File

advertisement
PERANAN INDONESIA DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN
KONVENSI PERUBAHAN IKLIM 1992 DAN PROTOKOL KYOTO 1997
MELALUI PROGRAM LAND USE, LAND USE CHANGE AND
FORESTRY (LULUCF)
Daratan di kutub, baik yang berupa pulau es maupun bukit es, pada
saat ini sudah banyak yang longsor dan mencair atau meleleh menjadi air,
akibat mencairnya es dikutub tersebut adalah terbentuknya pulau-pulau mini
berupa “serpihan” pulau es atau “serpihan” bukit es yang terpisah dari induk
daratan es semula.1 Terjadinya pelelehan es di kutub, kenaikan permukaan air
laut, perluasan gurun pasir, peningkatan hujan dan banjir, perubahan iklim,
punahnya flora dan fauna tertentu, migrasi fauna dan hama penyakit 2 yang
sering terjadi saat sekarang ini merupakan efek dari terjadinya pemanasan
global. Perubahan fisik air laut berupa tinggi permukaan air laut, kadar
garam, dan suhu air laut berubah karena pemanasan global. Perubahan
tersebut jelas terkait dengan melelehnya es di kutub utara dan kutub selatan.
Selain itu kadar garam air laut berubah menjadi lebih rendah dari kadar
semula.3 Dalam hal iklim, seperti terjadi musim kemarau yang panjang, atau
musim penghujan yang panjang, datangnya angin topan atau badai pada suatu
daerah atau tempat yang biasanya tidak pernah berlaku didaerah tersebut, dan
sebagainya.4 Di beberapa daerah sering terjadi hujan lebat yang
mengakibatkan banjir bandang dan longsor, munculnya angin puting beliung,
1
Wisnu Arya Wardhana, Dampak Pemanasan Global, Yogyakarta : CV.Andi Offsett,
2010. hlm. 95.
2
Website.http://www.geo.ugm.ac.id/archives/28, dikunjungi terakhir kali pada 21Juli
2011 pada jam 17.46 Wib.
3
Ibid. hlm. 96.
4
Ance Gunarsih Kartasapoetra, Klimatologi : Pengaruh Ikllim Terhadap Tanah dan
Tanaman, Jakarta : PT. Bumi Aksara, 2008. hlm.19.
1
bahkan kekeringan yang mengancam jiwa manusia. Secara umum yang juga
dirasakan oleh seluruh dunia saat ini adalah makin panjangnya musim panas
dan makin pendeknya musim hujan, selain itu makin maraknya badai dan
banjir di kota-kota besar (el Nino) di seluruh dunia. Serta meningkatnya
cuaca secara ekstrim, yang tentunya sangat dirasakan di negara-negara tropis.
Jika ini kita kaitkan dengan wilayah Indonesia tentu sangat terasa, begitu juga
dengan kota-kota yang dulunya dikenal sejuk dan dingin makin hari makin
panas saja. Contohnya di Jawa Timur,contoh yang bisa kita rasakan adalah
seperti di Kota Malang, Kota Batu, Kawasan Prigen Pasuruan di Lereng
Gunung Welirang dan sekitarnya, juga kawasan kaki Gunung Semeru. Atau
kota-kota lain seperti Bogor Jawa Barat, Ruteng Nusa Tenggara, adalah
daerah yang dulunya dikenal berhawa dingin dan segar tetapi nyatanya
sekarang tidak lagi demikian.
Meningkatnya
suhu
ini,
ternyata
telah
menimbulkan
makin
banyaknya wabah penyakit endemik “lama dan baru” yang merata dan terus
bermunculan; seperti leptospirosis, demam berdarah, diare, dan malaria.
Padahal penyakit-penyakit seperti malaria, demam berdarah dan diare adalah
penyakit lama yang seharusnya sudah lewat dan mampu ditangani dan kini
telah mengakibatkan ribuan orang terinfeksi dan meninggal. Selain itu,
ratusan desa di pesisir Jatim terancam tenggelam akibat naiknya permukaan
air laut, indikatornya serasa makin dekat saja jika kita lihat naiknya
gelombang pasang di minggu ketiga bulan Mei 2007 lalu. Mulai dari Pantai
2
Kenjeran, Pantai Popoh Tulungagung, Ngeliyep Malang dan pantai lain di
pulau-pulau di Indonesia.5
Pemanasan global terjadi karena terjadinya efek rumah kaca
(greenhouse effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas-gas seperti
karbondioksida (CO2), metana (CH4), dinitrooksida (N2O) dan CFC
sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi.6 Pemanasan
global beberapa waktu belakangan ini merupakan suatu bahasan yang sangat
menarik baik itu dalam skala kecil sampai tingkat internasional yang hingga
saat ini belum ada kejelasan dalam penanganannya. Penyebab lain terjadinya
global warming adalah perubahan fungsi lahan (konversi lahan) yang tidak
terkendali. Hutan dengan pesat berubah menjadi lahan perkebunan, lahan
pertanian berupah menjadi kawasan perumahan atau pusat bisnis, lahan
ditutupi semen dan paving block.
Ini semua berlangsung tanpa kontrol
pemerintah bahkan kalau boleh dikata ini disokong oleh pemerintah demi
mengejar setoran PAD. Akibatnya jumlah pepohonan dan tumbuhan kota
lenyap dengan demikian konsentrasi karbon dioksida tidak terkendali.7
Dampak perubahan iklim sudah sangat jelas. Dampak tersebut bukan
saja berakibat pada Negara-negara maju saja melainkan juga negara-negara
berkembang, oleh karena itu dibutuhkan kerja keras dan kerjasama antar
negara agar tercipta suatu penanganan yang terpadu untuk mengatasi masalah
ini .
5
Website : http://www. Jurnal Global warming 2009/09/jurnal-global-warning.html.
dikunjungi terakhir kali pada 21 Juli 2011 pada jam 17.51 Wib
6
ibid.
7
Sukanda Husin. COP 13: Harapan Anak Bangsa, Riau : http://riaupos.com,.2007
3
Untuk merespon persoalan di atas, PBB mengadopsi Konvensi
Perubahan Iklim, yang ditandatangani oleh 155 negara dan EU pada tanggal 4
Juni 1992.8 Konvensi Perubahan Iklim atau UNFCCC (United Nations
Framework Convention on Climate Change) adalah sebuah kesepakatan yang
bertujuan untuk menstabilkan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfir,
pada
taraf
yang
tidak
membahayakan
kehidupan
organisme
dan
memungkinkan terjadinya adaptasi ekosistem, sehingga dapat menjamin
ketersediaan pangan dan pembangunan berkelanjutan. Negara-negara yang
telah meratifikasi konvensi harus berupaya menekan laju peningkatan emisi
GRK di dalam negerinya.
Konvensi hanya mengatur hal-hal umum, sedangkan ketentuan
spesifik tentang mekanisme pengurangan gas rumah kaca (GRK), penyebab
global warming dan perubahan iklim tidak diatur dalam Konvensi. Oleh
karena itu, Conference of the Parties (COP) ke 3 melahirkan Protokol Kyoto
tanggal 10 Desember 19979.
Protokol Kyoto 1997 mengklasifikasikan negara peserta menjadi tiga
kelompok: Kelompok I adalah negara maju; Kelompok II negara yang
ekonominya dalam transisi; dan Kelompok III adalah negara berkembang.
Konsekwensinya, masing-masing kelompok memiliki kewajiban yang
berbeda.10
8
Sukanda Husin. COP 13 Bali dan Pahlawan Lingkungan. Riau :
http://riaupos.com,.2007
9
Sukanda Husin, supra, n.7, hlm.1
10
Sukanda Husin, Hukum Lingkungan Internasional, Pekanbaru : Pusat Pengembangan
Pendidikan Universitas Riau, 2009. hlm. 41.
4
Protokol Kyoto meminta semua negara maju yang tertera dalam
Annex B melakukan pengurangan secara berbeda-beda atas enam GRK
dalam satu paket (a basket of six gases) dalam kurun waktu antara tahun 2008
dan 2012. Pengurangan emisi didasarkan pada tahun tertentu atau disebut
juga dengan tahun dasar (base year) yakni tahun 1990 atau 1995. 1990
adalah base year untuk karbon dioksida, metan dan nitrogen oksida. 1995
adalah base year untuk tiga gas lainnya yaitu hydrofluorocarbons,
perfluorocarbons dan hexafluoride.11
Protokol Kyoto tidak hanya mengharuskan pengurangan emisi GRK
secara sendiri-sendiri tetapi juga membenarkan pengurangan secara bersamasama, yaitu: carbon sinks, bubbling scheme dan flexibility mechanism.12
Mekanisme carbon sinks maksudnya adalah Negara maju dapat memasukkan
kegiatan
penanaman
hutan
(afforestation) dan
penanaman
kembali
(reforestation) sebagai carbon sinks. Bubbling scheme maksudnya bahwa
sekelompok negara untuk secara bersama-sama memenuhi kewajiban
kelompok. Dengan menggunakan bubbling scheme, negara-negara Eropah
Bersatu dapat berbagi sesama mereka kewajiban mengurangi emisi Eropean
Union yang 8% tersebut. Mekanisme flexible (flexibility mechanism)
merupakan suatu sistem pengurangan GRK berdasarkan mekanisme pasar,
yaitu, Negara Peserta boleh melakukan perdagangan target pengurangan
emisi antara sesama anggota dengan biaya lebih murah.13 Pada flexibility
mechanism ada tiga cara yang dipakai untuk melakukan mekanisme pasar
11
Sukanda Husin, supra, n.7, hlm.2.
Sukanda Husin, op.cit. hlm 42
13
Sukanda Husin, Supra, n.8, hlm.2.
12
5
(market based-mechanism) yaitu emission trading, joint implementation, dan
Clean Development Mechanism(CDM).
Joint Implementation merupakan cara mengurangi emisi secara
bersama-sama antara Negara Maju. Article 6 Protokol Kyoto membolehkan
setiap Pihak memindahkan atau memperoleh dari Negara Maju lain Unit
Pengurangan Emisi (ERU) sebagai konsekwensi dari proyek yang dilakukan.
Proyek tersebut merupakan proyek pengurangan emisi anthropogenik pada
sumbernya atau melalui penggunaan sinks.
Protokol Kyoto tidak membebankan kewajiban untuk mengurangi
GRK kepada negara berkembang, tapi negara berkembang diwajibkan
mengkomunikasikan status GRK, agar dapat dibantu Negara maju untuk
melaksanakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development).
Sedangkan negara maju dan negara yang ekonominya dalam transisi harus
membatasi atau mengurangi GRK sampai pada jumlah tertentu (assigned
amounts).14
Dalam hal pengurangan emisi secara bersama-sama disini ada
kemungkinan Negara maju bekerja sama dengan Negara yang sedang
berkembang. Protokol Kyoto 1997 pada Artikel 3 nya memungkinkan
dilaksanakannya Clean Development Mechanism. Clean Development
Mechanism (selanjutnya dikutip sebagai CDM) adalah suatu sistem yang
dirancang untuk 3 kepentingan yaitu :
1. CDM
Membantu
Negara
pembangunan berkelanjutan
14
Sukanda Husin, Supra, n.10, hlm.42.
6
berkembang
untuk
mencapai
2. CDM menyumbang untuk pencapaian tujuan akhir Konvensi
3. CDM membantu Negara maju untuk mencapai pelaksanaan
kewajiban membatasi dan mengurangi emisi secara kuantitatif.15
CDM merupakan program yang paling mungkin yang dapat
melibatkan negara berkembang dalam mencapai tujuan konvensi Perubahan
Iklim.16 Sekalipun CDM masih kontroversial, beberapa negara belakangan ini
telah memulai upaya untuk mengadopsi CDM. Misalnya, Kanada melalui
TransAlta telah membuat perjanjian multi juta dolar dengan Global Livestock
Group, sebuah perusahasan Amerika, untuk memproduksi makanan
tambahan untuk sapi di Uganda dimana pemberian makanan tambahan ini
kepada sapi akan mengurangi gas metan yang dikeluarkan oleh sapi.
Bagaimana dengan Indonesia, Indonesia telah mendapatkan bantuan
CDM untuk proyek PLTA dan industry, tetapi kita kalah gesit dengan India,
yang mendapatkan lebih dari 200 proyek CDM pada tahun lalu. Padahal,
Indonesia sebagai Negara pemilik 2/3 dari hutan dunia seharusnya
mendapatkan porsi yang lebih banyak sebagai kompensasi dari perawatan
hutan yang menjadi paru-paru dunia.17
Perubahan penggunaan lahan menjadi salah satu faktor yang
mempengaruhi konsentrasi CO2 di atmosfir. Berdasarkan hasil laporan
komunikasi nasional yang kedua, sektor kehutanan di Indonesia mempunyai
potensi mitigasi emisi gas rumah kaca yang cukup besar, karena sekitar 50 %
15
Sukanda Husin, Supra, n.10, hlm.47.
Ibid. hlm.48.
17
Sukanda Husin, Supra, n.8, hlm. 5.
16
7
emisi GRK di Indonesia dihasilkan dari sektor Land use, land use change and
forestry (LULUCF).18
Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk
kedalam sektor LULUCF adalah salah satu sektor penting yang harus
dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca.19
Perundingan LULUCF menjadi semakin penting karena LULUCF
menjadi salah satu komponen utama yang dinegosiasikan melalui Ad-hoc
Working Group on Further Commitment of Annex-1 Parties under the Kyoto
Protocol (AWG-KP).20 Ini berarti bahwa negara-negara maju berkepentingan
untuk menyusun berbagai aturan, mendefinisikan, dan memperhitungkan
emisi GRKnya yang dapat dikategorikan dalam aktivitas LULUCF.
Sebagai bentuk keseriusan Indonesia untuk ikut terlibat dan berperan
dalam upaya mengurangi bertambah parahnya perubahan iklim dan
pemanasan global, Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perubahan Iklim
dengan Undang-Undang No. 6 Tahun 199421 dan Protokol Kyoto dengan
Undang-Undang No. 17 Tahun 2004.22 Dikarenakan hal tersebut maka,
Konvensi Perubahan Iklim maupun Protokol Kyoto telah menjadi hukum
18
Ari Wibowo,REDD+ dan Forest Governance ,Bogor : Pusat Penelitian Sosial
Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan Kampus Balitbang Kehutanan,2010, hlm .1.
19
http://www.fordamof.org/files/RPI_17_Pengemb._Perhitungan_Emisi_GRK_Kehutana
n. dikunjungi terkahir kali pada 22 Juli 2011 pada jam 14.13 Wib
20
http://www.beritalingkungan.com/berita/2009-12/delri_emisi/, dikunjungi terkahir kali
pada 22 Juli 2011 pada jam 14.23 Wib
21
“Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework
Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa
Mengenai Perubahan Iklim),” Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 No 42;
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3557.
22
“Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the United
Nations Framework Convention on Climate Change (Protokol Kyoto atas Konvensi Kerangka
Kerja Tentang Perubahan Iklim),” Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 72 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4403.
8
yang berlaku di Indonesia. Dalam rangka melaksanakan Konvensi Perubahan
Iklim dan Protokol Kyoto, serta untuk melakukan upaya perlindungan sistem
iklim, Indonesia telah mengganti Undang-Undang No. 23 Tahun 1997
tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup23 dengan yang terakhir sampai saat
ini yaitu Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup24. Dalam Pasal 3 huruf J Undang-Undang
No. 32 Tahun 2009 isinya adalah mengantisipasi isu lingkungan global
seperti perubahan iklim hal itu merupakan salah satu tujuan pengelolaan
lingkungan hidup.
Dalam hal harmonisasi hukum yang dilakukan Indonesia dalam
mengimplementasikan Konvensi Perubahan Iklim 1992 dapat kita lihat disini
bahwa Indonesia pada dasarnya ikut berperan dalam mengatasi isu global
mengenai perubahan iklim, dalam pasal 3 ayat (4) konvensi menyatakan
bahwa adanya keharusan memasukkan perubahan iklim ke dalam
perencanaan pembangunan nasional, yakni dapat kita lihat yang pertama
bahwa Indonesia telah memiliki beberapa peraturan perundang-undangan
yang berkaitan dengan lingkungan hidup, dapat disebutkan beberapa
diantaranya adalah :
1.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
23
“Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup”
(selanjutnya disingkat UUPLH), Lembaran Negara Republik Indonesia, Tahun 1997 No. 58.
24
“Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup,” Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 140 dan
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 No. 5059.
9
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber
Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya .25
3. Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
4.
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
5.
Undang undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
6.
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air .26
7.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto
Protocol to the United Nations Framework Convention on Climate
Change.
8.
Aturan-aturan lainnya yang terkait lingkungan hidup.
Pada beberapa peraturan perundang-undangan yang disebutkan
diatas adanya terdapat Undang-undang No. 6 Tahun 1994 yaitu tentang
Perubahan iklim yang mana itu adalah bentuk ratifikasi dari konvensi
perubahan iklim yang bernama United Nations Framework Convention On
Climate Change (UNFCCC). Terlihat disini Indonesia ikut terlibat dalam
konvensi perubahan iklim yang mana kita ketahui bersifat Internasional
yang melibatkan banyak Negara (multilateral) lalu dibuatkan kedalam
perundang-undangan nasionalnya melalui undang-undang No. 6 Tahun
25
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati
dan Ekosistemnya . Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49.
26
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 4377.
10
1994 tersebut. Dengan Indonesia membuatkannya kedalam Undangundang nasionalnya, berarti Indonesia telah mengamalkan pasal 3 ayat (4)
Konvensi.
Dalam hal peratifikasian konvensi perubahan iklim yang mana
dituangkan kedalam Undang-undang Indonesia terlihat bahwa teori
Monisme primat Internasional dianut disini yaitu paham ini beranggapan
bahwa hukum nasional bersumber dari hukum internasional.
Implementasi merupakaan arah tujuan yang ditetapkan serta dapat
direalisasikan sebagai kegiatan pemerintah. Yang dimaksud dengan
implementasi perjanjian adalah membuat ketentuan-ketentuan untuk
menampung apa yang diatur di dalam perjanjian yang telah diterima.
Tanpa adanya undang-undang yang menampung ketentuan-ketentuan yang
terdapat pada perjanjian-perjanjian dimana Indonesia telah memihak,
maka perjanjian tersebut tidak dapat dilaksanakan dan tidak ada
gunanya.27
Dalam mengimplementasikan
konvensi perubahan iklim yang
mana telah dituangkan dalam Undang-undang No. 6 tahun 1994 , dapat
kita lihat pada beberapa inisiatif terkait perubahan iklim :
2007 : COP-13 di Bali yaitu Rencana Aksi Nasional menghadapi
Perubahan Iklim (RAN-PI).
2007 : Indonesia : National Response to Climate Change (Yellow Book)
yaitu dari tahun 2007 – 2009.
2009 : Technology Needs Assessment (TNA).
27
Boer Mauna, Op.cit hlm. 145.
11
2009 : Presiden mengumunkan target Mitigasi (-26% / -41%).
2009 : Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF).
2010 : Indonesia Climate ChangeSectoral Roadmap (ICCSR).
2010 : Indonesian Second National Communication (SNC)
2011 : Peraturan Presiden No. 61 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi
Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK).28
Terkait dengan Protokol Kyoto 1997 yang mana telah dituangkan
Indonesia ke dalam Undang-undang nasionalmya yaitu Undang-undang
No. 17 Tahun 2004, dalam perjanjian ini tidak hanya melibatkan negara
maju saja, tetapi negara berkembang dapat berpartisipasi melalui
mekanismenya, yaitu Mekanisme Pembangunan Bersih (MPB) dengan
teknologi ramah lingkungan, dalam konteks Indonesia khususnya dalam
era otonomi daerah, kebijakan pemerintah pusat sangat mempengaruhi
keterlibatan pemerintah daerah dan partisipasi masyarakat. Namun
pemahaman pemerintah daerah tentang pemanasan global masih belum
baik, kerjasama antara pemerintah pusat dan daerah cukup diperlukan bagi
keberhasilan implementasi kegiatan ini di daerah.
Setelah melihat apa yang telah dijabarkan di atas, dapat
disimpulkan :
1. Dapat dipahami bahwa
Indonesia sudah terlibat dalam berbagai
diskusi mengenai perubahan iklim, harmonisasi hukum terlihat
khususnya setelah Indonesia menjadi Pihak dalam 1992 United
28
U Hayati Triastuti, Op.cit. Hlm.8.
12
Nations Convention Framework on Climate Change (UNFCCC).
Indonesia sudah meratifikasi baik UNFCCC and Kyoto Protocol,
melalui Undang-undang No. 6 Tahun 1994 dan Undang-undang No.17
Tahun 2004, serta adanya beberapa Undang-undang nasional lainnya
yang berkaitan dengan lingkungan hidup.
2. Peranan Indonesia untuk melaksanakan LULUCF dalam upaya
penurunan gas rumah kaca terlihat dari beberapa aturan yang mengatur
masalah kehutanan, salah satu contohnya Undang-undang nomor 41
tahun 2009 tentang kehutanan.Serta sudah adanya sosialisasi mengenai
pemeliharaan hutan baik dari tingkat nasional ataupun daerah.
3. Kebijakan mitigasi GRK yang terkait dengan sektor kehutanan
dikhawatirkan akan mempengaruhi keberlangsungan hidup dari
masyarakat yang memang hidupnya sangat tergantung pada sumber
daya hutan. Akar permasalahan di bidang kehutanan sebagai berikut:
a.
Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal, dan
b.
Peran dan distribusi manfaat belum adil.
Sebab dan penyebab masing-masing akar permasalahan sebagai berikut:
A.
Pengelolaan aneka fungsi hutan belum optimal
1. Kawasan hutan belum mantap disebabkan antara lain oleh:
a. Proses penataan ruang belum terkoordinasi dengan baik;
b. Unit Pengelolaan pada semua fungsi kawasan hutan belum
seluruhnya terbentuk;
c. Pemanfaatan hutan belum berpihak kepada masyarakat.
13
2. Sumberdaya hutan menurun disebabkan antara lain oleh:
a. Pemanfaatan sumberdaya hutan masih bertumpu pada hasil
hutan kayu;
b. Pengawasan terhadap pengelolaan sumberdaya hutan masih
lemah;
c. Penegakan hukum terhadap pelanggaran dalam pengelolaan
hutan masih rendah;
d. Laju rehabilitasi hutan dan lahan masih lebih rendah
dibandingkan dengan laju kerusakan hutan dan lahan.
B. Peran dan distribusi manfaat belum adil
1. Industri kehutanan tidak efisien disebabkan antara lain oleh:
a. Tidak ada arah yang jelas, dan dukungan serius pemerintah
dalam
mengembangkan
industri
kehutanan
yang
kompetitif;
b. Tidak ada keadilan dalam distribusi manfaat industri
kehutanan.
2. Kegiatan
perekonomian
masyarakat
yang
terkait
dengan
sumberdaya hutan belum optimal disebabkan antara lain oleh:
a. Peraturan perundangan yang mengatur akses masyarakat
terhadap hutan belum tersedia secara memadai;
b. Belum berkembangnya industri pengolahan hasil hutan
skala kecil dan menengah;
c. Belum tersedianya mekanisme pendanaan UKM bidang
kehutanan.
14
Komitmen Pemerintah menurunkan emisi di dalam negeri menjadi sangat
penting. Untuk bisa mencapai komitmen target tersebut dan menunjukkan
keseriusan Pemerintah di dunia internasional ada baiknya dilakukan langkahlangkah segera sebagai berikut:
1.
Agar Menteri Pertanian mencabut Peraturan Menteri Pertanian No
14/Permentan/PL.110/2/2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan
Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, karena konversi lahan gambut
merupakan sumber emisi karbon terbesar di Indonesia.
2.
Agar Menteri Kehutanan untuk mencabut sejumlah Kebijakan yang
berkaitan dengan konversi hutan alam dan lahan gambut untuk keperluan
industri skala besar. Hal ini karena konversi hutan alam dan lahan gambut
merupakan sumber emisi karbon kedua terbesar di Indonesia. Pencabutan
kebijakan konversi hutan alam dan lahan gambut ini akan menjaga
cadangan karbon dan keanekaragaman hayati yang dimiliki Indonesia.
3.
Agar Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM serta Menteri
Kehutanan untuk melakukan optimalisasi penegakan hukum atas segala
jenis kejahatan kehutanan dan kejahatan lingkungan lain yang terkait.
4.
Memulai suatu proses kaji ulang kebijakan sektor kehutanan, perkebunan
dan pertanian skala besar, pertambangan dan energi yang memiliki
dampak terhadap emisi Gas Rumah Kaca, yang mempertinggi kerentanan
lingkungan dan manusia terhadap dampak perubahan iklim secara
transparan dan partisipatif.
15
DAFTAR PUSTAKA
Buku-buku
A Special Report of the IPCC. 2000, Land use, Land Use Change, and Forestry,
Cambridge University Press, United Kingdom.
Ance Gunarsih Kartasapoetra. 2008,Klimatologi Pengaruh Iklim Terhadap Tanah
dan Tanaman,Jakarta:Bumi Aksara.
Ari Wibowo, Nur Masripatin dan Tachrir Fathoni, 2010, Peran Standarisasi
Dalam Penelitian Dan Pengembangan Kehutanan Untuk Menghadapi
Perubahan IIklim,
Bogor : Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan
Kebijakan Kehutanan.
Boer Mauna. 2005, Hukum Internasional Pengertian, Peranan dan Fungsi dalam
Era Dinamika Global, Bandung : PT.Alumni.
Daniel
Murdiyarso.
2003,
Protokol
Kyoto
Implikasinya
Bagi
Negara
Berkembang, , Jakarta : PT.Kompas Media Nusantara.
Daniel Murdiyarso,2005. Sepuluh Tahun Perjalanan Negosiasi Konvensi
Perubahan Iklim,Jakarta : PT.Kompas Media Nusantara.
I Wayan Parthiana, 2002, Hukum Perjanjian Internasional bagian I, Bandung:
Mandar Maju.
Meinhard Doelle and Chris Tollefson. 2009, Environmental Law Cases and
Materials, First edition, Canada : Thompson Reuters Canada limited.
Rencana Aksi Nasional Dalam Menghadapi Perubahan Iklim ,2007, Diterbitkan
oleh Kementerian Negara Lingkungan Hidup.
16
Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) Departemen
Kehutanan Tahun 2005-2009, Lampiran Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor: P.04/Menhut-II/2005 tanggal 14 Februari 2005.
Sukanda Husin. 2009,Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia, Jakarta:Sinar
Grafika.
Sukanda Husin. 2009,Hukum Lingkungan Internasional, Pekanbaru : Pusat
Pengembangan Pendidikan Universitas Riau.
Sukanda Husin.2007. COP 13: Harapan Anak Bangsa, Riau : http://riaupos.com.
Sukanda Husin. 2007. COP 13 Bali dan Pahlawan Lingkungan, Riau :
http://riaupos.com,.
Sukanda Husin. 2007. Konvensi Internasional Tentang Perubahan Iklim Dunia,
Riau : http://riaupos.com.
Sumaryo Suryokusumo. 2001,“Hukum Perjanjian Internasional”’, Universitas
Gajah Mada,.
Surya T. Djajadiningrat. 1996, “Industrialisasi dan Lingkungan Hidup : Mencari
Keseimbangan”, dalam Teologi Industri, Muhammadiyah University
Press.
Wisnu Arya Wardhana. 2010, Dampak Pemanasan Global, Yogyakarta:CV.Andi
Offset.
U Hayati Triastuti. November 2011, Pengarus Utamaan Perubahan Iklim dalam
Pembangunnan Jangka Panjang dan Menengah, Bappenas.
Yudha Bhakti Ardhiwisastra. 2003, Hukum Internasional Bunga Rampai.
Bandung : Alumni.
17
Undang-undang
Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations
Framework Convention On Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja
Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim).
Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Undang-Undang No. 17 Tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protocol to the
United Nations Framework Convention on Climate Change.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.04/Menhut-II/2005
Web Site
http://www.beritalingkungan.com/berita/2009-12/delri_emisi/.
http://www.bmkg.go.id/bmkg_pusat/Klimatologi/Informasi_Perubahan_Iklim.bm
kg.
http://cetak.bangkapos.com
http://www.cifor.org/publications
http://climateprogress.org/
18
Download