BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kebijakan bantuan menjadi salah satu kebijakan pembangunan yang masih terus dilaksanakan hingga kini. Meski demikian, evolusi atas gagasan dan praktek pembangunan telah mempengaruhi struktur bantuan internasional, sehingga kebijakan bantuan terus mengalami transformasi baik dalam aspek distribusi, orientasi maupun motif.1 Transformasi paling subtantif dalam kebijakan bantuan adalah konsepsi mengenai bentuk kebijakan yang dinilai sebagai Official Development Assistance (ODA) atau bantuan pembangunan dan bukan ODA.2 Ini berimplikasi pada keseluruhan kebijakan bantuan yang telah ada sebelumnya. Di tahun 1970 hingga 1980an bentuk bantuan yang pada tahun 2005 dianggap ODA, malah dianggap bukan merupakan ODA.3 Berdasarkan dokumen Organization on Economic Cooperation and Development (OECD), ODA atau bantuan pembangunan memiliki bentuk sendiri (lihat lampiran).4 Bukan hanya mengenai perubahan dalam konsepsi bantuan pembangunan, pola kebijakan bantuan pembangunan oleh tiap-tiap negara donor juga mengalami transformasi dan membentuk karakteristiknya sendiri. Negara – negara Eropa seperti Jerman dan Perancis misalnya menjadi negara donor dengan jumlah ODA terbesar 1 Makna transformasi dalam tesis ini dimaksudkan sebagai perubahan ODA berdasarkan rupa yakni bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya. Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2 Istilah Official Development Assistance (ODA) akan digunakan bergantian dengan kata bantuan. Dalam tulisan ini, keduanya memiliki makna yang sama. 3 IDA, 2007, “Aid Architecture: An Overview Of The Main Trends In Official Development Assistance Flow”, disampaikan pada International Development Association Resource Mobilization (FRM) Februari 2007, Hal.32 4 Konsepsi bantuan tersebut kemudian mengalami perubahan setelah negara-negara OECD menyepakati bahwa bantuan pembangunan (ODA) berbeda dari sekedar pinjaman atau pun hibah. Ini sebab ODA terdiri dari hibah dan pinjaman sekaligus, adapun bentuk pinjamannya bersifat lunak dibandingkan pinjaman dari lembaga internasional lainnya, dikutip Dari Ausaid, 2008, ” Is It Oda?”, Facsheet September 2008, Canberra:Ausaid, Hal.1. 1 saat ini.5 Sejalan dengan Eropa, Amerika Serikat masih terus meningkatkan anggaran bantuannya. Paling tidak, AS menghabiskan 21,75 juta dollar AS dengan alokasi paling besar berada di kawasan Timur Tengah. Ini berdasarkan pernyataan dari AS sendiri bahwa bantuan mereka digunakan sebagai respon terhadap peristiwa 11 September yang telah mengganggu stabilitas negara tersebut. Lain halnya dengan Jepang yang sebelumnya menjadi pemain utama dalam distribusi ODA6, sebaliknya lambat laun memilih untuk memperkecil kuantitas bantuannya dan melakukan revisi terhadap Pedoman ODA negara tersebut pada tahun 2003 yang mempengaruhi kebijakan Jepang secara keseluruhan.7 Data OECD menyebutkan bahwa Jepang melakukan pemotongan terhadap volume ODA-nya hingga mencapai 40 persen selama sepuluh tahun sejak tahun 1998.8 Berbagai fenomena yang digambarkan di atas menggambarkan realita transformasi pola kebijakan bantuan pembangunan. Di lain pihak, bukan hanya negaranegara Eropa, Amerika Serikat, Jepang maupun Cina yang mengalami transformasi tersebut. Australia sebagai salah satu negara Development Assistance Committee (DAC) juga mengalami transformasi yang serupa. Sayangnya, transformasi ODA Australia jarang menjadi objek kajian meskipun negara tersebut sebenarnya memainkan peran penting sebagai negara donor di kawasan Asia. Sebagai negara donor terbesar dan berada di lingkup kawasan Asia sendiri, Australia memberikan ODA dalam berbagai sektor seperti pendidikan, infrastuktur, penanggulangan kemiskinan, perlindungan sosial dan pengelolaan ekonomi.9 Australia juga secara rutin mengeluarkan dokumen berisi 5 Minoru Makishima dan Mitsunori Yokoyama, 2012, “Japan’s ODA To Mekong River Basin Countries”, Chiba: Institute of Developing Economies Hal.165 6 Pada tahun 1978 Jepang menjadi donor terbesar kedua dan terbesar pertama di dunia pada tahun 1989. Dikutip dari IDA, Op.Cit, Hal.27 7 Kazuo Sunaga, 2004, “The Reshaping Of Japan's Official Development Assistance (ODA) Charter, Discussion Paper On Development Assistance November 2004 No. 3, Tokyo: FASID. Hal.5 8 Minoru Makishima dan Mitsunori Yokoyama, Op.Cit, Hal.162 9 Charles Tapp, 2011, “Study of Australia’s Approach to Aid in Indonesia: Final Report”, A Report to the Panel Conducting the Independent Review of Aid Effectiveness, Washington DC: Commonwelath of Australia, Hal.5 2 rencana dan evaluasi mengenai bantuan pembangunannya melalui berbagai dokumen yang menjadi pedoman kebijakan negara tersebut dalam pemberian ODA.10 Hal menarik kemudian adalah Australia memiliki pola tersendiri dalam kebijakan bantuannya yang terbangun melalui perjalanan panjang negara tersebut sebagai negara anggota DAC. Selama ini, Australia telah menjadi donor bagi belasan negara terutama negara – negara di Asia Tenggara, Pasifik, dan Afrika. Data terbaru menyebutkan bahwa jumlah ODA Australia mencapai 4799 milliar U$ atau 0,35 % dari dari GNI Australia.11 Meskipun jumlah tersebut bukanlah jumlah tertinggi jika dibandingkan dengan negara DAC lainnya. Komitmen Australia terhadap Paris Declaration on Aid Effectiveness dapat dilihat dari sektor ODA yang semula hanya 960 milliar dolar AS pada periode 1998 menjadi 1219 milliar dolar AS pada 2003.12 Begitupula dengan negara jumlah resipen yang terus bertambah dan meluas secara regional. Dari yang semula Australia hanya memberikan kepada enam kawasan termasuk Afrika, Latin Amerika dan Eropa pada tahun 1999 lalu bertambah menjadi tujuh dengan penambahan pada wilayah yang dikategorikan tidak tentu dengan jumlah yang lebih besar dari sebelumnya.13 Di antara kawasan – kawasan tersebut, kawasan Pasifik sebelumnya menjadi kawasan yang paling besar memperoleh alokasi ODA Australia. Namun, sejak tahun 2005, situasi tersebut berubah ketika Asia Tenggara menggantikan posisi Pasifik menjadi kawasan dengan jumlah alokasi ODA terbesar.14 Untuk kawasan Asia Tenggara sejak 2006 berdasarkan White Paper on the Australian Government’s Overseas Aid Program diungkapkan bahwa Sub Wilayah Mekong menjadi area penting dalam kerangka program ODA Australia di tahun10 Paling tidak terdapat lima dokumen yang dibuat khusus sebagai perencanaan dan evaluasi ODA Australia yakni Report Of The Committee To Review The Australian Overseas Aid Program 1984, One Clear Objective: Poverty Reduction Through Sustainable Development 1997 , Australian Aid: Promoting Growth And Stability 2006, Budget: Australia's International Development Assistance Program 2011‐2012, dan Aid Strategies 2012. 11 OECD, 2011, “Tabel Net ODA DAC And Other OECD Member In 2011”, www.oecd.org/dac/stats/50060310.pdf diakses 27 Maret 2013 Pukul 9:45. 12 Ausaid, 2000b, DAC Peer Review Australia, Canberra:Ausaid, Hal. II.6 dan Ausaid, 2005, DAC Peer Review Australia, Canberra:Ausaid, Hal. 6 13 OECD. Ibid. 14 Satish Chand, 2011, ‘Who Receives Australian Aid And Why?’ Discussion Paper 6 Juni 2011, Canberra:Development Policy Center, Hal. 5 3 tahun berikutnya. Ini digejawantahkan dalam aliran ODA sebesar 40 milliar dolar AS per tahun dengan kerja sama antara Ausaid dengan Asian Development Bank (ADB) dalam sebuah program bernama Great Mekong Subregion (GMS) sejak tahun 2005.15 Tidak jauh berbeda dengan bantuan pembangunannya bagi Sub Wilayah Mekong, Australia pada saat yang sama menaruh perhatian besar terhadap Indonesia. Negara tersebut menyebut kebijakan ODA-nya untuk Indonesia sebagai ‘kemitraan bilateral yang unik’ yang tercatat sebagai sejarah pemberian ODA terbesar yang pernah diberikan Australia senilai lebih dari 1,8 juta dollar AS.16 Sedangkan secara keseluruhan, Australia telah meningkatkan jumlah ODA untuk Indonesia dari sebelumnya yang hanya 120 milliar Dolar AS di tahun 2003 menjadi 450 milliar Dolar AS di tahun 2010.17 Hal ini menempatkan Indonesia dan Sub Mekong khususnya dan kawasan Asia Tenggara umumnya sebagai wilayah yang memperoleh volume ODA terbesar. Ini sebab, negara-negara di Asia Tenggara mayoritas memiliki jumlah rakyat miskin yang cukup besar meskipun pada umumnya mereka telah dikategorikan sebagi negara berkembang. Tercatat misalnya jumlah rakyat miskin Indonesia mencapai 21 persen atau senilai dengan 47 juta orang. Rakyat miskin tersebut terutama hidup di daerah terpencil seperti kawasan Timur Indonesia.18 Berangkat dari fakta sebelumnya, ODA dipandang sebagai kebijakan yang sangat berkontribusi terhadap pembangunan negara-negara di Asia Tenggara.19 Keterlibatan Australia dalam memberikan bantuan pembangunan yang cukup signifikan di kawasan tersebut tentu tidak mungkin dilepaskan dari transformasi kebijakan bantuan yang terjadi. Selain itu, memahami transformasi kebijakan bantuan pembangunan Australia dengan membatasi permasalahan khusus di Asia Tenggara, 15 Lindsay Soutar, 2006, “An Update On Australian Development Assistance In The Mekong Region”, Mekong Brief Number 4 November .Sydney: Australian Mekong Resource Centre, Hal.2. 16 Reality Of Aid Organization, “The Reality Of Aid Asia-Pacific Edition”, http://www.realityofaid.org/userfiles/roareports/roareport_fada78686d.pdf diakses 5 Maret 2013 Pukul 13:52, Hal.87 17 Charles Tapp. Op.Cit. Hal.5 18 Ukuran tingkat kemiskinan menggunakan batasan pendapatan tahun 2005 yakni 1, 25 dollar AS per hari berdasarkan ukuran OECD. Lihat Mark Baird, 2009,” Service Delivery For The Poor Lessons From Recent Evaluations Of Australian Aid November 2009”, Canberra:Ausaid, Hal.4 19 OECD, Loc.Cit. 4 akan memberikan gambaran yang lebih jelas terutama karena kawasan tersebut memiliki kedekatan geografis dengan Australia selain kawasan Pasifik tentunya. Pada akhirnya, meskipun kebijakan bantuan bukan lagi menjadi hal baru namun perubahan signifikan dalam pola dan mekanismenya terutama alokasi, prioritas serta strategi negara donor dan negara resipen membawa implikasi yang tidak bisa dipandang sebelah mata terhadap hubungan internasional dewasa ini. Kenyataannya sejak Marshall Plan di tahun 1940an, kebijakan bantuan masih terus diambil oleh negara-negara maju kepada negara berkembang dan begitu pula sebaliknya, negara berkembang masih saja menerima bantuan dari negara-negara maju. Untuk itulah pola kebijakan ODA menjadi titik penting dari keseluruhan kerangka bantuan untuk mengarahkan kita pada penjelasan mengenai latar belakang transformasi kebijakan ODA sebagai implikasi dari perubahan identitas negara donor. Berdasarkan pemikiran tersebut, penelitian ini berusaha mengetahui penyebab terjadinya transformasi pada pola ODA Australia. Berbeda dari kajian mengenai ODA yang telah ada dan seringkali berkutat pada efektivitas kebijakan bantuan, penelitian ini berfokus pada persoalan transformasi pola kebijakan bantuan. Australia dipandang penting oleh penulis, karena selain merupakan salah satu aktor utama dalam pemberian bantuan di kawasan Asia Pasifik, Australia juga merupakan salah satu dalam lingkup internasional negara anggota DAC yang merupakan ‘klub’ negara-negara donor internasional. B. Rumusan Masalah Bertitik tolak dari landasan mengenai transformasi kebijakan bantuan yang terjadi pada berbagai negara dan argumentasi penulis di awal berkaitan dengan distribusi dan orientasi bantuan pembangunan Australia, maka penelitian ini berusaha untuk menjawab problematika utama mengenai dalam kondisi bagaimana kebijakan ODA Australia di Asia Tenggara bersifat altruistik dan dalam kondisi bagaimana kebijakan tersebut bersifat strategis? dan mengapa transformasi kebijakan ODA tersebut terjadi? 5 C. Alasan Penelitian Kajian bantuan merupakan salah satu kajian ekonomi politik yang populer, terutama karena baik dalam segi perdebatan teoritis maupun segi praktis, kajian bantuan masih terus berlangsung. Untuk itu, alasan utama yang mendorong pemilihan topik bantuan tidak lepas dari alasan teoritik dan praktis. Dalam hal teoritik, penelitian ini berusaha menjelaskan dan menguji secara komprehensif tranformasi pola bantuan luar negeri dalam hal ini ODA yang diberikan oleh Australia di kawasan Asia Tenggara. Jika selama ini ODA dipandang sebagai salah satu instrumen meraih kepentingan nasional dalam pandangan realis atau bagian dari kerja sama internasional oleh kaum liberal, bagaimanakah transformasi pola yang terjadi dalam distribusi dan orientasinya dijelaskan melalui perspektif yang lain. Penelitian ini berfokus kepada perspektif konstruktivisme yang difokuskan penulis pada perubahan identitas Australia. Adapun dari sisi praktis, penelitian ini berusaha untuk memberi alternatif kebijakan luar negeri bagi Australia maupun negara-negara Asia Tenggara terutama terkait kebijakan ODA. Jika selama ini kebijakan ODA dilakukan berlandaskan dua pandangan yang saling tarik menarik oleh kaum konservatif dan kaum liberal di dalam negeri Australia mengenai fungsi ODA sebagai instrumen strategis atau sebaliknya sebagai bagian dari sisi altruistik negara semata, maka melalui penelitian ini perdebatan itu akan dibawa ke ranah yang lebih luas mengenai identitas Australia di Asia Tenggara dan intersubjektivitas internasional yang melingkupinya. D. Reviu Literatur Ada berbagai macam kajian mengenai kebijakan bantuan luar negeri yang juga membahas berbagai macam bentuk bantuan dan menggunakan berbagai perspektif. Secara umum, kajian bantuan masih mengalami perdebatan. Perdebatan tersebut terutama terkait oleh mereka yang mendukung kebijakan bantuan dan mereka yang mengkritisi kebijakan tersebut. Setiap posisi didukung oleh fakta dan argumentasi tersendiri. 6 Pihak yang sepakat bahwa kebijakan bantuan telah memberikan keuntungan dan dampak yang besar terhadap pembangunan terutama membuktikan bahwa bantuan berkorelasi positif terhadap pertumbuhan ekonomi seperti Hansen dan Tarp, Roodman, serta Dalgaard dkk meskipun faktor lain juga turut menentukan keberhasilan pembangunan.20 Ridell juga melihat bahwa bantuan telah bekerja dengan baik dalam mengatasi permasalahan pembangunan21 sejalan dengan Sachs22 dan Pogge23 yang mendukung efektivitas bantuan dalam proses pembangunan terutama dalam konteks pembangunan manusia. Di posisi berbeda ada berbagai kritik yang memandang bahwa bantuan tidak menunjukkan dampak positif. Hal ini sebab ada berbagai latar belakang yang mendasarinya, baik itu oleh ketidakefektifan pemberian bantuan seperti yang diungkapkan Browne24 maupun yang lebih tajam dalam melihat bahwa bantuan selama ini tidak menjadi solusi pembangunan. Faktanya adalah bantuan pembangunan menjadi masalah pembangunan itu sendiri. Oleh Moyo, bantuan ini dianggap sebagai ‘dead aid’.25 Sejalan dengan itu, Easterly berargumen bahwa bantuan tidak diberikan sesuai dengan kebutuhan masyarakat miskin namun sesuai dengan kebutuhan pemerintah.26 Merujuk kepada perdebatan besar tersebut, pada penelitian ini penulis akan lebih spesifik membahas mengenai transformasi kebijakan bantuan Australia. Sayangnya, kajian mengenai transformasi dan pola bantuan Australia belum banyak diteliti. Kecenderungan berbagai kajian mengenai transformasi ODA Australia lebih banyak berkutat pada level efektivitas kebijakannya. Meski demikian, ada beberapa 20 S. Howes, ‘An Overview Of Aid Effectiveness Determinants And Strategies’, Discussion Papers Development Policy Centre, Crawford School Of Economics And Government, 2011, Hal.8. 21 Rodell C.Riddle, 2014, “Does Foreign Really Work”, Keynote dalam Australasian Aid and International Development Workshop, Canberra 13 Februari 2014. 22 Jeffrey Sachs, 2005, The End Of Poverty: Economic Possibilities For Our Time,NY: Penguin Press. 23 Thomas W.Pogge, 2002,World Poverty and Human Rights: Cosmopolitan Responsibilities and Reforms, Cambridge: Polity Press 24 Stephen Browne, 2006, Aid and influence: Do Donors Help or Hinder? , London: Earthscan. 25 Dambisa Moyo, 2009, Dead Aid: Why Aid Is Not Working and how there is a Better Way for Africa, New York: Farrar, Straus and Giroux. 26 William Easterly, 2003, “Can Foreign Aid Buy Growth?”, Journal of Economic Perspectives , 17 (3), 23-48. 7 tulisan yang dapat dijadikan sebagai landasan awal dalam meneliti mengenai transformasi ODA Australia. Tulisan tersebut mencakup dua pandangan berbeda. Pada pandangan pertama, melihat bahwa ODA Australia didasari oleh motif yang sejalan antara kemanusiaan, strategi dan komersial dan berbentuk multilateral seperti yang diungkapkan Jackson Commitee.27 Sedangkan pandangan kedua yang diyakini oleh Simons Commitee28 mengungkapkan bahwa bantuan pembangunan Australia didasari hanya oleh alasan politis dan lebih dominan diberikan dalam bentuk kerjasama bilateral. Pada mereka yang sepakat dengan pandangan pertama, bantuan Australia dianggap memiliki peran penting dalam membantu pembangunan di negara dan kawasan miskin. Oleh karena itu, bantuan Australia diambil melalui pendekatan kemitraan penuh untuk meningkatkan efektivitasnya sehingga terus berkelanjutan.29 Melalui pendekatan tersebut, bantuan Australia membangun jaringan dengan pihakpihak yang berada di negara penerima dengan menekankan pada hubungan individu ke individu.30 Pembangunan dalam pandangan ini adalah proses memanusiakan manusia dan oleh sebab itu bantuan ditujukan bagi kehidupan individu dengan tujuan memberantas kemiskinan.Upaya yang dilakukan kemudian adalah melakukan transfer sumber daya yang menciptakan keuntungan bersama. Sehingga, bantuan haruslah dirancang dan diimplementasikan sepenuhnya untuk masyarakat dan menekankan keterlibatan mereka termasuk bagi kaum perempuan.31 Pandangan kedua memandang dari sisi yang berbeda. Bantuan merupakan instrumen yang digunakan untuk mendukung reformasi kebijakan dan institusi di negara berkembang. Ini disebabkan karena bantuan secara alamiah mengandung muatan ‘hadiah’. Makna hadiah disini dimaknai secara antropologikal, bahwa bagaimanapun bentuk bantuan baik dalam istilah kemitraan maupun kerja sama, 27 Jackson Committee, 1985, The Jackson Report on Australia's Overseas Aid Program, Canberra: Ausaid. 28 Simmons Committee, 1997, “One Clear Objective: Poverty Reduction Through Sustainable Development”, Report of the Committee of Review April 1997, Canberra: Ausaid. 29 Australian Development Studies Network, 1997, “New Directions For Australian Aid Delivery”, Developmnet Buletin Vol 43 Oktober 1997,Canberra: ADSN,Hal.17 30 Australian Development Studies Network, Ibid, Hal.19 31 Australian Development Studies Network, Loc.Cit. 8 bantuan memberi batasan antara siapa yang memberi dan siapa yang menerima. Sehingga, tercipta pola hubungan superioritas. Bantuan bilateral terutama di Pasifik layak dimaknai sebagai sistem pertukaran oleh negara donor yang juga meminta dukungan kepentingan geopolitik dan ekonomi. Di saat yang sama, negara penerima diuntungkan karena negara donor dalam hal ini adalah - Australia dan Selandia Baru berlomba untuk memberikan hadiah kepada mereka yang untuk memperoleh posisi donor patron di kawasan.32 Sayangnya, kedua pandangan sebelumnya belum cukup komprehensif dan holistik dalam menjelaskan bantuan pembangunan Australia. Keduanya belum mencakup tren kebijakan bantuan yang terjadi dewasa ini. Perubahan struktur internasional dan interaksi yang dibangun Australia termasuk identitas dan tindakannya terkait bantuan pembangunan hanya dimaknai dari satu sisi - bentuk material dari dorongan kepentingan nasional atau kerja sama. Selain juga bahwa keduanya meneliti pada konteks periode yang berbeda-beda. Transformasi bantuan pembangunan Australia akan nampak jelas ketika pola bantuan tersebut dikaji dengan melihat gambaran besarnya. Dalam mengkaji tersebutlah digunakan indikator untuk melihat karakteristik bantuan Australia berdasarkan motif altruistik dan strategis. Indikator tersebut digunakan dengan merujuk kepada penelitian Riddle bahwa negara yang menargetkan bantuannya untuk pengentasan kemiskinan dianggap sebagai negara yang kebijakan bantuannya bersifat altruistik. Sebaliknya yang memiliki tujuan utama selain pengentasan kemiskinan dianggap sebagai negara dengan kebijakan strategis.33 Lebih jauh, Stroke menilai bahwa kebijakan bantuan altruistik didorong oleh alasan solidaritas seperti yang dilakukan oleh Swedia.34 Banyak kajian yang berpandangan optimistik terhadap kebijakan bantuan altruistik, terutama karena dianggap mengurangi kemiskinan di negara-negara miskin dan berkembang yang 32 Australian Development Studies Network,Op.Cit, Hal.9 Andreas Holmedahl Hvidsten,2010, “Aid Commitments and Strategic Behavior”, Tesis, Hal.6.Lihat Roger Ridlle, 2007, Does Foreign Aid Really Work? ,Oxford University Press: New York. 34 Muhindo Mughanda, 2010, “Inquiry On Self-Interested Foreign Aid: Insights From The ODAMigrations Link In SSA Countries”, African Journal of Political Science and International Relations Vol. 5(4), pp. 164-173, April 2011,Hal.165 33 9 menjadi negara penerima dan meningkatkan pembangunan ekonomi mereka. 35 Oleh karena itu, indikator kebijakan altruistik dalam hal alokasi dapat dilihat dari siapa negara penerimanya. Negara-negara penerima haruslah adalah negara – negara dengan pendapatan nasional yang rendah.36 Di sisi lain, sejalan dengan Stone (2008), Kilby (2009) and Nooruddin and Vreeland (2010), bantuan yang strategis adalah bantuan yang memiliki motivasi politis di dalamnya dan memiliki ketentuan mengikat yang mengharuskan negara penerima mengikuti syarat-syarat dari negara donor.37 Paling tidak, menurut Yasutomo (1989) Jepang adalah salah satu negara yang kebijakan bantuannya didominasi oleh kebijakan strategis. Karena digunakan sebagai alat diplomatik yang memperkuat posisi Jepang di Asia.38 Adapun untuk alokasi negara penerima, Kim and Urpeleinen (2012) serta Bermeo (2013) menggambarkan bahwa bantuan strategis biasanya diberikan kepada merupakan negara-negara bekas koloni. Sedangkan Rajan and Subramanian (2008), melihat bantuan strategis adalah bantuan yang diberikan kepada negara yang memiliki hubungan geopolitik sejalan dengan yang diteliti Dunning (2004), Berthélemy dan Tichit (2004),serta Bräutigam dan Knack (2004).39 Karakteristik lainnya bantuan tersebut ditujukan kepada sektor-sektor yang tidak berkaitan langsung dengan pengentasan kemiskinan dan cenderung politis, seperti tata kelola pemerintahan dan bidang ekonomi seperti yang dikaji oleh Weiner (2002) dan Brainard (2003).40 Selain itu, oleh Martens (2002) kebijakan strategis memiliki karakter mengikat (tied). Ketentuan mengikat dianggap sebagai refresentasi dari kebijakan strategis karena menunjukkan perjanjian antara ‘penjual’ dan ‘pembeli’. Karena negara donor akan mengekspor barang dan jasa untuk digunakan oleh negara penerima. Biasanya bentuk kebijakan tersebut diimplementasikan dalam 35 Muhindo Mughanda, 2010, Ibid, Hal.166 Jean-Claude Berthelemy dan Team, 2005, “Bilateral Donor’s Interest Vs. Recipients’ Development Motives In Aid Allocation: Do All Donors Behave The Same ?”, Version 1-3 Desember, Paris: CNRS, Hal.11 37 Axel Dreher, Vera Eichenauer , dan Kai Gehring, 2013, “Geopolitics, Aid And Growth”, Cesifo Working Paper No. 4299 Category 2: Public Choice, June 2013, Hal.5 38 Andreas Holmedahl Hvidsten,2010, Op.Cit, Hal.5 39 Axel Dreher, Vera Eichenauer , dan Kai Gehring, 2013, Op.Cit, Hal.5 40 Anne Boschini dan Anders Olofsgård, 2005, Foreign Aid: an Instrument for Fighting Communism?, Stockholm: Stockholm School of Economics, Hal.25 36 10 sektor infrastruktur atau kontrak teknis.41 Bentuknya pun bilateral, dengan pertimbangan bahwa bantuan; pertama, akan melindungi kepentingan finansial negara donor melalui pinjaman, iuran dan mekanisme finansial lainnya terkait aturan pembayaran. Kedua, bantuan bilateral sulit untuk diakses. 42 Berlandaskan posisi tersebut, lebih jauh penelitian ini ditujukan untuk memaknai transformasi dan pola bantuan pembangunan Australia sejak kemunculannya hingga saat ini. Adapun transformasi tersebut dicermati dari pemetaan distribusi dan orientasinya. Distribusi mencakup alokasi dan bidang bantuan sedangkan orientasi mencakup negara target dan tujuan bantuan. Pada analisa yang lebih cermat, penulis menggunakan pendekatan identitas dalam memaknai bantuan pembangunan Australia berdasarkan pemetaan terhadap pola distribusi dan orientasi tadi yang sebelumnya diabaikan oleh perspektif lain. E. Kerangka Teoritik Untuk menjelaskan transformasi dan latar belakang yang menyebabkan terjadinya trasnformasi tersebut dalam kebijakan ODA Australia, maka penulis menggunakan pendekatan konstruktivis. Kaum konstruktivis memiliki pandangan berbeda dari pendekatan realis dan liberal yang merupakan pendekatan mainstream dalam kajian ilmu Hubungan Internasional. Dalam beberapa hal, kedua pendekatan mainstream sebelumnya ternyata tidak mampu untuk menjawab bagian – bagian penting dalam melihat struktur internasional baik yang berbentuk permusuhan, rivalitas atau pun kerjasama. Kemunculan konstruktivis kemudian menjadi alternatif yang dalam banyak kasus mampu menjelaskan fenomena internasional yang tidak dapat dijelaskan hanya oleh dua pendekatan tadi. Keunggulan ini terletak pada kemampuan konstruktivisme dalam menjelaskan hal-hal nonmaterial dalam hubungan internasional. 41 Springer, “Tied and Untied Development Assistance: Economic, Political and Legal Dimensions”, http://www.springer.com/cda/content/document/cda_downloaddocument/9783658000479c1.pdf?SGWID=0-0-45-1364106-p174582881, diakses 24 Februari 2014 Pukul 16:17, Hal.60 42 Jean-Claude Berthelemy dan Team, 2005, Op.Cit, Hal. 10 11 Adapun pada dasarnya telah banyak kajian yang meneliti kebijakan luar negeri Australia termasuk kebijakan ODA. Namun, pendekatan realis melalui kepentingan geopolitik dan pendekatan liberal melalui kerjasama hanya mampu menjelaskan capaian sebuah kebijakan luar negeri melalui hitung-hitungan cost and benefit. Namun tidak mampu menjelaskan lebih jauh mengenai proses dan faktorfaktor yang melatarbelakangi terbentuknya kepentingan tersebut. Jika kebijakan ODA mengalami transformasi, maka apakah benar perubahan tersebut merupakan sebuah keniscayaan? Jika hal tersebut alamiah, maka seharusnya kebijakan tersebut tidak mengalami perubahan yang signifikan dan cenderung bertahap. Di saat yang sama, jika kebijakan ODA tersebut dilakukan demi tujuan kepentingan geopolitik, maka mengapa kebijakan ODA menjadi kebijakan yang paling gencar dilakukan? Bukankah kalkulasi politis dan keamanan tetap dimenangkan oleh Australia sebagai salah satu buffer state Amerika Serikat di kawasan Asia Pasifik belum mungkin dikalahkan oleh kekuatan – kekuatan baru di Asia yang baru saja mengembangkan dirinya? Logika cost and benefit oleh kedua pendekatan yakni realis dan liberal terlalu memusatkan logika mereka pada hal-hal material yang dianggap given. Jika kebijakan ODA benar dilatarbelakangi oleh tujuan menjadi negara hegemon demi membendung China atau instrumen untuk bekerjasama, keuntungan ekonomi khususnya perdagangan43 semestinya akan dapat menjawab motif kebijakan ODA Australia. Kenyataanya, tidak sesederhana hitungan cost and benefit tersebut. Merujuk kepada dasar prespektif konstruktivisme,perspektif ini berasumsi bahwa hubungan internasional berjalan berdasarkan kesadaran manusia seperti halnya yang diyakini oleh ilmu sosiologi. Kesadaran manusia inilah yang menjadi landasan dari cara berpikir kaum konstruktivis yang memahami dunia internasional seperti dunia sosial manusia yang menilai bahwa tindakan negara berjalan seperti tindakan manusia dalam masyarakat. Oleh karena itu, konstruktivis memiliki pandangan yang 43 Negara di Asia Tenggara kecuali Singapura, Malaysia dan Brunei Darussalam yang bukan merupakan negara penerima ODA Australia bukanlah merupakan mitra dagang ekspor utama Australia. Adapun di luar data mitra dagang utama tersebut, untuk data Indonesia, Indonesia menjadi negara eksportir Australia meskipun bukan sebagai pemain utama. Ini menjadikan neraca perdagangan antar kedua negara cenderung menguntungkan Indonesia. 12 berbeda dengan pandangan realis dan liberal maupun variannya yang melihat manusia sebagai makhluk politik yang hanya mengejar hasil akhir yakni kepentingan. Logika rasionalitas manusia oleh realis dan liberal dipandang sejalan dengan tindakan negara. Sehingga, keinginan untuk mengejar kepentingan menjadi tujuan utama terbangunnya hubungan internasional dan menjadikan kondisi sistem internasional tidak dapat berubah. Melalui konstruktivisme, kebijakan ODA sebagai salah satu kebijakan luar negeri dapat dijelaskan melalui unsur non material seperti gagasan, norma, pengetahuan, budaya, dan argumen yang ada dalam dunia politik sehingga membentuk hubungan kolektif satu sama lain atau yang diistilahkan sebagai intersubjektivitas.44 Intersubjektivitas lahir melalui komunikasi, pengalaman dan pembentukan peran antara negara dan struktur internasional. Dalam bahasa yang lebih sederhana, struktur dan agen saling membentuk. Oleh sebab itu, jika sistem internasional yang diyakini neorealis dan neoliberal secara given berada dalam kondisi anarki yang konfliktual. Maka, konstruktivis percaya sistem internasional adalah what states make of it- apa yang dibentuk oleh negara itu sendiri.45 Pada titik tersebut, konstruktivis mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Menurut perspektif ini, kepentingan diri sendiri (self interest) bukanlah hal yang kaku dan merupakan bentukan dari penilaian negara tersebut terhadap identitas serta hubungannya dengan negara lain dalam sistem internasional.46 Penilaian tersebut misalnya terbangun dari pemahaman mengenai apa yang menjadi ancaman dan peluang, atau siapa teman atau lawan. Sehingga, penilaian identitas diri dan struktur internasional dilandasi dengan persepsi yang subjektif, bukan objektif.47 Dengan kata lain, dalam berinteraksi dengan Negara lain, di luar dari keinginan mendasar untuk 44 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink, 2001, “Taking Stock: The Constructivist Research Program In International Relations And Comparative Politics”, Annual Review Politics Science 2001, 4:391–416. Washington DC:Annual Reviews . Hal.392 45 Fred Chernoff, 2007, “Theory And Metatheory In International Relations Concepts And Contending Accounts”, New York: Palgrave Macmillan. Hal.69 46 Karl K. Schonberg, 2007, “Ideology And Identity In Constructivist Foreign Policy”, Dipresentasikan Pada Standing Group On International Relations European Consortium For Political Research Sixth Pan-European Conference Turin, Italy 12-15 September, 2007, New York: St. Lawrence University Canton, Hal.4 47 Karl K. Schonberg, Ibid, Hal.10 13 bertahan dan merasa aman, negara belum mengetahui siapa diri mereka dan apa yang mereka inginkan dari sistem internasional.48 Sehingga, dapat dipahami bahwa identitas merujuk kepada gambaran Wendt sebagai hubungan antara apa yang dilakukan aktor dan siapa mereka.49 Dalam penjelasan yang lebih sederhana oleh Alexandrov, identitas digambarkan sebagai seperangkat referesentasi (biasanya simbolik atau metaforik) terkait kepercayaan negara terhadap perilaku, hak dan tanggung jawab apa yang sesuai dalam hubungannya dengan Negara lain.50 Karena identitas sangat dipengaruhi oleh pola hubungan dan interaksi antar aktor maka begitu pula yang terjadi terhadap kondisi anarki. Kondisi anarki mampu untuk bertransformasi tergantung interaksi yang terjadi di dalam sistem internasional.51 Interaksi sendiri saling membentuk terhadap nilai dan persepsi. Jika persepsi dan nilai berubah maka, interaksi berubah. Hal ini menyebabkan pula perubahan antar aktor, struktur realitas dan aspek lain dalam sistem internasional.52 Bentuk anarki dalam struktur internasional sendiri dilandasi oleh cara berpikir konstruktivisme yang menggunakan kerangka ide atau gagasan. Menurut Wendt, struktur internasional yang anarki merupakan konsep yang tidak berarti apa-apa selama tidak ada pemaknaan terhadapnya. Aktor dalam sistem internasional-lah yang memberikan pemaknaan tersebut berdasarkan gagasan mereka tentang bagaimana dan kapan kondisi anarki tersebut terjadi. Sehingga, anarki bisa saja merupakan struktur yang memungkinkan pertemanan, rivalitas atau permusuhan dalam sistem internasional. Jika sistem dimaknai sebagai struktur pertemanan maka negara-negara di dalamnya akan dapat bekerja sama seperti yang dipikirkan oleh Immanuel Kant dan Neoliberalisme, jika dimaknai sebagai hubungan rivalitas maka negara akan 48 Wendt 1992:394 dalam Robert Jackson dan Georg Sorensen, Introduction to International Relations Theories and Approaches, Oxford: OUP Oxford, Hal. 167 49 Maja Zehfuss, 2004, Constructivist in International Relations (Politics of Reality), Cambridge: Cambridge University Press, Hal.15 50 Maxym Alexandrov, 2003, “The Concept of State Identity in International Relations: A Theoretical Analysis, Journal of International Development and Cooperation, Vol.10.No.1, 2003, pp.33-46, Hal.39 51 Patrick Thaddeus Jackson (Ed), 2004,“Bridging The Gap:Toward A Realist-Constructivist Dialogue”, School Of International Service, American University International Studies Review (2004) 6, 337–352, Hal.339 52 John T.Rourke, 2007, International Politics on The World Stage 12 th Edition, Illinois:McGraw-Hill Higher Education.Hal.32 14 saling menjadi rival seperti yang dipikirkan oleh John Locke dan Neorealisme, atau struktur bisa saja membentuk permusuhan jika negara-negara di dalamnya memaknai satu sama lain sebagai musuh yang saling mempertahankan diri seperti yang diyakini oleh Thomas Hobbes.53 Adapun konstruktivis seperti halnya perspektif lain, juga memiliki varian yang beragam. Secara epistimologi konstruktivis terdiri dari dua varian utama yakni moderat dan radikal. Konstruktivis moderat menggunakan pendekatan positivis dan kaum radikal menggunakan pendekatan reflektivis. Melalui tulisan ini, penulis hanya akan menggunakan varian konstruktivis moderat. Lebih jauh,untuk menjawab fenomena transformasi kebijakan ODA Australia di Asia Tenggara, penulis menggunakan varian unit analisis identitas. Varian ini menekankan pada pembentukan dan perubahan identitas dalam memahami struktur internasional berdasarkan interaksi antar aktor yang dibentuk oleh ide atau gagasan terhadap diri mereka sendiri maupun terhadap lingkungan internasional yang melingkupinya.54 Setiap negara yang saling berinteraksi memiliki kepercayaan dan ekspektasi satu sama lain yang membentuk hubungan internasional. Kepercayaan dan ekspektasi tersebut bukan semata dilandasi oleh hal material namun menurut konstruktivisme dibentuk oleh landasan-landasan sosial. Hal material dan kapabilitas fisik ditentukan oleh pemaknaan aktor. Keberadaan aktor dalam hal ini negara bukan hanya dikarenakan keberadaan mereka secara fisik, namun karena mereka diidentifikasi dan diakui oleh negara lain.55 Merujuk pada Wendt, terdapat empat tipologi identitas dan dua tipologi dasar kepentingan sebuah negara.56 Tipologi identitas yang dimaksud adalah corporate, type, role, dan collective. Berdasarkan empat macam identitas tersebut, negara membentuk kepentingannya masing-masing. Adapun kepentingan tiap-tiap negara itu 53 Samuel S. Stanton Jr, Op.Cit, Hal.17 Samuel S. Stanton Jr, 2002, ”Can Constructivism Improve Foreign Policy Practice In An Era Of Global Governance?“, Tulisan ini dipresentasikan pada Annual Meeting Political Science Association 22-23 Februari 2002 di Arkansas, Hal.5 55 Samuel S. Stanton Jr, Op.Cit, Hal.7 56 Alexander Wendt, 1999, Social Theory of International Relations, Cambridge: Cambridge University Press. Hal.198 54 15 berbeda-beda dan kompleks. Meski demikian, Wendt tidak mengabaikan bahwa paling tidak ada empat kebutuhan mendasar atau kepentingan yang berusaha dipenuhi oleh semua negara dalam masyarakat internasional yakni ketahanan fisik, otonomi, kesejahteraan ekonomi dan harga diri kolektif. Hal penting yang sekali lagi ditekankan pula oleh kaum konstruktivis bahwa kepentingan negara bukanlah hal yang ditemukan begitu saja, namun dikonstruksikan melalui proses interaksi sosial antar mereka.57 Membahas mengenai empat tipologi identitas, akan jelas bahwa keempat identitas tersebut dapat dimiliki oleh negara sekaligus. Dengan kata lain, setiap negara bisa saja memiliki lebih dari satu identitas. Namun, bisa saja tidak memiliki salah satu identitas tersebut. Adapun identitas tersebut dapat dibedakan satu sama lain berdasarkan pola pembentukannya. Pertama, identitas corporate terbangun dari pengaturan diri sebuah negara.58 Dengan kata lain, sebuah identitas corporate negara hanya akan terbentuk dan melekat pada dirinya jika individu negara tersebut membangun identitas kolektif sebagai satu kesatuan negara.59 Identitas kedua yakni identitas tipe dipahami sebagai identitas yang terbentuk dari proses sosial. Jika dimisalkan individu, identitas ini merupakan pengelompokkan individu secara sosial berdasarkan karakter material dan nonmaterial yang melekat dalam dirinya.60 Untuk tingkat negara, identitas ini dapat terbangun dari sistem yang digunakan dalam sebuah negara misalnya dilihat dari tipe rezim maupun bentuk sebuah negara. Pengelompokkan negara berdasarkan negara kapitalis, fasis, kerajaan, republik, atau lainnya adalah contoh dari identitas tipe.61 Berbeda dengan kedua identitas sebelumnya, identitas peran sangat berkaitan dengan budaya dan tidak didasarkan oleh keberadaan faktor intrinsik serta hanya akan terbentuk jika terbangun hubungan dengan pihak lain.62 Sehingga, identitas peran tidak diperoleh begitu saja berdasarkan nilai apa yang dimiliki negara 57 Peter J. Katzenstein, Op.Cit, Hal.1 Alexander Wendt, Ibid, Hal.224 dan 225 59 Alexander Wendt, Loc.Cit 60 Alexander Wendt, Loc.Cit. 61 Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.226 62 Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.227 58 16 sebelumnya, namun dari tindakan yang sesuai dengan identitas yang disandangnya. Identitas terbentuk dari tindakan yang dilakukan oleh negara dan tindakan tersebut didasarkan pada norma tertentu yang mereka pahami dalam struktur sosial internasional.63 Terakhir, identitas kolektif merupakan gabungan antara identitas peran dan identitas tipe. Identitas ini terbangun dari sisi sosial sekaligus sisi yang berasal dari dalam diri sebuah negara. Proses tersebut terjadi ketika sebuah negara tidak sekedar melihat kesejahteraan negara lain semata sebagai kesejahteraan negara itu sendiri. Namun lebih dari itu, negara tersebut memahami negara lain sebagai bagian dari dirinya. Sehingga, mendorong negara untuk melakukan tindakan bersama atau kolektif dalam menyelesaikan masalah mereka.64 Sebelumnya, Neoliberal memahami identitas ini melalui konsep kerja sama. Namun, pemikiran mereka dibangun berdasarkan asumsi bahwa negara-negara pada dasarnya memiliki kepentingan yang berbeda. Kerja sama hanya menjadi bagian dari deal untuk memperoleh kepentingan masing-masing tanpa mengorbankan kepentingan yang lain atau sebaliknya, mengorbankan kepentingan masing-masing untuk memperoleh kepentingan yang lebih besar. Dari sisi tersebut, konstruktivis percaya bahwa negara membangun identitas kolektif tidak hanya didorong oleh dorongan untung rugi tadi. Negara-negara berusaha membangun ‘pertemanan’ melampaui sekedar saling menghargai kepentingan masing-masing. Oleh karena, pertemanan bukan sekedar metode atau strategi namun sebagai pilihan dari kepentingan yang akan dicapai.65 Dalam arti, pertemanan yang terbangun telah melalui proses internalisasi norma bahwa pihak lain adalah bagian dari dirinya. Untuk itu, negara tersebut bukan lagi sebaiknya namun seharusnya berkorban demi kepentingan yang lebih besar dalam pertemanannya dengan negara lain.66 63 Alexander Wendt, Loc.Cit Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.229 65 Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.305 66 Alexander Wendt, Op.Cit, Hal.304 64 17 Pada akhirnya, untuk melihat signifikansi konstruktivis dalam menjawab perubahan identitas Australia dan implikasinya terhadap kebijakan ODA negara tersebut di Asia Tenggara, penulis memandang bahwa faktor identitas dalam politik luar negeri sebuah negara memainkan peran yang besar. Gagasan Australia mengenai siapa dirinya dan siapa negara-negara di Asia Tenggara membentuk intersubjektivitas yang terus mengalami perubahan. Ini menjadikan Australia dan Asia Tenggara membangun identitas masing-masing melalui self understanding antar mereka. Seperti yang dikemukakan Alice Ba and Matthew J. Hoffmann bahwa: “Actors do not just look around at the material capabilities of their neighbors when deciding what their behavior is going to be. Instead, actors are influenced by their social context—shared rules, meanings, and ideas. Notions of what is right or wrong, feasible or infeasible, indeed possible or impossible are all a part of an actor’s social context, and it is these ideas that shape what actors want, who actors are, and how actors behave.”67 Oleh kerena itu, untuk menjelaskan lebih jauh mengenai mengapa transformasi kebijakan ODA terjadi harus dimulai dengan memahami seperti apa perubahan identitas yang terjadi terhadap Australia. Lebih dalam, penulis menggunakan identitas kolektif untuk menjawab perubahan identitas tersebut. F. Hipotesis Berdasarkan pertanyaan penelitian dan kerangka analisis diatas, maka penulis membangun hipotesis utama yakni jika Australia mempersepsikan kondisi Asia Tenggara bersifat konfliktual menyebabkan kepentingan Australia cenderung strategis dan berdampak pada kebijakan ODA yang menggunakan pendekatan geopolitik. Namun, jika Australia mempersepsikan kondisi Asia Tenggara bersifat kooperatif menyebabkan kepentingan Australia cenderung altruistik dan berdampak pada kebijakan ODA yang menggunakan pendekatan kerjasama pembangunan. 67 Alice Ba dan Matthew J. Hoffmann, Maret 2003, “Making and Remaking the World for IR 101: A resource for teaching social constructivism” International Studies Perspectives 4, no. 1. 18 Adapun transformasi kebijakan ODA Australia tejadi disebabkan oleh adanya perubahan identitas Australia dari identitas kolektif sebagai bagian dari negara Barat ke identitas kolektif sebagai bagian dari negara Asia Tenggara dengan kepentingan untuk menjadi bagian dari wilayah tersebut yang tengah mengalami kebangkitan dalam berbagai bidang. G. Metodologi Penelitian Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang digunakan adalah telaah pustaka dengan mengumpulkan data dan informasi melalui buku, jurnal, artikel, surat kabar, website resmi, serta dokumen-dokumen lain yang berkaitan dengan masalah ODA Australia yang akan dikaji. H. Metode Analisis Teknik analisa data yang digunakan penulis adalah teknik kualitatif, dimana analisis ditekankan pada analisis data kualitatif, yakni permasalahan digambarkan berdasar fakta-fakta yang ada kemudian dihubungkan antara fakta yang satu dengan yang lainnya, dan akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan. Ada pun data berupa angka merupakan data penunjang dalam mengkaji fakta-fakta utama terkait transformasi pola ODA Australia. I. Sistematika Penulisan Tesis ini berisi enam bagian yang terdiri dari BAB I yang menguraikan latar belakang penelitian, rumusan masalah, alasan penelitian, reviu literatur, kerangka teoritik, hipotesis dan seluruh hal umum terkait dengan judul seperti metode dan sistematika penulisan. Selanjutnya, BAB II membahas mengenai identitas Australia di Asia Tenggara. Bagian ini berisi dua sub bagian yakni persepsi Australia terhadap Asia Tenggara dan persepsi Asia Tenggara terhadap Australia. 19 Pada BAB III kemudian memaparkan kebijakan ODA Australia yang berisi dua bagian yakni kebijakan ODA altruistik Australia dan kebijakan ODA strategis Australia. Berikutnya adalah BAB IV berisi pembahasan mengenai konteks transformasi ODA Australia sebagai implikasi dari terjadinya perubahan identitas kolektif Australia di Asia Tenggara. Bagian terakhir yakni BAB V membahas kesimpulan dari keseluruhan temuan dan analisis penulis mengenai permasalahan yang dikaji. 20