Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah di Indonesia

advertisement
Buletin AgroBio 4(2):62-68
Perbaikan Teknologi Produksi
Kacang Tanah di Indonesia
Muhammad Sudjadi dan Yati Supriati
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan, Bogor
ABSTRACT
The Improvement of Peanut Production Technology in Indonesia. M. Sudjadi and
Y.
Supriati. Peanut is an important commercial agricultural commodity which is highly competitive
to other food crops since it offered more benefit to the farmers. Besides it has high lipid and
protein content. The average peanut productivity in Indonesia is still low, therefore it could not
fulfill the domestic demand. Improvement of peanut production need to be done through crop
intensification, which are focused on the lowland, upland, and acidic soil area. On the lowland
area, peanut cvs. Gajah, Kelinci, and local variety which were grown at a 20 cm x 20 cm plant
spacing, fertilized with 25 kg urea, 50 kg TSP, and 50 kg KCl/ha, respectively, yielded up to 2.0
t/ha, with an average of 1.5 t/ha. Under this condition, irrigation was done five times at an
interval of 10-15 days, while pest control was done as necessary. On upland area, cv. Tuban
that was grown at a 40 cm x 10 cm plant spacing or 250.000 plant/ha and fertilized with 50 kg
urea, 75 kg TSP, and 75 KCl/ha, yielded 1.5-2.0 t/ha. In an effort to minimize yield losses due to
pests and diseases, methyl thiophanate 70% and monocrotophos 150g/l were applied at 7-9
weeks after sowing, while carbofuran 3% was broadcasted just before sowing. The use of soil
conditioner in the upland area also increased peanut yield by 20% on a Latosol and 69% on
Grumusol soil types. In acidic soil area, soil amelioration using green manure, organic matter,
and lime undoubtedly improved soil fertility, thus improved peanut yield. In order to maximize
the yield of peanut per hectare in the acid soil, the use of high yielding variety, combined with
proper plant population, planting season, and integrated pest control were the main factors for
improving peanut yield in the area. On the other hand, however, there are a number of
constraints to the small scale farmer to implement the improved technology for peanut cropping.
This, particularly, due to the lack of farmers’ technical knowledge, market information, and
financial supports. Generally, government policy that is conducive to peanut farmers, such as
in maintaining availability of inputs, price stability, and trade system are necessary to promote
and improve peanut production in the country.
Key words: Peanut, production technology, lowland, upland, acid soil
K
acang tanah (Arachys hypogaea L. Merr.) umumnya ditanam petani di lahan kering/tegalan
dan tadah hujan serta lahan
bukaan baru pada musim hujan
maupun di awal musim kemarau
(70%) dan selebihnya (30%)
ditanam di lahan sawah beririgasi
pada musim ke-marau setelah
padi. Total luas pa-nen kacang
tanah di Indonesia pa-da tahun
1998 mencapai 649.600 ha, dengan
produksi
polong
kering
(gelondongan) rata-rata 1,064 t/ha.
Dibandingkan dengan tahun 1995
menunjukkan adanya pengurangan
luas panen (tahun 1995 seluas
739.305 ha), namun produktivitas
per hektar sedikit meningkat dari
1,028 t/ha pada tahun 1995 menjadi
1,064 t/ha pada tahun 1998. Total
produksi polong kering kacang
tanah tahun 1997, sebesar 688.345 t
dan naik menjadi 691.300 t pada
tahun 1998 (Tabel 1). Daerah sentra
produksi utama kacang tanah di
Indonesia ialah Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Jawa Barat dengan
produksi polong kering rata-rata di
tingkat petani sebesar 1,02-1,11
t/ha.
Budi daya kacang tanah memberikan keuntungan yang lebih
ting-gi
dibandingkan
dengan
tanaman palawija lain seperti
jagung, kede-lai, dan kacang hijau.
Di samping itu, kacang tanah
merupakan ta-naman komersial
dan sebagai sum-ber pendapatan
penting bagi petani di lahan kering
dan lahan bekas sa-wah. Risiko
kegagalan panen ka-cang tanah
akibat serangan hama dan penyakit
lebih kecil dibanding-kan dengan
kedelai. Produksi ka-cang tanah
memberikan kontribusi sebesar
60% dari pendapatan peta-ni di
daerah sentra produksi di Tu-ban,
Jawa Timur (Adie et al., 1995).
Apabila pada saat panen daun ta-
Tabel 1. Perkembangan luas panen, hasil rata-rata, dan produksi kacang tanah nasional serta
ekspor dan impor selama Pelita V dan VI
Tahun
Impor
Produksi
a
(t)
Volume (t)
Nilai (US$)
Luas
panen (ha)
Hasil rataa
rata (t/ha)
1989
409.064
1.017
415.980
1990
420.231
1.054
443.131
1991
403.012
1.063
428.485
1992
467.228
1.049
490.130
1993
395.080
1.025
405.220
1994
642.998
0.983
631.971
1995
739.305
1.028
780.148
1996
680.908
1.071
737.815
1997
628.100
1.096
688.345
1998
649.600
1.064
691.300
Ekspor
Volume (t)
Nilai (US$)
Pelita V
a)
0
b) 14.482
319
49.768
1.609
94.608
1
54.892
0
108.097
0
8.056.755
640.480
22.482.131
640.480
31.335.303
133
58.900.370
133
58.900.370
680
173
327
0
171
44
696
20
1.251
0
329.919
430.692
181.425
0
54.787
48.958
449.519
12.000
2.699.673
0
0
150.902
2
148.853
1.211
161.951
16
170.770
0
89.818.360
3.733
99.876.217
1.287
116.980.470
12.204
112.082.135
2.518
33
2.699.676
13.479
Pelita VI
a = bentuk polong kering (gelondongan), b = bentuk biji kering (bungkil)
Hak Cipta  2001, Balitbio
Sumber: BPS (1993a; 1993b; 1997; 1998)
2001
M. SUDJADI DAN Y. SUPRIATI: Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah
naman kacang tanah tidak terserang penyakit, maka produksi daun
yang diperoleh sebesar 5 t/ha dapat
dijual dan daun kering digunakan
untuk pakan ternak (Sumarno,
1993).
Selama Pelita V dan VI, produksi polong kering kacang tanah
mengalami sedikit peningkatan
dan agak berfluktuasi. Apabila
dilihat
dari
hasil
rata-rata,
kenaikannya juga kecil (0,9-1,1
t/ha). Pada Pelita VI (1994-1998),
produksi mencapai lebih dari
700.000 t per tahun dengan
produktivitas 1,1 t/ha. Kebu-tuhan
kacang tanah terus mening-kat,
tetapi produksi dalam negeri belum
mampu mengimbangi per-mintaan
dalam negeri terutama un-tuk
industri pangan. Oleh karena itu,
terpaksa dilakukan impor yang
angkanya telah mencapai rata-rata
171.000 t pada tahun 1997 (Tabel 1).
PEMANFAATAN KACANG TANAH
Pengolahan hasil kacang tanah
akan memberikan nilai tambah secara ekonomi. Kacang tanah dimanfaatkan untuk bahan pangan,
industri, dan pakan. Kacang tanah
mengandung lemak 45% dan protein 27%. Hampir sebagian besar produksi kacang tanah digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku industri pengolahan, seperti
bumbu pecel/gado-gado, biskuit,
kacang garing/asin, minyak nabati,
saus, selai, susu, dan pakan ternak.
Beberapa industri yang menggunakan bahan baku kacang tanah dapat dikategorikan sebagai industri
pangan dan industri pakan. Selain
itu, kacang tanah dalam bentuk
bungkil (ampas kacang tanah)
yang di Jawa Barat digunakan
untuk
pembuatan
pangan
(oncom), ma-sih harus diimpor
untuk kebutuhan industri pakan
ternak unggas, ikan, dan hewan
lain sebesar 13,537 t. Total
kebutuhan bungkil untuk industri
pakan ternak mencapai 48,960
t/tahun, sedangkan industri pangan
memerlukan kacang tanah dalam
bentuk
gelondongan
(polong
kering) 36,500 t dan bentuk kupas
(biji) 2,788 t/tahun (BPS, 1990).
Kebutuhan dalam bentuk polong
kering meningkat tajam pada tahun
1997, yaitu jumlah produksi dalam
negeri dan impor menjadi 759,345
t. Dengan demikian, peluang pasar
dalam negeri saja membutuhkan
bahan baku cukup besar.
Peningkatan kebutuhan kacang
tanah di dalam negeri berkaitan
erat
dengan
perkembangan
industri
pangan
dan
pakan.
Kebutuhan ben-tuk polong kering
dan biji dalam ne-geri untuk
industri pangan terutama untuk
pabrik kacang garing (kacang asin
dan kacang atom) lebih ba-nyak
memilih jenis biji ukuran se-dang
dengan rasa gurih. Jenis ini diperoleh dari varietas lokal seperti
Jepara, Subang, dan Majalengka
de-ngan umur genjah (85-95 hari),
sedangkan kekurangannya sering
diimpor dari India dan Thailand.
PRODUKTIVITAS KACANG TANAH
Produktivitas kacang tanah nasional rata-rata per hektar sejak tahun 1994 sampai dengan 1998 cenderung terus meningkat, yaitu 0,983
t/ha (tahun 1994), 1,028 t/ha (tahun
1995), 1,071 t/ha (tahun 1996),
1,096 t/ha (tahun 1997), dan 1,064
t/ha (tahun 1998) (Tabel 1).
Kenaikan rata-rata produksi kacang
tanah per hektar di luar Jawa sejak
tahun 1994 adalah 0,99 t/ha (tahun
1994), 1,044 t/ha (tahun 1995),
1,075 t/ha (tahun 1996), dan 1,088
t/ha (tahun 1997) (BPS, 1998).
Kenaikan pro-duktivitas kacang
tanah per hektar antara lain
dipengaruhi
oleh
peng-olahan
tanah,
kesuburan
tanah,
penggunaan benih varietas unggul,
waktu tanam yang tepat, irigasi, pemupukan, dan pengendalian organisme pengganggu tanaman.
63
TEKNOLOGI BUDI DAYA PADA
LAHAN SAWAH
Pengembangan produksi kacang tanah antara lain dapat ditempuh dengan melakukan perbaikan
budi
daya
melalui
usaha
intensifika-si. Dalam skala demplot
pada lahan sawah di Kabupaten
Subang, Jawa Barat pada tahun
1993 diterapkan paket teknologi
budi
daya
kacang
tanah
(Adisarwanto et al., 1996), se-bagai
berikut:
a. Tanah diolah intensif dan dibuat
bedengan selebar 2 m.
b. Jarak tanam 20 cm x 20 cm,
1 biji/lubang.
c. Perlakuan benih menggunakan
fungisida Captan 2 g/kg benih.
d. Varietas yang digunakan adalah
Gajah, Kelinci, dan Lokal.
e. Pemupukan menggunakan 25
kg urea + 50 kg TSP + 50 kg
KCl/ha. Pupuk ditaburkan di antara dua baris tanaman, 7-10
hari setelah tanam.
f. Pengendalian hama dan penyakit hanya sekali.
g. Pengairan dilakukan lima kali,
dengan interval 10-15 hari.
Hasil penerapan paket teknologi menunjukkan bahwa sekitar 60%
petani memperoleh 1,5-2,0 t polong/ha, sedangkan hasil petani
tan-pa penerapan paket teknologi
ha-nya 0,9-1,4 t polong/ha. Selain
itu, 17% petani mampu mencapai
hasil di atas 2,0 t polong/ha dan
23% memperoleh hasil 0,92-1,50 t
polong/ha.
Penelitian lain dengan menerapkan paket pengolahan lahan
seperti di atas ditambah dengan
pe-nyiangan gulma dua kali (3 dan
6 mst) mampu menaikkan hasil
dari 1,4 t/ha menjadi 1,67 t/ha (naik
20%) di Jawa Barat (Arsyad et al.,
1983).
TEKNOLOGI BUDI DAYA PADA
LAHAN KERING
64
Penerapan paket teknologi
budi daya kacang tanah pada lahan
ke-ring dalam skala demplot di
Kabu-paten Tuban, Jawa Timur
pada mu-sim kemarau tahun 1993
(Adisar-wanto et al., 1996) adalah
sebagai berikut:
a. Tanah diolah dan digaru menggunakan tenaga ternak.
b. Daya kecambah benih >90%,
jumlah benih 80 kg/ha.
c. Varietas yang digunakan Lokal
Tuban.
d. Pemupukan menggunakan 50
kg urea + 75 kg TSP + 75 kg
KCl/ha, disebar sebelum tanam.
e. Populasi 250.000 tanaman/ha,
benih ditanam dalam barisan di
belakang bajak dengan jarak antarbajak 40 cm dan jarak antarbenih dalam alur bajak 10 cm.
f. Penyiangan dilakukan dua kali,
yaitu pada 2 dan 4 minggu setelah tanam.
g. Pengendalian hama dan penyakit:
− penyemprotan fungisida Topsin M 70 WP (metil tiofanat:
70%) pada 7 dan 9 minggu setelah tanam untuk mencegah
penyakit bercak daun.
− insektisida Furadan 3 G
(karbofuran: 3%) sebanyak 10
kg/ha disebarkan sebelum tanam untuk mencegah serangan hama rayap.
− penyemprotan Azodrin 15
WSC (monokrotofos: 150 g/l)
pada 63-56 hari setelah tanam
untuk mengendalikan thrip
dan serangga hama daun.
h. Panen dilakukan pada saat tanaman berumur 100 hari.
Hasil penerapan paket teknologi menunjukkan bahwa sekitar
67,7% petani memperoleh 1,5-2,0 t
polong kering/ha, sedangkan hasil
petani tanpa penerapan paket teknologi hanya 0,9-1,4 t polong/ha.
Se-lain
itu,
21,3%
petani
memperoleh hasil di atas 2,0 t
BULETIN AGROBIO
polong/ha dan 11,0% petani
memperoleh hasil 0,84-1,50 t
polong/ha.
Dilaporkan bahwa pola paket
teknologi produksi kacang tanah
untuk lahan kering di Jawa Tengah,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
dan Nusa Tenggara Timur mampu
meningkatkan hasil dari 0,6-1,5 t
polong kering/ha (paket petani)
menjadi 1,8-2,5 t/ha (naik 40-67%).
Paket tersebut meliputi pengolahan
tanah dua kali, populasi 250 tanaman/ha (jarak tanam 40 cm x 10 cm
dengan 1 biji/lubang), pemupukan
menggunakan 50-70 kg urea/ha +
50-75 kg TSP/ha + 50-75 kg KCl/ha,
penyiangan gulma dua kali, serta
pengendalian hama secara pemantauan dan pengendalian penyakit 24 kali (Harsono et al., l993).
Sutarto et al. (1993) melaporkan bahwa di tanah Latosol (Bogor), pengolahan tanah sedalam 40
cm, dan pemberian pembenah tanah (Agri-Sc) dapat meningkatkan
hasil 20% (2,09 t/ha). Di tanah Grumusol (Wonosari, DIY), pemberian
bahan organik OST menaikkan hasil 69%, pemberian pupuk kandang
naik 76%, dan pemberian pembenah tanah Agri-Sc naik 96%, sedangkan tanpa perlakuan hasilnya
hanya 1,28 t polong kering/ha.
TEKNOLOGI BUDI DAYA PADA
LAHAN MASAM
Pengembangan produksi pertanian di lahan masam (pH kurang
dari 6,5) memerlukan teknologi
khusus yang berkaitan dengan sistem drainase, teknik bercocok tanam, dan penggunaan varietas
yang mudah beradaptasi (Djaenudin dan Sudjadi, 1987). Usaha perbaikan lahan masam, yaitu tanah
Podsolik Merah Kuning (PMK),
Latosol, dan gambut atau pasang
surut yang luas di luar pulau Jawa,
prospektif bagi pengembangan kacang tanah dibandingkan dengan
komoditas lainnya (Sumarno et al.,
VOL 4, NO. 2
1988). Lahan tersebut miskin unsur
hara makro (N, P, K) dan unsur
mikro. Reaksi tanah sangat masam
sampai masam (pH 3,5-5,5),
kapasi-tas
tukar
kation
dan
kejenuhan basa sangat rendah,
kejenuhan Al tinggi, dan peka
terhadap erosi (Djaenudin dan
Sudjadi, 1987).
Perbaikan (ameliorasi) lahan
masam tersebut dapat dilakukan
dengan pemupukan dan pencucian
tanah asam. Dilaporkan bahwa
penggunaan pupuk hijau dan serasah dengan tanaman leguminosa
(Crotalaria sp., Mucuna sp., Phaseolus sp., Acasia sp., Sesbania sp.,
Theprosia sp., dan Indigofera sp.),
non leguminosa (kipait/Tithonia
diversifolia,
kirinyu/Eupatorium
palascens), pupuk kandang, dan
kompos
dapat
menambah
kesubur-an lahan (Sutarto, 1985).
Pupuk hijau dapat mengurangi
pemberian kapur (CaCO3) untuk
mengurangi kemasaman tanah.
Satu ton pupuk hijau setara dengan
1 t kapur (Asahi, 1977). Dilaporkan
bahwa pemberian 3 t kapur tidak
menaik-kan hasil varietas Macan
secara nyata di lahan PMK Way
Abung, Lampung, pada musim
hujan 1983/ 84 karena adaptasi
varietas
Macan
cukup
baik
terhadap lahan masam tersebut.
Pada tahun berikutnya, pemberian
135 kg P2O5/ha dan kapur 2,25 x
Aldd setara 3.375 t CaCO3/ha
tercapai hasil tertinggi sebesar
2,364 t polong kering/ha atau naik
sebesar
15,5%
dibanding-kan
dengan tanpa pemberian ka-pur.
Pemberian pupuk N, P, K, dan Mo
dapat menaikkan hasil 41,5% (2,346
t/ha) apabila dibandingkan dengan
N, P, K saja (1,658 t/ha) dan naik
sebesar 54,5% (2,561 t/ha) de-ngan
pemberian N, P, K + Mo + Mg + S.
Hasil
varietas
Macan
tanpa
pemupukan hanya 1,415 t/ha.
Takaran per hektar pupuk urea,
TSP, dan KCl, yaitu 45 kg N, 90 kg
P2O5, dan 50 kg K2O; sedangkan
2001
M. SUDJADI DAN Y. SUPRIATI: Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah
takaran unsur mikro 2 kg amonium
hepta molibdat (1,087 kg Mo), 100
kg belerang (80 kg S), dan 300 kg
Kieserit (30,5 Mg) (Sutarto, 1985).
Untuk mengurangi pemberian pupuk N dan P sampai setengahnya,
disarankan menggunakan pupuk
hayati Rhizoplus, Bio-Lestari, dan
Bio-Fosfat (Balitbio, 1998; 1999;
2000).
Di
lahan
PMK
Lampung
Tengah, pemupukan dengan 60 kg
K2O + 30 kg MgO + 30 kg S/ha dan
pengapur-an 1 t CaCO3 dapat
meningkatkan hasil 30% (2,21 t
polong kering/ha) dibandingkan
dengan tanpa per-lakuan. Selain
itu, pengendalian penyakit utama,
yaitu bercak daun Cercospora dan
karat di Lampung Tengah dengan
fungisida fenetrazol 25% (Folicur
250 EC) dan bitertanol 30% (Baycor
300
EC)
dengan
dosis
1
l/ha/aplikasi dapat meningkatkan
hasil kacang tanah berturut-turut
43,4 dan 29,7% dibandingkan
dengan tanpa perlakuan (Sudjadi,
1989).
POPULASI TANAMAN OPTIMAL,
KEPERLUAN BENIH, DAN
MUSIM TANAM
Kacang tanah ditanam dengan
jarak 40 cm x 15 cm atau 30 cm x
20 cm (populasi 165.000 tanaman/
ha) pada lahan yang subur, sedangkan pada lahan yang kurang subur,
jarak tanam yang digunakan 40 cm
x 10 cm atau 20 cm x 20 cm
(250.000
tanaman/ha).
Petani
biasa-nya menanam varietas lokal
de-ngan
jarak
tanam
tidak
beraturan (populasi sekitar 300.000
tanaman/ ha). Kebutuhan benih
untuk jarak tanam tersebut dengan
bobot biji rata-rata kurang dari 0,5
g/biji diper-lukan 90 kg biji atau 180
kg polong kering/ha. Dengan
demikian, bila hasil per hektar 1 t
polong
kering,
maka
untuk
kebutuhan 800.000 t/ta-hun perlu
lahan seluas 800.000 ha, sehingga
pengadaan benih kacang tanah
dalam bentuk polong seba-nyak
144.000 t/tahun.
Di Indonesia, penanaman kacang tanah pada lahan tegalan dilakukan tiga kali dalam setahun,
yaitu dari bulan Oktober sampai
Januari dan Februari sampai Mei
(musim hujan), serta April sampai
Juli (mu-sim kemarau). Sedangkan
pada lahan bekas sawah beririgasi
di-lakukan dua kali dalam setahun,
yaitu dari bulan Maret sampai Juni
dan Juli sampai September (musim
kemarau). Data BPS menunjukkan
bahwa perkembangan luas panen
dan produksi pada Pelita V dalam
musim tanam Januari sampai April
hampir stabil tetapi meningkat pada penanaman September sampai
Desember dan berfluktuasi pada
penanaman Maret sampai Agustus.
Pada Pelita V (di Jawa), luas panen
dan produksi tampak lebih tinggi
pada musim tanam bulan Mei sampai Agustus dibandingkan dengan
musim tanam Januari sampai April,
tetapi terjadi sebaliknya bila ditanam di seluruh pulau antara kedua
musim tersebut (Pelita VI), sedangkan pada musim tanam bulan Sep-
65
tember sampai Desember selalu lebih rendah. Hal ini karena luas panen di Indonesia pada musim tanam Januari sampai April lebih luas
akibat dari penambahan areal
tegalan di luar Jawa.
VARIETAS UNGGUL
KACANG TANAH
Sejak tahun 1983-1992 banyak
varietas unggul kacang tanah yang
telah dilepas oleh pemerintah, baik
yang berumur kurang dari 100 hari
maupun di atas 100 hari (Tabel 2).
Beberapa varietas yang mempunyai potensi hasil 2,0-3,4 t/ha antara lain varietas Pelanduk, Tupai,
dan Badak (2,0 t/ha), varietas Kelinci (2,3 t/ha), varietas Komodo (1,43,3 t/ha), varietas Biawak (1,1-3,4
t/ha), dan varietas Zebra (2,4 t/ha).
Varietas
tersebut
mampu
mencapai potensi hasilnya bila
ditanam pada lahan kering dan
tadah hujan yang cukup air dengan
pemupukan yang optimal serta
pengendalian hama dan penyakit
(Heriyanto dan Subagio, 1998).
Varietas lokal se-perti varietas
Tuban yang telah di-murnikan
benihnya ternyata pro-duktivitasnya
Tabel 2. Varietas unggul kacang tanah yang dilepas pada tahun 1950-1992
Varietas
(tahun lepas)
Gajah (1950)
Macan (1950)
Kidang (1950)
Banteng (1950)
Rusa (1983)
Anoa (1983)
Tapir (1983)
Pelanduk (1983)
Tupai (1983)
Kelinci (1987)
Jepara (1989)
Landak (1989)
Mahesa (1991)
Badak (1991)
Komodo (1991)
Biawak (1991)
Trenggiling (1992)
Simpai (1992)
Zebra (1992)
Umur polong tua Hasil rata-rata Bobot 100 biji
(hari)
(t/ha)
(g)
100
100
100
100
100-110
100-110
95-100
95-100
95-100
95
89-97
89
95-100
95-103
80-90
80-90
90
95
95-100
1,8
1,8
1,8
1,8
1,9
1,8
1,9
2,0
2,0
2,3
1,2
1,8
1,6
2,0
1,4-3,3
1,1-3,4
1,8
1,9
2,4
53
47
49
48
45
56
57
56
45
45
43
43
46
48
35
Reaksi ketahanan penyakit
Layu bakteri
Karat
Bercak daun
T
T
T
T
T
T
T
T
T
M
AT
AT
T
T
T
T
AT
AT
-
AR
AR
AR
AR
T
T
R
R
R
T
T
M
M
T
T
M
AR
AR
AR
AR
T
T
R
R
R
AT
R
R
R
M
M
T = tahan, AT = agak tahan, M = moderat/sedang, AR = agak rentan, R = rentan
Sumber: Kasim dan Djunainah (1993)
BULETIN AGROBIO
66
sama dengan varietas
(Sumarno et al., 2000).
Gajah
Benih kacang tanah untuk keperluan petani diadakan dan diatur
oleh Direktorat Bina Produksi dan
perbanyakannya dilakukan di Balai
Benih Induk dan Balai Benih di
daerah berupa benih sertifikasi, yaitu benih bermutu dan sehat. Untuk
mendapatkan benih sehat yang bebas penyakit benih utama, yaitu virus belang (PStV) harus dipilih dari
tanaman yang bebas dari serangan
virus tersebut di lapang. Benih kacang tanah memiliki keunggulan
karena dapat disimpan lama sampai satu tahun dalam bentuk
polong kering dengan kadar air 9%.
Penu-runan mutu benih karena
polong atau biji yang kurang kering
(di atas 12%) umumnya akan
terkena
se-rangan
jamur
Aspergillus
flavus,
pe-nyebab
timbulnya racun afla (afla-toksin)
yang berbahaya bagi kese-hatan
ternak
dan
manusia
yang
mengonsumsinya.
PENGENDALIAN ORGANISME
PENGGANGGU TANAMAN ATAU
HAMA SECARA TERPADU
Program pengendalian hama
secara terpadu bertujuan mendidik
dan memberdayakan petani agar
menjadi ahli pengendalian hama
terpadu (PHT) melalui pemantauan
sendiri keadaan organisme pengganggu tanaman (OPT) di lapang
dan mengambil keputusan sebagai
hasil analisis ekosistem untuk
mela-kukan
tindakan
pengendalian, per-lu atau tidak
dikendalikan OPT ter-sebut dari
fase
ke
fase
pertumbuh-an
tanaman. Berbagai OPT, yaitu
patogen penyebab penyakit, hama
serangga, dan tikus serta gulma dapat menjadi faktor pembatas produksi kacang tanah. Penyakit utama yang sering muncul ialah penyakit layu bakteri (Pseudomonas
solanacearum) penyebab kematian
tanaman muda, penyakit karat
(Puccinia arachidis), bercak daun
(Cercosporidium personatum), penyebab daun cepat gugur dan penyakit belang oleh virus (Peanut
Stripe Virus/PStV) yang menyebabkan daun menguning dan menurunkan hasil. Virus ini dapat ditularkan melalui benih atau kutu
daun (Aphis craccivora). Penggunaan
varietas
tahan
sangat
dianjurkan.
Teknik bercocok tanam dengan
pola padi-palawija-padi (sawah)
atau palawija-kacang tanah (tegalan) dengan cara menanam serempak pada satu hamparan dan tepat
waktu tanam dapat memutuskan
siklus hidup patogen-patogen tersebut sehingga dapat mengurangi kehilangan hasil yang diakibatkannya.
Bila serangan cukup besar dan
mencapai ambang ekonomi (20%),
perlu dilakukan pengendalian secara hayati yang ramah lingkungan
dengan memanfaatkan mikroba
antagonistik seperti Pseudomonas
fluorescens, Saccharomyces cerevisiae, Bacillus subtilis, Xanthomonas
sp. atau Actinomycetes; atau mengaplikasi fungisida sistemik menurut
dosis anjuran seperti triadimefon
(Bayleton), bitertanol (Baycor),
mankozeb + karbendazim (Delsene
MX-200) atau fenetrazol (Folicur)
untuk karat dan bercak daun serta
bakterisida streptomycin (Agrept)
untuk penyakit layu.
Hama serangga utama yang
muncul pada fase muda ialah kutu
daun (Aphis craccivora) sebagai
vektor virus belang kacang tanah
(PStV) dan kutu daun hitam (Orosius argentatus) sebagai vektor mikoplasma, penyebab penyakit sapu
setan yang menyebabkan polong
tidak terbentuk. Pada fase lebih
lanjut, daun sering dimakan oleh
ulatgrayak (Spodoptera litura), ulat
jengkal (Chrysodeixis chalcites),
pengorok daun (Bilola subsecirella,
Aproaerema modicella), penggulung daun (Lamprosema indicata),
VOL 4, NO. 2
dan pengisap daun (Empoasca
sp.). Pada waktu yang sama, perlu
dila-kukan pemantauan di lapang.
Apa-bila terdapat banyak musuh
alami yang dapat berperan sebagai
pene-kan populasi hama tersebut
maka pestisida tidak digunakan
atau
di-batasi
pemakaiannya
secara bijak-sana.
Keberadaan musuh alami berupa predator antara lain laba-laba,
capung, semut, belalang sembah,
tabuhan, kumbang Coccinellidae,
dan kumbang Carabidae serta
para-sitoid Apanteles sp. Apabila
tidak dapat menekan hama di
bawah ambang ekonomi (2-5 ekor
ulat/
tanaman),
maka
perlu
dilakukan
aplikasi
insektisida.
Untuk mence-gah serangan tikus
yang sering ter-jadi pada pola padikacang tanah-padi (sawah), petani
di
Jawa
Barat
biasanya
menggunakan batang pi-sang yang
digelindingkan pada ta-naman
sehingga menyulitkan tikus masuk
dan merusak polong bernas dalam
tanah
atau
memberi
pengemposan asap pestisida pada lubang-lubang persembunyian tikus,
sedangkan masalah gulma dapat
diatasi dengan dua kali penyiangan
pada umur 3 dan 5-6 minggu setelah tanam (mst) disertai pembumbunan tanaman sesudahnya.
BIAYA PRODUKSI KACANG TANAH
Biaya produksi kacang tanah
rata-rata per hektar di Indonesia
pa-da tahun 1996 sebesar Rp
327.560 atau 22,50% dari total nilai
produksi sebesar Rp 1.455.601.
Perbandingan antara total nilai
produksi dengan biaya produksi
per hektar kacang tanah kira-kira 5
: 1. Persentase pe-ngeluaran biaya
produksi tersebut menurun sebesar
24,08 % apabila dibandingkan
dengan
pengeluaran
biaya
produksi tahun 1995 dan 27,97%
(tahun
1994).
Alokasi
biaya
produksi relatif rendah dibanding-
2001
M. SUDJADI DAN Y. SUPRIATI: Perbaikan Teknologi Produksi Kacang Tanah
kan dengan kebutuhan optimal
biaya produksi kacang tanah, yaitu
untuk pengadaan sarana produksi
berupa pestisida dan pupuk. Biaya
produksi di tingkat petani terutama
dipengaruhi oleh keterbatasan modal untuk meningkatkan intensifikasi usahatani kacang tanah.
Penguasaan teknologi budi daya
oleh petani tanpa disertai dengan
kemampuan modal yang memadai
merupakan kendala yang sangat
penting dalam upaya pengembangan produksi kacang tanah. Alokasi
biaya produksi kacang tanah per
hektar pada tahun 1996 disajikan
pada Tabel 3.
KEUNTUNGAN PENERAPAN
TEKNOLOGI MAJU
Timur tahun 1996 memerlukan
biaya produksi sekitar Rp 715.000/
ha dengan hasil 1,81 t/ha yang
memberikan keuntungan sebesar
Rp 1.276.000/ha. Tingkat pengembalian marjinal penggunaan teknologi maju sebesar 402%. Perbandingan biaya produksi dan keuntungan cara tradisional petani dengan penerapan teknologi maju pada lahan kering di Tuban, Jawa
Timur ialah 1,9 : 2,8 atau 2 : 3.
Dengan lain perkataan, diperoleh
keuntungan hasil dua kali lipat dengan menggunakan teknologi maju
dibandingkan dengan teknologi
tradisional
yang
hanya
memperoleh keuntungan satu kali
lipat (Tabel 4).
KESIMPULAN
Hasil akhir penerapan suatu
teknologi ialah nilai keuntungan
usahatani, sebagai sumber pendapatan petani. Usahatani kacang tanah dengan menerapkan teknologi
budi daya yang optimal pada lahan
kering, di Kabupaten Tuban, Jawa
1. Kacang tanah sebagai salah satu
komoditas pangan penting yang
mempunyai nilai gizi dan ekonomi tinggi, perlu ditingkatkan
upaya pengembangannya karena dibutuhkan oleh masyarakat
konsumen dan juga dapat me-
2.
3.
4.
Tabel 3. Alokasi biaya produksi kacang tanah pada tahun 1996
Jenis pengeluaran
Volume
Biaya (Rp)
Benih
Pestisida
Pupuk buatan
Pupuk kandang/hijau
Upah
Lain-lain
45,97 kg
0,09 l
72,87 kg
97.218
1.000
33.280
1.597
142.898
51.585
Jumlah biaya produksi per hektar
5.
327.578
Tabel 4. Biaya produksi dan keuntungan menggunakan teknologi tradisional
dan teknologi maju di lahan kering Tuban, Jawa Timur pada tahun
1996
Uraian
Tenaga kerja
HOK
Rp/ha
Sarana produksi (Rp/ha)
Total biaya:
Produksi:
Fisik (kg/ha)
Nilai (Rp/ha)
Keuntungan (Rp/ha)
Pengembalian marjinal (%)
Rasio B/C
Sumber: Adisarwanto (1996)
Teknologi tradisional
Teknologi maju
94
286.000
231.000
517.000
136
408.000
307.000
715.000
1.050
997.500
480.500
1,9
1.810
1.991.000
1.276.000
402
2,8
6.
67
ningkatkan
kesejahteraan
petani
sebagai
masyarakat
produsen.
Pengembangan kacang tanah
dapat dilakukan melalui intensifikasi yang difokuskan pada lahan sawah, lahan kering, dan lahan masam dengan tujuan utama adalah meningkatkan produksi dan memperbaiki kualitas
polong.
Pada lahan sawah dianjurkan
untuk menggunakan varietas
Gajah dan Kelinci dengan
pupuk 25 kg urea + 50 kg TSP +
50 kg KCl/ha pada jarak tanam
20 cm x 20 cm. Pengendalian
hama
pe-nyakit
dilakukan
apabila diperlu-kan, sedangkan
pengairan di-berikan lima kali
dengan interval 10-15 hari.
Pada lahan kering dianjurkan
untuk menggunakan varietas lokal atau varietas Tuban dengan
jarak tanam 40 cm x 10 cm atau
populasi 250.000 tanaman/ha.
Pupuk yang digunakan adalah
50 kg urea + 75 kg TSP + 75 kg
KCl/ha. Untuk mengurangi kehilangan hasil karena serangan
hama dan penyakit dianjurkan
menggunakan methyl thiophanate 70% dan monocrotophos
150 g/l pada umur 7-9 minggu,
sedangkan carbofuran 3% diberikan sebelum tanam.
Pada lahan masam, hal yang paling utama harus dilakukan adalah ameliorasi tanah dengan
menggunakan zat pembenah tanah (soil conditioner) seperti bahan organik, pupuk hijau, dan
kapur, sehingga ketersediaan
unsur hara menjadi lebih baik
bagi kacang tanah.
Masih
ada
kendala
yang
menjadi hambatan bagi petani
dalam membudidayakan kacang
tanah, yaitu masalah modal dan
pema-saran hasil panen. Untuk
itu,
di-perlukan
kebijakan
pemerintah
yang
berpihak
kepada kepen-tingan petani
BULETIN AGROBIO
68
agar petani selalu bergairah
untuk
melajutkan
dan
meningkatkan usahatani kacang
tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Adie, M., T. Adisarwanto, dan Sumarno. 1995. OFR kacang tanah untuk
identifikasi budi daya kacang tanah
di lahan kering. Makalah Balittan
Malang No. 95-100. 26 hlm.
Adisarwanto, D.M. Arsyad, dan
Sumarno. 1996. Pengembangan
paket teknologi budi daya kacang
tanah. Dalam Saleh et al. (Eds.).
Risalah Rapat Seminar Nasional
Prospek Pengembangan Agribisnis
Kacang Tanah di Indonesia. Edisi
Khusus Balitkabi 7:70-87.
Arsyad, D.M., Ig.V. Sutarto, S.A. Rais,
dan L. Sumarsono. 1983. Perbaikan teknologi budi daya kacang
tanah di lahan sawah Kabupaten
Subang, Jawa Barat. Dalam Syam
et al. (Eds.). Kinerja Penelitian
Tanaman Pangan 5:1509-1514.
Asahi, Y. 1977. Differential response of
peanut varieties to sub soil acidity.
KNES 14:4-19.
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. 1998. Tiga peneliti
Balitbio mendapat penghargaan
pemerintah. Warta Balitbio 6:1.
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. 1999. Produk unggulan. Warta Balitbio 8:2.
Balai Penelitian Bioteknologi Tanaman Pangan. 2000. Pupuk hayati BioLestari, sebentar lagi mengge-ser
pupuk kimia. Warta Balitbio 10:1.
Biro Pusat Statistik. 1990. Statistik
Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor, Ekspor: 1990. Biro Pusat
Statistik. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1993a. Statistik
Indonesia 1993. Statistical Year
Book of Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1993b. Statistik
Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor, Ekspor: 1993. Biro Pusat
Statistik. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1997. Statistik
Perdagangan Luar Negeri Indonesia. Impor, Ekspor: 1997. Biro Pusat
Statistik. Jakarta.
Biro Pusat Statistik. 1998. Statistik
Indonesia 1998. Statistical Year
Book of Indonesia. Biro Pusat Statistik. Jakarta.
Djaenudin, D. dan M. Sudjadi. 1987.
Sumberdaya lahan pertanian tercadang di empat pulau besar dalam
menghadapi tahun 2000. Jurnal
Litbang Pertanian VI(3):55-61.
Harsono, A., T. Adisarwanto, dan N.
Saleh. 1993. Keragaan teknologi
budi daya kacang tanah di lahan
kering. Dalam Syam et al. (Eds.).
Kinerja Penelitian Tanaman Pangan
5:1515-1526.
Heriyanto dan H. Subagio. 1998.
Prospek usahatani kacang tanah di
Indonesia. Dalam Teknologi untuk
Peningkatan Produksi dan Nilai
Tambah Kacang Tanah. Edisi Khusus Balitkabi 12:1-13.
Kasim, H. dan Djunainah. 1993. Deskripsi varietas unggul Palawija.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
VOL 4, NO. 2
Sudjadi, M. 1989. Efikasi fungisida
folicur 250 EC terhadap penyakit
bercak daun Cercospora dan karat
pada kacang tanah. Registrasi Fungisida Kepada Komisi Pestisida.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Sumarno. 1993. Status kacang tanah di
Indonesia. Dalam Astanto et al.
(Eds.). Kacang Tanah. Monograf
Balittan Malang 12:1-8.
Sumarno, I.N. Oka, N. Sunarlin,
A.K.M. Sharma, M. Syam, and I.
Manwan. 1988. The importance of
grain legumes in food crop production. Workshop on the National
Coordinated Research Program on
Corn and Legumes. 102 p.
Sumarno, M. Adi, N. Saleh, dan T.
Adisarwanto. 2000. Penerapan
metodologi penelitian adaptif budi
daya kacang tanah di lahan petani.
Penelitian
Pertanian
Tanaman
Pangan 19(2):51-58.
Sutarto, Ig.V. 1985. Perpaduan tepatguna kapur dan pupuk NPK plus
(Mo, Mg, dan S) di lahan masam
pada kacang tanah. Seminar
Balittan Bogor Tahun 1985. PadiPalawija 1:99-117.
Sutarto, Ig.V., Y. Supriati, dan S.
Hutami. 1993. Hasil penelitian budidaya kacang tanah. Dalam Syam et
al. (Eds.). Kinerja Penelitian Tanaman Pangan 5:1502-1507.
Download