83 0123456737589843138 72894 0 48 728483 30!"# !$%&$8" '()*+,-./'()+01+.+)/2+34-/5(,0()4+67/8(9+3/'+97/9()*+)/:+;+)* <6;(,*7=-6/>7*(,/4(,.+9+;/:+)9-)*+)/?7)(,+=/:+=67-0@/5(,,-0/9+) ?+*)(67-0 A$BCD91E&D$E4B$D3$"&E FG HFI '()*+,-./;J/9+)/K+0+/5(,0()4+67/L=(./M)N70/O(=-=L6(/9+=+0/',L6(6 J79,L=7676/-)4-3/?()7)*3+43+)/>7=+7/P7N7/MQ()*/PL)9L3 B$E FR HGS '()*+,-./'(0+3+7+)/?7)T+3/U+*-)*4(,.+9+;/'L=+/K(0+3/8+,+. :(=7)Q7 VE GW HGX '()*+,-./'(01(,7+)/Y,7)/O+;7;+9+/Z(,1+*+7/:L)6()4,+679+)/K+0+ '(,()9+0+)/Z()7./O()4,L/[\()4,L6(0+/'-1(6Q()6]4(,.+9+;/8+T+ :(Q+01+.@/^7*L,74+69+)/Z(,+4/:(,7)*/_+)+0+) `$a$D Gb HSI O4-97/'()*+,-./:(,-6+3+)/Z(4+H:+,L4()9+=+0/'(=+,-4/J(36+)+@/<6(4L) 9+)/?(4+)L=6(,4+/_+);+/'(=+,-49+=+0/Y9+,+/_(,1-3+ !$B2"cd"& SR HSX e9()47f73+67/5-)*7/?73L,7N+/<,1-63-=+,/[5?<]97/J-4+)/K7)9-)* ?+)*,Lg(/'+)*3+=/Z+1-/:+1-;+4()/_+)h-)*/U+1-)*/Z+,+4/U+017 3"$E&2c6"i&$"$9$ED$EV$a$B Sb HWI ^L=-0(/<017)*/9+)/ZL1L4/Z+9+)/<)+3/:+017)*/'(,+)+3+)/M4+j+. 6(1+*+7/k(6;L)/'(01(,7+)/5OJ/9+)/'?OP 4D$ED$Ei$l WR HIS e9()47f73+67/U()769+)/'(,1+)T+3+)/M)9L073L,7N+/KL3+=97/J-4+) :+0;-6/Y)7g(,674+6/U+017 2c6"i&$"$9$E3"$E&D$E4#$CD IW HIm Mg+=-+67/?-4-/P+1+./'+97/KL3+=/'+6+)*/O-,-4/<6+=/:(Q+0+4+)/_-)*3+= e=7,/:+1-;+4()/_+)h-)*/U+1-)*/Z+,+4 4CE" In HRF e9()47f73+67/?-4-/Z(,+69+,7/'+97/KL3+=/'+6+)*/O-,-4/<6+=/:(Q+0+4+) '()*+1-+)/:+1-;+4()/_+)h-)*/U+1-)*/Z+,+4 `&C9$%a RG HRX <)+=7676/8+)/:+,+34(,76+67/O()T+j+/<=3+=L79/8+,7/_+)+0+)/:7)+ [\.7)Q.L)+/=(9*(,7+)+] 3%a$0BE Ib HmI 6D$E6E"$E Volume 14, Nomor 2, Hal. 35-42 Juli – Desember 2012 ISSN 0852-8349 VOLUME AMBING DAN BOBOT BADAN ANAK KAMBING PERANAKAN ETAWAH SEBAGAI RESPON PEMBERIAN FSH DAN PMSG Adriani dan Suparjo Fakultas Peternakan Universitas Jambi [email protected] Abstrak Telah digunakan sebanyak 15 ekor kambing Peranakan Etawah dara (BB 17-24 kg) untuk melihat volume ambing pada saat kebuntingan , bobot lahir anak dan liter size sebagai respon pemberian FSH dan PMSG. Rancangan acak kelompok telah digunakan dengan 3 perlakuan yaitu P0= kontrol, P1= 1 ml FSH/kg BB, dan P3= IU/kg PMSG BB. Kambing percobaan dipelihara pada kandang individu, sementara ransum yang diberikan berupa rumput alam dan konsentrat sesuai kebutuhan. Sinkronisasi birahi menggunakan PGF2α dengan 2 kali penyuntikan interval 11 hari. Dua puluh empat jam kemudian kambing yang mendapat perlakuan hormon disuntik dengan 1 mg/kg BB FSH dan 15 IU/kg BB PMSG. Dua belas jam kemudian dilakukan deteksi birahi menggunakan pejantan. Kambing percobaan dikawinkan secara alami sebanyak 2 kali yaitu pada 10 jam birahi terlihat dan 10 jam berikutnya untuk mendapatkan kebutingan yang optimal. Pada 2/3 kebuntingan dilakukan pengukuran volume ambing sampai beranak. Untuk menentukan performan anak yang dilahirkan, dilakukan penimbangan bobot lahir paling lama 24 jam setelah lahir. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kambing yang birahi setelah mendapat perlakuan FSH dan PMSG sebanyak 14 ekor (93.3%) dan hanya 1 ekor kambing tidak mengalami birahi (7,7%). Rataan volume ambing pada minggu ke-12 kebuntingan 266.3 cm3. Rataan volume ambing akhir kebuntingan 1441.7 cm3 dan rataan pertambahan volume ambing 616.3 cm3. Jumlah anak sekelahiran nyata lebih tinggi pada perlakuan FSH dan PMSG (0.25%) dibandingkan kontrol, serta jumlah anak sekelahiran nyata lebih tinggi pada perlakuan FSH 28% dan PMSG 29% dibanbanding kontrol . Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian hormon FSH dan PMSG menghasilkan pertumbuhan volume ambing yang baik selama bunting, dengan bobot dan jumlah anak yang meningkat pada saat dilahirkan dibandingkan dengan control. Kata kunci : kambing Peranakan Etawah, FSH, PMSG, bobot lahir PENDAHULUAN Secara umum kambing Peranakan Etawah merupakan kambing yang sudah berkembang di Indonesia sebagai penghasil susu dan daging. Potensi kambing Peranakan Etawah (PE) sebagai penghasil daging (anak) dan susu sudah banyak dilaporkan oleh beberapa peneliti, tetapi produktivitasnya masih sangat beragam. Kondisi ini karena sudah banyaknya hasil persilangan keturanan kambing tanpa recording. Produksi susu berkisar 0.45–2.2 kg/ekor/hari (Obst dan Napitupulu, 1984; Adriani et al. 2003). Disisi lain kambing PE berpotensi untuk beranak kembar, dengan jumlah anak per kelahiran 1.53 ekor (Setiadi dan Sitorus, 1986; Yulistiani et al., 1999). Tentunya ini merupakan suatu potensi yang sangat baik untuk dapat meningkatkan produktivitas kambing PE baik dari segi menghasilkan anak maupun menghasilkan susu. Namun dalam pengembangannya masih terbentur pada rendahnya jumlah anak per kelahiran, terutama untuk kambing dara (Sutama et al., 1995), atau masih tingginya tingkat kematian anak terutama yang lahir kembar (Adriani, et al., 2004a) dan masih rendahnya produksi susu yang dihasilkan (Thahar et al., 1996). Salah satu cara yang diduga bisa meningkatkan produktivitas kambing lokal dalam meningkatkan jumlah anak dan produksi susu dengan peningkatan 35 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains sekresi hormon mammogenik (estrogen, progesteron) melalui pemberian hormon secara eksogen. Perlakuan hormon eksogen bisa dilakukan dengan pemberian gonadotropin seperti Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) (Guiltbault et al, 1992; Bo et al, 1998). Pemakaian PMSG mempunyai kelemahan yaitu waktu paruh PMSG yang lama (5-6 hari) dan kehadiran PMSG dalam sirkulasi darah setelah ovulasi berpengaruh negatif terhadap embrio. Namun dari segi harga relatif lebih murah. Sementara hormon FSH mempunyai waktu paruh lebih pendek (2–5 jam) sehingga harus diberikan beberapa kali, selain itu harganya lebih mahal, tetapi menghasilkan embrio lebih banyak dan kualitas embrio yang dipanen pada sapi lebih baik (Adriani, et al. 2009; Chandra et al, 1996; Arreseigor et al, 1998). Proses diferensiasi embrio menjadi fetus dipengaruhi lingkungan biologis dan hormonal di dalam kandungan. Keadaan uterus yang baik diciptakan oleh kecukupan hormon yang dihasilkan oleh ovarium. Estrogen dan progesteron berperan dalam pembuka kunci perkembangan embrio di dalam uterus dan plasenta (Fowden, 1995). Kedua hormon tersebut sangat berperan dalam mengatur pertumbuhan kelenjar uterus dan plasenta yang selanjutnya menghasilkan hormon dan faktor pertumbuhan fetus (Robinson et al., 1995). Kondisi ini akan mempengaruhi pertumbuhan anak kambing setelah lahir terutama bobot lahir. Hormon estrogen akan meningkat karena banyaknya folikel yang tumbuh akibat pemberian PMSG dan FSH yang dapat merangsang percabangan dan perpanjangan duktus alveoli kelanjar ambing (Anderson, 1985; Wahab dan Anderson, 1989). Semakin banyak terjadi ovulasi maka semakin tinggi hormon progesteron yang dihasilkan (Turner dan Bagnara, 1976). Sementara pada kelenjar ambing akan meningkatkan percabangan saluran kelenjar ambing dan pembentukan lobul alveolar (Schmidt, 1971) dan dinatu oleh hormon laktogen plasenta (Cowie et al., 1980). Peningkatan hormon kebuntingan ini 36 tersebut bertanggung jawab atas pengendalian pertumbuhan kelenjar ambing selama bunting (Turner dan Bagnara, 1976). Dinama 80% pertumbuhan ambing terjadi saat bunting ( Anderson, 1985). Selama ini penelitian pemberian hormon eksogen lebih banyak ditujukan untuk meningkatkan ovulasi dan menghasilkan anak. Sementara usaha untuk meningkatkan produksi susu dilakukan pada saat laktasi tanpa melihat pertumbuhan sel selama kebuntingan. Padahal peningkatan sekresi hormon estrogen dan progesteron selama kebuntingan (Manalu et al., 1999; Manalu et al., 2000a; Resolvon et a., 2007) memegang peran utama untuk pertumbuhan sel kelenjar ambing (Manalu dan Sumaryadi, 1998a). Dengan banyaknya sel kelenjar ambing yang tubuh, maka banyak sel yang siap memproduksi susu pada saat laktasi. Penelitian ini mencoba mengkombinasikan sifat prolifit yang sudah ada pada kambing dengan pertumbuhan ambing. Kesederhanaan teknik yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah pemberian hormon FSH dan PMSG hanya diberikan satu kali pada awal kebuntingan pertama sehingga ekspresi genetik kambing yang dihasilkan dimodifikasi dalam kandungan melalui perangsangan hormon endogen yang dihasilkan induk itu sendiri, diharapkan dapat meningkatkan kelahiran kembar, peningkatanbobot lahit dan pertumbuhan ambing yang baik METODE PENELITIAN Ternak yang digunakan dalam percobaan ini adalah kambing PE betina siap kawin sebanyak 15 ekor. Kambing dipelihara dalam kandang individu selama 7 bulan yang dilengkapi tempat pakan dan minum. Kambing PE percobaan diacak dalam suatu rancangan acak kelompok dengan 5 ulangan. Perlakuan terdiri atas kontrol (P0), pemberian 1 mg/kg BB FSH (foliclce stimulating hormone) (P1) dan pemberian 15 IU/kg BB PMSG (pregnant mare serum gonadotropin) (P2). Kambing dipeliharaan sampai akhir kebuntingan (saat beranak), Selama bunting Adriani dan Suparjo : Volume Ambing dan Bobot Badan Anak Kambing Peranakan Etawah sebagai Respon Pemberian FSH Dan PMSG dilihat pertumbuhan ambing dan setelah beranak dilihat jumlah anak yang dilahirkan beserta bobot badan anak Sebelum kambing diberi pelakuan, maka kambing percobaan diadaptasikan dengan pakan dan kandang selama 1 bulan. Sebelum kambing dikawinkan dilakukan sinkronisasi birahi menggunakan PGF2α dengan 2 kali penyuntikan dengan interval 11 hari. Dua puluh empat jam kemudian kambing yang mendapat perlakuan disuntik dengan 1 mg/kg bobot badan FSH dan 15 IU/kg bobot badan PMSG. Dua belas jam kemudian dilakukan deteksi birahi dengan menggunakan pejantan. Kambing perbobaan dikawinkan secara alami sebanyak 2 kali yaitu pada 10 jam setelah tanda-tanda birahi terlihat dan 10 jam kemudian untuk mendapatkan angka fertilitas optimal. Kambing yang sudah dikawinkan dipelihara pada kandang individu yang dilengkapi dengan tempat pakan dan minum. Ransum yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan kambing yang terdiri atas hijauan dan konsentrat. Selama bunting dilakukan pengukuran pertumbuhan ambing mulai kebuntingan minggu ke-12 sampai beranak. Setelah anak lahir maka diukur berat lahir anak dan jumlah anak yang dihasilkan. Peubah yang diukur pada penelitian ini adalah birahi kambing, kambing bunting, volume ambing, berat lahir, jumlah anak sekelahiran serta imbangan anak jantan dan betina. Pertumbuhan kelenjar ambing pada saat kebuntingan ditentukan dengan pengukuran volume ambing menggunakan metode Linzell (1965) yaitu dengan mencelupkan ambing ke dalam takaran plastik yang berisi air penuh dengan kapasitas 2,5 liter dan ketelitian 10 ml. Jumlah air yang terbuang karena pencelupan ambing dihitung sebagai volume ambing dalam cm3. Pengamatan volume ambing dilakukan sekali dalam satu minggu mulai dari minggu ke-12 kebuntingan sampai dengan akhir kebuntingan. Berat lahir anak ditenatukan paling lama 24 jam setelah anak lahir, sementara jumlah anak dilihat dari berapa ekor anak yang dilahirkan induk dalam satu kali kelahiran. Data dinalisis sesuai dengan rancangan percobaan yang dipakai. dan keragaman semua data yang dikumpulkan, serta pengaruh perlakuan FSH dan PMSG. Jika terdapat perbedaan maka dilanjutkan dengan uji Duncant (Steel dan Torrie, 1991). HASIL DAN PEMBAHASAN Birahi dan Kebuntigan Kambing Peranakan Etawah Setelah perlakuan sinkronisasi birahi menggunakan PGF2α dan dan pemberian hormon FSH dan PMSG, maka didapatkan kambing yang mengalami birahi dan kambing bunting seperti Tabel 1. Tabel 1. Jumlah Kambing Birahi dan Kambing Bunting Berdasarkan Perlakuan Pemberian Hormon FSH dan PMSG Parameter Perlakuan Jumlah Kontrol FSH PMSG Kambing 4 5 5 14 Birahi (Ekor) Kambing 4 4 5 13 Bunting (Ekor) Rataan Kambing yang birahi setelah mendapat perlakuan hormon secara eksogen baik melalui sinkronisasi birahi dan ovulasi super didapatkan sebanyak 14 ekor kambing (93.3%) dan hanya 1 ekor sapi yang tidak mengalami birahi (7,7%). Hasil ini lebih baik daripada penelitian adriani et al. (2004a) pada kambing Peranakan Etawah yang mendapatkan kambing birahi sebesar 88.2% setelah sinkronisasi birahi menggunakan intravaginal sponge yang mengandung 60 mg medroxyprogesterone acetate selama 14 hari. Hasil ini juga relatif sama dengan penelitian pada sapi Brahman Cross dan Sapi Simbrah yang mendapatkan sapi birahi sebanyak 95% sebagai respon pemberian hormon eksogen (Adriani et al., 2007: Adriani et al., 2009). Berada dalam kisaran penelitian lainnya yaitu keberhasilan birahi pada sapi Eropa antara 62.5–100% (McMillan et al., 1980; Pazaran, 1989). Kambing bunting dari penelitian ini sebanyak 13 ekor (86.7%), ini ditandai 37 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains dengan tidak datangnya birahi berikutnya selama 2 periode birahi. Hasil penelitian ini relatif sama dengan hasil penelitian pada kambing yang disuperovulasi menggunakan PMSG menghasilkan kebuntingan sebanyak 78% (Adriani et al., 2004b). Volume Kelenjar Ambing Akhir Kebuntingan Volume kelenjar ambing kambing selama bunting merupakan indikator pertumbuhan dan perkembangan kelenkar ambing. Rataan volume ambing kambing Peranakan Etawah mulai pada kebuntingan minggu ke-12 sampai beranak disajikan pada disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pemberian hormon FSH dan PMSG sangat nyata meningkatkan volume ambing kambing minggu ke-12 kebuntingan, pada akhir kebuntingan (saat beranak) dan pertambahan volume ambing slama bunting (P<0.01) dibadingkan dengan kontrol. Sementara antara perlakuan hormon FSH dan PMSG tidak berbeda secara statistik, namun ada kecenderungan bahwa pemebrian hormon PMSG menghasilkan volume ambing yang lebih baik daripada FSH sebesar 0.05% (0.85 v 0.89). Rataan volume ambing pada minggu ke-12 kebuntingan adalah sebesar 266.3 cm3, dengan kisaran antara 150–370 cm3. Rataan volume ambing pada akhir kebuntingan adalah 1441.7 cm3, dengan rataan antara 650 – 2300 cm3. Volume ambing ini lebih rendah dari penelitian Adriani et al., (2003) yang mendapatkan volume ambing kambing pada akhir kebuntingan sebesar 1854.2 cm3/ekor, dengan peningkatan sebesar 66,4% dibandingkan kambing tanpa pemberian hormone PMSG. Peningkatan volume ambing diduga karena terjadi pertumbuhan ambing yang pesat terutama pasa sistem saluran, sistem percabangan maupun perbanyakan selsel epitel akibat dari peningkatan stimulus hormone estrogen, progesteron maupun laktogen plasenta pada saat kebuntingan. Menurut Sujatmogo et al. (2001) bahwa perlakuan superovulasi pada sapi dapat meningkatkan volume ambing sapi Peranakan Fries Holland sebesar 52,6%. Rataan pertambahan volume ambing kambing Peranakan Etawah sebesar 616.3 cm3, dengan kisaran antara 440–869 cm3. Rataan volume kelenjar ambing kambing PE yang didapat pada penelitian ini relatif sama dengan penelitian Adriani et al. (2003) bahwa pertambahan volume ambing kambing Peranakan Etawah yang diberi PMSG sebesar 80,0% (822,9 vs 1481,3 cm3/ekor). Pertumbuhan kelenjar ambing kambing Perankan Etawah lebih baik terjadi pada perlakuan hormon PMSG dan FSH, dimana sampai minggu keempat belas kebuntingan pertumbuhan kelenjar ambing hampir sama, tetapi setelah minggu kelimabelas mulai memperlihatkan pertumbuhan yang lebih pesat dibandingan kontrol. Kondisi ini diduga karena hormon-hormon reproduksi pada kambing yang mendapatkan pemberian hormon PMSG dan FSH menghasilkan corpus luteum yang lebih banyak dibandingkan kontrol, sehingga kehadiran progesterone yang dihasilkan corpus luteum juga lebih tinggi. Hormon progrsteron selama kebntingan bertangung jawab untuk memelihara kebuntingan dan memacu pertumbuhan lobul alveoli dari kelenjar ambing kambing (Manalu et al., 1998; Adriani et al., 2003). Sehingga semakin banyak progesterone yang dihasilkan maka semakin tinggi pertumbuhan sel ambing selama bunting. Tabel 2. Volume Kelenjar Ambing Kambing Peranakan Etawah Minggu ke-12 Kebuntingan, Akhir Kebuntingan dan Pertambahan Volume Kelenjar Ambing Sebagai Respon Pemberian FSH dan PMSG Peubah Perlakuan Rataan Kontrol FSH PMSG Volume ambing minggu 12 225.0± 57.0 a 285.0±66.9b 289.0± 77.9b 266.3± 193.8 3 kebuntingan (cm /ekor) Volume ambing akhir kebuntingan 737.5±184.5a 1700±443.6b 1887.5±426.9b 1441.7±736.7 (cm3/ekor) Tambahan Volume Ambing (cm3/ekor) 409.4±109.8a 643.7±226.3b 796.0±278.9b 616.3±245.6 38 Adriani dan Suparjo : Volume Ambing dan Bobot Badan Anak Kambing Peranakan Etawah sebagai Respon Pemberian FSH Dan PMSG Tabel 2. Rataan Jumlah Anak dan Bobot Lahir Anak Kambing Sebagi Rerpon Perlakuan FSH dan PMSG Perlakuan Peubah Rataan Kontrol FSH PMSG Rataan Jumlah Anak sekelahiran Bobot Lahir Anak Jenis Kelamin Anak (jantan : betina) 1,2 ±0.45a 2,72±0,57a 1:1 Jumlah dan Bobot Lahir Anak Kambing Peranakan Etawah Rataan jumlah anak yang dilahirkan dan bobot lahir kambing Peranakan Etawah beserta perbandingan jenis kelamin anak yang dilahirkan sebagai respon perlakuan pemberian FSH dan PMSG disajikan pada Tabel 2. Perlakuan pemberian FSH dan PMSG nyata meningkatkan jumlah anak sekelahiran dan bobot lahir anak (P<0.05), namun tidak mempengaruhi imbangan jenis kelamin anak. Pemberian FSH dan PMSG meningkatkan jumlah anak sekelahiran sebesar 25% (1,2 vs 1,6) baik untuk FSH maupun PMSG. Hasil penelitian ini relatif sama dengan penelitian Artiningsih (1999) bahwa kambing PE yang disuperovulasi dengan PMSG mempunyai jumlah anak sekelahiran 1,5, dan lebih tinggi dari hasil penelitian tanpa pemberian PMSG yaitu 1,0 (Sutama et al., 1995). Kondisi ini diduga karena pemberian FSH dan PMSG dapat merangsang terjadinya ovulasi ganda, sehingga jumlah anak yang dihasilkan juga meningkat. Jumlah anak sekelahiran seekor ternak bergantung pada jumlah ovum yang diovulasikan, pembuahan dan kemampuan hidup embrio (Hulet dan Shelton, 1987). Subandryo et al. (1986) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi jumlah anak sekelahiran pada kambing adalah bangsa ternak, umur induk, nutrisi dan lingkungan dan rangsangan hormon secara eksogen. Pemberian hormon FSH dan PMSG juga nyata meningkatkan bobot lahir anak dibandingkan control (P<0.05). Pemberian FSH meningkatkan bobot lahir anak sebesar 28% (2.72 vs 8.80) dan pemberian PMSG sebesar 29% (2,72 vs 3.85) dibandingkan control. Hasil ini relative sama dengan penelitian Adriani et al. (2003) bahwa 1,6±0,55b 3,80±0,23b 1:1.7 1,6±0,55b 3,85±0,38b 1:1.7 1.5±0,52 3,46±0,63 1:1,5 pemberian PMSG pada kambing dapat meningkatkan bobot lahir anak kambing sebesar 36%. KESIMPULAN Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian hormon FSH dan PMSG menghasilkan pertumbuhan volume ambing yang baik selama bunting, dengan bobot dan jumlah anak yang meningkat pada saat dilahirkan dibandingkan dengan kontrol. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan pada DP2M DIRJEN DIKTI atas bantuan dana penelitian sehingga penelitian ini bisa dilakukan yang dibiayai oleh DIPA UNJA sesuai dengan Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian Hibah Bersaing Nomor: 03/UN21.6/PL2012, Tanggal 15 Februari 2012. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu sarana dan prasarana, tenaga sehingga penelitian bisa berlangsung dengan baik. DAFTAR PUSTAKA Adriani, A. Sudono, T. Sutardi, W. Manalu dan I-K Sutama. 2003. Optimalization of kids and milk yield of Etawah-Grade does by superovulation and zinc supplementation. J. Forum Pascasarjana IPB. Vol 26(4):335-352. Adriani, A. Sudono, T. Sutardi, W. Manalu dan I-K Sutama. 2004a. The Effect of Superovulation and Dietary Zinc in Does on the Prepartum and Postpartum Growth of Her Kids . J. Pengembangan Peternakan Tropis. 29(4):177-183. Adriani, I-K Sutama, A. Sudono, T. Sutardi, dan W. Manalu. 2004b. The effects of 39 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains superovulation prior to mating and zinc supplementation on milk yield in Etawah-Grade does. J. Anim. Production. 6 (2): 86-94. Adriani, Depison, B. Rosadi, Y. Supriondo dan Isroli. 2007. The Effect of Superovulation on Corpus Luteum in Simbrah cow. J. Indonesian Tropical Animal Agriculture . 32(3): 207-212. Adriani, B. Rosadi dan Depison 2009. Penggunaan Follicle Stimulating Hormone (FSH) dan Pregnant Mare Serum Gonadotrophin (PMSG) Untuk Superovulasi pada Sapi Persilangan Brahman. J. Media Peternakan 23 (3):162-169 Anderson, R.R. 1985. Mammary Gland. In. B.L Larson: Lactation. Iowa State University Press. Ames. pp:3-38. Arreseigor, C.J., A. Sisul, A.E. Arreseigor and R.C. Stahringer. 1998. Effect of cryoprotectant, thawing method, embryo grade and breed on pregnancy rates of cyopreserved bovine embryos. Theriogenology 49:160 (Abst). Artiningsih, M.N., B. Purwantara, R.K. Achjadi and I-K. Sutama. 1996. Effect of Pregnant Mare Serum Gonadotrophin injection on litter size young Etawah-Cross does. J. Ilmu Ternak dan Vet. 2(1):11-16. Bo, G.A., H. Tribulo, M. Caccia and R. Tribullo. 1998. Superovulatory response of beef heifers treated with estradiol benzoate, progesterone and CIDR-B vaginal device. Theriogenology 49: 375 (Abst). Chandra, R., P.C. Sanwal, A.G. Majmudar and M.R. Ansari. 1996. Superovulation in dairy cows: efect of GnRH treatment. Proceeding of the Twelfth International Congress on Animal Reproduction (The Hague), Sydney Cowie, A.T., I.A. Forsyth and I.C. Hart. 1980. Hormonal Control of Lactation. Berlin Heidelberg. New York. Fawden A.L. 1995. Endocrine regulation of fetal growth. In. Progres in perinatal Physiology. Reprod. Ferli. Dev. 7:351363. 40 Guiltbault, L.A., J.G. Lussier and F. Grasso. 1992. Interrelationship of hormonal and ovarian responses in superovulated response heifers pretreated with FSH-P at the beginning of the estrous cycle. Theriogenology 37: 1027-1040. Hulet, C.V. and M. Shelton. 1987. Sheep and Goats. In. E.S.E. Hafez: Reproduction in Farm Animals. 5th ed. Lea & Febiger. Philadelphia. pp: 346-357. Manalu, W. and M. Y. Sumaryadi. 1998a. Maternal serum progesterone concentration during pregnancy and lamb birth weight at parturition in Javanese Thin-Tail ewes with different litter sizes. Small Rumin. Res. 30:163169. Manalu. W. and M.Y. Sumaryadi. 1898b. Maternal serum progesterone concentration during gestation and mammary gland growth and development ot parturation in Javanese Thin-Tail ewes carrying a single or multiple fetuses. Small Rumin. Res. 27:131-136. Manalu, W., M.Y. Sumaryadi, Sudjatmogo, and A.S. Satyaningtijas. 1999. Mammary gland differential growth during pregnancy in superovulated Javanese Thin-Tail ewes. Small Rumin. Res. 33:279-284. Manalu. W dan Adriani. 2002. Peningkatan ekspresi gen pertumbuhan selama fase diferensial embrio melalui Peningkatan sekresi estrogen dan progesteron pada kambing McMillan, K.L., R.I. Henry, V.K. Terife, and P. Philips. 1990. Calving patterns in seasonal dairy herds. New Zealand Veterinary J. 38:151-155. Obst, J.M. and Z. Napitupulu. 1984. Milk yields of Indonesian goats. Proc. Austr. Soc. Anim. Prod. 15: 501-504. Pazaran, H.A.G. 1989. Effect of reduction doses of PGF 2 administered into the uterus of Holastein Frisian cows. Anim. Bredd. Abstr. 57(4): 294. Robinson, T.J. 1995. Reproduction in Cattle. In. H.H Cole and P.T. Cups. Reproduction in Domestic Animal. Adriani dan Suparjo : Volume Ambing dan Bobot Badan Anak Kambing Peranakan Etawah sebagai Respon Pemberian FSH Dan PMSG Academic Press. 3 ed. New York. pp:433-355. Revolson AM, SH Nasution, N Kusumorini, W Manalu. 2007. Growth and development of the uterus and placental of superovulated gilts. J. Hayati Biocience.(14) 1. Abstract. Setiadi, B. and P. Sitorus. 1986. Synchronization of oestrus using medroxyprogesterone acetate intravaginal sponges in goat. Reproductive Performance. Ilmu dan Peternakan 2:87-90. Schmidt. G.H. 1971. Biology of Lactation. Freeman and Company. San Francisco. Steel, R.G.D. dan J.H. Torrie. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia. Pustaka Utama. Jakarta. Sutama,IK, IGM. Budiarsana, H. Setiyanto and A. Priyanti. 1995. Productive and reproductive performances of young Etawah-cross does. J. Ilmu Ternak dan Vet. 1(2):81-85. Sujatmogo, B. Utomo, Subhiarta, W. Manalu dan Ramelan. 2001. Milk production and mammary gland differential growth as affected by pregnant mare serum gonadotrophin injection on mating program of Holstein Friesien cows. J. Trop. Anim. Dev. 26(1):8-13. Thahar, A., E. Juarini, A. Priyanti, D. Priyanto dan B. Wibowo. 1996. Usaha kambing perah rakyat sebagai salah satu sumber pendapatan rumah tangga di Jawa Timur. Proc. Temu Ilmiah Hasil Penelitian Peternakan. BPT. Ciawi. pp:195-203. Turner, C.D. and J.T. Bagnara. 1976. General Endocrinology. 6 ed. Saunders Company. Philadelphia. London. Toronto. Wahab, I.M. and R.R. Anderson. 1989. Physiologic role of relaxin on mammary gland growth in rats. Proc. Soc. Exp. Biol. Med. 192:285-289. Yulistiani, D., I.W. Mathius, I.K. Sutama, U. Adiati, R.S.G. Sianturi, Hastono and I.G.M. Budiarsa. 1999. Production response of Etawah Cross breed (PE) doe to improvement of feeding management during late pregnancy and lactation period. J. Ilmu Ternak dan Vet. 4(2):88-94. 41 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains 42