KEBIJAKAN LINGKUNGAN PEMERINTAH INDONESIA PASCA RATIFIKASI PROTOKOL KYOTO (SEBUAH KAJIAN TENTANG KEBIJAKAN KELEMBAGAAN DALAM IMPLEMENTASI PROGRAM CLEAN DEVELOPMENT MECHANISM (CDM) DI INDONESIA The Environmental Policy The Indonesian Government after the Ratification of the Kyoto Protocol (A Study of Institutional Policy in the Implementation Clean Development Mechanism (CDM) Program in Indonesia Achmad Abdi Amsir, Roland A. Barkey dan Adi Suryadi Culla ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh kebijakan lingkungan Pemerintah Indonesia dalam mendukung ratifikasi Protokol Kyoto dengan mengkaji kebijakan di sektor kelembagaan dalam implementasi program CDM sebagai bahan kajian utama. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif sebagai tipe penelitian sedangkan teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka (library research) dengan mengakumulasi data yang pernah ditulis oleh para penulis maupun instansi yang terkait dengan pokok masalah kajian. Hasil Penelitian ini menunjukkan bahwa CDM merupakan satu-satunya skema mekanisme pengurangan emisi Gas Rumah Kaca yang dapat melibatkan negara berkembang termasuk Indonesia di dalamnya, mekanisme ini merupakan sebuah entitas bisnis. Diperlukan kebijakan kelembagaan dari pemerintah yang komperhensif keterlibatan Civil Society Organization (CSO) dan stakeholder lainnya yang lebih sinergis dalam inplementasi program ini di Indonesia. Kata Kunci : Protokol Kyoto, Implementasi Program Clean Development Mecanism (CDM) ABSTRACT This study aims to determine to what extent the Environmental Policy of Indonesia government support the ratification of the Kyoto Protocol by reviewing the policy on institutional sectors in the implementation of CDM programs as the main study materials. The method used in this study was qualitative descriptive research, as a type of research. The Technique used in the data collection was the library research, which was conducted by accumulating data ever written by the authors or institutions associated with the subject matter of this study. The results reveal that CDM is the only mechanism scheme of glass house gas (GHG) emissions reduction, that can involve developing countries including Indonesia. This mechanism is a business entity. The implementation of this program in Indonesia needs a comprehensive institutional policy from the government, and more synergic involvement of Civil Society Organization (CSO) and other stakeholders. Key Words : Kyoto Protocol, Implementation Clean Development Mechanism (CDM) 1 PENDAHULUAN LATAR BELAKANG Protokol Kyoto di tahun 1997 menyepakati pengurangan emisi gas rumah kaca (terutama gas CO2, CH4, NOx) sampai dengan tahun 2012. Pengurangan ini dibandingkan dengan tingkat emisi Negara penandatangan di tahun 1990 (baseline). Protokol Kyoto mengatur prinsip yang sama untuk semua negara penandatangan tetapi dengan tanggung jawab yang berbeda (differentiated responsibility). Negara-negara industri maju (disebut Annex 1 countries) diharuskan berkomitmen untuk mengurangi jumlah emisinya, sementara negara berkembang (Non-Annex 1) tidak berkewajiban mengurangi emisi, tetapi harus melaporkan status emisinya. Dengan baseline emisi masing-masing Negara di tahun 1990, setiap Negara Annex-1 memiliki komitmen yang berbeda untuk mengurangi emisinya, misalnya Austria berkewajiban mengurangi 13% tingkat emisinya dibandingkan level emisinya di tahun 1990, sementara Swedia berkewajiban -4% (berhak mengeluarkan tambahan emisi 4% dari level emisinya di tahun 1990). Tidak terpenuhinya komitmen ini di akhir periode akan berakibat sanksi. Dengan pertimbangan bahwa (1) pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) di satu wilayah akan berdampak ke seluruh atmosfer dan (2) mengingat biaya pengurangan emisi di satu negara dapat berbeda dengan di Negara lain, maka Kyoto Protokol mengatur mekanisme pengurangan emisi ini melalui sistem transaksi sertifikat carbon atau carbon credit atau emission credit (Certified Emission Reduction, CER) antara sesama Negara Annex-1 atau antara Annex-1 dan Non-Annex 1. CERs ini dihasilkan dari kegiatan-kegiatan yang mengurangi emisi gas rumah kaca setelah melalui proses tertentu yang panjang dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Mekanisme pengurangan emisi gas rumah kaca tersebut diatur dalam 3 skema: (1) International Emission Trading (IET): memungkinkan pemerintah Negara Annex-1 untuk menjual kelebihan budget emisinya ke Negara lain yang membutuhkan. Misalnya: Swedia (komitment pengurangan -4%) dapat menjual 4% budget emisinya kepada Austria (komitment pengurangan 13%). (2) Joint Implementation (JI): pelaksanaan kegiatan pengurangan gas rumah kaca di sesama Negara Annex-1. (3) Clean Development Mechanism (CDM): pelaksanaan kegiatan pengurangan gas rumah kaca di Negara Non-Annex1. Misalnya: pelaksanaan solar panel di Indonesia. CERnya dijual ke Negara Annex-1. Jadi, pada dasarnya mekanisme CDM merupakan salah satu mekanisme insentif secara finansial bagi pihak-pihak di Negara berkembang untuk melaksanakan kegiatan pengurangan emisi gas rumah kaca. GRK ini umumnya dihasilkan dari penggunaaan fossil fuel seperti bensin, diesel, minyak tanah, batu bara, gas alam, dan lain-lain, hal-hal yang terkait dengan kegiatan industri, serta penimbunan sampah organik. Keuntungan yang diperoleh melalui mekanisme CDM ini adalah dari penjualan carbon credit (CERs) yang dihasilkan dari jumlah pengurangan gas rumah kaca (dihitung equivalent dengan pengurangan CO2) hasil dari pelaksanaan proyek tersebut. Indonesia sebagai salah satu negara yang turut meratifikasi aturan ini terhitung sejak tahun 2004 juga telah membuat program pelaksanaan pengurangan Gas Rumah Kaca. Namun berbeda dengan negara tetangganya seperti Malaysia, di dalam kurun dasawarsa 2000an dari sekian program yang ditawarkan oleh Stake 2 holder Indonesia. Baru enam proyek yang terakui sebagai program CDM. Dibandingkan dengan Malaysia yang pada kurun waktu yang sama telah meloloskan puluhan proyek CDM. Fenomena ini menjadi hal yang menarik untuk diteliti. Sebab Indonesia merupakan negara terluas di Asia Tenggara dengan hamparan hutannya, namun mengapa banyak proyek CDM yang diajukan oleh negara ini tidak lolos untuk mendapat insentif CER. Hipotesis awal yang coba dibangun oleh penulis adalah belum relevannya model Kelembagaan yang dibuat pemerintah Indonesia dalam mendukung upaya masyarakat dalam mengurangi emisi Gas Rumah Kaca RUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan yang diungkap di atas, maka yang menjadi rumusan permasalahan yang akan dikaji adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana Potensi Gas Rumah Kaca yang dimiliki oleh Indonesia dalam tinjauan Mekanisme CDM? 2. Apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Agenda CDM dalam sektor kehutanan sehingga bisa disepakati sebagai salah satu skema dalam mekanisme CDM? TUJUAN PENELITIAN Berdasarkan rumusan permasalahan, maka tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui Potensi Gas Rumah Kaca yang dimiliki oleh Indonesia dalam tinjauan Mekanisme CDM 2. Untuk mengetahui apa saja tindakan yang dapat dilakukan oleh Pemerintah Indonesia untuk memasukkan Agenda CDM dalam sektor kehutanan sehingga bisa disepakati sebagai salah satu skema dalam mekanisme CDM MANFAAT PENELITIAN Manfaat dari penelitian yang diharapkan dapat dikemukakan adalah sebagai berikut : 1. Sebagai salah satu pemikiran awal secara akademis yang dapat memperlihatkan relasi antara sebuah persepakatan Internasional dengan kebijakan yang dibuat oleh negara yang telah meratifikasinya khususnya pada aspek kelembagaan. 2. Sebagai masukan bagi pemerintah khususnya instansi terkait sebagai penentu Kebijakan di sektor lingkungan di masa yang akan datang. 3. Sebagai bahan informasi terhadap penelitian–penelitian selanjutnya yang terkait dengan tema penelitian. 3 TINJAUAN PUSTAKA PEMANASAN GLOBAL Pemanasan global bukan sebuah teori ilmiah yang samar-samar. Jika sedang terjadi pada skala yang cukup berarti, maka pemanasan global mempunyai implikasi praktis yang penting bagi seluruh umat manusia dalam waktu yang tidak terlalu jauh ke depan. Pengertian pemanasan global Gas dalam atmosfer yang molekulnya terdiri dari lebih dua atom yang mempunyai sifat menyerap sinar matahari gelombang panas. Gas-gas itu disebut gas rumah kaca. Bumi yang terkena sinar matahari menjadi panas, panas ini dipancarkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa, tetapi terserap oleh GRK. Dengan diserapnya gelombang panas oleh GRK maka naiklah suhu atmosfer yang menyelimuti bumi sehingga suhu dipermukaan bumi pun meningkat. Inilah yang disebut dengan Pemanasan Global. Efek Rumah Kaca Bumi yang terkena sinar matahari menjadi panas. Kemudian panas ini dipancarkan kembali oleh permukaan bumi ke angkasa, tetapi terserap oleh gas rumah kaca. Dengan diserapnya gelombang panas ini oleh gas rumah kaca, maka naiklah suhu atmosfer yang menyelemuti bumi sehingga suhu dipermukaan bumi pun naik. Inilah yang disebut Efek Rumah Kaca. Kemudian dapat pula terjadi efek gabungan, dimana dampak dari masing-masing gas yang terkandung tergantung tidak hanya pada sifat-sifat rumah kacanya, tetapi juga pada masa hidupnya dalam atmosfer. Penyebab Terjadinya Pemanasan Global Pemanasan global secara umum disebabkan dua hal yaitu : 1. Pembakaran fosil dalam industry, mobil, pembangkit listrik dan sebagainya. 2. Emisi buatan CFC (klorofluorkarbon). CFC inilah yang merusak lapisan ozon sehingga memungkinkan sinar ultraviolet itu menembus bumi. Di samping itu peningkatan suhu bumi juga disebabkan oleh timbunan gas-gas Rumah Kaca seperti karbondioksida, metana, nitrat oksida, dan klorofluorkarbon (CFC) di atmosfer. Timbunan ini memperangkap panas dari matahari sehingga menimbulkan peningkatan suhu. Menurut Inter Governmental Panel on Climate Change (IPCC atau Panel antar Pemerintah tentang perubahan iklim) ada dua hal yang dipastikan sebagai penyebab terjadinya pemanasan global, yaitu : 1. Adanya Efek Rumah Kaca di bumi. 2. Adanya gas-gas yang mengakibatkan Efek Rumah Kaca kini meningkat dalam atmosfer akibat ulah manusia. Di arena internasional, banyak pihak menuduh Negara-negara dunia ketiga sebagai biang keladi pemanasan global karena pembakaran hutan besar-besaran di Negara tersebut. Pembakaran itu melepaskan karbondioksida ke atmosfer. 4 PEMBAHASAN A. CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih Konferensi tingkat tinggi (KTT) Bumi (Earth summit) tentang Lingkungan dan Pembangunan yang dikenal dengan nama United Nations Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio de Janeiro, Brasil, bulan juni 1992 para pemimpin dunia sepakat untuk mengadopsi Konvensi Kerangka Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention On Climate Change, UNFCCC). Tujuan utama konvensi ini adalah untuk menstabilkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem iklim bumi. Negosiasi demi negosiasi melalui berbagai Konferensi Para Pihak (Conference Of Parties, COP) Konvensi Perubahan Iklim telah dilaksanakan, hingga akhirnya pada CoP-3 tahun 1997 di Kyoto sebuah tata cara penurunan emisi GRK yang kemudian dikenal dengan nama Protokol Kyoto diadopsi. Melalui protokol ini target penurunan emisi oleh Negara-negara industri telah dijadwalkan dan akan dilaksanakan melalui mekanisme yang transparan. Semua pihak anggota protokol juga dapat mengawasi pelaporan dan penataannya yang diatur di dalam protokol. Bahkan melalui lembaga tertinggi protokol yaitu Konferensi Para Pihak Konvensi yang merupakan pertemuan Para Pihak Protokol (Conference Of Parties To The Convention Serving AS Meeting Of Parties To The Protocol, CoP/MoP) mereka juga dapat menentukan tindakan yang harus diambil jika salah satu pihak tidak menaati (non-compliance) ketentuan yang ada. Protokol ini telah disepakati target dan jadwal penurunan emisi yang harus dilakukan Negara maju, yaitu sebesar 5% dari tingkat emisi tahun 1990 yang harus dicapai dalam periode 2008–2012. Dengan target itu seluruh Negara maju yang terdaftar dalam Annex I Konvensi Perubahan Iklim, harus menurunkan emisinya sebesar 13,7 Gt1. Untuk mencapai target penurunan emisi dikenal mekanisme fleksibel atau mekanisme Kyoto yang terdiri dari tiga kegiatan, yaitu Joint Implementation (JI) yang diuraikan dalam pasal 6, Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism, CDM) yang diuraikan dlam pasal 12, dan Perdagangan Emisi ( Emition Trading, ET) yang diuraikan dalam pasal 17 Protokol Kyoto. CDM yang akan dibahas dalam tulisan ini adalah satu-satunya mekanisme yang dapat dilakukan Negara maju bersama Negara berkembang. Sedang JI dan ET hanya bisa dilakukan antar Negara maju. Mekanisme tersebut menghasilkan unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU) untuk JI, pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER) dari CDM dan unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU) dari ET. 1. Pengertian CDM Pertemuan Komite Negosiasi Antar-pemerintah (Intergovernmental Negotiating Committee, INC) menjelang CoP-1 tahun 1995 telah dibicarakan upaya bersama untuk mengurangi emisi GRK. Salah satunya adalah usulan yang diajukan oleh Norwegia. Usulan yang melibatkan semua pihak ini selanjutnya dikenal dengan nama Implementasi Bersama (Joint Implementation, JI) di mana negaranegara berkembang juga dapat berpartisipasi di dalamnya. Perundingan tentang implementasi JI rupanya tidak terlalu lancar dan makin memanas ketika Negara-negara anggota OPEC menolaknya dengan alasan akan menjauhkan negara maju dari kemungkinan menandatangani Protokol Kyoto. Penolakan tersebut didukung India dan Cina yang juga mengharapkan kekompakan kelompok G77+Cina untuk tidak menerima JI sebagai mekanisme yang harus diikuti negara berkembang. 5 Tabel . Jumlah CER dari Proyek CDM Indonesia Province/ No Title Type Sub-type kCERs Expected kCERs Issuance success Host LoA State/Region 1 Indocement Alternative Jawa Barat & Fuels Project kalimantan selatan Biomass energy Agricultural residues: other kinds 80.967 258.308 31% 1/23/2006 2 Banten MEN-Tangerang 13.6MW Natural Gas Co-generation Project EE supply side Cogeneration 17.154 21.836 79% 6/19/2007 3 Tambun LPG Associated Jawa Barat Gas Recovery and Utilization Project Fugitive Oil field flaring reduction 113.446 73.895 154% 6/19/2007 4 Darajat Unit Geothermal Project Geotherma l Geothermal electricity 90.804 139.368 65% 8/31/2006 5 Methane Capture and Riau Combustion from Swine Manure Treatment Project at PT Indotirta Suaka Bulan Farm in Indonesia Methane avoidance Manure 22.352 179.644 12% 5/23/2006 6 CDM Solar Project Aceh 1 Solar Solar cooking 1.077 6.060 18% 12/23/2005 III Jawa Barat Cooker Aceh Sumber: Dewan Nasional Perubahan Iklim 1. CoP/MoP Konferensi Para Pihak yang merupakan pertemuan Para Pihak (Conference of parties Serving as the Meeting of Parties, CoP/MoP) adalah pertemuan utama Para Pihak Protokol Kyoto. CoP/MoP juga merupakan lembaga pengambil keputusan tertinggi yang berkaitan dengan implementasi Protokol Kyoto. Pertemuan sesi pertamanya akan berlangsung ketika Protokol Kyoto mulai efektif (enter into force) dan diselenggarakan di tengah-tengah acara CoP untuk UNFCCC. Besar kemungkinan CoP/MoP-1 akan bersamaan dengan CoP-9 jika Protokol Kyoto efektif di paruh pertama tahun 2003. Sebagai lembaga tertinggi Protokol Kyoto, tugas utama CoP/MoPseperti tercantum dalam pasal 13.4 adalah mengupayakan terjadinya implemantasi Protokol secara efektif dengan cara : - Menilai Implementasi Protokol. - Menilai kewajiban Para Pihak. - Mendorong terjadinya pertukaran informasi. - Mobilisasi dana. - Memanfaatkan jasa dan kerjasama. - Otoritas Nasional 6 Otoritas nasional adalah sebuah lembaga pada tingkat nasional yang ditunjuk pemerintah (Designated National Authority, DNA) untuk mewakili kepentingan nasional dalam implementasi CDM. Bagi Para Pihak di negara berkembang, memiliki sebuah DNA (dan meratifikasi Protokol Kyoto) merupakan syarat untuk dapat berpartisipasi dalam CDM. Badan Pelaksana CDM pada tingkat global hanya mengakui satu DNA di tingkat nasional. Jadi, tidak akan pernah ada DNA sektoral atau DNA daerah. Di Indonesia fungsi Otoritas Nasional ini diperankan oleh Komisi Nasional Mekanisme Pembangunan Bersih (Komnas MPB) Fungsi utama DNA dapat dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu pengaturan dan promosi proyek CDM. Dalam menjalankan fungsi pengaturan DNA yang memiliki status legal akan melakukan evaluasi dokumen desain proyek yang diajukan pengembang untuk disahkan oleh pejabat pemerintah yang berwenang (biasanya Focal Point Nasional Konvensi Perubahan Iklim). A. CDM dan Cop-15 Pertemuan antara pihak (CoP)-15 yang diadakan di Copenhagen bulan desember lalu dimana Delegasi RI ingin mengikutkan Sektor Kehutanan ke dalam salah satu skema Mekanisme Pembangunan Bersih, mengingat bahwa Indonesia sangat berkepentingan terhadap wacana ini karena aset hutan hujan tropis indonesia yang sangat luas merupakan sumber daya yang sangat potensial bagi upaya pengurangan dan penyerapan Gas Rumah Kaca. CoP-15 ternyata gagal menetapkan satu kesepakatan Internasional yang bersifat mengikat secara hukum (legally binding agreement), meskipun diperpanjang satu hari dari jadwal yang ditetapkan. Hingga detik-detik terakhir pertemuan ini hanya melahirkan “Copenhagen Accord” (Kesepakatan Kopenhagen). Menurut Marti Natalegawa kesepakatan tersebut bukan satu konvensi hukum internasional dan merupakan hasil paling lemah dalam konfrensi multilateral Sektor kehutanan yang menjadi agenda nasional yang diharapkan dapat dimasukkan ke dalam salah satu mekanisme CDM ternyata hanya masuk ke dalam poin ke enam kesepakatan Kopenhagen yang berbunyi “We recognize the crucial role of reducing emission from deforestation and forest degradation and the need to enhance removals of greenhouse gas emission by forests and agree on the need to provide positive incentives to such actions through the immediate establishment of a mechanism including REDD-plus, to enable the mobilization of financial resources from developed countries.” Harus diakui bahwa dalam sebuah konferensi multilateral sangat banyak perbedaan pendapat dan kepentingan yang sangat tajam di antara negara-negara peserta. Namun ada catatan penting yang juga harus diingat oleh Focal Point Indonesia dalam setiap konferensi internasional sejenis, yaitu lemahnya standing position pemerintah Indonesia dalam memperjuangkan agenda nasionalnya. Hal ini menurut Teguh, salah satu anggota delegasi RI yang mewakili Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), terjadi dikarenakan tidak adanya kesepakatan bersama antara para delegasi RI yang akan berangkat ke Kopenhagen sebelumnya, bahkan akhirnya terkesan Indonesia dijadikan sebagai bumper oleh negara maju untuk memuluskan kepentingan mereka Lemahnya standing position ini juga dapat terjadi akibat dari perbedaan paradigma antara pemerintah dengan Civil Society Organisation (CSO). Menurut Berry Nahdian Forqan, Direktur Eksekutif Nasional WALHI, persoalannya dalam internal kita, apa yang diusung oleh pemerintah RI dan apa yang diusung oleh kelompok CSO Indonesia berbeda. Pendekatan yang digunakan pemerintah dalam melihat permasalahan lingkungan termasuk di dalamnya masalah kehutanan selalu menggunakan pendekatan peraturan yang ada, sementara para aktivis CSO melihatnya dalam perspektif lapangan sehingga pembahasan internal sangat alot hingga sampai pada masa dimana 7 Delegasi RI dituntut untuk membuat putusan yang akan dijadikan sebagai acuan standing position menjadi tidak matang. Akhirnya lahirlah keputusan yang hanya mengakui (recognize) bahwa sektor kehutanan memiliki peran penting dalam penyerapan GRK namun tidak ada penjelasan tentang bagaimana aspek teknis implementasinya di lapangan Penutup A. Kesimpulan Dari pembahasan bab-bab sebelumnya dapat ditarik kesimpulan bahwa: a. Indonesia memiliki potensi kemampuan menyerap GRK yang sangat besar dari sektor kehutanan namun masih terhalang oleh kendala belum tersepakatinya sektor ini masuk ke dalam skema Clean Development Mechanism (CDM). b. Dibutuhkan Sebuah Standing Position yang tegas bagi Negara Indonesia untuk dapat memasukkan wacana ini ke dalam skema tersebut dalam pembahasan CoP/MoP mendatang B. Saran a. Focal Point Indonesia, dalam hal ini Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) memfokuskan agenda nasional yang akan menjadi tema besar negosiasi dalam CoP selanjutnya mengenai masalah ini, tinggal bagaimana menguatkan standing position kita dalam forum tersebut b. Untuk kepentingan penguatan standing position dalam CoP berikutnya, penulis menyarankan untuk terlebih dahulu menyatukan suara di dalam negeri dengan melibatkan sebanyak-banyaknya unsur stakeholder dalam pengayaan wacana yang akan menjadi agenda nasional. Salah satu hal yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan Public outreach. Dengan sedini mungkin mulai menjangkau stakeholder dari berbagai macam lapisan masyarakat sejak sekarang, berdiskusi dan menyatukan persepsi tentang hal ini menjadi agenda yang sangat urgen yang harus diperjuangkan oleh delegasi RI dalam CoP selanjutnya bahkan sampai ke permasalahan teknis di lapangan sehingga ketika sampai pada waktu CoP berikutnya, kita telah memiliki kesatuan agenda yang jelas dan akan menguatkan standing position dalam setiap negosiasi dengan negara peserta lainnya DAFTAR PUSTAKA Ali, Farid. 2001. Polarisasi Kebijakan Pengembangan Otonomi Daerah. Suatu Analisa Kebudayaan Kelembagaan Pemda Kabupaten Gorontalo Selang Waktu Tahun 1974-1998. Disertasi. Program Pascasarjana Unhas. Makassar Amir, AR., 1992, Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup Menurut Ajaran Islam (Studi Kasus di HPH PT. Palapi Timber), (Tesis), Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang Bahri, Syamsul., 2003, Persepsi Masyarakat Tongke-tongke Terhadap Lingkungan (Suatu Perspektif Islam di Kabupaten Sinjai), (Tesis), Program Pascasarjana, Universitas Hasanuddin, Makassar Benyamin, Rahardjo, dkk, 2007, Pembalakan Ramah Lingkungan; Konsep dan Implementasi di Indonesia, Wana Aksara, Banten 8 Bera, Petrus Ngongo Tanggo. 2000. Budaya Merapu Dalam Pengembangan Kelembagaan administrasi publik di Sumba Barat. Disertasi Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin Makassar. Bouman, P.J., 1980., Ilmu Masyarakat Umum. Pengantar Sosiologi. PT. Pembangunan. Jakarta. Budiarjo, Miriam., 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik, Edisi Revisi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta Burnie, David., 1999, Ecology, The Ivy Press Limited, London Diposaptono, Subandono, dkk, 2009, Menyiasati perubahan iklim di Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau kecil, Penerbit buku Ilmiah Populer, Bogor Hardjasoemantri, Koesnadi, 2005, Hukum Tata Lingkungan, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Hidayat, Herman, 2008, Politik Lingkungan; Pengelolaan Hutan Masa Orde Baru dan Reformasi, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta Horton, Paul B. dan Chester L. Hunt. 1993. Sosiologi. Penerbit Erlangga. Jakarta. Husein, Harun. M., 1995, Lingkungan Hidup: Masalah Pengelolaan dan Penegakan Hukumnya, Bumi Aksara, Jakarta. Murdiyarso, Daniel., 2007, CDM: Mekanisme Pembangunan Bersih, Penerbit Buku Kompas, Jakarta Mustari,S.Ag., 2000, Pengaruh Metode dan Media Dakwah terhadap Pengetahuan Lingkungan Hidup Menurut Konsep Islam (Kasus di Majelis Ta’lim Nahdatus Sa’adah Kelurahan Panambungan), (Tesis), Program Pascasarjana, Universitas Negeri Makassar, Makassar Pramudianto, Andreas, SH., Msi., 2008, Diplomasi Lingkungan; Teori dan Fakta, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta Robbins, Paul, 2004, Political Ecology; a Critical Introduction, Blackwell Publishing, Arizona, US Rusbiantoro, Dadang, 2008 Global Warming for Beginner, Pengantar Komperhensif tentang pemanasan Global, O2, Yogyakarta Sanderris, Ebbe, 2009, Booklet Informasi World Wide Views, The Danish Board of Technology, Denmark Soemarwoto, O., 1995, Ekologi Lngkungan Hidup dan Pembangunan, Djambatan, Bandung Koran (Tempo, 27 Juni 1999). Koran (Tempo, 28 Desember 1998). Jurnal Tanah air, Jurnal Ilmiah Gerakan Lingkungan Hidup Indonesia, Walhi. Edisi Oktober-Desember 2009 9