15 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pengertian Masyarakat Masyarakat adalah golongan masyarakat kecil terdiri dari beberapa manusia, yang dengan atau karena sendirinya bertalian secara golongan dan pengaruhmempengaruhi satu sama lain. (Hasan Shadily 1984:47). Menurut Mayor Polak dalam Abu Ahmadi (2003:96), menyebutkan bahwa masyarakat adalah wadah segenap antar hubungan sosial terdiri atas banyak sekali kolektiva-kolektiva serta kelompok dalam tiap-tiap kelompok terdiri atas kelompok-kelompok lebih baik atau sub kelompok. Sedangkan menurut Djojodiguno tentang masyarakat adalah suatu kebulatan dari pada segala perkembangan dalam hidup bersama antar manusia dengan manusia (dalam Abu Ahmadi 2003:97). Pendapat lain mengenai masyarakat adalah suatu kelompok manusia yang telah memiliki tatanan kehidupan, norma-norma, adat istiadat yang sama-sama ditaati dalam lingkungannya. 16 Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam kehidupan bermasyarakat menurut Abu Ahmadi (2003): a. Harus ada pengumpulan manusia, dan harus banyak, bukan poengumpulan binatang. b. Telah bertempat tinggal dalam waktu yang lama dalam suatu daerah tertentu. c. Adanya aturan-aturan atau undang-undang yang mengatur mereka untuk menuju kepada kepentingan-kepentingan dan tujuan bersama. Dari penjelasan dan ciri-ciri di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat adalah sekelompok manusia majemuk yang tinggal dalam satu teritorial tertentu dan terdiri dari beraneka ragam kelompok yang memiliki kesepakatan bersama berupa aturan-aturan ataupun adat istiadat yang timbul dan tercipta karena kebersamaan tersebut. Adanya aturan atau adat ini sangat bergantung dengan masyarakat itu sendiri dan juga kesepekatan bersama yang timbul setelah kehidupan itu berlangsung dalam waktu yang lama. Konsep Masyarakat menurut Edi Suharto (2006:11) adalah arena dimaa praktek pekerjaan sosial makro beroprasi. Berbagai definisi mengenai masyarakat biasanya diterapkan berdasarkan konsep ruang, orang, interaksi dan identitas. Dalam arti sempit istilah masyarakat merujuk pada sekelompok orang yang tinggal dan berinteraksi yang dibatasi oleh wilayah geografis tertentu seperti desa, kelurahan, kampung atau rukun tetangga. Dalam arti luas, masyarakat menunjuk pada interaksi kompleks sejumlah orang yang memiliki kepentingan dan tujuan bersama meskipun tidak bertempat tinggal dalam satu wilayah geografis tertentu. Masyarakat seperti ini bisa disebut sebagai societas atau society. Misalnya, masyarakat ilmuwan, masyarakat bisnin, masyarakat global dan masyarakat dunia. Kemasyarakatan atau keadaan dimana terdapat kehadiran orang lain disisi kita, kehadiran itu bisa nyata kita lihat dan kita rasakan, namun juga bisa hanya dalam bentuk imajinasi. Setiap kita bertemu orang meskipun hanya melihat atau mendengarnya saja, itu termasuk situasi sosial. Begitu juga ketika kita sedang menelfon, atau chatting, bahkan setiap kali kita membayangkan adanya orang lain. 17 Misalkan melamunkan pacar, mengingat ibu bapa, menulis surat pada teman, membayangkan bermain sepakbola bersama, mengenang tingkah laku buruk di depan orang, semuanya itu termasuk sosial. Sekarang, coba kita ingat-ingat situasi dimana kita betul-betul sendirian. Pada saat itu kita tidak sedang dalam pengaruh siapapun. Bisa dipastikan kita akan mengalami kesulitan menemukan situasinya. Jadi, memang benar kata Aristoteles, sangfilsuf Yunani, tatkala mengatakan bahwa manusia adalah mahluk sosial, karena hampir semua aspek kehidupan manusia berada dalam situasi sosial. 2.2. Pengertian SARA Suku, Agama, Ras dan Antar golongan atau biasa disebut dengan kata SARA. Akronim ini sering kali disebutkan dalam berbagai kesempatan yang menyangkut akan kepentingan bersama, sub-sub sara ini merupakan salah satu jenis kelompok sosial yang ada dalam kehidupan masyarakat. Kelompok sosial yang telah terkotak-kotakan ini diharapkan dapat memberikan dampak yang positif bagi kehidupan bermasyarakat, karena dengan adanya pengelompokan-pengelompokan ini diharapkan distribusi pemerintahan akan lebih mudah terlaksana. Kelompok sosial itu sendiri menurut Abdul Syani (2007:98) mempunyai pengertian sebagai suatu kumpulan dari orang-orang yang mempunyai hubungan dan berinteraksi, di mana dapat mengakibatkan tumbuhnya perasaan bersama. Sedangkan menurut Polak (dalam Abdul Syani 2007) menyatakan bahwa kelompok sosial adalah suatu grup, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan antar hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur. 18 Anti Sara adalah suatu tindakan sistimatis untuk memerangi masalah Sara dalam segala macam bentuknya, termasuk sistim dan kebijakan diskriminatif serta sentimen-sentimen Sara yang telah ditanamkan secara tidak sadar sejak usia kanak-kanak. Oleh karena persoalan Sara sering melibatkan persoalan kekuatan ekonomi dan politik, dimana suatu kelompok berhasil menguasai kekuatan ekonomi atau politik dan tidak bersedia mendistribusikannya kepada kelompok lainnya, maka gerakan moral Anti Sara juga berupaya untuk mengikis ketimpangan-ketimpangan tersebut dan mengkoreksi sistim yang mengakomodir ketidakadilan sosial ini. Sara adalah berbagai pandangan dan tindakan yang didasarkan pada sentimen identitas yang menyangkut suku, agama, ras dan antar golongan. Setiap tindakan yang melibatkan kekerasan, diskriminasi dan pelecehan yang didasarkan pada identitas diri dan golongan dapat dikatakan sebagai tidakan Sara. Tindakan ini mengebiri dan melecehkan kemerdekaan dan segala hak-hak dasar yang melekat pada manusia. Sara dapat digolongkan dalam tiga katagori : Individual : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh individu maupun kelompok. Termasuk di dalam katagori ini adalah tindakan maupun pernyataan yang bersifat menyerang, mengintimidasi, melecehkan dan menghina identitas diri maupun golongan. Institusional : merupakan tindakan Sara yang dilakukan oleh suatu institusi, termasuk negara, baik secara langsung maupun tidak langsung, sengaja atau tidak sengaja telah membuat peraturan diskriminatif dalam struktur organisasi maupun kebijakannya. Kultural : merupakan penyebaran mitos, tradisi dan ide-ide diskriminatif melalui struktur budaya masyarakat. (sumber : http://insearching.tripod.com/sara.html) 2.2.1. Suku bangsa (etnis) Menurut Anthony Smith (dalam Brown, 1997:81), komunitas etnis adalah: Suatu konsep yang digunakan untuk menggambarkan sekumpulan manusia yang memiliki nenek moyang yang sama, ingatan sosial yang sama, dan beberapa elemen kultural. Elemen-elemen kultural itu adalah keterkaitan dengan tempat tertentu, dan memiliki sejarah yang kurang lebih sama. Kedua hal ini biasanya menjadi ukuran bagi solidaritas dari suatu komunitas. Sebuah kelompok suku bangsa akan sangat mudah dibedakan dengan kelompok suku bangsa lainya, hal ini dikarenakan adanya keidentikan dari sebuah suku yang ada dan hal ini juga menjadi identitas pribadi bagi pemilik suku tersebut. 19 Rasa kebanggaan tersendiri ketika seseorang tersebut memiliki suku bangsa itu, hal ini merupakan fitrah yang tidak bisa dirubah yang telah diberikan oleh Sang Pencipta kepada Umatnya. Berbicara mengena suku bangsa yang kemudian akan penulis sebut sebagai etnis, Smith (1997) menjelaskan ada enam hal yang harus dipenuhi oleh sebuah kelompok agar mejadi sebuah komunitas etnis yaitu: 1) Kelompok tersebut harus memiliki nama tersendiri yang lain daripada yang lain, sehingga tidak ada kelompok yang dirugikan atas kesamaan nama tersebut. 2) Orang-orang dalam anggota kelompok tersebut haruslah meyakini bahwa mereka memiliki nenek moyang yang sama. Keyakinan ini sangatlah penting karena perasaan memiliki nenek moyang yang sama dapat menjadi pemersatu yang kuat daripada kesamaan dari keturunan ikatan biologis. 3) Anggota kelompok tersebut haruslah memiliki ingatan sosial yang sama dengan cara menyamakan persepsi terhadap mitos-mitos maupun legendalegenda yang ada dan disampaikan pada generasi penerus berikutnya agar tetap memiliki persepsi yang sama dengan generasi yang telah lewat. 4) Dalam sebuah kelompok kesamaan kultur haruslah sama, mulai dari cara berpakaian, tutur bahasa, norma-norma adat, musik, karya seni, arsitektur dan bahkan dari segi makanan pun harus memiliki ciri khas yang sama. 5) Orang-orang tersebut haruslah terikat dalam satu teritori tertentu yang kemudian kelak akan dijadikan sebuah kampung halaman ketika salah seorang anggota kelompok tersebut berpindah ke tempat lain. 6) Adanya kesamaan fram berfikir atas rasa memiliki dan rasa satu kelompok haruslah tertanam dalah-dalam didalam diri anggota kelompok tersebut. Hanya dengan begitulah sebuah kelompok bisa disebut sebagai komunitas etnis. Keidentikan dari setiap etnis inilah yang menjadikan Negara kita ini adalah sebuah Negara yang kaya akan kelompok etnisnya. Terdapat 1.128 kelompok etnis yang ada di Indonesia ini. Rusman Heriawan, dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, menyampaikan bahwa dari hasil sensus penduduk terakhir, diketahui bahwa Indonesia terdiri dari 1.128 suku bangsa. (sumber : http://www.jpnn.com). 20 Kekayaan akan keberaneka ragaman ini merupakan sebuah kebanggaan sekaligus tantangan bagi Pemerintah Republik Indosesia pada khususnya dan seluruh warga Negara pada umumnya untuk selalu menjaga keamanan, ketertiban dan kenyamanan dalam berkehidupan sehari-hari agar tidak terjadi perselisihan atar etnis satu denagn etnis lainya. Suku bangsa merupakan sesuatu cirikhas yang melekat kepada setiap individu manusia, yang tidak dapat diganti, memilih dan atau mengaku-aku. Suku bangsa ini bisa menjadi sebuah kebanggaan tersendiri bagi pemiliknya, hal ini dikarenakan kebiasaan adat yang berbeda dengan suku lainya, namun rasa bangga ini dapat menimbulkan sikap etnsentrisme. Dalam KBBI disebutkan Etnosentrisme merupakan sikap atau pandangan yg berpangkal pads masyarakat dan kebudayaan sendiri, biasanya disertai dengan sikap dan pandangan yang meremehkan masyarakat dan kebudayaan lain, sehingga sikap etnsentrisme ini bisa menjakan setiap pemilik suku menganggap bahwa sukunya adalah suku terbaik daripada suku lainya. Anggapan seperti ini yang kemudian menjadi sebuah celah kearogansian pemilik suku yang bisa menjadi penyebab timbulnya konflik antar suku. 2.2.2. Agama Rolan Robertson dalam Stephen K. Sanderson (1995:518) mendefinisikan agama menjadi dua jenis, inklusif dan ekslusif. Defininsi inklusif merumuskan agama dalam arti seluas mungkin, yang memandang sebagai setiap sistem kepercayaan dan ritual yang diresapi dengan “kesucian” atau yang diorentasikan kepada “penderitaan manusia yang abadi”. Definisi eksklusif membatasi istilah agama itu pada sistem-sistem kepercayaan yang mempostulakan eksistensi mahluk, kekuasaan, atau kekuatan supranatural. 21 Artinya sebuah agama itu adalah prinsipil setiap individu, tidak bisa diganggu gugat, tidak bisa bisa dipaksakan, bahkan tidak boleh dibahas atau disangkut pautkan dengan permasalahan-permasalahan lainya. Karena permasalahan agama ini adalah permasalahan kepercayaan yang menyangkut hati. Hadirnya sebuah agama dalam kehidupan bukanlah menjadi batasan dalam bermasyarakat atau bahkan menjadi celah perselisihan. Sebagaimana pendapat yang diungkapkan oleh Durkheim dalam Stephen (1995:518) mendefinisikan agama ialah suatu sistem kepercayaan yang disatukan oleh praktek-praktek yang bertalian dengan hal-hal yang suci, yakni, hal-hal yang dibolehkan dan dilarang. Sedangkan menurut Thomas F. O’dea (1995:22) menyebutkan bahwa agama adalah pensucian tradisi, yang menyatukan kebutuhan-kebutuhan masyarakat dalam perilaku manusia atas tumpuan akhir masyarakat itu. 2.2.3. RAS Menurut ensiklopedia bebas (wikipedia) Ras berasal dari bahasa Prancis race, yang artinya sendirinya, sedangkan dari bahasa Latin radix, yang berarti akar. Sedangkan Templeton (1998) mendefinisikan Ras adalah : A subspecies (race) is a distinct evolutionary lineage within a species. This definition requires that a subspecies be genetically differentiated due to barriers to genetic exchange that have persisted for long periods of time; that is, the subspecies must have historical continuity in addition to current genetic differentiation. Suatu subspesies (ras) adalah suatu garis evolusi yang berbeda dalam suatu spesies. Definisi ini menentukan bahwa suatu subspesies berbeda secara genetis karena kendala dalam pertukaran genetis yang sudah bertahan selama jangka waktu yang panjang. Artinya, subspesies tersebut harus memiliki kesinambungan sejarah di samping pembedaan genetis masa kini". 22 Sehingga disimpulkan Ras adalah suatu sistem klasifikasi yang digunakan untuk mengkategorikan manusia dalam kelompok besar dan berbeda melalui ciri-ciri fisik, tampang jasmani, asal-usul geografis, dan kesukuan yang terwarisi secara turun menurun. Ras ini termasuk identitas diri yang sangat mudah diketahui dan dibedakan, karena sifatnya yang bisa langsung dilihat oleh panca indra mata sehingga akan semakin terlihat perbedaanya ketika individu tersebut bercampur dengan individu lainya dalam masyarakat. 2.2.4. Antar Golongan (kelompok) Roucek dan Warren (dalam Abdul syani (2007:98) menyatakan bahwa satu kelompok meliputi dua atau lebih manusia yang di antara mereka terdapat beberapa pola interaksi yang dapat dipahami oleh para anggota kelompoknya atau orang lain secara keseluruhan. Dalam buku yang sama, Mayor Polak (1978) berpendapat bahwa kelompok adalah suatu grup, yaitu sejumlah orang yang ada antara hubungan satu sama lain dan antar hubungan itu bersifat sebagai sebuah struktur. Dari teori diatas, dapat diketahui bahwa pengertian antar golongan adalah adanya hubungan dalam lingkungan atau hubungan golongan yang satu dengan golongan yang lain. Artinya adanya sebuah interaksi yang saling dapat dipahami antara kedua golongan itu atau lebih. Dengan kata lain golongan itu merupakan sub kecil dari sebuah golongan yang lebih besar yang terbentuk dalam sebuah struktur. 23 Menurut Abdul Syani (2007:102), bahwa adanya sejumlah rangkaian atau system yang dapat menyebabkan kelompok dikatakan berstruktur, yaitu: 1) Adanya system dari status-status para anggotanya, seperti sebuah organisasi pemuda misalnya. Ia memiliki susunan pengurus yang merupakan suatu rangkaian yang bersifat hierarkis. 2) Terdapat atau berlakunya nilai-nilai, norma-norma (keebudayaan) dalam mempertahankan kehidupan kelompoknya, artinya struktur selalu ditanamkan kstabilanya. 3) Terdapat peranan-peranan sosial (sosial role) yang merupakan aspek dinamis dari struktur. Sebuah keselarasan dalam berkehidupan sehari hari akan tercipta apabila struktur yang ada merupakan hasil dari kesepakatan bersama antar golongan yang tinggal bersama dalam teritori tertentu. Lahirnya kelompok ini dapat menggambarkan bahwa individu itu tidak mampu untuk hidup sendiri, artinya rasa lemah ketika sendiri ini akan hilang menjadi sebuah kekauatan ketika berkelompok, karena rasa saling melindungi antar anggota kelompok ini yang menciptakan kekuatan kebersamaan itu. Rasa memiliki ini yang kemudian akan menjadikan benteng untuk menjaga gangguan yang timbul dari luar kelompok, sehingga ketika terjadi gangguan, kelompok itu akan berusaha mebela diri dan membuktikan akan kekuatan kelompok tersebut. 2.3. Tinjauan Tentang Konflik 2.3.1. Pengertian Konflik Ada berbagai definisi konflik yang diungkapkan oleh para ahli, diantaranya diungkapkan oleh Putman dan Pool (dalam Sutarto wijono, 2012:203) mengenai konflik bahwa: 24 Konflik didefinisikan sebagai interaksi antar individu, kelompok dan organisasi yang membuat tujuan atau arti yang berlawanan, dan merasa bahwa orang lain sebagai pengganggu yang potensial terhadap pencapaian tujuan mereka. Pendapat lain sebagaimana dikemukakan Simmel (dalam Poloma 2003:107) bahwa, konflik merupakan bentuk interaksi dimana tempat, waktu serta intensitas dan lain sebagainya tunduk pada perubahan, sebagaimana dengan isi segitiga yang dapat berubah. Sedangkan menurut Coser (dalam Zeitlin 1998:156) bahwa konflik sosial adalah suatu perjuangan terhadap nilai dan pengakuanya terhadap status yang langka, kemudian kekuasaan dan sumber-sumber pertentangan dinetralisisr atau dilangsungkan, atau dieliminir saingan-sainganya. Selanjutnya Mulins (dalam Sutarto wijono, 2012:203) mendefinisikan konflik sebagai kondisi terjadinya ketidak sesuaian tujuan dan munculnya berbagai pertentangan prilaku, baik yang ada dalam diri individu, kelompok maupun organisasi. Dalam penjelasan K.J. Veeger (1993:211) bahwa : keadaan yang dalam penampakanya satu dan tertib teratur, sebenarnya dihasilkan oleh struktur-struktur kuasa yang menutupi dan menyembunyikan keterbagian dan perpecahan yang ada dibawah permukaanya. Apa yang disangka keseimbangan sistem sosial akibat mekanisme-mekanisme fungsional mulai dilucuti kedoknya dan ditelanjangi menjadi tidak lain dari manipulasi pihak yang sedang berkuasa. Apa yang tadinya disebut “kestabilan masyarakat” (keadaan mantab) ternyata mengandung mesiu yang sewaktu-waktu bisa meledak dan menggoyahkan semua. 25 Konflik merupakan hal yang sulit dihidari ketika kita hidup di Negara yang sangat kompleks seperti Negara Indonesia tercinta ini, karena keberanekaragaman yang begitu banyaknya sehingga perbedaan itu menjadi sangat sensitif dan rentan untuk terjadi perselisihan. Konflik sosial terutama yang bernuansa SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan) bukan hal yang baru dalam sejarah Indonesia, baik sebelum maupun sesudah proklamasi kemerdekaan. Konflik sangat erat kaitanya dengan kerusuhan. Dalam kerusuhan ini objek yang paling sering menjadi sasaran adalah bendabenda yang mudah dilihat dan ada di mana-mana, misalnya, fasilitas umum kota. Berikutnya, objek yang menjadi sasaran kerusuhan, adalah benda-benda yang mewakili atribut atau simbol kemapanan dan kemakmuran, seperti : kios, toko swalayan, bangunan megah, dan sebagainya. Benda lainnya adalah yang mewakili simbol kekuasaan dan otoritas, seperti : pos keamanan, kantor pemerintahan, dan sebagainya. Objek kerusuhan tidak hanya berupa material tetapi juga objek fisik yang lebih sering memakan korban jiwa. 2.3.2. Hakikat konflik Menurut KLBI halaman (1998:234), hakikat adalah kebenaran, kenyataan yang sebenar-benarnya, sedangkan menurut KBBI adalah intisari atau dasar. Jadi hakikat itu adalah sebagai suatu hal yang mendasar, menurut fitrahnya yang melekat pada sesuatu hal tertentu. Sehingga hakikat konflik dapat diartikan sebagai sesuatu intisari dan dasar yang melekat dalam konflik itu, identik dan menjadi sebuah ciri tersendiri sehingga intisari tersebut dapat dikatakan dasar penyebab terjadinya konflik. 26 Menurut Wijono (2012:231-232), konflik itu dapat dipahami dan dipelajari sebagai suatu proses yang dinamis. Sebaliknya, konflik tidak dapat dipahami, jika konflik tersebut dipandang sebagai suatu yang sifatnya statis dan kaku. Pada umumnya, konflik sering kali melibatkan intervensi di antara berbagai pihak yang saling betentangan, baik konflik dalam diri individu, konflik antar pribadi/kelompok, maupun konflik organisasi. Adapun ciri-ciri konflik adalah sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. Paling tidak ada dua pihak secara pribadi maupun kelompok terlibat dalam suatu interaksi yang saling bertentangan satu sama lain. Timbul ertentangan antara dua pihak secara pribadi maupun kelompok dalam mencapai tujuan, memaikan peran, ambigus, dan adanya nilainilai atau norma-norma yang saling bertentangan satu sama lain. Munculnya interaksi yang sering kali ditandai oleh gejala-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling mengadakan, mengurangi, dan menekan terhadap pihak lain. Tujuanya adalah untuk memperoleh keuntungan di antaranya untuk pemenuhan kebutuhan fisik, seperti materi, tatus dan jabatan. Selain itu, untuk pemenuhan kebutuhan sosial psikologis, seperti rasa aman, relasi, kepercayaan diri, kasih, penghargaan, dan alkulturasi diri. Munculnya tindakan yang saling berhadap-hadapan sebagai akibat dari adanya perselisihan dan pertentangan yang berlarut-larut. Adanya ketidak seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak yang terkait dengan misalnya kedudukan, status sosial, pangkat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan prestasi. 2.3.3. Bentuk-bentuk Konflik 1. Konflik dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict) Wijono (2012:206) mengungkapkan munculnya konflik yang ada dalam diri individu mempunyai kecenderungan berkaitan dengan: (1) tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), (2) pertentangan dalam peran yang dimainkan (role conflict). Unruk lebih jelasnya dapat dipaparkan sebagai berikut: 1) Konflik yang Berkaitan dengan Tujuan yang Hendak Dicapai (Goal Conflict) a. Konflik mendekat-mendekat (approach-aproach conflict). 27 Konflik ini muncul ketika individu didorong untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih. Tetapi tujuan yang dicapai saling terpisah satu sama lain. b. Konflik mendekat-menghindar (approach-avoidance conflict) Individu yang mengalami konflik in didorong untuk melakukan pendekatan terhadap persoalan-persoalan yang mengacu pada satu tujuan dan pada waktu yang sama didorong untuk melakukan penghindaran terhadap persoalan-persoalan tersebut. Jadi, ada tujuan yang hendak dicapai tersebut mengandung nilai positif dan negative bagi individu yang mengalami konflik. c. Konflik menghindar-menghindar (avoidance- avoidance conflict) Dalam konflik ini, individu didorong untuk menghindari dua atau lebih hal yang negative tetapi tujuan-tujuan yang dicapainya saling terpisah satu sama lain. 2) Konflik yang berkaitan dengan Peran dan Ambiguitas a. Mempunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran (awareness of role conflict) Konflik ini terjadi pada saat individu mengalami ketidak cocokan atas peran yang dimainkan, maka individu perlu mempunyai kesadaran melalui introspeksi bahwa peran yang dimainkanya akan membuat dirinya mengalami konflik peran yang dapat mengganggu darinya dan kelompoknya. b. Menerima kondisi dan situasi jika muncul konflik yang dapat membuat tekanan-tekanan dalam pekerjaan (acceptance of conflict job pressures) Ada baiknya ketika individu mengalami pertentangan dalam dirinya, individu menerima kondisi dan situasi yang dapat membuat dirinya tertekan. c. Memiliki kemampuan untuk menoleransi stress (ability to tolerance stress), Setiap individu mempunyai kemampuan dan cara untuk menghadapi stress dalam kehidupanya. Namun demikian, ada juga individu yang menoleransi stress tetapi ada juga yang tidak dapat menoleransinya, sehingga dia mengalami konflik dalam dirinya. d. Memperkuat sikap/sifat pribadi yang lebih tahan dalam menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi (general personality make up). Pada dasarnya, setiap individu mempunyai sikap/sifat pribadi yang berbeda satu sama lainnya. Perbedaan sikap/sifat ini, akan menentukan bagaimana individu menghadapi konflik yang muncul dalamm dirinya, sehingga bermanfaat untuk menghadapi konflik dalam kehidupan. 28 2. Konflik Antarpribadi (Interpersonal Conflict) Wijono (2012:213). Konflik antarpribadi adalah suatu konflik yang mempunyai kemungkinan lebih sering muncul dalam kaitanya antar individu dengan individu lain yang ada dalam satu organisasi atau kelompok. Labih lanjut dijelaskan: Faktor yang dapat menjadi penyebab munculnya konflik antar pribadi ini meliputi: adanya kesalahan dalam persepsi (misperseption), kesalahan berpendapat (misopinion), kesalahan dalam memahami (misunderstanding), kesalahan dalam berkomunikasi (miscommunication), perbedaan tujuan (goal different), perbedaan nilai-nilai (values different), latar belakang budaya (culture background), sosial-ekonomi (sosial-economic), dan sifat-sifat peribadi (personality traits) 3. Konflik Organisasi (Organizational Conflict) Menurut Wijono (2012: 224) dalam konflik organisasi ini dapat muncul karena adanya kemungkinan-kemungkinan, yaitu situasi-situasi yang tidak sesuai dalam mencapai tujuan, sasaran, dan alokasi yang tidak sesuai dengan tujuan, munculnya ketidakpastian dalam stataus pekerjaan dan perbedaan persepsi. Selain itu, dijelaskan bahwa konflik organisasi dapat dibagi menjadi konflik hierarki, konflik fungsional dan disfungsional, konflik atar staf lini dan konflik kelompok formal dan non formal. Berikut ini penjelasanya: 2.4.Konflik Hierarki (hieraechical conflict) Konflik hierarki ini dapat muncul ketika adanya benturan di hierarki struktural semakin komplek hierarki strukturalnya, maka makin sering terjadinya konflik. Adanya tekanan psikologis dari lingkungan skitar yang membuat konflik ini muncul. 2.5.Konflik Fungsional dan disfungsional (fungctional and disfungcional conflict) Timbulnya konflik fungsional konflik ini dikarenakan adalah konfrontasi antar kelompok-kelompok yang menginginkan keuntungan dan peningkatan prestasi. 29 Konflik fungsional dapat diarahkan untuk menambah perubahan adanya kesadaran terhadap masalah atau kebutuhan yang ditunjukan tersebut, hasil yang lebih luas dan produktif mengkaji untuk solusi dan secara umum memfasilitasi perubahan positif, adaptasi, dan inivasi. Konflik disfungsional adalah berbagai konfrontasi atau interaksi di antara kelompok-kelompok yang merugikan dan menghalangi tercapainya tujuan bersama. Pada tingkatan yang sama, stress dan konflik dapat memengaruhi kesehatan dan bergerak untuk mencapai tujuan kelompok yang dapat merusak secara ekstrem dan disfungsional dalam kelmpok yang lainya. 2.6.Konflik staf-line (line-staff conflict) Konflik antar staf lini ini dapat muncul ketikia hubungan antara garis wewenang dan tanggung jawab keduanya saling tumpang-tindih dan tidak jelas. 2.7.Konflik kelompok formal dan informal (formal non formal conflict) Terjadinya konflik ini ketika ada dua kelompok, yaitu formal dan informal mempunyai perbedaan kepentingan dalam mencapai tujuanya. Dari ketiga bentuk konflik diatas dapat kita ketahui, bahwa konflik Antarpribadi (Interpersonal Conflict) adalah bentuk konflik yang sesuai dengan permasalahan yang akan diteliti. Faktor-faktor yang menjadi penyebab dalam konflik ini merupakan acuan untuk dijadikan sebuah landasan dasar teori dalam menjalankan penelitian tentang konflik antar warga di Kecamatan Way Panji Kabupaten Lampung Selatan ini. 2.3.4. Tahap Perkembangan konflik Menurut Sutarto Wijono (2012:232-234) atas dasar pemahaman bahwa konflik tersebut adalah proses yang dinamis dan bukan statis atau kaku yang berarti konflik itu dapat berubah ubah smengikuti perkembangan hal-hal yang terjadi ketika konflik. Maka konsekuensi terjadinya konflik ddapat digambarkan melalui proses perkembanganya. 30 Adapun tahapan perkembangan konflik itu adalah: a) Konflik masih tersembunyi (laten) Berbagai macam kondisi emosi negative seperti takut, cemas, khawatir, rasa bersalah, curiga, iri, benci, dan dendam yang silih berganti didalam diri individu, kelompok ataupun organisasi yang kesemuanya itu dirasakan sebagai suatu yang biasa dan tidak terlalu dipersoalkan (tersembunyi), dianggap bukan sebagai suatu masalah yang mengganggu dirinya. b) Kondisi yang mendahului (antecedent condition) Tahapan kedua ini adalah tahap perubahan dari apa yang dirasakan secara tersembunyi dan belum dirasakan sebagai suatu yang mengganggu individu, kelompok, atau organisasi secara keseluruhan. Kondisi yang mendahului tersebut di antaranya timbulnya tujuan berbagai system nilai yang berbeda, berbagai hambatan komunikasi, perbedaan peran (underload/overload), dan tugas-tugas yang ambigus, manusia dan prilakunya, struktur organisasi, kebijakan organisasi, analisis tugas dan performance appraisals. Jika kondisikondisi yang mendahului tersebut mulai dirasakan mengganggu atau merintangi tujuan individu, kelomok, maupun organisasi, maka akan muncul konflik. Ketika konflik yang tidak diselesaikan dengan tepat yang dapat menimbulkan dua macam sifat konflik yaitu konflik yang dapat diamati dan konflik yang dapat dirasakan. c) Konflik yang dapat diamati (perceived conflict) Konflik ini muncul ketika dalam situasi telah terjadi adanya serangan gejala seperti yang tercermin dalam tahap kedua diatas. Pada tahap kedua t\diatas dapat memeberikan gambaran suatu kondisi yang mengancam secara individu, interpersonal/kelompok, dan organisasi. Selain itu juga dapat menimbulkan suasana yang tidak diharapkan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam konflik tersebut. Konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) Dalam proses perkembangan berikutnya, individu, interpersonal/kelompok atau organisasi bukan hanya mengamati terjadinya konflik, melainkan juga merasakan serta menghayati apa yang dirasakan sebagai konflik yang dapat mengganggu, merintangi, mengancam, dan menimbulkan kegoncangankegoncangan serta ketegangan-ketegangan dalam dirinya secara individu, interpersonal/kelompok, dan organisasi. Akibat dari penghayatanya terhadap konflik tersebut secara emosional, maka muncullah beberapa emosi negative seperti yang dijelaskan pada tahap pertama diatas. d) Konflik terlihat secara terbuka (manifesr behavior) Sebagai usaha untuk memenuhi rasa frustasi, mengantisipasi timbulnya konflik, baik yang dialami oleh individu, interpersonal/kelompok, dan organisasi akan terjadi mekanisme pertahanan diri. Beberapa mekanisme pertahanan dari akibat frustasi seperti agresi, regresi, fikasi, kompromi dan penarikan. 31 2.3.5. Dinamika konflik Dinamika konflik adalah suatu pergerakan secara terus-menerus yg menimbulkan perubahan dalam diri konflik itu mengikuti alur perkembangan yang terjadi ketika konflik itu terjadi. Sebuah konflik manifest diawali dari konflik laten yang tertumpuk lama dan terpendam dalam diri individu, interpersonal/kelompok. Nanang martono (2011:228) menyebutkan bahwa akar tumbuhnya sebuah pergerakan itu timbul berawal dari faktor kepribadian dari pengikut gerakan sosial (red: konflik warga) tersebut. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan akar pergerakan tersebut, yaitu: Pertama, teori ketidakpuasan (discontent theory). Teori ini menyatakan bahwa akar munculnya gerakan sosial terletak pada perasaan ketidak puasan.orang yang merasakan hidupnya nyaman dan puas, cenderung kurang menaruh perhatian pada gerakan sosial ini. Sedangkan orang atau kelompok akan melakukan sebuah tindakan apabila ia merasa dalam dirinya mendapatkan rasa yang tidak puas dan tertekan. Sebuah konflik antaar warga itu terjadi karena adanya ketimpangan yang menyebabkan kelompok lainya merasa tertekan sehingga rasa yang bisa untuk memuasakan diri darai lawan kelompoknya adalah melakukan perlawanan. Kedua, teori ketidakmampuan penyesuaian diri pribadi (personal maladjustment theory). Teori ini menyatakan bahwa gerakan sosial merupakan tempat untuk menyalurkan kegagalan pribadi. Orang yang kecewa dan gagal lebih tertarik untuk ikut serta dalam gerakan sosial daripada orang yang sudah merasakan puas dan senang. Dalam konflik warga juga terjadi demikian, warga yang tidak mampu untuk menyeseuaikan diri denagan lingkunganya akan turut serta dalam sebuah konflik demi untuk membalas sebuah kegagalan pribadi dan kekecewaan. Ketiga,teori Proses-Politik. Teori ini berkaitan dengan Teori Mobilitas Sumber Daya. Pendekatan teori proses-politik menekankan pada peluang-peluang bagi gerakan, yang diciptakan oleh proses politik dan sosial yang lebih besar. Pada tingkatan ini sangatlah berbahaya ketika konflik antar warga itu telah terjadi. Adanya muatan-muatan politik dalam sebuah konflik akan menjadikan konflik itu semakin kompleks, tidak terarah seehingga isu-isu yang berkembang dalam konflik akan selalu berubah-ubah sesuai dengan sponsor politik tersebut. 32 2.4. Faktor Penyebab Konflik Adalah faktor yang menyebabkan sebuah konflik itu bisa ada dan terjadi dalam kehidupan masyarakat. Menurut Wijono (2012:227) ada empat yang dapat menyebabkan munculnya konflik, yaitu: a) Situasi-situasi yang tidak sesuai b) Rencana kegiatan dan alokasi waktu yang tidak sesuai c) Masalah status pekerjaan yang tidak pasti d) Perbedaan persepsi. Menurut Dahrendorf (dalam K.J. Veeger, 1993:214) ada tiga celah yang bisa mengantarkan seseorang itu kedalam konflik, yakni: Pertama, kekuasaan, adalah setiap kemampuan untuk memenangkan kemauan sendiri, juga kalau kemampuan itu bertentangan dengan kemauan orang lain. Kedua, kepentingan, pembedaan penting yang dibuat Dahrendorf sehubugan dengan konsep “kepentingan” adalah pembedaan antara kepentingan latent dengan kepentingan manifestt. Ketiga, kelompok konflik, Dahrendof membagi menjadi: kelompok konflik potensial, adalah sekelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama, baik kepentingan itu disadari, ataupun tidak. Menurut Sosiolog, Dr Imam B. Prasodjo (dalam http://bpsntbandung.com) bahwa yang menjadi penyebab timbulnya konflik itu dikarenakan: Lemahnya kontrol sosial yang tidak diikuti dengan langkah penegakkan hukum ini ditanggapi secara keliru oleh para pelaku tindak kejahatan. Kesan tersebut seolah menjadi message (tanda) yang diterjemahkan bahwa hal yang terjadi akhirakhir ini, lebih membolehkan untuk melakukan tindakan-tindakan tersebut. Sementara itu pada saat kontrol sosial melemah, juga terjadi demoralisasi pihak petugas yang mestinya menjaga keamanan dan ketentraman, justru melakukan tindak pelanggaran. 33 Sedangkan Sardjono Djatiman (dalam http://bpsntbandung.com) memperkirakan konflik itu hadir karena: Masyarakat sudah tidak percaya lagi kepada hukum, sistem, dan aparatnya. Ketidakpercayaan itu sudah terakumulasi sedemikian lama, karena ketidakadilan telah menjadi tontonan masyarakat sehari-hari. Mereka yang selama ini diam, tiba-tiba memberontak. Ketika negara yang mewakili masyarakat sudah tidak dipercaya lagi, maka masyarakatlah yang akan mengambil alih kendali hukum. Keadaan masyarakat yang beranekaragam inilah yang membuat masyarakat itu mengambil kesimpulan dan memutuskan apa yang harus mereka lakukan sendiri, walaupun itu bertentangan dengan hukum yang ada. Tindakan yang terjadi di Way Panji adalah salah satu contoh dimana tidak adanya lagi kepercayaan terhadap aparat penegak hukum, sehingga masyarakat bertindak dengan sendirinya dan dengan cara masyarakat itu sendiri. Keberadaan aparat dan tokoh-tokoh hanyalah sebagai symbol yang kini tidak ada lagi fungsinya karena runtuhnya moral para petinggi yang ada dinegri ini. Menurut penjelasan Robin; Walton dan Duton (dalam Wijono 2012:220) menjelaskan tentang suber konflik antarpribadi/Kelompok melalui kondisi-kondisi pemula (antecedent conditions) yang meliputi: a) Persaingan terhadap sumber-sumber (competition resources) Semakin langkanya sumber yang diinginkan, maka semakin besar terjadinya persaingan atau kompetisi yang semakin tajam pula di antara pribadi/kelompok yang saling membutuhkan sumber tersebut. Misalnya sumber dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, semakin sempitnya lahan pertanian maka semakin banyak pula orang yang meninginkan lahan tersebut, akibatnya persengketaanlah yang terjadi. b) Ketergantungan terhadap tugas (task interdependence) Konflik ini muncul ketika seseorang/kelompok mempunyai tujuan dan prioritas yang berbeda satu sama lain, sehingga mereka akan mengalami ketergantungan tugas. 34 Munculnya konflik ini dapat disebabkan oleh adanya arus komunikasi yang satu arah, atau timbal balik yang mencakup pembagian persediaan, informasi, bantuan, atau pengarahan termasuk juga tuntutan melakukan kordinasi terhadap tugas-tugas yang perlu diprioritaskan oleh keduabelah pihak, sehingga seseorang/kelompok itu hanya menjalankan sesuatu atas berdasarkan perintah dari pihak lain. c) Kekaburan deskripsi tugas (jurisdictional ambiguity) Ketika deskripsi tugas yang digagas oleh masing-masing anggota yang ada diberbagai departemen tersebut tugas-tugasnya mulai timpang tindih, tidak jelas (kabur), demikian juga tanggung jawab, kewenangan, dan hak serta kewajiban masih kabur, maka hal tersenut akan memicu konflik diantara mereka. d) Masalah status (status problem) Adanya persepsi atas ketidakseimbangan atau ketidakadilan dalam meberi ganjaran (reward), penghargaan , penugasan kerja, kondisi-kondisi masyarakat serta status symbol dapat mengalami frustasi. e) Rintangan komunikasi (communication barriers) Komunikasi yang kurang memadai dapat menimbulkan berbagai konflik semu (pseudo conflict) yang merintangi persetujuan antara dua individu/kelompok yang posisinya saling melengkapi. Sarana komunikasi yang kurang memadai dapat menghambat upaya-upaya untuk mencapai koordinasi dua kelompok atau lebih akibatnya yang terjadi adalah kesalahan komunikasi (miscommunication). f) Sifat-sifat individu (individual traits) Sifat pribadi yang dimiliki oleh individu masing-masing dapat menjadi pemicu timbulnya konflik atarpribadi/kelompok. Sifat pribadi tersebut di antaranya kurang matang (immature) atau kekanak-kanakan, kecerdasan emosinya rendah, sulit mengendalikan diri, tidak fleksibel, cenderung menutup diri dari masukan orang lain, dan egois. Pendapat yang sesuai dengan fokus penelitian adalah pendapat Franz MagnisSuseno (2003:121). Ia mengungkapkan hal yang melatarbellakangi konflik itu timbul adalah : a) Modernisasi dan globalisasi. b) Akumulasi kebencian dalam masyarakat. c) Budaya kekerasan. d) Sistem Politik. 35 2.5. Dampak Konflik Dalam sebuah konflik akan menimbulkan berbagai macam dampak. Dampak konflik antar warga yang paling berbahaya adalah dampak terhadap psikologis, dampak terhadap kehidupan sosial, ekonomi dan dampak terhadap budaya. Dari berbagai macam dampak tersebut tidak selamanya bernilai negatif, namun juga ada dampak yang bernilai positif, dampak-dampak tersebut adalah sebgai berikut: 2.5.1. Psikologis Dari sisi psikologis, dampak dari konflik antar warga ini akan menimbulkan rasa trauma, selalu merasa tidak aman, bahkan berkurang/hilangnya rasa kepercayaan diri dari individu dalam masyarakat tersebut. Hal ini karena pada dasarnya setiap individu memiliki kebutuhan yang berbeda dengan yang lainya, dan kebutuhan itu harus terpenuhi sesuai dengan kadarnya msing-masing. Maslow (dalam Wijono, 2012) mengungkapkan tingkat kebutuhan individu yang kaitanya dengan kebutuhan hidup untuk mencapai sebuah ketenangan yang harus terpenuhi padda setiap individunya adalah: 1. Kebutuhan fisiologis (physiologycal needs) Kebutuhan fisiologis ini merupakan kebutuhan tingkat pertama yang paling rendah dan paing mendasar. Kebutuhan ini terdiri atas makan, minum, pernapasan, dan kebutuhan yang bersifat biologis lainya. 2. Kebutuhan akan rasa aman (safety needs) Kebutuhan-kebutuhan yang termasuk dalam kebutuhan rasa aman ini adalah kestabilan, ketergantungan, perlindungan,bebas dari rasa takut, dan ancaman. 3. Kebutuhan sosial dan kasih sayang (sosial and belongingness nedds) Adalah kebutuhan untuk bersosialisasi, berkomunikasi, dan merasa diterima serta dibutuhkan oleh orang lain. 36 4. Kebutuhan harga diri (self esteem needs) Dalam kebutuhan harga diri ini dapat dibagi menjadi dua kategori. Pertama, kebutuhan terhadap kekuasaan, berprestasi, pemenuhan diri, kekuatan dan kemampuan untuk memberikan keyakinan dan kehidupan serta kebebasan. Kedua, adalah kebutuhan terhadap nama baik (reputation) atau prestise, status, keberhasilan, pengakuan, perhatian, dan penghargaan. 5. Kebutuhan alkulturasi diri (self actualization needs) Pada tingkat kebutuhan ini, masing-masing ingin mewujudkan diri sebagai individu yang mempunyai kemampuan unik, seperti tanggung jawab, kebutuhan pertumbuhan dan pengembangan diri, kemajuan, berprestasi, dan alkulturasi. Adanya konflik antar warga ini merupakan suatu guncangan bagi warga yang berkonflik maupun bagi warga lain yang terkena imbasnya dari konflik ini. Sehingga rasa trauma, selalu merasa tidak aman, bahkan berkurang/hilangnya rasa kepercayaan diri itu akan sulit untuk dipulihkan kembali seperti semula. 2.5.2. Sosial Dalam konflik antar warga ini, pasti akan sangan mudah terlihat dampaknyan dalam berkehidupan sosial. Karena pola kehidupan sosial inilah yang kelak akan menentukan dan akan terlihat keberadaan konflik itu. Diteksi bahwa konflik itu masih ada atau tidak akan mudah kita ketahui hanya dengan cara mengamati kehidupan pihak-pihak yang terlibat dalam konflik itu. Sebagaimana yang dinyatakan Wood dan Jacson (dalam Martono 2011:223) bahwa: Perubahan sosial merupakan basis yang menentukan cirri-ciri gerakan sosial, dan gerakan sosial berkaitan berkaitan erat dengan perubahan sosial. Gerakan sosial memiliki berbagai cara menurut mereka paling tepat dalam rangka mewujudkan cita-citanya. Gerakan sosial sering diwujudkan dalam bentuk gerakan protes, pemberontakan, kudeta, sampai prilaku anarkis. 37 Menurut Wijono (2012:235), pola kehidupan sosial itulah yang dapat dengan mudah kita ketahui akan keberadaan konflik itu. Karena hal ini bisa kita lihat dampaknya dalam kehidupan, baik itu berupa dampak positif atau dampak negatif dari konflik bagi kehidupan sosial, adapun dampak-dampaknya adalah sebagai berikut: Dampak Positif Konflik 1) 2) 3) 4) Membawa masalah-masalah yang diabaikan sebelumnya secara terbuka, Memotovasi orang lain untuk memahami setiap posisi orang lain, Mendorong ide-ide baru, memfasilitasi perbaikan dan perubahan, Dapat meningkatkan kualitas keputusan dengan cara mendorong orang untuk membuat asumsi melakukan perbuatan. Dampak Negatif Konflik 1) Dapat menimbulkan emosi dan stress negatif, 2) Berkurangya komunikasi yang digunakan sebagai persyaratan untuk kordinasi, 3) Munculnya pertukaran gaya partisipasi menjadi gaya otoritatif, 4) Dapat menimbulkan prasangka-prasangka negatif, 5) Memberikan tekanan loyalitas terhadap sebuah kelompok. Pendapat lain menyatakan, dampak konflik yang terjad adalah tergantung dari jenis konflik itu sendiri dan bagaimana alur konflik itu berlangsung (Brown, 1997:89). Setidaknya ada tiga kemungkinan yang terjadi sebagai akibat perpecahan konflik etnis yakni: 1) Terjadinya rekonsiliasi secara damai; 2) Perpisahan etnis secara damai; 3) Perang saudara. Dengan kata lain, kelompok-kelompok yang berkonflik bisa setuju untuk hidup bersama secara damai, setuju secara damai untuk berpisan, atau terus berperang untuk menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa atas semuanya. 38 2.5.3. Ekonomi Dalam sebuah konflik antar warga yang melibatkan banyak masa. Pada umunya prilaku masa yang membuat kerusuhan akan menyebabkan banyaknya kerugian dibidang ekonomi. Contohnya perusakan fasilitas umum, pembakaran rumah, perusakan tanaman pertanian, perusakan barang-barang produksi, penjarahan barang, dan lain sebagainya. Sebagaimana menurut Selo Soemardjan (1999:11) yang menerangkan bahwa kerusuhan itu merujuk pada aksi kolektif yang spontan, tidak terorganisasi, tidak bertujuan, dan biasanya melibatkan penggunaan kekerasan, baik untuk menghancurkan, menjarah barang, atau menyerang orang lain. Artinya begitu besarnya dampak dibidang perekonomian yang akan ditimbulkan dari sebuah konflik antar warga ini, diantaranya: Pertama, kemiskinan, adalah dimana korban dari sebuah konflik tersebut menderita kerugian rusaknya fasilitas, penjarahan, bahkan ketika ada anggota keluarga yang terluka maka pengobatan secara pribadi. Kedua, turunya aktifitas perekonomian, dalam hal jual beli akan menurut, dimana adanya rasa trauma akan kepemilikan barang-barang yang telah dijarah, ataupun juga karena keadaan keuangan yang tidak memungkinkan. Ketiga, melonjaknya kebutuhan pokok, keadaan yang belum stabil dimanfaatkan para pedagang untuk menaikan harga kebutuhan pokok. 39 2.5.4. Budaya Budaya dalam KLBI (1998:107) adalah pikiran manusia atau seseuatu hal yang mempunyai peradaban. Sedangkan Koentjaraningrat (2002:180) menjelaskan kebudayaan itu merupakan keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Dari pendapat Koentjaraningrat diatas dapat diketahui bahwa seseungguhnya kebudayaan itu merupakan sebuah hasil karya pemikiran manusia dalam rangka mencipkatan sebuah kehidupan yang mempunyai peradaban. Runtuhnya nilai budaya dan hilangya kewibawaan sebuah budaya adalah dampak dari konflik antar warga, hal ini bisa neyebabkan tidak lagi adanya rasa bangga, kepercayaan diri kepada warga yang memiliki sebuah kebudayaan itu. Akibatnya kemodernisasian akan menghapuskan sebuah budaya yang ada. Nanang Martono (2011:86), menyatakan bahwa keadaan manusia modern akan mengubah cara pandang terhadap seorang individu, ketika individu tidak lagi dihargai dari sisi usia. Manusia modern lebih melihat dan menghargai individu dari sisi keahlian serta ketrampilan yang dimilikinya. Berbeda dengan masyarakat tradisional yang lebih melihat individu dari sisi usia, senioritas dan yunioritas. Dari ungkapan Nanang di atas menunjukan keruntuhan sebuah nilai budaa itu akan menjadikan berkurangnya nilai moral seseorang. Kaitanya dengan kelompok budaya adalah ketika rasa etnosentris melekat pada masing-masing pemilik kebudayaan tersebut, maka kelak ketika mereka hidup bersama dengan kelompok beda etnis, yang akan terjadi adalah tidak lagi adnaya penghormatan kepada kelompok budaya lain. 40 Anggapan akan kelompoknya yang memiliki nilai paling sempurna daripada kelompok budaya lain akan semakin melekat dengan masyarakat. Hal ini aabila tidak terselesaikan secara terbuka maka akan menimbulkan sebuah konflik laten yang berbahaya bagi kelompok etnis tersebut. 2.6. Upaya Penyelesaian Konflik Adalah suatu upaya yang diharapkan pihak-pihak yang berkonflik untuk menjalani kehidupan yang damai. Sutarto Wijono (2012:234) menyatakan ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik agar konflik itu bisa terselesaikan, yaitu: Menyelesaikan konflik dengan berbagai strategi atau bahkan sebaliknya malah memberikan tekanan terhadap konflik. Konsekuensi dari keputusan yang diambil dalam penyelesaian konflik akan berpengaruh terhadap hubungan interpersonal/kelompok dan organisasi selanjutnya. Jika konflik diselesaikan dengan strategi yang efektif dan menguntungkan, maka akan berpengaruh positif pula di antara mereka yang terlibat konflik. Sebaliknya, jika konflik diselesaikan dengan strategi yang tidak efektif dan tidak tepat akan membawa pengaruh negatif terhadap meeka yang terlibat dalam konflik. Strategi yang buruk adalah ketika muncul konflik dibiarkan bahkan ditekan, maka mkondisi konflik akan menjadi laten sifatnya. Pendapat lain yang juga memberikan solusi terhadap konflik antarpribadi/ kelompok (interpersonal conflict), menurut Wijono (2012) diperlukan strategi yang efektif dengan langkah-langkah sebagai berikut: 1) Strategi kalah-kalah (lose-lose strategy) a) Arbitrase Merupakan prosedur bahwa pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga (arbitrator) bertindak menjadi hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat. 41 b) Mediasi Merupakan salah satu bentuk campur tangan pihak ketiga dalam menyelesaikan konflik. Mediasi berbeda dengan arbitrase, namun pada prinsipnya sama, yaitu membuat kedua belah pihak mengalami kekalahan. Mediator atau orang yang menjadi penengan dalam mediasi tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai. 2) Strategi menang-kalah (win-lose strategy) a) Penarikan diri (withdrawal) Dalam penyelesaian konflik, adakalanya penarikan diri oleh salah satu orang atau kelompok orang yang berselisih, akan dapat lebih efektif bila peran yang dimainkan tidak saling tergantung kordinasinya. b) Taktik-taktik penghalusan dan perdamaian (smooting and conciliation tactics) Taktik-taktik penghalusan dan perdamaian terhadap konflik merupakan upaya untuk mengesampingkan perbedaan-perbedaan secara halus, dengan melakukan tindakan-tindakan perdamaian dengan pihak lawan. c) Bujukan (persuation) Salah satu usaha untuk menghadapi konflik adalah dengan cara berusaha membujuk pihak lain misalnya berusaha mengubah posisinya atau memberikan bukti-bukti nyata yang dapat mendukung dan memperkuat pisisinya dan memperlemah posisi lawanya. d) Taktik paksaan dan penekanan (forcing and pressure tactics) Taktik lain untuk mengatasi konflik biasanya menggunakan taktiktaktik paksaan dan penekanan terhadap pihak lain agar mengalah. Ada tiga macam cara dalam taktik ini, yaitu: Pemberian ancaman Konsekuensi hukuman Pengikatan posisi e) Taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran (bargaining and-exchange oriented tactics) Tukar menukar diartikan sebagai proses pertukaran persetujuan hingga mencapai satu kompromi, misalnya membuat suatu persetujuan hingga mencapai satu kompromi, misalnya membuat suatu persetujuan ulang agar pihak lawan dapat menerima tanpa harus disertai dengan janjijanji tertentu. 42 3) Strategi menang-menang (win-win strategy) a) Pemecahan masalah terpadu (integrative problem solving) Pendekatan ini mengantisipasi bahwa masing-masing puhak yang terlibat dalam konflik perlu melakukan kerja sama untuk mencari penyelesaian yang memuaskan kedua belah pihak. b) Konsultasi proses antarpihak (inter-part process consultation). Salah satu bentuk lain untuk melakukan strategi saya menang dan anda pun menang adalah menggunakan bentuk campur tangan pihak ketiga yang berbeda dari Arbitrase ataupun Mediasi dalam beberapa strategi, yaitu dari konsultasi proses pihak ketiga. Tujuanya adalah mengembangkan hubungan antara kedua belah pihak sesuai dengan potensi mereka masing-masing secara lebih efektif sehingga kedua belah pihak merasa puas. 2.7. Kerangka Pikir Keadaan masyarakat Indonesia yang terbilang memiliki banyak keanekaragaman yang memungkinkan kehidupan masyarakat menjadi majemuk. Dalam kemajemukan ini banyak celah untuk terjadinya kebersinggungan itu yang kemudian akan menjadi sebuah konflik, baik itu konflik manifestt yang tampak oleh mata dan terjadi secara langsung ataupun konflik yang bersifat laten yang tidak tampak secara langsung, dalam artian terjadi sebuah konflik yang terpendam didalam hati. Konflik laten ini lebih berbahaya daripada konflik manifest, karena keadaanya yang tidak tampak sehingga ditakutkan apabila konflik ini kelak muncul menjadi sebuah bumerang yang mengakibatkan sebuah pemberontakan sehingga konflik laten tersebut bisa menjadi sebuah konflik manifestt yang lebih besar dari pada keadaan yang diperkirakan. Contoh kasus kerusuhan di Lampung Selatan pada Januari 2012 lalu. Konflik manifest yang begitu besar ini mengakibatkan banyaknya korban luka-luka hingga korban materi berupa rusaknya fasilitas umum dan juga rumah-rumah warga. 43 Banyaknya dugaan-dugaan yang menjadi akar penyebab konflik sehingga konflik itu susah terselesaikan dengan baik dan akibatnya menimbulkan sebuah konflik laten dalam masyarakat. Pada faktanya konflik yang telah lama terpendam itu kembali muncul dipermukaan yang kemudian memuncak kembali pada bulan Oktober 2012 ini dan timbul lagi menjadi sebuah konflik manifest yang lebih besar daripada konflik pada tahap pertama yang terjadi diawal tahunya. Keadaan lebih kacau terjadi pada konflik kedua ini, bukan hanya kerusakan fasilitas umum dan pembakaran rumah warga saja, namun pembunuhanpun juga dilakukan, sehingga banyak mengakibatkan korban nyawa. Konflik berdarah ini dipicu oleh faktor penyebab sederhana, namun kemudian menjadi besar yang menyulut rasa dendam warga Agom menjadi sebuah konflik manifes. Konflik manifes ini berkembang akibat dari tuntutan warga desa Agom yang mendapat sambutan kekerasan dari pihak warga desa Bali Nuraga, sehingga berakibat meninggalnya tiga orang warga Agom. Konflik kembali terjadi dengan skala lebih besar, yang melibatkan warga diluar desa agom dengan mengatas namakan etnis. Pada peristiwa konflik manifes lanjutan ini mengakibatkan lebih banyak korban, baik berupa harta, benda, bahkan merenggut nyawa dari kedua belah kubu yang berkonflik ini. Akibatnya konflik antar warga itu menimbulkan berbagai dampak buruk lainya bagi masyarakat, baik dari segi psikologis berupa rasa trauma berkepanjangan. 44 Kehidupan sosial yang tidak harmonis, keadaan ekonomi yang tidak stabil dan lunturnya nilai-nilai budaya yang ada. Oleh karena itu, dari sebuah pelajaran ini diharapkan kebijakan pemerintah untuk bisa memberikan strategi penyelesaian dengan baik, agar kelak tidak terjadi lagi konflik susulan buntut dari konflik yang sudah ada ini. 2.8. Skema Kerangka Pikir Masyarakat Majemuk Faktor Penyebab: a) Modernisasi dan globalisasi. b) Akumulasi kebencian dalam masyarakat. c) Budaya kekerasan. d) Sistem Politik Konflik Konflik Manifest Konflik Antar Warga Konflik Laten Dampak: 1. 2. 3. 4. 5. 6. Pemerintahan Fisik Psikologis Sosial Ekonomi Budaya Strategi Penyelesaian Konflik 1) Strategi kalah-kalah (lose-lose strategy) 2) Strategi menang-kalah (win-lose strategy) 3) Strategi menang-menang (win-win strategy)