PROSPEK HAM DAN PERAN DI INDONESIA1 Oleh: Heru Nugroho Direktur Center for Crtitical Social Studies (CCSS) Dosen Fisispol UGM Secara umum kalau kita berupaya memahami fenomena Hak Asasi Manusia (HAM), baik di tingkat dunia, regional, nasional maupun lokal, apakah berpijak pada sudut kesejarahan atau kekinian, maka ada dua dimensi yang mutlak harus diperhitungkan yaitu memahami HAM sebagai suatu sistim nilai yang dicita-citakan (das Sollen) dan cenderung mengalami perkembangan dan Ham sebagai suatu praktek kehidupan (das Sein) yang multi dimensional. Atau secara awam dapat dikatakan bahwa mempalajari HAM mepertimbangkan dua kenyataan, yaitu HAM sebagai cita-cita dan HAM sebagai realita sosial. Untuk itu maka faktor yang paling penting ditelaah adalah seberapa jauh diskrepansi antara harapan dan kenyataan tersebut. Kalau dikrepansi tersebut enderung menyepit maka dapt dikatakan bahwa ada tingkat kemajuan dalam praktek HAM namun kalau dikrepansi itu elebar maka Ham sebagai suatu cita-cita cenderung menjauh dari realitasnya sehingga hal itu merupakan problem yang serius. Apabila kita berupaya merunut sejarah perkembangan sistem nilai HAM maka tonggak awal dimulainya pengetahuan HAM sudah sejak abad XII dengan lahirnya dokumen Magna Charta Libetatum yang berisi tentang penolakan penahanan , perampasan milik dan perusakan yang semena-mena oleh raja terhadap rakyat. Pada waktu itu muncul kesadaran masyarakat melalui para pemikir kenegaraannya bahwa penguasa tidak dapat berbuat semena-mena terhadap rakyatnya sehingga berkembang pengertian hak-hak kebebasan individu yang tidak boleh dilanggar. Konsep awal HAM tersebut sebetulnya merupakan respons atau perlawanan masyarakat terhadap kekuasaan raja yang semakin mutlak. Melalui pergulatan pemikiran demokrasi liberal aka sistem nilai HAM berkembang menjadi semakin elaboratif sejalan dengan perkembangan demokrasi dan penguatan masyarakat civil di negara-negara barat yang kemudian. 1 Disampaikan dalam seminar dan Lokakarya Nasional Capacity Building Pusat Studi Hak Asasi Manusia SeIndonesia, Diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia UII dan Norwegian Center For Human Right University of Oslo, di Yogyakarta 26-29 April 2004 Berkembang ke seluruh jagat sehingga sistem nilai HAM menjadi sebuah konstruksi politik yang bersifat universal. Ketika bangsa-bangsa di dunia semakin merealisasikan politik kontrak sosial untuk mengatur tata pergaulan dunia agar penjajahan dan penindasan terhadap suatu bangsa oleh bangsa lain tidak terjadi lagi maka peran Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menjadi semakin sentral. PBB pun pada tanggal 10 Desember 1948 meratifikasi sebuah dokumen tentang HAM yang terkenal dengan sebutan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) yang diumumkan lewat resolusi 271 A (III). Di dalam mukadimah deklarasi itu diakui bahwa ada martabat alamiah dan hak-hak yang sama dan tidak dapat dihilangkan dari semua anggota masyarakat manusia. Sedang dalam pasal 1 dinyatakan bahwa semua orang dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hakhak yang sama. Bagi semua negara yang tergabung dalam PBB seyogyanya memandang bahwa DUHAM secara normatif merupakan amanat politik yang harus dilaksanakan di negara masing-masing. Maka terjadilah respons dari masing-masing negara angota PBB dalam mensikapi kesepakatan penghormatan terhadap HAM yang universal tersebut. Meskipun agak terlambat secara politis Indonesia merespons DUHAM denan mengeluarkan Tap MPR Nomer XVII/MPR/1998 tentang HAM an hal in harus diakui sebagai sebuah lanhkah maju. Dalam mukadimah alinea kedua dinyatakan bahwa HAM merupakan hak-hak dasar yang melekat pada diri manusia secara kodrati, universal, dan abadi sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Esa, meliputi hak untuk hidup, hak berkeluarga, hak mengembangkan diri, hak keadilan, hak kemerdekaan, hak berkomunikasi, hak keamanan, dan hak kesejahteraan yang oleh karena itu tidak boleh diabaikan atau dirampas oleh siapa pun. Maka kalau kita membandingkan dari hasil pemaparan DUHAM dengan Tap MPR sebenarnya merupakan elaborasi tentang perlunya penegakan HAM yang semakin konkret. Persoalannya adalah apakah elaborasi sistem nilai HAM yang semakin canggih sejalan dengan perkembangan sosial tersebut dapat direalisasi ke dalam kehidupan sehari-hari atau Tap MPR dan dokumen-dokumen kontemporer yang lain tentang HAM tersebut lebih merupakan retorika dari pada praktek politik. Dalam praktek sistem nilai HAM tidak beroprasi dalam ruang yang hampa , tetapi kontek sosial, buday, ekonomi dan politik sangat memoengaruhi asang surut penegakan HAM, baik itu di tingkat internasional maupun nasional. Meskipun secara umum dapat dikatakan bahwa perjuangan menegakkan HAM secara relatif mengalami kemajuan namun hingga saat ini diskrepansi antara HAM sebagai cita-cita dan HAM sebagai realitas dalam kehidupan konkret masih terjadi. Nampak bahwa dunia yang semakin liberal, global dan borderless tidak menjamin adanya penguatan penegakan HAM yang semakin meluas. Contoh negara Amerika Serikat yang memiliki kekuatan politik adi daya dan di dalam negerinya memiliki sistem demokrasi liberal dan perlindungan HAM yang baik di beberapa wilayah (Afganistan, Irak) melakukan penindasan HAM dengan alasan membasmi rezim yang memiliki senjata pemusnah massal. Bahkan isu pembasmian terorisme yang dipelopori oleh Amerika Serikat dan didukung oleh negara-negara maju yang memiliki kepentingan ekonomi politik yang dominatif cenderung mengancam atau melanggar HAM di beberapa wilayah negara yang berdaulat. Maka dapat dikatakan bahwa di tingkat internasional perjuangan menegakkan HAM hingga saat ini masih terjadi kesenjangan antara harapan dan kenyataan, apalagi dengan melihat relasi kekuatan antara negara-negara maju dan terbelakang. Kalau kita menengok ke tanah air, perjuangan menegakkan HAM dapat dibagi menjadi epat periode waktu, yaitu zaman penjajahan (1908-1945), masa pemerintahan Orde Lama (1945-1966), periode kekuasaan Orde Baru (1966-1988) dan pemerintah reformasi (1988-sekarang). Ketika jaman penjajahan namapak bahwa perjuangan menegakkan HAM adalah mewujudkan kemerdekaan bangsa Indonesia yang terbebas dari pejajahan. Sedang pada masa Orde Lama perjuangan mewujudkan demokrasi menjadi hal yang sangat esensial meskipun penguasa cenderung melakukan pelintiran definisi seperti lahirnya konsep “demokrasi terpimpin”. Artinya, dalam setiap periode waktu kekuasaan ada kecenderungan bahwa perjuangan penegakan HAM terbentur oleh kepentingan dominatif dari kekuasaan. Demikian juga pada masa Orde Baru yang memiliki karakter kekuasaan otoriter yang banyak menuai kritik dari dunia internasional karena berbagai pelanggaran HAM cenderung menginterprestasikan HAM sisuai dengan kepentingan dominatifnya. Misalnya argumen penguasa yang menyatakan bawa HAM adalah produk pemikiran barat ang tiak sesuai dengan budaya kita, bangsa Indonesia sudah memiliki HAM yang ada dalam UUD’45 dan isu HAM adalah alat untuk memojokkan negara-negara sedang berkembang termasuk Indonesia selalu mencuat dalam panggung politik. Meskipun demikian perjuangan menegakkan HAM melalui jalur non-pemerintah seperti nya LBH, kontras, dan lain-lain. Cukup mendorong wacana HAM menjadi lebih sentral dan menjadi kontrol terhadap kekuasaan negara. Ketika rezim Suharto tumbang dan digantikan oleh rezim-rezim baru yang mengatasnamakan reformasi dan demokratisasi perjuangan menegakkan HAM juga masih berlangsung. Saat ini perjuangan menegakkan HAM bukan lagi perjuangan berserikat, mengungkapkan pendapat, dan lain-lain tetapi menjadi lebih luas seperti perjuangan memperoleh jaminan pendidikan, pelayanan kesehatan, terhindar dari kemiskinan dan realisasi kesejahteraan sosial. Kalau kita amati ada kecenderungan bahwa saat ini yang menginjak-injak HAM bukan lagi seperti masa lalu, yaitu negara yang lalim, tetapi ketika pasar bebas bergulir kekutan pasar menjadi semacam tirani yang mendominasi kehidupan manusia. Contoh kasus, saat ini pendidikan menjadi mahal dan pelayanan kesehatan menjadi komoditi yang menciptakan marginalisasi sosial. Untuk iti spektrum penegakkan HAM memang harus meluas ada rekontruksi sosial tentang HAM sebagai sistem nilai yang terus menerus diperjuangkan. Namun kalau kita memahami kekuasaan dari sisi produksi dan reproduksi kebudayaan (Pierre Baourdieu) atau kekuasaan dari sisi pengetahuan (Michel Foucaoult) maka perjuangan menegakkan HAM telah menjadi kegiatan bisns bagi fihak-fihak yang berkepentingan. Dengan bahasa yang sederhana dapat dikatakan bahwa isu tentang HAM telah menjadi arena pergulatan kekuasaan ekonomi dan politik. Dampak negatifnya adalah isu tentang perjuangan menegakkan HAM menjadi semacam komoditi, baik ekonomi maupun politik, sehingga diskrepansi antara HAM sebagai cita-cita dan realitas tidak semakin mengecil. Prospek, Kontek dan Peran Pusham Pusat Studi Hak Asasi Manusia merupakan istitusi strategis yang bernaung dibawah lembaga universitas yang dapat mengambil peran strategis dalam penegakkan HAM di tanah air, baik dari sisi emansipatoris maupun reflektif. Dari sisi emansipatoris Pusham dapat mengambil peran promotif dalam mewacanakan isu HAM yang memiliki dua dimensi yaitu akademik dan praktis. Dari sisi akademik isu tentang HAM ditempatkan sebagai subject matter yang dapat dikaji dengan mencari relevansi intelektual dan sosial secara inter disipliner, misal HAM yang dikaji dari sisi hukum, sosiologi, politik dan budaya bahkan bila dimungkinkan HAM menjadi arena trans disipliner. Dengan kata lain ketika kita membicarakan tentang isu penegakkan HAM maka yang terbayang bukan lagi ia milik disiplin hukum (atau yang lain) tetapi telah menjadi bidang kajian yang multi disiplin. Dalam hal ini Pusham dapat belajar dari isu Ekonomi Pancasila yang pernah diupayakan menjadi bidang kajian yang trans disipliner, meskipun saat ini gaungnya meredup. Bila hal itu bisa dilakukan maka Pusham dapat mengangkat dan memproduksi modul HAM yang kemudian dapat ditempatkan dalam salah satu topik mata kuliah, seperti masuk dalambagian Pancasila, Kewarganegaraan, civil Society, dll. Barang kali ini merupakan cara penguatan wacana penegakkan HAM dari sisi internal universitas. Di dunia pendidikan tinggi sangat diperlukan pengembangan wacana HAM melalui mata kuliah. Dengan demikian Pusham melakukan penguatan wacana HAM di lingkungan internal sendiri (bukan hanya eksternal). Secara eksternal Pusham dapat mengambil peran konvensional dalam mengembangkan wacana dan menegakkan HAM dalam masyarakat. Sebagai lembaga penelitian yang bernaung dibawah Universitas dan memiliki predikan “ilmiah” atau “akademik” maka kegiatan-kegiatan penguatan wacana HAM seyogyanya melalui jalurjalur diskusi, workshop, seminar baik ditingkat lokal, nasional maupun internasional. Sementara itu kegiatan secara konsisten mempublikasi buletin, jurnal dan literatur sangat penting dilakukan untuk menjaga perdebatan yang terus-menerus tentang isu tentang HAM. Kalau hal ini bisa direalisasikan maka Pusham telah memberikan sumbangan akademik baik dari sisi relevansi intelektual (teoritis) dan relevansi sosial (praktis). Perdebatan yang dibuka secara berkelanjutan akan membawa kajian HAM dan dimensi reflektif. Artinya, kita dapat mengevaluasi seberapa jauh penegakkan HAM hingga saat ini telah dilakukan dan sekaligus melakukan kritik ke dalam akan upayaupaya itu. Karena HAM telah menjadi isu yang sangat menarik dan strategis maka tidak tertutup kemungkinan dapat “dijual” ke berbagai penyandang dana, baik nasional maupun internasional. Dampak negatifnya adalah komodifikasi isu HAM menghantui setiap langkah kita upaya penegakkan HAM. Isu tentang HAM menjadi arena pertarungan kekuatan ekonomi dan politik bagi fihak-fihak yang berkepentingan. Akibatnya, perumusan masalah tentang HAM bukan lagi masalah masyarakat tetapi masalah fihak-fihak yang berkepentingan. Isu tentang HAM menjadi sekedar arena pergulatan dari pada sisterm nilai yang perlu direalisasikan. HAM menjadi “produksi budaya” sebagai sebuah arena pertarungan untuk meneguhkan kekuasaan baik secara ekonomi maupun politik bagi fihak-fihak yang berkepentingan. Oleh karena itu jangan sampai yang menonjol justru ekonomi-politik HAM tetapi pegakkan HAM justru tidak atau kurang terjadi. Dua peran Pusham yang bersifat promotif dan reflektif ini diharapkan akan menjaga wacana dan penegakkan HAM tetap pada jalur yang dianggap benar. Soga berhasil. *******