Bank Infrastruktur dan Penguatan Anggaran di Daerah Oleh Joko Tri

advertisement
Bank Infrastruktur dan Penguatan Anggaran di Daerah
Oleh Joko Tri Haryanto, pegawai Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan RI*
Hingga saat ini pemerintah masih terus mematangkan konsep pembentukan lembaga pembiayaan
infrastruktur. Salah satu konsep yang akan ditempuh adalah penggabungan PT. Sarana Multi
Infrastruktur (SMI) dengan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) menjadi Lembaga Infrastruktur
Indonesia (LII) sebagai cikal bakal berdirinya Bank Infrastruktur ke depannya. Menteri Keuangan
(Menkeu) menjelaskan bahwa LII ini akan menggantikan peran dari bank komersial yang terbukti
kurang sukses menjalankan misi infrastruktur karena terkendala sumber dana yang lebih bersifat
short term period. Nantinya LII ini diharapkan mampu mengakselerasi berbagai pembangunan
infrastruktur baik yang menjadi kewenangan BUMN, BUMD maupun swasta serta kerjasama
pemerintah.
Dalam implementasinya nanti, pemerintah juga akan menyusun klasifikasi dari proyek infrastruktur
tersebut. Klasifikasi pertama adalah infrastruktur dasar dimana proyek ini tidak memiliki nilai
komersial sehingga wajib dibiayai oleh APBN dan APBN seperti irigasi, waduk, sanitasi dan
jembatan. Kedua adalah pembiayaan utang baik melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN)
maupun pinjaman luar negeri. Ketiga infrastruktur bernilai komersial tinggi yang dapat diberikan
kepada BUMN maupun swasta. Keempat adalah proyek yang setengahnya bernilai publik dan
setengahnya bernilai komersial.
Sebelumnya, Menkeu juga menyatakan perlunya reformasi struktural khususnya di sektor manufaktur
dan infrastruktur untuk mengatasi defisit neraca berjalan (current account deficit) yang senantiasa
menghantui perekonomian setiap tahunnya. Menkeu juga meyakini bahwa reformasi di sektor
manufaktur akan mampu mengangkat kontribusi hingga 30% PDB dibandingkan sumbangan saat ini
yang masih berkisar 23%. Karenanya agenda re-industrialisasi menjadi hal yang utama untuk segera
diimplementasikan.
Sementara, untuk mempercepat pembangunan infrastruktur, pemerintah juga berharap mampu
menggandeng sektor swasta dan pihak-pihak lainnya dalam skema kerjasama pemerintah-swasta
(public-private partnerships). Hal ini menjadi mutlak untuk dilakukan mengingat keterbatasan APBN
dalam membiayai percepatan infrastruktur tersebut, meskipun saat ini pemerintah sejujurnya memiliki
ruang fiskal (fiscal space) yang lebih besar sebagai dampak pencabutan subsidi BBM.
Skema pendanaan lainnya juga dapat ditempuh melalui mekanisme sharing antara pemerintah pusat
dan daerah. Dalam APBN-P 2015, strategi ini sudah mulai diterapkan. Pemerintah betul-betul
memanfaatkan pendanaan transfer ke daerah sebagai salah satu bentuk percepatan pembangunan
infrastruktur. Hasil kesepakatan APBN-P 2015 salah satunya adalah menaikkan anggaran Dana
Alokasi Khusus (DAK) Rp23 triliun dari Rp35,8 triliun menjadi Rp58,8 triliun. Alokasi Dana Desa juga
melejit secara signifikan dari pagu awal Rp9,1 triliun menjadi Rp20,8 triliun. Oleh pemerintah,
kenaikan DAK difokuskan untuk Program Pendukung Prioritas Kabinet Kerja (P3K2), yang terdiri dari
infrastruktur irigasi sebesar Rp9,3 triliun, sektor pertanian Rp4 triliun, pembangunan jalan sebesar
Rp4,9 triliun, pengembangan pasar rakyat Rp256 miliar serta program rujukan BPJS sebesar Rp1,45
triliun. Sementara Dana Desa diarahkan bagi penguatan infrastruktur dasar di Desa.
Selain menetapkan pagu besaran anggaran, kriteria daerah penerima juga diatur lebih lanjut. Untuk
penerima DAK infrastruktur irigasi, kriteria utamanya adalah daerah sentra produksi padi dengan
jaringan irigasi kondisi rusak sedang dan berat. Sementara DAK pertanian diutamakan bagi daerah
yang memiliki luas sawah irigasi minimal 700 hektar berdasarkan data resmi BPS. Daerah tertinggal
diprioritaskan menerima alokasi DAK Pembangunan Jalan. Untuk daerah yang relatif maju,
pemerintah tetap memberikan perhatian melalui alokasi DAK Perbaikan Jalan sebesar Rp5 triliun di
tahun 2015 ini.
Untuk Dana Desa sendiri, regulasinya masih tetap menginduk kepada Undang-undang (UU) Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 66 Tahun 2014 tentang Dana
Desa yang Bersumber Dari APBN. Artinya, sesuai dengan amanat pasal 2 PP No 60 Tahun 2014,
Dana Desa wajib dikelola secara tertib, taat kepada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan
kepatuhan serta mengutamakan kepentingan masyarakat setempat.
Penguatan dana infrastruktur di daerah ini selaras dengan pertemuan antara Presiden dengan
seluruh Kepala Daerah yang disusul dengan kesepakatan antara Menteri Keuangan (Menkeu) dan
Gubernur Bank Indonesia dalam kapasitas percepatan pembangunan ekonomi di daerah. Beberapa
hal utama yang disepakati diantaranya reformasi struktural di sektor riil dan keuangan demi
peningkatan daya saing dan iklim investasi di daerah, pasar tenaga kerja, penguasaan teknologi dan
Sumber Daya Manusia (SDM), infrastruktur serta fasilitas pembiayaannya melalui skema Public
Private Partnership (PPP).
Awasi penggunaannya
Jika selama ini persoalan anggaran selalu menjadi kendala utama, maka kedepannya isu tersebut
sekiranya sudah tidak lagi relevan. Persoalan mendasar berikutnya adalah bagaimana mengawasi
penggunaan anggaran tersebut di daerah, karena sudah menjadi rahasia umum jika selama ini
pengelolaan APBD masih relatif belum bijaksana. Secara rata-rata di hampir seluruh daerah di
Indonesia, lebih dari 50% belanja APBD habis untuk kegiatan yang bersifat rutin administratif seperti
belanja pegawai, belanja barang, belanja perjalanan dinas dan rapat meeting di hotel. Sementara
alokasi belanja pembangunan nyaris tidak pernah beranjak dari kisaran 15% setiap tahunnya.
Dengan tantangan pembangunan yang semakin besar, persentase tersebut jelas sangat tidak
memadai.
Permasalahannya, Indonesia secara resmi telah mendeklarasikan pelaksanaan otonomi daerah sejak
1 Januari 2001. Dan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia merupakan implementasi otonomi dari
sisi belanja (spending side) bukan otonomi sisi pendapatan (revenue side). Otonomi dari sisi belanja
ini kemudian memberikan kewenangan sepenuhnya kepada daerah dalam menentukan arah
kebijakan belanjanya. Pemerintah Pusat hanya dapat memberikan advise serta evaluasi atas
kegiatan belanja yang telah dilakukan.
Hal inilah yang sering dijadikan bahan perdebatan oleh banyak pihak khususnya terkait dengan
ketepatan arah desentralisasi fiskal dan otonomi daerah di Indonesia. Otonomi daerah yang awalnya
diharapkan mampu memperpendek rentang birokrasi demi meningkatkan efisiensi pelayanan publik
serta kemandirian daerah, justru lambat laun bertransformasi menjadi pendulum negatif yang makin
menjauhi sumbu awalnya. Tak heran jika akhirnya masyarakat memandang otonomi daerah semata
perpindahan korupsi dari Pemerintah Pusat ke daerah.
Mekanisme DAK dalam bingkai pengawasan ini relatif lebih mudah dibandingkan mekanisme Dana
Desa, karena dari sisi regulasi DAK memang ditujukan bagi pembangunan infrastruktur fisik di
daerah. Penggunaan DAK untuk kegiatan non-infrastruktur fisik akan menghasilkan kesalahan secara
hukum. Hal inilah yang belum diatur dalam regulasi Dana Desa. Meski di dalam peraturan disebutkan
adanya kewajiban penggunaan Dana Desa untuk kepentingan masyarakat, ketiadaan mekanisme
hukuman dikhawatirkan hanya akan menjadi insentif bagi terciptanya moral hazard baru di level
Desa.
Dalam komponen Transfer ke Daerah, mekanisme Dana Desa ini mirip dengan Dana Alokasi Umum
(DAU) yang sifatnya block grant. Karena sifatnya block grant inilah yang membuat daerah kemudian
menggalokasikan DAU untuk segala kepentingan termasuk pembelian kendaraan dinas, gaji
pegawai, honor, tunjangan dan berbagai insentif lainnya.
Praduga inilah yang ditahap awal pembahasan UU Desa sempat menimbulkan banyak polemik.
Pihak yang pro dengan Dana Desa merasa selama ini Desa selalu di anak tirikan. Akibatnya Desa
menjadi identik dengan keterbelakangan, penduduk non-produktif dan kemiskinan. Penduduk usia
produktif kemudian tidak merasa bangga hidup dan tinggal di Desa. Akhirnya mereka berbondongbondong masuk ke kota, dengan harapan memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Akibatnya desa
semakin terpinggirkan sementara kota mengalami over population. Karenanya mereka menilai
guyuran dana diharapkan mampu mengubah wajah desa, minimal menghambat meledaknya arus
urbanisasi di kemudian hari.
Sebaliknya, pihak yang kontra dengan ide Dana Desa, merasa bahwa persoalan utama desa bukan
sekedar tidak adanya anggaran. Bagaimana mengubah sistem, mind-set dan perilaku masyarakat
justru menjadi agenda lebih krusial. Ketika persoalan ini belum teratasi, ditambah dengan masalah
kualitas manusia yang masih terbatas, alokasi dana yang melimpah justru akan menimbulkan moral
hazard baru di kalangan aparat desa jika tidak diimbangi dengan manajemen sumber daya manusia
(SDM) yang handal.
*Tulisan ini adalah pendapat pribadi dan tidak mencerminkan kebijakan institusi di mana penulis
bekerja
Download