di Bantul. Sedangkan sisanya 45,1 % dipengaruhi
oleh faktor-faktor lain.
Tabel 7: Koefisien determinasi
Measures of Association
R
Proactive Coping *
Spirituality
R Squared
.741
.549
14
Eta
.870
Eta Squared
.757
Pembahasan
Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari lapangan, terlihat
bahwa terdapat korelasi yang sangat signifikan antara variabel spiritualitas dan
proactive coping pada survivor gempa (rxy = 0,741). Hubungan positif ini
menunjukkan bahwa semakin tinggi spiritualitas survivor gempa, semakin baik
proactive coping yang dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah spiritualitas
survivor gempa, semakin buruk proactive coping yang dilakukannya.
Dari hasil wawancara dan observasi lapangan, diperoleh data bahwa
dalam menghadapi situasi yang sulit setelah gempa terjadi, para korban memiliki
keinginan kuat untuk mendekat kepada Tuhan dengan meningkatkan ibadah dan
perbuatan baik lainnya. Hal ini diperlihatkan oleh sebagian besar rakyat Bantul
yang mengaku tawakal dengan memasrahkan segalanya kepada Tuhan. Mereka
bersyukur masih diberi keselamatan, sehingga menjadikan mereka semakin
dekat kepada Tuhan serta menyadari berbagai dosa dan kesalahan yang telah
diperbuat selama ini. Bencana gempa ditafsirkan sebagai peringatan keras
Tuhan kepada manusia yang telah lama berkubang dalam dosa dan dusta. Hal
ini sesuai dengan konsep prayer fulfillment (pengamalan ibadah), yaitu sebuah
perasaan gembira dan bahagia yang disebabkan oleh keterlibatan diri dengan
realitas transenden (Piedmont, 2001), di mana para korban berusaha mencari
rasa tenang dan tentram sebagai efek dari mengenal Tuhannya. Sikap tersebut
diikuti dengan kepasrahan dan tawakal kepada Tuhan. Kepasrahan inilah yang
akan mengarahkan individu kepada penerimaan akan kondisi kehidupannya,
sehingga individu mampu bangkit dari keterpurukan untuk memulai lagi
kehidupannya. Keyakinan ini akan mendorong individu untuk berusaha
15
semaksimal mungkin dan membuat perencanaan strategis dengan harapan akan
memberikan kemungkinan hasil akhir yang terbaik.
Universality dapat dilihat dari interaksi positif antara individu dan alam
sekitarnya, terutama sebelum dan sesudah terjadinya musibah. Termasuk
meyakini kekuasaan Tuhan terhadap alam semesta. Tingkat universality yang
tinggi tampak pada perilaku individu dalam menjaga keseimbangan alam untuk
meminimalkan kemungkinan terjadi musibah. Selain itu, individu meyakini bahwa
bencana alam yang terjadi merupakan ketentuan dari Sang Pencipta. Individu
juga mampu membaca fenomena alam untuk mengantisipasi datangnya musibah
pada masa yang akan datang, sehingga tidak menimbulkan penderitaan dan
kerugian yang lebih besar.
Sedangkan connectedness tampak pada pola interaksi interpersonal
antara individu dengan orang lain, termasuk keluarga. Tingkat connectedness
yang tinggi ditunjukkan melalui sikap meringankan penderitaan orang lain dan
tidak mementingkan kepentingan diri sendiri (individualistik). Dalam suatu
musibah, transaksi interpersonal biasanya diwujudkan dalam bentuk dukungan
sosial berupa nasehat atau masukan, pemberian informasi, maupun dukungan
emosional untuk memelihara keadaan psikologis individu yang mengalami
tekanan. Apabila individu memperoleh dukungan sosial yang tinggi, maka ia
akan mengalami hal yang positif dalam hidupnya, mempunyai harga diri yang
lebih tinggi, dan mempunyai pandangan yang lebih optimistis terhadap
kehidupannya.
Tinggi-rendahnya spiritualitas dan baik-buruknya proactive coping pada
survivor gempa secara otomatis memperlihatkan korelasi antara keduanya. Hal
ini terlihat pada kondisi subjek yang rata-rata memiliki proactive coping yang
16
sedang (80,43 %) dan tinggi (19,57), sementara mayoritas subjek memiliki
tingkat spiritualitas yang tinggi (62,22%).
Survivor gempa yang tingkat spiritualitasnya tinggi akan menjadikan
mereka senantiasa hidup dalam nuansa keimanan kepada Tuhan. Mereka akan
memaknai aktivitasnya dalam kehidupan ini sebagai ibadah kepada Tuhan.
Mereka pun akan semakin tegas dan konsisten dalam sikap dan langkah
hidupnya serta semakin terikat dengan aturan Sang Pencipta dengan perasaan
ridha dan tenteram. Perasaan itu akan menjadikan mereka kuat dalam
menghadapi segala persoalan hidup. Mereka dapat mengambil hikmah atas
musibah yang menimpanya, tidak putus asa, dan menjadikan hambatanhambatan yang ditemui pasca-bencana sebagai tantangan untuk memulai
kehidupan baru. Mereka menganggap bahwa bencana bukan akhir dari segalagalanya. Bencana dapat diubah menjadi suatu pengalaman positif yang memiliki
makna bagi kehidupan yang akan datang.
Hal tersebut menguatkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Graham, dkk. (2001) yang menunjukkan bahwa semakin penting spiritualitas bagi
seseorang, maka semakin besar kemampuannya mengatasi masalah yang
dihadapi. Penelitian ini menyarankan bahwa spiritualitas bisa memiliki peran
yang sangat penting dalam mengatasi masalah. Spiritualitas bisa melibatkan
sesuatu di luar sumber-sumber yang nyata atau mencari terapi untuk mengatasi
situasi-situasi yang penuh tekanan di dalam hidup seseorang. Kesehatan
spiritual mencakup penemuan makna dan tujuan dalam hidup seseorang;
mengandalkan Tuhan atau suatu kekuatan yang lebih tinggi (The Higher Power),
merasakan kedamaian, atau merasakan hubungan dengan alam semesta.
17
Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa sumbangan efektif yang
diberikan spiritualitas terhadap efektivitas proactive coping pada survivor gempa
adalah sebesar 54,9 %. Persentase tersebut menunjukkan bahwa pengaruh
spiritualitas terhadap proactive coping pada survivor gempa tergolong tinggi.
Sedangkan sisanya 45,1 % dipengaruhi oleh faktor-faktor lain, seperti optimisme,
kepercayaan terhadap kemampuan sendiri (self efficacy), dan dukungan sosial.
Bagi para survivor gempa, berbagai bentuk proactive coping ini akan
memberikan penerimaan yang tulus atas musibah yang dialami, mengurangi
kesedihan dan tekanan psikologis, membantu dalam menemukan makna positif
dari pengalaman dan kehidupannya pasca-bencana, serta meningkatkan
keimanan kepada kekuasaan Tuhan, di mana pada saat bersamaan dapat
meningkatkan spiritualitas dalam diri mereka. Makna yang diresapi dari usahausaha proactive coping ini akan lebih memudahkan individu menerima apa yang
terjadi pada dirinya, sehingga akan mendorong individu untuk mencapai suatu
tujuan hidup yang lebih bermakna.
18
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan bahwa ada
hubungan positif yang sangat signifikan antara spiritualitas dengan proactive
coping pada survivor bencana gempa bumi di Bantul. Semakin tinggi tingkat
spiritualitas survivor gempa, maka semakin baik pula proactive coping yang
dilakukannya. Sebaliknya, semakin rendah tingkat spiritualitas survivor gempa,
maka semakin buruk pula proactive coping yang dilakukannya.
SARAN-SARAN
Berdasarkan kesimpulan tersebut, peneliti mencoba untuk memberikan
beberapa saran sebagai berikut:
1. Bagi Survivor Bencana Gempa Bumi
Berdasarkan penelitian ini, terlihat bahwa subjek memiliki tingkat
spiritualitas yang tinggi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan para survivor
gempa tetap mempertahankan tingkat spiritualitas tersebut karena dapat
mempengaruhi baik atau buruknya proactive coping yang dilakukan, sehingga
mereka akan mampu mengatasi masalah yang dihadapi untuk mencapai
kehidupan yang lebih bermakna. Secara kongkrit, beberapa hal yang perlu
dipertahankan atau bahkan ditingkatkan, yaitu:
a. Mengamalkan ibadah dengan ikhlas untuk memperoleh kekuatan dan
ketenangan sebagai media pendekatkan diri kepada Tuhan.
b. Senantiasa berdoa dan tawakal kepada Tuhan dalam keadaan apapun.
c. Mengambil hikmah atas musibah yang dialami.
d. Meyakini takdir Tuhan atas setiap musibah yang terjadi.
e. Menjaga interaksi yang positif dengan orang lain dan alam sekitar.
19
2. Bagi Para Relawan dan Konselor Survivor Gempa
Peran para relawan, pembimbing, dan konselor dirasa sangat penting
dalam menangani masalah-masalah psikologis yang dialami oleh para survivor
gempa dalam bentuk dukungan emosional. Dukungan tersebut berperan penting
dalam memelihara keadaan psikologis para survivor gempa yang mengalami
tekanan. Keberadaan mereka membuat para survivor gempa merasa lebih
diperhatikan, bernilai, dan dicintai.
Kehidupan masyarakat Bantul yang kental dengan nilai-nilai religius
mengharuskan para relawan dan konselor untuk membekali diri dengan
pengetahuan agama secara memadai, sehingga mereka tidak kaku dalam
mengarahkan para survivor gempa untuk lebih meningkatkan keimanan dan
ketakwaannya kepada Tuhan dalam menghadapi musibah yang terjadi. Bila
diperlukan, para relawan dan konselor dibekali kemampuan untuk melakukan
terapi psikospiritual (Adz-Dzakiey, 2004).
Terapi ini mencakup tiga tahapan, yaitu tahapan penyadaran diri (self
awareness), tahapan penyucian dan pengenalan citra diri (self identification), dan
tahapan pengembangan diri (self development). Terapi ini akan memberikan
penerimaan yang tulus atas musibah, mengurangi kesedihan dan tekanan
psikologis, serta membantu para survivor gempa dalam menemukan makna
positif dari pengalaman dan kehidupannya.
3. Bagi Pejabat Pemerintahan dan Tokoh Masyarakat Setempat
Hendaknya para pejabat pemerintahan mulai dari tingkat pedukuhan
sampai kabupaten bahkan provinsi, dan tokoh-tokoh masyarakat setempat untuk
dapat mempertahankan tradisi keagamaan dalam masyarakat yang sudah ada
selama ini, serta mendukung kegiatan keagamaan yang ada di masyarakat
20
dalam
rangka
peningkatan
nilai-nilai
spiritualitas
masyarakat
setempat.
Internalisasi spiritualitas yang kuat pada masyarakat merupakan potensi besar
dan kuat yang telah dibuktikan secara empirik.
4. Bagi Peneliti Selanjutnya
Untuk penelitian selanjutnya, perlu lebih mencermati metode dan proses
pengambilan data. Peneliti perlu terlibat langsung mendampingi para subjek
dalam menjawab angket yang disediakan, sehingga jawaban yang mereka
berikan sesuai dengan keadaan mereka yang sesungguhnya. Penelitian ke
depan diharapkan mampu memahami konstruksi dalam mengembangkan alat
ukur yang telah ada, serta memfokuskan pada perluasan konsep pada masingmasing variabel, sehingga alat ukur yang dibuat benar-benar mewakili aspek
untuk mengungkap hal yang akan diungkap.
Bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti tema yang sama disarankan
untuk mempertimbangkan variabel lain yang berhubungan dengan proactive
coping pada survivor gempa, sehingga dapat ditentukan faktor-faktor lain yang
juga mempengaruhi proactive coping pada survivor gempa.
21
DAFTAR PUSTAKA
Adz-Dzakiey, M. H. B. 2004. Konseling dan Psikoterapi Islam: Penerapan
Metode Sufistik. Edisi Revisi. Yogyakarta: Fajar Pustaka Baru.
Agus, D. 2005. Bencana Alam, Bencana Teknologi, Racun dan Polusi Udara:
Sebuah Tinjauan Psikologi Lingkungan. Buletin Psikologi, 13 (1): 18-37.
Anonim. 2003. Awas Indonesia Sasaran Tsunami. Harian Kedaulatan Rakyat.
Edisi 12 Maret 2003.
Anonim. 2003. Lindu Sesar Merambat Jauh. Majalah Berita Mingguan Gatra.
Edisi 7 Juni 2006.
Anonim. 2003. Rumitnya Menanti Derma Bencana. Majalah Berita Mingguan
Gatra. Edisi 13 September 2006.
Anonim. 2005. Panduan Bagi Petugas dan Relawan Kesehatan Mental. Jakarta:
Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan
Republik Indonesia.
Anonim. 2006. 12.000 Orang Butuh Penanganan Psikologis Jangka Waktu
Lama. http://a11.ugm.ac.id/ (Diakses tanggal 20/06/2006).
Anonim. 2006. Apakah Gempa Bumi Itu? http://www.iagi.or.id/. (Diakses tanggal
16/09/2006).
Anonim. 2006. Apa Penyebab Gempa 27 Mei 2006? http://www.a11.ugm.ac.id/.
(Diakses tanggal 24/07/2006).
Anonim. 2003. Gempa Bumi. http://www.pirba.ristek.go.id/. (Diakses tanggal
16/09/2006).
Anonim. 2006. Gempa Yogya Tewaskan 3.098 Orang. Harian Kompas. Edisi 28
Mei 2006.
Anonim. 2006. Kabar Jogja Hari Ini. http://www.portalinfaq.org/ (Diakses tanggal
20/06/2006).
Anonim. 2005. Membangun Kekuatan Spiritual. http://hizbut-tahrir.co.id/ (Diakses
tanggal 20/06/2006).
22
Anonim. 2006. Pasca Gempa Bumi di Yogyakarta dan
http://www.echoprojects.com/ (Diakses tanggal 25/06/2006).
Klaten.
Anonim.
2006.
Sekilas
Situasi-Kondisi
Kabupaten
http://www.bantul.go.id/. (Diakses tanggal 17/09/2006).
Bantul.
Aspinwall, L. G. & Taylor, S. E. 1997. Self-Regulation and Proactive Coping.
Psychological Bulletin, 121 (3): 417-436.
Atkinson, dkk. 1993. Pengantar Psikologi Jilid 2. Batam: Interaksara.
Azwar, S. 1999. Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2001. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2004. Penyusunan Alat Ukur. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azwar, S. 2004. Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Bastaman, H. D. 1997. Integrasi Psikologi dengan Islam: Menuju Psikologi Islami.
Editor: Fuad Nashori. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Yayasan Insan
Kamil.
Baron, R. A. & Byrne, D. 1991. Social Psychology Understanding Human
Interaction. 6th ed. Boston: Allyn & Bacon.
Effendi, R. W. & Tjahjono, E. 1999. Hubungan antara Perilaku Coping dan
Dukungan Sosial dengan Kecemasan pada Ibu Hamil Anak Pertama.
Anima, 14 (54): 214-227.
Emmons, R. A. 2000. Is Spirituality an Intelligence? Motivation, Cognition, and
the Psychology of Ultimate Concern. International Journal for The
Psychology, 10 (1).
Kazdin, A. F. (Ed.). 2000. Encyclopedia of Psychology, Volume 7. American
Psychological Assosiation: Oxford University Press.
Folkman, S. & Lazarus, R. S. 1988. Coping as Mediator of Emotion. Journal of
Personality and Social Psychology, 54: 466-475.
Gardner, H. 2000. A Case Againts Spiritual Intelligence. International Journal for
The Psychology, 10: 27-34.
23
Garmezy, N. & Rutter, M. 1983. Stress, Coping and Development in Children.
McGrawn Hill Book Co.
Graham, S., Furr, S., Flowers, C. &. Burke, M. T. 2001. Religion and Spirituality
in Coping with Stress. Journal of Counseling and Values, 46.
Greenglass, E. R. 2001. Proactive Coping, Work Stress and Burnout. Stress
News, 13 (2): 1-4.
Greenglass, E. R. 2002. Chapter 3: Proactive Coping. Dalam E. Frydenberg
(Ed.), Beyond Coping: Meeting Goals, Visions and Challenges (hal. 3762). London: Oxford University Press.
Hadi, S. 2000. Metodologi Research; Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
Hadi, S. 2000. Statistik; Jilid 2. Yogyakarta: Penerbit Andi Offset.
Holt, C. L. dkk. 2003. Spirituality, Brents Cancer Beliefs and Mammography
Utilization among Urban African american Woman. Journal of Health
Psychology, 8: 383-396.
Lazarus, R. S. & Folkman, S. 1984. Stress, Appraisal and Coping. New York:
Springer.
Maarif, S. 2006. Musibah. Majalah Berita Mingguan Gatra. Edisi 14 Juni 2006.
Mu’tadin, Z. 2002. Strategi Coping. http://www.e-psikologi.com/ (Diakses tanggal
25/06/2006).
Muluk, H. 2005. Aceh Pasca-Tsunami. Majalah Berita Mingguan Gatra. Edisi 15
Januari 2005
Nashir, H. 2006. Kosmologi Bencana. Harian Republika. Edisi 11 Juni 2006.
Nashori, F. & Ancok, D. 2004. Psikologi Islami: Solusi Islam atas Problemproblem Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Naqiyah,
N.
2005.
Penanganan
Trauma
Pasca
http://www.najlah.blogspot.com/. (Diakses tanggal 19/07/2006).
Tsunami.
Nisa’, K. 2006. Proactive Coping Mahasiswa yang Sedang Mengerjakan Tugas
Akhir Ditinjau dari Self Efficacy. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
24
Keliat, B. A. 1998. Penatalaksanaan Stres. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran
EGS.
Larson, B. L. & Larson, S. B. 2003. Spirituality is Potential Relevance to Physical
and Emotional Health: A Brief Review of Quantitative Research. Journal
of Psychology and Theology, 31: 37-49.
Nasr, S. H. 1994. Menjelajah Dunia Modern: Bimbingan untuk Kaum Muda
Muslim. Bandung: Mizan.
O’Brien, K. M. 2003. Measuring Career Self-Efficacy Promoting Confidence and
Happiness at Work. Dalam Lopez, S. J. & Snyder, C. R. (Ed.), Handbook
of Positive Psychological Assessment (hal. 109 – 126). Washington, DC:
American Psycological Association.
Ondeck, D. M. 2002. Religion and Spirituality. Home Health Care Management
and Practice, 14 (3): 231-232.
Pandu, D. 2006. Hubungan antara Kematangan Emosi dengan Proactive Coping
pada Mahasiswa Berorganisasi. Skripsi (Tidak Diterbitkan). Yogyakarta:
Fakultas Psikologi dan Ilmu Sosial Budaya Universitas Islam Indonesia.
Parry, G. 1990. Coping With Stress. British: BPCC Wheatons Ltd.
Piedmont, R. L. 2001. Spiritual Transcendence and the Scientific Study of
Spirituality. Journal of Rehabilitation, 67 (1): 4-14.
Richards, T. A. dkk. 1999. Spiritual Aspects of Loss Among Partners of Men with
AIDS: Post Bereavement Follow-Up. Death Study, 23: 105-107.
Sarason, B. 1983. Assessing Social Support: The Social Support Questionaire.
Journal of Personality and Social Psychology, 44.
Schwarzer, R. & Taubert, S. 2002. Tenacious Goal Pursuits and Striving Toward
Personal Growth: Proactive Coping. Dalam E. Frydenberg (Ed.), Beyond
Coping: Meeting Goals, Visions and Challenges (hal. 19-35). London:
Oxford University Press.
Schwarzer, R. & Knoll, N. 2003. Positive Coping: Mastering Demands and
Searching for Meaning. Dalam Lopez, S. J. & Snyder, C. R. (Ed.),
Handbook of Positive Psychological Assessment (hal. 393-409).
Washington, DC: American Psycological Association.
25
Shin, M., Rosano, M., Morch, H. & Chestnut, D. E. 1984. Coping With Job Stress
and Burnout in the Human Services. Journal of Personality and Social
Psychology, 46 (4), 864-876.
Siegel, L. J. & Smith, K. E. 1991. Coping and Adaptation in Children’s Pain.
Dalam Bush, J. P & Harkins, S. W. (Ed.), Children in Pain Research
Issues from a Development Perspective (hal. 149-170). New York:
Springer.
Smith, D. W. 1994. Theory of Spirituality. Journal of Holistic Nursing, 9.
Stein, S. J. & Book, H. E. 2004. Ledakan EQ: 15 Prinsip Dasar Kecerdasan
Emosional Meraih Sukses. Bandung: Kaifa.
Sundberg, L. L. 2005. The Relationship Between Proactive Coping Skill and Job
Satisfaction, Absenteeism, Tardiness, and Performance.
http://www.midwestacademy.org/Proceedings/2005/papers/Sundberg
Taubert, S. 1999. Development and Validation of a Psychometric Instrument for
the Assessment of Proactive Coping. Diploma Thesis. Germany: School
of Education and Psychology Free University of Berlin.
Taylor, S. 1995. Health Psychology. 3rd ed. New York: McGraw-Hill, Inc.
Tepper, L., Rogers, S. A., Coleman, E. M. & Maloney, H. N. 2001. The
Prevalence of Religious Coping Among Persons with Persistent Mental
Illness. Journal of Psychiatric Services, 52: 660-665.
Thoresen, C. E. 1999. Spirituality and Health: Is There a Relationship? Journal of
Health Psychology, 4: 291-300.
Wikipedia,
The
Free
Encyclopedia.
Spirituality.
http://en.wikipedia.org/w/index.php?title=Template:spirituality&action=edit
(Diakses tanggal 25/06/2006).
Wong-McDonald, A. & Gorsuch, R. L. 2000. Surrender to God: An Additional
Coping Style? Journal Psychology and Theology, 28: 149-161.
Woods, T. E. & Ironson, G. H. 1999. Religion and Spirituality in the Face of
Illness: How Cancer, Cardias, and HIV Patients Describe Their
Spirituality/Religiosity. Journal of Health Psychology, 4: 393-412.
26
Young, J. S., Cashwell, C. S. & Shcherbakova, J. 2000. The Moderating
Relationship of Spirituality on Negative Life Events and Psychological
Adjustment. Journal of Counseling and Values, 45: 153-169.
Zohar, D. & Marshall, I. 2002. SQ: Memanfaatkan Kecerdasan Spiritual dalam
Berpikir Integralistik dan Holistik untuk Memaknai Kehidupan. Bandung:
Mizan Media Utama.
27
IDENTITAS PENULIS
Nama Lengkap
: ARDIMAN ADAMI
Kelahiran
: Kendari, 11 Mei 1982
Jenis Kelamin
: Laki-laki
Anak ke-
: 4 dari 4 bersaudara
Alamat Rumah
: Jl. Bunga Seroja Gg. Bonzai No. 27
Kemaraya, Kendari 93121
Sulawesi Tenggara
Alamat Kost
: Jl. Kaliurang Km. 14 Gg. Gudhel No. 10 D
Tegal Manding, Sleman 55584
Yogyakarta
Telepon
: 0852 288 62 765
E-mail
: [email protected]
Motto Hidup
: Impossible is Nothing
Download