1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sistem saraf

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sistem saraf pusat memiliki peranan dalam mengatur berbagai aktivitas
tubuh, termasuk di dalamnya yaitu menerima berbagai rangsangan sensorik,
mengintegrasikan informasi satu dengan yang lain, mengambil keputusan dan
menghasilkan aktivitas motorik tubuh (Tortora dan Derrickson, 2009). Dalam
pengaturan koordinasi motorik di dalam tubuh terdapat keterlibatan dari berbagai
daerah pada sistem saraf pusat meliputi korteks serebral yang menstimulasi
kontraksi otot, serebelum yang berpengaruh terhadap ketepatan waktu dari
aktivitas motorik untuk menghasilkan efek yang cepat dari satu jaringan otot
menuju jaringan otot lainnya, serta ganglia basal yang membantu merencanakan
dan mengatur pola yang kompleks dari gerakan otot (Guyton dan Hall, 2006).
Penyakit
neurodegeneratif
seperti
Parkinson’s
disease
(PD),
Alzheimer’sdisease (AD), Huntington’s disease (HD), berbagai motor neuron
diseases (MND) dan sebagainya merupakan penyakit yang secara progresif
menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan penderitanya mengalami
penurunan kualitas hidup melalui berbagai gejala klinis pada koordinasi sistem
gerak (ataksia) serta fungsi mental (demensia). Ataksia disebut juga sebagai
gangguan koordinasi tubuh, merupakan gejala yang terjadi akibat adanya
kerusakan pada sistem saraf yang berfungsi sebagai sistem kontrol gerak tubuh
1
2
(sensorik maupun motorik) sebagai manifestasi dari berbagai kondisi patologi
penyakit yang terjadi.
Sistem saraf pusat sangat rentan terhadap berbagai kondisi toksisitas yang
diakibatkan oleh berbagai senyawa. Alkohol merupakan salah satu senyawa yang
telah banyak diketahui memiliki aktivitas yang dapat menyebabkan terbentuknya
lesi pada otak. Penggunaan berbagai jenis obat-obatan (seperti antikonvulsan,
antineoplastik, garam litium dan inhibitor calcium), penyalahgunaan obat dan
kecanduan, serta toksisitas yang berasal dari toksin di lingkungan juga mampu
menyebabkan terjadinya kerusakan yang berujung pada gangguan pada sistem
koordinasi tubuh (Manto, 2012).
Pada berbagai penelitian toksisitas oleh herbisida parakuat diklorida (PQ),
yang merupakan salah satu toksin lingkungan yang secara luas digunakan dalam
bidang pertanian, diketahui mampu menyebabkan kerusakan pada sel-sel saraf
dopaminergik melalui siklus oksidasi seluler (Bonneh-Barkay dkk., 2005;
McCormack dkk., 2006) dan kegagalan koordinasi motorik (Tinakoua dkk.,
2015). Lebih lanjut pada kegagalan koordinasi motorik yang terjadi tidak hanya
disebabkan oleh kerusakan dopaminergik pada substansia nigra pars compacta
(SNpc) saja, melainkan didukung pula oleh permasalahan perifer seperti patologi
pada paru-paru yang juga terjadi (Tinakoua dkk., 2015). Mekanisme toksisitas ini
menjadikan PQ diketahui merupakan senyawa yang digunakan sebagai induktor
hewan uji untuk model penyakit seperti PD dan ataksia yang disebabkan oleh stres
oksidatif (Bradley dkk., 2004; Jackson-Lewis dkk., 2012; Wang dkk., 2011).
3
Penelusuran agen terapi untuk berbagai penyakit neurodegeneratif masih
terus dilakukan, namun sayangnya masih banyak berbagai agen terapi yang,
meskipun telah banyak digunakan, namun memberikan efek samping dengan
angka kejadian yang sangat tinggi. Sebagai contoh adalah penggunaan levodopa
jangka panjang yang menyebabkan gangguan saluran cerna, kardiovaskuler dan
diskinesia dengan angka kejadian hingga 80% (Katzung, 2004). Hal ini
membuktikan bahwa masih diperlukan berbagai penelitian lebih lanjut untuk
mendapatkan agen terapi pada penyakit neurodegeneratif yang tidak hanya poten
tetapi juga aman bagi penderita.
Bahan aktif yang terdapat di dalam makanan yang biasa dikonsumsi
merupakan salah satu subjek dari bahan alami yang telah banyak dipelajari dalam
kaitannya dengan penyakit-penyakit kronis yang banyak terjadi saat ini.
Dikarenakan oleh tingkat konsumsinya yang begitu tinggi dan terakumulasi dalam
jangka waktu lama, bahan-bahan aktif di dalam makanan mampu memberikan
pengaruh yang signifikan terhadap mekanisme modifikasi epigenetik dan
menyebabkan perubahan pada ekspresi gen tanpa mengubah sekuen DNA (Vahid
dkk.., 2015). Beberapa contohnya yaitu dialil disulfida (DADS) dari bawang
putih, reservatrol dari anggur, genistein dari kedelai, kurkumin dari temu-temuan,
maupun apigenin dari daun parsley diketahui memiliki aktivitas antikanker
tertarget molekuler (Bhoi, 2012).
Benzil isotiosianat (BI) merupakan salah satu golongan isotiosianat yang
banyak diperoleh dari berbagai sayuran dari famili cruciferae, seperti brokoli,
kubis, sawi, bunga kol, dan sebagainya. Sebuah penelitian telah membuktikan
4
bahwa turunan isotiosianat memiliki aktivitas neuroprotektif pada kerusakan
sekunder akibat spinal cord injury melalui mekanisme antioksidasi, sehingga
memiliki potensi sebagai terapi alternatif pada pencegahan dan/atau terapi pada
penyakit neurodegeneratif (Giacoppo dkk., 2015). BI yang memiliki sifat sangat
lipofilik dan memiliki bobot molekul sebesar 149,21 g/mol memiliki kriteria yang
memenuhi syarat untuk menembus sawar darah otak atau blood brain barrier
(BBB) dan dapat diperhitungkan sebagai agen yang mampu memberikan efek
farmakologis pada terapi neurodegeneratif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, BI memiliki aktivitas
penghambatan enzim histon deasetilase (HDA) subtipe 2 dan 8 secara in vitro,
dengan daya hambat sebesar 17,2422 % dan 62,4757 % pada konsentrasi 5 µM
dan 150 µM untuk HDA 2 serta 54,0849 % pada konsentrasi 5 µM untuk HDA 8
(Utami, 2016). Daya hambat yang besar pada konsentrasi yang relatif rendah ini
merupakan salah satu pertanda yang baik untuk merujuk BI sebagai agen HDA
inhibitor (HDAI) yang poten untuk kedua subtipe tersebut. Selain itu pada
penelitian lainnya, BI diketahui secara signifikan menyebabkan penurunan
ekspresi dan aktivitas HDA subtipe 1 dan 3 secara in vitro (Batra dkk., 2010).
Hubungan antara penghambatan HDA pada subtipe tertentu terhadap kemampuan
neuroprotektif masih terus dipelajari, namun penghambatan HDA diketahui
memiliki potensi efek neuroproteksi pada berbagai penyakit neurodegeneratif
melalui peningkatan ekspresi gen-gen neurotropik (Chen dkk., 2006; Gardian
dkk., 2004; Harrison dan Dexter, 2013; Wang dkk., 2009).
5
Pada penelitian ini akan dilihat kemampuan BI terhadap ada atau tidaknya
efek peningkatan performa motorik hewan uji mencit (Mus muculus) jantan galur
Balb/c yang diberikan senyawa BI secara berulang pada dosis 5, 10 dan 20
mg/kgBB melalui injeksi intra-peritoneal (i.p.), baik secara bersamaan dengan
induksi penurunan fungsi koordinasi motorik oleh senyawa PQ (kelompok B-10,
selama 10 hari) maupun setelah induksi PQ berakhir (kelompok B-3, selama 3
hari) melalui pengamatan dengan uji rotarod.
B. Perumusan Masalah
1. Apakah pemberian BI secara berulang mampu memberikan efek peningkatan
performa motorik pada mencit terinduksi PQ dengan uji rotarod dan
berapakah dosis optimumnya?
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh peningkatan performa motorik pada
pemberian BI selama 10 hari dan 3 hari?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui efek pemberian BI secara berulang pada peningkatan performa
motorik pada mencit terinduksi PQ dengan uji rotarod beserta dosis
optimumnya.
2. Mengetahui perbedaan pengaruh peningkatan performa motorik pada
pemberian BI selama 10 hari dan 3 hari.
6
D. Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi pemanfaatan BI sebagai bahan aktif dalam makanan
terhadap performa motorik mencit yang diinduksi PQ.
E. Tinjauan Pustaka
1. Sistem saraf pusat
Di dalam peranan berbagai aktivitas tubuh manusia, sistem penghantaran
rangasangan yang diperantarai oleh sistem saraf merupakan bagian penting
yang mengatur homeostasis di dalam tubuh. Sistem saraf terdiri dari dua
subdivisi besar, yaitu sistem saraf pusat, meliputi otak dan saraf tulang
belakang, serta sistem saraf tepi yang meliputi seluruh jaringan saraf diluar
dari sistem saraf pusat.
Sistem saraf pusat memiliki peranan dalam mengatur berbagai aktivitas
tubuh, termasuk di dalamnya yaitu menerima berbagai rangsangan sensorik,
mengintegrasikan informasi satu dengan yang lain, mengambil keputusan dan
menghasilkan aktivitas motorik tubuh (Tortora dan Derrickson, 2009).
Berdasarkan pembagian fungsinya, terdapat klasifikasi umum dari anatomi
sistem saraf pusat, yaitu meliputi:
a. Korteks serebral, merupakan bagian otak yang paling besar, mengatur
aktivitas sensorik (seperti somatosensorik, visual, auditori dan olfaktori),
motorik, dan hubungan diantara keduanya. Area ini merupakan area
penghubung yang memproses informasi dari daerah kortikal sensorik
7
primer untuk menghasilkan fungsi kortikal yang lebih tinggi seperti
aktivitas berpikir, memori, dan kesadaran.
b. Sistem limbik, merupakan gabungan dari beberapa daerah pada otak,
meliputi formasi hipokampus, kompleks amigdala, septum, nuklei
olfaktori, ganglia basal, dan beberapa nuklei pada diensefalon. Sistem
limbik terletak di sekitar batas-batas subkortikal pada bagian pusat otak
yang memiliki fungsi terkait dengan kompleksitas emosi dan motivasi.
Namun, sesungguhnya oleh peneliti modern penggunaan kata sistem
limbik dianggap kurang tepat karena berbagai daerah tersebut tidak
berfungsi sebagai sistem. Masing-masing daerah memiliki fungsi
tersendiri, seperti ganglia basal atau neostriatum yang merupakan bagian
penting dari sistem motorik ekstrapiramidal yang mempengaruhi gerak
motorik sadar.
c. Diensefalon, terdiri dari empat komponen berbeda, meliputi talamus,
subtalamus, hipotalamus, dan epitalamus. Bagian hipotalamus merupakan
integrasi dari sistem endokrin dengan salah satu fungsi pentingnya adalah
menghubungkan sistem saraf dengan sistem endokrin melalui kelenjar
hipofisis. Talamus terlibat dalam fungsi untuk menyampaikan sinyal
sensorik dan motorik ke korteks serebral, mengatur kesadaran, tidur serta
kewaspadaan. Sementara epitalamus berfungsi menghubungkan antara
sistem limbik ke bagian lain dari otak. Beberapa fungsi lainnya dari
komponen diensefalon yaitu meliputi sekresi melantoin oleh kelenjar
pineal serta regulasi jalur motorik dan emosi.
8
d. Otak tengah dan batang otak, termasuk di dalamnya adalah mesensefalon,
pons, dan medula oblongata yang menghubungkan antara belahan otak dan
talamus-hipotalamus
dengan
saraf
tulang
belakang.
Daerah
ini
mengandung sebagian besar nuklei dari saraf kranial seiring dengan
besarnya jumlah aliran dari dan menuju korteks dan saraf tulang belakang.
Pada daerah ini juga terdapat sistem aktivasi retikuler yang merupakan
bagian penting dari grey matter yang menghubungkan sinyal saraf
sensorik tepi dan gerak motorik dengan level integrasi saraf yang lebih
tinggi.
e. Serebelum, merupakan daerah dari pons posterior di belakang korteks
serebral. Darah ini memiliki peran penting dalam kegiatan belajar dan
memori, serta beberapa fungsi viseral seperti pengaturan denyut jantung
dan aliran darah.
f. Saraf tulang belakang, terbentang dari bagian akhir medula oblongata
hingga akhir tulang belakang bagian bawah. Saraf tulang belakang
mengandung
sel
memungkinkan
saraf
dan
aliran
pengoordinasian
saraf
antara
yang
informasi
besar,
sehingga
sensorik
yang
didapatkan dari kulit, otot, sendi dan berbagai organ dalam dengan saraf
motorik
melalui
sistem
penghantaran
sinyal
primer
sehingga
memungkinkan adanya penerimaan dan pengiriman sinyal dengan level
yang lebih cepat (Bloom, 2006).
9
2. Sistem Koordinasi Motorik
Setiap gerakan yang dihasilkan oleh tubuh terjadi melalui proses
koordinasi yang panjang dan kompleks, serta melibatkan berbagai bagian
sistem saraf pusat maupun perifer. Berbagai informasi yang didapatkan
melalui saraf sensorik terintegrasi pada seluruh level sistem saraf dan
menghasilkan respon motorik yang sesuai, dimulai dari saraf tulang belakang
yang menghasilkan reflek otot sederhana, merambat hingga batang otak
dengan respon yang lebih kompleks, dan akhirnya merambat ke bagian otak
besar yang merupakan pusat pengaturan kerja otot yang paling kompleks
(Guyton dan Hall, 2006).
Gerak sadar yang diinisiasi oleh korteks serebral akan dapat terjadi
ketika korteks mengaktivasi pola-pola fungsional dari berbagai bagian otak di
area otak bawah meliputi saraf tulang belakang, batang otak, basal ganglia,
dan serebelum. Setiap bagian ini memiliki fungsi masing-masing dalam
menghantarkan sinyal-sinyal kontrol gerak otot sehingga dapat menghasilkan
sebuah koordinasi gerak motorik yang tepat. Koordinasi ini diperantarai oleh
adanya neurotransmitter yang, secara sederhana, merupakan alat komunikasi
dari berbagai bagian otak untuk menghasilkan mekanisme biokimia yang
saling terintegrasi untuk menghasilkan efek sel saraf pada target sel yang
diinginkan. Neurotransmiter selanjutnya terbagi menjadi dua kategori yakni
eksitator maupun inhibitor tergantung pada fungsi yang dihasilkan masingmasing transmiter (Bloom, 2006; Guyton dan Hall, 2006).
10
Gangguan yang terjadi pada sebagian atau beberapa bagian-bagian
penting tersebut akan dapat menyebabkan inkoordinasi kontrol motorik yang
selanjutnya menghasilkan berbagai manifestasi klinis tergantung pada letak
kerusakan yang terjadi. Sebagai contoh adalah mekanisme patologi PD yang
terjadi melalui perusakan sel-sel di ganglia basal di SNpc yang berfungsi
untuk mengirimkan serabut saraf penghasil neurotransmiter dopamin ke
caudate nucleus dan putamen. Secara normal, dopamin yang disekresikan
pada caudate nucleus dan putamen berfungsi sebagai transmiter inhibitor,
sehingga perusakan neuron dopaminergik SNpc pada penderita PD berakibat
pada caudate nucleus dan putamen yang terlalu aktif dan menyebabkan
pengeluaran terus menerus dari sinyal eksitator pada sistem kontrol motor
kortikospinal. Gejala klinis yang terjadi meliputi kekakuan, tremor dan
akinesia (Guyton dan Hall, 2006).
3. Penyakit neurodegeneratif
Istilah neurodegenerasi telah banyak digunakan sejak tahun 1982 dan
digunakan
untuk
merepresentasikan
kondisi
patologi
apapun
yang
menyebabkan sistem saraf maupun sel saraf kehilangan fungsi, struktur fisik,
maupun keduanya. Berdasarkan definisi tersebut maka berbagai penyakit yang
masuk ke dalam kategori ini meliputi: (i) patologi yang terbatas pada penyakit
neuronal primer; (ii) patologi yang terbatas pada sistem saraf namun tidak
termasuk penyakit neuronal primer, seperti neoplasma otak atau edema pada
otak dan hemoragi; (iii) patologi yang dipicu faktor-faktor berbahaya yang
11
dapat menyebabkan kerusakan pada sistem saraf seperti cardiovascular arrest,
racun dan infeksi (Przedborski, 2008).
Penyakit neurodegeneratif merupakan kelompok dari berbagai penyakit
yang secara progresif menyerang kondisi fisiologis sistem saraf, berimplikasi
pada patologi kerusakan sel-sel dan dengan gejala klinis yang muncul adalah
meliputi kerusakan pada koordinasi sistem gerak (ataksia) beserta fungsi
mental (demensia). Ratusan kelainan pada sistem saraf seperti beberapa
diantaranya yaitu PD, AD, HD, dan amyotrophic lateral sclerosis (ALS)
termasuk ke dalam kriteria penyakit ini. Etiologi penyakit neurodegeneratif
bervariasi, namun secara garis besar penyebab terjadinya penyakit ini dapat
dikatakan masih belum diketahui. Beberapa penyebab seperti faktor
penurunan genetik (10% kasus diketahui merupakan penyakit yang
diturunkan) dan toksin lingkungan menjadi tersangka utama yang ditengarai
sebagai faktor-faktor yang menginisiasi terjadinya proses neurodegenerasi.
Lebih jauh, penelitian akan paparan toksin lingkungan yang mampu
menginisiasi neurodegenerasi tersebut melibatkan adanya faktor-faktor
eksteral seperti kondisi geografi, sosial dan profesional yang spesifik diluar
dari tren peningkatan angka kejadian penyakit itu sendiri. Secara keseluruhan,
penyakit neurodegeneratif dapat disebabkan oleh salah satu atau kombinasi
dari kedua faktor tersebut (Przedborski, 2008). Pengaruh salah satu penyakit
neurodegeneratif terhadap koordinasi kontrol gerak motorik telah dijelaskan
pada sub-bab sebelumnya.
12
4. Induksi parakuat diklorida (PQ)
PQ merupakan senyawa aktif dalam herbisida yang secara umum banyak
digunakan oleh petani. Parakuat memiliki struktur yang mirip dengan MPP+
senyawa toksik hasil metabolisme dari MPTP, senyawa induktor untuk model
PD, oleh monoamine oksidase-B (MAO-B) yang bertanggung jawab terhadap
tanda-tanda PD pada model uji. Secara teori, parakuat yang memiliki struktur
yang mirip dengan MPP+ ini seharusnya memiliki aktivitas yang serupa,
namun tidak seperti MPP+, parakuat memiliki aktivitas perusakan melalui
stres oksidatif melalui siklus redoks yang menghasilkan ROS, terutama radikal
superoksida, hidrogen peroksida, dan radikal hidroksil yang menyebabkan
kerusakan lipid, protein, DNA, dan RNA.
2+
H3C
a.
N
N
CH3
2Cl-
Parakuat diklorida (1,1′-Dimetil-4,4′-bipiridinium diklorida hidrat)
N
b.
CH3
MPTP (1-metil-4-fenil-1,2,3,6-tetrahidropiridin)
Gambar 1. Struktur parakuat diklorida dan MPTP
CH3
CH3
CH3
N
N
N
MAO-B
MPTP
MAO-B
MPDP+
MPP+
Gambar 2. Perubahan MPTP menjadi MPP+
13
Beberapa penelitian membuktikan pengaruh parakuat pada sistem
nigrostriatal dopamin yang mampu menginduksi penurunan dose-dependent
tirosin hidroksilase (TH) striatal positif, striatal fibres dan sel saraf di SNpc
(Jackson-Lewis dkk., 2012). Lebih lanjut toksisitas PQ diketahui mampu
berimplikasi pada kerusakan sel-sel saraf dopaminergik (Bonneh-Barkay dkk.,
2005; McCormack dkk., 2006) dan kegagalan koordinasi motorik (Tinakoua
dkk., 2015) yang terjadi tidak hanya disebabkan oleh kerusakan dopaminergik
di SNpc saja, melainkan didukung pula oleh permasalahan perifer seperti
patologi pada paru-paru yang juga terjadi (Tinakoua dkk., 2015).
5. Zat aktif dalam makanan
Zat aktif dalam makanan adalah senyawa dalam makanan yang biasa
dikonsumsi sehari-hari yang memiliki aktivitas farmakologis dan dapat
mempengaruhi kondisi fisiologis di dalam tubuh. Bahan-bahan ini secara
normal dikonsumsi sehari-hari melalui asupan seperti sayur-sayuran, buahbuahan, rempah, maupun berbagai bahan makanan lainnya. Karena tingkat
konsumsinya yang tinggi dan terakumulasi dalam jangka waktu lama inilah,
zat aktif di dalam makanan diketahui mampu memberikan pengaruh yang
signifikan terhadap mekanisme epigenetik dan menyebabkan perubahan pada
ekspresi gen tanpa mengubah sekuens DNA (Bhoi, 2012; Vahid dkk.., 2015).
Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa berberapa jenis zat aktif
di dalam makanan mampu memberikan efek farmakologis dan bermanfaat
sebagai agen terapi. Beberapa zat aktif tersebut diantaranya adalah
sulforaphan (SFN) dari sayuran famili cruciferae (sawi-sawian, brokoli, dsb),
14
DADS dari bawang putih dan butirat yang diketahui berlaku sebagai ligan
yang berikatan lemah dengan enzim HDA, dan memiliki aktivitas
penghambatan HDA (Marks dan Ronald, 2007).
6. Benzil isotiosianat (BI)
BI merupakan salah satu golongan isotiosianat yang banyak diperoleh
dari berbagai sayuran dari famili cruciferae, seperti brokoli, kubis, sawi, bunga
kol, dan sebagainya. Senyawa golongan ini memiliki ciri khas dengan formula
R-NCS, membentuk kestabilannya melalui resonansi membentuk tiosianat (RSCN) dimana sulfur (S) dan nitrogen (N) dapat berlaku sebagai nukleofil,
ligan berbagai unsur logam, maupun sebagai isomer linkage. Struktur BI
ditunjukkan pada gambar 3.
S
C
N
Gambar 3. Struktur Benzil Isotiosianat
Turunan isotiosianat diketahui memiliki berbagai aktivitas baik
antiakanker maupun neuroprotektif (Bianchini dan Vainio, 2004; Giacoppo
dkk., 2015). Berbagai penelitian telah membuktikan aktivitas BI sebagai
senyawa anti-proliferatif pada sel kanker pankreas (Sirvastava dan Singh,
2004) prostat (Lin dkk., 2013) dan payudara (Sehrawat dan Singh, 2011).
Selain itu berbagai aktivitas lainnya juga terdeteksi melalui berbagai penelitian
lain yaitu meliputi: anti bakteri (Sofrata dkk., 2011), antikanker (Gradecka-
15
Meesters dkk., 2011), antitumor (Kim dkk., 2015) dan anti-inflamasi (Baraldi
dkk., 2010).
BI merupakan salah satu senyawa aktif makanan yang memiliki sifat
sangat lipofilik dan memiliki bobot molekul sebesar 149,21 gram/mol.
Hambatan difusi pada otak atau yang sering disebut BBB merupakan
kombinasi antara kemampuan partisi senyawa yang dibawa (meliputi beberapa
sifat seperti bobot molekul, muatan, dan lipofilisitas) serta keberadaan sistem
transport aktif (energy-dependent) pada sisi aktifnya, mengakibatkan
penghambatan berbagai senyawa aktif untuk bekerja di otak. Pada kasus ini,
BI yang memiliki beberapa sifat yang memenuhi kriteria untuk menembus
BBB, dapat diperhitungkan sebagai agen yang mampu menembus BBB dan
memberikan efek farmakologis pada terapi neurodegeneratif.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan BI memiliki aktivitas
penghambatan enzim HDA subtipe 2 dan 8 secara in vitro, dengan daya
hambat sebesar 17,2422 % dan 62,4757 % pada konsentrasi 5 µM dan 150 µM
untuk HDA 2 dan 54,0849 % pada konsentrasi 5 µM untuk HDA 8 (Utami,
2016). Daya hambat yang besar pada konsentrasi yang relatif rendah ini
merupakan salah satu pertanda yang baik untuk merujuk BI sebagai agen
HDA inhibitor (HDAI) yang poten untuk kedua subtipe tersebut. Selain itu
pada penelitian lainnya, BI diketahui secara signifikan menyebabkan
penurunan ekspresi dan aktivitas HDA subtipe 1 dan 3 secara in vitro (Batra
dkk., 2010).
16
7. Histon deasetilase inhibitor (HDAI) dalam terapi neurodegeneratif
HDAI bekerja dengan salah satu mekanismenya yaitu menggantikan ion
Zn2+ sehingga merusak sistem penghantaran muatan diantara residu asam
amino. Dengan tidak adanya ion Zn2+, HDA tidak dapat mengenali gugus
asetil dan tidak dapat memutuskan ikatannya dengan protein histon, sehingga
akan mempertahankan struktur eukromatin (Bhoi, 2012; Finnin dkk., 1999).
Penghambatan HDA ini berakibat pada terganggunya siklus sel pada fase G2
dan membuka jalan bagi sel untuk masuk ke fase M secara prematur dengan
sekaligus mempengaruhi langsung spindle mitotik cek poin. HDAI dapat
mengaktivasi proses penghentian siklus sel dan apoptosis secara selektif pada
sel kanker lebih baik dibandingkan dengan sel normal (Bhoi, 2012).
Sistem kerja HAT dan HDA di dalam mempengaruhi perkembangan
otak tidak selalu melalui mekanisme asetilasi dan deasetilasi. Berbagai
penelitian membuktikan beberapa tipe HDA klas III mempengaruhi
perkembangan otak melalui pengikatan pada desuksinilat dan aktivasi super
oxide dismutase-1 untuk mengeliminasi ROS (Haigis dkk., 2006; Lin dkk.,
2013). Selain itu, penghambatan HDA memiliki potensi efek neuroproteksi
pada berbagai penyakit neurodegeneratif melalui peningkatan ekspresi gengen neurotropik (Chen dkk., 2006; Gardian dkk., 2004; Harrison dan Dexter,
2013; Wang dkk., 2009). Secara keseluruhan HDA telah terbukti memiliki
peranan yang dinamis di dalam otak dan memungkinkan adaptasi epigenetik
untuk memberikan perubahan lingkungan dalam perkembangan otak (Volmar
dan Wahlestedt, 2015).
17
Sharma dan Taliyan mengumpulkan informasi dari berbagai penelitian
yang menunjukkan adanya keterlibatan HDA di dalam terapi pada sistem saraf
sesuai dengan lokasi subtipe HDA yang bersangkutan, seperti terlihat pada
Tabel II.
Tabel I. Klasifikasi HDA dan Lokalisasinya di Otak
Klas
Klas I
Subtipe
HDA 1
HDA 2
HDA 3
HDA 8
Klas IIa
HDA 4
Klas IV
Spesies
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, SNpr, lokus coeruleus, korpus callosum,
grey matter, white matter
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, SNpr, lokus coeruleus, korpus callosum,
grey matter, white matter
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, SNpr, lokus coeruleus, globus pallidus
Hipokampus, amygdala SNpc, SNpr, lokus
coeruleus
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, SNpr, lokus coeruleus, globus pallidus
HDA 5
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, SNpr, lokus coeruleus, globus pallidus
HDA 7
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, SNpr, lokus coeruleus, striatum,
serebelum
Korteks, SNpc, hipokampus, amygdala
HDA 9
Klas IIb
Letak
HDA 6
Korteks, putamen, hipokampus, amygdala,
SNpc, lokus coeruleus, serebelum
HDA 10
Korteks, amygdala, hipokampus
HDA 11
Korteks, hipokampus, batang otak, serebelum,
diensefalon
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
Manusia,
mencit,
tikus
(Sharma dan Taliyan, 2015)
18
8. Uji rotarod
Uji rotarod telah digunakan secara luas untuk mengevaluasi kemampuan
koordinasi motorik pada pengerat. Uji ini dilakukan secara in vivo dengan
menggunakan hewan uji berupa mencit (Mus muculus) jantan galur Balb/c
dengan usia 6-7 minggu. Prinsip uji dengan metode ini yaitu mengukur
kemampuan lokomotor hewan uji yang telah diinduksi dengan berbagai
senyawa dengan meletakkannya diatas batang berputar yang diatur
kecepatannya. Hewan uji (pengerat) akan berusaha mempertahankan diri
dengan berjalan diatas batang berputar dengan mengikuti kecepatan putaran
batang. Uji ini melibatkan berbagai fungsi di dalam otak meliputi koordinasi,
learning dan ketahanan kardiopulmonari (Shiotsuki dkk., 2010).
Pada penelitian ini hewan uji ditempatkan di atas batang selama 60 detik
untuk setiap kali pengujian dengan perubahan kecepatan 10-25 rpm dilakukan
pada 10-15 detik awal, dan seterusnya dipertahankan hingga waktu pengujian
berakhir. Sebanyak 4 kali pengujian dilakukan dalam tiap sesi dengan jeda
selama 15 menit untuk setiap uji.Selama proses pengujian tersebut harus
dilakukan pengondisisan lingkungan dengan minimalisasi stimuli yang
mungkin dapat mengganggu proses uji, yaitu meliputi suara, gerakan,
perubahan cahaya maupun perubahan temperatur (Kuhn dkk., 1995).
Parameter yang diamati adalah jumlah kumulatif jatuhnya hewan uji dan
jumlah kumulatif lamanya hewan uji bertahan diatas batang berputar
dibandingkan dengan baseline.
19
Sebelum proses pengujian dimulai, perlu dilakukan pelatihan hewan uji
terlebih dahulu dengan menempatkan masing-masing hewan uji pada batang
berputar selama 10 detik dengan penyesuaian kecepatan 10-25 rpm. Pelatihan
juga dilakukan sebanyak 4 kali dengan jeda untuk masing-masing uji adalah
10 menit. Pelatihan ini dilakukan dengan bertujuan untuk mengadaptasikan
hewan uji pada alat yang akan digunakan, sehingga meminimalkan
kemungkinan kesalahan pada proses uji.
F. Landasan Teori
BI merupakan salah satu senyawa aktif dalam makanan terutama sayuran
famili cruciferae yang memiliki sifat sangat lipofilik serta memiliki bentuk
molekul yang kecil sehingga memungkinkan dalam menembus BBB di otak. Hal
ini merupakan pertanda bahwa konsumsi BI dalam jangka waktu lama dapat
memberikan pengaruh terhadap berbagai aktivitas di dalam sel-sel otak. Penelitian
sebelumnya telah membuktikan bahwa turunan isotiosianat memiliki aktivitas
neuroprotektif pada kerusakan sekunder akibat spinal cord injury melalui
mekanisme antioksidasi. Selain itu, penelitian terbaru telah menunjukkan
kemampuan BI sebagai inhibitor untuk HDA klas I yang relatif poten, dimana
beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa HDAI berpotensi memberikan efek
pada patologi berbagai penyakit neurodegeneratif.
20
G. Keterangan Empiris
1. Pemberian BI secara berulang mampu memberikan efek peningkatan performa
motorik pada mencit terinduksi PQ dengan uji rotarod dengan dosis optimum.
2. Terdapat perbedaan efek peningkatan performa motorik pada pemberian BI
kelompok selama 10 hari dan 3 hari.
Download