DINAR EMAS DALAM PERSAMAAN KUANTITAS UANG (Suatu

advertisement
DINAR EMAS DALAM PERSAMAAN KUANTITAS UANG
(Suatu Kajian Konseptual Ekonomi Bebas Riba)
Zuhairan Y. Yunan
Fak. Ekonomi dan Bisnis UIN Jakarta, e-mail: [email protected]
Abstract:
Interest rate is being one of the characteristic of a conventional monetary system.
Government can control circulation of money by arranging an interest rate. The
interest rate will pursue the flow of money into the society. However, interest rate
does not solve the problem actually. The quantity of money equation (MV = PQ)
will be retrieved something ideal. When the country creates money, money supply
would rise. By using a Gold Dinar as a currency will make economy relatively
more stable. Purchasing power of Gold Dinar approximately 14th centuries has
not changed. The state or monetary authority can’t create a Gold Dinar (money).
Unlike a fiat money can be printed anytime if needed. If Gold Dinar used, money
supply relatively fixed. The economy with free of riba can make the society not to
keep their money. To improve the economy, real sector (production) must move in
line with the growth of population, so that price is also being fixed relative.
Keywords: Gold Dinar, Quantity of Money Equation, Purchasing Power, Riba
Abstrak:
Tingkat bunga menjadi salah satu karakteristik dari sistem moneter konvensional.
Pemerintah dapat mengontrol peredaran uang dengan mengatur suku bunga.
Tingkat bunga akan mengejar aliran uang ke masyarakat. Namun, suku bunga
tidak memecahkan masalah sebenarnya. Kuantitas persamaan uang (MV = PQ)
akan diambil sesuatu yang ideal. Ketika negara menciptakan uang, jumlah uang
beredar akan meningkat. Dengan menggunakan Dinar Emas sebagai mata uang
akan membuat perekonomian relatif lebih stabil. Daya beli Dinar Emas sekitar 14
abad tidak berubah. Otoritas moneter negara atau tidak dapat membuat Dinar
Emas (uang). Tidak seperti uang kertas dapat dicetak kapan saja jika diperlukan.
Jika Emas Dinar digunakan, jumlah uang beredar relatif tetap. Perekonomian
dengan bebas riba dapat membuat masyarakat tidak menyimpan uang mereka.
Untuk meningkatkan perekonomian, sektor riil (produksi) harus bergerak sejalan
dengan pertumbuhan penduduk, sehingga harga yang juga sedang diperbaiki
relatif.
Kata kunci: emas dinar, kuantitas persamaan uang, daya beli, riba
Pendahuluan
Salah satu yang sangat penting dalam kehidupan manusia adalah keadilan
dalam hal ekonomi. Islam merupakan suatu jalan hidup (way of life) dan bukan
sebagai fenomena yang terisolasi, semangat ini harus menembus seluruh interaksi
manusia, sosial, ekonomi, dan politik. Ketidakadilan di suatu daerah telah tersebar
ke daerah, satu lembaga yang salah tidak mungkin bisa mempengaruhi yang lain,
bahkan dibidang bisnis dan ekonomi, semua nilai harus bergerak kearah keadilan
sehingga
secara
keseluruhan
mendukung
bukan
melemahkan
apalagi
menghilangkan, keadilan sosio ekonomi.
Islam adalah pandangan hidup yang seimbang dan terpadu, didesain untuk
mengantarkan kebahagiaan manusia lewat penegakan keharmonisan antara
kebutuhan-kebutuhan moral dan materiil manusia, dan aktualisasi keadilan
sosioekonomi dan persaudaraan dalam masyarakat. Seruan untuk kesejahteraan
yang berorientasi kepada keadilan dan keseimbangan ini diulang-ulang setiap hari
lima kali. Kaum muslimin telah memulai menyambut panggilan ini dan terdapat
kebangkitan kembali di dalam dunia Islam. Kebangkitan ini juga dicerminkan
dalam lapangan intelektual1. Komitmen Islam yang demikian mendalam terhadap
persaudaraan dan keadilan menyebabkan konsep kesejahteraan bagi semua umat
manusia sebagai tujuan pokok Islam.
Islam memberikan pedoman yang sangat lengkap untuk semua bidang
kehidupan, termasuk didalamnya bidang ekonomi. Islam memberikan aturan
mengenai hal tersebut. Sebagaimana diketahui bahwa tutunan hidup bagi manusia
untuk menjalani kehidupan adalah Al Qur’an dan As Sunnah. Kegiatan ekonomi
dalam pandangan Islam merupakan tuntutan kehidupan. Disamping itu juga
merupakan anjuran yang memiliki dimensi ibadah2.
Di antara ajaran Islam yang paling penting untuk menegakkan keadilan
dan membatasi eksploitasi dalam transaksi bisnis adalah pelarangan semua bentuk
upaya “memperkaya diri secara tidak sah (aql amwal al-nas bi al-batil). Al-qur’an
1
2
M. Umar Chapra. 2000. Why has Islam Prohibited Interest?, Review of Islamic Economics
Suhrawardi K. Lubis. 2000. Hukum Ekonomi Islam, Jakarta: Bumi Aksara.
dengan tegas memerintahkan kaum muslimin untuk tidak saling berebut harta
secara batil atau dengan cara yang tidak dapat dibenarkan.
Aspek muamalah mengatur manusia dalam menjalankan kehidupan sosial,
sekaligus dasar membangun sistem perekonomian yang sesuai dengan ajaran
Islam. Ajaran muamalah akan menahan manusia dari menghalalkan segala cara
untuk mencari rezeki dan memperoleh rezeki dengan cara yang halal dan baik.
Harta merupakan amanah dari Allah. Islam mengakui kepemilikan harta oleh
manusia sebagai individu. Konsekuensinya manusia harus mengelola dan
mengembangkannya sesuai ajaran Islam. Namun, untuk mengelola hartanya harus
memiliki ilmu sehingga hartanya bermanfaat bagi diri sendiri, orang lain dan
masyarakat luas. Islam mengajarkan pengunaan sumber daya yang dikaruniakan
oleh Allah itu untuk tujuan produktif demi mewujudkan kesejahteraan manusia3.
Masyarakat merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi. Dalam
menjalankan berbagai kegiatan ekonominya, masyarakat menggunakan uang
untuk melakukan transaksi. Uang yang digunakan saat ini menggunakan sistem
fiat money. Kestabilan nilai uang tersebut diperlukan bagi keadilan kegiatan
perekonomian. Tingkat kestabilan tersebut dikendalikan oleh otoritas moneter
suatu negara dalam hal ini Bank Sentral. Salah satu kebijakan ekonomi
pemerintah adalah kebijakan moneter yang berperan untuk mengatur dan menjaga
stabilitas ekonomi suatu negara. Melalui kebijakan moneter, Bank Sentral sebagai
otoritas moneter dapat menjaga stabilitas moneter yang di antaranya adalah
menjaga nilai uang agar tetap stabil, sehingga terwujud kondisi perekonomian
yang terkendali dan terarah yang ditandai dengan peningkatan kesempatan kerja,
terciptanya iklim dunia usaha yang sehat sehingga investasi-investasi baru akan
bermunculan dalam transaksi ekonomi riil bukan ekonomi balon.
Ekonomi balon (bublle economy) adalah sebuah ekonomi yang besar
dalam perhitungan kuantitas financial (moneter), namun tak diimbangi oleh sektor
riil, bahkan sektor riil tersebut amat jauh ketinggalan perkembangannya.4 Nilai
3
Muhammad Nafik. 2009. “Bursa Efek dan Investasi Syariah”, Cetakan Pertama, Jakarta:
PT. Serambi Ilmu Semesta.
4
Agustianto,
“Telaah
Terhadap
Akar
Krisis
Keuangan
Global”,
http://www.scribd.com/doc/19094216/Telaah-Terhadap-Akar-Krisis-Keuangan-Global-New
ekonomi non riil seperti transaksi di lantai bursa ternyata nilainya melebihi dari
nilai asset barang/jasa riil yang ada. Akibat ketidakseimbangan nilai non riil
dengan nilai aset barang & jasa riil inilah yang mengakibatkan terjadinya krisis
moneter.
Abu Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas
fungsi uang dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai
media penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri.
Maksudnya, adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan
menetapkan nilai yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan
sebuah komoditi. Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak
mempunyai warna, tetapi dapat merefleksikan semua warna. Maknanya adalah
uang tidak mempunyai harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam
istilah ekonomi klasik disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan
langsung (direct utility function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk
membeli barang, maka barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah”
yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara
tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh
tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila
suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan
refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah
tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak
pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi
lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui kebijaksanaan
pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang semata-mata akan
ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan (demand), sehingga
setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya, jika di suatu kota
makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka harga makanan
akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga semua atau
sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan mencari harga
keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya naik, namun
karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun kembali.
Tulisan ini mengkaji bagaimana persamaan kuantitas uang dapat
memperlihatkan Dinar Emas mempunyai kestabilan dalam daya beli.
Pembahasan
A. Fungsi Uang
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, masyarakat tidak dapat melakukan
semuanya secara seorang diri. Ada kebutuhan yang dihasilkan oleh pihak lain, dan
untuk mendapatkannnya seorang individu harus menukarnya dengan barang atau
jasa yang dihasilkannya. Namun, dengan kemajuan zaman, merupakan suatu hal
yang tidak praktis jika untuk memenuhi suatu kebutuhan, setiap individu harus
menunggu atau mencari orang yang mempunyai barang atau jasa yang
dibutuhkannya dan secara bersamaan membutuhkan barang atau jasa yang
dimilikinya. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu sarana lain yang berfungsi sebagai
media pertukaran dan satuan pengukur nilai untuk melakukan sebuah transaksi.
Uang dalam bahasa Arab disebut “Maal”, asal katanya berarti condong,
yang berarti menyondongkan mereka kearah yang menarik, di mana uang sendiri
mempunyai daya penarik, yang terbuat dari logam misalnya tembaga, emas, dan
perak. Menurut fiqh ekonomi Umar RA diriwayatkan5, uang adalah segala sesuatu
yang dikenal dan dijadikan sebagai alat pembayaran dalam muamalah manusia.
Berdasarkan sejarah Islam, pada masa Rasulullah SAW. Mata uang menggunakan
sistem bimetallic standard (emas dan perak) demikian juga pada masa Bani
Umayyah dan Bani Abassiyah. Dalam pandangan Islam mata uang yang dibuat
dengan emas (dinar) dan perak (dirham) merupakan mata uang yang paling stabil
dan tidak mungkin terjadi krisis moneter karena nilai intrinsik sama dengan nilai
riil. Mata uang ini dipergunakan bangsa arab sebelum datangnya Islam.
5
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro. The
International Institute of Islamic Thought, Jakarta: Indonesia. Ekonomi Islam secara jelas telah membedakan antara money dan capital.
Dalam Islam, Uang adalah adalah public good/milik masyarakat, dan oleh
karenanya penimbunan uang (atau dibiarkan tidak produktif) berarti mengurangi
jumlah uang beredar. Implikasinya, proses pertukaran dalam perekonomian
terhambat. Di samping itu penumpukan uang/harta juga dapat mendorong
manusia cenderung pada sifat-sifat tidak baik seperti tamak, rakus dan malas
beramal (zakat, infak dan sadaqah). Sifat-sifat tidak baik ini juga mempunyai
imbas yang tidak baik terhadap kelangsungan perekonomian.
Uang Dalam Pandangan al-Ghazali & Ibnu Khaldun, Jauh sebelum Adam
Smith menulis buku “The Wealth of Nations” pada tahun 1766 di Eropa., Abu
Hamid al-Ghazali dalam kitabnya “Ihya Ulumuddin” telah membahas fungsi uang
dalam perekonomian. Beliau menjelaskan, uang berfungsi sebagai media
penukaran, namun uang tidak dibutuhkan untuk uang itu sendiri. Maksudnya,
adalah uang diciptakan untuk memperlancar pertukaran dan menetapkan nilai
yang wajar dari pertukaran tersebut, dan uang bukan merupakan sebuah komoditi.
Menurut al-Ghazali, uang diibaratkan cermin yang tidak mempunyai warna, tetapi
dapat merefleksikan semua warna.6 Maknanya adalah uang tidak mempunyai
harga, tetapi merefleksikan harga semua barang. Dalam istilah ekonomi klasik
disebutkan bahwa uang tidak memberikan kegunaan langsung (direct utility
function), yang artinya adalah jika uang digunakan untuk membeli barang, maka
barang itu yang akan memberikan kegunaan.
Pembahasan mengenai uang juga terdapat dalam kitab “Muqaddimah”
yang ditulis oleh Ibnu Khaldun. Beliau menjelaskan bahwa kekayaan suatu negara
tidak ditentukan oleh banyaknya uang di negara tersebut, tetapi ditentukan oleh
tingkat produksi negara tersebut dan neraca pembayaran yang positif. Apabila
suatu negara mencetak uang sebanyak-banyaknya, tetapi bukan merupakan
refleksi pesatnya pertumbuhan sektor produksi, maka uang yang melimpah
tersebut tidak ada nilainya. Sektor produksi merupakan motor penggerak
pembangunan suatu negara karena akan menyerap tenaga kerja, meningkatkan
6
Karim, Adiwarman. 2002. Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro. The
International Institute of Islamic Thought, Jakarta: Indonesia. pendapatan pekerja, dan menimbulkan permintaan (pasar) terhadap produksi
lainnya. Menurut Ibnu Khaldun, jika nilai uang tidak diubah melalui
kebijaksanaan pemerintah, maka kenaikan atau penurunan harga barang sematamata akan ditentukan oleh kekuatan penawaran (supply) dan permintaan
(demand), sehingga setiap barang akan memiliki harga keseimbangan. Misalnya,
jika di suatu kota makanan yang tersedia lebih banyak daripada kebutuhan, maka
harga makanan akan murah, demikian pula sebaliknya. Inflasi (kenaikan) harga
semua atau sebagian besar jenis barang tidak akan terjadi karena pasar akan
mencari harga keseimbangan setiap jenis barang. Apabila satu barang harganya
naik, namun karena tidak terjangkau oleh daya beli, maka harga akan turun
kembali.
Merujuk kepada al-Quran, al-Ghazali berpendapat bahwa orang yang
menimbun uang adalah seorang penjahat, karena menimbun uang berarti menarik
uang secara sementara dari peredaran. Dalam teori moneter modern, penimbunan
uang berarti memperlambat perputaran uang. Hal ini berarti memperkecil
terjadinya transaksi, sehingga perekonomian menjadi lesu. Selain itu, al-Ghazali
juga menyatakan bahwa mencetak atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya
daripada mencuri seribu dirham. Mencuri adalah suatu perbuatan dosa, sedangkan
mencetak dan mengedarkan uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali
uang palsu itu dipergunakan dan akan merugikan siapapun yang menerimanya
dalam jangka waktu yang lebih panjang.
Uang adalah standar ukuran harga yaitu sebagai media pengukur nilai
harga barang dan jasa. Uang juga dapat membandingkan harga diantara setiap
komoditas. Transaksi yang menggunakan barter sangat sulit untuk mengetahui
harga yang setara untuk setiap barang dan jasa. Maka uang diperlukan untuk
mengukur semua barang dan jasa. Uang dalam fungsinya sebagai standar ukuran
umum harga berlaku untuk ukuran nilai dan harga dalam ekonomi, seperti
berlakunya standar meter untuk ukuran jarak, atau amper untuk mengukur
tegangan listrik, atau kilogram sebagai standar timbangan atau kubik sebagai
ukuran volume. Demikianlah uang sebagai alat yang mesti diperlakukan untuk
setiap hitungan dalam ekonomi baik oleh produsen atau konsumen. Tanpa hal
tersebut, maka tidak mungkin baginya untuk melakukan perhitungan keuntungan
atau biaya-biaya7.
Ibnu Qoyyim mengatakan bahwa Dinar merupakan harga suatu komoditas,
dan harga merupakan ukuran standar yang dengannya bisa dikenal dengan ukuran
nilai harta. Harus bersifat spesifik dan akurat, tidak naik dan juga tidak turun
nilainya. Secara umum tidak ada perbedaan diantara ahli ekonomi tentang uang
yang harus bersifat tetap secara proporsional pada daya tukar sehingga bisa
berfungsi maksimal sebagai standar harga ekonomi.
Ketika uang beredar di masyarakat, maka para pemilik barang dan jasa
akan bersedia menukarkan komoditasnya dengan uang tersebut. Sehingga fungsi
uang dalam hal ini sebagai media pertukaran. Fungsi ini menjadi penting dalam
ekonomi, dimana pertukaran terjadi oleh banyak pihak. Seseorang tidak
memproduksi setiap apa yang dibutuhkan, tetapi terbatas pada barang tertentu atau
bagian dari barang untuk mendapatkan barang dan jasa apa yang ia butuhkan.
Dengan demikian masyarakat akan memproduksi dan menjual dengan bayaran
uang, selanjutnya dengan uang tersebut mereka gunakan untuk membayar
pembelian apa yang ia butuhkan.
Ahli ekonomi mengungkapkan uang sebagai media penyimpan nilai.
Pendapat ini menyatakan bahwa masyarakat yang memegang uang tidak akan
mengeluarkan seluruh uangnya dalam satu waktu, tetapi mereka sisihkan untuk
membeli barang dan jasa yang dibutuhkan pada waktu yang mereka inginkan atau
disimpan untuk hal-hal yang tidak terduga.
Menyimpan barang merupakan suatu tindakan yang sangat sulit,
dikarenakan terdapat barang yang jenisnya tidak bertahan lama serta ada barang
yang membutuhkan biaya tambahan dalam pemeliharaannya. Sedangkan uang
berfungsi untuk menyimpan daya tukar dengan mudah. Masyarakat perlu
menyimpan uang untuk menghadapi hal-hal yang mendesak. Oleh karena itu,
menyimpan uang sangat berbeda dengan menyimpan harta benda lainnya.
7
Imam Alfaruq. 2010. Analisa Penggunaan Dinar dan Dirham Sebagai Pengganti Uang
Kertas Untuk Alat Pembayaran Yang Sah Atas Kewajiban Zakat. Skripsi Program Studi Akuntansi
Syariah, STEI – SEBI.
Perlu kita bedakan antara menimbun uang dengan menyimpan uang.
Menimbun memiliki kecenderungan mencegah dalam melaksanakan kewajiban
Allah. Hal ini terdapat dalam firman Allah Q.S al-Taubah (9): 34 – 35:
ِ
ِ‫ﱠ‬
ِ
ٍ ‫ﻀﺔَ وَﻻ ﻳ ِﻨﻔ ُﻘﻮﻧـَﻬﺎ ِﰲ ﺳﺒِ ِﻴﻞ اﻟﻠﱠ ِﻪ ﻓَـﺒﺸﱢﺮُﻫﻢ ﺑِﻌ َﺬ‬
‫ﱠ‬
٣٤﴿ ‫اب أَﻟِﻴ ٍﻢ‬
َ ْ َ
َ ُ َ ‫ﺐ َواﻟْﻔ ﱠ‬
َ
َ ‫َواﻟﺬ‬
َ ‫ﻳﻦ ﻳَﻜْﻨ ُﺰو َن اﻟﺬ َﻫ‬
ِ ِ
ِ ِ
‫ﻮرُﻫ ْﻢ ۖ◌ َﻫـٰ َﺬا َﻣﺎ َﻛﻨَـْﺰُْﰎ ِﻷَﻧ ُﻔ ِﺴ ُﻜ ْﻢ‬
ُ َ‫ﱠﻢ ﻓَـﺘُﻜ َْﻮ ٰى َﺎ ﺟﺒ‬
ُ ‫ﺎﻫ ُﻬ ْﻢ َو ُﺟﻨُﻮﺑـُ ُﻬ ْﻢ َوﻇُ ُﻬ‬
َ ‫ﻳَـ ْﻮَم ُْﳛ َﻤ ٰﻰ َﻋﻠَْﻴـ َﻬﺎ ﰲ ﻧَﺎر َﺟ َﻬﻨ‬
﴾٣٥﴿ ‫ﻓَ ُﺬوﻗُﻮا َﻣﺎ ُﻛﻨﺘُ ْﻢ ﺗَﻜْﻨُِﺰو َن‬
“Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perang dan tidak menafkahkannya
pada jalan Allah, maka beritahukanlah pada mereka, (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih. Pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka
jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka
(lalu dikatakan) kepada mereka: inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk
dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan
itu.”
Sedangkan menyimpan uang merupakan anjuran. Setiap apa yang lebih
dari kebutuhan setelah memenuhi kewajiban kemudian disimpan oleh pemiliknya
adalah tabungan.
B. Sejarah Dinar dan Dirham
Sejarah telah membuktikan bahwa emas dan perak merupakan alat tukar
paling stabil yang pernah dikenal dunia. Peradaban Islam di era keemasan selama
berabad-abad menjelma menjadi salah satu kekuatan perekonomian dunia. Tak
heran, jika pada masa itu, kekhalifahan Islam sudah memiliki mata uang sendiri
bernama dirham (koin perak) dan dinar (koin emas). Dengan menggunakan kedua
mata uang itu, perekonomian di dunia Islam tumbuh dengan begitu pesat.
Sejarah penggunaan perak dan emas sebagai alat pertukaran, sejatinya
telah berkembang jauh sebelum Islam hadir. Para peneliti sejarah Dirham
menemukan fakta bahwa perak sebagai alat tukar sudah digunakan pada zaman
Nabi Yusuf AS. Hal itu diungkapkan dalam al-Qur’an, surat Yusuf ayat 20. Dalam
surat itu tercantum kata darahima ma’dudatin (beberapa keping perak).
”Dan mereka menjual Yusuf dengan harga yang murah yakni beberapa dirham
saja, dan mereka tidak tertarik hatinya kepada Yusuf,” (al-Quran, surat 12:20).
Tiga peneliti jejak dirham yakni MSM Syaifullah, Abdullah David, dan
Muhammad Ghoniem dalam tulisannya berjudul Dirham in the Time of Joseph?
menuturkan pada masa itu peradaban Mesir Kuno telah menggunakan perak
sebagai alat tukar.
Sejarah mencatat, masyarakat Muslim sendiri mengadopsi penggunaan
dirham dan dinar dari peradaban Persia yang saat itu dipimpin oleh Raja Sasan
bernama Yezdigird III. Bangsa Persia menyebut mata uang koin perak itu dengan
sebutan drachm. Umat Islam mulai memiliki dirham dan dinar sebagai alat
transaksi dimulai pada era kepemimpinan Khalifah Umar bin Khattab RA.
Meski begitu, Rasululah SAW sudah memprediksikan bahwa manusia
akan terlena dan tergila-gila dengan uang. Dalam salah satu hadits, Abu Bakar
ibnu Abi Maryam meriwayatkan bahwa beliau mendengar Rasulullah SAW
bersabda, ”Masanya akan tiba pada umat manusia, ketika tidak ada apapun yang
berguna selain dinar dan dirham.” (Musnad Imam Ahmad Ibn Hanbal).
Pertama kali umat Islam menggunakan dirham pada tahun 642 M atau satu
dasawarsa setelah Rasulullah SAW wafat. Khaifah Umar bin Khattab
memutuskan untuk menggantikan drachma dengan dirham. Sedangkan koin
dirham pertama kali dicetak umat Islam pada tahun 651M pada era kepemimpinan
Utsman bin Affan. Dirham pertama itu mencantumkan tulisan “Bismillah”.
Laiknya drachma, dirham berbentuk ceper serta tipis. Diameternya
mencapai 29 mm dan beratnya antara 2,9 – 3,0 gram. Dari sisi berat, dirham lebih
ringan dari drachm yang mencapai 4 gram. Sejak itulah, tulisan ‘Bismillah’
menjadi salah satu ciri khas koin yang dicetak oleh peradaban Islam.
Selain itu, koin dirham-dinar yang dicetak umat Islam pada masa
keemasan mencantumkan nama penguasa atau amir atau khalifah. Fakta sejarah
menunjukkan bahwa kebanyakan kepingan dirham dan dinar yang dicetak pada
masa Khulafa al-Rasyidin mencantumkan tahun Hijriyah sebagai penanda waktu
koin dirham atau dinar itu dicetak.
Pemerintahan Muslim di bawah kepemimpinan Khalifah Umar bin
Khattab pun telah menetapkan standar koin dirham dan dinar. Berdasarkan standar
yang telah ditetapkan, berat 7 dinar setara dengan 10 dirham. Khalifah Umar bin
Khattab pun telah menetapkan standar dinar emas yakni memakai emas dengan
kadar 22 karat dengan berat 4,25 gram. Sedangkan dirham perak haruslah
menggunakan perak murni dengan berat 3,0 gram. Keputusan itu telah menjadi
ijma ulama pada awal Islam dan pada masa para sahabat dan tabi’in. Sehingga
menurut syari’ah, 10 dirham setara dengan 7 dinar emas. Hasil ijma itu menjadi
pegangan, sehingga nilai perbandingan dinar dan dirham bisa tetap sesuai.
Namun, pada tahun 64 H/684 M, untuk pertama kalinya nilai dirham
berkurang. Hal itu terjadi akibat keputusan ‘Ubaidillah ibn Ziyad untuk
mencampurkan logam lain pada dirham. Sepuluh tahun kemudian, di era
kepemimpinan Khalifah Abdul Malik, mulai dicetak koin emas berbobot 4,4 gram
dengan mencantumkan tulisan ‘Dinar’. Tiga tahun kemudian, kekahlifahan Islam
di bawah kepemimpinan Abdul Malik kembali mencetak lagi dinar yang bobotnya
berubah menjadi 4,25 gram — mengikuti standar yang ditetapkan Khalifah ‘Umar
bin Khattab RA. Pada tahun 75 H/695 M, Khalifah Abdul Malik memerintahkan
Al-Hajjaj untuk mencetak dirham dan menggunakan standar yang ditetapkan di
era Umar bin Khattab.
Koin perak bertulisan ‘dirham’ itu berbobot 2.975 gram dan berdiameter
25 – 28 mm. Setiap koin yang dicetak pada saat itu bertuliskan kalimat tauhid
yakni: ”Allahu Ahad, Allahu Shamad”. Sejak saat itu, dilakukan penghentian
penggunaan gambar wujud manusia dan binatang dari mata uang peradaban Islam
itu. Sebagai gantinya digunakan huruf-huruf. Dinar dan dirham lazimnya
berbentuk bundar. Selain itu, tulisan yang tercetak pada dua sisi koin emas dan
perak itu memiliki tata letak yang melingkar. Pada satu sisi mata koin tercantum
kalimat ‘tahlil’ dan ‘tahmid’, yaitu:”La ilaha illa Allah’ dan ‘Alhamdulillah’.
Sedangkan di sisi mata koin sebelahnya tertera nama penguasa (amir) dan tanggal
pencetakan. Selain itu, terdapat suatu kelaziman untuk menuliskan shalawat
kepada Rasulullah SAW dan ayat-ayat al-Qur’an dalam koin dirham dan dinar itu.
Mata uang dinar dan dirham pun menjadi mata uang resmi dinasti maupun
kerajaan Islam yang tersebar di berbagai penjuru. Penggunaan dinar dan dirham
perlahan mulai menghilang setelah jatuhnya masa kejayaan kekhalifahan Islam.
Ketika dunia dilanda era kolonialisme Barat, mulailah diterapkan penggunaan
uang kertas.
Sejarah telah membuktikan bahwa emas dan perak merupakan alat tukar
paling stabil yang pernah dikenal dunia. Sejak awal sejarah Islam sampai saat ini,
nilai dari mata uang Islam yang didasari oleh mata uang bimetal ini secara
mengejutkan sangat stabil jika dihubungkan dengan bahan makanan pokok. Nilai
inflasi mata uang ini selama 14 abad lamanya adalah nol.
1. Uang Koin di Era Kekhalifahan
Koin
Kekhalifahan
Umayyah
(661M
-
750M).
Di awal kekuasaannya, Dinasti Umayyah menggunakan koin perak Sassanid di
wilayah Irak dan Iran. Sedangkan, di Suriah dan Mesir kehalifahan Umayyah
menggunakan koin emas dan tembaga. Sebagai bagian dari upaya untuk
menyatukan wilayah-wilayah yang dikuasainya, Khalifah Abdul Malik bin
Marwan (685 M – 705 M) mulai mencetak koin emas pada tahun 961 M.
Di pinggiran koin emas itu tertulis kalimat bismilah dan syahadat. Dua tahun
berikutnya, Dinasti Umayyah mencetak koin perak atau dinar. Dalam koin itu
tercantum kalimat bismilah. Koin emas pada zaman itu dicetak secara khusus di
Damaskus – ibu kota Dinasti Umayyah. Sedangkan, koin perak dan tembaga
dicetak di kota-kota yang dikuasai Umayyah. Pada era khalifah selanjutnya,
Dinasti Umayyah mencetak dinar yang bernilai setengah dan sepertiga dinar.
Ukuran dan beratnya jauh lebih kecil dan ringan dengan uag koin bernilai satu
dinar. Setelah menguasai Afrika Utara dan Spanyol – penguasa Umayyah mulai
membangun percetakan uang koin di provinsi itu. Khalifah pun bertanggung
jawab untuk memastikan kemurnian dan berat koin yang dicetak.
Koin
Kekhalifahan
Abbasiyah
(750M
-
1258M).
Ketika kekuasaan kekhalifahan Umayyah jatuh, percetakan koin di Damaskus pun
ditutup. Di era awal kekuasaannya, Dinasti Abbasiyah mulai mencetak koin di
Kufah, ibu kota pertama Abbasiyah. Khalifah Al-Mansur pun mulai membangun
Baghdad dan mendirikan percetakan dirham di kota itu. Koin emas mulai dicetak
pada era kekuasaan Khalifah Harun Ar-Rasyid yag naik tahta pada tahun 786 M.
Harun mencetak koin emas atas nama gubernur Mesir. Pada masa itu, Abbasiyah
memiliki dua tempat percetakan uang, yakni di Baghdad serta di Fustat, Kairo
Tua. Percetakan koin di Mesir terbilang produktif. Setiap cetakan koin dari
provinsi itu selalu mengatasnamakan gubernur yang didedikasikan bagi khalifah.
Khalifah Al-Ma’mun (813 M) yang menggantikan Harun Ar-Rasyid mulai
mencetak beragam jenis koin. Dengan cita rasa artistik yang tinggi, Al-Ma’mun
memperbaiki tampilan koin. Sehingga koin yang dicetak tampak lebih indah.
Apalagi, tulisan yang tertera pada koin menggunakan tulisan indah khas Kufah
atau Kufi.
Koin
Andalusia
(711M
-
1494M).
Berbeda dengan wilayah Arab lainnya yang ditaklukkan Islam yang menggunakan
koin penguasa sebelumnya, penguasa Islam mencetak khusus koin emas yang
baru ketika menguasai Spanyol pada 711 M. Tulisan yang tercantum dalam koin
itu adalah huruf latin. Dinar khas Andalusia itu dicetak secara langsung di kota
itu. Pada tahun 720 M, koin Arab asli pertama kali masuk ke wilayah itu. Gaya
dan tulisan yang tercantum dalam koin itu menandakan bahwa dinar itu berasal
dari
Arab
Afrika
Utara
yang
dicetak
setahun
sebelumnya.
Muslim di Andalusia juga mulai memakai koin yang bernilai setengah dinar yang
dicetak di damaskus pada 719 M. Koin emas terakhir yang dicetak di Andalusia
dicetak pada era Nasrid Granada (1238 M – 1492 M).
Koin
Kekhalifahan
Fatimiah
(909M
-
1171M).
Tiga khalifah pertama dari Kekhalifahan Fatimiyah yang berkuasa dari tiga ibu
kota berbeda yakni, Qoyrawan, Al-Mahdiya, dan Sabra-Mansuriyah mencetak
koin emas dan perak sesuai dengan kebiasaan ortodok Sunni. Pada tahap awal,
dinar yang dicetak Al-Mahdi mengikuti model dan ukuran serta desain yang
digunakan Dinasti Aghlabid. Pada tahun 912 M, dinasti itu mulai mencetak dinar
yang ringan dan berukuran lebih besar dengan menggunakan tulisan indah Kufi.
Pada tahun 922 M, percetakan uang dipindahkan ke Al-Mahdiyah lalu ke
Al-Mansuriyah. Khalifah Al-Qa’im pada tahun 934 M mulai mengganti desain
dan mulai mengadopsi tulisan indah Kufi. Koin yang bernilai seperempat dinar
juga dicetak dinasti itu dari wilayah kekuasaannya di Sicilia. Ciri khas koin
Fatimiyah yang beraliran Syiah adalah pernyataan yang mengungkapkan
pertaliannya dengan Ali bin Abi Thalib.8
C. Inflasi dan Fitrahnya Fluktuasi Harga
Mata uang kertas (fiat money) adalah mata uang yang digunakan sebagai
alat pembayaran yang sah (legal tender). Masyarakat menerima mata uang kertas
untuk ditukar dengan barang dan jasa, sebab mata uang ini dijamin oleh
pemerintah sebagai alat pembayaran yang sah. Namun mata uang ini sangat
berbeda dengan mata uang riil, sebab nilai dari mata uang ini tidak ditentukan
oleh apa-apa yang terkandung dalam mata uang itu sendiri (nilai intrinsik), akan
tetapi ditentukan oleh kekuatan luar dari mata uang tersebut. Kekuatan luar itu
ialah kekuatan ekonomi dan kepemilikan kapital yang mendukungnya. Oleh
karena itu, stabilitas dari nilai mata uang tersebut sangat bergatung kepada
kekuatan ekonomi, kebijakan moneter dan fiskal dari pemerintah yang
mendukungnya9.
Masalah yang senantiasa ditimbulkan uang kertas adalah inflasi. Makna
umum dari inflasi ialah kenaikan harga barang dan jasa secara umum dalam
periode waktu tertentu. Inflasi merupakan fenomena moneter, karena telah terjadi
penurunan unit perhitungan moneter dalam suatu komoditas. Dengan kata lain,
dalam inflasi jumlah uang yang harus dibayarkan sebagai nilai dari unit
perhitungan moneter terhadap barang dan jasa mengalami kenaikan. Terjadinya
inflasi tersebut senantiasa dikaitkan dengan terdapatnya jumlah mata uang yang
berlebih-lebihan di dalam peredarannya. Milton Friedman, ketika memberi
8
http://dinarway, com/? Page_id=2986. Hizbur-Rab. 2002. Problems Created by the Fiat Money, Islamic Dinar and Other
Available Alternatives. Dalam: Proceedings 2002 International Conference on Stable and Just
Global Monetary Sistem – Viability of The Islamic Dinar. International Islamic University
Malaysia. Kuala Lumpur. Malaysia.
9
komentar terhadap keberadaan mata uang kertas mengatakan: “inflation is always
and everywhere a monetary phenomenon”10.
Untuk mengetahui gambaran sejarah tingkat inflasi dunia yang pernah
terjadi selama 115 tahun, dimulai tahun 1880 sampai dengan tahun 1995 dapat
dilihat pada Gambar 1. Dapat dilihat bahwa antara tahun 1950-1970 ketika
diberlakukan sistem Bretton Woods tingkat inflasinya cenderung rendah.
Akhirnya, gejolak inflasi yang tinggi muncul kembali ketika rejim Bretton Wood
dihapuskan mulai tahun 1971.
Masalah
berikutnya
adalah
keberadaan
Seigniorage.
Mankiew11
mendefinisikan bahwa hal ini merupakan penerimaan yang ditingkatkan dalam
pencetakan uang. Ketika suatu bank sentral mencetak uang untuk mendanai
pengeluaran, pemerintah meningkatkan jumlah uang beredar. Kenaikan jumlah
uang beredar ini akan menyebabkan terjadinya inflasi. Proses pencetakan uang
untuk meningkatkan penerimaan adalah seperti menetapkan pajak inflasi.
Keadaan ini sangat memperburuk perekonomian. Keuntungan yang mudah
didapat dari pencetakan mata uang inilah yang akan mendorong bagi pemerintah
untuk mencetak mata uang tanpa kendali, sehingga bisa melampaui penerimaan
anggaran pendapatan pemerintah. Kebijakan ini biasa dikenal dengan istilah
anggaran defisit. Kebijakan anggaran defisit dari pemerintah biasanya akan
ditutup dengan hutang atau dengan mencetak uang baru12.
10
Adiwarman Karim. 2002. Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro. The
International Institute of Islamic Thought, Jakarta: Indonesia. 11
Mankiew, N, Geregory. 2006. Teori Makro Ekonomi
12
Tambunan, Tulus T. H. (1996). Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia. Jakarta. Gambar 1. World Inflation 1880 – 1995 (Source: Bordo & Jonung, 2001)
The history of money in Islam started with the use of the Roman Byzantine
gold coins, i.e. denarius or known as the dinar among the Arabs and the Persian
silver coins, i.e drachma or known as the dirham. The Arabs did not mint their
own coin during the times the Holy Prophet Muhammad (peace be upon him)
preached the message of Islam. The Prophet (peace be upon him) brought about
sweeping social transformations and changes that included business matters, but
nonetheless, the Prophet (peace be upon him) accepted the Roman denarius and
the Persian drachma as the monetary units for Muslims, i.e. as the Shari’ah
money. Prominent Muslim scholars of the past, like al- Ghazzali, Ibn Taymiyyah,
Qudama Ibn Jaafar, Ibn Khaldūn and al-Maqrīzī have asserted that Allah SWT
had created the two metals, gold and silver, as a medium of exchange and a
measure for all things. Gold played the role of money throughout the Muslim
history albeit some ‘hiccups’ with the copper fulus and with fiat money towards
the end era of the Ottoman caliphate. Nonetheless, gold continued to be part of
the international monetary sistem in one way or another until the breakdown of
Bretton Woods in 1971. Today all national currencies are fiat, whereby it is
neither backed by nor redeemable for gold, i.e. without any intrinsic value13.
13
Ahamed Kameel Mydin Meera & Moussa Larbani. 2004. Seignorage of Fiat Money and
the Maqasid Shariah: The Unattainableness of The Maqasid.
(Sejarah uang dalam Islam dimulai dengan penggunaan koin emas
Romawi Byzantium, yaitu dinar atau yang dikenal dengan Dinar Arab dan koin
perak Persia, yaitu drachma atau dikenal dengan dirham tersebut. Orang-orang
Arab tidak mempunyai koin mereka sendiri pada masa Nabi Muhammad SAW
mewartakan pesan Islam. Nabi SAW membawa transformasi sosial dan
perubahan yang mencakup masalah bisnis, tapi tetap saja, Nabi SAW menerima
dinar Romawi dan Persia drachma sebagai unit moneter bagi umat Islam, yaitu
sebagai alat pembayaran Shari 'ah. Tokoh ulama dari masa lalu, seperti alGhazali, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qudamah Jaafar, Ibnu Khaldun dan al-Maqrizi
telah menegaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan dua logam, emas dan
perak, sebagai alat tukar dan ukuran untuk semua hal. Emas memainkan peran
uang sepanjang sejarah Islam dan juga alat lain yaitu dengan mata uang
tembaga dan dengan uang fiat menuju era akhir kekhalifahan Ottoman. Meskipun
demikian, emas terus menjadi bagian dari sistem moneter internasional dalam
satu atau lain cara sampai pemecahan Bretton Woods pada tahun 1971. Hari ini
semua mata uang nasional fiat, di mana hal ini tidak didukung oleh atau
ditukarkan dengan emas, yaitu tanpa nilai intrinsik).
Sebenarnya ayat Al Qur’an dan Hadits di atas sudah sangat jelas dan
terang, bahwa daya beli Dinar-Dirham tidak pernah mengalami perubahan baik
kekuatan maupun kelemahannya terhadap suatu barang. Ini dikarenakan nilai
instrinsiknya benar-benar penuh (100%).
Hal ini berdasarkan Hadits Rasulullah; Diriwayatkan oleh ‘Urwah:
“Rasulullah SAW memberi ‘Urwah 1 Dinar agar dibelikan domba untuk beliau.
‘Urwah membeli dua ekor domba untuk beliau dengan uang tersebut. Kemudian
dia menjual satu ekor domba seharga satu Dinar, dan membawa satu Dinar
tersebut bersama satu ekor dombanya kepada Nabi. Atas dasar ini Nabi berdoa
kepada Allah untuk memberkahi transaksi ‘Urwah. Sehingga ‘Urwah selalu
memperoleh keuntungan (dari setiap perdagangannya) – bahkan seandainya dia
membeli debu”.
Berbicara mengenai inflasi, perlu penyamaan persepsi mengenai
definisinya. Inflasi secara umum mempunyai pengetian bahwa terjadinya
kenaikan harga secara umum dan terus menerus yang disebabkan oleh
menurunnya atau melemahnya daya beli uang. Kalau persepsi mengenai inflasi
adalah yang dimaksud, maka kedua dalil diatas sudah sangat jelas dan terang
untuk menjawabnya. Bahwa daya beli dinar-dirham tidak pernah mengalami
kenaikan maupun penurunan, selalu stabil dan menuju keseimbangan. Hal ini
yang menyebabkan bahwa satu dinar setara dengan satu kambing dan nilai dirham
setara dengan makanan untuk beberapa orang14.
Lebih jelasnya bisa dilihat nilai Dinar pada saat tulisan ini dibuat
(17/10/2012) adalah sebesar Rp. 2.308.586,-. Jika dilihat dari besaran nilai
tersebut, maka sudah sangat terbukti dengan uang yang kita miliki sebesar itu
dapat membeli satu ekor kambing. Yang menjadi pertanyaan, apakah dalam
sepuluh atau duapuluh tahun kedepan dengan nilai uang rupiah tersebut mampu
juga membeli satu ekor kambing? Yang sudah PASTI ketika ayat dan hadits
tersebut muncul kurang lebih 1400 tahun yang lalu, daya beli Dinar-Dirham tetap
sama sampai saat ini, dan akan sama sampai hari akhir. Hal ini yang menjadikan
kedua logam mulia tersebut sangat anti inflasi.
Terdapat pandangan yang menyatakan bahwa penurunan harga emas
beberapa bulan yang lalu juga merupakan inflasi. Pandangan ini bisa menjadi
keliru, karena dalam ilmu ekonomi sendiri kita mengenal adanya mekanisme
permintaan dan penawaran. Mekanisme ini akan selalu mencapai titik
keseimbangan. Kondisi seperti ini juga pernah terjadi di zaman Rasulullah bahwa
ketika Dinar-Dirham digunakan, pernah terjadi kenaikan harga barang-barang.
Kenaikan ini tidak disebut inflasi karena harga yang terbentuk di pasar terjadi
secara fitrah dan tidak ada campur tangan dari Rasulullah sendiri15. Diriwayatkan
oleh Anas RA: “Orang-orang berkata kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
Wasallam, ‘Wahai Rasulullah, harga-harga barang naik (mahal), tetapkanlah
14
Zuhairan Yunmi Yunan. 2012. Purchasing Power of Gold Dinar (Review on Islamic
Monetary Sistem). International Proceeding: International Conference on Islamic Economics and
Business (ICIEB 2012) A’ Famosa Resort Hotel, Melaka, Malaysia.
15
Zuhairan Yunmi Yunan. 2012. Strategi Peningkatan Daya Saing BMT Dalam
Menggerakkan Sektor Riil Melalui Pembiayaan Modal Kerja Berbasis Dinar Emas. National
Proceeding: Seminar Nasional Competitive Advantege II Universitas Pesantren Darul Ulum
(UNIPDU), Jombang, Jawa Timur.
harga untuk kami. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam lalu menjawab,
‘Allah-lah Penentu harga, Penahan, Pembentang, dan Pemberi rizki. Aku
berharap tatkala bertemu Allah, tidak ada seorang-pun yang meminta padaku
tentang adanya kedzaliman dalam urusan darah dan harta’”.
Hadits di atas juga sudah sangat jelas dan terang, bahwa yang menjadi
penentu harga adalah Allah SWT. Harga-harga yang terjadi secara fitrah di pasar
akan selalu mencapai keseimbangannya sendiri, dan ini bukan merupakan inflasi.
Uraian diatas menunjukkan bahwa pertukaran yang terjadi sangat alamiah.
Kalaupun ada fluktuasi harga, itu disebabkan oleh mekanisme permintaan dan
penawaran. Mekanisme ini sebenarnya akan selalu menuju ketitikseimbangannya
(equilibrium). Tidak terjadi penurunan maupun kenaikan nilai uang, karena titik
keseimbangan selalu dipenuhi. Imam Al-Ghazali mengatakan bahwa Allah telah
menciptakan emas dan perak sebagai hakim yang adil. Ibnu Khaldun dalam
Muqaddimah menulis bahwa Allah menciptakan dua logam mulia itu untuk
menjadi alat pengukur harga atau nilai bagi segala sesuatu. Al Maqrizi dalam
Ighatsah menambahkan bahwa Allah menciptakan dua logam mulia itu bukan
sekedar alat pengukur nilai dan penyimpan kekayaan, melainkan juga sebagai alat
tukar.
D. Sistem Moneter
Berbicara tentang sistem moneter maka tidak akan pernah terlepas dari
masalah uang. Sebelum kita kaji sistem moneter islam, penulis akan sedikit
flashback pada definisi moneter. Moneter merupakan upaya pemerintah dalam
mengatur jumlah uang dalam suatu Negara, dengan harapan dapat tercapai
kestabilan ekonomi. Ada 4 komponen sistem moneter yang sangat familiar,
diantaranya adalah open market operation, suku bunga, fractional reserve
banking, dan pertaturan pemerintah. Dengan keempat komponen itulah
pemerintah dapat mengatur jumlah uang yang beredar di masyarakat. Uang yang
bertambah tanpa ditopang dengan bertambahnya jumlah barang dan jasa maka
tentu saja akan menyebabkan inflasi. Tentu saja implikasi inflasi sangat dahsyat,
bila kita maknai saja bahwa inflasi itu adalah kenaikan harga secara umum dan
terus menerus. Bagaimana tidak, antara permintaan dan penawaran tidak
sebanding. Menyebarnya uang yang berlebih dan dipegang oleh masyarakat itu
kita ibaratkan sebagai permintaan sedangkan jumlah barang yang diproduksi oleh
perusahaan merupakan penawaran, sesuai dengan hukum permintaan bahwa harga
akan naik jika permintaan lebih banyak dibanding dengan penawaran. Nilai uang
yang sangat rendah itulah yang menjadikan pemerintah harus bertindak dengan
segera untuk mengatur dan mengelola penyebaran uang.
Sistem moneter konvensional berbeda dengan Islam. Perbedaannya
terletak pada masalah uang, bunga dan fractional reserve banking. Uang dalam
islam hanyalah merupakan sarana penyiman nilai (store of value). Berbeda dengan
konvensional, uang menjadi sebuah komoditas yang dapat diperdagangkan,
buktinya sekarang muncul pasar derivative di pasar bursa saham. Uang yang
sekarang kita pergunakan pada umunya menggunakan uang kertas, atau fiat
money. Sejatinya uang memiliki dua nilai yang sangat penting, intrinsik dan
ekstrinsik. Nilai instrinsik pada uang merupakan nilai yang terkandung dalam
uang atau secara bahasa kita sebut nilai yang diperlukan untuk membuat uang
kertas itu sendiri. Sedangkan nilai ekstrinsik merupakan nilai yang tertera dalam
uang tersebut. Kita bandingkan apakah dalam uang kertas, antara instrinsik dan
ekstrinsiknya seimbang. Tentu saja tidak, nilai ekstrinsiknya lebih besar daripada
instrinsiknya. Sekali lagi, fiat money telah gagal melaksanakan fungsinya sebagai
sarana penyimpan nilai (store of value).
Bunga menjadi salah satu ciri daripada sistem moneter konvensional.
Pemerintah dapat mengatur jumlah uang yang beredar dengan mengatur suku
bunga perbankan. Suku bunga perbankan yang tinggi akan menghambat laju
aliran uang ke masyarkat, dan sebaliknya. Namun, sebenarnya suku bunga tidak
pernah menyelesaikan masalah, namun akan terus menambah masalah. Bunga itu
bermekaran dan terus tumbuh. Anda sebagai seorang debitur akan dibebankan 2
hal saat melakukan peminjaman, yang pertama harus membayar pokok dan yang
kedua membayar bunga. Keduanya sama sama membebani.
Yang ketiga adalah fractional reserve banking. Para akademisi Indonesia
sering menyebutnya dengan giro wajib minimum. Cadangan wajib yang
disetorkan sebuah Bank kepada Bank sentral biasanya berada pada kisaran 10%
dari jumlah uang yang disetorkan. Kemudian sisanya di-lending-kan kepada
masyarakat. Lending yang dialirkan kepada masyarakat itulah yang telah
menyebabkan semaraknya uang di masyarakat. Islam menghendaki adanya full
reserve banking, atau cadangan 100%.
E. Persamaan Kuantitas Uang Dengan Dinar Emas
Dalam persamaan kuantitas uang (MV = PQ) akan diperoleh sesuatu yang
ideal. Di mana misalnya suatu negara mencetak uang, maka jumlah uang beredar
akan naik. Hal ini akan digunakan untuk membiayai sektor riil yang akan
menyebabkan output meningkat. Kenaikan output tersebut membuat harga relatif
tetap. Dengan begitu, masyarakat mampu membeli kebutuhan hidupnya. Pada
kenyataannya, kondisi yang ada tidak seperti itu. Dikarenakan uang mudah
diciptakan tanpa ada back-up apapun dan tanpa batasan disertai sistem bunga,
yang terjadi adalah uang tersebut hanya berputar pada sektor finansial seperti
tabungan, pinjaman antar lembaga keuangan, sertifikat bank sentral. Uang yang
ada tidak digunakan untuk membiayai sektor riil. Kondisi tersebut mengakibatkan
output tetap, tidak ada perubahan kuantitas output. Dengan banyaknya jumlah
uang beredar, harga menjadi naik. Kenaikan harga tersebut tidak diimbangi
dengan kenaikan pendapatan. Hal ini terjadi sangat wajar, karena sektor riil tidak
bergerak yang berarti tidak ada tambahan kegiatan ekonomi yang menciptakan
lapangan pekerjaan.
Dalam ekonomi yang bersifat ribawi dengan sistem bunga, maka ada
kecenderungan masyarakat atau lembaga yang memegang uang untuk menyimpan
uangnya dalam bentuk tabungan, deposito, saham, dan lain sebagainya. Setiap kali
akan
menggunakan
uanganya
untuk
menggerakkan
sektor
riil,
selalu
membandingkan dengan bunga yang diperoleh apabila uangnya disimpan di bank.
Dengan sendirinya bank akan terdorong untuk menambah jumlah uang beredar
dengan pinjaman, tetapi uang ini kembali lagi ke bank karena tertarik oleh bunga,
artinya pinjaman tersebut tidak menggerakkan sektor produksi.
Selama dalam sistem ekonomi dimungkinkan uang dapat menghasilkan
uang, maka akan ada saja dari pelaku ekonomi akan menghindar untuk
berproduksi dan memilih bermain di pasar uang dan investasi pada sektor
keuangan. Jika ini dilakukan oleh banyak pelaku, dan memang faktanya demikian,
maka pada kurun waktu tertentu akan terjadi proses penghancuran ekonomi dari
dalam seperti pada gambar berikut ini:
Gambar 2: Self Destructing Economics from Riba Systems
(Source: Iqbal, 2007)
Dalam sistem moneter Islam yang berbasis pada dinar emas, persamaan
kuantitas uang diatas juga dapat digunakan. Hasil yang diperoleh tentunya akan
berbeda, dikarenakan karakteristik dinar emas sangat jauh berbeda dengan uang
fiat seperti yang dijabarkan sebelumnya.
Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa negara atau otoritas moneter
tidak mudah untuk mencetak dinar emas (uang). Tidak seperti uang kertas yang
bisa dicetak kapan saja jika diperlukan. Jika dinar emas digunakan, maka jumlah
uang beredar relatif tetap. Seperti yang telah diuraikan diatas, untuk meningkatkan
perekonomian masyarakat, maka sektor riil (produksi) harus bergerak sejalan
dengan pertambahan penduduk manusia, sehingga harga juga akan relatif tetap.
Untuk dapat menjadikan kondisi seperti itu, sebenarnya Allah sudah memberitahu
kita dalam Al Qur’an Surat (59) ayat 7:
‫ﲔ ْاﻷَ ْﻏﻨِﻴَﺎء ِﻣﻨ ُﻜ ْﻢ‬
َ ْ ‫َﻛ ْﻲ َﻻ ﻳَ ُﻜﻮ َن ُدوﻟَﺔً ﺑَـ‬
“….. agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya diantara
kamu…..”.
Surat al-Dzariyat (51) ayat 19:
‫َوِﰱ أ َْﻣ َﻮاﳍِِ ْﻢ َﺣ ﱞﻖ ﻟﱢﻠ ﱠﺴﺎﺋِ ِﻞ َواﻟْ َﻤ ْﺤ ُﺮ ِوم‬
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan
orang miskin yang tidak mendapat bahagian”.
Firman Allah tersebut menandakan bahwa perlu adanya perputaran uang yang
cepat dari satu tangan ke tangan lainnya. Percepatan perputaran uang ini bahkan
dicontohkan juga oleh Rasulullah dalam Hadits, dari Abu Hurairah: Rasulullah
SAW bersabda, “Jika saya memiliki emas sebesar gunung Uhud, saya tidak akan
suka kecuali setelah tiga hari tidak tersisa satu Dinarpun yang ada padaku
apabila ada orang lain yang berhak menerimanya dariku, kecuali sejumlah yang
akan aku pakai untuk membayar hutangku” (HR. Bukhari).
Menyimpan uang tidak termasuk yang dianjurkan. Dikarenakan uang yang
digunakan adalah dinar emas, jika sampai nisabnya apabila disimpan dalam waktu
satu tahun, maka akan terkena zakat. Ilustrasi persamaan kuantitas uang dengan
mengunakan dinar emas dapat dilihat pada gambar berikut ini:
Gambar 3: Self Balancing Economics on Islamic Monetary Systems
(Source: Iqbal, 2007)
Penutup
Kurang lebih selama 14 abad, daya beli Dinar Emas selalu menunjukkan
kestabilan dan menuju kepada keseimbangan. Ilustrasi dengan menggunakan
seekor kambing menggambarkan bahwa kekuatan daya beli dinar sampai saat ini
tetap stabil masih dapat diterima. Inflasi atau menurunnya daya beli uang tidak
pernah terjadi pada Dinar Emas. Penggunaan Dinar Emas juga mampu
meminimalisir “riba”, hal ini dikarenakan ketersediaan dari jumlah emas yang ada
di dunia adalah cukup atau dengan kata lain tidak dapat diduplikasi atau dicetak
berulang-ulang. Persamaan kuantitas uang (MV = PQ) akan diperoleh sesuatu yang
ideal. Dimana suatu negara mencetak uang, maka jumlah uang beredar akan naik. Hal ini
akan digunakan untuk membiayai sektor riil yang akan menyebabkan output meningkat.
Dengan penggunaan Dinar Emas sebagai mata uang akan menjadikan perekonomian
relatif lebih stabil. Perlu pertimbangan kembali mengenai penggunaan Dinar Emas
sebagai mata uang, wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Alfaruq, Imam. (2010). Analisa Penggunaan Dinar dan Dirham Sebagai
Pengganti Uang Kertas Untuk Alat Pembayaran Yang Sah Atas Kewajiban
Zakat. Skripsi Program Studi Akuntansi Syariah, STEI – SEBI.
Agustianto,
“Telaah
Terhadap
Akar
Krisis
Keuangan
Global”,
http://www.scribd.com/doc/19094216/Telaah-Terhadap-Akar-KrisisKeuangan-Global-New
Bordo, Michael D. & Lars Jonung. (2001). A Return to The Convertibility
Principle? Monetary and Fiscal Regimes in Historical Perspective -The
International Evidence. Rutgers University, NBER US & Stockholm
Economic school, Swedia. No. 159. September.
Chapra, M. Umer. (2000). Why has Islam Prohibited Interest?, Review of Islamic
Economics
Dornbusch, Rudiger dan Fischer Stanley. (2002). Makroekonomi. Terjemahan
Sitompul, Erlangga. Edisi ketiga. Jakarta. Indonesia.
Hamidi, Luthfi. (2007). Gold Dinar – Sistem Moneter Global yang Stabil dan
Berkeadilan. Senayan Abadi Publishing. Jakarta. Indonesia.
Hizbur-Rab. (2002). Problems Created by the Fiat Money, Islamic Dinar and
Other Available Alternatives. Dalam: Proceedings 2002 International
Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem – Viability of The
Islamic Dinar. International Islamic University Malaysia. Kuala Lumpur.
Malaysia
Iqbal, Muhaimin. (2007). Mengembalikan Kemakmuran Islam dengan Dinar dan
Dirham. Spiritual Learning Center dan Dinar Club. Depok. Indonesia.
Karim, Adiwarman. (2002). Ekonomi Islam – Suatu Kajian Ekonomi Makro. The
International Institute of Islamic Thought, Jakarta, Indonesia.
Mankiew, N, Geregory. (2006). Teori Makro Ekonomi
Mishkin, S. Frederich, (2001). The Economics of Money Banking and Financial
Markets. Addison Wesley.
Nafik, Muhammad, “Bursa Efek dan Investasi Syariah”, Cetakan Pertama, PT.
Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2009.
Rothbard, Murray N. 2007. Apa yang Dilakukan Pemerintah Terhadap Uang
Kita? Terj. Sukasah Syahdan. Granit. Jakarta.
Sanusi, Mahmood M. (2002). “Gold Dinar, Paper Currency and Monetary
Stability: An Islamic View”, in the Proceeding of the 2002 International
Conference on Stable and Just Global Monetary Sistem, Kuala Lumpur,
August 19 & 20, 2002. pg. 73-89.
Siregar, Mulya. (2001). Alternative Monetary Management in: Gold Dinar –
Monetary Crisis Solution. Ed: Ismail Yusanto dkk. Pirac, SEM Institute,
Infid. Jakarta. Indonesia.
Tambunan, Tulus T. H. (1996). Perekonomian Indonesia. Ghalia Indonesia.
Jakarta.
Yunan, Zuhairan Yunmi. (2012). Purchasing Power of Gold Dinar (Review on
Islamic Monetary Sistem). International Proceeding: International
Conference on Islamic Economics and Business (ICIEB 2012) A’
Famosa Resort Hotel, Melaka, Malaysia.
-----. (2012). Strategi Peningkatan Daya Saing BMT Dalam Menggerakkan Sektor
Riil Melalui Pembiayaan Modal Kerja Berbasis Dinar Emas. National
Proceeding: Seminar Nasional Competitive Advantege II Universitas
Pesantren Darul Ulum (UNIPDU), Jombang, Jawa Timur.
Download