PROSPEK POLITIK DIGITAL DALAM KELAS MENENGAH INDONESIA Penetrasi internet dalam ruang publik masyarakat Indonesia mengalami intensitas kenaikan dalam setiap tahunnya. Menurut data yang dilansir dari Techinasia (2015), jumlah pengguna internet yaitu sekitar 72,7 juta jiwa dari populasi Indonesia merupakan pengguna aktif internet. Dari jumlah tersebut 62 jutanya adalah penggua aktif media sosial berbasis smartphone. Secara garis besar, pengguna media sosial tersebut adalah para kelas menengah Indonesia yang berdomilisi di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan, Makassar. Adapun platform media sosial yang menjadi favorit bagi kelas menengah tersebut adalah Facebook (14 persen), WhatsApp (12 persen), maupun Twitter (11 persen). Besarnya potensi penggunaan media sosial di Indonesia kemudian menobatkan Indonesia sebagai “the social media capital of the world” (Semiocast, 2014). Masifnya penggunaan media sosial dalam kebutuhan keseharian kelas menengah Indonesia menandakan kebutuhan akan akses informasi yang banyak, cepat, dan instan. Berbagai pesan dan informasi yang timbul dalam media sosial itulah yang kemudian diolah menjadi sumber pengetahuan utama bagi kelas menengah Indoensia dalam menilai maupun menanggapi sesuatu. Dibandingkan dengan tawaran informasi yang ditawarkan oleh media konvesional, informasi yang ditawarkan oleh media sosial menawarkan ruang debat publik karena baik komunikan maupun komunikator dapat secara langsung saling menguji realibilitas substansi informasi tersebut. Selain itu, hal lain yang menjadi perhatian penting, bahwa suatu keniscayaan bahwa media di Indonesia adalah bagian dari konglomerasi politik sehingga menjadikan informasi sebagai bagian dari proses agitasi dan propagnda politik terhadap publik (Haryanto, 2011). Maka, media sosial merupakan bentuk konvergensi informasi dalam era sekarang dimana informasi berasal dari multiarah dan multisumber. Perkembangan teknologi dan informasi yang kini sudah berbasis Web 2.0 menawarkan ruang dialogis sehingga semua orang bisa menjadi informan dan penerima, terlepas dari kebenaran maksud informasi tersebut bermuatan politik atau tidak (Abugaza, 2013). Dengan kata lain, media sosial memberikan ruang bernama cyberspace untuk mendorong adanya deliberasi nilai-nilai demokrasi seperti halnya kesukarelaan (voluntarism), kesamaan (egalitarianism), maupun juga berjejaring (networking) dalam kondisi demokrasi kontemporer. Oleh karena itulah, sangatlah penting dan signifikan untuk mengelaborasi lebih lanjut mengenai eksistensi media sosial dalam kelas menengah Indonesia. Media Sosial sebagai Manifestasi Politik Digital Eksistensi media sosial dalam kelas menengah Indonesia merupakan salah satu bentuk dari implementasi politik digital. Pengertian politik digital secara sederhana dapat dikatakan sebagai ruang pembentuk ikatan–ikatan politik dalam masyarakat berbasis konten teknologi yang sifatnya memperkuat atau mengurangi kadar demokrasi (Postill, 2012; Coleman, 2015, et.al.). Pada dasarnya pengertian politik digital secara harfiah adalah arena besar yang memungkinkan adanya partisipasi, representasi, maupun artikulasi kepentingan kemudian bersinergi dan berkontestasi satu sama lain melalui konten digital sebagai agennya. Adapun kajian mengenai politik digital di antara kalangan ilmuwan sosial politik studi politik Indonesia masih langka. Studi awal yang mengangkat mengenai kajian politik digital datang dari Hill dan Sen (2005), keduanya menyoroti fungsi mailing list maupun blackmail sebagai agen perantara ide-ide demokrasi pada konteks Orde Baru. Selanjutnya kajian digital politik di Indonesia. Studi selanjutnya oleh Merlyna Lim (2013) maupun Nugroho (2010) yang mengritisi adanya peran internet khususnya media sosial berperan besar untuk menciptakan kesadaran politik bagi masyarakat. Adapun kajian mutakhir dari Postill (2015) melihat adanya keterikatan politik yang tercipta dari interaksi kelas menengah dalam sosial media. Secara garis besar, tingkatan politik digital kelas menengah Indonesia terdapat beberapa tahapan yakni political awareness (kesadaran politik), political engagement (keterikatan politik), dan kini political activism (aktivisme politik). Dalam beberapa kasus munculnya gerakan misalnya Gerakan 1 Juta Pendukung KPK, Koin Cinta Prita, maupun Relawan pada Pemilu 2014 menunjukkan kesadaran politik yang dipicu media sosial kini sudah mengarah dari semula gerakan moral yang berbasis keterikatan politik (political engagement) mulai menjadi gerakan politik (political activism). Namun adanya transisi itu juga belum bisa dijadikan parameter mendasar mengingat derajat kesadaran politik kelas menengah politik Indonesia yang masih fluktuatif tergantung pada konteks yang mempengaruhi. Konstruksi terhadap preferensi politik kelas menengah Indonesia tergantung seberapa jauh isu tersebut itu di-endorse dan kemudian influencer menyebarkan isu tersebut sebagai masalah atau kepentingan bersama (common interest) bagi kelas menengah Indonesia. Premis tersebut yang sebenarnya menjadi titik pijak bahwa keberadaan media sosial Indonesia perlu untuk dioptimalkan sebagai media politik. Prospek dan Titik Krusial Politik Digital Kelas Menengah Indonesia Terdapat dua premis penting untuk mengerangkai poltik digital bagi kelas menengah Indonesia yakni 1) penguasaan domain internet itu lebih baik menjadi arena kontrol negara atau menjadi arena kepemilikan bebas bagi masyarakat untuk mengaksesnya, dan 2) intensitas penggunaan internet khususnya media sosial bagi kelas menengah Indonesia masih dimaknai sebatas aktivitas leisure dan pleasure, dan bukan mengarah pada kegiatan politik. Persoalan pada poin pertama terletak pada keberadaan UU No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang banyak memuat pasal multitafsir yang bisa berpotensi mereduksi aktivisme media sosial bagi kelas menengah. Penetrasi negara berupa pengaturan internet sebenarnya sudah banyak dilakukan misalnya saja pemberlakuan gateway untuk melarang konten pornografi, judi online, hack, maupun phising, dan juga pemberlakuan slogan Internet Sehat untuk mengajak publik mengakses internet hanya untuk keperluan normatif saja. Persoalan pada poin kedua terletak pada kebutuhan internet bagi masyarakat Indonesia yang lebih pada urusan pleasure dan leisure. Artinya bahwa internet belum menjadi arena penting untuk berdebat dan berdiskusi terhadap isu-isu terbaru. Terhadap dua persoalan tersebut, prospek politik digital berbasis media sosial akan tetap memainkan peranan penting dalam masa depan demokrasi Indonesia ke depannya. Budaya politik kelas menengah perlu diubah dari sekedar pleasure menjadi kelompok politik ekstra parlementer. Hanya saja yang menjadi masalah krusial adalah pengaturan internet di Indonesia. Di satu sisi, negara ingin melakukan penetrasi sekaligus juga proteksi terhadap konten internet, namun di sisi lainnya, pengaturan tersebut merupakan cara yang represif melakukan sensor terhadap aktivisme politik kelas menengah Indonesia. Maka kedepannya, perlu dirumuskan adanya parameter yang tepat untuk mendudukkan posisi internet dalam relasi negara dan masyarakat yakni apakah internet sebagai public goods ataukah private goods. Namun yang jelas internet kini sudah berkembang menjadi arena baru bagi demokrasi Indonesia. (Wasisto Raharjo Jati / Peneliti di Pusat Penelitian Politik – LIPI) Daftar Pustaka