FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU TINDAK PIDANA dan KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN VONIS PIDANA (Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif) Skripsi Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Oleh: SHANTI DESTIYANI NIM: 107045100418 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKUKTAS SYARIAH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU TINDAK PIDANA dan KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN VONIS PIDANA (Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syari’ah (S.Sy) SHANTI DESTIYANI 107045100418 Dibawah Bimbingan : Pembimbing I : Pembimbing II : Dr. Hj. Isnawati Rais Al Fitra, SH., MH NIP. 1957102719850323 NIP. 197220203200701034 KONSENTRASI KEPIDANAAN ISLAM PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H/ 2011 M PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU TINDAK PIDANA DAN KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN VONIS PIDANA (Dalam Tinjauan Hukum Islam dan Hukum Positif) telah diujikan dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta pada 20 September 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam (Jinayah Syar’iyyah). Jakarta, 20 September 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM NIP 195505051982031012 PANITIA UJIAN 1. Ketua : Dr. Asmawi M.Ag NIP 197210101997031008 2. Sekretaris : Afwan Faizin M.Ag NIP 197210262003121001 3. Pembimbing I : Dr. Hj. Isnawati Rais NIP 195710271985032 4. Pembimbing II : Alfira, SH., MH NIP 197220203200701034 5. Penguji I : Dr. Asmawi M.Ag NIP 197210101997031008 6. Penguji II : Dr. Asep Saepudin Jahar, MA NIP 196912161996031001 LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa : 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli yang diajukan untuk memenuhi salah satu memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil dari jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Jakarta, 10 September 2011 Shanti Destiyani KATA PENGANTAR Bismillahirahmaanirrahim Assalamu’alaikum Wr. Wb Puji syukur saya haturkan kepada Allah SWT yang telah menciptakan manusia dengan kesempurnaan sehingga dengan izin dan berkah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan rasa penuh tanggung jawab kepada Allah SWT dan seluruh umat manusia yang mencintai ilmu. Shalawat serta salam selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad SAW, atas tetesan darah dan air mata beliaulah kita mampu berdiri dengan rasa bangga sebagai umat Ilsam yang menjadi umat terbaik diantara semua kaum. Tidak lupa kepada keluarga, para sahabat, serta yang mengamalkan sunnahnya dan menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari akan pentingnya orang-orang yang telah memberikan pemikiran dan dukungan secara moril maupun spiritual sehingga skripsi ini dapat terselesaikan sesuai yang diharapkan karena adanya mereka segala macam halangan dan hambatan yang menghambat penulisan skripsi ini menjadi mudah dan terarah. Untuk itu penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat bapak / ibu : 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MH., MM selaku Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. i 2. Dr. Asmawi, MA., Ketua Program Studi Jinayyah Siyasah yang telah memberikan bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahan dalam 8 semester ini sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan sebaik-baiknya. 3. Afwan Faizin, MA., Sekretaris Program Studi Jinayyah Siyasah yang telah banyak membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-berkas persyaratan untuk menggapai studi strata 1 dengan sebaikbaiknya. 4. Prof. Masykuri Abdillah selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan arahan dalam proses pembuatan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diseminarkan dengan baik. 5. Dr. Hj. Isnawati Rais dan Alfitra SH. MH selaku dosen pembimbing yang telah memberikan banyak bimbingan, petunjuk dan nasehat yang berguna bagi penulis selama proses penulisan skripsi ini sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. 6. Segenap Dosen Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas menyalurkan ilmu dan pengetahuan secara ihklas dalam kegiatan belajar mengajar yang penulis jalani. 7. Kedua orang tua penulis yang membantu dengan sekuat tenaga dan pengorbanan serta doa yang bergema dalam dzikir dan tahajudnya sehingga penulis dapat menyelesaikan studi strata 1 dengan penuh semangat, Ayahanda ii terkasih (alm) E. Affendy Ch. A dan Ibunda Yulia Ismayanti S.Pd juga teruntuk kembaranku Shinta Destiyana adik-adikku Afeliani Tri Hapsari dan Amelia Rahma Putri, serta semua keluarga. 8. Mr. Sng Yong Heng yang telah pembantu penulis semangat untuk dapat menyelesaikan skripsi ini. 9. Teman-teman Program Studi Pidana Islam Angkatan 2007 yang telah menemani saya selama kuliah dan memberikan inspirasi untuk berjuang bersama dalam hidup, terutama ( Hurriyah, Ratu Ressa, Vinieska, Farhan, Rido, Novita, Azwar ) yang selalu bersedia menemani penulis baik berdiskusi maupun bertualang. 10. Teman-teman main yang selalu menemani penulis teruntuk Hastri dan Nainu. Tiada cita yang terwujud dengan sendirinya kecuali dengan pertolongan Allah SWT sehingga penulis dapat memberikan kontribusinyadalam ilmu pengetahuan. Mudah-mudahan skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya serta menjadi amal baik disisi Allah SWT. Akhirnya semoga setiap bantuan, doa, motivasi yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan dari Allah SWT. Wassalamu’alaikum Wr. Wb. Jakarta, 10 September 2011 Penulis iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR................................................................................................. i DAFTAR ISI.............................................................................................................. iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah............................................ 8 C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian................................... 10 D. Metode Penelitian........................................................................ 11 E. Sistematika Pembahasan.............................................................. 13 BAB II FAKTOR KEJIWAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA A. Sekilas Tentang Tindak Pidana 1. Pengertian tindak pidana........................................................ 15 2. Macam-macam tindak pidana................................................ 20 3. Sebab timbulnya tindak pidana.............................................. 22 4. Faktor seseorang melakukan tindak pidana........................... 24 B. Faktor Kejiwaan dan Tindak Pidana 1. Beberapa persoalan kejiwaan................................................ 30 2. Pengaruh kejiwaan terhadap pelaku tindak pidana................. 34 iv BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI VONIS HAKIM A. Tatacara Hakim Dalam Menetapkan Suatu Putusan.................... 38 B. Hal-hal Yang Mempengaruhi Vonis Hakim................................ 45 C. Dasar Pertimbangannya................................................................ 61 BAB IV PANDANGAN HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP FAKTOR KEJIWAAN DALAM PENETAPAN TINDAK PIDANA DAN VONIS HAKIM HAKIM A. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Islam.......................... 66 B. Pandangan Hukum Positif............................................................ 69 C. Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif.............. 77 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.................................................................................. 80 B. Saran-saran.................................................................................. 82 v BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pada era demokrasi saat ini di Indonesia masalah kejahatan dirasa telah mencapai tingkat yang sangat meresahkan bagi masyarakat. Kejahatan memang merupakan gejala masyarakat yang amat mengganggu ketentraman, kedamaian serta ketenangan masyarakat yang seharusnya lenyap dari muka bumi ini. Namun demikian seperti halnya siang dan malam, pagi dan sore, perempuan dan laki-laki, maka kejahatan tersebut tetap akan ada sebagai kelengkapan adanya kebaikan, kebajikan dan sebagainya. Hampir setiap hari koran maupun televisi memberitakan kasus kriminalitas yang menimpa masyarakat. Bentuknya beragam, ada perampokan, pemerasan, perampasan, penjambretan, pembunuhan, perkosaan, pencopetan, penganiayaan, dengan kata lain yang mengandung unsur pemaksaan atau kekerasan terhadap fisik ataupun harta benda korban. Tindak pidana biasanya merugikan diri sendiri maupun orang lain.1 Perkembangan dalam pendidikan masyarakat saat ini yang semakin bertambah maju di bidang ilmu perngetahuan dan teknologi, telah melahirkan berbagai kemudahan dalam kehidupan manusia. Kemudahan itu antara lain semakin dekatnya 1 Laden Merpaung, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1997), Cet Ke-1 1 2 hubungan manusia antar daerah, antar bangsa dan antar Negara, karena tersedianya berbagai media transportasi, media komunikasi, serta media informasi, juga semakin beraneka ragam tersedianya kebutuhan ekonomi manusia. Dengan bertambah majunya ilmu pengetahuan dan teknologi bertambah luas pula kehidupan manusia, karena kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu semakin banyak menyediakan macam ragam lapangan penghidupan, bertambah meningkat pula penghasilan masyarakat sehingga semakin bertambah banyak pula anggota masyarakat yang mampu memenuhi alat-alat kebutuhan hidupnya yang layak dalam kehidupan modern, baik peralatan rumah tangga, transportasi, media komunikasi dan media informasi. Kehidupan masyarakat Indonesia semakin terbuka dengan dunia luar dan semakin terbuka dengan sesamanya di dalam masyarakat itu sendiri. Semakin meningkatnya keterbukaan masyarakat Indonesia dengan dunia luar, maka semakin besar pula pengaruh ideologi, budaya, dan peradaban masyarakat dari belahan dunia lain yang lebih maju ke dalam masyarakat Indonesia.2 Secara ekonomi, persaingan hidup yang semakin memperlebar jurang perbedaan status social ekonomi seseorang dimasyarakat, yang menimbulkan orang merasa tertekan secara kejiwaan dan akhirnya mengambil jalan pintas melakukan tindak pidana pencurian, pembunuhan, perkosaan dan sebagainya, karena ia ingin hidup mapan secara instant dan cepat menjadi kaya. Begitu pula mengenai sulitnya mencari lapangan pekerjaan, membuat tingkat kejahatan semakin tinggi karena 2 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, (Jakarta : CV. Satelit Buana) 3 banyaknya pengangguran disana-sini mendorong seseorang untuk berbuat kriminal melakukan tindak pidana pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, tindak pidana khusus korupsi, terorisme, narkotika dan sebagainya, karena ia ingin memiliki penghasilan. Faktor penyebab berikutnya adalah karena minimnya keterampilan dan ilmu pengetahuan yang dimiliki tidak memadai untuk orang tersebut memperoleh keinginan yang diharapkannya, akhirnya ia melakukan tindakan bodoh yang menjurus kearah kriminal. Banyak sudut pandang yang digunakan untuk memberikan penjelasan fenomena tindak kriminal yang ada. Pada kesempatan ini penulis mencoba menjelaskan psikologis pelaku tindak pidana. Bermula dari berdirinya psikology sebagai ilmu pengetahuan dan beberapa kajian yang sebelumnya terkait dengan perilaku kriminalitas, yang menjelaskan psikologi merupakan ilmu tentang perilaku dengan pengertian bahwa perilaku atau aktivitas-aktivitas itu merupakan manifestasi kehidupan psikis.3 Penjelasan tentang pelaku kriminalitas telah diberikan oleh para ahli sejak sejarah kriminalitas tercatat. Penjelasan itu diberikan oleh filosof, ahli genetika, dokter, ahli fisika, dan sebagainya. Berbagai macam pendekatan seperti pendekatan fisik, pendekatan kepribadian, pendekatan psikoanalisis, pendekatan belajar sosial dan pendekatan kognitif, bahwa pendekatan fisik merupakan sifat dan karakteristik fisik manusia berhubungan dengan pelaku kriminal, salah satu contoh karakteristik pencuri yang biasaya berambut pendek dan dicat. Pendekatan kepribadian 3 merupakan Bimo Walgito, Pengantar Psikologi Umum, (Yogyakarta : C. V Andy Offset, 2010). 4 kecenderungan seseorang untuk melakukan tindakan criminal salah satu sampelnya adalah rendah kemampuan untuk mengontrol dirinya, orang yang cenderung pemberani, dominasi yang sangat kuat, power yang lebih, dan dorongan untuk memenuhi kebutuhan fisik yang sangat tinggi. Pendekatan psikoanalisis merupakan representasi dari “Id” yang tidak terkendalikan oleh ego dan super ego sampelnya adalah yang disebabkan oleh resolusi yang tidak baik umumnya dilakukan pada saat hilangnya ikatan cinta ibu-anak. Selanjutnya pendekatan belajar sosial merupakan peran model dalam melakukan penyimpangan yang berada di rumah, media dan subculture tertentu merupakan contoh terbentuknya perilaku criminal orang lain. Pendekatan kognitif merupakan perilaku pelaku yang memiliki fikiran yang berbeda dengan orang lain, contohnya adalah pelaku criminal seperti ahli manipulasi, liar yang kompulsif, dan orang yang tidak bisa mengendalikan dirinya.4 Hukum menetapkan apa yang harus dilakukan dan atau apa yang boleh dilakukan serta beroperasi melalui orang yang memperhatikan batas antara perbuatan yang menurut hukum dan perbuatan dan melawan hukum. Sasaran hukum yang hendak dituju bukan saja kepada orang yang nyata-nyata berbuat melawan hukum melainkan juga perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi, dan kepada alat perlengkapan negara untuk bertindak menurut hukum. Sistem bekerjanya hukum yang demikian itu merupakan salah satu bentuk penegakan hukum. Dalam hukum pidana modern 4 yang merupakan bagian dari politik kriminal disamping Suryanto, Perilaku Kriminal Ditinjau Dari Aspek Psikologis Pelaku, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. 5 penanggulangan menggunakan sistem pidana, dari usaha yang rasional menanggulangi kejahatan masih ada cara lain untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Misalnya usaha peningkatan jiwa masyarakat, yakni dengan mengadakan pengajian, pembagian sedekah maka setiap orang menjadi sadar untuk berperilaku sesuai dengan hukum, dalam upaya menyelaraskan kehidupan masyarakat karena mempertinggi tingkat kesadaran (kesehatan) jiwa manusia terhadap hukum berarti sekaligus ikut menunjang sehatnya penegakan hukum. Cesare Lombroso ialah seorang dokter yang menjadi bapak angkat para ahli hukum pidana dan kriminologi yang meletakkan dasar pemikiran hubungan antara hukum pidana dan kejahatan dengan memperhatikan faktor “manusia” pelaku kejahatan. Demikian pula Anselm Von Feuerbach juga telah memperhatikan faktor “kejiwaan” manusia dalam merumuskan hukum pidana dan penerapan sanksi pidana.5 Berbagai macam tentang adanya faktor kejiwaan, seperti kejahatan penculikan yang dilakukan oleh wanita, kejahatan pencurian atau perampokan tertentu, pembunuhan bayi, perkosaan, kejahatan sex tertentu, perbuatan kenakalan dan lainlainnya itu merupakan pelanggaran hukum yang berkaitan dengan kesehatan jiwa seseorang. Dalam upaya menanggulangi kejahatan yang dilakukan oleh seseorang dalam masyarakat terkadang para penegak hukum belum mampu mendapatkan hasil yang maksimal, misalnya dengan adanya kasus-kasus yang berkaitan dengan pemeriksaan kesehatan mental atau jiwa dari pelaku, saksi, atau pihak-pihak yang 5 Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara, 1984), Hal . 18 6 berkepentingan dengan perkara tersebut tidak memberikan keterangan yang akurat atau dalam bahasa orang awam keterangan tersebut tidak sesuai dengan yang sesungguhnya ia ketahui. Dari uraian tentang beberapa macam tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan, dapat diketahui bahwa tindak pidana berarti suatu perbuatan yang dikenai hukum pidana. Pelakunya dapat dikatakan “subjek” tindak pidana.6 Dalam hukum pidana subjektif (ius peonale) merupakan hak dari penguasa untuk mengancamkan suatu pidana kepada suatu tingkah laku sebagaimana digariskan dalam hukum pidana objektif, mengadakan penyidikan, menjatuhkan pidana, dan mewajibkan terpidana untuk melaksanakan hukuman yang dijatuhkan. Berbicara mengenai subjek tindak pidana, pikiran selanjutnya diarahkan kepada wujud perbuatan tindak pidana. Wujud dari perbuatan ini pertama-tama harus dilihat dari para perumusan tindak pidana dalam pasal-pasal tertentu dari peraturan pidana. Perumusan ini dalam bahasa belanda disebut delicts-omschrijving. Misalnya, dalam tindak pidana pencurian, perbuatan dirumuskan sebagai mengambil barang. Ini merupakan perumusan secara formal yaitu, benar- benar disebutkan dalam wujud suatu gerakan tertentu dari badan manusia. Sebaliknya perumusan secara materiil memuat penyebutan suatu akibat yang dalam pasal 338 KUHP dirumuskan sebagai mengakibatkan matinya orang lain. Perbedaan perumusan formal dan materiil tidak berarti bahwa dalam perumusan formal tidak ada suatu akibat sebagai unsur tindak 6 Wirjono. Prodjokiro, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia, (Jakarta : PT. Rafika Aditama, 2003). h. 19 7 pidana. Juga dalam tindak pidana formal selalu ada akibat yang merupakan alasan diancamkan hukuman pidana. Akibat ini adalah suatu kerugian bagi kepentingan orang lain atau kepentingan Negara. Menurut Kin‟s Zulkarnain hukum pidana subjektif merupakan hak Negara dan alat-alat perlengkapannya untuk menghukum berdasarkan aturan-aturan yang telah ditentukan dalam hukum pidana objektif atau hukuman dari Negara bila aturanaturan yang ditentukan dilanggar. Menurut Bambang Poernomo hukum pidana subjektif (ius puniendi) meliputi hukum dalam memberikan ancaman pidana, menetapkan pidana, dan melaksanakan pidana yang dibebankan kepada negara dan pejabat untuk itu.7 Dalam sejarah terbentuknya hukum nasional Indonesia, hukum Islam merupakan satu elemen pendukung selain hukum adat dan hukum barat. Hukum Islam telah turut serta memberikan kontribusi norma-norma dan nilai-nilai hukum yang berlaku didalam masyarakat Indonesia yang heterogen. Meskipun perlu disadari pula bahwa mayoritas penduduk muslim disuatu Negara tidak selalu dapat diasumsikan mayoritas dalam politik dan melaksanakan hukum Islam. Pada saat ini kecenderungan masyarakat Indonesia menunjukkan muslim ingin semakin menegaskan diri dalam arti kekuasaan politik serta aspirasi pembentukkan dan penerapan hukum didasarkan dan bersumber pada norma-norma dan nilai-nilai hukum Islam. Dalam tindak pidana memang acap kali dikaitkan dengan persoalan kematangan emosional, psikologis dan tanggung jawab. Seorang psikolog, boleh 7 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 2000) 8 dikata individu mereka yang melakukan tindak pidana adalah mereka yang masih kurang memiliki rasa tanggung jawab dalam berperilaku, kurang matang, dan cenderung melakukan perbuatan atas kemauan diri sendiri. Hal ini sangat berbeda dengan individu yang bisa mengontrol emosional, yang memiliki rasa tanggung jawab dan kecenderungan atas kepentingan umum.8 Berdasarkan permasalah tersebut maka penulis tertarik untuk menyusun skripsi yang berjudul: “ FAKTOR KEJIWAAN SEBAGAI PENDORONG PELAKU TINDAK PIDANA DAN KAITANNYA DENGAN PENJATUHAN VONIS PIDANA (ditinjau dalam Hukum Islam dan Hukum Positif)” B. Pembatasan Dan Rumusan Masalah Hukum sendiri sebenarnya sudah memberi peringatan bahwa barang siapa yang mengadakan pelanggaran hukum baik itu laki-laki ataupun wanita dapat dihukum yang sesuai dengan perbuatannya. Hal tersebut telah dijelaskan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) pasal 2, yang berbunyi sebagai berikut: “Ketentuan pidana dalam Undang-undang Indonesia berlaku bagi orang yang dalam Indonesia melakukan sesuatu perbuatan yang boleh dihukum (peristiwa pidana)”. Berdasarkan pada KUHP pasal 2 tersebut, maka hukum yang berlaku di Indonesia tidak membedakan golongan, suku, maupun jenis kelamin, baik itu pria 8 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak, (Jakarta : Prenada Media Group, 2003). Cet Ke-1 9 maupun wanita adalah sama dalam mentaati segala perundang-undangan atau hukum yang berlaku di Indonesia. Di dalam suatu perkara pidana dimana tertuduhnya disangka menderita penyakit jiwa atau terganggu jiwanya, misalnya pembunuhan, maka disini forensik psychiatry (ilmu kedokteran jiwa kehakiman) dengan foresnsik medicine (ilmu kedokteran kehakiman) mempunyai titik pertemuannya yaitu disegi hukum terutama dalam penyelesaian kasus perkara tersebut dalam forum peradilan. Untuk mendapatkan pembahasan yang lebih objektif, maka dalam skripsi ini penulis membatasi bahwa tindak pidana yang dilakukan seseorang merupakan suatu dorongan dari kejiwaan seseorang, alasan penghapus pidana dan kemampuan bertanggung jawab menurut konsep KUHP, tinjauan hukum Islam dan hukum Positif mengenai penjatuhan vonis pidana kepada seseorang yang melakukan tindak pidana atas motivasi kejiwaan. Dari pembatasan masalah diatas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor kejiwaan seseorang mempengaruhinya untuk melakukan tindak pidana? 2. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif dalam penetapan vonis atas motivasi kejiwaan pelaku? 10 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh kejiwaan sebagai pendorong pelaku tindak pidana 2. Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan Hukum pisitif dalam penetapan vonis pidanakepada pelaku tindak pidana terhadap faktor kejiwaan Sedangkan Manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini dimaksudkan agar masyarakat mengetahui seberapa besar pengaruh kejiwaan seseorang yang melakukan tindak pidana. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk menambah pengetahuan serta memperbanyak koleksi khazanah keilmuan bagi pembaca. 2. Manfaat Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya, agar berhati-hati untuk setiap adanya kejahatan dalam ruang lingkup setempat. b. Hasil penelitian ini dimaksudkan untuk mempermudah pembaca dalam memahami apa saja yang menjadi faktor pendorong seseorang untuk melakukan kejahatan atau tindak pidana. 11 D. Metode Penelitian 1. Metode Pendekatan Dalam melakukan suatu penelitian, kita tidak terlepas dari penggunaan metode, dengan metode merupakan cara atau jalan bagaimana seseorang harus bertindak. Metode dapat dirumuskan suatu tipe pemikiran yang dipergunakan dalam penelitian dan penilaian, suatu teknik yang umum bagi ilmu pengetahuan, cara tertentu untuk melaksanakan suatu perosedur.9 Jenis pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif. Metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode Deskriptif Analitis.10 Metode ini menggambarkan dan memaparkan secara sistematis tentang apa yang menjadi objek penelitian dengan data-data yang ada kemudian menganalisanya. Setelah penulis mengumpulkan data-data yang sesuai dengan tema penelitian, penulis melakukan analisa terhadap data-data tersebut kemudian mendapat kesimpulan dari data-data yang didapat. 2. Metode Pengumpulan Data Mengenai sumber data yang digunakan penulis adalah sumber data primer. Data primer ini adalah data yang diperoleh dari hasil kajian hukum terhadap perundang-undangan, yang dalam hal ini perundang-undangan 9 E. Sast Radonokusumo, Tuntutan Pidana, ( Jakarta : Siliwangi). Hal. 236. 10 Hal. 262 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta : Prenada Media Group), 2008, 12 sebagai acuan utama untuk membatasi permasalahan yang dihadapi. 11 Dalam hal ini adalah buku-buku, majalah-majalah, dan literatur-literatur lainnya yang berhubungan dengan penulisan skripsi ini. Setelah data-data terkumpul, kemudian penulis mengolah dan menganalisa data tersebut dengan menggunakan metode. Penulis menggunakan metode Deduktif, yang diartikan bahwa penulis mengambil dari data yang umum kemudian penulis menarik kesimpulannya, penulispun membandingkan data yang di peroleh dari beberapa sumber kedalam hukum Islam dan hukum positif. 12 Dalam teknik kualitatif, model penyajian yang khas adalah dalam bentuk teks naratif.13 Dengan melakukan analisis terhadap sumber dan materi hukum pidana Islam diterapkan pendekatan teoritis-filosofis (pendekatan ushul fiqh, al qawaidh al fiqhiyyah dan maqasidu al syari‟ah). Sedangkan dalam melakukan analisis terhadap hukum pidana melalui materi perundangundangan khusus dan doktrin hukum pidana, diterapkan pendekatan normatifdoktriner dengan memanfaarkan model-model interpretasi hukum. Dalam melakukan analisis diterapkan pula pola berfikir logika-dialektis dalam format tesis-antitesis-sintesis, sehingga diperoleh pemahaman/pemikiran yang padu dan komprehensif. 11 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum., (Jakarta:UI- Press. 1986). Cet, Ke-3 12 Meleong, Lexy J., Metode penelitian kualitatif, (Bandung: Remaja Karya, 2002) 13 Matthew B. Miles dan A Michael Huberman, Analisis data kualitatif: Buku Sumber Tentang Metode-Metode Baru, terj.Tjetjep Rohendi Rohidi, (Jakarta; UI Press, 1992), hlm. 137 13 E. Sistematika Pembahasan Dalam penulisan penelitian ini, sama halnya dengan sistematika penulisan pada penelitian-penelitian lainnya, yaitu dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. Untuk lebih jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut : BAB I Merupakan bab pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, penelitian dan manfaat penelitian, metode tujuan penelitian, sistematika pembahasan, daftar pustaka sementara. BAB II Faktor kejiwaan dan hubungannya dengan tindak pidana, yang terdiri dari lima sub bab. Yang pertama, pengertian tindak pidana. Kedua, sebab timbulnya tindak pidana. Ketiga, faktor seseorang melakukan tindak pidana. Keempat bentuk-bentuk penyimpangan. Kelima, akibat penyimpangan kejiwaan BAB III Faktor-faktor yang mempengaruhi penetapan vonis Hakim, ada tiga sub bab. Yang pertama, tugas hakim. Kedua, tatacara menetapkan putusan. Ketiga, ketidakmampuan bertanggung jawab 14 BAB IV Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap faktor yang mempengaruhi putusan hakim. Ada tiga sub bab. Yang pertama, pandangan dalam hukum Islam. Kedua, pandangan dalam hukum positif. Ketiga, perbandingan hukum Islam dan hukum positif. BAB V Penutup Sebagai bab terakhir, bab ini hanya terdiri dari kesimpulan serta saran-saran BAB II FAKTOR KEJIWAAN DAN HUBUNGANNYA DENGAN TINDAK PIDANA A. Sekilas Tentang Tindak Pidana Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, yang dibentuk oleh kesadaran dalam memberikan ciri tertentu dalam peristiwa hukum pidana. Di dalam perundang-undangan, dipakai istilah perbuatan pidana (di dalam undang undang Darurat no 1 tahun 1951), peristiwa pidana (di dalam konstitusi RIS maupun UUDS 1950), dan tindak pidana (di dalam undang-undang pemberantasan korupsi, narkotika, suap, ekonomi, dan lainlain yang sering juga disebut delict). Di dalam bahasa Belanda dipakai dua istilah. Kadang-kadang dipakai istilah strafbaar feit, kadang-kadang juga pakai istilah delict. Di dalam Bahasa Indonesia ada beberapa terjemahan dari strafbaar feit itu, yaitu peristiwa pidana dan perbuatan yang dapat dihukum. Tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dikenai hukuman pidana. Prof. Moeljiatno, S.H. merumuskan perbuatan pidana dengan suatu perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana melanggar larangan tersebut dan dapat juga dikatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh suatu aturan hukum, namun perlu diingat bahwa larangan ditujukan pada 15 16 perbuatannya (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang), sedangkan ancaman pidana ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.14 Di dalam hukum Islam, tindak pidana dikenal dengan istilah “Jinayah” atau “Jarimah” pengertian jinayah yang digunakan para fuqaha adalah sama dengan istilah jarimah, yang didefinisikan sebagai larangan-larangan hukum yang diberikan Allah yang pelanggarnya dikenakan hukuman baik berupa hal maupun ta‟zir.15 Para ahli hukum Islam. Jinayah adalah sinonim dengan kata kejahatan. Namun di Mesir, istilah ini memiliki konotasi yang berbeda. Ia diterapkan untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman mati, kerja paksa seumur hidup atau penjara. Dengan kata lain hanya ditujukan bagi kejahatan-kejahatan berat. Sementara syariah memerlukan setiap kejahatan sebagai jinayah.16 Hukum pidana Islam dalam artinya yang khusus membicarakan tentang satu persatu perbuatan beserta unsur-unsurnya yang berbentuk jarimah dibagi tiga golongan, yaitu golongan hudud yaitu golongan yang diancam dengan hukuman had, golongan kisas dan diyat yaitu golongan yang diancam dengan hukuman kisas dan diyat, golongan ta‟zir yaitu golongan yang diancam dengan hukuman ta‟zir.17 14 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung : Pustaka Setia, 2000), h. 51 15 Abdul Qadir Audah, At Tasyri Al Islami, (Beirut : Ar Risalah, 1998), Cet. 14. h. 66 16 Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam, (Bandung : As Syamil, 2001), Cet. 2. h. 132-133 17 Ahmad hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 1995), Cet. 7. h. 48 17 Jarimah hudud terbagi kepada tujuh macam jarimah,antara lain : Jarimah zina, jarimah qadhaf, jarimah syarb al khamr, jarimah pencurian, jarimah hirabah, jarimah riddah dan jarimah pemberontakan. Sedangkan jarimah kisas dan diyat terbagi dalam dua macam yakni pembunuhan dan penganiayaan, namun apabila diperluas jumlahnya terbagi menjadi lima macam yaitu pembunuhan sengaja, pembunuhan menyerupai sengaja, pembunuhan karena kesalahan, penganiayaan sengaja dam penganiayaan tidak sengaja. Selain dari kedua golongan jarimah tersebut termasuk golongan ta‟zir. Jarimah-jarimah ta‟zir tidak ditentukan satu persatunya, sebab penentuan macammacam jarimah ta‟zir diserahkan kepada penguasa Negara pada suatu masa, dengan disesuaikan kepada kepentingan yang ada padaa waktu itu. Pengertian ta‟zir menurut bahasa adalah menolak dan mencegah, sedangkan menurut istilah adalah hukuman-hukuman yang ketentuan hukumnya tidak terdapat dalam nash syariat secara jelas dan diserahkan kepada ulil amri atau ijtihad hakim.18 Adapun mengenai jarimah ta‟zir, dilihat dari segi sifatnya terbagi kepada tiga bagian, yakni ta‟zir karena telah melakukan perbuatan maksiat, ta‟zir karena telah melakukan perbuatan merugikan atau membahayakan kepentingan umum, dan ta‟zir karena melakukan suatu pelanggaran. 18 Muhammad Abu Zahra, Al Jarimah Wal „Uqubah Fil Islami, (Kairo : Dar Al Fikr Al Arabi, 1998), h. 57 18 Di samping itu, apabila dilihat dari segi dasar hukum (penetapannya), maka ta‟zir dapat dibagi atas tiga golongan, yaitu : 1. Golongan jarimah ta‟zir yang berasal dari jarimah-jarimah hudud dan kisas, akan tetapi syarat-syaratnya tidak terpenuhi atau terdapat syubhat, seperti pencurian yang tidak mencapai nisab, atau pencurian yang dilakukan oleh keluarganya sendiri. 2. Golongan jarimah ta‟zir yang jenisnya terdapat di dalam nash syara, akan tetapi hukumannya belum ditetapkan, seperti riba, suap (risywah) dan mengurangi takaran atau timbangan. 3. Golongan jarimah ta‟zir yang jenis dan hukumannya belum ditentukan oleh syara‟. Dalam hal ini diserahkan sepenuhnya kepada Ulil Amri untuk menentukannya, seperti pelanggaran disiplin pegawai pemerintah. Abdul Azis Amir, seperti yang dikutip dari buku Wardi Muslich yang berjudul Hukum Pidana Islam, membagi jarimah ta‟zir secara rinci kepada beberapa bagian, yaitu :19 1. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan pembunuhan. 2. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan pelukaan. 3. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan kejahatan terhadap kehormatan dan kerusakan akhlak. 4. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan harta. 19 Muhammad Abu Zahrah, al Jarimah Wal „Uqubah al Fiqh Al islami, (Kairo : Dar Al Fikr Al Arabi, 1998), h. 225-226 19 5. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan kemaslahatan individu. 6. Jarimah ta‟zir yang berkaitan dengan keamanan umun. Kejahatan yang berkaitan dengan ekonomi seperti penimbunan bahan pokok, mengurangi timbangan dan takaran, dan menaikkan harga dengan semena-mena. Dalam pidana Islam dijelskan tentang pembebasan seseorang dengan hasil (akibat) perbuatan atau tidak ada perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana ia mengetahui maksud-maksud dan akibat dari perbuatannya itu.20 Dalam syari‟at Islam pertanggung jawaban itu didasarkan pada tiga hal yaitu: Kesatu, adanya perbuatan yang dilarang. Kedua, perbuatan tindak pidana itu dikerjakan dengan kemauan sendiri. Ketiga, pelaku tindak pidana mengetahui akibat perbuatan itu. Pembebasan jawaban ini didasarkan pada al-qur‟an dalam surat an-nahl ayat 106 disebutkan tentang orang yang dipaksa Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah Dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir Padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar. Penjelasan dari ayat di atas bahwasannya bagi umat Allah yang kafir kepadaNya padahal ia sudah beriman, kecuali jika ia dipaksa untuk kafir padahal ia tetap 20 Ahmad Hanafi, Asas-asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan bintang. 2005), h. 119 20 beriman ke pada Allah maka tidak berdosa baginya, tetapi jika ia melapangkan dan berusa untuk kafir pada Allah, maka azab yang menimpa sangat besar baginya. Sebagaimana kita ketahui, sifat-sifat hasud, iri, cepat marah, atau terlalu banyak berangan-angan adalah sifat-sifat yang buruk dan merupakan sumber dari berbagai tekanan jiwa. Betapa banyak manusia yang menderita stress, depresi, atau penyakit kejiwaan lain sebagai akibat dari rasa iri dan hasudnya kepada orang lain. Bila seorang manusia berhasil mendeteksi adanya sifat-sifat buruk ini dalam dirinya, ia dapat mengobati penyakit kejiwaan yang menimpanya dengan cara menghilangkan sifat-sifat buruk ini. Seperti dalam qur‟an surat As Sajadah ayat 15 yang berbunyi: Artinya: Sesungguhnya orang yang benar benar percaya kepada ayat ayat Kami adalah mereka yang apabila diperingatkan dengan ayat ayat itu mereka segera bersujud[1192] seraya bertasbih dan memuji Rabbnya, dan lagi pula mereka tidaklah sombong. Dalam penjelasan ayat di atas yang mengandung dan yang terkat tentang adanya berbagai tekanan kejiwaan hendaklah mereka kembali bersujud dan bertasbih kepada Allah. Selain itu, agama Islam juga memberikan ajaran yang akan mencegah manusia tertimpa berbagai penyakit kejiwaan. Al-Quran dalam surat Al An‟am ayat 82 mengatakan: 21 Artinya: Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. Penjelasan ayat di atas mengkaitkan untuk melindungi diri agar tidak tertimpa penyakit kejiwaan seperti stress, depresi, atau bahkan penyimpangan perilaku, manusia harus tetap teguh memegang iman dan tidak melakukan berbagai perbuatan yang dilarang oleh agama.21 c. Macam-macam tindak pidana Suatu kejahatan yang merupakan delik hukum apabila perbuatan itu bertentangan dengan asas-asas hukum yang ada dalam kesadaran hukum dari rakyat, terlepas dari apakah asas-asas hukum tersebut dicantumkan atau tidak dalam undang-undang pidana. Rechtdelictum adalah perbuatan dalam keinsyafan batin manusia yang dirasakan sebagai perbuatan tidak adil menurut undangundang dan perbuatan tidak adil menurut asas-asas hukum yang tidak dicantumkan secara tegas dalam undang-undang pidana. Misalnya kejahatan yang telah ditentukan dalam undang- undang hukum pidana mengenai kejahatan terhadap yang ditentukan oleh pasal 338 KUHP yang berbunyi: ” Barang siapa yang sengaja merampas nyawa orang lain diancam karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama 15 tahun.” 21 http: tinjauan dari segi Islam. Hari Jum‟at, 22 April 2011. 22 Macam- macam kejahatan dalam KUHP kita yang terdapat dalam buku kedua adalah yang berkenaan sebagai berikut: 1. Kejahatan terhadap keamanan negara. 2. Kejahatan terhadap martabat presiden dan wakil presiden. 3. Kejahatan terhadap negara sahabat, kepala negara sahabat, dan wakilnya. 4. Kejahatan terhadap kewajiban dan hak kenegaraan. 5. Kejahatan terhadap ketertiban umum. 6. Kejahatan yang membahayakan keamanan negara bagi orang atau barang. 7. Kejahatan terhadap penguasa umum. 8. Kejahatan sumpah palsu dan keterangan palsu. 9. Kejahatan pemalsuan mata uang dan uang kertas. 10. Kejahatan pemalsuan materai dan perak. 11. Kejahatan pemalsuan surat. 12. Kejahatan terhadap asal usul dan perkawinan. 13. Kejahatan terhadap kesusilaan. 14. Kejahatan yang meninggalkan orang yang memerlukan pertolongan. 15. Kejahatan penghinaan. 16. Kejahatan membuka rahasia. 17. Kejahatan terhadap nyawa. 18. Kejahatan penganiayaan. 19. Kejahatan menyebabkan mati atau luka karena kealpaan. 23 20. Kejahatan terhadap pencurian. 21. Kejahatan terhadap pemerasan dan pengancaman. 22. Kejahatan penggelapan. 23. Kejahatan perbuatan curang. 24. Kejahatan perbuatan merugikan pemihutang atau orang yang mempunyai hak. 25. Kejahatan menghancurkan atau merusakkan barang. 26. Kejahatan jabatan. 27. Kejahatan pelayaran. 28. Kejahatan penadahan penerbitan dan percetakan. 29. Aturan tentang kejahatan yang bersangkutan dengan berbagai Bab. Itulah beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dicantumkan dalam KUHP kita, tetapi banyak kejahatan-kejahatan yang diatur di luar KUHP, yang tercantum dalam perundang-undangan lainnya. Seperti undang-undang Tindak Pidana Narkotika, undang-undang Pajak, undang-undang Tindak Pidana Perbankan, dan lainlain.22 22 Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2000. Hal : 58 24 d. Sebab-sebab Timbulnya Tindak Pidana Sebab musabab kejahatan menurut penggolongan Paul Mudikno Moeliono mengemukakan ada empat golongan.23 Pertama, golongan salahmu sendiri. Golongan salahmu sendiri adalah golongan yang berpendapat bahwa kejahatan adalah ekspresi (pernyataan) kemauan jahat yang terdapat pada diri si petindak sendiri. Jadi, menurut ajaran golongan ini sebab kejahatannya timbul dari kemauan si petindak sendiri. Maka konsekuensinya, bila kamu berbuat kejahatan salahmu sendiri. Masyarakat dan pihak lain sama sekali lepas dari pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatankejahatan dalam masyarakat yang dilakukan oleh anggotanya. Perlu diketahui bahwa masyarakat dalam timbulnya kejahatan berusaha melepaskan diri (cuci tangan) dari pertanggungjawaban atas timbulnya kejahatan dengan cara pengambinghitaman terhadap orang-orang tertentu yang dicap sebagai penjahat, yaitu mereka yang menghadapi kelemahan pada kondisi pribadi. Sikap ini merupakan suatu perbuatan yang egoistis yang akan cuci tangan melalui kesalahan orang lain, dan orang yang kebetulan melakukan kejahatan akan ditimbuni beban, baik dosa perbuatannya maupun dosa orang-orang lain yang dilemparkan kepadanya. Kedua, golongan tiada orang salah. Golongan ini menyebutkan bahwa kejahatan adalah ekspresi manusia yang dilakukan tanpa ekspresi. Golongan ini merupakan perlawanan terhadap golongan salahmu sendiri, sebab golongan tiada 23 Soerdjono Dirdjosisworo. Pengantar Penelitian Kriminologi”. (Bandung : CV Remaja Karya. 2005). Hal. 87-113 25 orang salah, otang itu tidak dapat dipersalahkan dan tidak dapat dipidana. Golongan tiada orang salah, membebaskan diri dari pertanggungjawaban atas kesalahannya. Ketiga, golongan salah lingkungan. Golongan ini menyanggah pendapat Lambroso dan para pendukungnya. Menurut golongan ini bukan bakat yang menyebabkan kejahatan tetapi lingkungan. Die welt ist mehr shuld anmir, as ich (Dunia lebih bertanggung jawab terhadap bagaimana jadinya saya dari pada diri saya sendiri). Pengertian Die Welt adalah lingkungan, maka lingkungan lebih menentukan jadinya seseorang dari pada orang itu sendiri. Dengan demikian segala persoalan dikembalikan kepada faktor lingkungan, juga sebab musabab kejahatan berasal dari lingkungan pergaulan sekalipun aspek lingkungan berbeda-beda satu sama lain. Tetapi jelas golongan ini menentang pendapat yang menyatakan bahwa kejahatan adalah diwariskan. Keempat, golongan kombinasi. Golongan ini merupakan kombinasi dari ajaran-ajaran terdahulu. Dalam penggolongan Bonger dikemukakan golongan kombinasi bio sosiologi atau menurut Noach dalam buku-buku kriminologi adalah golongan bakat dan lingkungan, yang merupakan kombinasi, sebab kejahatan bersumber pada diri pribadi (individu) dan faktor lingkungan pergaulan hidupnya. e. Faktor Seseorang Melakukan Tindak Pidana Tidak ada satupun faktor tunggal yang menjadi penyebab dan penjelas semua bentuk kriminalitas. Bagi pelaku tindak pidana ada beberapa faktor yang mempengaruhi adanya tindak pidana, yaitu faktor ekonomi, faktor lingkungan dan 26 faktor pendidikan. Pada faktor ekonomi, seseorang dituntut untuk memperoleh kehidupan yang layak dengan cara singkat. Pada persoalan hubungan antara kejahatan dan pengangguran, yaitu analisa tentang hubungan antara tindak kejahatan sebagai penyebab dan pengangguran seseorang sebagai akibatnya. Granovetter telah membuat suatu analisa kausalitas hubungan antara kejahatan dan pengangguran dengan menempatkan kejahatan sebagai proximat determinant terhadap pengangguran. Konsep ini merupakan suatu jawaban terhadap model ekonomis dari suatu pengangguran, yang sama seperti model heterogenitas kriminal. Granovetter mengatakan masa pengangguran yang lama yang dialami seseorang biasanya disebabkan karena lemah pada awalnya, dan itu akan membuatnya sulit dalam kontak-kontak untuk mendapatkan kerja.24 Faktor lingkungan penyebab seseorang melakukan kejahatan. Dapat timbul dari faktor lingkungan dimana ia hidup dan berkediaman. Lingkungan dapat mempengaruhi perkembangan diri seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan suatu kejahatan. Faktor lingkungan merupakan faktor yang dominan untuk menentukan seseorang melakukan suatu kejahatan, sehingga tidak menjadi jaminan bahwa seseorang yang hidup dalam lingkungan yang baik, untuk tidak melakukan kejahatan, oleh karena itu harus disesuaikan dengan iptek dan imtak (seimbang). sehingga tidak mudah terpengaruh dengan lingkungan masyarakat tersebut. 24 Soerdhono Dirdjosisworo, Pengantar Penenelitian Kriminologi, (Bandung : CV. Remaja Karya, 1984) 27 Faktor pendidikan, pertanyaan soal darimana sumbernya dan munculnya ada tendensi manusia berbuat jahat dan darimana datangnya kejahatan itu, sudah menjadi satu perdebatan yang panjang dan rumit adanya. Kejahatan timbul akibat manusia hidup di dalam kemiskinan dan kebodohan. Maka menurut mereka, dunia akan menjadi lebih baik jika dua hal ini diperbaiki, yaitu faktor pendidikan dan faktor kesejahteraan hidup diperbaiki. Jika faktor pendidikan diperbaiki, jika orang lebih tinggi edukasinya, jika orang diajarkan hal-hal yang baik di dalam kehidupannya, maka dengan sendirinya meminimalkan segala pelanggaran di dalam dunia ini. Optimisme kedua adalah kalau orang itu mendapatkan makanan dan kesejahteraan hidup semakin dipelihara baik, kesenjangan antara kaya dan miskin tidak ada lagi, maka dengan sendirinya dunia akan lebih baik, kita akan hidup seperti saudara satu sama lain, dan lama-lama dunia ini tidak lagi memiliki faktor kejahatan. Justru makin tingginya pendidikan seseorang, makin kayanya seseorang, makin mudah bagi mereka melakukan kejahatan di dalam dunia ini. Cuma bedanya, yang bodoh gampang ketahuan dan ketangkap, yang pintar bukan saja tidak mengaku dia melakukan kesalahan, yang menangkapnya malah dipersalahkan.25 Dengan pengertian dari beberapa faktor tindakan kejahatan atas motivasi kejiwaan cara menangani perilaku kriminalitas yang tidak mungkin bisa hilang dari muka bumi ini. Cara penanganannya bisa dikurangi. Pertama, melalui tindakantindakan pencegahan dengan hukuman yang menjadi sarana utama untuk memebuat 25 Soerdhono Dirdjosisworo, Pengantar Penenelitian Kriminologi, (Bandung : CV. Remaja Karya, 1984) 28 jera pelaku kriminal. Kedua, penghilang model melalui tanyangan media masa ibarat dua sisi mata pisau, ditayangkan nanti penjahat tambah ahli tidak ditayangkan masyarakat tidak siap-siap. Ketiga, membatasi kesempatan seseorang bisa mencegah terjadinya tindakan kriminal dengan membatasi munculnya kesempatan untuk mencuri akan lewat pintu masuk dan kita sudah menguncinya, tentunya cara itu termasuk mengurangi kesempatan untuk mencuri. Keempat, jaga diri dengan keterampilan beladiri dan beberapa persiapan lain sebelum terjadinya tindak kriminal bisa dilakukan oleh warga masyarakat.26 B. Faktor Kejiwaan dan Tindak Pidana Kejiwaan menurut Sarlito Wirawan Sarsono adalah tingkat kecerdasan seseorang, sifat dan perilaku serta kepribadian seperti emosi, adaptasi dan minatnya terhadap sesuatu. Pembentukan kejiwaan dimulai sejak seseorang terlahir ke dunia.27 Tiap-tiap individu telah membawa bibit-bibit sifat dari dalam diri yang sepanjang proses kehidupannya akan senantiasa berkembang menjadi kejiwaan tertentu. Selama proses itu, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya. Diantaranya pengalama dan cara menghadapinya sesuai tingkat kesadaran atau usia, periode dalam menghadapi suatu masalah. Kondisi mental dan fisik, dan bentuk tekanan yang diterimanya. Bibit sifat dan faktor yang mempengaruhinya akan menyatu dan membentuk sifat dan mental yang 26 Suryanto, Cara Penanganan Perilaku Kriminalitas, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga 27 Anne Ahira. “Pembentuk Kepribadian Seseorang”. Bandung 29 kuat, akhlak, serta jiwa yang dipelajari berdasarkan ilmu psikologi. psikologi adalah ilmu yang mempelajari tentang kejiwaan seseorang. Pendekatan psikologi meliputi observasi. Untuk bisa memahami psikologi seseorang hal paling utama yang perlu kita lakukan adalah mengamati bagaimana cara ia bersikap di depan orang lain, caranya duduk, dan pandangannya terhadap sesuatu. Psikologi kepribadian sangat erat kaitannya dengan psikologi kejiwaan. Kepribadian adalah cerminan dari kejiwaan seseorang. Seseorang akan mengenal kepribadian dan jati dirinya dalam hal beradaptasi dengan orang lain. Dari situlah orang lain bisa menilai seperti apa orang tersebut.28 Hal yang mempengaruhi kejiwaan, sebagian besar manusia mengalami penyakit kejiwaan, karena sebagian orang merasa cemas, takut, frustasi, gelisah dalam menghadapi masa depan atau sesuatu yang belum jelas, dan ada juga yang sering merasa kesepian walau memiliki banyak harta dan keluarganya. Kemajuan dan pertumbuhan yang begitu cepat Belakangan ini kita melihat dunia berjalan begitu pesat. Segala sesuatu bergerak cepat dan alat-alat yang serba cepat, seperti mobil, pesawat, dan alat-alat yang dapat bekerja cepat seperti halnya makanan yang cepat saji yang tidak memiliki nilai gizi yang dapat memicu kanker dan obesitas, Amatilah kehidupan di sekitar anda: semua berjalan begitu cepat, bukan 28 Anne Ahira. “Pembentuk Kepribadian Seseorang”. Bandung 30 berarti kecepatan tidak bermanfaat, tapi kecepatan juga menjadi salah satu penyebab kecemasan, ketakutan, dan kegelisahan yang sangat mempengaruhi kondisi kejiwaan. Perubahan, segala sesuatu berubah secepat perputaran dunia karena sewaktu di tahun 60-90 an barang atau jasa yang merajai pasar dunia.tetapi sekarang, perubahan terus terjadi setiap jam sampai 6 bulan kemudian dan biasanya segala jenis hal-hal yang ada di dunia berubah dengan sangat cepat, kondisi ini memang memiliki nilai positif, namun di sisi lain, mengambil keputusan jadi lebih sulit dengan seiringnya perubahan dan juga perubahan yang membuat orang jadi lebih sulit dengan seiringnya perubahan dan juga perubahan yang membuat orang sulit mencari kerja karena tidak mampu menggunakan alat elektronik baru. Jadi, perubahan dan kecepatan menjadi penyebab seseorang terdepak dari tempat yang nyaman dan aman. Eksistensi diri dan keberlangsungan hidup terancam. Ia akan cemas,takut, dan mengalami stres berat. Persaingan persaingan ketat yang di sebabkan perubahan dan kecepatan itu.pada tahun 1964, universitas Harvard melakukan penelitian tentang perubahan kecepatan dan persaingan. Kesimpualannya, dunia akan menyaksikan perubahan besar-besaran yang belum terlihat sebelumnya sehingga persaingan terjadi begitu ketat. Jika seseorang tidak dapat cepat menyesuaikan diri dengan kecepatan yang mewarnai dunia dan tidak segera beradaptasi dengan perubahan besar-besaran ini, dan tidak kreatif dalam memberikan sesuatu yang baru serta berbeda maka ia akan tertinggal di segala bidang, dalam kepribadian hal ini melahirkan penyakit kejiwaan dan penyakit fisik, seperti meningkatnya tekanan darah, diabetes dan jantung. 31 Kehilangan semangat, hilang semangat adalah kondisi jiwa yang sering kita alami dari waktu ke waktu. Kondisi ini emmbuat kita enggan melakukan sesuatu, meski sederhana. Hal ini merasa perbuatannya tidak berguna, kehilangan semangat menyebabkan kehilangan banyaknya kesempatan, dan juga orang-orang yang kehilangan semangat biasanya melakukan hal-hal yang berlebihan tanpa di sadari. makan mesti tidak lapar, menonton tv terus-menerus sehingga tidak memikirkan apaapa. Adapula yang merokok, minum-miniman keras dan mengkonsumsi narkoba. Hal-hal ini negatif sebenarnya dan semua ini mempengaruhi kondisi kejiwaan kita dan menyebabkan stress, cemas, takut, gelisah, frustasi, dsb.\ Desakan internal, hal ini berasal dari ketergantungan akan sesuatu dan hal lainnya seperti merokok, minuman keras, dan mengkonsumsi narkoba. Teapi kebanyakan orang ketergantungan akan rokok yaitu jika tidak akan di lakukan akan membuat anda merasakan seperti kehilangan selera, tidak bergairah dalam melakukan sesuatu, dan sebagainya. Hal ini salah satu faktor kejiwaan yang negatif karena ketergantungan pada hal-hal yang kurang bermanfaat. Akan tetapi, semua hal ini bersumber dari pikiran anda. Jadi, pintar-pintarlah untuk mengembangkan pikiran-pikiran yang positif agar dapat mengembalikan kestabilan jiwa dan hal ini telah di setujui 75 % perguruan tinggi dunia bahwa penyakit kejiwaan di sebabkan oleh pikiran.29 29 http://id.shvoong.com/social-sciences/psychology/2031125-hal-yang-mempengaruhikondisi-kejiwaan/#ixzz1VotGzp5z (artikel ini Diakses Pada 23 Agustus 2011) 32 1. Beberapa persoalan kejiwaan Bahwa Tindak kejahatan secara garis besar tergantung tingkat kejiwaan seseorang, maka dengan faktor kejiwaannya itu seseorang bisa melakukan kejahatan, dengan kata lain seseorang bisa di vonis dengan tingkat kejiwaannya, baik yang disengaja maupun tidak disengaja. Memang kalau dilihat sepintas pada saat moment terjadinya kejahatan yang merugikan orang lain, dalam banyak hal bersifat khusus dan sangat situasional. Biasanya kondisi dari pelaku adalah sedang tertekan, stress, atau sedang kalap akibat tidak kuat menanggung tekanan atau beban sosial tertentu yang sedang dihadapinya.30 Dalam kajian yang lain menyangkut tindak kriminalitas orang tua terhadap anaknya. Yang mengemukakan orang tua yang biasanya melakukan tindak kekerasan atau penganiayaan terhadap anaknya adalah orang tua yang memiliki ciri sebagagi berikut. Pertama, secara emosional belum matang. Orang tua yang termasuk pada ciri ini umumnya bersifat kekanak-kanakan dan menikah sebelum mencapai usia sesuai dengan tanggung jawab yang harus diemban sebagai orang tua. Seringkali orang tua merasa tidak senang dengan kehadiran anak dengan memaksa anak untuk memikul beban peranan orang tua dimana sesungguhnya anak belum waktunya untuk melakukannya. Kedua, menderita gangguan emosional. Kebanyakan dari orang tua ini tidak 30 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak., (Jakarta: Kencana, 1974), Cet, ke-1 33 memiliki cara pengasuhan dan latar belakang yang baik, sehingga tidak memiliki bekal sebagai orang tua yang bertanggung jawab. Ketiga, secara mental tidak sempurna. Pada golongan ini orang tua sulit untuk melakukan adaptasi dan menerima anak-anaknya. Dengan masalah mental yang dihadapi mereka tidak tahu apa yang harus dilakukan dan bagaimana seharusnya berfikir. Keempat, orang tua yang selalu berpegang pada disiplin. Orang tua pada tipe ini beranggapan bahwa memukul dan menghajar adalah sesuatu yang wajar untuk mendisiplinkan anaknya. Mereka menganggap bahwa hukuman fisik adalah cara yang wajar untuk mendidik anak dan merupakan cara yang sangat efektif. Kelima, orang tua yang memiliki sifat sadisme dan berperilaku kriminal. Meskipun orang tua yang masuk golongan ini kecil jumlahnya, tetapi perlu juga diwaspadai. Biasanya orang tua tipe ini suka memukul, menyiksa, dan kadangkala membunuh anaknya untuk kepuasan pribadinya. Keenam, pecandu minuman beralkohol, orang tua yang kecanduan minuman keras atau minuman beralkohol meski tidak bermaksud untuk melakukan tindak kekerasan pada anak-anaknya, tetapi karena pengaruh minuman tersebut justru hal sebaliknya akan terjadi. 31 Untuk itu setiap tindak kejahatan yang dilakukan seseorang pasti mempunyai niat tertentu, seperti yang telah kita ketahui mereka yang berbuat kejahatan terhadap orang lain pasti menguntungkan diri sendiri, baik dalam 31 Bagong Suyanto, Masalah Sosial Anak., (Jakarta: Kencana, 1974), Cet, ke-1, hal 37-39 34 suatu korporasi maupun tidak dalam satuan korporasi. Dalam segi pengembangan ilmu pengetahuan bisa dikatakan sebagai ilmu jiwa disebut psikology, yang merupakan ilmu mengenai jiwa, maka persoalan yang pertama-tama timbul ialah apa yang dimaksud oleh jiwa itu.32 dan dalam psikologipun ada yang khusus membahas tentang kejahatan atau kriminalitas yang disebut psikologi kriminal.33 Mengenai jawaban tentang yang dimaksud oleh jiwa adalah kekuatan yang menyebabkan hidupnya manusia, serta menyebabkan manusia dapat berfikir, berperasaan dan berkehendak. Lagi pula menyebabkan orang mengerti atau insyaf akan segala gerak jiwanya. Skinner membedakan pelaku atas : 1) Perilaku yang alami (innate behavior) yang kemudian disebut juga sebagai respondent behavior, yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang jelas. 2) Perilaku operan (operant behavior) yaitu perilaku yang ditimbulkan oleh stimulus yang tidak diketahui, tetapi semata-mata ditimbulkan oleh organisme itu sendiri. Perilaku operan belum tentu didahului oleh stimulus dari luar.34 32 Bimo Walgito, Pengantar Psikology Umum,. (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 1974) Cet, ke-5. h. 3 33 Bimo Walgito, Pengantar Psikology Umum, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 1974), Cet, ke-5. h. 25 34 ke-5. h. 80 Bimo Walgito, Pengantar Psikology Umum, (Yogyakarta: C.V Andi Offset, 1974), Cet, 35 Penyimpangan kejiwaan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu dilihat berdasarkan kadar penyimpangannya dan dilihat berdasarkan pelaku penyimpangannya. Penyimpangan primer disebut juga penyimpangan ringan. Para pelaku penyimpangan ini umumnya tidak menyadari bahwa dirinya melakukan penyimpangan. Penyimpangan primer dilakukan tidak secara terus menerus (insidental saja) dan pada umumnya tidak begitu merugikan orang lain, misalnya mabuk saat pesta, mencoret-coret tembok tetangga, ataupun balapan liar di jalan. Penyimpangan jenis ini bersifat sementara (temporer), maka orang yang melakukan penyimpangan primer, masih dapat diterima oleh masyarakat. Penyimpangan sekunder disebut juga penyimpangan berat. Umumnya perilaku penyimpangan dilakukan oleh seseorang secara berulangulang dan terus menerus meskipun pelakunya sudah dikenai sanksi. Bentuk penyimpangan ini mengarah pada tindak kriminal, seperti pembunuhan, perampokan, dan pencurian. Penyimpangan jenis ini sangat merugikan orang lain, sehingga pelakunya dapat dikenai sanksi hukum atau pidana. 2. Pengaruh kejiwaan terhada pelaku tindak pidana Setelah membahas tentang faktor kejiwaan dan hubungannya dengan tindak pidana, baik sebab maupun pencegahannya dan bentuk penyimpangan kejiwaan sampai akhirnya kita ketahui bahwa dengan menyimpangnya kejiwaan seseorang menimbulkan tindak pidana, yang tentunya merugikan orang lain. 36 Sebagian besar dari orang-orang yang melakukan tindak pidana dengan tekanan dari dalam diri sendiri, dengan perencanaan, dengan kesengajaan untuk memuaskan diri sendiri dan dengan tidak sengaja melakukan tindak kejahatan. Dari beberapa faktor dengan kurangnya ilmu pengetahuan dan minimnya lapangan kerja yang membuat kejiwaan mereka semakin tinggi emosional untuk melakukan tindak pidana apapun. Dalam psikologi kaitannya sangat erat karena mereka tidak menerima kebenaran serta kenyataan hidup. Untuk penjatuhan vonis pidananya pun harus dilihat bagaimana kejiwaan seseorang itu, oleh karena itu setiap terpidana sebelum ia menjadi terdakwa harus ada pemeriksaan psikologi tentang sadar atau tidaknya orang tersebut melakukan tindak pidana. Mereka yang melakukan tindak pidana itu sebenarnya banyak berdampak pada diri sendiri. Berbagai bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan oleh seseorang akan memberikan dampak bagi si pelaku. Berikut ini beberapa dampak yaitu; Memberikan pengaruh psikologis atau penderitaan kejiwaan serta tekanan mental terhadap pelaku karena akan dikucilkan dari kehidupan masyarakat, dapat menghancurkan masa penyimpangan, dapat menjauhkan diri dari Tuhan,dan depan pelaku perbuatan tindak pidana yang dilakukan dapat mencelakakan dirinya sendiri. Perilaku penyimpangan juga membawa dampak bagi orang lain atau kehidupan masyarakat pada umumnya. Beberapa di antaranya adalah meliputi hal-hal berikut ini: 37 a. Dapat mengganggu keamanan, ketertiban dan ketidakharmonisan dalam masyarakat. b. Merusak tatanan nilai, norma, dan berbagai pranata sosial yang berlaku di masyarakat. c. Menimbulkan beban sosial, psikologis, dan ekonomi bagi keluarga pelaku. d. Merusak unsur-unsur budaya dan unsur-unsur lain yang mengatur perilaku individu dalam kehidupan masyarakat. Dari faktor kejiwaan seseorang yang menimbulkan adanya tindak pidana dampak yang ditimbulkan sebagai akibat perilaku penyimpangan sosial, baik terhadap pelaku maupun terhadap orang lain pada umumnya adalah bersifat negatif. Demikian pula, menurut pandangan umum, perilaku menyimpang dianggap merugikan masyarakat. Namun demikian, menurut Emile Durkheim, perilaku menyimpang tidak serta merta selalu membawa dampak yang negatif. Menurutnya, perilaku menyimpang juga memiliki kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat. Adapun beberapa kontribusi penting dari perilaku menyimpang yang bersifat positif bagi masyarakat meliputi hal-hal berikut ini: a. Perilaku menyimpang memperkokoh nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Bahwa setiap perbuatan baik merupakan lawan dari perbuatan yang tidak baik. Dapat dikatakan bahwa tidak akan ada kebaikan tanpa ada ketidak- 38 baikan. Oleh karena itu perilaku penyimpangan diperlukan untuk semakin menguatkan moral masyarakat. b. Tanggapan terhadap perilaku menyimpang akan memperjelas batas moral. Dengan dikatakan seseorang berperilaku menyimpang, berarti masyarakat mengetahui kejelasan mengenai apa yang dianggap benar dan apa yang dianggap salah. c. Tanggapan terhadap perilaku menyimpang akan menumbuhkan kesatuan masyarakat. Setiap ada perilaku penyimpangan masyarakat pada umumnya secara bersama-sama akan menindak para pelaku penyimpangan. Hal tersebut menegaskan bahwa ikatan moral akan mempersatukan masyarakat. d. Perilaku menyimpang mendorong terjadinya perubahan sosial. Para pelaku penyimpangan senantiasa menekan batas moral masyarakat, berusaha memberikan alternatif baru terhadap kondisi masyarakat dan mendorong berlangsungnya perubahan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa perilaku menyimpang yang terjadi saat ini akan menjadi moralitas baru bagi masyarakat di masa depan. BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENETAPAN VONIS HAKIM A. Tatacara Hakim Dalam Menetapkan Suatu Putusan Pada bab sebelumnya, telah diurai sedikit tentang adanya faktor kejiwaan yang menyebabkan seseorang melakukan tindak pidana. Dalam hal peradilan, selalu saja yang diungkap adalah memberikan suatu keadilan kepada pemiliknya. Pada bab ini akan diuraikan bagaimana seorang hakim harus memberikan putusan terhadap suatu perkara. Hukuman adalah sesuatu yang diucapkan oleh hakim, yang menunjukkan kepada seseorang yang terhukum memenuhi sesuatu hak untuk pihak terdakwa. Maka dari itu, yang menjadi pedoman bagi hakim baik dia seorang mujtahid atau seorang muqalid, atau seorang yang diperintah memutuskan suatu perkara dengan undangundang yang sudah ditentukan atau mazhab yang sudah ditetapkan.35 Keadilan merupakan prinsip dasar ideology Islam. Pelaksanaan keadilan tidak boleh berat sebelah, tanpa membeda-bedakan status sosial seseorang, kekayaan, kelas, ras, pengaruh politik, maupun keyakinan agama. Walau lingkup pembahasan ini terbatas sehingga dapat dirinci lebih lanjut tetntang praktik umum muslim dalam menegakkan keadilan dimasa permulaan Islam, namun jelas bahwa pada masa-masa permulaan Islam keadilan pernah mencapai taraf 35 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 61 39 40 sangat tinggi, yang tidak pernah dapat dicapai dalam sejarah ummat manusia mana pun.36 Al-Qur‟an mewajibkan ummat Islam agar memutuskan perkara secara adil, tidak berat sebelah, dan menepati janji, karenanya seluruh ummat Islam bukan saja para penguasanya, memiliki tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan. Ayat-ayat alQur‟an seperti berikut ini menggambarkan konsepsi Islam tentang keadilan, bukan saja dalam pengertian teoritis, tetapi juga sebagaimana telah terlaksana oleh Rasulallah Shallallahu „Alaihi Wasallama sendiri dan para sahabatnya. Surat An Nisaa ayat 135 Artinya : Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia (orang yang tergugat atau yang terdakwa) kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. (QS. An-Nisaa :135). Tugas hakim adalah melaksanakan keadilan. Oleh karena itu, seorang hakim harus selalu menjaga tingkah lakunya dan menjaga mertabat serta kewibaan sebagai 36 Muhammad A. Al-Buraey, h. 86 41 hakim. Jangan sampai hakim mudah terpengaruh oleh lingkungan sekitarnya, hakim harus tetap istiqomah dengan pendiriannya walau hantaman akan menimpa dirinya. Firman Allah : Artinya : “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. Dalam surat Al-Maidah ayat 49, Allah Subhanahu wa Ta‟ala memperingatkan bahwa jika engkau menghukum, maka hukumlah diantara mereka dengan adil, karena sesungguhnya Allah mengasihi orang-orang yang berlaku adil. Selain itu, Allah juga memperingatkan kepada seorang hakim untuk berlaku adil dalam mengambil segala keputusan, berkata dan berlaku adil walau itu dengan kerabat. Berkaitan dengan ini, maka hakim harus memiliki etika dalam memberikan suatu putusan serta dalam pergaulan sehari-hari. Artinya, adab seorang hakim merupakan tingkah laku yang baik dan terpuji yang harus dilaksanakan oleh seorang hakim dalam berinteraksi sesama manusia dalam menjalankan tugasnya. Artinya, seorang 42 hakim patut melakukan perbuatan yang terpuji dalam pergaulan (di luar mahkamah) atau disaat bertugas menjadi seorang hakim (di dalam mahkamah). Di luar mahkamah, seorang hakim tidak seharusnya ia bergaul bebas dengan mereka, melainkan hanya sekedar perlunya saja. Hakim juga tidak dibenarkan bersenda gurau secara berlebihan, hal ini dikhawatirkan akan menjatuhkan martabat dan wibawanya sebagai hakim.37 selain itu, seseorang yang menjabat sebagai hakim tidak diperbolehkan menerima hadiah dari pihak yang berperkara, dari orang-orang yang berada dalam lingkup jabatannya, meskipun orang itu tidak sedang dalam perkara hukum, karena dikhawatirkan hal itu dapat melemah ketika mengurus masalah hukum nantinya. Hal ini didasarkan kepada sebuah hadits shahih, bahwa Rasulallah Salallahu „Alaihi wa Sallam pernah bersabda : hadayal umarai ghululun, hadiah-hadiah yang diterima para pejabat adalah suatu bentuk korupsi.38 Apabila seorang hakim telah menerima hadiah dari seseorang yang sedang dalam masalah hukum, maka diharuskan untuk mengembalikannya. Jikalau pihak tersebut tidak diketahuinya, maka hadiah tersebut diserahkan kepada pihak Baitul Maal, karena Baitul Maal berhak atas hadiahnya. Walau ada beberapa pendapat yang tidak melarang seorang hakim menerima hadiah, yang terpenting ada sangkut-pautnya dengan perkara hukumannya. Menurut penulis, hal itu harus dihindari oleh seorang 37 Muhammad Bin Ahmad Al-Qarati, Qawanial- Ahkam As Syari‟ah, (Beirut : Lebanon, tanpa penerbit), h. 324. Sebagaimana telah dikutip dari Abdul Manan, h. 34 38 Imam Al Mawardi dan Abu Al Hasan bin Muhammad bin Habib, Al Ahkam Al Sulhaniyyah, (Kairo : Mathaba‟at Al Halabi, 1375H), h. 155. Sebagaimana telah dikutip dari Abdul Manan, h. 34 43 hakim demi menjaga kewibawaan dan kekhawatiran akan menjadi boomerang baginya. Di samping itu, hakim tidak boleh memberi suap atau melakukan penyogokan untuk mendapatkan suatu jabatan, karena apabila hal tersebut dilakukan maka dalam menjatuhkan putusan terhadap suatu kasus sedangkan putusannya itu didasarkan kepada rusywah, maka putusan itu tidak boleh dijalankan, meskipun putusan itu mendekati kebenaran. Memutus suatu perkara itu adalah ibadah, jika putusannya itu didorong karena sogok, maka putusan itu tidak lagi didasarkan ibadah, tetapi karena kepentingan pribadinya. Sebagaimana diriwayatkan oleh Tarmidzi, Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Hibban, Al Baihaqi dan Ibn Amru, Tsabit dari Rasulallah Salallahu „Alaihi wa Sallam melaknat keras si pemberi suap, dan yang menjadi perantara transaksi suap-menyuap itu. Umar bin Abi Salamah, dari Abu Hurairah radiyallahu‟anhu berkata, Rasulallah bersabda : La‟anar Rasyi wal Murtasyi wa ar Raisya. Rasulallah Salallahu „Alaihi wa Sallam melaknat penyuap dan penerima suap dalam peradilan. (HR. Tarmidzi, nomor 1236).39 Konsep kehakiman dalam peradilan Islam sangat mengutamakan asas equality before the law dan asas audi et alteram partem. Kedudukan para pihak adalah sama di muka bumi dan memutuskan perkara hakim harus menghadirkan ke dalam majelis pihak-pihak yang berperkara dan hakim dilarang memutus perkara sebelum 39 Abu Fida‟ Abdul Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tzkiyyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (Jakarta : Republika, 2004),Cet. 1. h. 9 44 mendengar semua pihak yang terkait dengan perkara yang disidangkan itu. Hakim dilarang berbicara dengan lembut dan bahasa yang hormat kepada salah satu pihak. Tidak boleh menekan satu pihak dan menolong pihak lain. Hakim harus bersikap berimbang dengan memeriksa keterangan para pihak yang berperkara, ia harus bersikap adil. As Syaukani menjelaskan, bahwa Rasulallah pernah bersabda yang maksudnya siapa saja yang mengadili suatu perkara diantara orang-orang Islam, maka hendaklah memeriksanya dengan adil, baik dalam percakapan, isyarat, duduknya, jangan terlalu keras suaranya pada seseorang, tapi lemah-lembut kepada orang lain.40 Hakim dalam menghadapi masalah hukum, hendaklah selalu berlapang dada dan sabar mendengar segala keluhan pihak-pihak yang berperkara. Janganlah menjatuhkan putusan berdasarkan keterangan dari satu pihak saja, tetapi hendaknya mendengar keterangan dari pihak yang terlibat dalam perkara tersebut. Dapat dipahami, jika keadilan merupakan cita yang harus diterapkan dalam hubungan dengan negara. Rosul sendiri melaksanakan keadilan yang tidak berat sebelah, dan untuk menjamin pelaksanaanya, maka ditunjuklah hakim, yaitu mereka yang bertaqwa kepada Allah, shaleh, tidak berkelakuan tercela, memahami syari‟ah dan telah dilatih dengan baik. 40 Muhammad As Syaukani, Nailur Autar, (Mesir : Penerbit tidak terbaca), Juz 8, h. 282. Sebagaimana telah dikutip dari Abdul Manan, h. 36 45 System keadilan seperti ini merupakan lembaga pertama yang didirikan oleh Islam. Hal ini bukan saja disebut di dalam Al Qur‟an dan As Sunnah, namun juga dilukiskan dalam banyak karya kepustakaan Arab. “Celakalah suatu umat bila yang melakukan kejahatan itu orang bangsawan, tidak berlaku baginya hukum. Dengarlah, sekiranya Fatimah anak kandungku melakukan pencurian, akan diberlakukan hukum potong tangan akibat perbuatannya”. (Hadits Nabi Muhammad Sholallahu „Alaihi wa Sallam).41 Disebut keadilan bukan hukum karena keadilan selalu menjadi hukum. Sedangkan hukum belum tentu menjadi keadilan. Untuk tidak member peluang penyalanggunaan dalam pemakaian sehari-hari digabungkan dua istilah itu, sehingga bunyinya hukum dan keadilan. B. Hal - hal Yang Mempengaruhi Vonis Hakim Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya majelis Hakim tidak diperkenankan menunda-nunda persidangan tersebut. Dalam melaksanakan dan memimpin jalannya proses persidangan, pada prinsipnya majelis hakim tidak berkenan menunda-nunda persidangan tersebut, pasal 159 ayat 4 HIR atau pasal 186 ayat 4 RBG menyebutkan : “Pengunduran (penundaan) tidak boleh diberikan atas permintaan kedua belah pihak dan tidak boleh diperintahkan pengadilan negeri karena jabatannya, melainkan 41 Muhammad Al Buraey, h. 87 46 dalam hal yang teramat perlu. Dalam praktek hakim terkada selalu lunak sikapnya terhadap permohonan sidang dari para pihak atas kuasanya.” Proses pengadilan yang lambat mengenai penentuan kemampuan bertanggungjawab seseorang yang dituduh melakukan kejahatan/ pelanggaran itu mengurangi kewibawaan peradilan dijaman modern sekarang, bahkan dapat berakibat luas diluar peradilan. Namun dalam perkembangannya juga para pelaku kejahatan tersebut cenderung semakin lama tidak mengindahkan mengenai sanksi atau aturan hukumnya dalam proses pengungkapan suatu perkara agar dapat diselesaikan dengan baik. Dalam menentukan keadaan jiwa seseorang yang tidak sehat diperlukan keterangan dari seorang dokter ahli jiwa. Kewajiban untuk menentukan keadaan jiwa yang tidak sehat melalui ahli kedokteran jiwa tersebut pernah dituangkan dalam konsep rumusan KUHP tahun 1968, tetapi kemudian rumusan tersebut dihapuskan.42 Mengenai keterangan ahli secara tertulis atau lisan untuk kepentingan peradilan dahulu didasarkan pada pasal 306 HIR yang letaknya menyisip diantara ketentuan pasal-pasal tentang surat bukti, adapun kewajiban ahli atau dokter untuk membantu petugas hukum yang berwenang diatur dalam pasal 70 HIR. Sedangkan pasal-pasal lainnya mengatur bantuan ahli kedokteran kehakiman, sehingga dianggap tidak termasuk bantuan kedokteran jiwa. 42 Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta: Bina Aksara, 1984). Hal : 24 47 Ketentuan dalam HIR tersebut sekarang sudah tidak berlaku secara formal, oleh karena itu ketentuan di dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana No. 8 Tahun 1981 diharapkan untuk menjadi dasar bantuan ahli kedokteran jiwa. Peraturan bantuan ahli di dalam KUHAP yang menyangkut peranan ahli kedokteran jiwa tidak begitu jelas pasal-pasalnya, karena ungkapan dan istilah yang tercantum …”ahli kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya”…masih meragukan untuk ditafsirkan termasuk bantuan ahli kedokteran jiwa mengingat makna rumusan pasal dan susunan kronologis pasal yang bersangkutan dengan bantuan ahli tersebut.43 Dalam KUHAP sendiri pada Pasal 186 hanya dikatakan didalamya bahwa “Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan disidang pengadilan”. Sehingga untuk medapatkan ketentuan mengenai keberadaan psychiatry forensik tidak akan dapat ditemukan. Dahulu menurut “Reglement Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” diatur mengenai cara-cara atau syarat-syarat untuk memasukkan penderita penyakit jiwa ke Rumah Sakit Jiwa, cara-cara meminta Psychiatry Attest, dan siapa-siapa saja yang berhak menerimanya serta kepada siapa harus memintanya. Dan menurut “Reglement Der Kranzinningenwezen Tahun 1887” tersebut diatas hanya Jaksa atau hakim (ketua) yang berhak mengirimkan seorang tertuduh yang disangka terganggu jiwanya 43 Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara, 1984). Hal : 25 48 untuk di Observasi di fasilitas Psychiatry.44 Dengan tidak adanya ketentuan secara jelas dalam KUHAP mengenai keberadaan ahli jiwa ini secara yuridis tidak akan terjadi apa-apa, akan tetapi apabila dalam perkembangannya secara sosiologis meributkan siapa yang berhak untuk melakukan pemeriksaan tersebut terkadang untuk satu ahli psychiatry dengan satunya tentunya akan membawa hasil yang maksimal untuk perkara-perkara yang telah dikemukakan diatas. Secara kenyataan dapat kita sadari bahwa hasil pemeriksaan kedokteran jiwa bagi seseorang yang menjadi obyek pemeriksaan atau keluarganya mempunyai nilai yang sangat pribadi untuk nama baik dan dapat menyangkut hak asasi manusia. Adakalanya norma hukum publik mengandung aturan yang bersifat perintah atau keharusan dengan akibat mengurangi atau menghilangkan hak pribadi seseorang demi penegakkan hukum mungkin sekali membebankan kewajiban hukum yang menurut kelaziman dokter ada pertentangan. Oleh karena itu perlu diperhatikan hubungan antar etika kedokteran jiwa dengan tanggung jawab yuridis seorang dokter jiwa akan terwujud keseimbangan. Pada dasarnya pengadaan visum et repertum psychiatricum diperuntukan sebagai rangkaian hukum pembuktian tentang kualitas tersangka pada waktu melakukan perbuatan pidana dan penentuan kemampuan bertanggungjawab bagi tersangka. Kebutuhan bantuan kedokteran jiwa dalam kenyataanya berkembang bukan sebagai rangkaian hukum pembuktian akan tetapi untuk kepentingan kesehatan 44 81 R. Atang Ranoemihardja, Ilmu Kedokteran Kehakiman, (Bandung : Tarsito, 1991). Hal : 49 tersangka dalam rangka penyelesaian proses pemeriksaan perkara pidana. Bantuan kesehatan jiwa bagi si tersangka ini sangat diperlukan selain menyangkut perlindungan hak azasi manusia, juga untuk menghindarkan hal-hal yang tidak diinginkan bagi jiwa dan raga manusia.45 Dengan melihat pasal-pasal dalam KUHAP yang tidak mengatur mengenai keberadaan psychiatri forensik dengan jelas maka di sini dapat disimpulkan agar dapat dicantumkannya ketentuan yang mengatur keberadaan psychiatri forensik ini kepada pembuat perundang-undangan untuk mengamandemen isi dari beberapa ketentuan KUHAP tersebut. sehingga baik secara yuridis maupun sosiologis nantinya dalam perkembangan praktek sebagai salah satu sarana untuk menyelesaikan adanya suatu tindak pidana atau perkara kejahatan dapat terwujud dengan baik dan mendapatkan hasil yang optimal. Walaupun dalam Undang-undang kesehatan mungkin terdapat ketentuan untuk praktis orang yang sakit jiwa saja. Sebagai salah satu pilar untuk menegakkan hukum dan keadilan, hakim mempunyai peranan menentukan sehingga kedudukannya dijamin undang-undang. Dengan demikian, diharapkan tidak adanya/campur tangan dari pihak manapun terhadap para hakim ketika sedang menangani perkara. Sebaliknya, dilain sisi begitu pula untuk para hakim dalam penanganan perkara hendaklah dapat bertindak arif dan bijaksana, ketangguhan mentalitas, menjunjung tinggi nilai keadilan dan kebenaran materiil, bersifat aktif dan dinamis, berlandaskan kepada perangkat hukum positif, 45 Bambang Purnomo, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, (Yogyakarta : Bina Aksara,1984). Hal : 28-29 50 melakukan penalaran logis sesuai dan selaras dengan teori dan praktek, sehingga kesemuanya itu bermuara kepada putusan yang akan dijatuhkannya harus dapat dipertanggung jawabkan dari aspek ilmu hukum itu sendiri, hak asasi terdakwa, masyarakat dan negaara, diri sendiri, serta Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Konkretnya, dalam menerapkan hukum acara dan hukum materiil hendaklah hakim tidak memihak dan bertindak adil sesuai pandangan yang objektif guna menjatuhkan putusan secara konkret.46 Kekuasaan kehakiman dalam lingkungan peradilan pidana umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, dan Mahkamah Agung yang masingmasing mempunyai kekusasaannya sendiri. Hakim diangkat dan diberhentikan okeh kepala negara hal ini ada dalam KUHAP (Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana) No 8 Tahun 1981. Dengan demikian kebebasan kedudukannya diharapkan terjamin, tidak dapat dipengaruhi oleh lembaga-lembaga lain, sehingga diharapkan nantinya akan mengadili dengan seadil-adilnya tanpa takut oleh pihak siapapun.47 Dengan demikian menurut hemat kami, keadilan harus ditegakkan dan menjadi titik tekan dalam penegakan hukum tanpa mengabaikan kepastian hukum itu sendiri. Begitu pentingnya peran dan tugas Hakim dalam penegakan hukum, maka dalam hukum acara Hakim dianggap mengetahui semua persoalan hukumnya (ius curia novit), di mana pada saatnya nanti akan menentukan „hitam putihnya” hukum melalui 46 Lilik Mulyadi, Hukum Acara Pidana, (Bandung : PT. Alumni, 2007) 47 M. Nur Said, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 15) 51 putusan-putusannya. Tidak mengherankan, Hakim sering menjadi tumpuan harapan bagi tegaknya hukum dan keadilan di tanah air ini, meskipun harapan tersebut tidak selalu menjadi kenyataan.48 Untuk mengantisipasi hal tersebut maka, diperlukan peranan hakim yang aktif terutama dalam mengatasi hambatan dan rintangan untuk dapat tercapainya peradilan yang cepat. Perlu ketegasan hakim untuk menolak permononan penundaan sidang dari para pihak, kalau ia beranggapan hal itu tidak perlu. Berlarut-larutnya atu ditunda-tundanya jalannya akan mengurangi kepercayaan masyarakat kepada peradilan yang mengakibatkan berkurangnya kewibawaan pengadilan (justice delayed is justice deniyed).49 Eksistensi putusan Hakim atau lazim disebut dengan istilah putusan pengadilan, sangat diperlukan untuk penyelesaian perkara pidana. Asbab raf‟i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman,tidak mengakibatkan perbuatan yang dilakukan itu dibolehkan, melainkan tetap pada asalnya yaitu dilarang. Hanya saja oleh karena keadaan pelaku tidak memungkinkan dilaksanakannya hukuman, ia dibebaskan dari hukuman. Sebab-sebab hapusnya hukuman ini ada empat macam, yaitu: 48 49 http://masyos.wordpress.com/2008/11/26/penafsiran-hukum-penegak-hukum. Jimmly Asshidiqqie, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta, UI Press, hal. 125-127 52 1. Paksaan Dalam uraian yang pertama menjelaskan paksaan menurut Muhammad Al-Khudhari banyak memberikan definisi paksaan sebagai berikut. Paksaan adalah mendorong orang lain atau sesuatu yang tidak diridhainya, baik berupa ucapan atau perbuatan. Sebagai fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah, memberikan definisi sebagai berikut. Paksaan adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh seseorang karena orang lain, dan oleh karena itu hilanglah kerelaannya atau tidak sempurna pilihannya. Atau paksaan adalah suatu perbuatan yang timbul dari orang yang memaksa dan menimbulkan pada diri orang yang dipaksa suatu keadaan yang mendorong dirinya untuk mengerjakan perbuatan yang dimintakan kepadanya. Atau paksaan adalah ancaman oleh seseorang atas orang lain dengan sesuatu yang tidak disenangi untuk mengerjakan sehingga karenanya hilang kerelaannya.50 Macam-macam paksaan dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu sebagai berikut. a) Paksaan yang menghilangkan kerelaan dan merusak pilihan, yaitu paksaan yang dikhawatirkan akan menghilangkan nyawa. Paksaan ini disebut paksaan absolut. Daya paksa absolut (absolute overmacht) adalah paksaan dimana orang yang dipaksa tidak bisa memilih, kecuali apa yang diminta oleh yang memaksa. Contohnya, seperti orang yang 50 Hal. 563 Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). 53 fisiknya lebih kuat menangkap tangan seseorang dan menyuruhnya untuk membubuhkan tanda tangan pada suatu surat penting yang telah disediakan. b) Paksaan yang menghilangkan kerelaan tetapi tidak sampai merusak pilihan, yaitu paksaan yang menurut kebiasaan tidak dikhawatirkan akan mengakibatkan hilangnya nyawa seperti dipenjarakan atau dipukuli dengan pukulan yang ringan. Paksaan ini disebut paksaan relatif. Daya paksa relatif (relative overmacht) adalah paksaan dimana orang yang dipaksa masih memiliki kesempatan untuk memilih perbuatan lain, akan tetapi menurut perhitungan yang layak tidak mungkin dapat dielakkan. Contohnya, seorang kasir bank dengan ancama senjata api harus menyerahkan uang kas yang berada di bawah pengawasannya. Syarat-syarat adanya paksaan, untuk terwujudnya suatu paksaan diperlukan beberapa syarat. Apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, paksaan dianggap tidak ada dan dengan demikian seseorang yang melakukan tindak pidana tidak dianggap sebagai orang yang dipaksa. Syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut. a) Ancaman yang menyertai paksaan adalah berat sehingga dapat menghilangkan kerelaan, seperti ancaman dibunuh, dipukul dengan pukulan yang berat, dikurung dalam waktu yang lama, dan sebagainya. Ukuran berat dan ringannya suatu ancaman sifatnya subjektif, dan berbeda-beda menurut perbedaan orang dan cara.seseorang mungkin tidak merasa takut dan masih 54 dapat bertahan dengan beberapa kali pukulan atau cambukan, sementara orang yang lain sudah merasa ngeri dengan satu kali pukulan atau cambukan. Akan tetapi, para ulama telah sepakat bahwa ancaman akan dimaki-maki atau difitnah dengan tuduhan berzina tidak termasuk paksaan. Perintah seorang kepala negara (pejabat) meskipun tanpa disertai ancaman, sudah cukup dianggap sebagai paksaan, apabila dapat diambil kesan bahwa jika perintahnya tidak dilaksanakan maka balasannya adalah adalah pembunuhan atas dirinya, atau penganiayaan berat atau dipenjarakan dalam waktu yang lama. Perintah suami terhadap istrinya disamakan dengan perintah seorang atasan terhadap bawahannya, jika dikhawatirkan akan timbul cara-cara pemaksaan dari suami apabila istri tersebut tidak taat. Para ulama juga telah sepakat bahwa ancaman dianggap sebagai paksaan, apabila ditujukan kepada diri orang yang dipaksa. Apabila ancaman tersebut ditujukan kepada orang lain yang terdapat bersama-sama dengan orang yang dipaksa maka para ulama berbeda pendapat. Menurut ulama Malikiyyah, ancaman sudah merupakan paksaan, meskipun ditujukan kepada orang lain dan bukan keluarganya. Menurut sebagian ulama Hanafiah, ancaman tidak dianggap sebagai paksaan, apabila ditujukan kepada orang yang dipaksa. Akan tetap, ulama Hanafiah yang lain berpendapat bahwa paksaan dianggap ada apabila ancama ditujukan kepada anaknya, atau orang tuanya, atau keluarganya. Pendapat ini juga diikuti oleh ulama-ulama Syafi‟iyyah. Ulama Hanabillah berpendapat bahwa paksaan dianggap ada apabila ancamannya 55 ditujukan kepada anak satu orang tuanya.51 Ancaman juga di isyaratkan harus berupa pebuatan yang tidak sah. Apabila perkara yang diancamkan itu berupa perbuatan yang sah atau dibenarkan oleh hukum maka tidak ada paksaan. b) Ancaman harus seketika yang diduga kuat terjadi,jika orang yang dipaksa tidak melaksanakan keinginan pemaksa. Apabila ancaman tidak seketika maka tidak ada paksaan, karena orang yang dipaksa masih mempunyai kesempatan untuk melindungi dirinya dan pada saat itu tidak ada dorongan yang kuat untuk segera melaksanakan perintah pemaksa. c) Orang yang memaksa mempunyai kemampuan untuk melaksanakan ancamannya, walaupun ia bukan penguasa atau petugas tertentu. Apabila orang yang memaksa tidak memiliki kemampuan untuk mewujudkan ancamannya, dalam hal ini tidak ada paksaan. d) Ada dugaan yang kuat pada diri yang dipaksa, bahwa apabila ia tidak memenuhi tuntutannya apa yang diancamkan itu benar-benar akan terjadi. Hukum paksaan dapat berbeda-beda menurut perbedaan perbuatan yang terjadi. Dalam konteks ini perbuatan dibagi menjaditiga kelompok. Pertama, perbuatan yang tidak dipengaruhi oleh paksaan sama sekali, artinya perbuatan tersebut tetap dianggap sebagai jarimah. Kedua, perbuatan yang diperbolehkan sama sekali karena adanya paksaan, artinya perbuatan tidak dianggap jarimah. Ketiga, perbuatan yang dibolehkan sebagai pengecualian, artinya perbuatannya tetap dianggap sebagai jarimah, tetapi pelakunya tidak dikenakan hukuman. 51 Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 356-357 56 2. Mabuk Syariat Islam melarang minuman keras, baik sampai mengakibatkan mabuk maupun tidak. Dalam kelompok jarimah, minuman keras (syurbul khamar) termasuk jarimah hudud yang ancamannya adalah delapan puluh kali cambukan. Kecuali Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, para ulama telah sepakat semua jenis minuman yang memabukkan, baik disebut khamar atau bukan, sedikit atau banyak, hukumnya tetap dilarang dan peminumnya dikenakan hukuman. Akan tetapi, menurut Imam Abu Hanifah dalam hal ini harus dibedakan antara khamar dan minuman keras yang lain. Untuk minuman khamar, sedikit atau banyak, baik mabuk atau tidak, tetap dihukum, sedangkan untuk minuman keras selain khamar, baru dihukum apabila sampai memabukkan.bahan minuman khamar itu adalah perasan anggur yang direbus sampai kemudian hilang kurang dua pertiganya.52 Secara umum yang dimaksud dengan mabuk adalah hilangnya akal sebagai akibat minum minuman keras atau khamar atau yang sejenisnya. Menurut Imam Abu Hanifah, seorang dikatakan mabuk, apabila ia telah kehilangan akal pikirannya, baik banyak ataupun sedikit, ia tidak dapat membedakan antara langit dengan bumi, dan antara laki-laki dengan perempuan. Sedangkan Muhammad ibn Hasan dan Imam Abu Yusuf berpendapat bahwa orang mabuk itu adalah orang yang banyak mengigau pada pembicaraanya. Pendapat ini juga merupakan pendapat imam-imam yang lain. Alasan mereka ini adalah firman Allah SWT dalam surah An-Nisaa ayat 43 : 52 Abdul Qadir Audhah, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). Hal. 581-582 57 Artinya : Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam Keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam Keadaan junub[301], terkecuali sekedar berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir atau datang dari tempat buang air atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha Pema'af lagi Maha Pengampun. Dari ayat tersebut jelaslah bahwa orang yang tidak mengetahui apa yang dikatakannya berarti ia sedang mabuk. Adapun pertanggung jawaban pidana bagi orang yang mabuk, menurut pendapat yang kuat dari ulama mazhab yang empat, ia tidak dijatuhi hukuman atas jarimah-jarimah yang dilakukannya, apabila ia dipaksa atau terpaksa untuk minum atau ia meminumnya atas kehendak sendiri, tetapi ia tidak mengetahui bahwa yang diminumnya itu adalah khamar atau ia meminum minuman keras untuk berobat, lalu ia mabuk. Orang yang mabuk tersebut ketika ia melakukan perbuatannya, sedang hilang akal dan pikirannya, sehingga dengan demikian maka hukumnya sama dengan orang gila. Akan tetapi, jika seseorang minum minuman keras karena kemauan sendiri dengan sengaja tanpa alasan, atau ia meminumnya sebagai obat yang sebenarnya tidak diperlukan kemudian ia mabuk, dalam hal ini ia harus bertanggung jawab atas setiap jarimah yang dilakukannya ketika ia mabuk. Hukuman tersebut 58 diberikan kepadanya sebagai pengajaran, karena ia telah menghilangkan akalnya sendiri secara disengaja.53 Di samping pendapat yang kuat tersebut, dikalangan ulama mazhab yang empat ada pendapat yang tidak kuat, yaitu bahwa orang yang mabuk tidak dibebani pertanggungjawaban atas semua perbuatan jarimah yang dilakukannya, bagaimanapun terjadinya dan apa pun sebab mabuknya itu, karena pada saat itu akal pikirannya sedang hilang. Ini berarti orang yang mabuk tersebut tidak menyadari perbuatannya, sedang kesadaran merupakan dasar adanya pertanggung jawaban pidana.54 Mengenai pertanggungjawaban perdata orang yang mabuk tetap dikenakan, sebab jiwa dan harta orang laintetap harus dijamin keselamatannya dan pembebasan dari hukuman pidana tidak mempengaruhi hukuman perdata. 3. Gila Syariat Islam memandang seseorang sebagai mukallaf yang dapat dibebani pertanggungjawaban pidana, apabila ia memiliki kemampuan berfikir dan memilih (idrak dan ikhtiar). Apabila salah satu dari kedua perkara ini tidak ada maka pertanggungjawaban menjadi terhapus. Kemampuan berfikir seseorang itu dapat hilang karena faktor bawaan sejak lahir atau karena adanya gangguan seperti sakit atau cacat fisik. Hilangnya kemampuan berfikir tersebut dalam bahasa sehari-hari 53 Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). 54 Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby) Hal. 583 59 disebut gila. Abdul Qadir Audah memberikan definisi gila sebagai hilangnya akal, rusak, atau lemah.55 Definisi tersebut merupakan definisi yang umum dan luas, sehingga mencakup gila, dungu, dan semua jenis penyakit kejiwaan yang sifatnya menghilankan idrak (kemampuan berfikir). Di bawah ini akan dijelaskan jenis-jenis penyakit, baik yang menghilangkan seluruh kekuatan berfikir maupun sebagainya. a. Gila terus menerus, gila terus menerus adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak dapat berfikir sama sekali, baik baik hal itu diderita sejak lahir maupun yang dating demikian. Dikalangan fuqaha gila semacam ini disebut Al-Junun Al-Muthbaq. b. Gila berselang orang yang terkena penyakit gila berselang tidak dapat berfikir, tetapi tidak terus-menerus. Apabila keadaan tersebut menimpanya maka ia kehilangan pikirannya sama sekali, dan apabila keadaan tersebut telah berlalu (hilang) maka ia dapat berfikir kembali seperti biasa. Pertanggungjawaban pidana pada gila terus-menerus hilang sama sekali, sedangkan pada gila berselang ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana ketika ia dalam kondisi sehat. c. Gila sebagian, gila sebagian ini menyebabkan seseorang tidak dapat berfikir dalam perkara-perkara tertentu, sedangkan pada perkar-perkara yang lain masih tetap dapat berfikir. Dalam kondisi di mana ia masih dapat berfikir, ia tetap dibebani pertanggungjawaban pidana, tetapi ketika ia tidak dapat berfikir, ia bebas dari pertanggung jawaban pidana. 55 Hal. 585 Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). 60 d. Dungu (al-ithu), para fuqaha sebagaimana dikutip oleh Abdul Qadir Audah memberikan definisi orang dungu sebagai berikut. Orang dungu adalah orang yang minim pemahamannya, pembicaraannya bercampur baur, tidak beres fikirannya, baik hal itu bawaan sejak lahir atau timbul kemudian karena suatu penyakit.56 Dari definisi tersebut dapat dipahami bahwa dungu merupakan tingkatan gila yang paling rendah. Dengan demikian, dungu berbeda dengan gila, karena dungu hanya mengakibatkan lemahnya berfikir bukan menghilangkannya, sedangkan gila mengakibatkan hilangnya atau kacaunya kekuatan berfikir, sesuai tingkatan-tingkatan kedunguannya, namun orang yang dungu bagaimanapun tidak sama kemampuan berfikirnya dengan orang biasa (normal). Menurut sebagian fuqaha kekuatan berfikir orang dungu sama dengan orang yang sudah mumayyiz (lebih kurang berumur antara tujuh sampai lima belas tahun), sedang menurut sebagian yang lain sama dengan anak yang belum mumayyiz, karena fikirannya yang tidak stabil itu secara umum orang dungu tidak dibebani pertanggungjawaban pidana. 4. Di bawah umur Konsep yang dikemukakan dalam Syariat Islam tentang pertanggungjawaban anak dibawah umur merupakan konsep yang sangat baik. 56 Hal. 587 Abdul Qadir Audhah,, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy I, (Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby). 61 Menurut syariat Islam, pertanggungjawaban pidana didasarkan atas dua perkara, yaitu kekuatan berfikir dan pilihan. Sehubungan dengan kedua dasar tersebut maka kedudukan anak dibawah umur berbeda-beda sesuai dngan perbedaan masa yang dilaluinya dalam kehidupannya, semenjak ia dilahirkan sampai ia memiliki kedua perkara tersebut. Secara ilmiah terdapat tiga masa yang dialami oleh setiap orang sejak ia dilahirkan sampai ia dewasa. Pertama, masa tidak adanya kemampuan berfikir. Kedua, masa kemampuan berfikir yang lemah. Ketiga, masa kemampuan berfikir penuh.57 C. Dasar Pertimbangan Vonis Hakim Setelah melihat bahwa tatacara hakim dalam menjatuhkan suatu vonis hukuman dan hal yang mempengaruhi hakim dalam menjatuhkan suatu vonis hukuman, maka dalam dasar pertimbangan hukum, hakim melihat dan menjelaskan bahwasannya seseorang yang melakukan tindak pidana atas motivasi kejiwaan mendapat keringanan hukuman atau penghapusan hukuman, karena adanya ketidakmampuan bertanggungjawab. Ketidakmampuan bertanggung jawab (Ontoerekeningsvatbaarheid) Pasal 44 Kitab Undang-undang Hukum Pidana menyatakan, bahwa orang tidak dapat dipertanggungjawabkan dalam dua hal, yaitu jiwanya cacat dalam pertumbuhan 57 Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fiqh Jinayyah. (Jakarta : Sinar Grafika. 2004). Hal. 134 62 dan terganggu karena penyakit. Ketidakmampuan bertanggung jawab meniadakan kesalahan, dalam arti luas itu termasuk dasar pemaaf. Menurut Pompe pertanggungjawaban pidana seseorang mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : 1. Kemampuan berfikir (psychisch) pembuat yang memungkinkan ia menguasai pikirannya, yang memungkinkan ia menentukan perbuatannya. 2. Dan oleh sebab itu ia dapat memahami makna dari perbuatannya 3. Dan oleh sebab itu pula ia dapat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya. Menurut Hazawinkel-Sulriga bahwa hakim dan penuntut umum karena jabatannya wajib memperhatikan, sekalipun terdakwa atau penasihat hukumnya tidak mengemukakannya. Jadi ketidakmampuan bertanggung jawab merupakan penyakit yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan. 58 Kejahatan yang semakin meningkat dan sering terjadi dalam masyarakat merupakan hal yang sangat diperhatikan, sehingga mengundang pemerintah (negara) sebagai pelayan, pelindung masyarakat untuk menanggulangi meluasnya dan bertambahnya kejahatan yang melanggar nilainilai maupun norma-norma yang hidup dan berlaku didalam suatu masyarakat sehingga kejahatan tersebut oleh negara dijadikan sebagai perbuatan pidana untuk tindak pidana. Hukum pidana merupakan sarana yang penting dalam 58 Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika, cet ke-2, 2007 63 penanggulangan kejahatan atau mungkin sebagai obat dalam memberantas kejahatan yang meresahkan dan merugikan masyarakat pada umunya dan korban pada khususnya. Penanggulangan kejahatan tersebut dapat dilakukan secara preventif (pencegahan) dan refresif (penindakan). Bentuk penanggulangan tersebut dengan diterapkannya sanksi terhadap pelaku tindak pidana, sanksi pidana merupakan alat atau sarana terbaik yang tersedia, yang kita miliki untuk menghadapi ancaman-ancaman dari bahaya. Sanksi pidana suatu ketika merupakan penjamin yang utama/terbaik dan suatu etika merupakan pengancaman yang utama dari kebebasan manusia. Dalam hukum pidana Islam ada dikenal dengan nama Jarimah. Jarimah (tindak pidana) dalam Islam diartikan yaitu yaitu larangan-larangan Syara‟ yang diancam oleh Allah dengan hukum Had (hukuman yang sudah ada nashnya) atau Ta‟zir (hukuman yang tidak ada nashnya). Pertanggung jawaban pidana dalam istilah asing tersebut juga dengan teorekenbaardheid atau criminal responsibility yang menjurus kepada pemidanaan petindak dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau tersangka dipertanggung jawabkan atas suatu tindakan pidana yang terjadi atau tidak. Untuk dapat dipidananya si pelaku, disyaratkan bahwa tindak pidana yang dilakukannya itu memenuhi unsur-unsur yang telah ditentukan dalam Undang-undang. Dilihat dari sudut terjadinya tindakan yang dilarang, seseorang akan dipertanggung jawabkan atas tindakan-tindakan tersebut, 64 apabila tindakan tersebut melawan hukum serta tidak ada alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum untuk pidana yang dilakukannya. Dan dilihat dari sudut kemampuan bertanggung jawab maka hanya seseorang yang mampu bertanggung jawab yang dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatannya. Tindak pidana jika tidak ada kesalahan adalah merupakan asas pertanggung jawaban pidana, oleh sebab itu dalam hal dipidananya seseorang yang melakukan perbuatan sebagaimana yang telah diancamkan, ini tergantung dari soal apakah dalam melakukan perbuatan ini dia mempunyai kesalahan. Berdasarkan hal tersebut maka pertanggung jawaban pidana atau kesalahan menurut hukum pidana, terdiri atas tiga syarat yaitu , kemampuan bertanggung jawab atau dapat dipertanggung jawabkan dari si pembuat, adanya perbuatan melawan hukum yaitu suatu sikap psikis si pelaku yang berhubungan dengan kelakuannya yaitu disengaja dan sikap kurang hati-hati atau lalai, tidak ada alasan pembenar atau alasan yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana bagi si pembuat. Kemampuan untuk membeda-bedakan antara perbuatan yang baik dan yang buruk, adalah merupakan faktor akal (intelektual factor) yaitu dapat membedakan perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak. Dan kemampuan untuk menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan tersebut adalah merupakan faktor perasaan (volitional factor) yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana yang 65 diperbolehkan dan mana yang tidak. Sebagai konsekuensi dari dua hal tadi maka tentunya orang yang tidak mampu menentukan kehendaknya menurut keinsyafan tentang baik buruknya perbuatan, dia tidak mempunyai kesalahan kalau melakukan tindak pidana, orang demikian itu tidak dapat dipertanggung jawabkan. Oleh karena kemampuan bertanggung jawab merupakan unsur kesalahan, maka untuk membuktikan adanya kesalahan unsur tadi harus dibuktikan lagi. Mengingat hal ini sukar untuk dibuktikan dan memerlukan waktu yang cukup lama, maka unsur kemampuan bertanggung jawab dianggap diam-diam selalu ada karena pada umumnya setiap orang normal bathinnya dan mampu bertanggung jawab, kecuali kalau ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa terdakwa mungkin jiwanya tidak normal. Dalam hal ini, hakim memerintahkan pemeriksaan yang khusus terhadap keadaan jiwa terdakwa sekalipun tidak diminta oleh pihak terdakwa. Jika hasilnya masih meragukan hakim, itu berarti bahwa kemampuan bertanggung jawab tidak berhenti, sehingga kesalahan tidak ada dan pidana tidak dapat dijatuhkan berdasarkan asas tidak dipidana jika tidak ada kesalahan. Dalam KUHP masalah kemampuan bertanggung jawab ini terdapat dalam Pasal 44 ayat 1 yang berbunyi : “Barangsiapa melakukan perbuatan yang tidak dapat dipertanggung jawabkan kepadanya karena jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena cacat, tidak dipidana.” BAB IV PANDANGAN HUKUMISLAM DAN HUKUM POSITIF TERHADAP FAKTOR KEJIWAAN DALAM PENETAPAN TINDAK PIDANA DAN PENJATUHAN VONIS HAKIM A. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Islam Serta Penjatuhan Vonis Hakim Menurut hukum pidana Islam, hukuman adalah seperti yang didefinisikan oleh Abdul Qadir Audah hukuman adalah pembalasan yang ditetapkan untuk memelihara kepentingan masyarakat,karena adanya penyelenggaraan atas ketentuanketentuan syara.59 Dari define tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara‟ sebagai pembalasan atas perbuatan yang melanggar ketentuan syara‟, dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyaakat, sekaligus juga untuk melindungi kepentingan individu. Dalam uraian ini gugurnya suatu hukuman yang tentang sebab-sebab hapusnya pertanggung jawaban pidana, baik yang berkaitan dengan perbuatan maupun keadaan pelaku. Dalam kaitannya dengan hapusnya hukuman karena keadaan pelaku, hukuman tidak dijatuhkan karena kondisi psikis dari pelaku sedang terganggu, misalnya karena gila, paksa, mabuk, atau masih di bawah umur. 59 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 132 66 67 Bebeda dengan hapusnya hukuman karena sebab-sebab tersebut maka yang dimaksud dengan gugurnya hukum disini adalah tidak dapat dilaksanakannya hukuman-hukuman yang telah dijatuhkan atau diputuskan oleh hakim, berhubung tempat untuk melaksanakan hukuman sudah tidak ada lagi, atau waktu untuk melaksanakannya telah lewat.60 Adapun sebab-sebab gugurnya hukuman tersebut adalah : 1. Meninggalnya pelaku 2. Hilangnya anggota badan yang akan diqishash 3. Tobatnya pelaku 4. Perdamaian (shuluh) 5. pengampunan B. Penetapan Tindak Pidana Dalam Hukum Positif Serta Penjatuhan Vonis Hakim Tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging) adalah apabila yangdidakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Pertimbangan hakim yang lain adalah apabila terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan penghapus pidana(strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus 60 Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2004), h. 173 68 dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhi pidana.61 Dalam Konsep KUHP yang baru dikenal ada 2 alasan penghapus pidana yaitu: 1. Alasan Pembenar (rechtvaardigingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, berkaitan dengan tindak pidana (strafbaarfeit) yangdikenal dengan istilah actus reus diNegara Anglo saxon.Terdapat dalam RUU KUHP Pasal 31,32,33,34,35,yang berbunyi : Pasal 31 menyatakan : Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan peraturan perundang-undangan. Walaupun memenuhi rumusan tindak pidana, seseorang yang melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang dianggap tidak melawan hukum dan oleh karena itu tidak dipidana. Pasal 32 menyatakan : Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena melaksanakan perintah jabatan yang diberikan oleh pejabat yang berwenang. Seseorang dapat melaksanakan undang-undang oleh dirinya sendiri, akan tetapi juga dapat menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Jika ia melaksanakan perintah tersebut maka ia tidak melakukan perbuatan melawan hukum. 61 Nico Keijer, 1990 : 1 69 Pasal 33 menyatakan : Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan tindak pidana karena keadaan darurat. Ada beberapa ahli yang menggolongkan ” keadaan darurat ” sebagai alasan pembenar namun adapula yang menggolongkannya sebagai alasan pembenar. Dalam keadaan darurat pelaku suatu tindak pidana terdorong oleh suatu paksaan dari luar, paksaan tersebut yang menyebabkan pelaku dihadapkan pada tiga keadaan darurat, yaitu : Perbenturan antara dua kepentingan hukum, dalam hal ini pelaku harus melakukan suatu perbuatan untuk melindungi kepentingan hukum tertentu, namun pada saat yang sama melanggar kepentingan hukum yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Perbenturan antara kepentingan hukum dan kewajiban hukum, dalam hal ini pelaku dihadapkan pada keadaan apakah harus melindungi kepentingan hukum atau melaksanakan kewajiban hukum. Perbenturan antara kewajiban hukum dan kewajiban hokum, dalam hal ini pelaku harus melakukan kewajiban hukum tertentu, namun pada saat yang sama dia tidak melakukan kewajiban hukum yang lain, begitu pula sebaliknya. Pasal 34 menyatakan : Tidak dipidana, setiap orang yang terpaksa melakukan tindak pidana karena pembelaan terhadap serangan seketika atau ancaman serangan segera yang melawan hukum terhadap diri sendiri atau orang lain, kehormatan kesusilaan, harta benda sendiri atau orang lain. 70 Dalam pembelaan terpaksa perbuatan pelaku memenuhi rumusan suatu tindak pidana, namun karena syarat-syarat yang ditentukan dalam pasal tersebut maka perbuatan tersebut dianggap tidak melawan hukum Pasal 35 menyatakan : Termasuk alasan pembenar ialah tidak adanya sifat melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (2). 2. Alasan Pemaaf (schuldduitsluitingsgrond) yaitu alasan yang menghapuskan kesalahan terdakwa, berkaitan dengan pertanggungjawaban (toerekeningsvatbaarheid) yang dikenal dengan istilah mens rea di Negara Anglo saxon. Terdapat dalam RUU KUHP Pasal 42,43,44,45,46 yang berbunyi : Pasal 42 menyatakan : a. Tidak dipidana, jika seseorang tidak mengetahui atau sesat mengenai keadaan yang merupakan unsur tindak pidana atau berkeyakinan bahwa perbuatannya tidak merupakan suatu tindak pidana, kecuali ketidaktahuan, kesesatan, atau keyakinannya itu patut dipersalahkan kepadanya b. Jika seseorang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) patut dipersalahkan atau dipidana, maka maksimum pidananya dikurangi dan tidak melebihi 1/2 (satu perdua) dari maksimum pidana untuk tindak pidana yang dilakukan 71 Ketentuan dalam Pasal ini berisikan ketentuan alasan pemaaf. Yang dimaksud dengan “alasan pemaaf” adalah alasan yang meniadakan kesalahan terhadap pelaku tindak pidana, oleh karena itu pelaku tindak pidana tidak dapat dijatuhi pidana. Perbuatan pelaku tindak pidana tetap merupakan tindak pidana, tetapi karena terdapat alasan pemaaf tersebut maka pelaku tindak pidana tidak dipidana. Ketentuan dalam Pasal ini menegaskan bahwa dalam hal pembuat tindak pidana tindak pidana tidak mengetahui keadaan yang merupakan unsure suatu tindak pidana, maka hal itu menjadi alasan tidak dipidananya pembuat tindak pidana. Pasal 43 menyatakan : Tidak dipidana seseorang yang melakukan tindak pidana karena: a. Dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan, atau b. Dipakasa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari Ketentuan dalam Pasal ini sebagaimana juga dalam Pasal 42 berisi ketentuan alasan pemaaf. Selanjutnya yang dimaksud dengan “daya paksa” adalah keadaan sedemikian rupa sehingga pembuat tindak pidana tidak mempunyai pilihan lain, kecuali melakukan perbuatan tersebut. Mengingat keadaan yang ada pada diri pembuat tindak pidana , maka tidak mungkin baginya untuk menolak atau memilih ketika melakukan perbuatan tersebut. Pembuat tindak pidana tindak pidana yang melakukan tindak pidana karena terdorong oleh daya paksa, terpaksa melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan itu karena didorong oleh suatu tekanan kejiwaan yang datangnya dari luar. Dalam keadaan demikian kehendak pembuat tindak pidana menjadi tidak bebas. Dengan adanya tekanan dari luar tersebut, maka 72 keadaan kejiwaan pembuat tindak pidana tindak pidana pada saat itu tidak berfungsi secara normal. Keadaan ini berbeda dengan keadaan tidak mampu bertanggung jawab. Dalam keadaan tidak mampu bertanggung jawab, fungsi kejiwaannya tidak normal bukan disebabkan karena tekanan dari luar, melainkan keadaan kejiwaanya itu sendiri tidak berfungsi secara normal. Mungkin pula seseorang mengalami tekanan kejiwaan, tetapi bukan karena sesuatu yang datang dari luar, melainkan karena keberatan-keberatan yang didasarkan kepada pertimbangan pikirannya sendiri. Hal yang demikian tidak merupakan alasan pemaaf yang dapat menghapuskan pidananya. Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh kekuatan yang tidak dapat ditahan” adalah vis absoluta (daya paksa absolut). Yang dimaksud dengan “dipaksa oleh adanya ancaman, tekanan atau kekuatan yang tidak dapat dihindari” adalah vis compulsiva (daya paksa relatif). Pasal 44 menyatakan : Tidak dipidana, setiap orang yang melakukan pembelaan terpaksa yang melampaui batas,yang langsung disebabkan kegoncangan jiwa yang hebat karena serangan seketika atau ancaman serangan yang segera. Pasal 45 menyatakan : Perintah jabatan yang diberikan tanpa wewenang tidak mengakibatkan hapusnya pidana, kecuali jika orang yang diperintahkan dengan iktikad baik mengira bahwa perintahTersebut diberikan dengan pelaksanaannya termasuk dalam lingkungan pekerjaannya. wewenang dan 73 Pasal 46 menyatakan : Termasuk alasan pemaaf ialah : a. tidak ada kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1); b. pada waktu melakukan tindak pidana menderita gangguan jiwa, penyakit jiwa, atau retardasi mental sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40; atau c. belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 113 ayat (1). Begitu pula dalam hukum pidana suatu delik dapat diwujudkan dengan kelakuan aktif atau positif, sesuai dengan uraian delik yang mensyaratkannya, misalnya mencuri ada dalam pasal 362 KUHPidana, menipu pasal 378 KUHPidana dan lain sebagainya. Kemampuan bertanggung jawab dalam kasus pidana umunya tidak diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Yang diatur malah sebaliknya yaitu ketidakmampuan bertanggung jawab seperti yang ada dalam sub bab sebelumnya.62 Mengenai hapusnya hukuman maka ada empat perkara, yaitu terpaksa, mabuk, gila, dan belum dewasa. Pada masing-masing perkara ini pembuat melakukan perbuatan yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh syara‟ yang seharusnya dijatuhi hukuman, karena adanya hal-hal yang terdapat dari diri pembuat, bukan pada perbuatannya itu sendiri. Jadi dasar pembebasan hukuman ialah keadaan diri pembuat dan hal ini dengan kebolehan perbuatan yang dilarang karena dasar kebolehan ialah sifat perbuatan yang mengakibatkan perbuatan tidak dilarang. 62 Zainal Abidin, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika. 2007 74 Pada hukum positif hal-hal yang menghapuskan pertanggung jawaban pidana tersebut tidak dipisah-pisahkan karena semuanya dimasukan dalam hal-hal yang menghapuskan hukuman. Tanpa melihat apakah perbuatan-perbuatan yang dikerjakan, karena hal-hal tersebut dibolehkan dan tidak dijatuhi hukuman, ataukah perbuatan-perbuatan tersebut tetap dilarang tetapi perbuatannya tidak dijatuhi hukuman. Dalam pertanggung jawaban pidana (kesalahan), konsep menegaskan secara explicit dalam pasal 35 ayat (1) ”asas tiada pidana tanpa kesalahan” (Geen straf zonder schuld), Keine Strafe onhe Schuld, no pusnishment without Guilt, yang di dalam KUHP tidak ada. Asas culpabilitas ini merupakan salah satu asas fundamental, yang oleh karenanya perlu ditegaskan secara explicit didalam konsep sebagai pasangan dari asas legalitas. Penegasan yang demikian merupakan perwujudan pula dari ide keseimbangan monodualistik. Konsep tidak memandang kedua asas/syarat itu sebagai syarat yang kaku dan bersifat absolute. Oleh karena itu, konsep juga kemungkinan dalam hal-hal tetentu untuk menerapkan asas “strict liability”, asas vicarious liability dan asas pemberian maaf/pengampunan oleh hakim (rechterlijk pardon atau judicial pardon). Menurut Ruslan Saleh sehubungan dengan alasan penghapusan pidana mungkin karena: 1) Perbuatan yang telah mencocoki rumusan delik itu kemudian dipandang tidak bersifat melawan hukum atau dengan pendekatan adanya alasan pembenar 75 2) Melihat pada perbuatannya memanglah suatu perbuatan yang mencocoki rumusan delik tetapi setelah dipertimbangkan keadaan-keadaan pada orangorangnya maka dipandang bahwa dia tidak mempunyai kesalahan atau dengan pendek adanya alasan pemaaf.63 Alasan penghapus pidana(strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus ( yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa ) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana.64 C. Perbandingan Antara Hukum Islam dan Hukum Positif Syariat Islam sama pendiriannya dengan hukum Positif dalam menetapkan jarimah tindak pidana dan hukumannya, yaitu dari segi tujuannya. Baik dalam hukum pidana Islam maupun hukum positif keduanya sama-sama bertujuan memeliharakepentingan dan ketentraman masyarakat serta menjamin kelangsungan hidupnya. Meskipun demikian terdapat perbedaan yang jauh antara keduanya karena, memang watak dan tabiat keduanya jauh berbeda. Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut. 1) Hukum Islam sangat memperhatikan pembentukan akhlak dan budi pekerti yang luhur, karena akhlak yang luhur merupakan sendi atau 63 Sianturi. Asas-asas hukum pidana di Indonesia dan penerapannya. Jakarta: Gunung Mulia. 1982 64 Nico Keijer, 1990 : 1 76 tiang untuk menegakkan masyarakat. Oleh karenanya, setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak selalu dicela dan diancam dengan hukuman. Sebaliknya, hukum positif tidaklah demikian. Menurut hukum positif ada beberapa perbuatan yang walaupun bertentangan dengan akhlak dan budi pekerti yang luhur tidak dianggap sebagai tindak pidana, kecuali apabila perbuatan tersebut membawa kerugian langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat. Sebagai contoh adalah perbuatan zina. Menurut hukum Islam zina adalah perbuatan yang bertentangan dengan akhlak dan mempunyai dampak negative terhadap masyarakat. Oleh karenanya, hukum Islam memandangnya sebagai jarimah dan mengancamnya dengan hukuman, dalam keadaan dan bentuk bagaimanapun juga, baik dilakukan dengan suka sama suka, oleh perjaka dan gadis maupun oleh orang-orang yang sudah berkeluarga. Akan tetapi hukum positif tidak menganggap hubungan kelamin diluar nikah sebagai tindak pidana dan karenanya tidak mengancamnya dengan hukuman, kecuali apabila terjadi perkosaan terhadap salah satu pihak atau pelakunya adalah orang yang masih ada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain. 2) Undang-undang (hukum positif) adalah produk manusia, sedangkan hukum Islam bersumber dari Allah (wahyu). Dalam hukum Islam beberapa macam tindak pidana yang hubungannya dengan al-qur‟an dan as sunnah yaitu jarimah hudud dan qishash, dan yang diserahkan kepada 77 ulil amri yaitu jarimah ta‟zir. Dalam hukum positif merupakan produk manusia tentu saja serba tidak lengkap dan tidak sempurna.65 65 Ahmad Wardi Muslich. Pengantar dan Asas Hukum Pidana IslamFiqh Jinayyah. (Jakarta : Sinar Grafika. 2004). BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Penulis mengambil kesimpulan bahwa faktor kejiwaan mempengaruhi adanya tindak pidana. Dalam kejiwaan seseorang sangat erat sangat erat kaitannya untuk melakukan suatu tindakan. Pada hukum postitif tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging adalah) adalah apabila yang didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan tindak pidana. Pertimbangan hakim yang lain adalah apabila terdapat keadaan-keadaan istimewa yang menyebabkan terdakwa tidak bisa dihukum yaitu adanya alasan pembenar dan alasan pemaaf. Alasan penghapus pidana (strafuitsluitingsground) diartikan sebagai keadaan khusus (yang harus dikemukakan, tetapi tidak perlu dibuktikan oleh terdakwa) yang jika dipenuhi menyebabkan meskipun terhadap semua unsur tertulis dari rumusan delik telah dipenuhi tidak dapat dijatuhkan pidana. Dalam Konsep KUHP yang baru dikenal ada dua alasan penghapus pidana yaitu alasan pembenar dan alasan pemaaf. Jadi ketidakmampuan bertanggung diartikan perkembangan jiwa yang tidak normal dan penyakit yang disebabkan gangguan kejiwaan, juga syarat adanya hubungan kausal antara penyakit jiwa dan perbuatan. 78 79 Begitu pun dalam hukum Islam penulis mengambil kesimpulan walaupun ada persamaan dengan hukum positif bagi pelaku tindak pidana atas motivasi kejiwaan, tetapi hukum Islam yang lebih istimewa. B. Saran-saran Mengingat pentingnya faktor kejiwaan atau tekanan kejiwaan seseorang untuk melakukan tindak pidana berupa pelanggaran dan kejahatan dalam system peradilan pidana yang terdiri dari polisi, jaksa, hakim, dan lembaga pemasyarakatan. Pada dasarnya bukanlah semata-mata menjatuhkan vonis hukum semaunya saja, melainkan harus sesuai dengan KUHP bila perlu sesuai dengan hukum Islam. Karena pada keduanya ada yang memberatkan dan ada yang meringankan. Oleh karena itu harus jadi pertimbangan mereka terlebih dahulu, yang tidak lain penetapan hukumannya sesuai dengan tindak pelanggaran atau kejahatan yang dilakukan. Dalam penjelasan dari beberapa faktor kejiwaan yang timbul dalam diri seseorang hendaklah ditanggulangi dengan adanya pengajian-pengajian, dengan adanya lapangan kerja yang menimbulkan skill atau kemampuan sehingga mereka bisa menggunakan skill atau kemampuan mereka dengan bekerja. Untuk itulah sebagai bahan pertimbangan berikutnya adalah : 1. Pentingnya untuk memahami beberapa sebab yang timbulkan dari akibat kejiwaan seseorang sehingga orang tersebut melakukan tindak pidana baik 80 tindak pidana umum maupun khusus. Seperti pencurian, pembunuhan, pemerkosaan,terorisme, korupsi dan cyber crime serta lain sebagainya. 2. Usaha keras yang dilakukan dari para ahli baik dalam hukum pidana positif maupun pakar pidana Islam dan para ahli psikology tentang factor kejiwaan sebagai pendorong pelaku tindak pidana dan vonis dalam penjatuhan hukuman. 81 DAFTAR PUSTAKA Al Qur‟an Al Kariim Abidin, Zainal, Hukum Pidana 1, Jakarta : Sinar Grafika, 2007, cet ke-2 Abu Fida‟ Abdul Rafi‟, Terapi Penyakit Korupsi Dengan Tzkiyyatun Nafs (Penyucian Jiwa), (Jakarta : Republika, 2004),Cet. 1. h. 9 Asshidiqqie, Jimmly, Aspek-aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta, UI Press, hal. 125-127 Audhah Qadir Abdul, At-Tasyri‟ Al-Jina‟iy Al-Islamy, Beirut: Dar Al-Kitab Al-Araby Hanafi, Ahmad, “asas-asas hukum pidana Islam”. Jakarta : Bulan bintang. 2005, hal 119 Imam Al Mawardi dan Abu Al Hasan bin Muhammad bin Habib, Al Ahkam Al Sulhaniyyah, (Kairo : Mathaba‟at Al Halabi, 1375H), h. 155 Linton Sirait. Tugas Hakim Dalam Memutus Perkara. Jakarta: CV. Mandar Maju, 1998 M Nur Said, Hukum Acara Perdata, Jakarta : Sinar Grafika, 2005, hal. 15 Merpaung, Laden, Tindak Pidana Terhadap Kehormatan, Jakarta : PT. Raja Grafindo, 1997, Cet ke-1 Muhammad A. Al-Buraey, h. 86 82 Muhammad Bin Ahmad Al-Qarati, Qawanial- Ahkam As Syari‟ah, (Beirut : Lebanon, tanpa penerbit), h. 324 Muhammad As Syaukani, Nailur Autar, (Mesir : Penerbit tidak terbaca), Juz 8, h. 282 Mulyadi, Lilik, Hukum Acara Pidana, Bandung : PT. Alumni, 2007 Mustofa, Muhammad, Kriminologi Kajian Sosiologi Terhadap Kriminalitas, Perilaku Menyimpang dan Pelanggaran Hukum, Fisip UI Press : 2007 Ranoemihardja, Atang, Ilmu Kedokteran Kehakiman, Bandung : Tarsito, 1991 Purnomo, Bambang, Operasi Pemberantasan Kejahatan dan Kemanfaatan Ahli Kedokteran Jiwa, Yogyakarta : Bina Aksara, 1984. Santoso, Topo, Kriminologi, Bandung : PT. Raja Grafindo Persada, 2001, hal 67 Suryanto, Perilaku Kriminal Ditinjau Dari Aspek Psikologis Pelaku, Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Sutantio, Retnowulan, Iskandar Oeripkartawinata, Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek, Bandung : Mandar Manjur, 1997, hal. 109-110 Suyanto, Bagong, Masalah Sosial Anak, , Jakarta : Prenada Media Group, 2003, cet ke-1 Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung : Pustaka Setia, 2000 Tengku Muhammad Hasbi Ash Shidieqqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, h. 61 83 Walgito, Bimo, Pengantar Psikologi Umum, Yogyakarta : C. V Andy Offset, 2010 Wirjono, Prodjokiro, Asas-asas Hukum PIdana di Indonesia, Jakarta : PT. Rafika Aditama, 2003 http: tindak kejahatan dan hubungannya dengan kejiwaan. Kitab Undang-undang Hukum Pidana No 1 Tahun 1946 Kitab Undang-undang Acara Pidana No 8 Tahun 1981 UUPKejaksaan UU No 16 Tahun 2004 UUPKehakiman UU No 48 Tahun 2009