bab i pendahuluan - Fakultas Ilmu Budaya

advertisement
1
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dalam bukunya yang berjudul Garis Batas, Wibowo1 seorang
backpacker
asal
Indonesia, mengkonstelasi
segala perenungannya
mengenai konsep garis batas yang dikenakan manusia. Ia berpandangan
bahwa garis batas merupakan sebuah ilusi buatan manusia yang tidak
hanya mencerminkan kedinamisan manusia itu sendiri, tetapi juga
melukiskan kondisi yang mengubah seluruh sendi kehidupan. Seperti
halnya gravitasi bumi dan oksigen, garis batas tak terlihat, namun setiap
langkah dan embusan napas kita dipengaruhi olehnya. Dalam hal ini pola
pikir, kartu identitas, pendidikan, status, ideologi, maupun agama
merupakan produk dari garis batas. Namun bukan sekedar produk dari
garis batas, pembedaan-pembedaan tersebut juga berpotensi memproduksi
batasan-batasan lainnya. Garis batas dalam pembahasan ini tidak berusaha
menihilkan konsep relasi.
Konsep garis batas ini pun dijumpai dalam konsep kebahasaan.
Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa merupakan suatu sistem lambang
bunyi yang bersifat arbitrer. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
arbitrer berarti ‘sewenang-wenang’ atau ‘manasuka’. Dengan kata lain,
1
Agustinus Wibowo adalah keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang berhasil menyajikan
catatan perjalanannya ke lima negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah dalam bentuk buku yang
diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011.
2
tidak ada hubungan yang wajib antara lambang sebagai hal yang menandai
suatu wujud kata atau leksem dengan benda, hal atau keadaan (konsep)
yang ditandai, yaitu referen dari kata atau leksem tersebut. Dalam kasus ini
memang telah terlihat jelas adanya sebuah garis yang membatasi antara
lambang dan konsep, namun seolah-olah telah menihilkan relasi keduanya.
Hal inilah yang menyebabkan dalam sejarah perkembangan linguistik
relasi lambang dan konsep yang selanjutnya disebut dengan relasi makna
dianggap sebagai gambaran dari ketidakjelasan struktur dalam kajian ilmu
makna (semantik). Tidak berlebihan jika dalam makalahnya, Mulyadi dan
Siregar (2006:5) mengatakan bahwa pada periode 1970-an kajian tentang
makna baru mendapat tempat yang layak dalam teori linguistik.
Dalam perkembangannya, telaah makna semakin menduduki posisi
yang mapan sebagai sebuah ilmu. Berbagai persoalan telah menjadi topik
yang apik dalam berbagai macam penelitian ilmiah. Sebagai contoh, dalam
bukunya, Chaer (2009:70) mengungkapkan sebuah kasus bahwa walaupun
secara sinkronis makna sebuah kata tidak berubah, namun karena berbagai
faktor di dalam kehidupan, makna tersebut dapat menjadi bersifat khusus.
Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa faktor kehidupan yang
sebenarnya merupakan produk dari garis batas dapat memproduksi
batasan-batasan lain –dalam hal ini adalah makna sebuah kata-.
Mempelajari makna merupakan suatu kajian yang holistik dalam sebuah
bahasa.
Wierzbicka
(1999:137)
secara
tegas
mengatakan
bahwa
mempelajari bentuk atau struktur bahasa tanpa memperhatikan aspek
3
makna ibarat mempelajari rambu lalu lintas dilihat dari ciri-ciri fisik saja.
Sebab bahasa itu sendiri merupakan wahana pengungkap makna.
Banyak Faktor kehidupan yang mendasari berubahnya makna
sebuah kata. Chaer (2009:131) menyebutkan sembilan faktor kehidupan
yang memiliki andil besar dalam perubahan makna, antara lain:
perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan
budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran
tanggapan indra, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses
gramatikal dan pengembangan istilah. Berbagai faktor ini pada akhirnya
berhasil memunculkan sebuah masalah baru mengenai kemungkinan
pergeseran yang terlalu jauh dari makna sebuah kata. Dengan kata lain,
proses pergeseran makna tersebut akan membuat makna asali sebuah kata
menjadi kabur. Oleh sebab itu, perlu diadakan kembali sebuah proses
penguraian makna secara mendalam untuk menemukan kembali makna
asali yang merupakan makna mula-mula yang melekat pada suatu kata
sejak kata itu ditemukan.
Telaah empiris mengenai makna ini terdapat dalam teori Natural
Semantic Metalanguage (Semantik Metabahasa Alami) yang ditemukan
oleh Cliff Goddard bersama beberapa koleganya –antara lain Wiberzbica,
Felix Ameka, Hilary Chappel dan Jean Harkins- yang merupakan penelitipeneliti yang terus mengembangkan teori ini melalui penelitian semantik
lintas bahasa. Asumsi dasar dalam teori ini berhubungan dengan prinsip
semiotik yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan
4
tuntas, dalam arti makna kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa perlu
berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskrert yang lain.
Konsep dasar lain dalam teori ini adalah polisemi, yang dipahami sebagai
bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali yang
berbeda.
Selanjutnya, makna yang muncul dari setiap kata tersebut tentunya
berkaitan erat dengan kemampuan berfikir manusia yang membentuk
sebuah kebudayaan berbahasa. Duranti
(1997:4) memperkenalkan
antropologi linguistik sebagai bidang interdisipliner yang mempelajari
bahasa sebagai sumber daya dan berbicara sebagai praktek budaya. Namun
telaah bahasa sebagai sumber daya dan sebagai praktek budaya tersebut
terangkum juga dalam bidang interdisipliner lain, yaitu linguistik
antropologi.
Linguistik antropologi dibedakan dengan antropologi
linguistik. Perbedaan keduanya terletak pada fokus penelitian. Antropologi
linguistik menekankan pada penelitian antropologi. Sedangkan linguistik
antropologi menitikberatkan pada aspek bahasa (linguistik). Bahasa dalam
linguistik antropologi merupakan sistem klasifikasi yang paling rumit dari
sebuah kebudayaan. Duranti (1997:6) menyatakan bahwa linguistik
antropologi terbentuk dari linguistik struktural, tetapi memiliki perspektif
atau sudut pandang yang berbeda dalam objek yang dikaji, bahasa dan
ketajaman sebuah objek. Linguistik antropologi menekankan pada
linguistik sebagai pengungkap pola pikir masyarakat. Sementara
5
Antropologi linguistik memandang bahasa sebagai satu set aplikasi
kebudayaan.
Dalam penelitian ini objek penelitian yang digunakan adalah kata
‘suci’. Pemilihan objek penelitian tidak dipilih secara serta-merta. Alasan
pertama adalah karena kata ‘suci’ yang merupakan bentuk adjektiva
memiliki kedudukaan yang menarik. Secara kebahasaan, adjektiva dapat
dihasilkan melalui proses transposisi dari verba atau nomina. Transposisi
adalah perubahan kelas kata tanpa pengubahan bentuk. Selain itu,
adjektiva dapat menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas,
maupun penekanan suatu kata. Bentuk adjektiva pun beragam. Ada yang
disebut dengan adjektiva dasar (monomorfemis) yang merupakan sebagian
besar dari adjektiva, meskipun ada yang berbentuk pengulangan semu.
Ada juga yang disebut dengan adjektiva turunan (polimorfemis) melalui
proses afiksasi, pengulangan, penggabungan, dan pemajemukan. Dengan
kata lain, sebuah adjektiva memiliki banyak varian bentuk yang
mengindikasikan adanya variasi penggunaan dan konsep maknanya.
Alasan kedua, kata ‘suci’ dalam pemakaiannya secara umum
memiliki nada positif sebagai suatu kondisi yang bersifat baik. Namun
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘suci’ juga memiliki
pengertian kedua, yaitu ‘haram’ yang secara umum memiliki nada negatif.
Untuk mengetahui makna mendasar dari kedua kata ini perlu dilakukan
penafsiran mendalam tanpa melupakan asal mula kata. Sehingga pada
akhirnya tidak akan timbul kesalahpahaman.
6
Alasan ketiga, kata ‘suci’ dalam pengertiannya dikaitkan dengan
pengertian bersih dalam arti keagamaan. Dalam hal ini dapat ditarik
kesimpulan awal bahwa setiap agama (dalam hal ini difokuskan pada
agama Islam dan Kristen) mengenal kata ‘suci’. Namun, mengenai konsep
kata ‘suci’ bagi setiap agama tersebut masih menjadi teka-teki yang
menarik. Oleh sebab itu perlu dilakukan sebuah penguraian makna yang
mendalam yang pada akhirnya dapat mengungkapkan persamaan dan
perbedaan konsep kata ‘suci’ kedua agama tersebut.
B.
Rumusan Masalah
Dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah-masalah di
bawah ini sebagai fokus utama dalam penelitian.
1. Bagaimana bentuk dan perilaku kata ‘suci’ jika dikaji melalui
morfotaktik dan valensi sintaksis?
2. Bagaimana konsep dasar kata ‘suci’ dalam bahasa dan budaya
Indonesia?
3. Bagaimana konsep kata ‘suci’ dalam agama Islam dan Kristen?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsep-konsep makna
umum (yang dikenal masyarakat secara umum) dan khusus (yang hanya
dikenal oleh sebagian kecil masyarakat yang tergabung dalam komunitaskomunitas tertentu) dari kata ‘suci’. Namun, secara terperinci tujuan
tersebut akan dijabarkan menjadi hal-hal berikut ini.
7
1. Mendeskripsikan bentuk dan perilaku kata ‘suci’ jika dikaji melalui
morfotaktik dan valensi sintaksis.
2. Mendeskripsikan konsep umum kata ‘suci’melalui kajian semantik.
3. Mendeskripsikan konsep kata ‘suci’ menurut sosiolek agama Islam dan
Kristen.
D.
Manfaat Penelitian
1. Sumbangan ilmiah pada dunia linguistik, dalam hal ini mengenai
pengudaran makna (penjabaran makna).
2. Memberikan referensi ilmiah yang terperinci mengenai makna kata
‘suci’ dari sudut pandang semantik.
3. Memberikan referensi logis mengenai perbedaan konsep pemaknaan
kata ‘suci’ dari dua aliran keagamaan (Islam dan Kristen) untuk
membantu mengatasi kesalahpahaman.
E.
Kerangka Teori
Meskipun penelitian ini dibangun berdasarkan beberapa pandangan
ilmiah yang relevan dan berkaitan, kerangka teoritisnya tetap berpijak
pada dasar-dasar pemikiran teori Linguistik Antropologi yang berangkat
dari teori relativitas bahasa yang dikemukakan oleh von Humboldt dan
dilanjutkan oleh Sapir-Whorf, yang dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf.
Teori relativitas bahasa ini menyatakan bahwa orang berbicara dengan
bahasa yang berbeda karena mereka berfikir edngan cara yang berbeda.
8
Mereka berfikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka
menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka
dengan cara yang berbeda pula. Inilah gagasan dasar teori relativitas dalam
linguistik, yang dipegang oleh Boas, Sapir dan Whorf dalam kajian
mereka tentang bahasa-bahasa Indian-Amerika.
Hipotesis Sapir-Worf selalu dikaitkan dengan pembahasan tentang
bahasa yang dikaitkan dengan budaya dan pola pikir masyarakat.
Perbedaan cara berfikir memiliki kaitan dengan cara manusia berbahasa.
Teori ini juga menegaskan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki
kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Teori
ini memiliki dua hipotesis utama sebagai berikut:
a. perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan
kognitif non bahasa yang menyebabkan perbedaan pikiran orang yang
menggunakan bahasa tersebut;
b. struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar
dunia perceptual, sehingga struktur kognisi manusia ditentukan oleh
kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa.
F.
Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini terfokus pada pembahasan secara ilmiah objek
penelitian, yaitu kata ‘suci’. Pertama-tama akan dilakukan penelitian
mendalam dari sudut pandang linguistik (morfologi, sintaksis dan
semantik). Kemudian akan dibahas mengenai konsepnya jika ditinjau dari
9
bidang ilmu Linguistik Antropologi, khususnya yang berkaitan dengan
konsep dasar kata ‘suci’ dalam bahasa Indonesia dan konsep khususnya
dalam kaitannya dengan agama Kristen dan agama Islam.
G.
Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Dalam hal
ini penulis akan bertindak sebagai instrumen utama dengan tujuan
untuk menguraikan dan menjelaskan karakteristik data yang sebenarnya
dan faktor-faktor yang melatarbelakangi karakteristik data yang
diperoleh di lapangan.
2. Objek Penelitian
Objek utama dari penelitian ini adalah kata ‘suci’ yang penulis temukan
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007) dan Tesaurus
Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006) serta konsep makna kata ‘suci’
yang ditemukan dalam komunitas agama Kristen dan Islam.
3. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Sudaryanto (1995:35), sumber data adalah hal-hal yang
dapat dijadikan data dan mampu menghasilkan data yang lengkap,
benar dan sahih. Dalam penelitian ini ada dua tipe data yang digunakan
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan. Tipe
10
pertama adalah data primer. Sumber utama data primer ini diperoleh
melalui wawancara dengan pemuka agama (Kristen dan Islam) dan
metode elisitasi. Elisitasi berasal dari kata kerja bahasa Latin elicere
yang dapat memiliki beberapa arti diantaranya membujuk, menarik,
mengumpulkan, memanggil, menyadap dan membawa. Secara umum,
arti kata ini merujuk pada usaha untuk mengambil atau memperoleh
sesuatu.
Sedangkan tipe data yang kedua adalah data sekunder. Data
sekunder merupakan data-data penelitian yang sudah pernah diperoleh
dan digunakan oleh peneliti lain. Dalam penelitian ini penulis akan
menggunakan data-data yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (Alwi, 2007) dan Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko,
2006).
4. Teknik Analisis Data
Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa penelitian ini
merupakan bidang penelitian kualitatif. Menurut Miles dan Huberman
(1992:30), terdapat tiga teknik anaisis data kualitatif yaitu reduksi
data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung
terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data
benar-benar terkumpul.
a. Reduksi Data
11
Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan,
mengolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan
mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir
dapat diambil.
Sebagai langkah awal, penulis akan menganalisis makna
kata ‘suci’ dengan metode morfotaktik dan valensi sintaksis.
Selanjutnya dilakukan pendeskripsinan sikap/ perilaku kata ‘suci’
dalam frasa dan kalimat. Sebagai tahap lebih lanjut, akan dilakukan
analisis mengenai nuansa makna kata ‘suci’. Hal tersebut dilakukan
dengan jalan menginventarisasi sinonim kata ‘suci’ yang pada
akhirnya ditemukan juga
komponen makna yang terkandung
dalam kata ‘suci’. Sebagai langkah terakhir, penulis melakukan
wawancara kepada pemuka agama Islam dan agama Kristen untuk
mengetahui konsep makna kata ‘suci’ dalam agama-agama
tersebut.
b. Penyajian Data
Penyajian
data
adalah
kegiatan
ketika
sekumpulan
informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya
penarikan simpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks
naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan
bagan. Namun dalam penelitian ini penulis hanya akan menyajikan
data melalui teks naratif dan tabel.
12
c. Penarikan Simpulan
Penarikan simpulan adalah hasil analisis yang dapat
digunakan untuk mengambil tindakan. Tujuan analisis data
kualitatif
yaitu agar peneliti mendapatkan makna hubungan
variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab
masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Hubungan semantis
sangat penting karena dalam analisis kualitatif, peneliti tidak
menggunakan angka-angka seperti pada analisis kuantitatif. Prinsip
pokok teknik analisis data kualitatif ialah mengolah dan
menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data yang
sistematik, teratur, terstruktur, dan mempunyai makna.
13
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI
Tinjauan pustaka yang dipaparkan pada bab ini memuat beberapa
penelitian yang penulis anggap penting dalam proses penelitian ini. Penelitianpenelitian terdahulu penulis gunakan sebagai rujukan untuk melanjutkan sasaransasaran penelitian yang belum terjawab dan sebagai pembanding agar kesalahankesalahan yang terjadi pada penelitian sebelumnya tidak terulang atau bahkan
dapat diperbaiki.
Teori yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian ini adalah teori
Linguistik Antropologi yang merupakan kajian kebahasaan yang wujudnya sangat
heterogen akibat dari pengaruh situasi komunikasi maupun pengaruh latar
belakang sosial dan budaya penuturnya. Teori ini diperkenalkan oleh Alessandro
Duranti. Namun dalam proses analisis, penulis menemukan sumber-sumber ilmiah
lain yang dianggap relevan dan kontekstual. Sumber tersebut menambah kekayaan
pandangan demi terjadinya proses analisis yang tepat. Pada bab ini, penulis
memaparkan satu demi satu teori serta sumber-sumber ilmiah yang dianggap
relevan.
A. Tinjauan Pustaka
1.
Sebuah artikel dalam jurnal ilmiah Abdiel yang berjudul “Kata
‘suci’ dalam Bahasa Indonesia (Sebuah Kajian Antropolinguistik)
yang ditulis oleh Hendarto Supatra dan Suriawan. Jurnal ilmiah ini
14
mengkaji kata ‘suci’ dengan pendekatan antropolinguistik yang
dalam hal ini termasuk ke dalam linguistik dalam pengertian la
parole (sistem tanda dalam pemakaian). Pemilihan kata ‘suci’
sebagai pokok bahasan ini terutama didasarkan atas pertimbangan
bahwa kata tersebut berkolokasi dengan kata-kata lain yang
bersama-sama
merujuk
pada
kognisi
budaya
keagamaan/kepercayaan seperti ‘orang suci’, ‘benda-benda suci’,
’perjamuan suci’, ‘Yang Mahasuci’, akan tetapi juga dengan katakata
seperti
‘ritual’,
’etos’,
’mythos’,
’ibadah’,
’pujian’,
’penyembahan’, ’kyai’, ’pendeta’, ’pastur’, ’bikhu’, ’samanera’,
’rama’, dan sebagainya. Hal semacam ini menjadi pertimbangan
antara lain karena kosakata yang digunakan dalam berbagai
agama/kepercayaan semacam ini disamping mengandung makna
umum juga mengandung makna khusus yang hanya dipahami atau
dihayati oleh masing-masing umat secara internal.
Namun dalam prakteknya hal yang demikian itu sering
tidak disadari bahwa penggunaan dan persepsi atas kosakata yang
sama itu sesungguhnya berbeda-beda sesuai dengan tradisi dan
kerangka ajaran agama-agama/kepercayaan masing-masing. Oleh
sebab itu, dalam jurnal ilmiah ini disebutkan bahwa tujuan utama
penelitian ini adalah untuk mengkaji kesamaan dan perbedaan
makna-makna kata ‘suci’, sehingga pada akhirnya akan membantu
mengurangi kesalahpahaman yang tak jarang berdampak pada
15
ketegangan yang pada dasarnya tidak perlu terjadi. Fokus
pengamatan penelitian ini adalah penggunaan kata ‘suci’ pada
agama Kristen dan Kong Hu Cu. Pola penelitian dalam jurnal ini
sekilas nampak sama dengan pola penelitian dalam skripsi ini.
Namun terdapat perbedaan mendasar mengenai alasan pemilihan
kata ‘suci’ dan fokus penelitian. Skripsi ini memfokuskan
penelitian pada makna kata ‘suci’ dalam kolokasi keagamaan
agama Kristen dan Islam.
2.
Sebuah makalah seminar berjudul “Tipologi Leksikal Verba
‘memotong’dalam Bahasa Manggarai : A Natural Semantic
Metalanguage (NSM)” yang ditulis oleh
Vinsensius Gande.
Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam rangka
Hari Bahasa Ibu International
yang diselenggarakan oleh
Universitas Udayana, 17 Februari 2012. Makalah ini berisi sebuah
penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang
komprehensif mengenai realisasi leksikal verba ‘memotong’, dan
struktur semantik verba ‘memotong’ serta fitur-fitur pembeda
struktur semantik verba ‘memotong’ bahasa Manggarai. Realisasi
leksikal yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah bentuk-bentuk
leksikon dari verba ‘memotong’. Landasan teori yang digunakan
dalam penelitian ini adalah teori Natural Semantic Metalanguage
dengan metode penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah
16
sebuah realisasi leksikal verba ‘memotong’ dalam bahasa
Manggarai yang memiliki keunikan tersendiri, baik dalam
memotong pada manusia, hewan, pohon, rumput, buah, daun, tali
dan kain. Leksikon-leksikon yang merupakan hiponimi dari verba
‘memotong’ memiliki satu bentuk untuk satu makna sesuai dengan
postulat ilmu semantik.
3.
Sebuah artikel yang berjudul “Konsep ‘nasi’ dalam Bahasa Sunda:
Studi Antropolinguistik di Kampung Naga, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya” yang disusun oleh Rizki Hidayatullah dan
Mahmud Fasya. Penelitian ini dilakukan atas dasar sebuah asumsi
bahwa sejumlah kelompok etnik di Indonesia memiliki cara yang
khas untuk mengungkapkan konsep ‘nasi’ dalam bahasanya.
Keunikan cara pengungkapan tersebut mencerminkan keragaman
realitas dan budaya yang melatarbelakanginya. Salah satu
kelompok etnik yang memiliki konsep unik tentang nasi adalah
masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat.
Mereka mengenal berbagai leksikon yang berkaitan dengan nasi,
seperti ditutu [ditutu] ‘ditumbuk’, ditapian [ditapi?an] ‘diayak’,
diisikan [di?isikan] ‘dicuci’, dikarihan [dikarihan] ‘dimasak
setengah matang’, diseupan [disəpan] ‘ditanak’, dan diakeul
[di?akeəl] ‘diaduk perlahan setelah matang’. Leksikon-leksikon
tersebut memiliki makna yang khas bagi masyarakat adat Kampung
17
Naga yang masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokalnya.
Kajian mengenai konsep nasi ini penting dilakukan karena dapat
mengungkap keunikan masyarakat adat Kampung Naga khususnya
dan masyarakat Sunda pada umumnya dalam memandang nasi
sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan mereka. Kajian ini
setidaknya
antropologis
melibatkan
dua
(anthropological
disiplin
ilmu,
linguistics)
yaitu
dan
linguistik
antropologi
linguistik (linguistic anthropology). Artinya, kajian tentang konsep
nasi dalam suatu bahasa tidak hanya dilakukan secara terbatas di
dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam
konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu
menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan. Ada
tiga rumusan masalah yang
dikaji dalam penelitian ini: (1)
bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon konsep nasi di
Kampung Naga berdasarkan satuan lingual; (2) bagaimana fungsi
leksikon konsep nasi bagi masyarakat adat Kampung Naga; (3)
bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan
leksikon konsep nasi yang digunakan oleh masyarakat adat
Kampung Naga.
B. Landasan Teori
1. Morfologi dan Sintaksis
18
Morfologi bersama-sama dengan sintaksis merupakan tataran
ilmu bahasa yang disebut tata bahasa atau gramatika. Morfologi (tata
kata atau tata bentuk) merupakan studi gramatikal struktur interen
kata. Sedangkan sintaksis (tata kalimat) merupakan studi gramatikal
tentang kalimat.
Morfologi mengenal unsur dasar atau satuan terkecil dalam
wilayah pengamatannya. Satuan gramatikal terkecil tersebut disebut
morfem yang karena disebut sebagai satuan gramatikal, maka morfem
tersebut memiliki makna. Dalam ilmu bahasa dikenal satuan-satuan
lain seperti kata, frasa, klausa dan kalimat. Dengan demikian, morfem
menjadi bagian pembentuk atau konstituen satuan-satuan gramatikal
yang lebih besar itu. Morfem dapat dibedakan menurut macam
maknanya. Ada jenis morfem yang mempunyai ‘makna dasar’ yang
menunjuk pada benda, hal, perbuatan, atau sifat yang terdapat di alam
sekitar kita. Morfem jenis ini memiliki makna leksikal. Dan ada pula
jenis morfem yang dianggap hampir tidak memiliki makna dasar,
namun kehadirannya memiliki makna gramatikal. Dalam morfologi
dikenal pula satuan terbesar dalam wilayah pengamatannya. Satuan
terbesar tersebut disebut ‘kata’.
Jika dalam morfologi digunakan morfem sebagai satuan terkecil
dan kata sebagai satuan terbesarnya, dalam sintaksis kata merupakan
satuan terkecil dalam pengamatan yang membentuk satuan-satuan
gramatikal yang lebih besar. Namun dalam praktiknya, sintaksis pada
19
umumnya membatasi ranah pembicaraannya sampai pada kalimat.
Dengan kata lain, kalimat dianggap sebagai satuan yang terbesar,
walaupun pada kenyataannya kalimat bukanlah satuan yang terbesar
dalam bahasa. Sintaksis berusaha menerangkan pola-pola yang
mendasari
satuan-satuan
sintaksis
serta
bagian-bagian
yang
membentuk satuan-satuan tersebut. Di samping itu, sintaksis juga
membicarakan alat-alat sintaksis yang menghubungkan bagian-bagian
pembentuk (konstituen) satuan sintaksis serta menunjukkan makna
gramatikalnya. Alat-alat sintaksis tersebut meliputi urutan, bentuk
kata, intonasi, dan partikel atau kata tugas.
2. Semantik
a.
Pengertian Semantik
Dalam bukunya, Chaer (2009:2) menyebutkan bahwa kata
‘semantik’ dalam bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal
dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti ‘tanda’ atau
‘lambang’). Kata kerjanya adalah semaio yang berarti ‘menandai’
atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang
di sini sebagai padanan kata sema itu adalah ‘tanda linguistik’,
yaitu yang terdiri dari komponen yang mengartikan (yang
berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa) dan komponen yang
diartikan (makna dari komponen yang pertama itu). Kata
‘semantik’ ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan
20
untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tandatanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya.
Selain
istilah ‘semantik’, dalam sejarah linguistik
digunakan juga istilah lain seperti ‘semiotika’, ‘semiologi’,
‘semasiologi’, ‘sememik’, ‘dan ‘semik’ untuk merujuk pada bidang
studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau
lambang. Namun dalam hal ini, cakupan semantik hanyalah makna
atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi
verbal.
Berbeda
dengan
tataran
analisis
lainnya,
semantik
merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan erat
dengan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi, bahkan
juga dengan filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai
kepentingan dalam semantik karena sering dijumpai kenyataan
bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu
makna dapat menandai identitas kelompok dalam masyarakat.
Sedangkan antropologi berkepentingan dengan semantik karena
analisis makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klarifikasi praktis
tentang kehidupan budaya pemakainya.
Dalam analisis semantik harus juga disadari bahwa bahasa
itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan budaya masyarakat pemakainya. Oleh sebab itu, makna
analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja,
21
tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Kesulitan
lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa
tidak selalu ‘yang menandai’ dan ‘yang ditandai’ berhubungan
sebagai satu lawan satu, artinya setiap ‘tanda linguistik’ hanya
memiliki satu makna. Adakalanya hubungan itu berlaku sebagai
satu lawan dua atau lebih. Selain itu, dalam bahasa yang
penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar
belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda,
maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki
nuansa makna yang berlainan.
b. Jenis Semantik
Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa yang
menjadi objek studi semantik adalah makna bahasa (kata, frasa,
klausa,
kalimat
dan
wacana).
Berikut
ini
adalah
bagan
yangmenunjukkan kedudukan serta objek studi semantik, yaitu
makna dalam keseluruhan sistematika bahasa:
Bagan 1. Tataran Semantik
22
Bagan tersebut menunjukkan beberapa jenis semantik yang
dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa itu yang
menjadi objek penyelidikannya. Jika yang menjadi objek
penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu, maka jenis
semantiknya disebut semantik leksikal. Kemudian pada tataran
fonetik, yaitu bidang studi yang mempelajari bunyi (fon) tanpa
memperhatikan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna, tidak ada
semantik karena fon menjadi satuan dari fonetik tidak memiliki
makna. Selanjutnya pada tataran fonologi (atau fonemik) pun tidak
ada semantik karena, walaupun fonem yang menjadi satuan dalam
studi fonetik mempunyai fungsi untuk membedakan makna kata,
namun fonem itu sendiri tidak bermakna.
Yang terakhir, tataran tata bahasa atau gramatika dibagi
menjadi dua subtataran, yaitu morfologi dan sintaksis. Morfologi
adalah cabang dari linguistik yang mempelajari struktur interen
kata serta proses-proses pebentukanya, sedangkan sintaksis adalah
studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam membentuk
satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa dan kalimat.
c.
Manfaat Semantik
Untuk membicarakan manfaat dari kajian semantik, tentu
saja kita harus melihat terlebih dahulu ranah kerja seseorang. Bagi
seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung
dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali
23
akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan tentang
semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam
memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam
menyampaikan informasi kepada masyarakat umum.
Bagi orang yang berkecimpung dalam dunia penelitian
bahasa, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis
kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa Indonesia atau bahasabahasa lain yang sedang dipelajarinya. Bagi seorang guru,
mempelajari semantik akan berdampak positif karena akan
memberikan manfaat teoritis dan praktis. Bermanfaat secara
teoritis karena teori-teori semantik akan menolongnya memahami
dengan lebih baik ‘rimba belantara rahasia’ bahasa yang akan
diajarkannya itu. Selain itu, seorang guru akan memperoleh
kemudahan dalam mengajarkan sebuah bahasa kepada muridmuridnya, yang selanjutnya disebut sebagai manfaat praktis.
Sedangkan bagi orang awam, mempelajari semantik pun memiliki
manfaat untuk membantunya dalam memahami dunia sekitarnya
yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan.
d. Makna dan Masalahnya
Telah dibahas di bagian sebelumnya bahwa sesungguhnya
persoalan makna memang sangat sulit dan rumit, karena walaupun
makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan
24
keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat.
Padahal segi-segi kehidupan manusia itu sendiri sangat kompleks
dan luas. Oleh sebab itu sampai saat ini belum ada yang dapat
mendeskripsikan makna bahasa secara tuntas. Selanjutnya, bahasa
begitu besar peranannya dalam kehidupan manusia karena bahasa
mampu mentransfer keinginan, gagasan, kehendak, dan emosi dari
seorang manusia yang satu kepada manusia yang lainnya. Bahasa
yang wujudnya berupa bunyi-bunyi ujar dalam suatu pola
bersistem tidak lain daripada lambang-lambang konsep dan
gagasan yang dipahami dan disepakati bersama oleh para anggota
penuturnya.
Namun walaupun demikian, sebagai alat komunikasi,
penyampai ide, konsep, gagasan, dan sebagainya, bahasa masih
mempunyai persoalan dan hambatan. Persoalan dan hambatan
kebahasaan ini memang ada kemungkinan bersumber dari bahasa
itu sendiri, seperti adanya lambang-lambang bahasa yang bisa
melambangkan dua konsep atau lebih, atau sebaliknya ada dua
lambang atau lebih yang melambangkan konsep-konsep yang
abstrak. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa permasalahanpermasalahan tersebut sebagai akibat dari kemampuan berbahasa
dan bernalar para penuturnya yang kurang, sehingga mereka
seringkali tidak bisa membedakan apa yang disebut informasi dan
maksud. Memang tidak sedikit orang yang mencampuradukkan
25
konsep tentang makna, informasi dan maksud. Ketiganya dianggap
sama saja sebagai makna.
Menurut de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua
unsur, yaitu yang diartikan (signified) dan yang mengartikan
(signifier). ‘Yang diartikan’ sebenarnya tidak lain daripada konsep
atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan ‘yang
mengartikan’ itu tidak lain adalah bunyi-bunyi itu sendiri yang
terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan itu sendiri.
Jadi dengan kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi
dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah ‘unsur dalam’ bahasa
(intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu
referen yang merupakan ‘unsur luar’ bahasa (ekstralingual).
Sebetulnya dalam bidang semantik, istilah yang biasa digunakan
untuk ‘tanda linguistik’ itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan
sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat terjadi
dari morfem tunggal atau gabungan morfem adalah istilah dalam
bidang gramatika. Sebuah kata/leksem mengandung makna atau
konsep. Makna atau konsep bersifat umum, sedangkan sesuatu
yang dirujuk (yang berada di luar bahasa) bersifat tertentu.
Hubungan antara kata dengan maknanya memang bersifat
arbitrer. Artinya, tidak ada hubungan yang wajib antara deretan
fonem pembentuk kata itu dengan maknanya, namun hubungannya
bersifat konvensional. Artinya, disepakati oleh setiap anggota
26
masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu. Sebab
kalau tidak, komunikasi verbal yang dilakukan akan menuai
hambatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara sinkronis
hubungan antara kata dan maknanya. Secara sinkronis ada
kemungkinan bisa berubah sesuai dengan perkembangan budaya
dan masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, referen
sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak tetap
atau berubah adalah karena kata tersebut digunakan secara
metaforis.
Seperti telah disampaikan di depan, bahwa masalah yang
sering timbul adalah kaburnya pengertian dari makna, informasi
dan maksud. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa makna
adalah gejala dalam ujaran (utterance-internal phenomenon)
sedangkan informasi adalah gejala luar ujaran (utterance-external
phenomenon). Karena mengacaukan pengertian makna dengan
informasi, maka banyak juga orang yang menyatakan suatu kalimat
tertentu sama maknanya dengan parafrase dari kalimat itu. Itu pun
keliru, sebab parafrase adalah rumusan informasi yang sama dalam
bentuk ujaran yang lain. Di samping parafrase, ada juga istilah
‘perifrase’, yaitu informasi yang sama dengan rumusan yang lebih
panjang.
Suatu
perifrase
menambah
sesuatu
pada
yang
diperifrasekan tetapi tetap mempertahankan informasi yang sama.
27
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap perifrase adalah
parafrase juga, tetapi tidak setiap parafrase adalah perifrase.
Selanjutnya, akan dibicarakan mengenai perbedaan antara
informasi dan maksud. Informasi dan maksud sama-sama sesuatu
yang luar-ujaran. Hanya bedanya, jika informasi adalah sesuatu
yang di luar ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang
dibicarakan, sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang
yang berbicara, atau pihak subjeknya. Maksud banyak digunakan
dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes,
dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain.
e.
Jenis Makna
Dalam pembahasan ini akan dibedakan antara makna
leksikal
dan
makna
gramatikal,
makna
referensial
dan
nonreferensial, makna denotatif dan makna konotatif, makna kata
dan makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna
idiomatikal dan peribahasa, makna kias, serta makna lokusi, ilokusi
dan perlokusi. Berikut penjabarannya.
1) Makna Leksikal dan Makna Gramatikal
Dalam bukunya, Chaer (2009:60) mengungkapkan
bahwa ‘leksikal’ adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari
bentuk
nomina
‘leksikon’
(vokabuler,
kosa
kata,
28
perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah ‘leksem’,
yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon
kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka
leksem dapat kita samakan dengan kata. Dengan demikian,
makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat
leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Oleh sebab itu
dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang
sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil
observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh ada
dalam kehidupan kita.
Makna
leksikal
biasanya
dipertentangkan
atau
dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan
referennya, maka makna gramatikal adalah makna yang hadir
sebagai akibat dari adanya proses gramatika (seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi). Oleh karena
makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering
tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi. Maka
makna gramatikal itu sering juga disebut ‘makna kontekstual’
atau ‘makna situasional’. Selain itu bisa juga disebut ‘makna
struktural’ karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu
selalu
berkenaan
dengan
struktur
kebahasaan.
Proses
29
komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa Indonesia
juga banyak melahirkan makna gramatikal.
2) Makna Referensial dan Makna Nonreferensial
Perbedaan antara makna referensial dan makna
nonreferensial diketahui dari ada atau tidaknya referen dari
kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu
sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata
tersebut disebut sebagai kata bermakna referensial. Namun,
jika kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, maka kata itu
disebut kata bermakna nonreferensial. Sebagai contoh, kita
dapat menyebut ‘pensil’ dan ‘penggaris’ memiliki makna
referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis
peralatan tulis. Sebaliknya kata ‘karena’ dan ‘dan’ tidak
mempunyai referen, oleh sebab itu dapat digolongkan dalam
kata yang bermakna nonreferensial.
Karena
kata-kata
yang
termasuk
preposisi
dan
konjungsi, juga kata tugas lainnya tidak mempunyai referen,
maka banyak orang mengambil kesimpulan bahwa kata-kata
tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya
memiliki fungsi atau tugas. Lalu, karena hanya memiliki fungsi
atau tugas lalu dinamailah kata-kata tersebut dengan nama
‘kata fungsi’ atau ‘kata tugas’. Namun sebenarnya kata-kata ini
30
juga mempunyai makna, hanya saja memang tidak memiliki
referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu
kata yang bermakna nonreferensial. Artinya, memiliki makna
namun tidak memiliki referen.
3) Makna Denotatif dan Konotatif
Hal yang paling mencolok untuk dapat membedakan
makna denotatif dan makna konotatif adalah mengenai ada atau
tidaknya ‘nilai rasa’. Setiap kata itu mempunyai (terutama yang
disebut kata penuh) mempunyai makna denotatif, tetapi tidak
setiap kata itu memiliki makna konotatif. Sebuah kata disebut
memiliki makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai
rasa’, baik positif maupun negatif. Namun, jika suatu kata tidak
memiliki nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi.
Tetapi dapat juga disebut memiliki konotasi netral.
Makna denotasi pada dasarnya sama dengan makna
referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan
sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
pengelihatan,
penciuman,
pendengaran,
perasaan
atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu maka
denotasi sering disebut sebagai ‘makna sebenarnya’. Sedangkan
makna konotatif memiliki keunikannya sendiri. Makna konotasi
31
sebuah bahasa dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat
dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan
pandangan
hidup,
dan norma-norma penilain
kelompok
masyarakat tesebut. Misalkan saja kata ‘babi’. Kata tersebut
memiliki konotasi negatif bagi komunitas-komunitas agama
yang menajiskannya, namun bisa saja di dalam lingkungan
masyarakat yang lain kata ini tidak memiiki konotasi negatif.
Oleh sebab itu, makna konotatif dapat juga berubah dari waktu
ke waktu.
4) Makna Kata dan Makna Istilah
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007),
‘kata’ adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang
merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang
dapat digunakan dalam berbicara. Sedangkan ‘istilah’ adalah
kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan
makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam
bidang tertentu. Melihat hal ini, tentunya harus sangat dibedakan
mengenai makna kata dan makna istilah.
Perbedaan adanya makna kata dan makna istilah
didasarkan pada ketepatan makna itu dalam penggunaannya
secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa
secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak
32
cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam
penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, katakata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun
menjadi tepat. Makna sebuah kata walaupun secara sinkronis
tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan,
dapat menjadi berifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas
kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat maka kata itu
menjadi umum dan kabur.
Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat
umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti.
Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu
hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu.
Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti.
Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin
untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau
kegiatan tertentu. Di luar bidang tertentu, istilah sebenarnya
dikenal juga adanya pembedaan kata dengan makna umum dan
kata dengan makna khusus atau makna yang lebih terbatas.
5) Makna Konseptual dan Makna Asosiatif
Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif
didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi,
refleksi) makna sebuah kata dengan makna yang lain. Secara
33
garis besar tokoh semantik, Leech membedakan makna menjadi
makna asosiatif dan makna konseptual.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna
yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Oleh sebab itu,
sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna
referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan
makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata
berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di
luar bahasa. Sebagai contoh, kata ‘melati’ berasosiasi dengan
makna ‘suci’, kata ‘merah’ berasosiasi dengan kata ‘berani’.
Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambangperlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk
menyatakan suatu konsep lain.
Karena makna asosiatif ini berhubungan dengan nilainilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu
masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa
bahasa, maka ke dalam makna asosiatif ini termasuk juga makna
konotatif. Di samping itu ke dalamnya termasuk juga maknamakna lain seperti makna stilistika, makna afektif dan makna
kolokatif. Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan
kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang
kegiatan di dalam masyarakat. Makna afektif berkenaan dengan
34
perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi baik
terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan.
Sedangkan makna kolokatif berkenaan dengan makna kata
dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai
‘tempat’ yang sama dalam sebuah frase (‘ko’ artinya
‘sama’/’bersama’; ‘lokasi’ artinya ‘tempat’).
6) Makna Idiomatikal dan Peribahasa
Untuk memahami pembahasan ini, sebelumnya kita
harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan
idiom. Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata,
frasa maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan
dari makna-makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna
gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom ini tidak
lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal
unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang
menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang
maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut.
Ada dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia,
yaitu: idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah
idiom
yang
unsur-unsurnya
secara
keseluruhan
sudah
merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contonya pada
idiom ‘membanting tulang’, ‘menjual gigi’, dan ‘meja hijau’.
35
Sedangkan pada idiom sebagian masih ada unsur yang masih
memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya ‘daftar hitam’ dan
‘koran kuning’. Dari uraian ini maka dapat ditarik kesimpulan
bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa
(entah kata, frasa, atau kalimat) yang ‘menyimpang’ dari makna
leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya.
Berbeda dengan idiom –terutama idiom penuh- yang
maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara leksikal maupun
gramatikal, makna peribahasa masih dapat diramalkan karena
adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan
gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna
lain yang menjadi tautannya. Karena peribahasa itu bersifat
membandingkan, atau mengumpamakan, maka lazim juga
disebut dengan nama ‘perumpamaan’.
7) Makna Kias
Dalam kehidupan sehari-hari dan juga di dalam Kamus
Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta
digunakan istiah ‘arti kiasan’. Tampaknya penggunaan istiah ini
sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh sebab itu semua
bentuk bahasa (baik kata, frasa, maupun kalimat) yang tidak
merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual,
maupun arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Kita
36
mungkin sering melihat bahwa bentuk ujaran dengan makna
yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan.
8) Makna Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi
Dalam kajian tindak tutur (speech act) dikenal adanya
makna lokusi, makna ilokusi dan makna perlokusi. Makna
lokusi adalah makna seperti yang diungkapkan dalam ujaran,
makna harafiah, atau makna apa adanya. Makna ilokusi adalah
makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sedangkan makna
perlokusi adalah makna sesuai yang diinginkan oleh penutur.
f. Relasi Makna
Dalam
setiap
bahasa
-termasuk
bahasa
Indonesia-
seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi
semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan
kata atau satuan bahasa lainnya. Dalam pembahasan ini akan
dijelaskan secara rinci relasi kemaknaan yang meliputi hal
kesamaan
makna
(sinonim),
kebalikan
makna
(antonim),
kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna
(hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna
(rendundansi), dan sebagainya.
37
1) Sinonimi
Untuk dapat memahami secara mendalam mengenai
‘sinonim’, maka perlu juga untuk mengetahui arti kata tersebut.
Secara etimologi, kata ‘sinonim’ berasal dari bahasa Yunani
kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti
‘dengan’. Dengan demikian sinonim dapat diartikan sebagai
nama lain untuk benda atau hal yang sama. Secara semantik
sinonim didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa
atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Dalam hal ini hubungan makna antara dua buah
kata yang bersinonim bersifat dua arah. Sebagai contoh, kata
‘wanita’ bersinonim dengan kata ‘perempuan’. Oleh sebab itu
kata ‘perempuan’ pun bersinonim juga dengan kata ‘wanita’.
Dalam pembahasan di atas diungkapkan bahwa sinonim
merupakan ungkapan yang maknanya ‘kurang lebih sama’. Hal
ini berarti, dua buah kata yang bersinonim tersebut kesamaannya
tidak seratus persen. Hal ini terjadi karena telah diungkapkan
sebelumnya bahwa prinsip umum semantik adalah bentuk
sebuah kata yang berbeda dapat menimbulkan makna yang
berbeda pula, walaupun dalam hal ini perbedaannya hanya
sedikit. Demikian juga dengan kata-kata yang bersinonim,
karena bentuknya berbeda, maka maknanya pun tidak sama
persis. Lalu jika demikian, mungkin akan timbul sebuah
38
pertanyaan. Jika dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki
makna yang seratus persen sama, maka dalam hal apa kedua
kata itu memiliki kesamaan?
Menurut teori Verhaar, yang sama adalah informasinya.
Padahal informasi bukanlah makna karena informasi bersifat
ekstralingual, sedangkan makna bersifat intralingual. Oleh sebab
itu mungkn saja yang sama adalah komponen maknanya. Mari
lihat contoh berikut:
‘hanya dikenakan pada manusia’
‘mati’
‘tidak bernyawa’
‘meninggal’
‘dapat dikenakan kepada siapa saja’
Dalam contoh di atas, kata ‘mati’ dan kata ‘meninggal’
memiliki kesamaan komponen makna dalam hal ‘tidak
bernyawa’. Sedangkan kedua kata ini tidak dapat disimpulkan
sebagai dua kata yang sama persis karena memiliki perbedaan
komponen makna dalam hal kepada siapa kata tersebut
dikenakan. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris
memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia.
Oleh karena itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan begitu saja
pun sangat jarang ditemui.
39
Ketidakmungkinan kita menukar sebuah kata dengan kata
lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain karena
faktor waktu, tempat atau daerah, sosial, bidang kegiatan, dan
nuansa makna. Hal lain yang perlu diperhatikan perihal sinonim ini
adalah sebagai berikut:
a) tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim;
b) ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar, tetapi tidak
pada bentuk jadian;
c) ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk
dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian;
d) ada kata-kata yang dalam ‘arti sebenarnya’ tidak memiliki
sinonim, tetapi dalam ‘arti kias’ justru memiliki sinonim.
2) Antonim dan Oposisi
Kata ‘antonim’ berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata
tersebut terdiri dari kata onoma yang artinya ‘nama’ dan anti
yang artinya ‘melawan’, yang jika digabungkan dapat berarti
‘nama lain untuk benda yang lain pula’. Namun secara lengkap
antonim merupakan ungkapan (biasanya berupa kata, namun
tidak menutup kemungkinan juga dapat ditemui dalam bentuk
frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari
makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata
40
yang berantonim bersifat dua arah, artinya sifat ini berlaku
kebalikan.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada
semua tataran bahasa (tataran morfem, tataran kata, tataran
frase, dan tataran kalimat). Namun dalam bahasa Indonesia
untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada. Namun hal
ini tidak berlaku untuk bahasa-bahasa lain.
Dalam
berbagai
sumber
kata
‘antonim’
sering
diistilahkan dengan ‘lawan kata’. Persoalan ini nampaknya
menimbulan perdebatan yang panjang di antara para ahli bahasa.
Hal ini didasarkan pada argumen bahwa pada dasarnya bukan
kata-katanyalah yang berlawanan, namun makna dari kata-kata
tersebut yang berlawanan. Oleh sebab itu banyak yang
beranggapan bahwa seharusnya bukan ‘lawan kata’ yang
digunakan untuk mengistilahkan ‘sinonim’, tetapi ‘lawan
makna’. Karena berkaitan dengan makna, maka sama halnya
dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Misalkan
saja kata ‘hitam’ dan ‘putih’. Kedua kata ini tidak mutlak
berantonim karena hubungan perbandingan maknanya tidak
mutlak searah. Yang tidak ‘hitam’ belum tentu
‘putih’,
demikian juga dengan tidak ‘putih’ belum tentu ‘hitam’. Bisa
saja tidak ‘hitam’ berarti ‘abu-abu’. Hal semacam ini sering
disebut sebagai oposisi makna. Dengan istilah ‘oposisi’ maka
41
akan tercakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai
kepada yang hanya bersifat kontras saja. Oposisi itu sendiri
dapat dibedakan menjadi:
a) oposisi mutlak, dalam hal ini terdapat pertentangan makna
secara mutlak;
b) oposisi kutub, pertentangannya tidak bersifat mutlak,
namun bersifat gradasi;
c) oposisi hubungan, makna kata-kata yang beroposisi
hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi;
d) oposisi hierarkial, makna kata-kata yang beroposisi
hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan;
e) oposisi majemuk, kata-kata yang beroposisi terhadap lebih
dari sebuah kata.
3) Homonimi, Homofoni dan Homografi
Homonimi merupakan ungkapan (berupa kata, frase atau
kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga
berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama.
Contohnya hubungan antara kata ‘pacar’ yang berarti ‘inai’ dan
kata ‘pacar’ yang berarti ‘kekasih’. Dalam hal ini sangat jelas
ditunjukkan bahwa dua kata yang memiliki bentuk yang sama
persis, namun maknanya sangat berbeda. Hubungan homonimi
ini bersifat dua arah.
42
Pada dasarnya homofoni tidak jauh berbeda dengan
homonimi. Hanya saja homonimi dilihat dari bentuk ‘satuan
bahasanya’, sedangkan homofoni dilihat dari segi ‘bunyi’.
Sebagai contoh, kita lihat hubungan antara kata ‘bank’ yang
berarti ‘badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan
mengeluarkan uang dari masyarakat’ dengan kata ‘bang’ yang
berarti ‘kakak laki-laki’. Kedua kata ini jika diucapkan memiliki
bunyi yang sama, namun tentu saja maknanya sangat berbeda.
Jika homonimi menitikberatkan pada ‘bentuk satuan
bahasa’ dan homofoni pada ‘bunyi’, maka sesuai dengan
namanya, homograf menitikberatkan pada perbandingan ‘tulisan
atau ejaan’. Hal ini dapat dengan mudah ditemui dalam tulisan
huruf Arab gundul atau pegon. Namun hal ini juga dapat kita
temui dalam kosakata bahasa Indonesia. Misalkan saja pada kata
‘teras’. Kata ‘teras’ ini dapat diartikan sebagai ‘hati kayu atau
bagian dalam kayu’, namun dapat juga diartikan sebagai ‘bagian
depan sebuah rumah’. Kedua pengertian ini memang sangat
berbeda. Namun pada umumnya ditulis dengan bentuk kata yang
sama, ‘teras’. Walaupun di dalam Kamus Umum Bahasa
Indonesia telah dibedakan dengan pemberian lambang fonem,
namun pada umumnya kata ini dikategorikan sebagai kata yang
berhomograf.
43
4) Hiponimi dan Hipernimi
Kata ‘hiponimi’ berasal dari bahasa Yunani kuno yang
terdiri dari kata onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang
berarti ‘di bawah’. Dengan demikian secara harafiah hiponim
dapat diartikan sebagai nama yang termasuk di bawah nama
lain. Sedangkan secara semantik, hiponim dapat diartikan
sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga
berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan
bagian dari makna suatu ungkapan lain. Relasi antara dua buah
kata yang berhiponim ini adalah searah. Misalkan saja, kata
‘mujahir’ berhiponim terhadap kata ‘ikan’. Namun, kata ‘ikan’
tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’. Hal ini dikarenakan
kedudukan umum-khususnya yang tidak sebanding. Kata
‘mujahir’ (makna lebih khusus) merupakan bagian dari kata
‘ikan’ (makna lebih umum). Oleh sebab itu, sekali lagi kata
‘ikan’ tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’, namun kata
‘ikan’ berhipernim terhadap kata ‘mujahir’.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya
kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata
yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh sebab itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap
sejumlah kata lain akan menjadi hiponim terhadap kata lain
yang hierarkial berada di atasnya. Yang perlu diperhatikan
44
adalah, konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada
kata benda, tetapi agak sulit diterapkan pada kata kerja atau kata
sifat.
5) Polisemi
Polisemi
sering
diartikan
sebagai
satuan
bahasa
(terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari
satu. Namun pada pembahasan terdahulu diungkapkan bahwa
setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut
sebagai makna leksikal atau makna yang sesuai dengan
referennya.
Dalam
perkembangan
selanjutnya,
kompnen-
komponen makna ini berkembang menjadi makna-makna
tersendiri. Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah
kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk kepada
referen dari kata itu. Lagipula kehadirannya harus pula dalam
satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase
dan kalimat.
Secara sepintas mungkin akan ada pendapat yang
menyatakan bahwa sebenarnya polisemi dan homonimi ini
memiliki kemiripan, bahkan ada yang berpendapat bahwa
keduanya sama. Namun sebenarnya di antara homonimi dan
polisemi ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Perbedaan yang sudah sangat jelas adalah bahwa homonimi
bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang
45
kebetulan bentuknya sama. Kemudian, karena homonimi ini
bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh sebab itu
di dalam kamus, bentuk-bentuk homonimi didaftarkan sebagai
entri-entri yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi
adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu.
Dengan demikian, oleh karena polisemi ini adalah sebuah kata,
maka dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri.
Selain perbedaan tersebut, terdapat satu perbedaan lagi
antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada
bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungnnya
sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan
makna-makna pada kata yang polisemi masih ada hubungannya
karena memang dikembangkan dari komponen-komponen
makna kata-kata tersebut.
6) Ambiguitas
Chaer (2009:104) dalam bukunya mengungkapkan
bahwa ‘ambiguitas’ atau yang sering disebut sebagai ‘ketaksaan’
sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua
arti. Pengertian ini tidak salah, namun jika kita melihat
pengertian ini, maka akan sangat sulit dibedakan antara kata
bemakna polisemi dengan kata yang bermakna ambigu.
Walaupun ambiguitas dan polisemi merupakan kata-kata yang
46
bermakna ganda, namun kegandaan makna dalam polisemi
berasal
dari
kata,
sedangkan
kegandaan
makna
dalam
ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar
(yaitu frase atau kalimat) dan terjadi sebagai akibat dari
penafsiran struktur gramatikal yang berbeda.
7) Redundansi
Meskipun tidak ditemukan dalam kosakata bahasa
Indonesia, namun kata ‘redundansi’ sering diartikan sebagai
‘berlebih-lebihan’ dalam pemakaian unsur segmental dalam
suatu bentuk ujaran. Namun secara semantik, sebenarnya
masalah redundansi tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar
semantik adalah bila bentuk berbeda, maka maknanya pun akan
menjadi berbeda juga.
g.
Medan Makna dan Komponen Makna
1) Medan Makna
Dalam
Kamus
Linguistik
(Kridalaksana,
1982)
diungkapkan bahwa ‘medan makna’ (semantic field, semantic
domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang
menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas
dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh
seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata
47
atau unsur leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu
bidang tertentu jumlahnya tidak sama dari satu bahasa dengan
bahasa lain. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur leksikal
dalam setiap bahasa berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi
budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu termasuk dalam golongan
‘kolokasi’ dan golongan ‘set’. Kolokasi berasal dari bahasa latin
colloco yang berarti ‘ada di tempat yang sama dengan’.
Pengertian ini menunjuk pada hubungan sintagmatik yang
terjadi antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Untuk
memperoleh gambaran lebih terang mengenai hal ini, maka kita
dapat mengambil contoh kalimat: “Tiang layar perahu nelayan
itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan
tenggelam beserta isinya”. Melalui kalimat tersebut kita dapati
kata ‘layar’, ‘perahu’, ‘nelayan’, ‘badai’, ‘ombak’, dan
‘tenggelam’ merupakan kata-kata dalam satu kolokasi atau satu
tempat atau satu lingkungan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan
bahwa kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau
berada bersama dalam satu tempat atau satu lingkungan.
Jika koloasi merujuk pada hubungan sintagmatik karena
sifatnya yang linear, maka ‘set’ menunjuk pada hubungan
paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada
48
dalam suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set biasanya
berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang
tampaknya merupakan satu kesatuan. Hal lain yang penting
adalah, setiap unsur leksikal dalam suatu set dibatasi oleh
tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set
tersebut.
Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai teori medan makna,
meskipun makna unsur-unsur leksikal itu sering bertumpang
tindih dan batas-batasnya seringkali menjadi kabur. Kelemahann
lainnya adalah pengelompokan ini juga kurang memperhatikan
perbedaan antara yang disebut makna denotasi dan makna
konotasi, antara makna dasar dari suatu kata atau leksem dengan
makna tambahan dari kata itu.
2) Komponen Makna
Komponen makna atau komponen semantik (semantic
feature,
semantic
property,
atau
semantic
marker)
mengungkapkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri
dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk
makna kata atau makna unsur lesikal tersebut.
3. Linguistik Antropologi
49
Dalam bukunya, Koentjaraningrat (1883:1) menjelaskan awal
mula terbentuknya ilmu antropologi. Dalam fase awal (sebelum tahun
1800), suku-suku bangsa penduduk pribumi Afrika, Asia dan Amerika
mulai didatangi oleh orang Eropa Barat sejak akhir abad ke-15 dan
permulaan abad ke-16. Lambat laun (dalam proses yang terjadi hingga
4 abad lamanya) berbagai daerah di muka bumi mulai terkena
pengaruh negara-negara Eropa Barat. Dalam waktu yang bersamaan,
mulai terkumpul himpunan besar buku-buku kisah perjalanan, laporan
dan lain sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, pendeta,
penerjemah Kitab Injil dan pegawai pemerintah jajahan. Dalam
sumber ini pun termuat suatu himpunan besar dari bahan pengetahuan
berupa deskripsi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan
ciri-ciri fisik dari beraneka warna suku-bangsa di Afrika, Asia,
Oseania (yaitu kepulauan di Lautan Teduh) dan suku-suku bangsa
Indian, penduduk pribumi Amerika. Dari himpunan bahan-bahan
tersebut ternyata terdapat hal yang sangat menarik perhatian bangsabangsa Eropa Barat. Dalam himpunan tersebut terdapat perbedaan
yang sangat mendasar dari adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa
dan ciri-ciri fisik bangsa Eropa Barat. Nantinya bahan-bahan
pengetahuan tersebut disebut dengan etnografi yang berasal dari kata
ethnos yang berarti ‘bangsa’ atau ‘deskripsi tentang bangsa-bangsa’.
Dalam perkembangannya, ilmu antropologi ini mencapai
kematangannya sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan. Dalam masa
50
matang itulah mulai disadari bahwa terjadinya sebuah bidang ilmu
pengetahuan pasti juga dipengaruhi oleh bidang ilmu yang lain.
Pengaruh ini bukan saja melulu membicarakan mengenai ikut andil
atau tidaknya sebuah bidang ilmu pengetahuan terhadap terbentuknya
bidang ilmu pengetahuan yang lain. Pengaruh ini juga dapat diartikan
sebagai daya bantu suatu bidang keilmuan untuk dapat menyelesaikan
persoalan-persoalan ilmiah bidang ilmu yang lain. Dalam hal ini ilmu
antropologi telah berafiliasi dengan bidang keilmuan yang lain,
diantaranya ilmu bahasa (linguistik). Sehingga dikenallah apa yang
disebut dengan disiplin ilmu Antropologi Linguistik dan Linguistik
Antropologi.
Linguistik
antropologi
dibedakan
dengan
antropologi
linguistik. Perbedaan keduanya terletak pada fokus penelitian.
Antropologi linguistik menekankan pada penelitian antropologi.
Sedangkan linguistik antropologi menitikberatkan pada aspek bahasa
(linguistik). Bahasa dalam linguistik antropologi merupakan sistem
klasifikasi yang paling rumit dari sebuah kebudayaan. Duranti
(1997:6) menyatakan bahwa linguistik antropologi terbentuk dari
linguistik struktural, tetapi memiliki perspektif atau sudut pandang
yang berbeda dalam objek yang dikaji, bahasa dan ketajaman sebuah
objek. Linguistik antropologi menekankan pada linguistik sebagai
pengungkap pola pikir masyarakat. Sementara Antropologi linguistik
memandang bahasa sebagai satu set aplikasi kebudayaan. Bagi
51
Antropologi linguistik, bahasa yang digunakan dalam masyarakat
merupakan
salah
satu
media
untuk
melakukan
pendekatan
antropologi. Seperti dikemukakan Duranti (1997:21):
Language as a set of cultural practice and the need to understand
linguistic anthropology as fundamentally an interdisciplinary
enterprise that draws from a variety of approaches within the
humanities and the social science and yet presents itw own unique
views of the nature of speaking and its role in the constitution of
society and the interpretation of culture.
Linguistik antropologi berangkat dari teori relativitas bahasa
yang dikemukakan oleh von Humboldt dan dilanjutkan oleh SapirWhorf, yang dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Bahasa seseorang
menentukan pandangan dunia melalui kategori gramatikal dan
klasifikasi semantis yang ada dalam bahasa itu dan diwarisi bersama
kebudayaannya. Hasil klasifikasi semantik itulah yang nantinya
digunakan sebagai media penafsiran makna pengetahuan yang ada
dalam suatu budaya. Singkat kata, menurut Sapir-Whorf, bahasa
menentukan cara pandang terhadap dunia luar.
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa
Linguistik Antropologi menganalisis bahasa dalam kaitannya dengan
penuturnya, dalam hal ini dengan budaya penuturnya. Dapat dikatakan
bahwa bahasa berkaitan dengan budaya penuturnya tetapi tidak dapat
dikatakan bahwa masyarakat yang berbahasa sama selalu memiliki
budaya yang sama, demikian pula sebaliknya. Hanya aspek-aspek
tertentu dari bahasa yang berkaitan dengan budayanya. Aspek-aspek
52
tersebut antara lain tatabahasa, leksikon, cara berbicara atau
berkomunikasi, dan lainnya.
53
BAB III
MAKNA KATA ‘SUCI’ DALAM AGAMA ISLAM DAN AGAMA
KRISTEN (TINJAUAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI)
Dalam poin kedelapan keputusan seksi A kongres bahasa Indonesia II
tahun 1954 di Medan, dijelaskan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa
Melayu yang kemudian disesuaikan dengan pertumbuhan masyarakat Indonesia.
Hal ini menerangkan bahwa kosakata bahasa Indonesia memiliki sifat yang
dinamis, dapat berubah dari waktu ke waktu. Selain bersifat dinamis, Harimurti
Kridalaksana (2009:2) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa
yang terbuka. Artinya, bahasa Indonesia memiliki peluang untuk menyerap
kosakata dari bahasa lainnya (bahasa asing maupun bahasa daerah). Pada tahun
1996, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa melakukan penelitian
mengenai perkembangan jumlah kosakata serapan dalam bahasa Indonesia.
Sebanyak 1.495 kata berasal dari bahasa Arab, 3.280 kata dari bahasa Belanda,
290 kata dari bahasa Tionghoa, 7 kata dari bahasa Hindi, 1.610 kata dari bahasa
Inggris, 63 kata dari bahasa Parsi, 131 kata dari bahasa Portugis, 677 kata dari
bahasa Sansekerta-Jawa Kuna, dan 83 kata dari bahasa Tamil.
Dalam situs wikipedia2,dijelaskan bahwa kata ‘suci’ merupakan kosakata
bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘keramat’
(dalam situs yang sama, disebutkan pula bahwa karena sudah sangat lama dikenal
2
Wikipedia, Kata Serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia,
2010.https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Sanskerta_dalam_bahasa
_Melayu_dan_bahasa_Indonesia_modern (diakses pada 15 September 2015)
54
di Nusantara, kata-kata Sanskerta ini seringkali sudah tidak dikenali lagi dan
sudah termasuk dalam kosakata dasar).
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S.
Poerwadarminta pada tahun 1976, disebutkan bahwa kata ‘keramat’ memiliki
beberapa pengertian. Yang pertama, kata ‘keramat’ merupakan kondisi suci, dan
karena kesuciannya tersebut, dapat mengadakan sesuatu yang ajaib, seperti
menyembuhkan orang yang sakit, memberi berkat keselamatan, dan sebagainya.
Pengertian pertama ini dapat diwujudkan dalam contoh kalimat sebagai berikut :
“Makam Sunan Gunung Jati ialah salah satu makam yang keramat di Cirebon”.
Dalam hal ini ‘makam Sunan Gunung Jati’ yang dimaksudkan dipercaya mampu
mengadakan sesuatu yang ajaib.
Definisi kata ‘keramat’ yang berikutnya adalah tempat atau sesuatu yang
suci dan mulia. Seperti halnya pada pengertian yang pertama, kata ‘suci’ yang
dimaksudkan pada pengertian ini pun memiliki arti ‘dapat mengadakan sesuatu
yang ajaib’. Dalam pengertian ini kata ‘keramat’ dapat diwujudkan dalam
beberapa contoh di bawah ini:
1.
‘berziarah ke keramat’. Dalam kalimat ini kata ‘keramat’ diartikan sebagai
kuburan orang yang dianggap suci;
2.
‘penunggu keramat’. Frasa ini mengandung arti seseorang yang berprofesi
sebagai penunggu tempat-tempat yang dianggap suci;
3.
‘minta keramat’. Kata ‘keramat dalam frasa ini dapat didefinisikan
sebagai ‘berkat’. Sehingga frasa ini memiliki arti ‘minta berkat’.
55
Definisi kata ‘keramat’ selanjutnya adalah ‘orang yang saleh’. Dalam
kalimat, “Banyaklah segala aulia dan keramat dengan syariat Nabi
Muhammad”, kata ‘keramat’ dipadankan dengan kata ‘aulia’ yang menurut
Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki pengertian ‘orang suci atau wali’.
Oleh sebab itu teranglah sudah bahwa dalam hal ini, kata ‘keramat’ pun
memiliki pengertian yang sama dengan kata ‘aulia’. Kemudian dalam bagian
selanjutnya akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai konsep-konsep makna
yang melekat pada kata ‘suci’.
A. Aspek Ketatabahasaan Kata ‘suci’
1. Proses Morfologis Kata ‘suci
Telah disinggung di bagian awal mengenai perbedaan
mendasar antara bidang ilmu interdisipliner Antropologi Linguistik
dengan Linguistik Antropologi. Dan dalam penelitian ini penulis
menggunakan pendekatan Linguistik Antropologi. Dalam Linguistik
Antropologi, faktor-faktor linguistik merupakan fokus utama di dalam
proses penelitian, hingga pada akhirnya hasil-hasil yang didapatkan
akan diaplikasikan ke dalam ranah yang lebih aplikatif (antropologi)
dalam kaitannya dengan konsep makna kata ‘suci’ dalam kolokasi
keagamaan agama Kristen dan Agama Islam. Dengan demikian, dalam
penelitian ini langkah pertama yang akan dikerjakan adalah menelaah
kata ‘suci’ dari sudut pandang linguistik. Ilmu linguistik memiliki
berbagai cabang bidang kajian. Namun telah dijelaskan pada bagian
sebelumnya,
bahwa
yang
menjadi
fokus
pengamatan
adalah
56
penelaahan makna melalui cabang ilmu semantik. Walaupun pada
praktiknya, untuk sampai pada ranah telaah makna perlu juga ditelaah
struktur intern kata dan struktur kalimat pada studi gramatikal yang
terangkum dalam cabang ilmu morfologi dan sintaksis. Oleh sebab itu
dalam subbab ini akan dibahas terlebih dahulu konsep kata ‘suci’
berdasarkan sudut pandang ilmu morfologi yang nantinya akan
dilanjutkan pada sudut pandang ilmu sintaksis.
Hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa morfologi –
bersama-sama dengan sintaksis- merupakan tataran ilmu bahasa yang
disebut tata bahasa atau gramatika. Namun sebenarnya terdapat
perbedaan mendasar antara morfologi dan sintaksis. Morfologi yang
juga disebut tata kata atau tata bentuk, merupakan studi gramatikal
struktur intern kata. Sedangkan sintaksis yang juga disebut tata
kalimat, merupakan studi gramatikal mengenai kalimat.
Untuk menelaah kata dalam morfologi, perlu dibahas
mengenai proses morfologis yang mungkin dikenakan pada kata
tersebut. Setidaknya terdapat tiga proses morfologis yang akan
dibahas dalam bagian ini, antara lain afiksasi (pembubuhan afiks),
reduplikasi (pengulangan) dan komposisi (pemajemukan). Sebelum
diuraikan lebih lanjut tentang ketiga proses morfologis di atas perlu
ditegaskan terlebih dahulu tiga istilah pokok dalam proses ini, yaitu
kata dasar, bentuk dasar, dan unsur langsung. Penjelasannya adalah
sebagai berikut:
57
- kata dasar adalah kata yang belum berubah, belum mengalami
proses morfologis, baik berupa proses penambahan imbuhan,
proses pengulangan, maupun proses pemajemukan;
- bentuk dasar merupakan bentuk yang menjadi dasar dalam proses
morfologis, dapat berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang,
dan dapat pula berupa kata majemuk;
- unsur langsung merupakan bentuk dasar dan imbuhan yang
membentuk kata jadian.
a. Afiksasi (Pembubuhan Afiks)
Dalam tata bahasa tradisional afiks disebut imbuhan, yaitu
morfem terikat yang dapat mengubah makna gramatikal suatu bentuk
dasar. Misalnya me- dan -kan, di- dan -kan, yang dapat mengubah arti
gramatikal
seperti kata
‘arsip’ menjadi ‘mengarsipkan’
atau
‘diarsipkan’. Proses penambahan afiks pada sebuah bentuk dasar atau
kata dasar inilah yang disebut afiksasi.
Afiks yang terletak di awal bentuk kata dasar. seperti ber-, di-;
ke-, me-, se-, pe-, per-, ter-, pre-, swa-, adalah prefiks atau awalan.
Yang disisipkan di dalam sebuah kata dasar, seperti -em, -er-, -el-,
disebut infiks atau sisipan. Yang terletak di akhir kata dasar, seperti -i
-an, -kan, -isme, -isasi, -is,-if dan lain-lain dinamakan sufiks atau
akhiran. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk satu kesatuan
dan bergabung dengan kata dasarnya secara serentak seperti: ke-an ,
58
pe-an ,
dan per-an dinamakan konfiks.
Karena
konfiks
sudah
membentuk satu kesamaan, maka harus tetap dihitung satu morfem.
Jadi kata ‘pemberhentian’ dihitung tiga morfem, bukan empat. Bentuk
dasarnya ‘henti’, satu morfem, mendapat prefiks ber-, satu morfem,
dan mendapat konfiks pe-an yang juga dihitung satu morfem, maka
semuanya tiga morfem.
Dalam proses morfologis, dikenal yang disebut dengan afiks
produktif ialah afiks yang mampu menghasilkan terus dan dapat
digunakan secara teratur membentuk unsur-unsur baru. Yang
termasuk afiks produktif ialah: me-, di-, pe-, ber-, -an, -i, pe-an,
peran, dan ke-an. Sedangkan yang termasuk afiks improduktif ialah:
sisipan -el-, -em-, er-, atau akhiran - wati.
Karena pada penelitian ini objek yang ditelaah adalah kata
‘suci’, maka akan diulas terlebih dahulu proses afiksasi yang mungkin
dikenakan pada kata ‘suci’ seperti yang terangkum dalam tabel berikut
ini:
Proses Afiksasi Kata ‘suci’
No.
Prefiks
Infiks
Sufiks
Konfiks
1
ber-
Bersuci
-el-
-
-an
-
meN-/-kan
menyucikan
2
men-
-
-er-
-
-kan
-
men-/-i
-
3
memper-
-
-em-
-
-i
-
ber-/-kan
-
4
di-
-
-in-
-
-ah
-
ber-/-an
-
5
ter-
Tersuci
-wi
-
ke-/-an
Kesucian
59
6
per-
-
-nya
-
peN-/-an
Penyucian
7
peN-
Penyuci
-wan
-
per-/-an
Persucian
8
pe-
-
-wati
-
se-/-nya
-
9
pra-/pre-
-
-in
-
memper-/-kan
-
10
-at
-
memper-/-i
-
11
-a/-i
-
-
Kata ‘suci’ hanya dapat disandingkan dengan 6 (enam)
buah afiks dan berubah menjadi kata ‘bersuci’, ‘tersuci’, ‘penyuci’,
‘menyucikan, ‘kesucian’, ‘penyucian’, dan ‘persucian’. Setelah
mengalami proses afiksasi, maka kata ‘suci’ akan mengalami
perubahan konsep makna.
Kata ‘suci’ berubah menjadi kata ‘bersuci’ ketika dikenai
afiks ber-. Dalam memahami afiks ber- ini tentunya tidak terlepas
dari
proses
morfofonemik.
Proses
morfofonemik
dapat
menyebabkan terjadinya perubahan fonem. Di satu pihak,
perubahan itu terjadi pada fonem awal bentuk dasarnya dan di
pihak lain, perubahan itu terjadi pada fonem prefiks. Dalam
realitasnya, prefiks ber- akan ditemukan morf yang berbeda, yaitu
sebagai ber-, be-, dan bel-.
Pada prefiks ber-, dapat diikuti oleh kata sifat (bersedih,
berhemat, beruntung), kata bilangan (bertiga, berempat, berlima),
kata verba ( berlari, bernyanyi, bertanya), kata nominal (beristri,
bersepeda), juga
berjumpa).
berupa
pokok
kata
(bertemu,
bersandar,
60
Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi,
2003:144), terdapat empat kaidah morfofonemik untuk prefiks bersebagai berikut:
1)
prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar
yang dimulai dengan fonem /r/;
2)
prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada kata
dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /er/;
3)
prefiks ber- berubah menjadi bel-. Jika ditambahkan pada
kata dasar tertentu;
4)
prefiks ber- tidak
berubah
bentuknya
bila digabungkan
dengan dasar di luar kaidah 1) - 3) di atas. Denagn kata lain,
prefiks ber- tidak berubah bentuknya bila dilekatkan pada
bentuk dasar yang fonem awalnya berupa vokal (kecuali
untuk satuan ‘ajar’) dan konsonan apapun asal tidak
mengandung unsur /er/ pada suku pertamanya. Dalam kaidah
ini, prefiks ber- dapat dilekatkan dengan kata sifat, pokok
kata, kata bilangan, dan kata nominal.
Prefiks ber- ini memiliki fungsi sebagai pembentuk kata
kerja intransitif. Kata kerja intransitif adalah kata kerja yang tidak
membutuhkan objek. Kata kerja intransitif tidak dapat diubah ke
dalam bentuk pasif. Keberadaan prefiks ber- menimbulkan maknamakna sebagai berikut:
61
1) mempunyai/memakai, pada makna ini bentuk dasarnya berupa
verba;
2) menyatakan perbuatan aktif, pada makna ini bentuk dasarnya
berupa nomina;
3) naik/mengendarai;
4) mengeluarkan/menghasilkan;
5) berisi/mengandung;
6) merasakan/mengalami/makna keadaan, pada makna ini bentuk
dasarnya berupa kata sifat;
7) kelompok/himpunan;
Prefiks ber- bergabung dengan kata ‘suci’ dan membentuk
kata ‘bersuci’. Kata ini mungkin saja jarang ditemukan dalam
percakapan sehari-hari. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dinyatakan pengertian ‘bersuci’ sebagai tindakan membersihkan
diri
sebelum
melakukan
salat.
Secara
lebih
lengkap,
bersuci (bahasa Arab: ‫طهارة‬,; transliterasi: thohara) merupakan
bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan
diri yang mencakup secara lahir atau batin, sedangkan menyucikan
diri secara batin saja di istilahkan sebagai tazkiyatun nufus.
Prefiks ber- pada kata ‘bersuci’ tidak berubah bentuknya
karena kata ‘suci’ sebagai kata dasar memiliki huruf awal berupa
konsonan dan tidak mengandung unsur /er/ pada suku pertamanya.
Selain itu, kata ‘suci’ termasuk dalam golongan kata sifat yang
62
dalam kaidahnya prefiks ber- tidak akan berubah bentuknya jika
disandingkan dengan dengan kata sifat, pokok kata, kata
bilangan, dan kata nominal.
Sehingga prefiks ber- jika bertemu
dengan kata ‘suci’ bukan menjadi kata ‘besuci’ atau ‘belsuci’,
melainkan ‘bersuci’.
Karena kata ‘bersuci’ memiliki kata dasar ‘suci’ yang
merupakan kata sifat, maka kata ‘bersuci’ memiliki makna
‘keadaan’. Sehingga dapat dikatakan bahwa ‘bersuci’ memiliki
definisi sebagai keadaan suci (bersih, bebas dari dosa, keramat,
murni).
Selanjutnya, kata ‘suci’ akan berubah menjadi kata ‘tersuci’
ketika mendapatkan afiks ter-. Afiks ter- berfungsi membentuk
kata kerja (pasif) atau kata sifat. Arti yang akan terbentuk dari
penambahan afiks ini antara lain ‘dalam keadaan di’, ‘dikenai
tindakan secara tak sengaja’, ‘dapat di’, ‘paling’ (superlatif). Untuk
kata ‘tersuci’, arti yang paling memungkinkan untuk muncul adalah
‘paling’ (superlatif)’. Hal ini disebabkan karena kata tersebut
memiliki kata dasar berupa adjektiva.
Selanjutnya, kata ‘suci’ berubah menjadi kata ‘penyuci’ jika
mendapatkan afiks pen-. Prefiks peN- memiliki hubungan yang erat
dengan prefiks meN-. Prefiks meN- berfungsi membentuk kata
kerja, sedangkan prefiks peN- berfungsi membentuk kata benda
dari dasar yang mungkin sama dengan bentuk dasar kata berprefiks
63
meN-. Dengan demikian, keduanya memiliki kedekatan arti. Arti
yang muncul dari prefiks peN- pada kata adalah sebagai berikut:
-
menyatakan orang yang biasa melakukan tindakan yang
tersebut pada bentuk dasar ‘suci’;
-
menyatakan alat yang dipakai untuk melakukan tindakan yang
tersebut pada bentuk dasar ‘suci’;
-
menyatakan yang biasa melakukan tindakan yang berhubungan
dengan benda yang tersebut pada bentuk dasar ‘suci’.
Kata ‘suci’ dapat mengalami empat macam konfiksasi. Hal
tersebut akan dijelaskan melalui tabel berikut ini:
No.
1.
Konfiks
Makna yang Terkandung
per-/-an + ‘suci’ =
Kata ‘suci’ yang semula memiliki arti
‘persucian’
sebagai
keadaan
yang bersih menurut
pandangan keagamaan berubah menjadi
‘perihal bersuci’ atau ‘pencucian’.
2.
ke-/-an + ‘suci’ =
Konfiks ini menyebabkan kata dasar ‘suci’
‘kesucian’
berubah kedudukan menjadi kata benda.
‘Kesucian’ dapat disamaartikan dengan
kebersihan (hati) dan kemurnian yang juga
memiliki kedudukan sebagai kata benda.
3.
peN-/-an + ‘suci’=
Dalam pengertian ini kata ‘persucian’
‘penyucian’
menunjukkan proses atau cara agar menjadi
‘suci’.
64
4.
meN-/-kan + ‘suci’ =
Konfiks ini menyebabkan kata dasar ‘suci’
‘menyucikan’
berubah kedudukan menjadi kata kerja. Kata
‘menyucikan’ dapat dipadankan dengan kata
‘membersihkan’, ‘memurnikan’,
‘menguduskan’.
b. Reduplikasi (Pengulangan)
Reduplikasi adalah proses pembentukan kata dengan cara
mengulang bentuk dasar. Reduplikasi atau perulangan adalah proses
pengulangan kata atau unsur kata. Reduplikasi juga merupakan proses
penurunan kata dengan perulangan utuh maupun sebagian. Contohnya
adalah "anjing-anjing", "lelaki", "sayur-mayur" dan sebagainya.
Dalam bahasa Indonesia dikenal reduplikasi berikut:
-
reduplikasi fonologis, pengulangan fonem tanpa terlalu banyak
mengubah arti dasar;
-
reduplikasi morfologis;
-
reduplikasi sintaktis,
contoh:
"malam-malam
pekerjaan
itu
dikerjakannya", artinya "walau sudah malam hari, pekerjaan itu
tetap dikerjakannya";
-
reduplikasi gramatikal, pengulangan fungsional dari bentuk dasar
yang meliputi reduplikasi morfologis dan sintaksis;
65
-
reduplikasi idiomatis, atau 'kata ulang semu', adalah pengulangan
kata dasar yang menghasilkan kata baru, contoh "mata-mata"
artinya agen rahasia;
-
reduplikasi non-idiomatis, pengulangan kata dasar yang tidak
mengubah makna dasar, contoh "kucing-kucing".
Dalam hal ini, kata ‘suci’ tidak mengalami reduplikasi
fonologis, moroflogis, sintaksis, idiomatis dan non-idiomatis. Namun
kata ‘suci’ masih dapat mengalami bentuk pengulangan gramatikal.
Kata ‘suci’ dapat berubah ke dalam bentuk kata ‘sesuci-sucinya’
dengan konsep kalimat seperti pada contoh kalimat ‘Sesuci-sucinya
seorang bayi yang baru saja dilahirkan, tetap saja tidak akan mampu
mengalahkan kesucian Allah di surga’. Kalimat ini mengandung
pengertian bahwa walaupun ‘seorang bayi yang baru saja dilahirkan’
sering dijadikan sebagai ikon (lambang) kesucian di dunia ini, namun
kesucian yang dimiliki bayi tersebut tidak akan pernah sedahsyat
kesucian yang dimiliki ‘Sang Penciptanya’. Sehingga kata ‘sesucisesucinya’ memiliki makna ‘seberapapun sucinya’.
c. Pemajemukan (Komposisi)
Komposisi ialah proses pembentukan kata majemuk atau
kompositum. Kata majemuk ialah gabungan kata yang telah
bersenyawa atau membentuk satu kesatuan dan menimbulkan arti baru,
contoh: kamar mandi, kereta api, rumah makan, baju tidur. Gabungan
kata yang juga membentuk satu kesatuan, tetapi tidak menimbulkan
66
makna baru disebut ‘frasa’, contoh: ‘sapu ijuk’, ‘meja itu’, ‘kepala
botak’, ‘rambut gondrong’, ‘mulut lebar’
Kata ‘suci’ pun hadir dalam berbagai komposisi yang
mencerminkan sifat kemajemukan. Berikut ini akan dibahas beberapa
kata majemuk yang mengandung kata ‘suci’ yang diambil dari
konsep-konsep makna yang sering digunakan dalam agama Islam
maupun agama Kristen.
Kata
No.
Arti
Majemuk
1.
Kemah suci
Kemah suci berasal dari bahasa Ibrani Mishkan
(‫ )משכן‬yang artinya ‘tempat tinggal Allah’.
Kemah suci merupakan tempat ibadah sentral
yang dapat dipindah-pindahkan untuk bangsa
Ibrani sejak masa mereka meninggalkan Mesir
setelah
peristiwa Exodus
(pembebasan
dari
Mesir), hingga masa para hakim ketika mereka
terlibat dalam upaya penaklukan negeri Kanaan,
hingga unsur-unsurnya dijadikan bagian dari
Bait
Allah yang
permanen
di Yerusalem sekitar abad ke-10 SM.
2.
Bait suci
Bait suci adalah adalah sebutan untuk pusat
peribadatan
bangsa
Israel
dan orang
67
Yahudi di Yerusalem pada zaman kuno, yang
terletak di Bukit Bait Suci. Bangunan ini
digunakan untuk beribadah dan mempunyai
fungsi
utama
untuk
mempersembahkan
kurban korbanot. Selama beberapa abad tempat
ini menjadi pusat ibadah agama Yahudi.
3.
Orang suci
Orang suci adalah manusia yang memiliki mata
batin dan dapat memancarkan kewibawaan
rohani,
serta
menerina
mempunyai
kepekaan
untuk
gaib,
dalam
getaran-getaran
penampilannya dapat mewujudkan ketenangan
dan penuh kasih, yang di sertai kemurnian lahir
dan batin di dalam mengamalkan ajaran agama,
tidak terpengaruh oleh gelombang duniawi.
4.
Para suci
Kata majemuk ‘para suci’ ini hanya muncul
sekali dalam Alkitab. Terdapat dalam kitab Ayub
15:15,” Sesungguhnya, para suci-Nya tidak
dipercayai-Nya, seluruh langit pun tidak bersih
pada
pandnaganNya”.
Dalam
perikop
ini
dikemukakan pendapat Elifas nahwa orang fasik
akan bisasa. Dalam ayat ini yang dimaksud
dengan ‘orang suci’ adalah orang-orang yang
seolah-olah menyembah Alah dengan sepenuh
68
hati
menurut
pandangan
dunia,
namun
sebenarnya di mata Allah orang-orang tersebut
termasuk dalam golongan orang fasik yang layak
dibinasakan.
6.
Batu suci
‘Batu suci’ yang dimaksudkan adalah batu Hajar
Aswad.
Diriwayatkan
oleh
Ibn
Abu
Abbas: “Hajar Aswad turun dari surga berwarna
lebih putih dari susu lalu berubah warnanya jadi
hitam akibat dosa-dosa bani Adam."
7.
Tempat suci
‘Tempat suci’, tempat ibadah atau tempat
peribadatan merupakan tempat atau bangunan
yang dianggap suci (dikeramatkan). Setiap umat
mempunyai tempat suci dalam pelaksanaan
ibadahnya. Adapun tempat ibadah dari agama
resmi di Indonesia adalah Masjid (untuk umat
Islam), Gereja (untuk umat Protestan dan
Katholik), Pura (untuk umat Hindu), Wihara
(untuk umat Buddha) dan Litang/kelenteng
untuk umat Khonghucu. Pemerintah memberikan
perlindungan akan tempat ibadah ini sebagai
wujud nyata dari UUD 1945 tentang kebebasan
beragama.
8.
Kota suci
Kota suci adalah kota-kota atau tempat yang
69
disucikan oleh agama, kepercayaan, golongan,
sekelompok masyarakat tertentu yang menjadi
pusat sejarah atau kepercayaan dari kelompok
tersebut.
9.
Kitab suci
Kitab Suci adalah gabungan dari dua kata
yaitu ‘kitab’ dan ‘suci’. Menurut Kamus Besar
Bahasa
Indonesia kata ‘kitab’
memiliki
arti
sebuah buku sedangkan kata ‘suci’ memiliki arti
( bersih, dalam arti keagamaan yaitu bebas dari
dosa, bebas dari noda, bebas dari kesalahan ). Di
dalamnya berisi Wahyu Tuhan yang di bukukan,
yang memuat ajaran-ajaran tentang seluruh
aspek kehidupan bagi seluruh umat beragama.
2. Kedudukan Kata ‘suci’ di dalam Kalimat
Sebelum melangkah lebih jauh, dalam model analisis kalimat
yang dikembangkan Verhaar (1978:57), mengungkapkan bahwa
konstituen kalimat dideskripsikan berdasarkan fungsi, kategori, dan
peran. Dalam hal ini, verba, adjektiva, nomina merupakan pengisi
kategorial suatu fungsi seperti subjek, predikat, objek dan peran
sebagai pengisi semantis. Dengan demikian, pengetahuan tentang
kategori kata/frasa diperlukan dalam pendeskripsian kalimat.
70
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menentukan
kategori atau kedudukan kata di dalam sebuah kalimat, maka sangat
diperlukan pengetahuan yang benar mengenai pengertian masingmasing kategori sebagai berikut:
a.
Verba, dengan ciri-ciri sebagai berikut:
-
verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai
inti predikat dalam kalimat;
-
verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses,
atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas;
-
verba –khususnya yang bermakna keadaan- tidak dapat diberi
perfiks ter- yang berarti ‘paling’;
-
pada umumnya, verba tidak dapat bergabung dengan katakata yang menyatakan makna kesangatan.
b.
Adverbia, merupakan kata yang menjelaskan verba, adjektiva,
atau adverbia lain.
c.
Nomina, pronomina dan numeralia. Nomina adalah kata yang
mengacu pada manusia, binatang, benda dan konsep atau
pengertian. Pronomina adalah kata yang dipakai untk mengacu
kepada nomina lain. Dan numeralia atau sering disebut kata
bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya
maujud atau sesuatu yang memiliki bentuk nyata (orang,
binatang, barang) dan konsep.
71
Berbeda dengan kelas kata yang dipaparkan di atas yang
memiliki arti leksikal, kata tugas hanya memiliki arti gramatikal.
Hampir semua kata tugas tidak menjadi dasar untuk membentuk kata
lain. Kata tugas dibagi menjadi: preposisi, konjungtor, interjeksi,
artikula dan partikel penegas. Adjektiva yang merupakan kata yang
memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang
dinyatakan oleh nomina itu sebagai atribut yang mengungkapkan
kualitas atau keanggotaan dalam suatu golongan.
Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa tidaklah
mungkin kata ‘suci’ dimaskkan dalam kategori verba. Karena dalam
kenyataannya, kata ‘suci’ ini:
-
tidak memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti
predikat dalam kalimat;
-
tidak mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau
keadaan yang bukan sifat atau kualitas;
-
dapat mengalami proses morfologi prefiksasi ter- menjadi kata
‘tersuci’ yang artinya adalah ‘paling suci’.
Kata ‘suci’ pun tidak memenuhi syarat sebagai adverbia yang
merupakan kata yang dapat menjelaskan verba, adjektiva, atau
adverbia lain. Kata ‘suci’ juga tidak mengacu pada seuatu yang
berwujud seperti manusia, binatang, benda dan sebuah konsep atau
pengertian, sehingga tidak dapat dimasukkan dalam jenis nomina.
72
Dengan demikian tentu saja merupakan hal yang sangat mustahil
mengkategorikan kata ‘suci’ sebagai pronomina yang merupakan
kata yang dipakai untk mengacu kepada nomina lain.
Kata ‘suci’ memenuhi syarat sebagai adjektiva. Secara
tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan
kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi (2003:171) berpendapat
bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan.
Berikut ini adalah ciri adjektiva menurut para ahli. Menurut
Chaer, kata-kata yang dapat diikuti dengan kata keterangan sekali
serta dapat dibentuk menjadi kata ulang berimbuhan gabung se-/nya, misalnya kata indah (indah sekali, seindah-indahnya). Seperti
halnya dengan kata ‘suci’ yang dapat diikuti dengan keterangan
sekali dalam bentuk ‘tersuci’ serta dapat dibentuk menjadi kata ulang
berimbuhan gabung dalam bentuk ‘sesuci-sucinya’.
Kridalaksana (2005:59) mengungkapkan ciri-ciri adjektiva
ini lebih terperinci, yaitu adjektiva merupakan kategori yang
memiliki kemungkinan untuk:
-
bergabung dengan partikel tidak, ‘tidak suci’;
-
mendampingi nomina, ‘kemah suci’, ‘tempat suci’, ‘kitab suci’
dan sebagainya;
-
didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, ‘lebih suci’,
‘sangat suci’, ‘agak suci’;
73
-
dapat hadir berdampingan dengan kata lebih…daripada…
atau paling untuk menyatakan tingkat perbandingan, ‘lebih suci
daripada (sesuatu yang lain)’;
-
dapat dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-/-an,
‘kesucian’ yang memiliki makna yang sama dengan kata
‘kebersihan’ dan ‘kemurnian’;
-
dapat berfungsi atributif, predikatif, dan pelengkap.
Sebagai adjektiva, kata ‘suci’ memiliki kedudukaan yang
menarik. Secara kebahasaan, adjektiva dapat dihasilkan melalui
proses transposisi dari verba atau nomina. Transposisi adalah
perubahan kelas kata tanpa pengubahan bentuk. Selain itu,
Adjektiva dapat menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan,
kualitas, maupun penekanan suatu kata.
Bentuk Adjektiva pun beragam. Ada yang disebut dengan
adjektiva dasar (monomorfemis) yang merupakan sebagian besar
dari adjektiva, meskipun ada yang berbentuk pengulangan semu.
Ada juga yang disebut dengan adjektiva turunan (polimorfemis)
melalui
proses
afiksasi,
pengulangan,
penggabungan,
dan
pemajemukan. Dengan kata lain, sebuah adjektiva memiliki banyak
varian bentuk yang mengindikasikan adanya variasi penggunaan
dan konsep maknanya.
74
B. Aspek Kemaknaan Kata ‘suci’
1. Jenis Makna yang Terkandung dalam Kata ‘suci’
Dalam bidang semantik, jenis makna
dibedakan menjadi
makna leksikal dan makna gramatikal, makna referensial dan
nonreferensial, makna denotatif dan makna konotatif, makna kata dan
makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna
idiomatikal dan peribahasa, makna kias, serta makna lokusi, ilokusi
dan perlokusi. Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini kata ‘suci’ akan
ditelaah secara mendalam berdasarkan jenis-jenis makna yang terdapat
di dalam bidang semantik. Berikut penjabarannya.
a.
Makna Leksikal dan Gramatial Kata ‘suci’
Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ‘leksikal’
adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina
‘leksikon’ (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan
dari leksikon adalah ‘leksem’, yaitu satuan bentuk bahasa yang
bermakna. Jika leksikon kita samakan dengan kosakata atau
perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita samakan dengan
kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai
makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata.
Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah
makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan
hasil observsi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh ada
75
dalam kehidupan kita. Dalam kalimat “ Allah Maha Adil, Maha
Kasih dan Maha Suci”, kata ‘suci’ mengungngkapkan makna
sebenarnya sebagai segala sesuatu yang bersih, tak berdosa, dan
berhati murni. Tentunya dalam hal ini tidak akan ada intepretasi
yang lain.
Makna
leksikal
biasanya
dipertentangkan
atau
dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal
berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan
referennya, maka makna gramatikal adalah makna yang hadir
sebagai akibat dari adanya proses gramatika (seperti proses
afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi). Oleh karena
makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering
tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna
gramatikal itu sering juga disebut ‘makna kontekstual’ atau
‘makna situasional’. Selain itu bisa juga disebut ‘makna
struktural’ karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu
berkenaan dengan struktur kebahasaan. Proses komposisi atau
proses penggabungan dalam bahasa Indonesia juga banyak
melahirkan makna gramatikal.
Kata ‘suci’ akan memiliki kedudukan yang berbeda ketika
telah mengalami perubahan secara gramatikal. Kata ‘suci’ yang
merupakan kata sifat akan berubah menjadi kata kerja jika
mengalami konfiksasi me-/-kan, berubah menjadi kata benda jika
76
mengalami konfiksasi ke-/-an, berubah menjadi keterangan alat
jika dikenai prefiks peN- dan seterusnya. Perubahan kedudukan
dalam kalimat ini tentunya pada akhirnya akan mempengaruhi
maknanya.
b. Makna Referensial dan Nonreferensial Kata ‘suci’
Perbedaan
antara
makna
referensial
dan
makna
nonreferensial diketahui dari ada atau tidaknya referen dari katakata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar
bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut sebagai
kata bermakna referensial. Namun, jika kata-kata tersebut tidak
mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna
nonreferensial.
Sebagai contoh, kita dapat menyebut ‘pensil’ dan
‘penggaris’ memiliki makna referensial karena keduanya memiliki
referen, yaitu sejenis peralatan tulis. Demikian juga dengan kata
‘suci’. Jika kata ‘suci’ disandingkan dengan kata ‘adil’, ‘kasih’
maka kata ‘suci’ akan disebut sebagai kata bermakna referensial
karena kata ‘suci’ merupakan anggota dari kata-kata yang memiliki
referen ‘TUHAN’.
c.
Makna Konotatif dan Denotatif Kata ‘suci’
77
Hal yang paling mencolok untuk dapat membedakan makna
denotatif dan makna konotatif adalah mengenai ada atau tidaknya
‘nilai rasa’. Setiap kata itu mempunyai (terutama yang disebut
kata penuh) mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata
itu memiliki makna konotatif. Sebuah kata disebut memiliki
makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’, baik
positif maupun negatif. Namun, jika suatu kata tidak memiliki
nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat
juga disebut memiliki konotasi netral. Kata ‘suci’ dan ‘bersih’
memiliki denotasi yang sama. Keduanya sama-sama memiliki
makna denotasi ‘terbebas dari kotoran’. Demikian juga dengan
kata ‘suci’ dan kata ‘keramat’. Keduanya juga memiliki makna
denotasi yang sama sebagai sesuatu yang dikhususkan.
Makna denotasi pada dasarnya sama dengan makna
referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan
sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut
pengelihatan,
penciuman,
pendengaran,
perasaan
atau
pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut
informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu maka
denotasi sering disebut sebagai ‘makna sebenarnya’. Sedangkan
makna konotatif memiliki keunikannya sendiri.
Makna konotasi sebuah bahasa dapat berbeda dari satu
kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain,
78
sesuai dengan pandangan hidup, dan norma-norma penilaian
kelompok masyarakat tesebut. Misalkan saja kata ‘babi’. Kata
tersebut memiliki konotasi negatif bagi komunitas-komunitas
agama yang menajiskannya, namun bisa saja di dalam lingkungan
masyarakat yang lain kata ini memiliki konotasi yang positif.
Oleh sebab itu, makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke
waktu.
Seperti halnya kata ‘suci’ dan ‘bersih’, meskipun
keduanya memiliki makna denotasi yang sama sebagai ‘keadaan
yang bebas dari kotoran’, namun terdapat nilai rasa yang berbeda
pada saat mengucapkannya. Jenis ‘bebas dari kotoran’ dari
keduanya seolah-olah menyiratkan perbedaan tingkatan. Mungkin
merupakan hal yang umum untuk mentebutkan ‘toilet itu bersih’
karena memang pada saat itu toilet baru saja selesai dibersihkan.
Namun alangkah sangat berbeda ‘nilai rasanya’ apabila toilet
yang telah dibersihkan itu disebut sebagai ‘toilet yang suci’.
Inilah yang disebut dengan perbedaan nilai rasa. Hal ini juga
berlaku dalam perbandingan kata ‘keramat’ dengan ’suci’ dan
kata yang meliputi kata ‘suci’ lainnya.
d. Makna Kata ‘suci’ Sebagai Sebuah Kata dan Sebuah Istilah
Telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘kata’ adalah unsur bahasa yang
79
diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan
perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbicara.
Sedangkan ‘istilah’ adalah kata atau gabungan kata yang dengan
cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat
yang khas dalam bidang tertentu. Melihat hal ini, tentunya harus
sangat dibedakan mengenai makna kata dan makna istilah.
Perbedaan adanya makna kata dan makna istilah didasarkan
pada ketepatan makna itu dalam penggunaannya secara umum
dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum
acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga
maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara
khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan
secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat. Makna
sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi
karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi berifat
umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan
dalam suatu kalimat maka kata itu menjadi umum dan kabur.
Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum,
maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan
kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan
dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks
kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Makna kata sebagai
istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari
80
kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Di luar
bidang
tertentu,
istilah
sebenarnya
dikenal
juga
adanya
pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna
khusus atau makna yang lebih terbatas.
Dalam hal ini jika kita melihat kata majemuk ‘tempat suci’
dari sudut pandang makna secara umum, maka hal yang pertama
kali terlintas di benak kita adalah makna referensial (misalkan
dari kamus) dari kata tersebut. Kata ‘suci’ memiliki arti ‘bersih’,
‘keramat’, ‘tidak kena najis’. Hal ini akan menyebabkan
perdebatan mengenai pengertian kata majemuk ‘tempat suci
tersebut’. Bisa saja orang mengartikannya sebagai semua tempat
yang bersih, atau semua tempat yang dikeramatkan atau bahkan
semua tempat yang tidak terdapat benda-benda yang bersifat najis
menurut syariat agama masing-masing (misalkan tempat yang
tidak ada anjingnya disebut ‘tempat suci’).
Hal ini akan berbeda jika kata ‘tempat suci’ tersebut
digunakan dalam ruang lingkup ‘keagamaan’ yang sudah memiliki
kesepakatan-kesepakatan khusus mengenai peristilahan. Maka
tentunya akan menjadi lebih kongkret mengartikan kata majemuk
‘tempat suci’ tersebut. Misalkan saja dalam bidang keagamaan,
kata majemuk ‘tempat suci’ akan diartikan sebagai tempat ibadah
atau bangunan yang dianggap memiliki nilai magis karena
kesakralannya.
81
e.
Makna Konseptual dan Asosiatif Kata ‘suci’
Pembedaan makna konseptual dan
makna
asosiatif
didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi,
refleksi) makna sebuah kata dengan makna yang lain. Secara garis
besar, Leech membedakan makna menjadi makna asosiatif dan
makna konseptual.
Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan
konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang
bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Oleh sebab itu,
sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial,
makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif
adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya
hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Sebagai contoh,
kata ‘melati’ berasosiasi dengan makna ‘suci’. Makna asosiatif ini
sesungguhnya
sama
dengan
perlambang-perlambang
yang
digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu
konsep lain.
Karena makna asosiatif ini berhubungan dengan nilai-nilai
moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat
bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka
ke dalam makna asosiatif ini termasuk juga makna konotatif. Di
samping itu ke dalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti
makna stilistika, makna afektif dan makna kolokatif. Makna
82
stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan
dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam
masyarakat. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara
pemakai bahasa secara pribadi baik terhadap lawan bicara maupun
terhadap objek yang dibicarakan. Sedangkan makna kolokatif
berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata
lain yang mempunyai ‘tempat’ yang sama dalam sebuah frase (‘ko’
artinya ‘sama’/’bersama’; ‘lokasi’ artinya ‘tempat’).
2. Relasi Makna dalam Kata ‘suci’
a.
Sinonimi
Ada beberapa poin yang harus dipahami sebelum beranjak
pada telaah sinonim. Sinonim dapat diartikan sebagai nama lain
untuk benda atau hal yang sama. Secara semantik sinonim
didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa atau
kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna
ungkapan lain. Dalam hal ini hubungan makna antara dua buah
kata yang bersinonim bersifat dua arah.
Dalam pembahasan di atas diungkapkan bahwa sinonim
merupakan ungkapan yang maknanya ‘kurang lebih sama’. Hal
ini berarti, dua buah kata yang bersinonim tersebut kesamaannya
tidak seratus persen. Hal ini terjadi karena telah diungkapkan
sebelumnya bahwa prinsip umum semantik adalah bentuk sebuah
83
kata yang berbeda dapat menimbulkan makna yang berbeda pula,
walaupun dalam hal ini perbedaannya hanya sedikit. Demikian
juga dengan kata-kata yang bersinonim, karena bentuknya
berbeda, maka maknanya pun tidak sama persis. Hanya saja, katakata tersebut membawa infomasi yang serupa. Berikut ini adalah
tabel daftar sinonim kata ‘suci’ yang diperoleh dari Tesaurus
Bahasa Indonesia tulisan Eko Endarmoko3 :
Sinonim Kata ‘suci’
No.
1.
Kata
‘bersih’
Pengertian
1. Bebas dari segala kotoran;
2.
bening dan tidak keruh (air), tidak berawan
(langit);
3.
tidak tercemar (terkena kotoran);
4. tulus, Ikhlas;
5. tidak bernoda, suci; tidak bercampur dengan
unsur atau zat lain, asli.
2.
3.
3
‘ceria’
‘kalis’
1. Bersih;
2.
suci;
3.
murni;
4.
berseri-seri;
5.
bersinar, cerah.
1. Suci, bersih, murni;
Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006.
84
2. tidak berkilat atau bersinar karena tersaput
sesuatu;
3. tidak dapat kena air atau tidak dapat basah;
4. tidak dapat kena penyakit, kebal (dari
penyakit);
5. terhindar (dari bahaya)
4.
‘kudus’
5.
‘maksum’
Suci, murni.
1. Terbagi, terpisah, tercerai, lepas;
2. terpelihara dari dosa dan kesalahan, bebas
dari dosa dan kesalahan.
6.
‘murni’
1. Tidak bercampur dengan unsur yang lain,
tulen;
2. lugu, belum dipengaruhi oleh kehidupan
kota besar;
3. tulus, suci, sejati;
4. belum terpengaruh oleh dunia luar.
5. keadaan yang masih suci (perawan), belum
ternoda, belum pernah menikah.
7.
‘nirmala’
Tanpa cacat cela, bersih, suci, tidak bernoda.
8.
‘tahir’
Bersih, suci, murni.
9.
‘zakiah’
Suci, murni, bersih.
10.
‘sakral’
Suci, keramat.
11.
‘putih’
1. Warna dasar yang serupa dengan warna
85
kapas;
2. mengandung atau memperlihatkan earna
yang serupa dengan warna kapas.
3. murni, suci, tidak bernoda;
4. pucat.
12.
‘haram’
1. terlarang (oleh agama Islam), tidak halal;
2. suci, terpelihara, terlindung;
3. sama sekali tidak, sungguh-sungguh tidak;
4. terlarang oleh undang-undang, tidak sah.
13.
‘fitrah’
14.
‘bening’
Sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan.
1. Bersih, putih, tidak bercampur tanah, jernih;
2. bersih, dan berkilau.
15.
‘keramat’
1. suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar
kemampuan manusia biasa karena
ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang
yang bertakwa);
2. suci dan bertuah yang dapat memberikan
efek magis dan psikologis kepada pihak lain
(tentang barang atau tempat suci).
16.
‘tulen’
Sejati (tidak bercampur), asli (bukan tiruan, tidak
lancung)
Terdapat 16 (enam belas) kata yang membawa informasi yang
sama dengan kata ‘suci’. Dalam tabel tersebut telah dijelaskan
86
secara gamblang mengenai makna-makna yang terkaandung
dalam setiap kata. Makna-makna tersebut tidak lantas sama
persis, namun jika ditelusuri lebih dalam, kata-kata tersebut
membawa informasi yang sama dengan informasi yang dibawa
oleh kata ‘suci’.
Kata ‘suci’ jika telah mengalami proses perubahan secara
gramatikal ternyata memiliki sinonim yang memiliki makna
berbeda pula. Berikut ini merupakan tabel daftar sinonim kata
‘suci’ yang telah mengalami proses afiksasi.
Sinonim kata ‘suci’ yang Mengalami Proses Afiksasi
No.
1.
Kata
‘bersuci’
Sinonim
‘menyertu’
(membersihkan
Arti
Mencuci bagian tubuh yang kena
najis (seperti dijilat anjing).
diri –sebelum
salat-, hidup suci
–saleh-)
‘memberkati’
1. Memberi berkat;
‘menyucikan’
2. Mendoakan supaya Tuhan
(membersihkan –
mendatangkan berkah.
batin, hati dan
‘menahbiskan’
2.
Menyucikan sesuatu (orang, air)
sebagainya-,
untuk keperluan keagamaan dalam
memurnikan,
agama Kristen.
menguduskan)
‘memandikan’
1. Membersihkan tubuh
87
(jenazah)
(orang, hewan dan
sebagainya) dengan cara
menyiram atau
memasukkannya ke dalam
air;
2. menyucikan (tentang
mayat);
3. memasukkan ke dalam air
(atau barang cair),
mencelupkan.
‘membersihkan’
1. Membuat supaya bersih
(dengan jalan mencuci,
menyapu, menggosok dan
sebagainya);
2. membinasakan,
melenyapkan;
3. memulihkan,
mengembalikan (nama
baik).
‘purgatif’
1. Bersifat membersihkan
(berkaitan dengan
pencernaan);
2. pencahar.
88
‘kemurnian’
1. Perihal murni, keaslian;
2. kesucian, kebersihan.
‘ketulusan’
Kesungguhan dan kebersihan (hati),
kejujuran.
‘kesakralan’
Perihal keadaan sakral, kesucian.
‘kegadisan’
1. Kemurnian seorang gadis,
keperawanan;
2. sifat gadis.
‘kesucian’
(kebersihan –hati
‘kehormatan’
3.
1. Pernyataan hormat,
penghargaan;
dan sebagainya-,
2. yang dihormati, tempat kita
kemurnian)
menaruh hormat;
3. kebesaran, kemuliaan;
4. nama baik, harga diri.
5. Kesucian (wanita).
‘keperawanan’
Perihal perawan, kesucian
(kemurnian) seorang gadis,
kegadisan.
‘virginitas’
Keperawanan, kesucian.
‘penyucian’
‘pemurnian’
Proses atau tindakan memurnikan.
(proses, cara,
‘purifikasi’
Penyucian, pembersihan.
perbuatan
‘pemberkatan’
Proses, cara, perbuatan
4.
menyucikan –
memberikan berkat.
89
jiwa, jasmani, dan ‘pengudusan’
Proses, cara, perbuatan
sebagainya-)
mengkuduskan.
‘takdis’
Penyucian, pengudusan.
b. Antonimi
Kata antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata
tersebut terdiri dari kata onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang
artinya ‘melawan’, yang jika digabungkan dapat berarti ‘nama
lain untuk benda yang lain pula’. Namun secara lengkap antonim
merupakan ungkapan (biasanya berupa kata, namun tidak
menutup kemungkinan juga dapat ditemui dalam bentuk frase
atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna
ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata yang
berantonim bersifat dua arah, artinya sifat ini berlaku kebalikan.
Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada
semua tataran bahasa (tataran morfem, tataran kata, tataran frase,
dan tataran kalimat). Namun dalam bahasa Indonesia untuk
tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada. Namun hal ini tidak
berlaku untuk bahasa-bahasa lain.
Dalam berbagai sumber kata ‘antonim’ sering diistilahkan
dengan ‘lawan kata’. Persoalan ini nampaknya menimbulan
perdebatan yang panjang di antara para ahli bahasa. Hal ini
didasarkan pada argumen bahwa pada dasarnya bukan kata-
90
katanyalah yang berlawanan, namun makna dari kata-kata
tersebut yang berlawanan. Oleh sebab itu banyak yang
beranggapan bahwa seharusnya bukan ‘lawan kata’ yang
digunakan untuk mengistilahkan ‘sinonim’, tetapi ‘lawan makna’.
Karena berkaitan dengan makna, maka sama halnya dengan
sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Misalkan saja kata
‘hitam’ dan ‘putih’. Kedua kata ini tidak mutlak berantonim
karena hubungan perbandingan maknanya tidak mutlak searah.
Kata ‘suci’ pun memiliki makna yang berlawanan dengan
makna-makna yang terkandung dari beberapa kata sebagai
berikut:
No.
1.
Kata
Kotor
Arti
1. Tidak bersih, kena noda;
2. banyak
bekas,
sampahnya
barang
(barang
busuk
dan
sebagainya), jorok, menjijikkan;
3. melanggar
kesusilaan,
tidak
patut, keji;
4. tidak mengikuti aturan, tidak
jujur.
2.
Najis
1. Kotor
yang
menjadi
sebab
terhalangnya seseorang untuk
91
beribadah
kepada
Allah
(misalkan:
terkena
jilatan
anjing);
2. kotoran (tinja, air kencing);
3. jijik.
3.
Cemar
1. Kotor, ternoda;
2. keji, cabul, mesum;
3. buruk, tercela.
c.
Hiponimi dan Hipernimi
Kata ‘hiponimi’ berasal dari bahasa Yunani kuno yang
terdiri dari kata onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang berarti
‘di bawah’. Dengan demikian secara harafiah hiponim dapat
diartikan sebagai nama yang termasuk di bawah nama lain.
Sedangkan secara semantik, hiponim dapat diartikan sebagai
ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga berupa frase
atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari
makna suatu ungkapan lain. Relasi antara dua buah kata yang
berhiponim ini adalah searah. Misalkan saja, kata ‘mujahir’
berhiponim terhadap kata ‘ikan’. Namun, kata ‘ikan’ tidak
berhiponim terhadap kata ‘mujahir’. Hal ini dikarenakan
kedudukan umum-khususnya
yang tidak sebanding. Kata
‘mujahir’ (makna lebih khusus) merupakan bagian dari kata
92
‘ikan’ (makna lebih umum). Oleh sebab itu, sekali lagi kata ‘ikan’
tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’, namun kata ‘ikan’
berhipernim terhadap kata ‘mujahir’.
Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya
kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang
berada di bawah makna kata lainnya. Oleh sebab itu, ada
kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap
sejumlah kata lain akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang
hierarkial berada di atasnya. Yang perlu diperhatikan adalah,
konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata
benda, tetapi agak sulit diterapkan pada kata kerja atau kata sifat.
Makna kata ‘suci’ dalam konsep makna hiponimi dan
hipernimi ini akan disajikan dalam bagan berikut ini:
‘suci’
‘bersih’
‘murni’
‘keramat’
‘maksum’
Keterangan bagan:
1) Kata ‘suci’ berhipernim terhadap kata ‘bersih’, ‘murni’,
‘keramat’, dan ‘maksum’. Hal ini disebabkan karena maknamakna yang terkandung di dalam kata-kata tersebut sudah
terangkum dalam makna kata ‘suci’. Sehingga kata ‘suci’
93
memiliki kedudukan makna yang lebih tinggi dibandingkan
dengan kata-kata yang lain.
2) Kata ‘bersih’ berhiponim terhadap kata ‘suci’. Sesuatu yang
disebut ‘suci’ pasti memiliki makna ‘bersih’, namun sesuatu
yang dikatakan ‘bersih’ belum tentu bermakna ‘suci’.
Misalkan saja rumah yang bersih belum tentu juga
merupakan rumah yang suci menurut lingkungan-lingkungan
tertentu. Misalkan saja kaum
beragama
Islam
akan
menganggap sebuah rumah iru tidak suci karena si empunya
rumah memelihara anjing, walaupun rumah tersebut dalam
keadaan yang bersih secara fisik. Karena mungkin akan ada
anggapan-anggapan bahwa di bagian-bagian tertentu dalam
rumah tersebut sudah tercemar kotoran anjing yang
menyebabkan seseorang harus bersuci.
3) Kata ‘murni’ berhiponim dengan kata ‘suci’. Di dalam kata
‘suci’ sudah terkandung makna kata ‘murni’. Namun belum
tentu sesuatu yang murni tersebut dapat dikatakan sebagai
sesuatu yang suci. ‘Susu murni’ misalnya. Memang tidak ada
kandungan lain yang terdapat di dalam susu tersebut, 100%
susu sapi. Namun susu semacam itu tidak akan pernah
disebut sebagai ‘susu suci’.
4) Kata ‘keramat’ berhiponim dengan kata ‘suci’. Meskipun
keduanya memiliki makna-makna ‘magis’ atau ‘supranatural’
94
di dalamnya, namun kata ‘suci’ dan ‘keramat’ ini memiliki
konsep yang berbeda. Sesuatu yang disucikan pasti
merupakan sesuatu yang keramat, sehingga tidak boleh
diperlakukan dengan sembarangan. Namun, sesuatu yang
dikatakan ‘keramat’ belum tentu memiliki makna ‘suci’,
karena di dalam kata ‘suci’ tersebut terdapat makna ‘bebas
dari dosa’. Bisa saja sesuatu yang ‘keramat’ tersebut justru
mendorong seseorang kepada hal-hal yang menjerumuskan
dalam dosa.
5) Kata ‘maksum’ berhiponim dengan kata ‘suci’. Kedua kata
ini memiliki unsur makna yang sama, yaitu ‘terpisah’. Hanya
saja di dalam kata ‘suci’ terkandung makna terpisah baik
dalam segi ragawi maupun rohani, sedangkan pengertian
terpisah dalam kata ‘maksum’ hanya berkaitan dengan
keadaan terpisah dalam arti raga duniawi.
d. Polisemi
Polisemi sering diartikan sebagai satuan bahasa (terutama
kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu.
Namun pada pembahasan terdahulu diungkapkan bahwa setiap
kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut sebagai
makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya.
Dalam perkembangan selanjutnya, kompnen-komponen makna
95
ini berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna
yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal
sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu. Lagipula
kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang
lebih tinggi dari kata seperti frase dan kalimat.
Secara sepintas mungkin akan ada pendapat yang
menyatakan bahwa sebenarnya polisemi dan homonimi ini
memiliki kemiripan, bahkan ada yang berpendapat bahwa
keduanya sama. Namun sebenarnya di antara homonimi dan
polisemi ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar.
Perbedaan yang sudah sangat jelas adalah bahwa homonimi
bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang
kebetulan bentuknya sama. Kemudian, karena homonimi ini
bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh sebab itu
di dalam kamus, bentuk-bentuk homonimi didaftarkan sebagai
entri-entri yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi
adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan
demikian, oleh karena polisemi ini adalah sebuah kata, maka
dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri.
Selain perbedaan tersebut, terdapat satu perbedaan lagi
antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentukbentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungnnya sama sekali
antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan makna-makna pada
96
kata yang polisemi masih ada hubungannya karena memang
dikembangkan
dari
komponen-komponen
makna
kata-kata
tersebut.
Berikut ini akan digambarkan kata ‘suci’ dang memiliki
kerangka bentuk polisemi:
1.
‘bersih’
dalam
arti
keagamaan,
seperti tidak terkena najis, selesai
mandi janabat.
SUCI
2.
Bebas dari dosa, bebas dari cela,
bebas dari noda, maksum, keramat.
3.
Murni.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia
kata ‘suci’ setidaknya mengacu kepada tiga buah konsep makna.
3. Medan Makna dan Komponen Makna Kata ‘suci’
Dalam Kamus Linguistik karangan Kridalaksana4 menyatakan
bahwa ‘medan makna’ (semantic field, semantic domain) adalah
bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari
bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang
direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya
berhubungan. Kata atau unsur leksikal yang maknanya berhubungan
4
Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Gramedia, Jakarta, 1982.
97
dalam satu bidang tertentu jumlahnya tidak sama dari satu bahasa
dengan bahasa lain. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur leksikal
dalam setiap bahasa berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi
budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan.
Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat
digolongkan menjadi dua, yaitu termasuk dalam golongan ‘kolokasi’
dan golongan ‘set’. Kolokasi berasal dari bahasa latin colloco yang
berarti ‘ada di tempat yang sama dengan’. Pengertian ini menunjuk
pada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsurunsur leksikal itu.
Jika koloasi merujuk pada hubungan sintagmatik karena
sifatnya
yang
linear,
maka
‘set’
menunjuk
pada
hubungan
paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada dalam
suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set biasanya berupa
sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya
merupakan satu kesatuan. Hal lain yang penting adalah, setiap unsur
leksikal dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan
dengan anggota-anggota dalam set tersebut.
Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat
memberikan gambaran yang jelas mengenai teori medan makna,
meskipun makna unsur-unsur leksikal itu sering bertumpang tindih dan
batas-batasnya seringkali menjadi kabur. Kelemahann lainnya adalah
pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara yang
98
disebut makna denotasi dan makna konotasi, antara makna dasar dari
suatu kata atau leksem dengan makna tambahan dari kata itu.
Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature,
semantic property, atau semantic marker) mengungkapkan bahwa
setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur
yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur lesikal
tersebut. Melalui pemaparan yang telah disampaikan sebelumnya, kata
‘suci’ pun memiliki komponen-komponen yang membentuk makna
dari kata tersebut. Komponen-komponen makna ini nantinya akan
membantu membedakan makna kata ‘suci’ dengan makna kata lain
yang dianggap memiliki kemiripan makna (sinonim).
SINONIM
‘ceria’
‘kalis’
‘kudus’
‘maksum’
‘murni’
‘nirmala’
‘tahir’
‘zakiah’
‘sakral’
‘putih’
‘haram’
‘fitrah’
‘bening’
‘keramat’
‘tulen’
1.
Bersih
+
+
+
-
-
+
+
+
+
-
+
+
+
+
-
+
2.
-/+
+
-
-
+
-/+
+
-
+
-
-
-
+
-
-
-
3.
Bebas dari
dosa
Keramat
-
-
-
+
-
-
-
-
-
+
-
+
-
-
+
-
4.
Murni
-/+
+
-
+
+
+
-
+
+
-
+
+
+
+
-
+
NO.
‘bersih’
KOMPONEN
KATA
‘SUCI’
99
4.
Kata ‘suci’ di dalam Berbagai Bidang Pemakaian
a.
Agama Islam
1)
Istilah-istilah yang Berkaitan dengan Kata ‘suci’
Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pandangan
Islam mengenai kata ‘suci’, berikut ini akan disajikan daftar
istilah yang erat hubungannya dengan kata ‘suci’, yang nantinya
akan dibahas secara lebih terperinci pada bagian-bagian
berikutnya.
No.
1.
Istilah
Pengertian
‘haram’
Iistilah dalam fikih atau syariat untuk menunjuk
sesuatu yang dilarang dalam Islam; sesuatu yang
dituntut Allah untuk ditinggalkan oleh setiap
mukalaf dengan tuntutan
yang tegas
dan
mengikat; jika dilarang akan membuahkan dosa.
2.
Haramin
Sebutan untuk kota Mekkah dan Madinah yang
Syarifain
(al- artinya “dua tanah yang suci/sakral”. Status
Haramayn
keharaman Mekkah merupakan permintaan Nabi
asy-Syarifayn)
Muhammad
SAW,
sedangkan
keharaman
Mekkah merupakan permintaan Nabi Ibrahim
AS. Kata ‘haram’ di sini tidak terkait dengan
kata ‘haram dalam istilah fikih.
3.
‘harem’
Ruang dalam rumah yang diperuntukkan bagi
100
perempuan dalam rumah tangga poligami. Kata
ini diambil dari kata dalam bahasa Arab, alharam, yang berarti ‘larangan’. Pada zaman
kekilafahan
wilayah
Turki
pribadi
Utsmani,
bagi
Harem
sultan
adalah
yang
tidak
sembarang orang dapat memasukinya. Ruangan
ini sering dijaga oleh para kasim.
4.
‘ihram’
Niat dalam pelaksanaan ibdah haji atau umrah,
sehingga seseorang mengikatkan diri pada
keharaman-keharaman tertentu; keadaan bersuci
diri pada waktu melakukan ibadah haji dan
umrah di Mekkah; meniatkan dan melakukan
pekerjaan ihram untuk tujuan ibadah haji
dan/atau umrah.
5.
Muharam (al-
Bulan
ke-1
dalam
kalender
Hijriyah
Muharram)
(penanggalan Islam), yang lazimnya terdiri atas
29 hari. Bulan ini merupakan salah satu dari
bulan haram atau yang disakralkan, selain bulan
Zulkaidah, Zulhijah, dan Rajab. Tentu saja
kesakralan keempat bulan itu lebih merujuk pada
tradisi
bangsa
Arab
di
masa
lalu
yang
mengharamkan diadakannya peperangan dalam
bulan-bulan tersebut. Kata ‘muharam’ berarti
101
‘terlarang’ yang merupakan turunan dari kata
‘haram’ dalam bahasa Arab. Pada hari kesepuluh
bulan itu, disunnahkan untuk mengerjakan puasa
sunnah yang disebut dengan puasa Asyura (hari
ke-10). Kesunahan puasa ini berdasarkan pada
salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang
sempat bercita-cita untuk berpuasa pada hari ke10 (Muharam). Beberapa peristiwa penting yang
terjadi dalam sejarah Islam pada bulan ini, antara
lain:
1.
Tahun baru Islam (1 Muharam)
2. Nabi Muhammad SAW mengalahkan Bani
Muharin dan Bani Tsa’labah, dan suku dari
klan Bani Gathafan (4H)
3. Wafatnya Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab
RA (2 Muharam)
Kitab
Tanbih
al-Ghafilin
menyebut
beberapa peristiwa yang sudah dan akan terjadi
juga diyakini berlangsung pada bulan ini.
Misalnya, diciptakannya Nabi Adam AS yang
kemudian dimasukkan ke surga (10 muharam),
diciptakannya lautan dan surga, disembuhkannya
penyakit Nabi Ayub AS, terbelahnya laut bagi
102
Bani Israil yang dikejar-kejar pasukan firaun,
dilantiknya Nabi Sulaiman AS sebagai Raja.
Selain itu, Hari Kiamat juga diyakini akan terjadi
pada tanggal 10 Muharam.
6.
Najis
(an- Benda yang kotor dan menjijikkan dalam
Najs)
pandangan syariat. Namun, tidak selalu yang
dianggap manusia kotor adalah najis, begitu pula
sebaliknya. Misalnya, tanah atau debu yang
dalam pandangan manusia adalah sesuatu yang
kotor, justru dalam pandangan syariat dapat
digunakan untuk bersuci (tayamum) selama tidak
tersedia air. Sebaliknya, anjing maupun babi
yang bagi sebagian manusia tidak menjijikkan
ternyata dalam pandangan syariat dianggap najis.
7.
Najis
Najis berat, yaitu anjing dan babi dan keturunan
Mugalazah
dari keduanya atau salah satu dari keduanya.
(Najis al-
Cara menyucikan sesuatu dari najis ini adalah
Mughallazhah) dengan membasuh air ke bagian tubuh atau
pakaian yang terkena najis sebanyak 7 kali,
dimana
salah
satu
basuhan
di
antaranya
menggunakan tanah yang suci. Jika najis tersebut
diyakini belum hilang, maka lakukan basuhan
tersebut kira-kira enam kali lagi.
103
8.
Najis
Najis ringan, yaitu kencing bayi laki-laki yang
Mukhafafah
usianya belum sampai dua tahun dan tidak
( Najis al-
mengkonsumsi makanan selain air susu ibunya.
Mukhaffafah)
Cara menyucikan badan atau benda yang terkena
najis ini cukup dengan memercikkan air secara
merata sampai diyakini hilang zat najisnya.
9.
Najis
Najis sedang, seperti arak atau cairan minuman
Mutawasitah
keras; bangkai makhluk hidup, kecuali mayat
(Najis al-
manusia, ikan dan belalang; darah, nanah,
Mutawasithah) muntah, kotoran atau tahi dan air seni semua
makhluk hidup; susu binatang yang dagingnya
bukan untuk dimakan, kecuali susu manusia;
bagian tubuh yang terpotong atau terpisah dari
hewan yang masih hidup (dianggap sebagai
bangkai). Cara menyucikan sesuatu dari najis ini
adalah dengan menghilangkan rasa, warna, dan
baunya. Misal, pakaian yang terkena darah atau
nanah, maka pakaian tersebut harus dicuci
sampai rasa, warna dan bau darah atau nanah
tersebut hilang.
10.
11.
Tayamum (at-
Bersuci dari hadas menggunakan debu dengan
Tayamum)
aturan-aturan yang telah ditetapkan syariat.
Wudhu
(al- Tindakan bersuci menggunakan air pada anggota
104
Wudhu)
12.
Ziarah
Ziyarat)
badan tertentu.
(az- Kunjungan ke tempat yang dianggap suci atau
mulia;
mendatangi
kuburan
tertentu
untuk
mendoakan yang sudah mati yang dikuburkan di
situ.
13.
Aulia
Awliya)
14.
Halal
(al- Bentuk jamak dari kata
‘waliy’ (wali) yang
berarti orang suci.
(al- Sesuatu yang dibolehkan di dalam Islam.
Halal)
2)
Perihal Bersuci
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007),
kata ‘bersuci diartikan sebagai suatu proses membersihkan diri
(sebelum salat). Ada dua perbedaan pendapat secara umum
mengenai kata ‘bersuci’:
a) ‘bersuci’ diartikan dengan terbebas dari najis maknawi,
yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena
iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan,
maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah
memenuhi separuh iman;
b) ‘bersuci’ diartikan dengan proses pembersihan diri dengan
air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari
hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan
105
suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud
dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari
sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan
pokok amalan iman.
Islam mengajarkan tentang kebersihan. Baik kebersihan
hati, badan, maupun lingkungan. Islam memandang bahwa
memelihara kebersihan adalah masalah penting yang wajib
diperhatikan dan laksanakan dalam kehidupan manusia seharihari. Lebih jauh, tak hanya kebersihan, islam mengajarkan pula
tentang kesucian. bersih dan suci adalah dua hal yang tidak
dapat di pisahkan. keduannya sangat erat berhubungan dengan
kesehatan, meskipun arti katanya tak persis sama. Bersih
merupakan kata sifat yang menunjukkan keadaan bebas dari
kotoran. Kebersihan bersifat umum dan tidak terkait langsung
dengan tata cara peribadatan. Namun demikian, tetap saja
merupakan
keharusan
bagi
setiap
muslim
untuk
melaksanakannya dalam kehdupan sehari-hari. Sementara, suci
dalam ajaran islam ialah terhindar dari najis dan hadas. Agar
menjadi suci, seorang muslim haru mejalankan aturan berupa
tata cara taharah (bersuci). Setelah bertaharah, baru kita dapat
menjalankan ibadah-ibadah khusus, terutama sholat.
Ada dua jenis kotoran dalam ajaran islam. Yang pertama
adalah najis. Sifat najis adalah hissy (dapat dilihat). Misalnya air
106
kencing, tinja, darah, dan nanah. Yang kedua adalah hadas. sifat
hadas adalah ma’nawi (abstrak, tak terlihat). Contohnya adalah
buang angin untuk hadas kecil dan keluar mani untuk hadas
besar (junub).
3)
Hikmah Bersuci
Islam percaya bahwa tak ada perintah Allah bagi umat
manusia yang sia-sia. Semua pasti membawa kebaikan bagi
manusia. Tak terkecuali soal bersuci. Ada manfaat yang
berlimpah bagi manusia yang mau melaksanakan. Manfaat
langsung tampak di mata adalah keindahan. Selain keindahan,
ada manfaat yang tak kalah penting, yakni kesehatan.
Banyak sekali penyakit yang datang dari kotoran.
Misalnya, hanya karena jorok dan tidak mandi, maka jamur kulit
akan segar tumbuh subur merembak dikulit. Belum penyakit –
penyakit lain, yang menyerang pencernaan, misalnya. Itu baru
kesehatan jasmani dan lingkungan. Padahal kebersihan dan
keucian fisik juga membawa dampak pada kesehatan rohani
manusia. Maka, menjaga kebersihan dan kesucian menjadi suatu
kewajiban bagi seorang muslim.
Itu semua adalah manfaat bersuci lahir dan batin secara
umum. Lebih jauh, ada pula manfaat-manfaat khusus yang akan
kita raih, terutama dalam tata cara taharah-taharah tertentu.
107
Berikut ini adalah manfaat-manfaat yang akan diperoleh dari
aktivitas bersuci:
a)
Istinjak
merupakan
merupakan
aktivitas
jejang untuk
membersihkan
mencapai
kesucian
najis
lahir.
Utamanya adalah mencegah pelbagai penyakit yang
ditimbulkan kotoran. Sedangkan untuk kesucian batin,
istinjak merupakan saraana pendekatan manusia kepada
Allah. Sebab dengannya seorang muslim bisa menjalankan
ibadah secara sah dan benar.
b)
Wudu. Selain bertujuan dari hadas kecil, ada banyak sekali
makna dan hikmah yang dapat kita renungkan dari seluruh
rukun maupun sunnah wudu, antara lain:
- berkumur-kumur merupakan lambang penyucian mulut
dan lidah, agar terhindar dari makanan yang di
haramkan Allah, serta menjaganya dari perkataan kotor
atau sia-sia;
- membasuh muka dan sudut-sudut mata dilakukan agar
wajah selalu berseri indah, membuat orang lain senang
melihatnya.
Juga
agar
manusia
selalu
menjaga
pandangan mata, menghindarkannya dari sesuatu yang
terlarang untuk dilihat;
108
- membasuh tangan memuat makna agar tangan manusia
terjaga dari perbuatan tidak terpuji, seperti merampas
hak atau menyakiti tubuh orang lain;
- mengusap sebagian kepala bertujuan agar pikiran
manusia senantiasa bersih, dan otak kita mampu
mampu menyerap ilmu Allah dengan jernih;
- dengan membasuh kedua daun telinga, berarti manusia
memelihara dari bunyi perkataan yang kotor dan tidak
bermanfaat;
- membasuh membasuh kedua kaki mengandung hikmah
agar kaki terpelihara dari langkah yang salah, dari
langkah-langkah menuju maksiat, dari langkah-langkah
menjahui rida Allah.
c)
Tayamum. Yaitu mengusap tanah (debu) ke muka dan
kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat.
Tayamum adalah pengganti wudu atau mandi, sebagai
keringanan bagi orang yang tidak dapat menggunakan air
karena beberapa halangan, seperti sakit atau dalam
perjalanan sukar menemukan air atau memang tidak ada
air. Taymum dengan debu yang suci dapat dilakukan
untuk menyucikan diri dari hadas kecil maupun hadas
besar. Di dalam tayamum pun ada makna yang tersirat
yang perlu direnungkan. Tayamum menggunakan debu.
109
Secara umum, kita menganggap debu itu kotor (misalnya
saat menempel di pakaian). Dari sudut pandang agama,
debu itu suci. Itulah yang akan memaksa manusia untuk
sadar bahwa jasad manusia tak beda jauh dengan debu.
Bersuci dengan debu mengingatkan manusia akan
kejadian asal manusia, yakni tanah kakek moyang bangsa
manusia Adam, diciptakan Allah dari tanah. Kelak setelah
mati, jasad semua anak turunnya pun akan lebur kembai
menjadi tanah. Hikmah yang lain adalah membuat
manusia bersyukur bahwa Allah selalu
memberikan
banyak kemudahan. Karena air wudu memang tak selalu
bisa dapat di setiap tempat, maka debu yang ada dimanamana menjadi pilihan.
d)
Menghilangkan hadas besar dengan mandi wajib. Bagi
orang junub (keadaan kotor karena keluar mani), secara
lahiriah mandi wajib tak berdampak besar pada kebersihan
tubuh. Hanya saja kesegaran fisik nya akan pulih,
sehingga dapat kembali menjalankan aktivitas kehidupan
dengan baik. Lebih jauh, secara batiniah sungguh besar
manfaatnya yang akan didapat. Sebab mandi junub dapat
menetralkan pengaruh kejiwaan akibat hubun gan seksual
suami istri, yang menyerupai naluri seksual hewani.
Sehingga seorang muslim dapat kembali kesuciaannya.
110
Bagi perempuan yang usai haid atau melahirkan, wajib
mandi dapat membersihkan kotoran yang melekat pada
dirinya. Juga memulihkan kekuatan serta kesegaran
tubuhnya, sehingga bisa kembali beribadah dengan baik
kepada Allah.
4)
Najis dan Haram
Halam daftar sinonim kata ‘suci’ yang telah disampaikan
pada bagian sebelumya, kata ‘suci’ tersebut dipadankan dengan
kata ‘haram’. Disebutkan bahwa selain bermakna ‘terlarang’ dan
‘halal’, kata haram juga memiliki makna ‘suci’, ‘terpelihara’,
dan ‘terlindung’. Kedua makna yang terkandung dalam kata
‘haram tersebut akan tampak sekali perbedaannya jika dirangkai
dalam kalimat-kalimat berikut ini:
a. Haram hukumnya apabila makan bangkai.
b. Wanita itu melahirkan anak haram.
c. Tanah haram di Mekah itu adalah semulia-mulianya tempat
di atas bumi.
Jika ditelusuri secara umum, maka kalimat (a) akan
memiliki maksud bahwa ‘bangkai’ itu tidak boleh/dilarang
untuk dimakan karena mungkin akan menyebabkan kesehatan
tubuh terganggu. Namun kalimat (b), kata ‘Mekah’ disebut
sebagai ‘Tanah Haram’. Hal ini bukan berarti bahwa posisi
111
‘Mekah’ disejajarkan dengan kata ‘Bangkai’ yang sama-sama
mengandung makna ‘haram’. Inilah yang menjadi poin
pentingnya dan kadang-kadang menimbukan perdebatan. Kata
‘haram’ tidak boleh diartikan secara sembarangan. Konteks
‘dilarang’ ini bukan hanya berkaitan pada apapun yang
dianggap hina, dan tidak bai untuk keberlangsungan hidup
manusia, namun manusia sebagai makhluk berdosa juga harus
mengakui bahwa ada kuasa yang pasti lebih tinggi darinya,
yang menyebabkan dirinya tidak lagi layak untuk bersentuhan
dengan hal-hal tersebut. Berbeda lagi dengan kalimat b). Dalam
hal ini kata ‘haram’ yang dirangkaikan menjadi frasa ‘anak
haram’, memiliki arti negatif. ‘Anak haram’ diartikan sebagai
anak yang lahir di luar ikatan perniahan, Tentu saja ‘haram’
dalam konteks ini tidak dapat disamaartikan dengan kata ‘suci’
Oleh sebab itu kata ‘haram’ di sini setidaknya memiliki
dua tipe pandangan yang berbeda. Di sisi lain kata ‘haram’
diartikan sebagai sesuatu yang dilarang untuk disentuh,
dimakan, ataupun digunakan karena sifat-sifat fisiknya yang
akan menyebabkan kerugian bagi diri manusia. Di sisi lain
terdapat makna kata ‘haram’ yang dapat diartikan sebagai
sesuatu yang sakral sehingga manusia yang telah berdosa
dilarang untuk menyentuhnya karena sifatnya yang suci
tersebut.
112
Namun, ada satu masalah lagi yang menjadi topik yang
apik untuk dibicarakan. Secara umum banyak masyarakat
pengguna bahasa Indonesia yang masih sulit memahami makna
sebenarnya kata ‘haram’, sehingga acap kali kata ini
disejajarkan, bahkan disama artikan dengan kata ‘najis’. Dalam
bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai
perbedaan kata ‘najis’ dan ‘haram’ agar nantinya dapat
menyelesaikan masalah kesalahpahaman tersebut.
Setiap yang najis itu haram dimakan, namun belum
tentu yang haram itu najis. Kaedah ini disebutkan oleh para
ulama di antaranya Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau
berkata,
“Setiap najis diharamkan untuk dimakan, namun tidak setiap
yang haram dimakan itu najis.” (Majmu’atul Fatawa, 21: 16).
Kaedah ini bermakna setiap yang najis haram dimakan.
Sedangkan sesuatu yang haram, belum tentu najis, bisa jadi
pula suci. Penerapan kaedah ini adalah sebagai berikut.
- Racun haram untuk dikonsumsi karena memberikan dhoror
(bahaya) pada tubuh. Namun dalam hal ini, haram tidak
semata-mata dihukumi najisnya. Karena keharaman belum
tentu mengkonsekuensikan najis.
-
Makanan yang dicuri diharamkan untuk dikonsumsi karena
tidak ada izin si empunya atau pula tidak diizinkan oleh
113
syari’at. Akan tetapi sesuatu yang haram ini tidak
menunjukkan najisnya.
- Khomr sudah disepakati haramnya, namun -menurut
pendapat terkuat- khomr tidaklah najis. Karena hukum asal
segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang najisnya.
Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata mengenai firman
Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum)
khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah adalah kotor termasuk perbuatan
syaitan” (QS. Al Maidah: 90). Khomr di sini dikaitkan
dengan anshob(berhala) dan azlam (anak panah). Ini sudah
mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah kotor
maknawi dan bukan najis syar’i (Lihat Ad Daroril
Mudhiyyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, hal. 62-63).
- Darah -yang dialirkan- dihukumi haram berdasarkan ayat,
“ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu
(memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang
disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi
barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak
menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka
sesungguhnya
Allah
Maha
Pengampun
Penyayang.” (QS. An Nahl: 115).
lagi
Maha
114
Yang dimaksudkan darah yang dialirkan disebutkan
dalam ayat,
“Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang
diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang
hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai,
atau darah
yang
mengalir atau
daging
babi
–
karena
sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih
atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan
terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula)
melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al An’am: 145).
Namun meskipun darah diharamkan tetapi tidaklah najis.
Hukum darah itu kembali pada hukum asal segala sesuatu yaitu
suci sampai ada dalil yang menyatakan najisnya. Darah yang
dianggap najis hanyalah darah haid, selain itu dihukumi akan
sucinya. Mengenai kaedah di atas dijelaskan pula bahwa sesuatu
yang najis tentu saja haram, namun tidak sebaliknya. Karena najis
berarti tidak boleh disentuh dalam setiap keadaan. Hukum najisnya
suatu benda berarti menunjukkan haramnya, namun tidak
sebaliknya. Diharamkan memakai sutera dan emas (bagi pria),
namun keduanya itu suci karena didukung oleh dalil dan ijma’
(konsensus para ulama). Jika engkau mengetahui hal ini, maka
haramnya khomr dan daging keledai jinak sebagaimana disebutkan
dalam dalil tidak menunjukkan akan najisnya. Jika ingin
menyatakan najis, harus didukung dengan dalil lain. Jika tidak,
maka kita tetap berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu
115
itu suci. Siapa yang mengklaim keluar dari hukum asal, maka ia
harus mendatangkan dalil. Sedangkan bangkai dihukumi najisnya
karena dalil mengatakan haram sekaligus najisnya.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat
perbedaan yang mencolok antara kata ‘haram’ dan ‘najis’. Oleh
sebab itu diharapkan bagian ini akan membantu menyelesaikan
kesalahpahaman dalam memaknai keduanya.
b. Agama Kristen
Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa salah satu cara
untuk mengetahui pola pemikiran seseorang adalah dengan cara
memahami buku-buku apa saja yang pernah Ia baca. Penulis pun
meyakini bahwa informasi-informasi yang diperoleh seseorang dari
buku yang dibacanya dapat membentuk konsep pemikiran
seseorang terhadap hal-hal tertentu. Atas dasar pemikiran yang
demikian, maka pada bagian ini penulis akan menyajikan hasil
penelitian mengenai pandangan agama Kristen tentang kata ‘suci’
dengan jalan menguraikan secara detil penggunaan-penggunaan
kata ‘suci’ di dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen). Tentunya
hasil penelusuran dari Alkitab ini akan penulis lengkapi dengan
beberapa sumber yang diharapkan dapat menunjang penjelasan.
1) Kata ‘kudus
116
Dalam bukunya, Otto (1946:731) menjelaskan bahwa
Allah adalah kudus, artinya Ia bebas terhadap dunia. Dia
disebut dengan "nama" Kudus yang berasal dari bahasa Ibrani
qadosh. Otto mendefinisikan konsep tentang ‘yang kudus’
sebagai yang dianggap sebagai numinus. Otto menjelaskan
bahwa numinus tersebut merupakan pengalaman yang nonrasional dan tidak terinderakan, atau perasan yang objek
utamanya langsung berada di luar diri pribadi. Ia menciptakan
istilah yang baru ini berdasarkan kata dari bahasa Latin numen
yang berarti ‘tuhan’.
Ungkapan ini secara etimologis tidak berkaitan dengan
gagasan
Immanuel Kant tentang numeneon, yaitu sebuah
istilah dari bahasa Yunani yang merujuk kepada suatu realitas
yang tidak dapat diketahui yang ada di balik segala sesuatu.
Yang numinus adalah sebuah misteri yang mempesona dan
sekaligus juga yang menakutkan. Hal ini juga menjadi
paradigma bagi studi agama-agama
perhatian
yang memusatkan
pada kebutuhan untuk menyadari hal-hal yang
religius sebagai sebuah kategori orisinil di dalam dirinya
sendiri yang tidak pernah dapat direduksi.
Secara lebih lengkap, Istilah-istilah yang prinsipal
adalah qadosy atau qadosh atau kadosh dan hagios dalam
bahasa Yunani. Terjemahan yang lazim bagi keduanya adalah
117
kudus, walaupun kadang-kadang keduanya diterjemahkan
dengan 'suci'.
Perbedaan
antara kudus dan
suci tidaklah
gamblang, justru bisa benar mengatakan bahwa bila yang
dipikirkan adalah kualitas hakiki Tuhan dan manusia, maka
dipakailah istilah kudus; istilah suci menekankan akibat
daripada sikap yg menjurus kepada kesucian.
Qadosy dapat berarti 'terpisah' (dikhususkan) atau
'terpotong dari', digunakan terhadap keadaan terlepasnya
seseorang atau suatu benda (supaya Tuhan dapat memakainya,
dan dengan demikian terhadap keadaan orang atau obyek yang
dilepas itu). Hagios mempunyai dasar pemikiran yang sama
mengenai keterpisahan dan kesucian terhadap Allah. Kata
'mahakudus' dalam Kisah 2:27 dan kata 'kudus' dalam Wahyu
15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani hosios (di tempat lain
diterjemahkan 'suci' atau 'saleh'), suatu kata yg mengandung
arti hubungan yg benar dengan Allah, mungkin juga dalam
pengertian kekasih.
2) Kekudusan Allah
Untuk membahas mengenai konsep ‘kudus’ yang
dikenakan pada Allah sang Maha Sempurna, maka dipaparkan
ayat-ayat yang berkaitan sebagai berikut:
118
-
Imamat 19:2, "Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel
dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku,
TUHAN, Allahmu, kudus.”
-
Yesaya 57:15, “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi
dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya
dan Yang Mahakudus nama-Nya: "Aku bersemayam di
tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama
orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan
semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk
menghidupkan hati orang-orang yang remuk."
-
Yosua 3:5. ”Berkatalah Yosua kepada bangsa itu:
"Kuduskanlah
dirimu,
sebab
besok
TUHAN
akan
melakukan perbuatan yang ajaib di antara kamu."
-
Keluaran 15:11, “ Siapakah yang seperti Engkau, di antara
para allah, ya TUHAN; siapakah seperti Engkau, mulia
karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu
yang masyhur, Engkau pembuat keajaiban?”
Ayat-ayat tersebut menunjukakan kekudusan Allah yang
tidak ada bandingannya. Istilah kudus di Perjanjian Lama sama
dengan di Perjanjian Baru, dipakai dalam pengertian tertinggi
terhadap
Allah.
Istilah itu menunjuk, pertama, kepada
keterpisahan Allah dari ciptaan dan bahwa Ia mengungguli
ciptaan itu. Demikianlah 'kudus' menggambarkan transendensi
119
Allah. YHWEH, karena 'kekudusan'-Nya berdiri bertentangan
dengan ilah-ilah (Keluaran 15:11) demikian juga dengan seluruh
ciptaan (Yesaya 40:25).
Istilah itu juga menunjuk kepada hubungan, dan
mengandung
kedudukanNya
arti
ketentuan
sendiri
Allah
terhadap
untuk
memelihara
makhluk-makhluk
bebas
lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, 'sifat dalam mana
YHWEH menjadikan diriNya sendiri ukuran mutlak bagi
diriNya sendiri'. Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan
Allah dan manusia (Hosea 11:9), itu adalah sama artinya dengan
'Allah yg tertinggi', dan terutama menekankan sifat Allah yg
sangat menakutkan (Mazmur 99:3).
Karena kekudusan meliputi setiap keistimewaan sifat
Allah, maka hal itu dapat disifatkan sebagai: demikianlah Allah
adanya. Sebagaimana sinar matahari mencakup semua warna
dalam spektrumnya dan menjadi cahaya (terang) demikianlah
dalam penyataan diriNya sendiri, semua sifat Allah menjadi satu
dalam kekudusan; untuk maksud itu maka kekudusan pernah
disebut: 'sifat dari segala sifat' yg kesatuannya mencakup segala
sifat Allah. Untuk mengerti keberadaan dan perangai Allah
sebagai hanya kumpulan kesempurnaan yang abstrak, berarti
membuat Allah tidak riil. Di dalam Allah dari Alkitab,
kesempurnaan hidup berfungsi dalam kekudusan.
120
Kitab Suci menekankan kemantapan sifat moral (Wahyu
22: 11), juga menekankan segi pembalasan dari kekudusan
Allah, yg mencakup dunia dalam penghakiman. Berdasarkan
hakikat Allah, hidup diatur sedemikian rupa sehingga dalam
kekudusan terdapat 'sejahtera', dalam dosa terdapat 'kutuk'.
Karena kekudusan Allah tidak bisa membuat dan mengindahkan
suatu alam semesta di mana dosa dapat tumbuh dengan
sempurna, maka kualitas pembalasan dalam pemerintahan Allah
menjadi jelas. Tapi pembalasan itu bukanlah akhir dari segala
sesuatu; kekudusan Allah menjamin bahwa akan ada perbaikan
akhir, suatu regenerasi dalam bidang moral.
Menggunakan kata 'kudus' atas orang yang dinobatkan
bagi maksud-maksud agamawi. Misalnya para imam yang
ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga seluruh umat Israel
sebagai satu bangsa yang disucikan bagi Allah tidak sama
dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah
menjadikan Israel satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini
'kudus' mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan
perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terlepas dari
PB, sebagaimana dalam 1 Korintus 7:14, di mana suami yang
tidak beriman dikuduskan karena hubungannya dengan istri
yang beriman demikian sebaliknya.
121
Tapi konsepsi mengenai kekudusan berkembang, sejalan
dengan penyataan Allah, dari luar ke dalam, dari yang bersifat
upacara kepada kenyataan; maka 'kudus' mendapat arti etis yang
kuat, dan ini adalah maknanya, yang nyaris satu-satunya makna
dalam PB. Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai
penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yg Ia terapkan pada
diriNya sendiri dan segi yg Ia kehendaki supaya makhluk
ciptaan-Nya mengenal Dia demikian. Dan para nabi menyatakan
bahwa
Allah
menghendaki
untuk
mengkomunikasikan
kekudusan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya Ia
menuntut kesucian dari mereka. Apabila 'Aku ini kudus adanya',
demikianlah pernyataan Allah sendiri yang mengangkat hakikat
diriNya
mengungguli
makhluk
ciptaan-Nya,
demikianlah
'hendaknya kamu kudus' adalah seruan Allah bagi makhluk
ciptaan-Nya, supaya mereka dapat menjadi orang yang
mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (Ibrani 12:10).
Kekudusan Allah dikaruniakan kepada jiwa manusia, pada saat
ia dilahirkan kembali, dan itulah yang menjadi sumber dan
landasan bagi tabiat yang suci.
3) Hal-hal yang Berkaitan dengan Kata ‘suci’
122
Dalam tradisi kekristenan, ada beberapa hal yang
dianggab mengandung unsur ‘suci’. Berikut ini akan dipaparkan
beberapa ayat yang berkaitan dengan kata ‘suci’.
-
Bilangan 7:1. “Pada waktu Musa selesai mendirikan
Kemah Suci, diurapinnya dan dikuduskannyalah itu dengan
segala perabotnya, juga mezbah dengan segala perkakasnya;
dan setelah diurapi dan dikuduskannya semua itu .....”
-
1 Samuel 3:3. “ Lampu rumah Allah belum lagi padam.
Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut
Allah.”
-
Titus 1:15. “ Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi
orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak
ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka
najis.”
-
Ayub 15:15. “Sesungghnya, para suci-Nya
tidak
dipercyai-Nya, seluruh langit pun tidak bersih pada
pandangannya.”
-
Ratapan 4:1. “Ah, sungguh pudar emas itu, emas murni itu
berubah; batu-batu suci itu terbuang di pojok tiap jalan.”
-
Yohanes 11:48. “Apabila kita biarkan Dia, maka semua
orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma
Akan datang dan akan merampas tempat suci kita sert
bangsa kita.”
123
-
Matius 22:29. “Yesus menjawab mereka: “Kamu sesat,
sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kusa Allah.
4) Hari Sabat
Hal yang tak kalah penting dari tradisi agama Kristen
adalah kepercayaannya kepada hati ‘sabat’ sebagai hari yang
dikuduskan. Memperingati hari Sabat merupakan hukum ke
empat
dalam
sepuluh
perintah
Allah.
Keluaran
31:14
mengungkapkan bahwa, “Haruslah kamu pelihara hari Sabat,
sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar
kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap
orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu hatrus
dilenyapkan dari antara bangsanya.”
Kata shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata
kerja shabat, dalam bahasa yang sama, yang secara harafiah
berarti
"berhenti",
atau shev yang
Meskipun shabbat hampir
secara
berarti
universal
"duduk".
diterjemahkan
"istirahat" atau suatu "masa istirahat", terjemahan yang lebih
harafiah adalah "berhenti", dengan implikasi "berhenti dari
melakukan pekerjaan". Jadi Sabat adalah hari untuk orang
berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat. Kata Ibrani
untuk melakukan "mogok", misalnya, berasal dari akar kata
Ibrani yang sama dengan shabbat, dan mengandung implikasi
yang sama, yaitu bahwa para buruh yang mogok secara aktif
124
berhenti melakukan pekerjaan, dan bukan secara pasif
"beristirahat".
Hal ini menjelaskan pertanyaan teologis yang sering
diajukan tentang mengapa Allah perlu "beristirahat" pada hari
yang ketujuh dalam penciptaan alam semesta, seperti yang
dikisahkan dalam Kitab Kejadian pasal 1. Bila dipahami bahwa
Allah "berhenti" bekerja dan bukannya "beristirahat" dari
kerjanya,
penggunaan
ini
lebih
konsisten
dengan
pandangan Alkitab tentang Allah yang Mahakuasa yang tidak
membutuhkan "istirahat". Namun, sering diikuti terjemahan
yang jauh lebih umum yaitu sabat sebagai "istirahat".
Sabat adalah hari perayaan dan salah satu hari beribadah.
Pada hari Sabat orang Yahudi menyajikan makanan yang
berlimpah
sebanyak
tiga
kali
setelah
kebaktian
di sinagoga selesai: pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan
Sabtu sore sebelum Sabat berakhir. Lebih banyak orang Yahudi
yang
berusaha
menghadiri kebaktian di sinagoga pada
hari
Sabat, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya.
Selain hari
raya Yom
Kippur (karena
hari
itu bukanlah hari yang menyedihkan, melainkan hari raya yang
besar), hari-hari puasa umum ditunda atau dimajukan sehari bila
jatuhnya bersamaan pada hari Sabat, dan orang-orang berduka
yang menjalani Shivah, dari luarnya berusaha tampil biasa saja
125
selama hari Sabat. Mereka bahkan dilarang memperlihatkan
tanda-tanda kedukaan di depan umum.
Saat ini beberapa gereja di seluruh dunia yang juga
merayakan dan memelihara Hari Sabat pada Hari Sabtu yaitu
Gereja Yesus Sejati (True Jesus Church) dan Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist Church) serta
Jemaat Allah Global Indonesia. Waktu yang digunakan untuk
berbakti dan merayakan Hari Sabat sama dengan waktu
perayaan Sabat orang Yahudi yaitu dimulai dari Jumat Malam
(tepat di saat matahari terbenam) dan berakhir pada Sabtu
Malam (tepat di saat matahari terbenam).
5) Perihal Makanan yang Halal dan Haram
Dalam hukum Yahudi dikenal apa yang disebut dengan
kosher.
Kosher ,
yang
berasal
dari
kata
bahasa
Ibrani kashrut ataukashruth adalah istilah dalam hukum tentang
makanan Yahudi.
Sesuai
disebut kosher (istilah bahasa
dengan halakha suatu
Inggris,
dari
makanan
istilah bahasa
Ibrani kasher, yang berarti "layak" (dalam konteks ini berarti
layak untuk dimakan orang Yahudi).
Sebagian besar hukum dasar kosher berasal dari
Kitab Imamat dan Ulangan di dalam Torah. Ada banyak sekali
alasan yang dikemukakan untuk hukum-hukum ini, yang
126
merentang dari filosofis dan ritualistik hingga praktis dan
higienis.
Kata kosher telah dipinjam oleh banyak bahasa. Dalam
bahasa Inggris, kata ini digunakan untuk mengartikan sesuatu
yang sah, diizinkan, asli, atau otentik. Dalam Kekristenan
dewasa
ini
terdapat
kelompok-kelompok
yang
masih
memelihara hukum kosher ini. Berikut ini akan dipaparkan
beberapa aturan dalam makanan antara yang boleh dan yang
tidak boleh dimakan. Pemaparan ini tidak akan seterperinci
hukum dalam Yahudi yng masih memegang teguh 613 atutan
torah. Pemaparan ini diambil dari sebuah perikop Alkitab dalam
Imamat 11:1-47.
Dilarang
Tidak Dilarang
Unta, karena memang memamah Setiap binatang yang berkuku belah,
biak, tetapi berkuku belah. (ayat 4)
yaitu yang kukunya bersela panjang
dan yang memamah biak (ayat 3)
Pelanduk,
memamah
karena
biak,
memang Belalang gambar, belalang kunyit,
tetapi
tidak belalang padi. (ayat 22)
berkuku belah. (ayat 5)
Kelinci, karena memang memamah
biak, tetapi tidak berkuku belah.
(ayat 6)
Babi
hutan,
berkuku
belah,
karena
memang
yaitu
kukunya
127
bersela
panjang,
tetapi
tidak
memamah biak. (ayat 7)
Segala yang tidak bersirip atau
bersisik di dalam lautan dan di
dalam sungai. (ayat 10)
Bangsa burung: burung rajawali,
ering janggut dan elang laut, elang
merah dan elang hitam, burung
gagak, burung unta, burung hantu,
camar, burung hantu putih, burung
undan,
burung
ering,
burung
ranggung, bangau, meragai dan
kelelawar (ayat 13-19)
Tikus buta, tikus, katak, landak,
biawak, bengkarung, siput dan
bunglon. (Ayat 29-30)
Dalam hal ini kekristenan setidaknya terbagi dalam tiga
kelompok besar. Kelompok pertama sepakat 100% menjalankan
hukum kosher, kelompok kedua menjalankannya dengan disertai
penyesuaia pada perubahan zaman namun tetap menganggapnya
sebagai ilmu kesehatan, namun ada
pula kelompok besar
lainnya yan menolak 100% amaran ini.
c. Nama Bermakna ‘suci’
Dalam
Kamus
Besar
Bahasa
Indonesia,
‘nama’
merupakan kata untuk menyebut atau memenaggil orang,
128
tempat,
binatang,
dan
sebagainya.
Dalam
masyarakat,
memberikan nama kepada anak merupakan wujud kasih sayang
dan doa orang tua untuk anaknya. Oleh sebab itu, setiap nama
yang diberikan kepada anak seharusnya memiliki tujuan-tujuan
yang baik. Dalam bagian ini penulis akan memaparkan daftar
nama-nama manusia yang biasa digunakan oleh masyarakat
beragama Islam dan Kristen yang di dalamnya mengandung
makna ‘suci’. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai pandangan dari agama Kristen dan Islam
perihal pemberian nama pada anak.
Dalam agama Kristen, dikenal pula tradisi pemberian
nama pada anak. Kebanyakan nama-nama yang diberikan
terinspirasi dari kisah-kisah leluhur ideologisnya pada masa
lampau. Jika diperinci satu per satu, maka akan ditemukan
berbagai macam nama anak beserta artinya. Nama-nama yang
tercantum tersebut ternyata tidak serta-merta diberikan. Namun
ada alur peristiwa yang mendasari dipilihnya nama tersebut.
Nama-nama tersebut tidak semuanya memiliki arti yang positif.
Ada juga nama-nama bermakna negatif yang diberikan pada
manusia dan hal-hal tertentu. Untuk lebih memahami hal ini,
akan dicontohkan nama-nama beserta artinya untuk hal-hal dan
orang-orang di dalam Alkitab:
129
No.
Nama
Ayat Referensi
Arti
1.
Hawa
Kejadian 3:20
Ibu semua yang hidup.
2.
Mara
Keluaran 15:3
Pahit rasanya.
Kejadian 17:5
Bapa
3.
sejumlah
besar
bangsa
Abraham
Roma 4:11
Bapa Orang Percaya
Dalam pandangan muslim, Halim (2000:64) menyebut
beberapa tujuan yang seharusnya menjadi pijakan orang tua
muslim tentunya tidak lepas dari tiga hal secara bersamaan, yakni
memenuhi kewajiban alami, mentaati perintah agama dan
mendidik kesalehan anak.
1) Memenuhi kewajiban alami
Semua yang ada di alam ini tak akan teridentifikasikan
secara pasti tanpa nama-nama yang melekat padanya terlebih
lagi isi alam yang menjadi mahluk paling mulia berupa
manusia. untuk mengidentifikasi-kannya, manusia secara
mutlak memerlukan sebuah nama yang secara otomatis
menjadi sebuah kewajiban alami.
Manusia yang pertama kali diciptakan oleh Allah pun
tidak lepas dari kewajiban alami. Allah SWT memberinya
130
nama
Adam,
dan
benda-benda
yang
berkenaan
atau
mengelilingi kehidupan beliaupun oleh Allah SWT diberikan
nama sendiri yang kemudian diberitahukan kepada beliau. Hal
ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT secara jelas
dalam surat al-Baqarah: 31.
“Dan dia (Allah SWT) mengajarkan kepada Adam namanama semua (benda) yang kemudian disebutkannya
terhadap para malaikat……”
Dengan demikian, ketika menamai anak para orang
tua muslim tidak terlepas dari tujuan untuk memenuhi
kewajiban alami yang satu ini. Karena tanpa sebuah nama,
nyaris anak-anak yang terlahirkannya itu tidak terbilang
sebagai manusia. Dengan nama yang diberikan itulah, maka
anak terlengkapi unsur kemanusiaannya.
Dalam rangka menempatkan tujuan untuk memenuhi
kewajiban alami tersebut, maka nama yang hendak diberikan
mesti disesuaikan dengan jati dirinya anak itu sendiri. Sebagai
mahluk termulia di alam raya ini. Tidak disamakan dengan
nama binatang dan juga tidak disamakan dengan nama
malaikat, apalagi nama kekuasaan dan keagungan Allah SWT.
2) Mentaati Perintah Agama.
131
Selain untuk memenuhi kewajiban alami, menamai anak
hendaklah bertujuan pula untuk memenuhi perintah agama,
sebagaimana hadis Rasulullah SAW:
“Dari Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar
Rasulullah SAW bersabda, “Muliakanlah anak-anak
kalian dan berilah mereka nama-nama yang baik”.
(H.R. Ibnu Maajah)
Dengan menetapkan tujuan menamai anak untuk mentaati
perintah agama, niscaya harapan yang dicanangkan di dalam
nama yang diberikan kepada anakpun akan berupa harapan
yang baik dan benar menurut kaca mata agama. Sebuah
harapan mulia agar anaknya kelak tumbuh dewasa menjadi
insan muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya, mampu
menghambakan diri kepada Allah SWT secara baik dan benar,
serta mampu pula berhubungan baik dengan sesama makhluk
ciptan-Nya.
Selain memiliki harapan yang jelas dan benar dengan
menetapkan tujuan menami anak untuk mentaati perintah agama
maka apa yang akan dilakukannya itu sudah barang tentu akan
mendapatkan imbalan dari sisi Allah SWT.
3) Mendidik kesalehan anak
132
Selain kewajiban memberikan nama yang baik kepada
anak, salah satu kewajiban berat lainnya bagi orang tua
terhadap anak tercintanya ialah mendidik dan mengarahkan
menuju
terbentuknya
anak
yang
saleh,
yang
pandai
menghambakan diri kepada Allah SWT secara baik dan benar,
sekaligus pandai berhubungan sesama makhluk. Sehingga anak
tersebut bisa terselamatkan dari sengatan api neraka.
Kewajiban tersebut merupakan instruksi langsung dari
Sang Pencipta yang harus ditaati oleh setiap hamba-Nya yang
beriman. Perintah ini secara tegas disampaikan dalam firmanNya dalam surat al-Tahrim ayat “Wahai orang yang beriman,
jagalah diri dan keluarga (anak, istri) kalian dari siksa api
neraka…”
Menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka tidak
lain harus dilakukan dengan cara mendidik diri dan keluarga
menuju terbentuknya insan-insan yang saleh. Dan insan yang
saleh itu sendiri tiada lain adalah insan yang pandai
menghambakan
diri
kepada
Allah
SWT
dan
pandai
berhubungan baik dengan sesama. Insan saleh yang demikian
nantinya akan terjauh dari kehinaan dan siksaan api neraka.
133
Dan berikut ini adalah daftar nama yang biasa
digunakan oleh masyarakat beragama Islam dan Kristen yang
memiliki makna ‘suci:
No.
Nama
1.
Attar
2.
Aghnia
3.
Thahir
4.
Suci
5.
Zakiy
6.
Kalis
7.
Atharuf
8.
Azkha
9.
Agha
10.
Raiqa
11.
Agnes
12.
Taher
13.
Azkatia
14.
Glenys
15.
Tahereh
16.
Tahra
Kelamin
Laki-laki
Asal
Bahasa
Arab
Kelamin
dan Asal
Laki-laki
Arab
Perempuan Irlandia
Perempuan
Irlandia
Laki-laki
Islami
Laki-laki
Islami
Perempuan Indonesia Perempuan
Indonesia
Laki-laki
Islami
Laki-laki
Islami
Laki-laki
Indonesia Laki-laki
Indonesia
Laki-laki
Arab
Laki-laki
Arab
Perempuan Arab
Perempuan
Arab
Laki-laki
Sansekerta Laki-laki
Sansekerta
Perempuan Islami
Perempuan
Islami
Perempuan Jerman
Perempuan
Jerman
Laki-laki
Persia
Laki-laki
Persia
Perempuan Indonesia Perempuan
Indonesia
Perempuan WalesPerempuan
inggris
Walesinggris
Perempuan Persia
Perempuan
Persia
Perempuan Arab
Perempuan
Arab
Arti nama
Murni, suci dan bersih
Bersih, suci
Bersih – Suci
Bersih, murni
Suci, bersih
suci, bersih
Suci, bersih
Suci, bersih
Murni, bersih, suci
Bersih, suci, murni
Suci, bersih, keramat
Murni, suci, bersih
Semakin
maju, suci, bersih
bersih, murni, suci
Murni, bersih, suci
Bersih, suci, perawan
134
17.
18.
19.
20.
21.
22.
23.
24.
25.
26.
27.
28.
29.
30.
31.
32.
33.
34.
Aazkiya
Perempuan Islami
Perempuan Lebih suci, bersih
Islami
Glenda
Perempuan Sejarah
Perempuan Kosakata Wales modern,
Sejarah
gabungan dari kata iglan
'bersih, murni, suci' + da
'baik'. Ini juga dipakai
diluar
Wales,dan dihubungkan
dengan artis danpolitisi
Glenda jackson
Azbin
Laki-laki
Arab
Laki-laki
bersih, suci
Arab
Agna
Perempuan Jerman
Perempuan (Bentuk lain dari
Jerman
Agnethe) Suci,bersih,
keramat
Ayska
Perempuan Arab
Perempuan Suci, bersih (nama lain
Arab
dari Azka)
Shafy
Laki-laki
Islami
Laki-laki
Yang suci, murni, bersih,
Islami
tidak keruh
Azbin
Laki-laki
Islami
Laki-laki
Bersih, Suci
Islami
Zakiah
Perempuan Sansekerta Perempuan Murni dan bersih
Sansekerta
Azqiara
Perempuan Islami
Perempuan Orang
Islami
yang bersih dan dihormati
Cathernie Perempuan Perancis
Perempuan Bersih dan murni
Perancis
Zacchaeus Laki-laki
Kristiani
Laki-laki
Bersih dan sempurna
Kristiani
Agnisa
Perempuan Perancis
Perempuan Bersih dan murni
Perancis
Renjiro
Laki-laki
Jepang
Laki-laki
Bersih dan tegak
Jepang
Claro
Laki-laki
Latin
Laki-laki
Bersih dan terbuka
Latin
Klarissa
Perempuan Jerman
Perempuan Bersih dan cerdas
Jerman
Revalina
Perempuan Indonesia Perempuan Wanita cantik dan bersih
Indonesia
Wesl
Laki-laki
Unisex
Laki-laki
Tanah terbuka dan bersih
Unisex
Azkayra
Perempuan Islami
Perempuan Orang
135
Islami
yang bersih dan dihormati
136
BAB IV
PENUTUP
A. Simpulan
Kata
‘suci’
yang
merupakan
bentuk
adjektiva
memiliki
kedudukaan yang menarik. Secara kebahasaan, adjektiva dapat dihasilkan
melalui proses transposisi dari verba atau nomina. Transposisi adalah
perubahan kelas kata tanpa pengubahan bentuk. Selain itu, Adjektiva dapat
menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan
suatu kata. Bentuk adjektiva pun beragam. Ada yang disebut dengan
adjektiva dasar (monomorfemis) yang merupakan sebagian besar dari
adjektiva, meskipun ada yang berbentuk pengulangan semu. Ada juga
yang disebut dengan adjektiva turunan (polimorfemis) melalui proses
afiksasi, pengulangan, penggabungan, dan pemajemukan. Dengan kata
lain,
sebuah
adjektiva
memiliki
banyak
varian
bentuk
yang
mengindikasikan adanya variasi penggunaan dan konsep maknanya.
Dalam kaitannya dengan telaah makna, kata ‘suci’ pun memiiki
pembahasan yang menarik. Melalui telaah ini ditemukan jenis-jenis makna
yang terkandung dalam kata ‘suci’. Jenis-jenis makna tersebut meliputi
makna leksikal dan gramatikal,
makna referensial dan nonreferensial,
makna konotatif dan denotatif, makna kata ‘suci’ sebagai sebuah kata dan
sebuah istilah, serta makna konseptual dan asosiatif kata ‘suci’. Ditemukan
juga bentuk-bentuk relasi makna dalam kata ‘suci’ yang berupa sinonimi,
137
antonimi, hiponimi dan hipernimi, serta polisemi. Selain itu telah dibahas
juga adanya medan makna dan komponen-komponen makna yang terdapat
di dalam kata ‘suci’
.
Secara garis besar, konsep kata ‘suci’ menurut agama Islam dan
Kristen tidak jauh berbeda. Keduanya memiliki ide pokok ‘terlarang’ dan
‘memisahkan dari’. Hanya saja, karena kedua agama ini pertama kali
dikembangkan oleh dua budaya yang jauh berbeda, maka dalam
penerapannya
ada
hukum-hukum
syariat
yang
seolah-olah
membedakannya satu sama lain.
Dengan metode penelitian dalam teori Linguistik Antropologi,
penulis
dapat
dengan
mudah memetakan
masalah-masalah
yang
dirumuskan menjadi sebuah pola berfikir yang taktis namun kritis. Melalui
teori ini pula didapatkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ‘melerai’
masalah perbedaan pendapat mengenai konsep kata ‘suci’ yang bisa saja
muncul.
B. Saran
Dalam memahami budaya pemakaian kata ‘suci’ dalam agama
Islam dan Kristen, maka sangat perlu dilakukan penelusuran bahasa asli
kitab yang menjadi pedoman agama-agama tersebut. Penelitian ini akan
menjadi lebih akurat apabila peneliti menguasai dua bahasa asing yang
menjadi bahasa asal penyusunan kitab keagamaan Islam (bahasa Arab)
dan agama Kristen (Ibrani). Karena dengan mengerti bahasa asalnya,
138
penelusuran makna-makna kalimat dalam Kitab Suci sebagai salah satu
pedoman dalam penelitian pun akan menjadi lebih mudah. Sehingga pada
akhirnya masalah ‘salah tafsir’ akan dapat diminimalisir.
139
DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Hasan. 2003. Kata Serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Melayu
dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
__________. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka
Cipta.
Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Antropology.
University Press.
Inggris: Cambridge
Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama.
Halim, M. Nipan Abdul. 2000. Anak Soleh Dambaan Keluarga. Yogyakarta.
Pustaka Pelajar Offset.
Huberman, Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas
Indonesia Press.
Kentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset.
Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.
___________________. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Mulyana. 1996. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Otto, Rudolf. 1946. The Idea of the Holy. Inggris: Oxford University Press.
140
Siregar, Rumanasari. 2006. Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami. Sumatera
Utara: Politeknik Negeri Medan Press.
Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar
Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta
Wacana University Press.
Wibowo, Agustinus. 2011. Garis Batas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Wierzbicka, Anna. 1999. Language, Culture and Meaning. Amsterdam: John
Benjamin Publishing.
Wikipedia. 2010. “Kata Serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Melayu
dan Bahasa Indonesia”.
https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Sanskerta_
dalam_bahasa_Melayu_dan_bahasa_Indonesia_modern (diakses pada 15
September 2015)
141
LAMPIRAN
A. Draft Wawancara dengan Pemuka Agama Kristen
a. Biodata Narasumber
Nama
: Ptd. Tjahjadi Nugroho M.Th.
Kedudukan
: Pendiri Jemaat Allah Global Indonesia
Lahir
: 26 Mei 1945
Denominasi
: Kristen Tauhid
Kediaman
: Jalan Jeruk VII no. 30, Lamper Lor Semarang
b. Waktu Wawancara
Hari/Tanggal wawancara : Minggu, 27 Maret 2016
Waktu wawancara
Tempat wawancara
: Pukul 09.30 WIB
:Jalan Jeruk VII no. 30, Lamper Lor
Semarang
c. Draft Pertanyaan
1. Bagaimana penjelasan anda mengenai kata ‘suci’?
Jawab: ‘Suci’ sama artinya dengan ‘kudus’. Allah disebut dengan
"nama" Kudus yang berasal dari bahasa Ibrani qadosh. Secara
lebih lengkap, Istilah-istilah yang prinsipal adalah qadosy atau
qadosh atau kadosh dan hagios dalam bahasa Yunani. Terjemahan
yang lazim bagi keduanya adalah kudus, walaupun kadang-kadang
keduanya diterjemahkan dengan 'suci'. Perbedaan antara kudus dan
suci tidaklah gamblang, justru bisa benar mengatakan bahwa bila
yang dipikirkan adalah kualitas hakiki Tuhan dan manusia, maka
142
dipakailah istilah kudus; istilah suci menekankan akibat daripada
sikap yg menjurus kepada kesucian.
2. Lalu bagaimana kaitannya dengan kekudusan Allah?
Jawab:
Untuk
membahas
mengenai
konsep
‘kudus’
yang
dikenakan pada Allah sang Maha Sempurna, bacalah Imamat 19:2,
Yesaya 57:15, Yosua 3:5 dan Keluaran 15:11. Ayat-ayat tersebut
menunjukakan kekudusan Allah yang tidak ada bandingannya.
Istilah kudus di Perjanjian Lama sama dengan di Perjanjian Baru,
dipakai dalam pengertian tertinggi terhadap Allah. Istilah itu
menunjuk, pertama, kepada keterpisahan Allah dari ciptaan dan
bahwa
Ia
mengungguli
ciptaan
itu.
Demikianlah
'kudus'
menggambarkan transendensi Allah. YHWEH, karena 'kekudusan'Nya berdiri bertentangan dengan ilah-ilah (Keluaran 15:11)
demikian juga dengan seluruh ciptaan (Yesaya 40:25).
Istilah
mengandung
itu
arti
juga
menunjuk
ketentuan
kepada
Allah
hubungan,
untuk
dan
memelihara
kedudukanNya sendiri terhadap makhluk-makhluk bebas lainnya.
Itu adalah pengesahan Allah sendiri, 'sifat dalam mana YHWEH
menjadikan diriNya sendiri ukuran mutlak bagi diriNya sendiri'.
Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan manusia
(Hosea 11:9), itu adalah sama artinya dengan 'Allah yg tertinggi',
143
dan terutama menekankan sifat Allah yg sangat menakutkan
(Mazmur 99:3).
Kitab Suci menekankan kemantapan sifat moral (Wahyu
22: 11), juga menekankan segi pembalasan dari kekudusan Allah,
yg mencakup dunia dalam penghakiman. Berdasarkan hakikat
Allah, hidup diatur sedemikian rupa sehingga dalam kekudusan
terdapat 'sejahtera', dalam dosa terdapat 'kutuk'. Karena kekudusan
Allah tidak bisa membuat dan mengindahkan suatu alam semesta
di mana dosa dapat tumbuh dengan sempurna, maka kualitas
pembalasan dalam pemerintahan Allah menjadi jelas. Tapi
pembalasan itu bukanlah akhir dari segala sesuatu; kekudusan
Allah menjamin bahwa akan ada perbaikan akhir, suatu regenerasi
dalam bidang moral.
Menggunakan kata 'kudus' atas orang yang dinobatkan bagi
maksud-maksud agamawi. Misalnya para imam yang ditahbiskan
dalam upacara istimewa, juga seluruh umat Israel sebagai satu
bangsa yang disucikan bagi Allah tidak sama dengan bangsabangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel
satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini 'kudus' mengacu
kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan
Allah. Jalan pikiran ini tidak terlepas dari PB, sebagaimana dalam
1 Korintus 7:14, di mana suami yang tidak beriman dikuduskan
144
karena hubungannya dengan istri yang beriman demikian
sebaliknya.
Tapi konsepsi mengenai kekudusan berkembang, sejalan
dengan penyataan Allah, dari luar ke dalam, dari yang bersifat
upacara kepada kenyataan; maka 'kudus' mendapat arti etis yang
kuat, dan ini adalah maknanya, yang nyaris satu-satunya makna
dalam PB. Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai
penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yg Ia terapkan pada
diriNya sendiri dan segi yg Ia kehendaki supaya makhluk ciptaanNya mengenal Dia demikian. Dan para nabi menyatakan bahwa
Allah menghendaki untuk mengkomunikasikan kekudusan-Nya
kepada makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya Ia menuntut kesucian
dari mereka. Apabila 'Aku ini kudus adanya', demikianlah
pernyataan Allah sendiri yang mengangkat hakikat diriNya
mengungguli makhluk ciptaan-Nya, demikianlah 'hendaknya kamu
kudus' adalah seruan Allah bagi makhluk ciptaan-Nya, supaya
mereka dapat menjadi orang yang mengambil bagian dalam
kekudusan-Nya (Ibrani 12:10). Kekudusan Allah dikaruniakan
kepada jiwa manusia, pada saat ia dilahirkan kembali, dan itulah
yang menjadi sumber dan landasan bagi tabiat yang suci.
3. Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan kata ‘suci’?
Jawab:
145
Dalam tradisi kekristenan, ada beberapa hal yang dianggap
mengandung unsur ‘suci’. Baca ayat-ayat ini: Bilangan 7:1, 1
Samuel 3:3, Titus 1:15, Ayub 15:15, Ratapan 4:1, Yohanes 11:48,
Matius 22:29.
4. Bagaimana anda menyikapi adanya ‘hari suci’ yang disebut dengan
hari Sabat?
Jawab:
Hal yang tak kalah penting dari tradisi agama Kristen
adalah kepercayaannya kepada hati ‘sabat’ sebagai hari yang
dikuduskan. Memperingati hari Sabat merupakan hukum ke empat
dalam sepuluh perintah Allah. Keluaran 31:14 mengungkapkan
bahwa, “Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari
kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu,
pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan
pekerjaan pada hari itu, orang itu hatrus dilenyapkan dari antara
bangsanya.”
Kata shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata
kerja shabat, dalam bahasa yang sama, yang secara harafiah
berarti
"berhenti",
atau shev yang
Meskipun shabbat hampir
secara
berarti
universal
"duduk".
diterjemahkan
"istirahat" atau suatu "masa istirahat", terjemahan yang lebih
harafiah adalah "berhenti", dengan implikasi "berhenti dari
melakukan pekerjaan". Jadi Sabat adalah hari untuk orang
146
berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat. Kata Ibrani
untuk melakukan "mogok", misalnya, berasal dari akar kata
Ibrani yang sama dengan shabbat, dan mengandung implikasi
yang sama, yaitu bahwa para buruh yang mogok secara aktif
berhenti melakukan pekerjaan, dan bukan secara pasif
"beristirahat".
Hal ini menjelaskan pertanyaan teologis yang sering
diajukan tentang mengapa Allah perlu "beristirahat" pada hari
yang ketujuh dalam penciptaan alam semesta, seperti yang
dikisahkan dalam Kitab Kejadian pasal 1. Bila dipahami bahwa
Allah "berhenti" bekerja dan bukannya "beristirahat" dari
kerjanya,
penggunaan
ini
lebih
konsisten
dengan
pandangan Alkitab tentang Allah yang Mahakuasa yang tidak
membutuhkan "istirahat". Namun, sering diikuti terjemahan
yang jauh lebih umum yaitu sabat sebagai "istirahat".
Sabat adalah hari perayaan dan salah satu hari beribadah.
Pada hari Sabat orang Yahudi menyajikan makanan yang
berlimpah
sebanyak
tiga
kali
setelah
kebaktian
di sinagoga selesai: pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan
Sabtu sore sebelum Sabat berakhir. Lebih banyak orang Yahudi
yang
berusaha
menghadiri kebaktian di sinagoga pada
Sabat, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya.
hari
147
Selain hari
raya Yom
Kippur (karena
hari
itu bukanlah hari yang menyedihkan, melainkan hari raya yang
besar), hari-hari puasa umum ditunda atau dimajukan sehari bila
jatuhnya bersamaan pada hari Sabat, dan orang-orang berduka
yang menjalani Shivah, dari luarnya berusaha tampil biasa saja
selama hari Sabat. Mereka bahkan dilarang memperlihatkan
tanda-tanda kedukaan di depan umum.
Saat ini beberapa gereja di seluruh dunia yang juga
merayakan dan memelihara Hari Sabat pada Hari Sabtu yaitu
Gereja Yesus Sejati (True Jesus Church) dan Gereja Masehi
Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist Church) serta
Jemaat Allah Global Indonesia. Waktu yang digunakan untuk
berbakti dan merayakan Hari Sabat sama dengan waktu
perayaan Sabat orang Yahudi yaitu dimulai dari Jumat Malam
(tepat di saat matahari terbenam) dan berakhir pada Sabtu
Malam (tepat di saat matahari terbenam).
5. Adakah aturan tentang halal dan haram?
Jawab:
Dalam hukum Yahudi dikenal apa yang disebut dengan kosher.
Kosher ,
yang
berasal
dari
kata
bahasa
Ibrani kashrut ataukashruth adalah istilah dalam hukum tentang
makanan Yahudi.
Sesuai
dengan halakha suatu
makanan
148
disebut kosher (istilah bahasa
Inggris,
dari
istilah bahasa
Ibrani kasher, yang berarti "layak" (dalam konteks ini berarti
layak untuk dimakan orang Yahudi).
Sebagian besar hukum dasar kosher berasal dari
Kitab Imamat dan Ulangan di dalam Torah. Ada banyak sekali
alasan yang dikemukakan untuk hukum-hukum ini, yang
merentang dari filosofis dan ritualistik hingga praktis dan
higienis.
Kata kosher telah dipinjam oleh banyak bahasa. Dalam
bahasa Inggris, kata ini digunakan untuk mengartikan sesuatu
yang sah, diizinkan, asli, atau otentik. Dalam Kekristenan
dewasa
ini
terdapat
kelompok-kelompok
yang
masih
memelihara hukum kosher ini. Berikut ini akan dipaparkan
beberapa aturan dalam makanan antara yang boleh dan yang
tidak boleh dimakan. Pemaparan ini tidak akan seterperinci
hukum dalam Yahudi yng masih memegang teguh 613 atutan
torah. Pemaparan ini diambil dari sebuah perikop Alkitab dalam
Imamat 11:1-47. Dalam hal ini kekristenan setidaknya terbagi
dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama sepakat 100%
menjalankan hukum kosher, kelompok kedua menjalankannya
dengan disertai penyesuaia pada perubahan zaman namun tetap
menganggapnya sebagai ilmu kesehatan, namun ada
kelompok besar lainnya yan menolak 100% amaran ini.
pula
149
B. Draft Wawancara dengan Pemuka Agama Islam
a. Biodata Narasumber
Nama
: Dr. K.H. Nuril Arifin Husein (Gus Nuril)
Tanggal Lahir
: 12 Juli 1959
Kota Asal
: Ujungpangkah Kulon, Gresik, Indonesia
Pandangan Politik
: Pluralisme yang rahmatan lil alamin
Agama
: Islam (Sufi)
Alamat Sekarang
: Jalan Sendang Guwo Raya Pesantren
Lembaga / Perusahaan
: Pesantren Sokotunggal
Jabatan
: Qodimuhu ma’had
b. Waktu dan Tempat Wawancara
Hari/tanggal
: Kamis, 12 November 2015
Waktu
: Pukul 15.12 – 16.20 WIB
Tempat
: Kantor Wawasan, Lamper Lor, Semarang
c. Tanya Jawab
1) Bagaimana konsep ‘bersuci’ dalam agama Islam?
Jawab:
‘bersuci’ diartikan dengan terbebas dari najis maknawi, yaitu
dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua
bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah
meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman. Selain
itu ‘bersuci’ diartikan dengan proses pembersihan diri dengan air.
Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan
hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan
hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi
bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena
merupakan pokok amalan iman. ‫( ا}لنّظا فة من اإليمان{رواه مسلم‬artinya :
kerbersihan termasuk iman)
150
2) Menurut anda, apa kaitannya ‘suci’ dengan ‘bersih’?
Jawab:
Islam mengajarkan tentang kebersihan. Baik kebersihan hati, badan,
maupun lingkungan. Islam memandang bahwa memelihara kebersihan
adalah masalah penting yang wajib diperhatikan dan laksanakan dalam
kehidupan manusia sehari-hari. Lebih jauh, tak hanya kebersihan, islam
mengajarkan pula tentang kesucian. bersih dan suci adalah dua hal yang
tidak dapat di pisahkan. keduannya sangat erat berhubungan dengan
kesehatan, meskipun arti katanya tak persis sama. Bersih merupakan kata
sifat yang menunjukkan keadaan bebas dari kotoran. Kebersihan bersifat
umum dan tidak terkait langsung dengan tata cara peribadatan. Namun
demikian, tetap saja merupakan keharusan bagi setiap muslim untuk
melaksanakannya dalam kehdupan sehari-hari. Sementara, suci dalam
ajaran islam ialah terhindar dari najis dan hadas. Agar menjadi suci,
seorang muslim haru mejalankan aturan berupa tata cara taharah
(bersuci). Setelah bertaharah, baru kita dapat menjalankan ibadah-ibadah
khusus, terutama sholat.
Ada dua jenis kotoran dalam ajaran islam. Yang pertama adalah
najis. Sifat najis adalah hissy (dapat dilihat). Misalnya air kencing, tinja,
darah, dan nanah. Yang kedua adalah hadas. sifat hadas adalah ma’nawi
(abstrak, tak terlihat). Contohnya adalah buang angin untuk hadas kecil
dan keluar mani untuk hadas besar (junub).
3)
Apa manfaat ‘bersuci’ menurut pandangan Islam?
Jawab:
Islam percaya bahwa tak ada perintah Allah bagi umat manusia
yang sia-sia. Semua pasti membawa kebaikan bagi manusia. Tak
terkecuali soal bersuci. Ada manfaat yang berlimpah bagi manusia yang
mau melaksanakan. Manfaat langsung tampak di mata adalah keindahan.
Selain keindahan, ada manfaat yang tak kalah penting, yakni kesehatan.
Banyak sekali penyakit yang datang dari kotoran. Misalnya, hanya
karena jorok dan tidak mandi, maka jamur kulit akan segar tumbuh subur
151
merembak dikulit. Belum penyakit –penyakit lain, yang menyerang
pencernaan, misalnya. Itu baru kesehatan jasmani dan lingkungan.
Padahal kebersihan dan keucian fisik juga membawa dampak pada
kesehatan rohani manusia. Maka, menjaga kebersihan dan kesucian
menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim.
4) Bagaimana hubungan kata ‘suci’, ‘haram’ dan ‘najis’?
Jawab:
Setiap yang najis itu haram dimakan, namun belum tentu yang haram itu
najis. Kaedah ini disebutkan oleh para ulama di antaranya Ibnu
Taimiyah rahimahullah. Kaedah ini bermakna setiap yang najis haram
dimakan. Sedangkan sesuatu yang haram, belum tentu najis, bisa jadi
pula suci. Penerapan kaedah ini adalah sebagai berikut.
-
Racun haram untuk dikonsumsi karena memberikan dhoror (bahaya)
pada tubuh. Namun dalam hal ini, haram tidak semata-mata
dihukumi
najisnya.
Karena
keharaman
belum
tentu
mengkonsekuensikan najis.
-
Makanan yang dicuri diharamkan untuk dikonsumsi karena tidak
ada izin si empunya atau pula tidak diizinkan oleh syari’at. Akan
tetapi sesuatu yang haram ini tidak menunjukkan najisnya.
-
Khomr sudah disepakati haramnya, namun -menurut pendapat
terkuat- khomr tidaklah najis. Karena hukum asal segala sesuatu itu
suci sampai
ada
dalil
yang
najisnya.
Imam
Syaukani rahimahullah berkata mengenai firman Allah.
Asy
152
BIODATA PENULIS
Lahir di Klaten pada tanggal 27 September 1993. Anak tunggal dari
pasangan Alm. Giyanto MD dan Almh. Nur Widiyati. Menempuh pendidikan
Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah Kristen 3 Klaten, Sekolah Menengah Pertama
di Yayasan Katolik Pangudi Luhur 1 Klaten dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3
Klaten.
Selain memiliki ketertarikan pada bidang tulis menulis, penulis yang
pernah meraih peringkat III Duta Bahasa Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 ini
juga memiliki ketertarikan yang kuat pada berbagai bidang seni kerajinan, salah
satunya
seni
merajut.
Penulis
telah
mengembangkan
dan
menularkan
ketertarikannya pada seni rajut dengan cara mendirikan sanggar rajut di Fakultas
Ilmu Budaya dan di komunitas pedagang Masjid Agung Jawa Tengah. Penulis
telah merampungkan proses pembuatan buku tutorial merajut yang berjudul
“Rajut Karakter Untuk Anak” yang diterbitkan oleh penerbit Tiara Aksa dan
sedang mengembangkan usaha dagangnya yang memiliki brand Checraft.
Pasca Lulus, besar harapan penulis untuk dapat melanjutkan karir sebagai
tim kreatif atau reporter televisi dengan tidak melupakan cita-cita lainnya sebagai
penulis buku rajut serta sebagai pengusaha dan pengajar seni rajut.
Download