PLATFORM INSTRUMENT MONETER ISLAM Oleh: Anton Hindardjo Irwan Maulana Abstraksi: Mempelajari ekonomi moneter dalam perspektif Islam sebenarnya tidak jauh berbeda dengan yang dipelajari dalam ekonomi konvensional. Secara mendasar perbedaannya hanya terkait dengan nilai dan norma yang mengatur perilaku ekonomi itu sendiri. Mata uang dalam Islam lebih sebagai alat tukar dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, Oleh karena itu, menimbun uang tidak dibolehkan dalam Islam. Karenanya, keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan setiap barang yang mempunyai harga keseimbangannya. Sedangkan, perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang karenanya harus berhati-hati terhadap riba dalam pelaksanaannya. Key Word: Ekonomi Moneter, Mata Uang, Inflasi dan Bank A. PENDAHULUAN Dalam Sistem Ekonomi Konvensional (SEK), salah satu bidang yang dipelajari adalah ekonomi moneter, yang lebih identik dengan ilmu ekonomi uang dan bank. Hal ini dikarenakan uang dan bank merupakan variabel pokok yang harus dipelajari, sedangkan variabel yang lainnya hanya merupakan variable turunan dan alat kebijakan ekonomi moneter itu sendiri. Misalnya, inflasi, jumlah uang beredar, likuiditas perekonomian, kecepatan peredaran uang, pemberian kredit dan sumber dana perbankan, suku bunga, dan sebagainya. Sedangkan ekonomi moneter dalam Sistem Ekonomi Islam (SEI) tidak jauh berbeda masalah yang menjadi kajiannya. Namun ada hal mendasar yang tidak ada dalam ekonomi konvensional, terutama yang berhubungan dengan variabel ”nilai dan norma” yang berhubungan dengan prilaku ekonomi. Tulisan berikut ini, diprioritaskan pada hal-hal pokok dengan hanya membahas tiga (3) komponen yang sangat berpengaruh terhadap konsep ekonomi moneter dan ekonomi pada umumnya, yaitu mata uang, inflasi dan bank. B. MATA UANG Sebelum Islam hadir sebagai sebuah kekuatan politik, kondisi geografis daerah Hijaz sangat strategis dan menguntungkan karena menjadi rute perdagangan antara Persia dan Roma serta daerah-daerah jajahan keduanya, seperi Syam (Syria), Ethiopia, dan Yaman. Disamping itu, 1 selama berabad-abad wilayah selatan dan timur jazirah Arab juga menjadi rute perdagangan antara Roma dan India yang terkenal sebagai Rute perdagangan selatan. Demikian pula halnya dengan rute perdagangan lain yang melewati wilayah utara jazirah Arab. Hal tersebut menjadi bukti bahwa perdagangan merupakan dasar perekonomian di jazirah Arabia sebelum Islam datang. Prasyarat untuk melakukan transaksi adalah adanya alat pembayaran yang dapat dipercaya. Seperti yang telah disebutkan diatas, jazirah Arabia dan wilayah-wilayah tetangganya berada langsung dibawah kekuasaan Persia dan Roma atau minimal berada dalam pengaruh keduanya. Mata uang yag dipergunakan Negara-negara tersebut adalah dinar dan dirham. Dalam transaksi bisnis di Arabia, kedua jenis mata uang ini juga diterima. Dengan kian kuatnya politik kedua Negara tersebut, alat pembayarannya pun makin dipercaya di wilayah yang berada dibawah penguasaannya. Karena faktor itulah, bangsa Persia dan bangsa Romawi menjadi mitra dagang utama orang-orang Arab. Adanya perdagangan menimbulkan kebutuhan akan adanya mata uang. Misalnya, orang yang akan membeli makanan dengan kain, dari manakah dia mengetahui nilai yang sama untuk harga makanan itu, sedangkan dalam pergaulan menghendaki terjadinya jual beli antara barang yang berbeda, seperti kain dengan makanan, hewan dengan kain. Padahal barang-barang itu tidak sama harga atau nilainya. Oleh karena itu, disinilah pentingnya alat tukar yang bernama ”mata uang” itu. Perkembangan ekonomi memerlukan suatu alat tukar yang penggunaannya kekal sepanjang zaman. Alat tukar yang paling tahan itu ialah barang-barang dari logam, seperti : emas, perak, dan tembaga. Menurut Imam Al-Ghazali (450–505 H / 1058–1111 M), sejarah membuktikan bahwa pada zaman sebelum Nabi Muhammad SAW, orang Arab sudah mengenal adanya mata uang, tetapi semuanya dari luar Arab. Mereka mengenal mata uang emas, yaitu Dinar dari Romawi dalam perdagangan mereka ke Utara (Syiria), dan mengenal mata uang perak, yaitu Dirham dari Persia dalam perdagangan mereka ke Selatan (Yaman). Barulah pada tahun ke-15 H/536 M, yaitu 4 tahun sesudah wafatnya Nabi Muhammad SAW – Khalid bin Walid – pahlawan Islam terkenal itu membuat mata uang sendiri di Thabariyah, daerah Syiria. Dalam pembuatan mata uang pertama itu masih meniru mata uang Romawi. Ia melukisnya dengan gambar, salib, mahkota, dan tongkat kebesaran, sedangkan di sebelahnya ada tulisan dengan huruf Yunani 2 BON. Sedangkan mata uang logam perak – Dirham Islam dibuat tahun 28 H/648 M di Thabaristan (Persia), di mana pada pinggiran mata uang itu ada huruf Arab dengan huruf Kaufah, yaitu Bismillahi Rabbi. Adapun mata uang Islam yang pertama kali dicetak oleh kantor percetakan negara Islam baru terjadi pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan dari dinasti Bani Umayyah (65-86 H/685-705 M), sesudah merundingkannya dalam musyawarah dengan para ulama dan pemuka. Maksud pembuatan mata uang itu diketahui oleh Keizer Romawi yang menganggapnya telah merusak hubungan ekonomi antara Arab dan Romawi. Ia mengirimkan surat ancaman kepada Khalifah Abdul Malik agar menghentikan usahanya itu demi hubungan baik antara kedua negara. Kalau diteruskan juga, tulisan atas nama mata uang harus ditambahkan kata-kata yang tiada sangkut pautnya dengan Islam atau kata-kata yang menghina Nabi SAW. Ancaman tersebut menyebabkan Abdul Malik menganggapnya sebagai kebulatan pendapat dari seluruh umat, termasuk oposisi di masa itu, yaitu partai Syi’ah. Oleh karena itu, ia mengundang pemimpin partai oposisi, Muhammad Al-Baqir untuk datang ke ibu kota Damaskus untuk merundingkan soal yang penting itu. Undangan tersebut dipenuhi oleh pemimpin Syi’ah dan berakhir dengan persetujuan bulat atas maksud baik Khalifah Umayyah, demi kebangkitan perekonomian umat Islam. Dalam mata uang Dinar dan Dirham itu dilukis kalimah tauhid dan disebelahnya ditulis nama Nabi SAW, serta menyebut nama negeri, dan tahun mencetaknya. Mata uang Islam yang pertama ini diberi nama Dimaskiyah, sesuai dengan nama kota tempat mencetaknya, Damaskus. Khalifah mengirimkan mata uang itu ke seluruh negara, memerintahkan supaya seluruh mata uang Romawi dan Persia dibekukan, serta tidak boleh beredar lagi. Koin dinar dan dirham mempunyai berat yang tetap dan memiliki kandungan perak atau emas yang tetap. Akan tetapi, pada masa dinasti Umayyah dan dinasti Abbasiyah beratnya berubah; demikian juga di Persia sendiri. Dinar dan dirham juga memiliki nilai yang tetap. Karena itu, tidak ada masalah dalam perputaran uang. Jika dirham dinilai sebagai satuan uang, nilai dinar adalah perkalian dari dirham: dan jika diasumsikan dinar sebagai unit moneter, nilainya adalah sepuluh kali dirham. Walaupun demikian, dirham lebih umum digunakan daripada dinar karena hamper seluruh wilayah kekaisaran Persia yang mata uangnya dirham dapat dikuasai angkatan perang Islam; sementara tidak semua wilayah kekaisaran Romawi yang 3 memiliki uang dinar dapat dikuasai Islam. Karena itu, mata uang dirham lebih popular di dunia usaha bangsa Arab. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa mata uang berfungsi sebagai alat tukar (medium of exchange) dan nilai harga dalam seluruh transaksi ekonomi, ditetapkan menurut mata uang sendiri. Oleh karena itu, Al-Ghazali mengecam orang yang menimbun uang. Orang demikian dikatakannya sebagai penjahat. Yang lebih buruk lagi adalah orang melebur dinar dan dirham menjadi perhiasan emas dan perak. Mereka ini dikatakannya sebagai orang yang tidak bersyukur kepada Sang Pencipta dan kedudukannya lebih rendah dari orang yang menimbun uang, karena menimbun uang berarti menarik uang secara sementara dari peredaran, sednagkan meleburnya berarti menarik dari peredaran selamannya. Peredaran uang palsu sangat dikecam Al-Ghazali karena kandungan emas/peraknya tidak sesuai dengan yang ditetapkan oleh pemerintah. Mencetak uang palsu dosanya akan terus berulang setiap kali uang itu dipergunakan dan akan merugikan siapa pun yang menerimanya dalam jangka waktu lama. Al-Ghazali memperbolehkan uang yang tidak terbuat dari emas/perak, seperti uang logam dan uang kertas yang saat ini banyak digunakan asalkan pemerintah menyatakannya sebagai alat bayar resmi dan demikian juga pendapat Ibnu Khaldun, hanya saja pemerintah wajib menjaga nilai uang yang dicetaknya karena masyarakat menerimanya tidak lagi berdasarkan berapa kandungan emas/perak didalamnya. Misalnya, pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 yang setara dengan ½ gram emas. Apabila kemudian pemerintah mengeluarkan uang nominal Rp 10.000 seri baru dan ditetapkan nilainya setara dengan ¼ gram emas, maka uang akan kehilangan makna sebagai standar nilai. Namun Al-Ghazali dan Ibnu Taimiyah melarang perdagangan mata uang Dinar dengan Dinar karena akan menghilangkan fungsi dari uang itu sendiri, di samping akan menimbulkan inflasi. Seperti pasar uang yang terjadi saat ini, di mana sebagian besar uang dipergunakan untuk memperdagangkan uang itu sendiri. Sedangkan menurut Ibnu Khaldun, mata uang berfungsi sebagai alat penukar dan pengukur harga sebagai nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank. B.1. Uang Beredar Dengan absensinya bunga dalam perekonomian, untuk sementara ini negara dikatakan tidak memiliki variable utama dalam mengontrol sector “moneter”, kecuali variable uang beredar. Bagaimana pengelolaan uang beredar ini harus dilakukan oleh 4 negara? Sebenarnya sederhana saja, negara harus mengatur agar uang beredar mengimbangi nilai transaksi yang terjadi di sector riil. Ketika uang beredar terlalu sedikit maka akan memberikan masalah begitu juga jika terlalu banyak uang yang beredar, misalnya masalah inflasi. Umar Chapra1 mengungkapkan hal ini. “The Islamic central bank should estimate the demand for money at full employment within the framework of stable prices and other socio-economic goals of Islam and try to regulate the supply of money accordingly. Hence the variable in terms of which monetary policy should be formulated should be the desired stock of money and not the rate of interest. The objective should be to ensure that monetary expansion is neither inadequate nor excessive as compared to the capacity of the economy to supply goods and services”. B.2. Kronologi Krisis & Rezim Mata Uang Abad 20 Tahun Kronologi Krisis (Roy & Tahun Emas sebagai uang Glyn Davies, 1996) (Francisco LR dan Luis R Batiz,1985) 1860- Peningkatan Jumlah Bank di 1880-1914 Standar Emas; Emas 1921 amerika s/d 19 Kali Lipat mata uang, sebagai terutama yang digunakan oleh negara superpower ekonomi ketika itu, yakni US dan UK 1907 Krisis Perbankan Internasional dimulai di New York 1913 US Federal Reserve System 1 Umer Chapra, Monetary Policy in Islamic Economy, Money and Banking in Islam, International Centre for Research in Islamic Economics, Jeddah and Institute of Policy Studies, Islamabad, 1996, pp. 27-46. 5 1914 – Perang Dunia I 1915 1918 Runtuhnya Rezim Uang Emas 1920 Depresi Ekonomi di Jepang 1922 – 23 German mengalami hyper 1924 German kembali inflasi. Karena takun mata menggunakan standard uang menurun nlainya, gaji emas. dibayar sampai dua kali dalam sehari. 1925 Inggris kembali menggunakan standar emas. 1927 Krisis Keuangan di Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan 1981 – 1901 Jumlah Bank bertambah 20 kali lipat 1929 – 30 The Great Crash (di pasar 1928 Prancis kembali ke satndar modal emas NY) Depression & Great (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terbangkas lebih dari setengahnya. 1931 Austria mengalami perbankan, krisis 1931 akibatnya Amerika dan Perancis menguasai 75% cadangan 6 kejatuhan perbankan German, yang di emas dunia. kemudian Inggris mengakibatkan meninggalkan standar emas, begitu juga berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini dengan Jepang. membuat UK meninggalkan standard emas. 1934 Amerika meninggalkan standar emas. 1915-40 1944 – 66 Prancis mengalami hyper 1944(July) Beridiri IMF (USA) inflasi akibat dari kebijakan yang mulai Kekacauan Moneter Penerapan meliberalkan Fixed Exchange rate sistem perekonomiannya. Kesepakatan Bretton Woods (1 Ons Emas = 35 USD) 1944 – 46 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12000 million (11 digits) hingga 27 digits. 1945 – 48 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua. 7 1945 – 55 Krisis Perbankan di Nigeria Akibat perumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan naik pada tahun 1945 (1950-1972) Periode tidak terjadi krisis Lebih kurang akibat Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi disektor moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) “tenang”. 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian akibat ini runtuh sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat tetap dibendung untuk mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. 1971-73 Kesepakatan Smithsonian (1 Ons emas = 38 USD). Dicoba menenangkan untuk kembali sektor keuangan dengan 8 perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja. 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum “uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)”. 1973 -... Dimulainya spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional penerapan exchange Periode pasar akibat floating rate system. Spekulasi; modal, uang, obligasi dan derivative. 1973 74 – Krisis Perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit. 1974 Krisis pada Eurodollar Market; akibat west German Bankhaus ID Herstatt mengantisipasi gagal international 9 di crisis. 1978-80 Deep recession di negara- negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingginya interest rate negaranegara industri. 1980 Krisis Dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju meningkatkan interest rate untuk menekan inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. C. INFLASI Menurut Ackley (1978) bahwa yang dimaksud dengan inflasi adalah suatu kenaikan harga yang terus-menerus dari barang-barang dan jasa-jasa secara umum –bukan satu macam barang saja dan sesaat-. Sejarah menunjukkan bahwa salah satu negara yang ditandai dengan kenaikan harga secara cepat adalah Mesir di sekitar tahun 330 sebelum Masehi pada waktu pemerintah Alexander Agung menyerbu Persia dengan membawa emas (hasil rampasan tentunya) ke Mesir. Dan juga negara Jerman mengalam hyper inflation pada awal tahun 1920-an di mana laju inflasi mencapai beberapa ratus persen per tahunya. Negara Indonesia juga tidak luput dari penyakit hyper inflation di tahun 1960-an, di mana laju inflasi mencapai 650 persen. 10 Sedangkan dalam sejarah ekonomi Islam, banyaknya peredaran mata uang, terutama fluktuasi harga perak menyebabkan nilai mata uang Dinar dan Dirham selalu naik dari waktu ke waktu dan nilainya pun berbeda dari suatu daerah dengan daerah lain. Perbandingan antara dua mata uang logam itu adalah 10 pada zaman Nabi Muhammad SAW dan tetap stabil pada level itu selam periode keempat khalifah pertama (11-41 H/632-661 M). Namun, stabilitas ini tidak dapat berlangsung terus. Dua logam mulia itu menghadapi berbagai kondisi permintaan dan penawaran sehingga menimbulkan ketidakstabilan harga relatifnya. Umpamanya pada paro kedua periode Umayyah (41-132 H/661-750 M), perbandingan harga relatif sekitar 12, sementara pada periode Abbasiyah (132-656 H/750-1258 M) mencapai 15 atau kurang. Rasio itu terus mengalami fluktuasi dan berkali-kali mengalami kemerosotan sampai pada tingkat 20, 30, bahkan 50. Menurut Al-Maqrizi dan Al-Asad (w. 854 H/1440 M), ketidakstabilan ini membuat mata uang dari logam buruk menendang dari sirkulasi mata uang logam baik. Dalam hal ini, Ibnu Taimiyah (1263-1328) dan Al-Maqrizi menghimbau agar negara menghindari dan tidak mencetak mata uang yang berlebihan dalam upayanya menutup defisit anggaran negara karena akan berakibat pada inflasi. Menurut Ibnu Khaldun, dalam keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan. Setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya. Apabila lebih banyak makanan dari yang diperlukan di satu kota, harga makanan menjadi murah dan apabila lebih sedikit makanan dari yang diperlukan maka harga makanan menjadi mahal sehingga inflasi sebagai kenaikan harga-harga semua atau sebagian besar jenis barang, tidak akan terjadi karena pasarr akan mencari harga keseimbangan tiap-tiap jenis barang. Harga satu barang dapat saja naik, kemudian karena tidak terjangkau harganya maka harga akan turun kembali. Ini yang terjadi pada masa Khalifah Umar bin Khattab ketika terjadi paceklik. Umar saat itu mengimpor gandum dari Fustat (Kairo) ke Madinah dan selanjutnya harga gandum turun. Islam tidak mengenal istilah inflasi, karena mata uangnya stabil dengan digunakannya mata uang dinar dan dirham. Penurunan nilai masih mungkin terjadi, yaitu ketika nilai emas yang menopang nilai nominal dinar itu mengalami penurunan, diantaranya akibat ditemukannya emas dalam jumlah yang besar, tapi keadaan ini kecil sekali kemungkinannya. Ekonom Islam 11 Taqiuddin Ahmad ibn al-Maqrizi (1364M – 1441M), yang merupakan salah satu murid Ibn Khaldun, menggolongkan inflasi dalam dua golongan yaitu natural inflation dan human error inflation. C.1. Natural inflation Sesuai dengan namanya natural inflation, Inflasi ini disebabkan oleh sebab alamiah yang diakibatkan oleh turunnya Penawaran agregat (AS) atau naiknya Permintaan agregat (AD), orang tidak mempunyai kendali atasnya (dalam hal mencegahnya). MV = PT = Y Dimana: M = Jumlah uang beredar V = kecepatan peredaran uang P = tingkat harga T = jumlah barang dan jasa (Q) Y = tingkat pendapan nasional (GDP) Maka natural inflation dapat diartikan sebagai berikut: a. Gangguan terhadap jumlah barang dan jasa (T) yang diproduksi dalam suatu perekonomian. Misal T turun, sedangkan M dan V tetap, maka konsekuensinya P akan naik. b. Naiknya daya beli masyarakat secara riil, misalnya nilai ekspor lebih besar dari nilai impor sehingga secara netto terjadi impor uang yang mengakibatkan M naik, sehingga jika V dan T tetap, maka P akan naik. c. Keseimbangan permintaan dan penawaran juga pernah terjadi dizaman Rasulullah SAW. Dalam hal ini Rasulullah SAW tidak mau menghentikan atau mempengaruhi pergerakan harga ini sesuai Hadist: (غال السعر في المدينة على عهد رسول هللا:وعن أنس بن مالك رضي هللا عنه قال فقال رسول هللا، فسعر لنا، يا رسول هللا! غال السعر:صلى هللا عليه وسلم فقال الناس 12 وإني ألرجو أن، الرازق، الباسط، القابض، إن هللا هو المسعر:صلى هللا عليه وسلم ألقى هللا تعالى وليس أحد منكم يطلبني بمظلمة في دم وال مال) رواه الخمسة إال النسائي ابن حبان،وصححه Anas meriwayatkan, ia berkata: suatu ketika di Madinah terjadi inflasi, Orang-orang berkata kepada Rasulullah SAW, ” Wahai Rasulullah, harga-harga barang naik (mahal), tetapkanlah harga untuk kami”. Rasulullah SAW lalu menjawab,”Allah-lah Penentu harga, Penahan, Pembentang, dan Pemberi riszki. Aku berharap tatkala bertemu Allah, tidak ada seorangpun yang meminta padaku tentang adanya kedhaliman dalam urusan darah dan harta”. C.2. Human error inflation. Human error inflation adalah inflasi yang terjadi karena kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh manusia sendiri, Allah Ta’ala berfirman dalam surat Ar-Rum ayat 41: ظَهر الْ َفساد يِف الْب ير والْبح ير يِبا َكسبت أَي يدي الن ي ي ي ض الَّ يذي َع يملُوا لَ َعلَّ ُه ْم ُ َ ََ َ َّاس ليُذي َق ُه ْم بَ ْع ْ ْ ََ َ ْ َ َ َ يَْريجعُو َن Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan Karena perbuatan tangan manusi, supay Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). Adapun beberapa penyebabnya di antaranya : 1) Korupsi dan administrasi yang buruk (corruption and abad administration) 2) Pajak yang berlebihan (excessive tax) Excessive tax dapat mengakibatkan terjadinyaefficency loss atau dead weight loss. Pencetakan uang dengan maksud menarik keuntungan yang berlebihan (excessive seignorage). 3) Pencetakan uang dengan maksud menarik keuntungan yang berlebihan (Escessive Seignorage) Ekonom Islam, Al-Maqrizi berpendapat bahwa pencetakan uang yang berlebihan jelas akan mengakibatkan naiknya tingkat harga umum (inflasi). Kenaikan harga komoditi 13 tersebut adalah kenaikan dalam bentuk jumlah uang (fulus) atau nominal, sedangkan jika diukur dalam emas (dinar emas) maka harga komoditi tersebut jarang sekali mengalami kenaikan. D. BANK Bank didefinisikan sebagai lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa dalam lalu lintas pembayaran dan peredaran uang. Istilah bank berasal dari bahasa Italia, Banca, yang berarti meja yang dipergunakan oleh para penukar uang di pasar. Pada dasarnya bank merupakan tempat penitipan atau penyimpanan uang, pemberi atau penyalur kredit dan juga perantara di dalam lalu lintas perekonomian. Praktek perbankan dalam Islam dikenal sejak zaman Abbasiyah, walaupun masih dilakukan secara perorangan. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang sehingga diperlukan keahlian khusus untuk membedakan antara mata uang yang satu dengan yang lainnya. Ini terjadi sebagai akibat adanya perdagangan/pasar internasional, terutama kota yang terkenal adalah kota Isfahan (di Persia), yang dikunjungi oleh berbagai bangsa dari Timur dan Barat dan memperjualbelikan barang dagangan mereka. Nasher Khusru (w. 481 H/1088 M) mengatakan bahwa dalam pasar kota Isfahan, ada suatu stand khusus untuk perbankan, yang sekurang-kurangnya diramaikan oleh 200 orang ahli bank dari berbagai bangsa. Dan menurut Ibnul Faqien bahwa pada umumnya para bankir itu datang dari Basrah (Irak), yang membuka pekerjaan perbankan, menampung para pedagang yang datang dari ujung Timur daerah Islam sampai ke ujung Barat, yaitu Ferghanah (di perbatasan Irak) sampai daerah Sous di Asia Kecil. Menurut Imam Al-Ghazali bahwa perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang ke daerah-daerah lain. Namun memperingatkan supaya para bankir dan semua orang yang berhubungan dengan bank, berhatihati terhadap dosa riba. Imam Al-Ghazali menitik beratkan pandangannya terhadap institusi perbankan dari sudut transaksi perekonomian, baik antara pribadi dengan pribadi, lembaga dengan pribadi, 14 lembaga bank dengan lembaga lainnya, negara dengan negara, serta lembaga bank dengan negara, yang semuanya itu lebih dekat hubungannya dengan dunia perdagangan (jual beli). Merujuk pada kecenderungan sistem moneter dan bangunan moneter dalam Islam, maka perlu diketahui ruang gerak kebijakan moneter berikut instrumen yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran-sasaran kebijakan tersebut. Kebijakan-kebijakan moneter dalam perekonomian Islam ini tentu saja mendukung pencapaian tujuan akhir system ekonomi Islam yaitu kesejahteraan dunia dan akhirat. Umar Chapra mengungkapkan tiga sasaran utama dari kebijakan moneter yang ada dalam sistem ekonomi Islam. 1. Tenaga kerja penuh dan pertumbuhan ekonomi (full employment and economic growth). 2. Keadilan sosio-ekonomi dan distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata (socioeconomic justice and equitable distributin income and wealth). 3. Stabilitas nilai uang (stability in the value of money). Tujuan kebijakan moneter yang direkomendasikan Chapra ini mengingatkan kita pada sasaran yang juga dimiliki oleh system konvensional, yaitu tenaga kerja penuh (full employment), pertumbuhan ekonomi (economic growth) dan stabilitas harga (price stability). Dan ini juga yang disoroti oleh beberapa pakar ekonomi. Munawar Iqbal melihat apa yang diungkapkan oleh Chapra merupakan sasaran antara (semi-objectives) dari sasaran akhir kebijakan moneter Islam, yaitu memaksimalkan kesejahteraan manusia (maximize human welfare). Sebenarnya saat ini masih terus diperbincangkan instrumen apa yang sebenarnya tepat untuk dijadikan alat dalam mencapai tujuan-tujuan system perekonomian Islam, khususnya dalam sector moneter. Selain mempertimbangkan sasaran kebijakan, perumusan atau penentuan instrumen tersebut tentu mempertimbangkan juga sinkronisasi instrumen terhadap prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang ada dalam syariat. 15 Dengan memperhitungkan konflik yang dapat timbul akibat kesenjangan antara instrumen moneter dengan sasarannya dalam interaksi mekanisme ekonomi, Muhammad Ariff2 menganjurkan agar mempertimbangkan pendapat yang diungkapkan oleh Meade-Tinbergen dalam menyusun sebuah instrumen moneter sebagai alat mencapai sasaran. Meade-Tinbergen mengungkapkan sebaiknya jumlah instrumen kebijakan moneter sama dengan jumlah sasaran kebijakan moneter tersebut. Hal ini juga sejalan dengan prinsip Mundel (Mundellian Principles) yang mengatakan pentingnya sinkronisasi sasaran kebijakan dengan instrumen kebijakan. Memang harus diakui dengan absensinya data ekonomi dalam sebuah system moneter Islam, akan sukar menentukan instrumen seperti apa yang cukup efektif dalam mewujudkan sasaran kebijakan moneter. Jadi disini memang diperlukan sebuah konsistensi implementasi dari praktek-praktek moneter syariah yang mampu dijadikan alat dalam analisa sehingga mampu memberikan hasil yang berguna untuk menyimpulkan kebijakan apa yang dapat efektif digunakan. Apalagi mekanisme moneter yang didominasi oleh system bagi hasil cukup signifikan berbeda dengan apa yang ada dalam konvensional, dimana system bagi hasil ini sangat mengandalkan sekali informasi kinerja usaha, sehingga data lapangan dari kinerja ekonomi pun kemudian menjadi sangat penting. D. PENUTUP Berdasarkan paparan di atas maka sudah jelaslah bahwasannya ekonomi moneter dalam sistem ekonomi Islam sudah dikaji, meskipun istilah “ekonomi moneter” sendiri berasal dari ekonom konvensional. Mata uang dalam Islam lebih sebagai alat tukar, nilai harga, nilai usaha, alat perhubungan, dan alat simpanan dalam bank-bank dalam seluruh transaksi ekonomi karenanya menimbun uang tidak dibolehkan dalam Islam karena uang harus selalu berputar dalam rangka keseimbangan ekonomi. Oleh karena itu, keadaan nilai uang yang tidak berubah maka kenaikan maupun penurunan harga semata-mata ditentukan oleh kekuatan penawaran dan permintaan sehingga setiap barang akan mempunyai harga keseimbangannya sendiri. 2 Lihat introduction dalam Ziauddin Ahmed, Munawar Iqbal and Fahim Khan (Editors), Money and Banking In Islam, International Center for Research In Islamic Economics, King Abdul Aziz University Jeddah and Institute of Policy Studies Islamabad, Pakistan, 1996. 16 Sedangkan, perbankan berfungsi sebagai tempat tukar penukaran mata uang yang berlainan dan perantara untuk pengiriman uang karenanya harus berhati-hati terhadap riba dalam pelaksanannya. Karena bagaimana pun, transaksi-transaksi dalam dunia perbankan akan terus mengalami perkembangan dan inovasi bentuknya sehingga yang menjadi perhatian utama dalam system moneter Islam, bagaimana transaksi-transaksi yang diciptakan tersebut harus jauh dari nilai-nilai riba yang diharamkan. Untuk lebih memahami lebih lanjut sejarah dari sistem ekonomi Islam dapat dibaca dan dipelajari buku-bukunya baik karangan ekonom dalam negeri maupun luar negeri yang sudah banyak beredar di Indonesia. 17 DAFTAR PUSTAKA Al-Kaff, Abdullah Zaky, Ekonomi Dalam Perspektif Islam. Bandung : Pustaka Setia, 2002. Chapra, M. Umer, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam Cetakan Pertama. Jakarta : Gema Insani Press,2001. Gilarso, T, Dunia Ekonomi Kita : Uang, Bank dan Koperasi. Yogyakarta: Kanisius, 1976. Karim, Adiwarman A, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cetakan Kelima. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012. Karim, Adiwarman A, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer, Cetakan Pertama. Jakarta: Gema Insani Press, 2001. Iswardono Sp, Uang dan Bank, Edisi Keempat. Yogyakarta: BPFE, 1981. Muhammad, Kebijakan Moneter dan Fiskal dalam Ekonomi Islam, Edisi Pertama. Jakarta: Salemba Empat, 2002. Widodo, Hg. Suseno Triyanto, Indikator Ekonomi : Dasar Perhitungan Perekonomian Indonesia. Yogyakarta: Kanisius, 1990. 18