Peningkatan Kualitas Hidup Menuju Masyarakat Sehat Ada yang menarik berkait dengan fenomena masalah kesehatan jiwa, yaitu indikator kesehatan jiwa di masa mendatang bukan lagi masalah klinis seperti prevalensi gangguan jiwa, melainkan berorientasi pada konteks kehidupan sosial. Oleh karena itu, upaya menjamin kesehatan jiwa tidak lagi hanya urusan psikiater, tetapi juga melibatkan profesi lain. Demikian dikemukakan dr Danardi SpKJ dari Bagian Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Fokus kesehatan jiwa, papar Danardi, bukan lagi hanya menangani orang sakit, melainkan pada peningkatan kualitas hidup. Jadi, konsep kesehatan jiwa bukan lagi sehat atau sakit, melainkan kondisi optimal yang ideal dalam perilaku dan kemampuan fungsi sosial. Seseorang dikatakan sehat jika mampu berkarya, mampu bersosialisasi, dan menikmati waktu senggang. Artinya, meskipun seseorang pernah menderita skizofrenia dan mempunyai kemungkinan kambuh, jika tiga hal itu tercapai maka bisa dikatakan bahwa ia dalam taraf kesehatan optimal. Definisi berkarya dalam hal ini bukan hanya bekerja di kantor, tetapi juga jika mampu melakukan pekerjaan keseharian seperti mencuci piring, membantu masak, tidak hanya bersikap pasif tanpa mengerjakan sesuatu. Atas dasar itu, lantas timbul pertanyaan. Seperti apa sebenarnya gangguan kesehatan jiwa itu? Bagaimana kondisi jiwa seseorang yang sehat? Dan kualitas hidup seperti apa yang mampu membangun terwujudnya struktur masyarakat sehat tersebut? Terjadinya perang, konflik dan lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stres, depresi dan berbagai kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyatakan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Dr Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hampir satu per tiga dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Buktinya, bisa kita cocokkan dan lihat sendiri dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebesar 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Dalam hal ini, Prof Dr Azrul Azwar MPH, Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes, mengatakan, angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan 1 kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia. Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang di antaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya. Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya banyak penyebabnya. Namun, menurut Prof Dr dr H Aris Sudiyanto SpKJ, Guru besar ilmu kedokteran jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organik. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria, dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol, dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah asuh, hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustrasi, konflik dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial atau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stresor psikososial (baca: perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonel, dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain). Ciri Kesehatan Jiwa Hidup sehat dan memperoleh derajat kesehatan yang optimal itu merupakan hak setiap orang di republik ini, termasuk masalah kesehatan jiwa. Dalam UU No 23 Tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Kesehatan diartikan sebagai keadaan sejahtera dari badan, jiwa dan sosial yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis. Betapa indahnya kondisi hidup sehat itu. Adapun berkait dengan ciri utama kesehatan jiwa seseorang, menurut Prof Dr dr H Aris Sudiyanto SpKJ, adalah ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat mandiri, bertanggung jawab, bersikap matang, serta dapat merasakan kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya. Kalau salah satu dari ciri utama itu terganggu, berarti kesehatan jiwa seorang individu bisa dikatakan terganggu. Dampaknya, apabila fungsi kejiwaan seseorang itu terganggu, maka ia dapat mempengaruhi bermacam-macam fungsi seperti pada ingatan, orientasi, 2 psikomotor, proses berpikir, persepsi, intelegensi, pada kepribadian, dan lainnya. Oleh sebab itu, menurut WHO, jika 10 persen dari populasi mengalami masalah kesehatan jiwa maka harus mendapat perhatian karena termasuk rawan kesehatan jiwa. Sejalan dengan paradigma sehat yang dicanangkan Departemen Kesehatan yang lebih menekankan upaya proaktif-melakukan pencegahan daripada menunggu di rumah sakit- kini orientasi upaya kesehatan jiwa lebih pada pencegahan (preventif) dan promotif. Upaya itu melibatkan banyak profesi, selain psikiater/dokter juga perawat, psikolog, sosiolog, antropolog, guru, ulama, jurnalis, dan lainnya. Penanganan kesehatan jiwa bergeser dari hospital base menjadi community base. Masyarakat Sehat Untuk mencapai masyarakat sehat, harus berawal dari pribadi-pribadi yang sehat pula, baik jasmani maupun mentalnya. Dalam hal ini, Erich Fromm (1995) mengungkapkan pribadi yang sehat mental adalah pribadi yang produktif dan tidak teraliensi, pribadi yang menghubungkan dirinya sendiri dengan dunia penuh cinta, dan yang menggunakan akal budinya untuk menangkap realitas secara objektif. Juga yang merasa dirinya sendiri sebagai satu kesatuan individu yang unik dan pada saat yang sama merasa satu dengan sesamanya, yang tidak tunduk pada otoritas irasional dan menerima secara tulus otoritas rasional dari hati nurani dan alam pikiran, seseorang yang mengalami proses lahir kembali sepanjang ia hidup, dan menganggap rahmat kehidupan adalah sebuah kesempatan yang sangat berharga. Pendek kata, kondisi kewarasan dan kesehatan mental dapat dicapai hanya dengan perubahan-perubahan simultan dalam berbagai bidang pembangunan di sekitar kita. Bisa berupa bidang industri, pendidikan, organisasi politik, spiritual, orientasi filosofis, struktur karakter, perilaku manusia, aktivitas kebudayaan suatu masyarakat, dan lain-lain. Lalu, masyarakat seperti apa yang sejalan dengan tujuan kesehatan mental (jiwa) itu? Sebagai solusinya, paling tidak, ada empat ciri pembentuk dari struktur masyarakat yang sehat itu. Pertama, masyarakat sehat adalah suatu masyarakat yang di dalamnya tak ada seorang manusia pun yang diperalat oleh orang lain, tetapi selalu (tak terkecuali) menjadi tujuan dirinya. Oleh karena itu, seharusnya tak ada seorang pun yang diperalat/memperalat diri sendiri. Di mana manusia itu menjadi pusat dan semua aktivitas ekonomi maupun politik diturunkan pada tujuan perkembangan diri manusia. Kedua, suatu masyarakat yang sehat mendorong aktivitas produktif setiap warganya dalam pekerjaannya merangsang perkembangan akal budi dan lebih jauh lagi, ia mampu membuat manusia untuk mengungkapkan kebutuhan batinnya berupa seni dan perilaku normatif kolektif. 3 Ketiga, masyarakat yang sehat adalah masyarakat dengan sifat-sifat rakus, eksploitatif, pemilikan berlebihan, naisisme, tak mendapat kesempatan untuk dimanfaatkan dalam meraup keuntungan material tanpa batas atau untuk semata-mata gengsi seseorang, yakni dimana tindakannya menurut keyakinan pribadi menjadi sifat dasar dan penting; di mana oportunisme dan kurang memiliki pendirian dianggap asosial. Dalam arti lain, dimana hubungan dengan sesama tak terpisahkan (baca: menjadi masalah pribadinya juga) dari hubungan dengan diri sendiri. Keempat, suatu masyarakat sehat adalah kondisi masyarakat yang memungkinkan orang bertindak dalam dimensi-dimensi yang dapat dipimpin dan diobservasi. Walaupun ia menjadi partisipan aktif dan bertanggung jawab dalam kehidupan masyarakat, selain sebagai tuan atas hidupnya sendiri. Akhirnya, untuk mewujudkan struktur masyarakat sehat seperti itu, maka kuncinya tidak lain adalah setiap kita harus melakukan peningkatan kualitas hidup yang dapat menjamin terciptanya kondisi sehat yang sesungguhnya. Sumber : Suara Pembaruan Sumber : http://www.dnet.net.id/kesehatan/beritasehat/detail.php?id=2254 4