BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan bantuan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebijakan bantuan menjadi salah satu kebijakan pembangunan yang masih
terus dilaksanakan hingga kini. Meski demikian, evolusi atas gagasan dan praktek
pembangunan telah mempengaruhi struktur bantuan internasional, sehingga kebijakan
bantuan terus mengalami transformasi baik dalam aspek distribusi, orientasi maupun
motif.1 Transformasi paling subtantif dalam kebijakan bantuan adalah konsepsi
mengenai bentuk kebijakan yang dinilai sebagai Official Development Assistance
(ODA) atau bantuan pembangunan dan bukan ODA.2 Ini berimplikasi pada
keseluruhan kebijakan bantuan yang telah ada sebelumnya. Di tahun 1970 hingga
1980an bentuk bantuan yang pada tahun 2005 dianggap ODA, malah dianggap bukan
merupakan ODA.3 Berdasarkan dokumen Organization on Economic Cooperation
and Development (OECD), ODA atau bantuan pembangunan memiliki bentuk sendiri
(lihat lampiran).4
Bukan hanya mengenai perubahan dalam konsepsi bantuan pembangunan,
pola kebijakan bantuan pembangunan oleh tiap-tiap negara donor juga mengalami
transformasi dan membentuk karakteristiknya sendiri. Negara – negara Eropa seperti
Jerman dan Perancis misalnya menjadi negara donor dengan jumlah ODA terbesar
1
Makna transformasi dalam tesis ini dimaksudkan sebagai perubahan ODA berdasarkan rupa yakni
bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).
2
Istilah Official Development Assistance (ODA) akan digunakan bergantian dengan kata bantuan.
Dalam tulisan ini, keduanya memiliki makna yang sama.
3
IDA, 2007, “Aid Architecture: An Overview Of The Main Trends In Official Development
Assistance Flow”, disampaikan pada International Development Association Resource Mobilization
(FRM) Februari 2007, Hal.32
4
Konsepsi bantuan tersebut kemudian mengalami perubahan setelah negara-negara OECD
menyepakati bahwa bantuan pembangunan (ODA) berbeda dari sekedar pinjaman atau pun hibah. Ini
sebab ODA terdiri dari hibah dan pinjaman sekaligus, adapun bentuk pinjamannya bersifat lunak
dibandingkan pinjaman dari lembaga internasional lainnya, dikutip Dari Ausaid, 2008, ” Is It Oda?”,
Facsheet September 2008, Canberra:Ausaid, Hal.1.
1
saat ini.5 Sejalan dengan Eropa, Amerika Serikat masih terus meningkatkan anggaran
bantuannya. Paling tidak, AS menghabiskan 21,75 juta dollar AS dengan alokasi
paling besar berada di kawasan Timur Tengah. Ini berdasarkan pernyataan dari AS
sendiri bahwa bantuan mereka digunakan sebagai respon terhadap peristiwa 11
September yang telah mengganggu stabilitas negara tersebut. Lain halnya dengan
Jepang yang sebelumnya menjadi pemain utama dalam distribusi ODA6, sebaliknya
lambat laun memilih untuk memperkecil kuantitas bantuannya dan melakukan revisi
terhadap Pedoman ODA negara tersebut pada tahun 2003 yang mempengaruhi
kebijakan Jepang secara keseluruhan.7 Data OECD menyebutkan bahwa Jepang
melakukan pemotongan terhadap volume ODA-nya hingga mencapai 40 persen
selama sepuluh tahun sejak tahun 1998.8
Berbagai fenomena yang digambarkan di atas menggambarkan realita
transformasi pola kebijakan bantuan pembangunan. Di lain pihak, bukan hanya negaranegara Eropa, Amerika Serikat, Jepang maupun Cina yang mengalami transformasi
tersebut. Australia sebagai salah satu negara Development Assistance Committee
(DAC) juga mengalami transformasi yang serupa. Sayangnya, transformasi ODA
Australia jarang menjadi objek kajian meskipun negara tersebut sebenarnya memainkan
peran penting sebagai negara donor di kawasan Asia. Sebagai negara donor terbesar dan
berada di lingkup kawasan Asia sendiri, Australia memberikan ODA dalam berbagai
sektor seperti pendidikan, infrastuktur, penanggulangan kemiskinan, perlindungan sosial
dan pengelolaan ekonomi.9 Australia juga secara rutin mengeluarkan dokumen berisi
5
Minoru Makishima dan Mitsunori Yokoyama, 2012, “Japan’s ODA To Mekong River Basin
Countries”, Chiba: Institute of Developing Economies Hal.165
6
Pada tahun 1978 Jepang menjadi donor terbesar kedua dan terbesar pertama di dunia pada tahun
1989. Dikutip dari IDA, Op.Cit, Hal.27
7
Kazuo Sunaga, 2004, “The Reshaping Of Japan's Official Development Assistance (ODA) Charter,
Discussion Paper On Development Assistance November 2004 No. 3, Tokyo: FASID. Hal.5
8
Minoru Makishima dan Mitsunori Yokoyama, Op.Cit, Hal.162
9
Charles Tapp, 2011, “Study of Australia’s Approach to Aid in Indonesia: Final Report”, A Report to
the Panel Conducting the Independent Review of Aid Effectiveness, Washington DC: Commonwelath
of Australia, Hal.5
2
rencana dan evaluasi mengenai bantuan pembangunannya melalui berbagai dokumen
yang menjadi pedoman kebijakan negara tersebut dalam pemberian ODA.10
Hal menarik kemudian adalah Australia memiliki pola tersendiri dalam
kebijakan bantuannya yang terbangun melalui perjalanan panjang negara tersebut
sebagai negara anggota DAC. Selama ini, Australia telah menjadi donor bagi belasan
negara terutama negara – negara di Asia Tenggara, Pasifik, dan Afrika. Data terbaru
menyebutkan bahwa jumlah ODA Australia mencapai 4799 milliar U$ atau 0,35 % dari
dari GNI Australia.11 Meskipun jumlah tersebut bukanlah jumlah tertinggi jika
dibandingkan dengan negara DAC lainnya. Komitmen Australia terhadap Paris
Declaration on Aid Effectiveness dapat dilihat dari sektor ODA yang semula hanya
960 milliar dolar AS pada periode 1998 menjadi 1219 milliar dolar AS pada 2003.12
Begitupula dengan negara jumlah resipen yang terus bertambah dan meluas
secara regional. Dari yang semula Australia hanya memberikan kepada enam
kawasan termasuk Afrika, Latin Amerika dan Eropa pada tahun 1999 lalu bertambah
menjadi tujuh dengan penambahan pada wilayah yang dikategorikan tidak tentu
dengan jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.13 Di antara kawasan – kawasan
tersebut, kawasan Pasifik sebelumnya menjadi kawasan yang paling besar
memperoleh alokasi ODA Australia. Namun, sejak tahun 2005, situasi tersebut
berubah ketika Asia Tenggara menggantikan posisi Pasifik menjadi kawasan dengan
jumlah alokasi ODA terbesar.14
Untuk kawasan Asia Tenggara sejak 2006 berdasarkan White Paper on the
Australian Government’s Overseas Aid Program diungkapkan bahwa Sub Wilayah
Mekong menjadi area penting dalam kerangka program ODA Australia di tahun10
Paling tidak terdapat lima dokumen yang dibuat khusus sebagai perencanaan dan evaluasi ODA
Australia yakni Report Of The Committee To Review The Australian Overseas Aid Program
1984, One Clear Objective: Poverty Reduction Through Sustainable Development 1997 ,
Australian Aid: Promoting Growth And Stability 2006,
Budget: Australia's International
Development Assistance Program 2011‐2012, dan Aid Strategies 2012.
11
OECD, 2011, “Tabel Net ODA DAC And Other OECD Member In 2011”,
www.oecd.org/dac/stats/50060310.pdf diakses 27 Maret 2013 Pukul 9:45.
12
Ausaid, 2000b, DAC Peer Review Australia, Canberra:Ausaid, Hal. II.6 dan Ausaid, 2005, DAC
Peer Review Australia, Canberra:Ausaid, Hal. 6
13
OECD. Ibid.
14
Satish Chand, 2011, ‘Who Receives Australian Aid And Why?’ Discussion Paper 6 Juni 2011,
Canberra:Development Policy Center, Hal. 5
3
tahun berikutnya. Ini digejawantahkan dalam aliran ODA sebesar 40 milliar dolar AS
per tahun dengan kerja sama antara Ausaid dengan Asian Development Bank (ADB)
dalam sebuah program bernama Great Mekong Subregion (GMS) sejak tahun 2005.15
Tidak jauh berbeda dengan bantuan pembangunannya bagi Sub Wilayah
Mekong, Australia pada saat yang sama menaruh perhatian besar terhadap Indonesia.
Negara tersebut menyebut kebijakan ODA-nya untuk Indonesia sebagai ‘kemitraan
bilateral yang unik’ yang tercatat sebagai sejarah pemberian ODA terbesar yang
pernah diberikan Australia senilai lebih dari 1,8 juta dollar AS.16 Sedangkan secara
keseluruhan, Australia telah meningkatkan jumlah ODA untuk Indonesia dari
sebelumnya yang hanya 120 milliar Dolar AS di tahun 2003 menjadi 450 milliar Dolar
AS di tahun 2010.17 Hal ini menempatkan Indonesia dan Sub Mekong khususnya dan
kawasan Asia Tenggara umumnya sebagai wilayah yang memperoleh volume ODA
terbesar. Ini sebab, negara-negara di Asia Tenggara mayoritas memiliki jumlah rakyat
miskin yang cukup besar meskipun pada umumnya mereka telah dikategorikan sebagi
negara berkembang. Tercatat misalnya jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 21
persen atau senilai dengan 47 juta orang. Rakyat miskin tersebut terutama hidup di
daerah terpencil seperti kawasan Timur Indonesia.18
Berangkat dari fakta sebelumnya, ODA dipandang sebagai kebijakan yang
sangat berkontribusi terhadap pembangunan negara-negara di Asia Tenggara.19
Keterlibatan Australia dalam memberikan bantuan pembangunan yang cukup
signifikan di kawasan tersebut tentu tidak mungkin dilepaskan dari transformasi
kebijakan bantuan yang terjadi. Selain itu, memahami transformasi kebijakan bantuan
pembangunan Australia dengan membatasi permasalahan khusus di Asia Tenggara,
15
Lindsay Soutar, 2006, “An Update On Australian Development Assistance In The Mekong
Region”, Mekong Brief Number 4 November .Sydney: Australian Mekong Resource Centre, Hal.2.
16
Reality Of Aid Organization, “The Reality Of Aid Asia-Pacific Edition”,
http://www.realityofaid.org/userfiles/roareports/roareport_fada78686d.pdf diakses 5 Maret 2013 Pukul
13:52, Hal.87
17
Charles Tapp. Op.Cit. Hal.5
18
Ukuran tingkat kemiskinan menggunakan batasan pendapatan tahun 2005 yakni 1, 25 dollar AS per
hari berdasarkan ukuran OECD. Lihat Mark Baird, 2009,” Service Delivery For The Poor Lessons
From Recent Evaluations Of Australian Aid November 2009”, Canberra:Ausaid, Hal.4
19
OECD, Loc.Cit.
4
akan memberikan gambaran yang lebih jelas terutama karena kawasan tersebut
memiliki kedekatan geografis dengan Australia selain kawasan Pasifik tentunya.
Pada akhirnya, meskipun kebijakan bantuan bukan lagi menjadi hal baru
namun perubahan signifikan dalam pola dan mekanismenya terutama alokasi, prioritas
serta strategi negara donor dan negara resipen membawa implikasi yang tidak bisa
dipandang sebelah mata terhadap hubungan internasional dewasa ini. Kenyataannya
sejak Marshall Plan di tahun 1940an, kebijakan bantuan masih terus diambil oleh
negara-negara maju kepada negara berkembang dan begitu pula sebaliknya, negara
berkembang masih saja menerima bantuan dari negara-negara maju. Untuk itulah
pola kebijakan ODA menjadi titik penting dari keseluruhan kerangka bantuan untuk
mengarahkan kita pada penjelasan mengenai latar belakang transformasi kebijakan
ODA sebagai implikasi dari perubahan identitas negara donor.
Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha mengetahui penyebab
terjadinya transformasi pada pola ODA Australia. Berbeda dari kajian mengenai ODA
yang telah ada dan seringkali berkutat pada efektivitas kebijakan bantuan, penelitian ini
berfokus pada persoalan transformasi pola kebijakan bantuan. Australia dipandang
penting oleh penulis, karena selain merupakan salah satu aktor utama dalam pemberian
bantuan di kawasan Asia Pasifik, Australia juga merupakan salah satu dalam lingkup
internasional negara anggota DAC yang merupakan ‘klub’ negara-negara donor
internasional.
B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari landasan mengenai transformasi kebijakan bantuan yang
terjadi pada berbagai negara dan argumentasi penulis di awal berkaitan dengan
distribusi dan orientasi bantuan pembangunan Australia, maka penelitian ini berusaha
untuk menjawab problematika utama mengenai dalam kondisi bagaimana kebijakan
ODA Australia di Asia Tenggara bersifat altruistik dan dalam kondisi bagaimana
kebijakan tersebut bersifat strategis? dan mengapa transformasi kebijakan ODA
tersebut terjadi?
5
C. Alasan Penelitian
Kajian bantuan merupakan salah satu kajian ekonomi politik yang populer,
terutama karena baik dalam segi perdebatan teoritis maupun segi praktis, kajian bantuan
masih terus berlangsung. Untuk itu, alasan utama yang mendorong pemilihan topik
bantuan tidak lepas dari alasan teoritik dan praktis.
Dalam hal teoritik, penelitian ini berusaha menjelaskan dan menguji secara
komprehensif tranformasi pola bantuan luar negeri dalam hal ini ODA yang diberikan
oleh Australia di kawasan Asia Tenggara. Jika selama ini ODA dipandang sebagai
salah satu instrumen meraih kepentingan nasional dalam pandangan realis atau bagian
dari kerja sama internasional oleh kaum liberal, bagaimanakah transformasi pola yang
terjadi dalam distribusi dan orientasinya dijelaskan melalui perspektif yang lain.
Penelitian ini berfokus kepada perspektif konstruktivisme yang difokuskan penulis pada
perubahan identitas Australia.
Adapun dari sisi praktis, penelitian ini berusaha untuk memberi alternatif
kebijakan luar negeri bagi Australia maupun negara-negara Asia Tenggara terutama
terkait kebijakan ODA. Jika selama ini kebijakan ODA dilakukan berlandaskan dua
pandangan yang saling tarik menarik oleh kaum konservatif dan kaum liberal di
dalam negeri Australia mengenai fungsi ODA sebagai instrumen strategis atau
sebaliknya sebagai bagian dari sisi altruistik negara semata, maka melalui penelitian
ini perdebatan itu akan dibawa ke ranah yang lebih luas mengenai identitas Australia
di Asia Tenggara dan intersubjektivitas internasional yang melingkupinya.
D. Reviu Literatur
Ada berbagai macam kajian mengenai kebijakan bantuan luar negeri yang
juga membahas berbagai macam bentuk bantuan dan menggunakan berbagai
perspektif. Secara umum, kajian bantuan masih mengalami perdebatan. Perdebatan
tersebut terutama terkait oleh mereka yang mendukung kebijakan bantuan dan
mereka yang mengkritisi kebijakan tersebut. Setiap posisi didukung oleh fakta dan
argumentasi tersendiri.
6
Pihak yang sepakat bahwa kebijakan bantuan telah memberikan keuntungan
dan dampak yang besar terhadap pembangunan terutama membuktikan bahwa
bantuan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi seperti Hansen dan Tarp,
Roodman, serta Dalgaard dkk meskipun faktor lain juga turut menentukan
keberhasilan pembangunan.20 Ridell juga melihat bahwa bantuan telah bekerja
dengan baik dalam mengatasi permasalahan pembangunan21 sejalan dengan Sachs22
dan Pogge23 yang mendukung efektivitas bantuan dalam proses pembangunan
terutama dalam konteks pembangunan manusia.
Di posisi berbeda ada berbagai kritik yang memandang bahwa bantuan tidak
menunjukkan dampak positif. Hal ini sebab ada berbagai latar belakang yang
mendasarinya, baik itu oleh ketidakefektifan pemberian bantuan seperti yang
diungkapkan Browne24 maupun yang lebih tajam dalam melihat bahwa bantuan
selama ini tidak menjadi solusi pembangunan. Faktanya adalah bantuan
pembangunan menjadi masalah pembangunan itu sendiri. Oleh Moyo, bantuan ini
dianggap sebagai ‘dead aid’.25 Sejalan dengan itu, Easterly berargumen bahwa
bantuan tidak diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin namun sesuai
dengan kebutuhan pemerintah.26
Merujuk kepada perdebatan besar tersebut, pada penelitian ini penulis akan
lebih spesifik membahas mengenai transformasi kebijakan bantuan Australia.
Sayangnya, kajian mengenai transformasi dan pola bantuan Australia belum banyak
diteliti. Kecenderungan berbagai kajian mengenai transformasi ODA Australia lebih
banyak berkutat pada level efektivitas kebijakannya. Meski demikian, ada beberapa
20
S. Howes, ‘An Overview Of Aid Effectiveness Determinants And Strategies’, Discussion Papers
Development Policy Centre, Crawford School Of Economics And Government, 2011, Hal.8.
21
Rodell
C.Riddle,
2014,
“Does
Foreign
Really
Work”,
Keynote
dalam
Australasian Aid and International Development Workshop, Canberra 13 Februari 2014.
22
Jeffrey Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time,NY: Penguin Press.
23
Thomas W.Pogge, 2002,World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and
Reforms, Cambridge: Polity Press
24
Stephen Browne, 2006, Aid and influence: Do Donors Help or Hinder? , London: Earthscan.
25
Dambisa Moyo, 2009, Dead Aid: Why Aid Is Not Working and how there is a Better Way for
Africa, New York: Farrar, Straus and Giroux.
26
William Easterly, 2003, “Can Foreign Aid Buy Growth?”, Journal of Economic Perspectives , 17
(3), 23-48.
7
tulisan yang dapat dijadikan sebagai landasan awal dalam meneliti mengenai
transformasi ODA Australia.
Tulisan tersebut mencakup dua pandangan berbeda. Pada pandangan pertama,
melihat bahwa ODA Australia didasari oleh motif yang sejalan antara kemanusiaan,
strategi dan komersial dan berbentuk multilateral seperti yang diungkapkan Jackson
Commitee.27 Sedangkan pandangan kedua yang diyakini oleh Simons Commitee28
mengungkapkan bahwa bantuan pembangunan Australia didasari hanya oleh alasan
politis dan lebih dominan diberikan dalam bentuk kerjasama bilateral.
Pada mereka yang sepakat dengan pandangan pertama, bantuan Australia
dianggap memiliki peran penting dalam membantu pembangunan di negara dan
kawasan miskin. Oleh karena itu, bantuan Australia diambil melalui pendekatan
kemitraan penuh untuk meningkatkan efektivitasnya sehingga terus berkelanjutan.29
Melalui pendekatan tersebut, bantuan Australia membangun jaringan dengan pihakpihak yang berada di negara penerima dengan menekankan pada hubungan individu
ke individu.30 Pembangunan dalam pandangan ini adalah proses memanusiakan
manusia dan oleh sebab itu bantuan ditujukan bagi kehidupan individu dengan tujuan
memberantas kemiskinan.Upaya yang dilakukan kemudian adalah melakukan transfer
sumber daya yang menciptakan keuntungan bersama. Sehingga, bantuan haruslah
dirancang dan diimplementasikan sepenuhnya untuk masyarakat dan menekankan
keterlibatan mereka termasuk bagi kaum perempuan.31
Pandangan kedua memandang dari sisi yang berbeda. Bantuan merupakan
instrumen yang digunakan untuk mendukung reformasi kebijakan dan institusi di
negara berkembang. Ini disebabkan karena bantuan secara alamiah mengandung
muatan ‘hadiah’. Makna hadiah disini dimaknai secara antropologikal, bahwa
bagaimanapun bentuk bantuan baik dalam istilah kemitraan maupun kerja sama,
27
Jackson Committee, 1985, The Jackson Report on Australia's Overseas Aid Program, Canberra:
Ausaid.
28
Simmons Committee, 1997, “One Clear Objective: Poverty Reduction Through Sustainable
Development”, Report of the Committee of Review April 1997, Canberra: Ausaid.
29
Australian Development Studies Network, 1997, “New Directions For Australian Aid Delivery”,
Developmnet Buletin Vol 43 Oktober 1997,Canberra: ADSN,Hal.17
30
Australian Development Studies Network, Ibid, Hal.19
31
Australian Development Studies Network, Loc.Cit.
8
bantuan memberi batasan antara siapa yang memberi dan siapa yang menerima.
Sehingga, tercipta pola hubungan superioritas. Bantuan bilateral terutama di Pasifik
layak dimaknai sebagai sistem pertukaran oleh negara donor yang juga meminta
dukungan kepentingan geopolitik dan ekonomi. Di saat yang sama, negara penerima
diuntungkan karena negara donor dalam hal ini adalah - Australia dan Selandia Baru
berlomba untuk memberikan hadiah kepada mereka yang untuk memperoleh posisi
donor patron di kawasan.32
Sayangnya, kedua pandangan sebelumnya belum cukup komprehensif dan
holistik dalam menjelaskan bantuan pembangunan Australia. Keduanya belum
mencakup tren kebijakan bantuan yang terjadi dewasa ini. Perubahan struktur
internasional dan interaksi yang dibangun Australia termasuk identitas dan
tindakannya terkait bantuan pembangunan hanya dimaknai dari satu sisi - bentuk
material dari dorongan kepentingan nasional atau kerja sama. Selain juga bahwa
keduanya meneliti pada konteks periode yang berbeda-beda. Transformasi bantuan
pembangunan Australia akan nampak jelas ketika pola bantuan tersebut dikaji dengan
melihat gambaran besarnya.
Dalam mengkaji tersebutlah digunakan indikator untuk melihat karakteristik
bantuan Australia berdasarkan motif altruistik dan strategis. Indikator tersebut
digunakan dengan merujuk kepada penelitian Riddle bahwa negara yang
menargetkan bantuannya untuk pengentasan kemiskinan dianggap sebagai negara
yang kebijakan bantuannya bersifat altruistik. Sebaliknya yang memiliki tujuan utama
selain pengentasan kemiskinan dianggap sebagai negara dengan kebijakan strategis.33
Lebih jauh, Stroke menilai bahwa kebijakan bantuan altruistik didorong
oleh alasan solidaritas seperti yang dilakukan oleh Swedia.34 Banyak kajian yang
berpandangan optimistik terhadap kebijakan bantuan altruistik, terutama karena
dianggap mengurangi kemiskinan di negara-negara miskin dan berkembang yang
32
Australian Development Studies Network,Op.Cit, Hal.9
Andreas Holmedahl Hvidsten,2010, “Aid Commitments and Strategic Behavior”, Tesis, Hal.6.Lihat
Roger Ridlle, 2007, Does Foreign Aid Really Work? ,Oxford University Press: New York.
34
Muhindo Mughanda, 2010, “Inquiry On Self-Interested Foreign Aid: Insights From The ODAMigrations Link In SSA Countries”, African Journal of Political Science and International Relations
Vol. 5(4), pp. 164-173, April 2011,Hal.165
33
9
menjadi negara penerima dan meningkatkan pembangunan ekonomi mereka. 35 Oleh
karena itu, indikator kebijakan altruistik dalam hal alokasi dapat dilihat dari siapa
negara penerimanya. Negara-negara penerima haruslah adalah negara – negara
dengan pendapatan nasional yang rendah.36
Di sisi lain, sejalan dengan Stone (2008), Kilby (2009) and Nooruddin and
Vreeland (2010), bantuan yang strategis adalah bantuan yang memiliki motivasi
politis di dalamnya dan memiliki ketentuan mengikat yang mengharuskan negara
penerima mengikuti syarat-syarat dari negara donor.37 Paling tidak, menurut
Yasutomo (1989) Jepang adalah salah satu negara yang kebijakan bantuannya
didominasi oleh kebijakan strategis. Karena digunakan sebagai alat diplomatik yang
memperkuat posisi Jepang di Asia.38 Adapun untuk alokasi negara penerima, Kim
and Urpeleinen (2012) serta Bermeo (2013) menggambarkan bahwa bantuan strategis
biasanya diberikan kepada merupakan negara-negara bekas koloni. Sedangkan Rajan
and Subramanian (2008), melihat bantuan strategis adalah bantuan yang diberikan
kepada negara yang memiliki hubungan geopolitik sejalan dengan yang diteliti
Dunning (2004), Berthélemy dan Tichit (2004),serta Bräutigam dan Knack (2004).39
Karakteristik lainnya bantuan tersebut ditujukan kepada sektor-sektor yang
tidak berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan dan cenderung politis,
seperti tata kelola pemerintahan dan bidang ekonomi seperti yang dikaji oleh Weiner
(2002) dan Brainard (2003).40 Selain itu, oleh Martens (2002) kebijakan strategis
memiliki karakter mengikat (tied). Ketentuan mengikat dianggap sebagai refresentasi
dari kebijakan strategis karena menunjukkan perjanjian antara ‘penjual’ dan
‘pembeli’. Karena negara donor akan mengekspor barang dan jasa untuk digunakan
oleh negara penerima. Biasanya bentuk kebijakan tersebut diimplementasikan dalam
35
Muhindo Mughanda, 2010, Ibid, Hal.166
Jean-Claude Berthelemy dan Team, 2005, “Bilateral Donor’s Interest Vs. Recipients’ Development
Motives In Aid Allocation: Do All Donors Behave The Same ?”, Version 1-3 Desember, Paris:
CNRS, Hal.11
37
Axel Dreher, Vera Eichenauer , dan Kai Gehring, 2013, “Geopolitics, Aid And Growth”, Cesifo
Working Paper No. 4299 Category 2: Public Choice, June 2013, Hal.5
38
Andreas Holmedahl Hvidsten,2010, Op.Cit, Hal.5
39
Axel Dreher, Vera Eichenauer , dan Kai Gehring, 2013, Op.Cit, Hal.5
40
Anne Boschini dan Anders Olofsgård, 2005, Foreign Aid: an Instrument for Fighting Communism?,
Stockholm: Stockholm School of Economics, Hal.25
36
10
sektor infrastruktur atau kontrak teknis.41 Bentuknya pun bilateral, dengan
pertimbangan bahwa bantuan; pertama, akan melindungi kepentingan finansial
negara donor melalui pinjaman, iuran dan mekanisme finansial lainnya terkait aturan
pembayaran. Kedua, bantuan bilateral sulit untuk diakses. 42
Berlandaskan posisi tersebut, lebih jauh penelitian ini ditujukan untuk
memaknai
transformasi
dan
pola
bantuan
pembangunan
Australia
sejak
kemunculannya hingga saat ini. Adapun transformasi tersebut dicermati dari
pemetaan distribusi dan orientasinya. Distribusi mencakup alokasi dan bidang
bantuan sedangkan orientasi mencakup negara target dan tujuan bantuan. Pada
analisa yang lebih cermat, penulis menggunakan pendekatan identitas dalam
memaknai bantuan pembangunan Australia berdasarkan pemetaan terhadap pola
distribusi dan orientasi tadi yang sebelumnya diabaikan oleh perspektif lain.
E. Kerangka Teoritik
Untuk menjelaskan transformasi dan latar belakang yang menyebabkan
terjadinya trasnformasi tersebut dalam kebijakan ODA Australia, maka penulis
menggunakan pendekatan konstruktivis. Kaum konstruktivis memiliki pandangan
berbeda dari pendekatan realis dan liberal yang merupakan pendekatan mainstream
dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Dalam beberapa hal, kedua pendekatan
mainstream sebelumnya ternyata tidak mampu untuk menjawab bagian – bagian
penting dalam melihat struktur internasional baik yang berbentuk permusuhan,
rivalitas atau pun kerjasama. Kemunculan konstruktivis kemudian menjadi alternatif
yang dalam banyak kasus mampu menjelaskan fenomena internasional yang tidak
dapat dijelaskan hanya oleh dua pendekatan tadi. Keunggulan ini terletak pada
kemampuan konstruktivisme dalam menjelaskan hal-hal nonmaterial dalam
hubungan internasional.
41
Springer, “Tied and Untied Development Assistance: Economic, Political and Legal Dimensions”,
http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9783658000479c1.pdf?SGWID=0-0-45-1364106-p174582881, diakses 24 Februari 2014 Pukul 16:17, Hal.60
42
Jean-Claude Berthelemy dan Team, 2005, Op.Cit, Hal. 10
11
Adapun pada dasarnya telah banyak kajian yang meneliti kebijakan luar
negeri Australia termasuk kebijakan ODA. Namun, pendekatan realis melalui
kepentingan geopolitik dan pendekatan liberal melalui kerjasama hanya mampu
menjelaskan capaian sebuah kebijakan luar negeri melalui hitung-hitungan cost and
benefit. Namun tidak mampu menjelaskan lebih jauh mengenai proses dan faktorfaktor yang melatarbelakangi terbentuknya kepentingan tersebut. Jika kebijakan ODA
mengalami transformasi, maka apakah benar perubahan tersebut merupakan sebuah
keniscayaan? Jika hal tersebut alamiah, maka seharusnya kebijakan tersebut tidak
mengalami perubahan yang signifikan dan cenderung bertahap. Di saat yang sama,
jika kebijakan ODA tersebut dilakukan demi tujuan kepentingan geopolitik, maka
mengapa kebijakan ODA menjadi kebijakan yang paling gencar dilakukan?
Bukankah kalkulasi politis dan keamanan tetap dimenangkan oleh Australia sebagai
salah satu buffer state Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik belum mungkin
dikalahkan oleh kekuatan – kekuatan baru di Asia yang baru saja mengembangkan
dirinya? Logika cost and benefit oleh kedua pendekatan yakni realis dan liberal
terlalu memusatkan logika mereka pada hal-hal material yang dianggap given. Jika
kebijakan ODA benar dilatarbelakangi oleh tujuan menjadi negara hegemon demi
membendung China atau instrumen untuk bekerjasama, keuntungan ekonomi
khususnya perdagangan43 semestinya akan dapat menjawab motif kebijakan ODA
Australia. Kenyataanya, tidak sesederhana hitungan cost and benefit tersebut.
Merujuk kepada dasar prespektif konstruktivisme,perspektif ini berasumsi
bahwa hubungan internasional berjalan berdasarkan kesadaran manusia seperti halnya
yang diyakini oleh ilmu sosiologi. Kesadaran manusia inilah yang menjadi landasan
dari cara berpikir kaum konstruktivis yang memahami dunia internasional seperti
dunia sosial manusia yang menilai bahwa tindakan negara berjalan seperti tindakan
manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, konstruktivis memiliki pandangan yang
43
Negara di Asia Tenggara kecuali Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam yang bukan
merupakan negara penerima ODA Australia bukanlah merupakan mitra dagang ekspor utama
Australia. Adapun di luar data mitra dagang utama tersebut, untuk data Indonesia, Indonesia menjadi
negara eksportir Australia meskipun bukan sebagai pemain utama. Ini menjadikan neraca perdagangan
antar kedua negara cenderung menguntungkan Indonesia.
12
berbeda dengan pandangan realis dan liberal maupun variannya yang melihat
manusia sebagai makhluk politik yang hanya mengejar hasil akhir yakni kepentingan.
Logika rasionalitas manusia oleh realis dan liberal dipandang sejalan dengan tindakan
negara. Sehingga, keinginan untuk mengejar kepentingan menjadi tujuan utama
terbangunnya hubungan internasional dan menjadikan kondisi sistem internasional
tidak dapat berubah. Melalui konstruktivisme, kebijakan ODA sebagai salah satu
kebijakan luar negeri dapat dijelaskan melalui unsur non material seperti gagasan,
norma, pengetahuan, budaya, dan argumen yang ada dalam dunia politik sehingga
membentuk hubungan kolektif satu sama lain atau yang diistilahkan sebagai
intersubjektivitas.44
Intersubjektivitas lahir melalui komunikasi, pengalaman dan pembentukan
peran antara negara dan struktur internasional. Dalam bahasa yang lebih sederhana,
struktur dan agen saling membentuk. Oleh sebab itu, jika sistem internasional yang
diyakini neorealis dan neoliberal secara given berada dalam kondisi anarki yang
konfliktual. Maka, konstruktivis percaya sistem internasional adalah what states make
of it- apa yang dibentuk oleh negara itu sendiri.45
Pada titik tersebut, konstruktivis mencoba menjelaskan apa yang terjadi.
Menurut perspektif ini, kepentingan diri sendiri (self interest) bukanlah hal yang kaku
dan merupakan bentukan dari penilaian negara tersebut terhadap identitas serta
hubungannya dengan negara lain dalam sistem internasional.46 Penilaian tersebut
misalnya terbangun dari pemahaman mengenai apa yang menjadi ancaman dan
peluang, atau siapa teman atau lawan. Sehingga, penilaian identitas diri dan struktur
internasional dilandasi dengan persepsi yang subjektif, bukan objektif.47 Dengan kata
lain, dalam berinteraksi dengan Negara lain, di luar dari keinginan mendasar untuk
44
Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, 2001, “Taking Stock: The Constructivist Research
Program In International Relations And Comparative Politics”, Annual Review Politics Science 2001,
4:391–416. Washington DC:Annual Reviews . Hal.392
45
Fred Chernoff, 2007, “Theory And Metatheory In International Relations Concepts And Contending
Accounts”, New York: Palgrave Macmillan. Hal.69
46
Karl K. Schonberg, 2007, “Ideology And Identity In
Constructivist Foreign Policy”,
Dipresentasikan Pada Standing Group On International Relations European Consortium For
Political Research Sixth Pan-European Conference Turin, Italy 12-15 September, 2007, New York:
St. Lawrence University Canton, Hal.4
47
Karl K. Schonberg, Ibid, Hal.10
13
bertahan dan merasa aman, negara belum mengetahui siapa diri mereka dan apa yang
mereka inginkan dari sistem internasional.48 Sehingga, dapat dipahami bahwa
identitas merujuk kepada gambaran Wendt sebagai hubungan antara apa yang
dilakukan aktor dan siapa mereka.49 Dalam penjelasan yang lebih sederhana oleh
Alexandrov, identitas digambarkan sebagai seperangkat referesentasi (biasanya
simbolik atau metaforik) terkait kepercayaan negara terhadap perilaku, hak dan
tanggung jawab apa yang sesuai dalam hubungannya dengan Negara lain.50
Karena identitas sangat dipengaruhi oleh pola hubungan dan interaksi antar
aktor maka begitu pula yang terjadi terhadap kondisi anarki. Kondisi anarki mampu
untuk bertransformasi tergantung interaksi
yang terjadi di dalam sistem
internasional.51 Interaksi sendiri saling membentuk terhadap nilai dan persepsi. Jika
persepsi dan nilai berubah maka, interaksi berubah. Hal ini menyebabkan pula
perubahan antar aktor, struktur realitas dan aspek lain dalam sistem internasional.52
Bentuk anarki dalam struktur internasional sendiri dilandasi oleh cara berpikir
konstruktivisme yang menggunakan kerangka ide atau gagasan. Menurut Wendt,
struktur internasional yang anarki merupakan konsep yang tidak berarti apa-apa
selama tidak ada pemaknaan terhadapnya. Aktor dalam sistem internasional-lah yang
memberikan pemaknaan tersebut berdasarkan gagasan mereka tentang bagaimana dan
kapan kondisi anarki tersebut terjadi. Sehingga, anarki bisa saja merupakan struktur
yang memungkinkan pertemanan, rivalitas atau permusuhan dalam sistem
internasional. Jika sistem dimaknai sebagai struktur pertemanan maka negara-negara
di dalamnya akan dapat bekerja sama seperti yang dipikirkan oleh Immanuel Kant
dan Neoliberalisme, jika dimaknai sebagai hubungan rivalitas maka negara akan
48
Wendt 1992:394 dalam Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations
Theories and Approaches, Oxford: OUP Oxford, Hal. 167
49
Maja Zehfuss, 2004, Constructivist in International Relations (Politics of Reality), Cambridge:
Cambridge University Press, Hal.15
50
Maxym Alexandrov, 2003, “The Concept of State Identity in International Relations: A Theoretical
Analysis, Journal of International Development and Cooperation, Vol.10.No.1, 2003, pp.33-46,
Hal.39
51
Patrick Thaddeus Jackson (Ed), 2004,“Bridging The Gap:Toward A Realist-Constructivist
Dialogue”, School Of International Service, American University International Studies Review (2004)
6, 337–352, Hal.339
52
John T.Rourke, 2007, International Politics on The World Stage 12 th Edition, Illinois:McGraw-Hill
Higher Education.Hal.32
14
saling menjadi rival seperti yang dipikirkan oleh John Locke dan Neorealisme, atau
struktur bisa saja membentuk permusuhan jika negara-negara di dalamnya memaknai
satu sama lain sebagai musuh yang saling mempertahankan diri seperti yang diyakini
oleh Thomas Hobbes.53
Adapun konstruktivis seperti halnya perspektif lain, juga memiliki varian
yang beragam. Secara epistimologi konstruktivis terdiri dari dua varian utama yakni
moderat dan radikal. Konstruktivis moderat menggunakan pendekatan positivis dan
kaum radikal menggunakan pendekatan reflektivis. Melalui tulisan ini, penulis hanya
akan menggunakan varian konstruktivis moderat.
Lebih jauh,untuk menjawab fenomena transformasi kebijakan ODA Australia
di Asia Tenggara, penulis menggunakan varian unit analisis identitas. Varian ini
menekankan pada pembentukan dan perubahan identitas dalam memahami struktur
internasional berdasarkan interaksi antar aktor yang dibentuk oleh ide atau gagasan
terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap lingkungan internasional yang
melingkupinya.54 Setiap negara yang saling berinteraksi memiliki kepercayaan dan
ekspektasi satu sama lain yang membentuk hubungan internasional. Kepercayaan dan
ekspektasi tersebut bukan semata dilandasi oleh hal material namun menurut
konstruktivisme dibentuk oleh landasan-landasan sosial. Hal material dan kapabilitas
fisik ditentukan oleh pemaknaan aktor. Keberadaan aktor dalam hal ini negara bukan
hanya dikarenakan keberadaan mereka secara fisik, namun karena mereka
diidentifikasi dan diakui oleh negara lain.55
Merujuk pada Wendt, terdapat empat tipologi identitas dan dua tipologi dasar
kepentingan sebuah negara.56 Tipologi identitas yang dimaksud adalah corporate,
type, role, dan collective. Berdasarkan empat macam identitas tersebut, negara
membentuk kepentingannya masing-masing. Adapun kepentingan tiap-tiap negara itu
53
Samuel S. Stanton Jr, Op.Cit, Hal.17
Samuel S. Stanton Jr, 2002, ”Can Constructivism Improve Foreign Policy Practice In An Era Of
Global Governance?“, Tulisan ini dipresentasikan pada Annual Meeting Political Science Association
22-23 Februari 2002 di Arkansas, Hal.5
55
Samuel S. Stanton Jr, Op.Cit, Hal.7
56
Alexander Wendt, 1999, Social Theory of International Relations, Cambridge: Cambridge
University Press. Hal.198
54
15
berbeda-beda dan kompleks. Meski demikian, Wendt tidak mengabaikan bahwa
paling tidak ada empat kebutuhan mendasar atau kepentingan yang berusaha dipenuhi
oleh semua negara dalam masyarakat internasional yakni ketahanan fisik, otonomi,
kesejahteraan ekonomi dan harga diri kolektif. Hal penting yang sekali lagi
ditekankan pula oleh kaum konstruktivis bahwa kepentingan negara bukanlah hal
yang ditemukan begitu saja, namun dikonstruksikan melalui proses interaksi sosial
antar mereka.57
Membahas mengenai empat tipologi identitas, akan jelas bahwa keempat
identitas tersebut dapat dimiliki oleh negara sekaligus. Dengan kata lain, setiap
negara bisa saja memiliki lebih dari satu identitas. Namun, bisa saja tidak memiliki
salah satu identitas tersebut. Adapun identitas tersebut dapat dibedakan satu sama lain
berdasarkan pola pembentukannya. Pertama, identitas corporate terbangun dari
pengaturan diri sebuah negara.58 Dengan kata lain, sebuah identitas corporate negara
hanya akan terbentuk dan melekat pada dirinya jika individu negara tersebut
membangun identitas kolektif sebagai satu kesatuan negara.59
Identitas kedua yakni identitas tipe dipahami sebagai identitas yang terbentuk
dari proses sosial. Jika dimisalkan individu, identitas ini merupakan pengelompokkan
individu secara sosial berdasarkan karakter material dan nonmaterial yang melekat
dalam dirinya.60 Untuk tingkat negara, identitas ini dapat terbangun dari sistem yang
digunakan dalam sebuah negara misalnya dilihat dari tipe rezim maupun bentuk
sebuah negara. Pengelompokkan negara berdasarkan negara kapitalis, fasis, kerajaan,
republik, atau lainnya adalah contoh dari identitas tipe.61
Berbeda dengan kedua identitas sebelumnya, identitas peran sangat berkaitan
dengan budaya dan tidak didasarkan oleh keberadaan faktor intrinsik serta hanya
akan terbentuk jika terbangun hubungan dengan pihak lain.62 Sehingga, identitas
peran tidak diperoleh begitu saja berdasarkan nilai apa yang dimiliki negara
57
Peter J. Katzenstein, Op.Cit, Hal.1
Alexander Wendt, Ibid, Hal.224 dan 225
59
Alexander Wendt, Loc.Cit
60
Alexander Wendt, Loc.Cit.
61
Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.226
62
Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.227
58
16
sebelumnya, namun dari tindakan yang sesuai dengan identitas yang disandangnya.
Identitas terbentuk dari tindakan yang dilakukan oleh negara dan tindakan tersebut
didasarkan pada norma tertentu yang mereka pahami dalam struktur sosial
internasional.63
Terakhir, identitas kolektif merupakan gabungan antara identitas peran dan
identitas tipe. Identitas ini terbangun dari sisi sosial sekaligus sisi yang berasal dari
dalam diri sebuah negara. Proses tersebut terjadi ketika sebuah negara tidak sekedar
melihat kesejahteraan negara lain semata sebagai kesejahteraan negara itu sendiri.
Namun lebih dari itu, negara tersebut memahami negara lain sebagai bagian dari
dirinya. Sehingga, mendorong negara untuk melakukan tindakan bersama atau
kolektif dalam menyelesaikan masalah mereka.64 Sebelumnya, Neoliberal memahami
identitas ini melalui konsep kerja sama. Namun, pemikiran mereka dibangun
berdasarkan asumsi bahwa negara-negara pada dasarnya memiliki kepentingan yang
berbeda. Kerja sama hanya menjadi bagian dari deal untuk memperoleh kepentingan
masing-masing tanpa mengorbankan kepentingan yang lain atau sebaliknya,
mengorbankan kepentingan masing-masing untuk memperoleh kepentingan yang
lebih besar.
Dari sisi tersebut, konstruktivis percaya bahwa negara membangun identitas
kolektif tidak hanya didorong oleh dorongan untung rugi tadi. Negara-negara
berusaha
membangun
‘pertemanan’ melampaui
sekedar saling
menghargai
kepentingan masing-masing. Oleh karena, pertemanan bukan sekedar metode atau
strategi namun sebagai pilihan dari kepentingan yang akan dicapai.65 Dalam arti,
pertemanan yang terbangun telah melalui proses internalisasi norma bahwa pihak lain
adalah bagian dari dirinya. Untuk itu, negara tersebut bukan lagi sebaiknya namun
seharusnya berkorban demi kepentingan yang lebih besar dalam pertemanannya
dengan negara lain.66
63
Alexander Wendt, Loc.Cit
Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.229
65
Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.305
66
Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.304
64
17
Pada akhirnya, untuk melihat signifikansi konstruktivis dalam menjawab
perubahan identitas Australia dan implikasinya terhadap kebijakan ODA negara
tersebut di Asia Tenggara, penulis memandang bahwa faktor identitas dalam politik
luar negeri sebuah negara memainkan peran yang besar. Gagasan Australia mengenai
siapa dirinya dan siapa negara-negara di Asia Tenggara membentuk intersubjektivitas
yang terus mengalami perubahan. Ini menjadikan Australia dan Asia Tenggara
membangun identitas masing-masing melalui self understanding antar mereka.
Seperti yang dikemukakan Alice Ba and Matthew J. Hoffmann bahwa:
“Actors do not just look around at the material capabilities of their neighbors
when deciding what their behavior is going to be. Instead, actors are
influenced by their social context—shared rules, meanings, and ideas. Notions
of what is right or wrong, feasible or infeasible, indeed possible or impossible
are all a part of an actor’s social context, and it is these ideas that shape what
actors want, who actors are, and how actors behave.”67
Oleh kerena itu, untuk menjelaskan lebih jauh mengenai mengapa transformasi
kebijakan ODA terjadi harus dimulai dengan memahami seperti apa perubahan
identitas yang terjadi terhadap Australia. Lebih dalam, penulis menggunakan identitas
kolektif untuk menjawab perubahan identitas tersebut.
F. Hipotesis
Berdasarkan pertanyaan penelitian dan kerangka analisis diatas, maka penulis
membangun hipotesis utama yakni jika Australia mempersepsikan kondisi Asia
Tenggara bersifat konfliktual menyebabkan kepentingan Australia cenderung
strategis dan berdampak pada kebijakan ODA yang menggunakan pendekatan
geopolitik. Namun, jika Australia mempersepsikan kondisi Asia Tenggara bersifat
kooperatif menyebabkan kepentingan Australia cenderung altruistik dan berdampak
pada kebijakan ODA yang menggunakan pendekatan kerjasama pembangunan.
67
Alice Ba dan Matthew J. Hoffmann, Maret 2003, “Making and Remaking the World for IR 101: A
resource for teaching social constructivism” International Studies Perspectives 4, no. 1.
18
Adapun transformasi kebijakan ODA Australia tejadi disebabkan oleh adanya
perubahan identitas Australia dari identitas kolektif sebagai bagian dari negara Barat
ke identitas kolektif sebagai bagian dari negara Asia Tenggara dengan kepentingan
untuk menjadi bagian dari wilayah tersebut yang tengah mengalami kebangkitan dalam
berbagai bidang.
G. Metodologi Penelitian
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah
pustaka dengan mengumpulkan data dan informasi melalui buku, jurnal, artikel, surat
kabar, website resmi, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah
ODA Australia yang akan dikaji.
H. Metode Analisis
Teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik kualitatif, dimana
analisis ditekankan pada analisis data kualitatif, yakni permasalahan digambarkan
berdasar fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan
yang lainnya, dan akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan. Ada pun data berupa
angka merupakan data penunjang dalam mengkaji fakta-fakta utama terkait
transformasi pola ODA Australia.
I. Sistematika Penulisan
Tesis ini berisi enam bagian yang terdiri dari BAB I yang menguraikan latar
belakang penelitian, rumusan masalah, alasan penelitian, reviu literatur, kerangka
teoritik, hipotesis dan seluruh hal umum terkait dengan judul seperti metode dan
sistematika penulisan.
Selanjutnya, BAB II membahas mengenai identitas Australia di Asia
Tenggara. Bagian ini berisi dua sub bagian yakni persepsi Australia terhadap Asia
Tenggara dan persepsi Asia Tenggara terhadap Australia.
19
Pada BAB III kemudian memaparkan kebijakan ODA Australia yang berisi
dua bagian yakni kebijakan ODA altruistik Australia dan kebijakan ODA strategis
Australia.
Berikutnya adalah BAB IV berisi pembahasan mengenai konteks transformasi
ODA Australia sebagai implikasi dari terjadinya perubahan identitas kolektif
Australia di Asia Tenggara.
Bagian terakhir yakni BAB V membahas kesimpulan dari keseluruhan temuan
dan analisis penulis mengenai permasalahan yang dikaji.
20
Download