1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam bukunya yang berjudul Garis Batas, Wibowo1 seorang backpacker asal Indonesia, mengkonstelasi segala perenungannya mengenai konsep garis batas yang dikenakan manusia. Ia berpandangan bahwa garis batas merupakan sebuah ilusi buatan manusia yang tidak hanya mencerminkan kedinamisan manusia itu sendiri, tetapi juga melukiskan kondisi yang mengubah seluruh sendi kehidupan. Seperti halnya gravitasi bumi dan oksigen, garis batas tak terlihat, namun setiap langkah dan embusan napas kita dipengaruhi olehnya. Dalam hal ini pola pikir, kartu identitas, pendidikan, status, ideologi, maupun agama merupakan produk dari garis batas. Namun bukan sekedar produk dari garis batas, pembedaan-pembedaan tersebut juga berpotensi memproduksi batasan-batasan lainnya. Garis batas dalam pembahasan ini tidak berusaha menihilkan konsep relasi. Konsep garis batas ini pun dijumpai dalam konsep kebahasaan. Sebagai alat komunikasi verbal, bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang bersifat arbitrer. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, arbitrer berarti ‘sewenang-wenang’ atau ‘manasuka’. Dengan kata lain, 1 Agustinus Wibowo adalah keturunan Tionghoa yang lahir di Indonesia yang berhasil menyajikan catatan perjalanannya ke lima negara pecahan Uni Soviet di Asia Tengah dalam bentuk buku yang diterbitkan oleh PT Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2011. 2 tidak ada hubungan yang wajib antara lambang sebagai hal yang menandai suatu wujud kata atau leksem dengan benda, hal atau keadaan (konsep) yang ditandai, yaitu referen dari kata atau leksem tersebut. Dalam kasus ini memang telah terlihat jelas adanya sebuah garis yang membatasi antara lambang dan konsep, namun seolah-olah telah menihilkan relasi keduanya. Hal inilah yang menyebabkan dalam sejarah perkembangan linguistik relasi lambang dan konsep yang selanjutnya disebut dengan relasi makna dianggap sebagai gambaran dari ketidakjelasan struktur dalam kajian ilmu makna (semantik). Tidak berlebihan jika dalam makalahnya, Mulyadi dan Siregar (2006:5) mengatakan bahwa pada periode 1970-an kajian tentang makna baru mendapat tempat yang layak dalam teori linguistik. Dalam perkembangannya, telaah makna semakin menduduki posisi yang mapan sebagai sebuah ilmu. Berbagai persoalan telah menjadi topik yang apik dalam berbagai macam penelitian ilmiah. Sebagai contoh, dalam bukunya, Chaer (2009:70) mengungkapkan sebuah kasus bahwa walaupun secara sinkronis makna sebuah kata tidak berubah, namun karena berbagai faktor di dalam kehidupan, makna tersebut dapat menjadi bersifat khusus. Dalam hal ini penulis menyimpulkan bahwa faktor kehidupan yang sebenarnya merupakan produk dari garis batas dapat memproduksi batasan-batasan lain –dalam hal ini adalah makna sebuah kata-. Mempelajari makna merupakan suatu kajian yang holistik dalam sebuah bahasa. Wierzbicka (1999:137) secara tegas mengatakan bahwa mempelajari bentuk atau struktur bahasa tanpa memperhatikan aspek 3 makna ibarat mempelajari rambu lalu lintas dilihat dari ciri-ciri fisik saja. Sebab bahasa itu sendiri merupakan wahana pengungkap makna. Banyak Faktor kehidupan yang mendasari berubahnya makna sebuah kata. Chaer (2009:131) menyebutkan sembilan faktor kehidupan yang memiliki andil besar dalam perubahan makna, antara lain: perkembangan dalam ilmu dan teknologi, perkembangan sosial dan budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosiasi, pertukaran tanggapan indra, perbedaan tanggapan, adanya penyingkatan, proses gramatikal dan pengembangan istilah. Berbagai faktor ini pada akhirnya berhasil memunculkan sebuah masalah baru mengenai kemungkinan pergeseran yang terlalu jauh dari makna sebuah kata. Dengan kata lain, proses pergeseran makna tersebut akan membuat makna asali sebuah kata menjadi kabur. Oleh sebab itu, perlu diadakan kembali sebuah proses penguraian makna secara mendalam untuk menemukan kembali makna asali yang merupakan makna mula-mula yang melekat pada suatu kata sejak kata itu ditemukan. Telaah empiris mengenai makna ini terdapat dalam teori Natural Semantic Metalanguage (Semantik Metabahasa Alami) yang ditemukan oleh Cliff Goddard bersama beberapa koleganya –antara lain Wiberzbica, Felix Ameka, Hilary Chappel dan Jean Harkins- yang merupakan penelitipeneliti yang terus mengembangkan teori ini melalui penelitian semantik lintas bahasa. Asumsi dasar dalam teori ini berhubungan dengan prinsip semiotik yang menyatakan bahwa analisis makna akan menjadi diskret dan 4 tuntas, dalam arti makna kompleks apapun dapat dijelaskan tanpa perlu berputar-putar dan tanpa residu dalam kombinasi makna diskrert yang lain. Konsep dasar lain dalam teori ini adalah polisemi, yang dipahami sebagai bentuk leksikon tunggal untuk mengekspresikan dua makna asali yang berbeda. Selanjutnya, makna yang muncul dari setiap kata tersebut tentunya berkaitan erat dengan kemampuan berfikir manusia yang membentuk sebuah kebudayaan berbahasa. Duranti (1997:4) memperkenalkan antropologi linguistik sebagai bidang interdisipliner yang mempelajari bahasa sebagai sumber daya dan berbicara sebagai praktek budaya. Namun telaah bahasa sebagai sumber daya dan sebagai praktek budaya tersebut terangkum juga dalam bidang interdisipliner lain, yaitu linguistik antropologi. Linguistik antropologi dibedakan dengan antropologi linguistik. Perbedaan keduanya terletak pada fokus penelitian. Antropologi linguistik menekankan pada penelitian antropologi. Sedangkan linguistik antropologi menitikberatkan pada aspek bahasa (linguistik). Bahasa dalam linguistik antropologi merupakan sistem klasifikasi yang paling rumit dari sebuah kebudayaan. Duranti (1997:6) menyatakan bahwa linguistik antropologi terbentuk dari linguistik struktural, tetapi memiliki perspektif atau sudut pandang yang berbeda dalam objek yang dikaji, bahasa dan ketajaman sebuah objek. Linguistik antropologi menekankan pada linguistik sebagai pengungkap pola pikir masyarakat. Sementara 5 Antropologi linguistik memandang bahasa sebagai satu set aplikasi kebudayaan. Dalam penelitian ini objek penelitian yang digunakan adalah kata ‘suci’. Pemilihan objek penelitian tidak dipilih secara serta-merta. Alasan pertama adalah karena kata ‘suci’ yang merupakan bentuk adjektiva memiliki kedudukaan yang menarik. Secara kebahasaan, adjektiva dapat dihasilkan melalui proses transposisi dari verba atau nomina. Transposisi adalah perubahan kelas kata tanpa pengubahan bentuk. Selain itu, adjektiva dapat menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan suatu kata. Bentuk adjektiva pun beragam. Ada yang disebut dengan adjektiva dasar (monomorfemis) yang merupakan sebagian besar dari adjektiva, meskipun ada yang berbentuk pengulangan semu. Ada juga yang disebut dengan adjektiva turunan (polimorfemis) melalui proses afiksasi, pengulangan, penggabungan, dan pemajemukan. Dengan kata lain, sebuah adjektiva memiliki banyak varian bentuk yang mengindikasikan adanya variasi penggunaan dan konsep maknanya. Alasan kedua, kata ‘suci’ dalam pemakaiannya secara umum memiliki nada positif sebagai suatu kondisi yang bersifat baik. Namun dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘suci’ juga memiliki pengertian kedua, yaitu ‘haram’ yang secara umum memiliki nada negatif. Untuk mengetahui makna mendasar dari kedua kata ini perlu dilakukan penafsiran mendalam tanpa melupakan asal mula kata. Sehingga pada akhirnya tidak akan timbul kesalahpahaman. 6 Alasan ketiga, kata ‘suci’ dalam pengertiannya dikaitkan dengan pengertian bersih dalam arti keagamaan. Dalam hal ini dapat ditarik kesimpulan awal bahwa setiap agama (dalam hal ini difokuskan pada agama Islam dan Kristen) mengenal kata ‘suci’. Namun, mengenai konsep kata ‘suci’ bagi setiap agama tersebut masih menjadi teka-teki yang menarik. Oleh sebab itu perlu dilakukan sebuah penguraian makna yang mendalam yang pada akhirnya dapat mengungkapkan persamaan dan perbedaan konsep kata ‘suci’ kedua agama tersebut. B. Rumusan Masalah Dalam penelitian ini, penulis merumuskan masalah-masalah di bawah ini sebagai fokus utama dalam penelitian. 1. Bagaimana bentuk dan perilaku kata ‘suci’ jika dikaji melalui morfotaktik dan valensi sintaksis? 2. Bagaimana konsep dasar kata ‘suci’ dalam bahasa dan budaya Indonesia? 3. Bagaimana konsep kata ‘suci’ dalam agama Islam dan Kristen? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menemukan konsep-konsep makna umum (yang dikenal masyarakat secara umum) dan khusus (yang hanya dikenal oleh sebagian kecil masyarakat yang tergabung dalam komunitaskomunitas tertentu) dari kata ‘suci’. Namun, secara terperinci tujuan tersebut akan dijabarkan menjadi hal-hal berikut ini. 7 1. Mendeskripsikan bentuk dan perilaku kata ‘suci’ jika dikaji melalui morfotaktik dan valensi sintaksis. 2. Mendeskripsikan konsep umum kata ‘suci’melalui kajian semantik. 3. Mendeskripsikan konsep kata ‘suci’ menurut sosiolek agama Islam dan Kristen. D. Manfaat Penelitian 1. Sumbangan ilmiah pada dunia linguistik, dalam hal ini mengenai pengudaran makna (penjabaran makna). 2. Memberikan referensi ilmiah yang terperinci mengenai makna kata ‘suci’ dari sudut pandang semantik. 3. Memberikan referensi logis mengenai perbedaan konsep pemaknaan kata ‘suci’ dari dua aliran keagamaan (Islam dan Kristen) untuk membantu mengatasi kesalahpahaman. E. Kerangka Teori Meskipun penelitian ini dibangun berdasarkan beberapa pandangan ilmiah yang relevan dan berkaitan, kerangka teoritisnya tetap berpijak pada dasar-dasar pemikiran teori Linguistik Antropologi yang berangkat dari teori relativitas bahasa yang dikemukakan oleh von Humboldt dan dilanjutkan oleh Sapir-Whorf, yang dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Teori relativitas bahasa ini menyatakan bahwa orang berbicara dengan bahasa yang berbeda karena mereka berfikir edngan cara yang berbeda. 8 Mereka berfikir dengan cara yang berbeda karena bahasa mereka menawarkan cara mengungkapkan (makna) dunia luar di sekitar mereka dengan cara yang berbeda pula. Inilah gagasan dasar teori relativitas dalam linguistik, yang dipegang oleh Boas, Sapir dan Whorf dalam kajian mereka tentang bahasa-bahasa Indian-Amerika. Hipotesis Sapir-Worf selalu dikaitkan dengan pembahasan tentang bahasa yang dikaitkan dengan budaya dan pola pikir masyarakat. Perbedaan cara berfikir memiliki kaitan dengan cara manusia berbahasa. Teori ini juga menegaskan bahwa tidak ada dua bahasa yang memiliki kesamaan untuk dipertimbangkan sebagai realitas sosial yang sama. Teori ini memiliki dua hipotesis utama sebagai berikut: a. perbedaan struktur bahasa secara umum paralel dengan perbedaan kognitif non bahasa yang menyebabkan perbedaan pikiran orang yang menggunakan bahasa tersebut; b. struktur bahasa mempengaruhi cara individu mempersepsi dan menalar dunia perceptual, sehingga struktur kognisi manusia ditentukan oleh kategori dan struktur yang sudah ada dalam bahasa. F. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini terfokus pada pembahasan secara ilmiah objek penelitian, yaitu kata ‘suci’. Pertama-tama akan dilakukan penelitian mendalam dari sudut pandang linguistik (morfologi, sintaksis dan semantik). Kemudian akan dibahas mengenai konsepnya jika ditinjau dari 9 bidang ilmu Linguistik Antropologi, khususnya yang berkaitan dengan konsep dasar kata ‘suci’ dalam bahasa Indonesia dan konsep khususnya dalam kaitannya dengan agama Kristen dan agama Islam. G. Metode Penelitian 1. Tipe Penelitian Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian kualitatif. Dalam hal ini penulis akan bertindak sebagai instrumen utama dengan tujuan untuk menguraikan dan menjelaskan karakteristik data yang sebenarnya dan faktor-faktor yang melatarbelakangi karakteristik data yang diperoleh di lapangan. 2. Objek Penelitian Objek utama dari penelitian ini adalah kata ‘suci’ yang penulis temukan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007) dan Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006) serta konsep makna kata ‘suci’ yang ditemukan dalam komunitas agama Kristen dan Islam. 3. Teknik Pengumpulan Data Menurut Sudaryanto (1995:35), sumber data adalah hal-hal yang dapat dijadikan data dan mampu menghasilkan data yang lengkap, benar dan sahih. Dalam penelitian ini ada dua tipe data yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dirumuskan. Tipe 10 pertama adalah data primer. Sumber utama data primer ini diperoleh melalui wawancara dengan pemuka agama (Kristen dan Islam) dan metode elisitasi. Elisitasi berasal dari kata kerja bahasa Latin elicere yang dapat memiliki beberapa arti diantaranya membujuk, menarik, mengumpulkan, memanggil, menyadap dan membawa. Secara umum, arti kata ini merujuk pada usaha untuk mengambil atau memperoleh sesuatu. Sedangkan tipe data yang kedua adalah data sekunder. Data sekunder merupakan data-data penelitian yang sudah pernah diperoleh dan digunakan oleh peneliti lain. Dalam penelitian ini penulis akan menggunakan data-data yang terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007) dan Tesaurus Bahasa Indonesia (Endarmoko, 2006). 4. Teknik Analisis Data Telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa penelitian ini merupakan bidang penelitian kualitatif. Menurut Miles dan Huberman (1992:30), terdapat tiga teknik anaisis data kualitatif yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Proses ini berlangsung terus-menerus selama penelitian berlangsung, bahkan sebelum data benar-benar terkumpul. a. Reduksi Data 11 Reduksi data adalah bentuk analisis yang menajamkan, mengolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi data sedemikian rupa sehingga kesimpulan akhir dapat diambil. Sebagai langkah awal, penulis akan menganalisis makna kata ‘suci’ dengan metode morfotaktik dan valensi sintaksis. Selanjutnya dilakukan pendeskripsinan sikap/ perilaku kata ‘suci’ dalam frasa dan kalimat. Sebagai tahap lebih lanjut, akan dilakukan analisis mengenai nuansa makna kata ‘suci’. Hal tersebut dilakukan dengan jalan menginventarisasi sinonim kata ‘suci’ yang pada akhirnya ditemukan juga komponen makna yang terkandung dalam kata ‘suci’. Sebagai langkah terakhir, penulis melakukan wawancara kepada pemuka agama Islam dan agama Kristen untuk mengetahui konsep makna kata ‘suci’ dalam agama-agama tersebut. b. Penyajian Data Penyajian data adalah kegiatan ketika sekumpulan informasi disusun, sehingga memberi kemungkinan akan adanya penarikan simpulan. Bentuk penyajian data kualitatif berupa teks naratif (berbentuk catatan lapangan), matriks, grafik, jaringan dan bagan. Namun dalam penelitian ini penulis hanya akan menyajikan data melalui teks naratif dan tabel. 12 c. Penarikan Simpulan Penarikan simpulan adalah hasil analisis yang dapat digunakan untuk mengambil tindakan. Tujuan analisis data kualitatif yaitu agar peneliti mendapatkan makna hubungan variabel-variabel sehingga dapat digunakan untuk menjawab masalah yang dirumuskan dalam penelitian. Hubungan semantis sangat penting karena dalam analisis kualitatif, peneliti tidak menggunakan angka-angka seperti pada analisis kuantitatif. Prinsip pokok teknik analisis data kualitatif ialah mengolah dan menganalisis data-data yang terkumpul menjadi data yang sistematik, teratur, terstruktur, dan mempunyai makna. 13 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI Tinjauan pustaka yang dipaparkan pada bab ini memuat beberapa penelitian yang penulis anggap penting dalam proses penelitian ini. Penelitianpenelitian terdahulu penulis gunakan sebagai rujukan untuk melanjutkan sasaransasaran penelitian yang belum terjawab dan sebagai pembanding agar kesalahankesalahan yang terjadi pada penelitian sebelumnya tidak terulang atau bahkan dapat diperbaiki. Teori yang digunakan untuk menganalisis objek penelitian ini adalah teori Linguistik Antropologi yang merupakan kajian kebahasaan yang wujudnya sangat heterogen akibat dari pengaruh situasi komunikasi maupun pengaruh latar belakang sosial dan budaya penuturnya. Teori ini diperkenalkan oleh Alessandro Duranti. Namun dalam proses analisis, penulis menemukan sumber-sumber ilmiah lain yang dianggap relevan dan kontekstual. Sumber tersebut menambah kekayaan pandangan demi terjadinya proses analisis yang tepat. Pada bab ini, penulis memaparkan satu demi satu teori serta sumber-sumber ilmiah yang dianggap relevan. A. Tinjauan Pustaka 1. Sebuah artikel dalam jurnal ilmiah Abdiel yang berjudul “Kata ‘suci’ dalam Bahasa Indonesia (Sebuah Kajian Antropolinguistik) yang ditulis oleh Hendarto Supatra dan Suriawan. Jurnal ilmiah ini 14 mengkaji kata ‘suci’ dengan pendekatan antropolinguistik yang dalam hal ini termasuk ke dalam linguistik dalam pengertian la parole (sistem tanda dalam pemakaian). Pemilihan kata ‘suci’ sebagai pokok bahasan ini terutama didasarkan atas pertimbangan bahwa kata tersebut berkolokasi dengan kata-kata lain yang bersama-sama merujuk pada kognisi budaya keagamaan/kepercayaan seperti ‘orang suci’, ‘benda-benda suci’, ’perjamuan suci’, ‘Yang Mahasuci’, akan tetapi juga dengan katakata seperti ‘ritual’, ’etos’, ’mythos’, ’ibadah’, ’pujian’, ’penyembahan’, ’kyai’, ’pendeta’, ’pastur’, ’bikhu’, ’samanera’, ’rama’, dan sebagainya. Hal semacam ini menjadi pertimbangan antara lain karena kosakata yang digunakan dalam berbagai agama/kepercayaan semacam ini disamping mengandung makna umum juga mengandung makna khusus yang hanya dipahami atau dihayati oleh masing-masing umat secara internal. Namun dalam prakteknya hal yang demikian itu sering tidak disadari bahwa penggunaan dan persepsi atas kosakata yang sama itu sesungguhnya berbeda-beda sesuai dengan tradisi dan kerangka ajaran agama-agama/kepercayaan masing-masing. Oleh sebab itu, dalam jurnal ilmiah ini disebutkan bahwa tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengkaji kesamaan dan perbedaan makna-makna kata ‘suci’, sehingga pada akhirnya akan membantu mengurangi kesalahpahaman yang tak jarang berdampak pada 15 ketegangan yang pada dasarnya tidak perlu terjadi. Fokus pengamatan penelitian ini adalah penggunaan kata ‘suci’ pada agama Kristen dan Kong Hu Cu. Pola penelitian dalam jurnal ini sekilas nampak sama dengan pola penelitian dalam skripsi ini. Namun terdapat perbedaan mendasar mengenai alasan pemilihan kata ‘suci’ dan fokus penelitian. Skripsi ini memfokuskan penelitian pada makna kata ‘suci’ dalam kolokasi keagamaan agama Kristen dan Islam. 2. Sebuah makalah seminar berjudul “Tipologi Leksikal Verba ‘memotong’dalam Bahasa Manggarai : A Natural Semantic Metalanguage (NSM)” yang ditulis oleh Vinsensius Gande. Makalah ini dipresentasikan pada Seminar Nasional dalam rangka Hari Bahasa Ibu International yang diselenggarakan oleh Universitas Udayana, 17 Februari 2012. Makalah ini berisi sebuah penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran yang komprehensif mengenai realisasi leksikal verba ‘memotong’, dan struktur semantik verba ‘memotong’ serta fitur-fitur pembeda struktur semantik verba ‘memotong’ bahasa Manggarai. Realisasi leksikal yang dimaksudkan dalam kajian ini adalah bentuk-bentuk leksikon dari verba ‘memotong’. Landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Natural Semantic Metalanguage dengan metode penelitian kualitatif. Hasil dari penelitian ini adalah 16 sebuah realisasi leksikal verba ‘memotong’ dalam bahasa Manggarai yang memiliki keunikan tersendiri, baik dalam memotong pada manusia, hewan, pohon, rumput, buah, daun, tali dan kain. Leksikon-leksikon yang merupakan hiponimi dari verba ‘memotong’ memiliki satu bentuk untuk satu makna sesuai dengan postulat ilmu semantik. 3. Sebuah artikel yang berjudul “Konsep ‘nasi’ dalam Bahasa Sunda: Studi Antropolinguistik di Kampung Naga, Kecamatan Salawu, Kabupaten Tasikmalaya” yang disusun oleh Rizki Hidayatullah dan Mahmud Fasya. Penelitian ini dilakukan atas dasar sebuah asumsi bahwa sejumlah kelompok etnik di Indonesia memiliki cara yang khas untuk mengungkapkan konsep ‘nasi’ dalam bahasanya. Keunikan cara pengungkapan tersebut mencerminkan keragaman realitas dan budaya yang melatarbelakanginya. Salah satu kelompok etnik yang memiliki konsep unik tentang nasi adalah masyarakat adat Kampung Naga di Tasikmalaya, Jawa Barat. Mereka mengenal berbagai leksikon yang berkaitan dengan nasi, seperti ditutu [ditutu] ‘ditumbuk’, ditapian [ditapi?an] ‘diayak’, diisikan [di?isikan] ‘dicuci’, dikarihan [dikarihan] ‘dimasak setengah matang’, diseupan [disəpan] ‘ditanak’, dan diakeul [di?akeəl] ‘diaduk perlahan setelah matang’. Leksikon-leksikon tersebut memiliki makna yang khas bagi masyarakat adat Kampung 17 Naga yang masih memegang teguh nilai-nilai kearifan lokalnya. Kajian mengenai konsep nasi ini penting dilakukan karena dapat mengungkap keunikan masyarakat adat Kampung Naga khususnya dan masyarakat Sunda pada umumnya dalam memandang nasi sebagai suatu hal yang penting dalam kehidupan mereka. Kajian ini setidaknya antropologis melibatkan dua (anthropological disiplin ilmu, linguistics) yaitu dan linguistik antropologi linguistik (linguistic anthropology). Artinya, kajian tentang konsep nasi dalam suatu bahasa tidak hanya dilakukan secara terbatas di dalam konteks linguistik semata, tetapi juga dilakukan dalam konteks sosial budaya yang lebih luas sehingga mampu menjangkau fungsinya dalam menopang praktik kebudayaan. Ada tiga rumusan masalah yang dikaji dalam penelitian ini: (1) bagaimana klasifikasi dan deskripsi leksikon konsep nasi di Kampung Naga berdasarkan satuan lingual; (2) bagaimana fungsi leksikon konsep nasi bagi masyarakat adat Kampung Naga; (3) bagaimana cerminan gejala kebudayaan yang muncul berdasarkan leksikon konsep nasi yang digunakan oleh masyarakat adat Kampung Naga. B. Landasan Teori 1. Morfologi dan Sintaksis 18 Morfologi bersama-sama dengan sintaksis merupakan tataran ilmu bahasa yang disebut tata bahasa atau gramatika. Morfologi (tata kata atau tata bentuk) merupakan studi gramatikal struktur interen kata. Sedangkan sintaksis (tata kalimat) merupakan studi gramatikal tentang kalimat. Morfologi mengenal unsur dasar atau satuan terkecil dalam wilayah pengamatannya. Satuan gramatikal terkecil tersebut disebut morfem yang karena disebut sebagai satuan gramatikal, maka morfem tersebut memiliki makna. Dalam ilmu bahasa dikenal satuan-satuan lain seperti kata, frasa, klausa dan kalimat. Dengan demikian, morfem menjadi bagian pembentuk atau konstituen satuan-satuan gramatikal yang lebih besar itu. Morfem dapat dibedakan menurut macam maknanya. Ada jenis morfem yang mempunyai ‘makna dasar’ yang menunjuk pada benda, hal, perbuatan, atau sifat yang terdapat di alam sekitar kita. Morfem jenis ini memiliki makna leksikal. Dan ada pula jenis morfem yang dianggap hampir tidak memiliki makna dasar, namun kehadirannya memiliki makna gramatikal. Dalam morfologi dikenal pula satuan terbesar dalam wilayah pengamatannya. Satuan terbesar tersebut disebut ‘kata’. Jika dalam morfologi digunakan morfem sebagai satuan terkecil dan kata sebagai satuan terbesarnya, dalam sintaksis kata merupakan satuan terkecil dalam pengamatan yang membentuk satuan-satuan gramatikal yang lebih besar. Namun dalam praktiknya, sintaksis pada 19 umumnya membatasi ranah pembicaraannya sampai pada kalimat. Dengan kata lain, kalimat dianggap sebagai satuan yang terbesar, walaupun pada kenyataannya kalimat bukanlah satuan yang terbesar dalam bahasa. Sintaksis berusaha menerangkan pola-pola yang mendasari satuan-satuan sintaksis serta bagian-bagian yang membentuk satuan-satuan tersebut. Di samping itu, sintaksis juga membicarakan alat-alat sintaksis yang menghubungkan bagian-bagian pembentuk (konstituen) satuan sintaksis serta menunjukkan makna gramatikalnya. Alat-alat sintaksis tersebut meliputi urutan, bentuk kata, intonasi, dan partikel atau kata tugas. 2. Semantik a. Pengertian Semantik Dalam bukunya, Chaer (2009:2) menyebutkan bahwa kata ‘semantik’ dalam bahasa Indonesia (Inggris: Semantics) berasal dari bahasa Yunani sema (kata benda yang berarti ‘tanda’ atau ‘lambang’). Kata kerjanya adalah semaio yang berarti ‘menandai’ atau ‘melambangkan’. Yang dimaksud dengan tanda atau lambang di sini sebagai padanan kata sema itu adalah ‘tanda linguistik’, yaitu yang terdiri dari komponen yang mengartikan (yang berwujud bentuk-bentuk bunyi bahasa) dan komponen yang diartikan (makna dari komponen yang pertama itu). Kata ‘semantik’ ini kemudian disepakati sebagai istilah yang digunakan 20 untuk bidang linguistik yang mempelajari hubungan antara tandatanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Selain istilah ‘semantik’, dalam sejarah linguistik digunakan juga istilah lain seperti ‘semiotika’, ‘semiologi’, ‘semasiologi’, ‘sememik’, ‘dan ‘semik’ untuk merujuk pada bidang studi yang mempelajari makna atau arti dari suatu tanda atau lambang. Namun dalam hal ini, cakupan semantik hanyalah makna atau arti yang berkenaan dengan bahasa sebagai alat komunikasi verbal. Berbeda dengan tataran analisis lainnya, semantik merupakan cabang linguistik yang mempunyai hubungan erat dengan ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi dan antropologi, bahkan juga dengan filsafat dan psikologi. Sosiologi mempunyai kepentingan dalam semantik karena sering dijumpai kenyataan bahwa penggunaan kata-kata tertentu untuk mengatakan sesuatu makna dapat menandai identitas kelompok dalam masyarakat. Sedangkan antropologi berkepentingan dengan semantik karena analisis makna sebuah bahasa dapat menjanjikan klarifikasi praktis tentang kehidupan budaya pemakainya. Dalam analisis semantik harus juga disadari bahwa bahasa itu bersifat unik, dan mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya. Oleh sebab itu, makna analisis semantik suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, 21 tidak dapat digunakan untuk menganalisis bahasa lain. Kesulitan lain dalam menganalisis makna adalah adanya kenyataan bahwa tidak selalu ‘yang menandai’ dan ‘yang ditandai’ berhubungan sebagai satu lawan satu, artinya setiap ‘tanda linguistik’ hanya memiliki satu makna. Adakalanya hubungan itu berlaku sebagai satu lawan dua atau lebih. Selain itu, dalam bahasa yang penuturnya terdiri dari kelompok-kelompok yang mewakili latar belakang budaya, pandangan hidup, dan status sosial yang berbeda, maka makna sebuah kata bisa menjadi berbeda atau memiliki nuansa makna yang berlainan. b. Jenis Semantik Telah dijelaskan pada subbab sebelumnya bahwa yang menjadi objek studi semantik adalah makna bahasa (kata, frasa, klausa, kalimat dan wacana). Berikut ini adalah bagan yangmenunjukkan kedudukan serta objek studi semantik, yaitu makna dalam keseluruhan sistematika bahasa: Bagan 1. Tataran Semantik 22 Bagan tersebut menunjukkan beberapa jenis semantik yang dibedakan berdasarkan tataran atau bagian dari bahasa itu yang menjadi objek penyelidikannya. Jika yang menjadi objek penyelidikannya adalah leksikon dari bahasa itu, maka jenis semantiknya disebut semantik leksikal. Kemudian pada tataran fonetik, yaitu bidang studi yang mempelajari bunyi (fon) tanpa memperhatikan fungsi bunyi itu sebagai pembeda makna, tidak ada semantik karena fon menjadi satuan dari fonetik tidak memiliki makna. Selanjutnya pada tataran fonologi (atau fonemik) pun tidak ada semantik karena, walaupun fonem yang menjadi satuan dalam studi fonetik mempunyai fungsi untuk membedakan makna kata, namun fonem itu sendiri tidak bermakna. Yang terakhir, tataran tata bahasa atau gramatika dibagi menjadi dua subtataran, yaitu morfologi dan sintaksis. Morfologi adalah cabang dari linguistik yang mempelajari struktur interen kata serta proses-proses pebentukanya, sedangkan sintaksis adalah studi mengenai hubungan kata dengan kata dalam membentuk satuan yang lebih besar, yaitu frase, klausa dan kalimat. c. Manfaat Semantik Untuk membicarakan manfaat dari kajian semantik, tentu saja kita harus melihat terlebih dahulu ranah kerja seseorang. Bagi seorang wartawan, reporter, atau orang-orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran dan pemberitaan, mereka barangkali 23 akan memperoleh manfaat praktis dari pengetahuan tentang semantik. Pengetahuan semantik akan memudahkannya dalam memilih dan menggunakan kata dengan makna yang tepat dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat umum. Bagi orang yang berkecimpung dalam dunia penelitian bahasa, pengetahuan semantik akan banyak memberi bekal teoritis kepadanya untuk dapat menganalisis bahasa Indonesia atau bahasabahasa lain yang sedang dipelajarinya. Bagi seorang guru, mempelajari semantik akan berdampak positif karena akan memberikan manfaat teoritis dan praktis. Bermanfaat secara teoritis karena teori-teori semantik akan menolongnya memahami dengan lebih baik ‘rimba belantara rahasia’ bahasa yang akan diajarkannya itu. Selain itu, seorang guru akan memperoleh kemudahan dalam mengajarkan sebuah bahasa kepada muridmuridnya, yang selanjutnya disebut sebagai manfaat praktis. Sedangkan bagi orang awam, mempelajari semantik pun memiliki manfaat untuk membantunya dalam memahami dunia sekitarnya yang penuh dengan informasi dan lalu lintas kebahasaan. d. Makna dan Masalahnya Telah dibahas di bagian sebelumnya bahwa sesungguhnya persoalan makna memang sangat sulit dan rumit, karena walaupun makna ini adalah persoalan bahasa, tetapi keterkaitan dan 24 keterikatannya dengan segala segi kehidupan manusia sangat erat. Padahal segi-segi kehidupan manusia itu sendiri sangat kompleks dan luas. Oleh sebab itu sampai saat ini belum ada yang dapat mendeskripsikan makna bahasa secara tuntas. Selanjutnya, bahasa begitu besar peranannya dalam kehidupan manusia karena bahasa mampu mentransfer keinginan, gagasan, kehendak, dan emosi dari seorang manusia yang satu kepada manusia yang lainnya. Bahasa yang wujudnya berupa bunyi-bunyi ujar dalam suatu pola bersistem tidak lain daripada lambang-lambang konsep dan gagasan yang dipahami dan disepakati bersama oleh para anggota penuturnya. Namun walaupun demikian, sebagai alat komunikasi, penyampai ide, konsep, gagasan, dan sebagainya, bahasa masih mempunyai persoalan dan hambatan. Persoalan dan hambatan kebahasaan ini memang ada kemungkinan bersumber dari bahasa itu sendiri, seperti adanya lambang-lambang bahasa yang bisa melambangkan dua konsep atau lebih, atau sebaliknya ada dua lambang atau lebih yang melambangkan konsep-konsep yang abstrak. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa permasalahanpermasalahan tersebut sebagai akibat dari kemampuan berbahasa dan bernalar para penuturnya yang kurang, sehingga mereka seringkali tidak bisa membedakan apa yang disebut informasi dan maksud. Memang tidak sedikit orang yang mencampuradukkan 25 konsep tentang makna, informasi dan maksud. Ketiganya dianggap sama saja sebagai makna. Menurut de Saussure setiap tanda linguistik terdiri dari dua unsur, yaitu yang diartikan (signified) dan yang mengartikan (signifier). ‘Yang diartikan’ sebenarnya tidak lain daripada konsep atau makna dari sesuatu tanda bunyi. Sedangkan ‘yang mengartikan’ itu tidak lain adalah bunyi-bunyi itu sendiri yang terbentuk dari fonem-fonem bahasa yang bersangkutan itu sendiri. Jadi dengan kata lain setiap tanda linguistik terdiri dari unsur bunyi dan unsur makna. Kedua unsur ini adalah ‘unsur dalam’ bahasa (intralingual) yang biasanya merujuk atau mengacu kepada sesuatu referen yang merupakan ‘unsur luar’ bahasa (ekstralingual). Sebetulnya dalam bidang semantik, istilah yang biasa digunakan untuk ‘tanda linguistik’ itu adalah leksem, yang lazim didefinisikan sebagai satuan bahasa yang dapat berdiri sendiri dan dapat terjadi dari morfem tunggal atau gabungan morfem adalah istilah dalam bidang gramatika. Sebuah kata/leksem mengandung makna atau konsep. Makna atau konsep bersifat umum, sedangkan sesuatu yang dirujuk (yang berada di luar bahasa) bersifat tertentu. Hubungan antara kata dengan maknanya memang bersifat arbitrer. Artinya, tidak ada hubungan yang wajib antara deretan fonem pembentuk kata itu dengan maknanya, namun hubungannya bersifat konvensional. Artinya, disepakati oleh setiap anggota 26 masyarakat suatu bahasa untuk mematuhi hubungan itu. Sebab kalau tidak, komunikasi verbal yang dilakukan akan menuai hambatan. Oleh karena itu, dapat dikatakan secara sinkronis hubungan antara kata dan maknanya. Secara sinkronis ada kemungkinan bisa berubah sesuai dengan perkembangan budaya dan masyarakat yang bersangkutan. Jadi pada intinya, referen sebuah kata adalah tetap, tidak berubah. Adanya kesan tidak tetap atau berubah adalah karena kata tersebut digunakan secara metaforis. Seperti telah disampaikan di depan, bahwa masalah yang sering timbul adalah kaburnya pengertian dari makna, informasi dan maksud. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa makna adalah gejala dalam ujaran (utterance-internal phenomenon) sedangkan informasi adalah gejala luar ujaran (utterance-external phenomenon). Karena mengacaukan pengertian makna dengan informasi, maka banyak juga orang yang menyatakan suatu kalimat tertentu sama maknanya dengan parafrase dari kalimat itu. Itu pun keliru, sebab parafrase adalah rumusan informasi yang sama dalam bentuk ujaran yang lain. Di samping parafrase, ada juga istilah ‘perifrase’, yaitu informasi yang sama dengan rumusan yang lebih panjang. Suatu perifrase menambah sesuatu pada yang diperifrasekan tetapi tetap mempertahankan informasi yang sama. 27 Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa setiap perifrase adalah parafrase juga, tetapi tidak setiap parafrase adalah perifrase. Selanjutnya, akan dibicarakan mengenai perbedaan antara informasi dan maksud. Informasi dan maksud sama-sama sesuatu yang luar-ujaran. Hanya bedanya, jika informasi adalah sesuatu yang di luar ujaran dilihat dari segi objeknya atau yang dibicarakan, sedangkan maksud dilihat dari segi si pengujar, orang yang berbicara, atau pihak subjeknya. Maksud banyak digunakan dalam bentuk-bentuk ujaran yang disebut metafora, ironi, litotes, dan bentuk-bentuk gaya bahasa lain. e. Jenis Makna Dalam pembahasan ini akan dibedakan antara makna leksikal dan makna gramatikal, makna referensial dan nonreferensial, makna denotatif dan makna konotatif, makna kata dan makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna idiomatikal dan peribahasa, makna kias, serta makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Berikut penjabarannya. 1) Makna Leksikal dan Makna Gramatikal Dalam bukunya, Chaer (2009:60) mengungkapkan bahwa ‘leksikal’ adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina ‘leksikon’ (vokabuler, kosa kata, 28 perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah ‘leksem’, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Kalau leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita samakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observasi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh ada dalam kehidupan kita. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat dari adanya proses gramatika (seperti proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi). Oleh karena makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi. Maka makna gramatikal itu sering juga disebut ‘makna kontekstual’ atau ‘makna situasional’. Selain itu bisa juga disebut ‘makna struktural’ karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur kebahasaan. Proses 29 komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. 2) Makna Referensial dan Makna Nonreferensial Perbedaan antara makna referensial dan makna nonreferensial diketahui dari ada atau tidaknya referen dari kata-kata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut sebagai kata bermakna referensial. Namun, jika kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Sebagai contoh, kita dapat menyebut ‘pensil’ dan ‘penggaris’ memiliki makna referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis peralatan tulis. Sebaliknya kata ‘karena’ dan ‘dan’ tidak mempunyai referen, oleh sebab itu dapat digolongkan dalam kata yang bermakna nonreferensial. Karena kata-kata yang termasuk preposisi dan konjungsi, juga kata tugas lainnya tidak mempunyai referen, maka banyak orang mengambil kesimpulan bahwa kata-kata tersebut tidak memiliki makna. Kata-kata tersebut hanya memiliki fungsi atau tugas. Lalu, karena hanya memiliki fungsi atau tugas lalu dinamailah kata-kata tersebut dengan nama ‘kata fungsi’ atau ‘kata tugas’. Namun sebenarnya kata-kata ini 30 juga mempunyai makna, hanya saja memang tidak memiliki referen. Hal ini jelas dari nama yang diberikan semantik, yaitu kata yang bermakna nonreferensial. Artinya, memiliki makna namun tidak memiliki referen. 3) Makna Denotatif dan Konotatif Hal yang paling mencolok untuk dapat membedakan makna denotatif dan makna konotatif adalah mengenai ada atau tidaknya ‘nilai rasa’. Setiap kata itu mempunyai (terutama yang disebut kata penuh) mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu memiliki makna konotatif. Sebuah kata disebut memiliki makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Namun, jika suatu kata tidak memiliki nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut memiliki konotasi netral. Makna denotasi pada dasarnya sama dengan makna referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut pengelihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu maka denotasi sering disebut sebagai ‘makna sebenarnya’. Sedangkan makna konotatif memiliki keunikannya sendiri. Makna konotasi 31 sebuah bahasa dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, sesuai dengan pandangan hidup, dan norma-norma penilain kelompok masyarakat tesebut. Misalkan saja kata ‘babi’. Kata tersebut memiliki konotasi negatif bagi komunitas-komunitas agama yang menajiskannya, namun bisa saja di dalam lingkungan masyarakat yang lain kata ini tidak memiiki konotasi negatif. Oleh sebab itu, makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. 4) Makna Kata dan Makna Istilah Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007), ‘kata’ adalah unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbicara. Sedangkan ‘istilah’ adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Melihat hal ini, tentunya harus sangat dibedakan mengenai makna kata dan makna istilah. Perbedaan adanya makna kata dan makna istilah didasarkan pada ketepatan makna itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak 32 cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, katakata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat. Makna sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi berifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat maka kata itu menjadi umum dan kabur. Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Di luar bidang tertentu, istilah sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang lebih terbatas. 5) Makna Konseptual dan Makna Asosiatif Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna yang lain. Secara 33 garis besar tokoh semantik, Leech membedakan makna menjadi makna asosiatif dan makna konseptual. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Oleh sebab itu, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Sebagai contoh, kata ‘melati’ berasosiasi dengan makna ‘suci’, kata ‘merah’ berasosiasi dengan kata ‘berani’. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambangperlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Karena makna asosiatif ini berhubungan dengan nilainilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka ke dalam makna asosiatif ini termasuk juga makna konotatif. Di samping itu ke dalamnya termasuk juga maknamakna lain seperti makna stilistika, makna afektif dan makna kolokatif. Makna stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Makna afektif berkenaan dengan 34 perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi baik terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan. Sedangkan makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai ‘tempat’ yang sama dalam sebuah frase (‘ko’ artinya ‘sama’/’bersama’; ‘lokasi’ artinya ‘tempat’). 6) Makna Idiomatikal dan Peribahasa Untuk memahami pembahasan ini, sebelumnya kita harus mengetahui terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan idiom. Idiom adalah satuan-satuan bahasa (bisa berupa kata, frasa maupun kalimat) yang maknanya tidak dapat diramalkan dari makna-makna leksikal unsur-unsurnya maupun makna gramatikal satuan-satuan tersebut. Karena makna idiom ini tidak lagi berkaitan dengan makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsurnya, maka bentuk-bentuk idiom ini ada juga yang menyebutkan sebagai satuan-satuan leksikal tersendiri yang maknanya juga merupakan makna leksikal dari satuan tersebut. Ada dua macam bentuk idiom dalam bahasa Indonesia, yaitu: idiom penuh dan idiom sebagian. Idiom penuh adalah idiom yang unsur-unsurnya secara keseluruhan sudah merupakan satu kesatuan dengan satu makna. Contonya pada idiom ‘membanting tulang’, ‘menjual gigi’, dan ‘meja hijau’. 35 Sedangkan pada idiom sebagian masih ada unsur yang masih memiliki makna leksikalnya sendiri, misalnya ‘daftar hitam’ dan ‘koran kuning’. Dari uraian ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa makna idiomatikal adalah makna sebuah satuan bahasa (entah kata, frasa, atau kalimat) yang ‘menyimpang’ dari makna leksikal atau makna gramatikal unsur-unsur pembentuknya. Berbeda dengan idiom –terutama idiom penuh- yang maknanya tidak dapat diramalkan, baik secara leksikal maupun gramatikal, makna peribahasa masih dapat diramalkan karena adanya asosiasi atau tautan antara makna leksikal dan gramatikal unsur-unsur pembentuk peribahasa itu dengan makna lain yang menjadi tautannya. Karena peribahasa itu bersifat membandingkan, atau mengumpamakan, maka lazim juga disebut dengan nama ‘perumpamaan’. 7) Makna Kias Dalam kehidupan sehari-hari dan juga di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S Poerwadarminta digunakan istiah ‘arti kiasan’. Tampaknya penggunaan istiah ini sebagai oposisi dari arti sebenarnya. Oleh sebab itu semua bentuk bahasa (baik kata, frasa, maupun kalimat) yang tidak merujuk pada arti sebenarnya (arti leksikal, arti konseptual, maupun arti denotatif) disebut mempunyai arti kiasan. Kita 36 mungkin sering melihat bahwa bentuk ujaran dengan makna yang diacu ada hubungan kiasan, perbandingan atau persamaan. 8) Makna Lokusi, Ilokusi dan Perlokusi Dalam kajian tindak tutur (speech act) dikenal adanya makna lokusi, makna ilokusi dan makna perlokusi. Makna lokusi adalah makna seperti yang diungkapkan dalam ujaran, makna harafiah, atau makna apa adanya. Makna ilokusi adalah makna seperti yang dipahami oleh pendengar. Sedangkan makna perlokusi adalah makna sesuai yang diinginkan oleh penutur. f. Relasi Makna Dalam setiap bahasa -termasuk bahasa Indonesia- seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa lainnya. Dalam pembahasan ini akan dijelaskan secara rinci relasi kemaknaan yang meliputi hal kesamaan makna (sinonim), kebalikan makna (antonim), kegandaan makna (polisemi dan ambiguitas), ketercakupan makna (hiponimi), kelainan makna (homonimi), kelebihan makna (rendundansi), dan sebagainya. 37 1) Sinonimi Untuk dapat memahami secara mendalam mengenai ‘sinonim’, maka perlu juga untuk mengetahui arti kata tersebut. Secara etimologi, kata ‘sinonim’ berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu onoma yang berarti ‘nama’ dan syn yang berarti ‘dengan’. Dengan demikian sinonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama. Secara semantik sinonim didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Dalam hal ini hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Sebagai contoh, kata ‘wanita’ bersinonim dengan kata ‘perempuan’. Oleh sebab itu kata ‘perempuan’ pun bersinonim juga dengan kata ‘wanita’. Dalam pembahasan di atas diungkapkan bahwa sinonim merupakan ungkapan yang maknanya ‘kurang lebih sama’. Hal ini berarti, dua buah kata yang bersinonim tersebut kesamaannya tidak seratus persen. Hal ini terjadi karena telah diungkapkan sebelumnya bahwa prinsip umum semantik adalah bentuk sebuah kata yang berbeda dapat menimbulkan makna yang berbeda pula, walaupun dalam hal ini perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga dengan kata-kata yang bersinonim, karena bentuknya berbeda, maka maknanya pun tidak sama persis. Lalu jika demikian, mungkin akan timbul sebuah 38 pertanyaan. Jika dua buah kata yang bersinonim tidak memiliki makna yang seratus persen sama, maka dalam hal apa kedua kata itu memiliki kesamaan? Menurut teori Verhaar, yang sama adalah informasinya. Padahal informasi bukanlah makna karena informasi bersifat ekstralingual, sedangkan makna bersifat intralingual. Oleh sebab itu mungkn saja yang sama adalah komponen maknanya. Mari lihat contoh berikut: ‘hanya dikenakan pada manusia’ ‘mati’ ‘tidak bernyawa’ ‘meninggal’ ‘dapat dikenakan kepada siapa saja’ Dalam contoh di atas, kata ‘mati’ dan kata ‘meninggal’ memiliki kesamaan komponen makna dalam hal ‘tidak bernyawa’. Sedangkan kedua kata ini tidak dapat disimpulkan sebagai dua kata yang sama persis karena memiliki perbedaan komponen makna dalam hal kepada siapa kata tersebut dikenakan. Kesinoniman mutlak atau kesinoniman simetris memang tidak ada dalam perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Oleh karena itu, kata-kata yang dapat dipertukarkan begitu saja pun sangat jarang ditemui. 39 Ketidakmungkinan kita menukar sebuah kata dengan kata lain yang bersinonim adalah banyak sebabnya. Antara lain karena faktor waktu, tempat atau daerah, sosial, bidang kegiatan, dan nuansa makna. Hal lain yang perlu diperhatikan perihal sinonim ini adalah sebagai berikut: a) tidak semua kata dalam bahasa Indonesia mempunyai sinonim; b) ada kata-kata yang bersinonim pada bentuk dasar, tetapi tidak pada bentuk jadian; c) ada kata-kata yang tidak mempunyai sinonim pada bentuk dasar, tetapi memiliki sinonim pada bentuk jadian; d) ada kata-kata yang dalam ‘arti sebenarnya’ tidak memiliki sinonim, tetapi dalam ‘arti kias’ justru memiliki sinonim. 2) Antonim dan Oposisi Kata ‘antonim’ berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata tersebut terdiri dari kata onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’, yang jika digabungkan dapat berarti ‘nama lain untuk benda yang lain pula’. Namun secara lengkap antonim merupakan ungkapan (biasanya berupa kata, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat ditemui dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata 40 yang berantonim bersifat dua arah, artinya sifat ini berlaku kebalikan. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa (tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat). Namun dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada. Namun hal ini tidak berlaku untuk bahasa-bahasa lain. Dalam berbagai sumber kata ‘antonim’ sering diistilahkan dengan ‘lawan kata’. Persoalan ini nampaknya menimbulan perdebatan yang panjang di antara para ahli bahasa. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa pada dasarnya bukan kata-katanyalah yang berlawanan, namun makna dari kata-kata tersebut yang berlawanan. Oleh sebab itu banyak yang beranggapan bahwa seharusnya bukan ‘lawan kata’ yang digunakan untuk mengistilahkan ‘sinonim’, tetapi ‘lawan makna’. Karena berkaitan dengan makna, maka sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Misalkan saja kata ‘hitam’ dan ‘putih’. Kedua kata ini tidak mutlak berantonim karena hubungan perbandingan maknanya tidak mutlak searah. Yang tidak ‘hitam’ belum tentu ‘putih’, demikian juga dengan tidak ‘putih’ belum tentu ‘hitam’. Bisa saja tidak ‘hitam’ berarti ‘abu-abu’. Hal semacam ini sering disebut sebagai oposisi makna. Dengan istilah ‘oposisi’ maka 41 akan tercakup konsep yang betul-betul berlawanan sampai kepada yang hanya bersifat kontras saja. Oposisi itu sendiri dapat dibedakan menjadi: a) oposisi mutlak, dalam hal ini terdapat pertentangan makna secara mutlak; b) oposisi kutub, pertentangannya tidak bersifat mutlak, namun bersifat gradasi; c) oposisi hubungan, makna kata-kata yang beroposisi hubungan (relasional) ini bersifat saling melengkapi; d) oposisi hierarkial, makna kata-kata yang beroposisi hierarkial ini menyatakan suatu deret jenjang atau tingkatan; e) oposisi majemuk, kata-kata yang beroposisi terhadap lebih dari sebuah kata. 3) Homonimi, Homofoni dan Homografi Homonimi merupakan ungkapan (berupa kata, frase atau kalimat) yang bentuknya sama dengan ungkapan lain (juga berupa kata, frase atau kalimat) tetapi maknanya tidak sama. Contohnya hubungan antara kata ‘pacar’ yang berarti ‘inai’ dan kata ‘pacar’ yang berarti ‘kekasih’. Dalam hal ini sangat jelas ditunjukkan bahwa dua kata yang memiliki bentuk yang sama persis, namun maknanya sangat berbeda. Hubungan homonimi ini bersifat dua arah. 42 Pada dasarnya homofoni tidak jauh berbeda dengan homonimi. Hanya saja homonimi dilihat dari bentuk ‘satuan bahasanya’, sedangkan homofoni dilihat dari segi ‘bunyi’. Sebagai contoh, kita lihat hubungan antara kata ‘bank’ yang berarti ‘badan usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang dari masyarakat’ dengan kata ‘bang’ yang berarti ‘kakak laki-laki’. Kedua kata ini jika diucapkan memiliki bunyi yang sama, namun tentu saja maknanya sangat berbeda. Jika homonimi menitikberatkan pada ‘bentuk satuan bahasa’ dan homofoni pada ‘bunyi’, maka sesuai dengan namanya, homograf menitikberatkan pada perbandingan ‘tulisan atau ejaan’. Hal ini dapat dengan mudah ditemui dalam tulisan huruf Arab gundul atau pegon. Namun hal ini juga dapat kita temui dalam kosakata bahasa Indonesia. Misalkan saja pada kata ‘teras’. Kata ‘teras’ ini dapat diartikan sebagai ‘hati kayu atau bagian dalam kayu’, namun dapat juga diartikan sebagai ‘bagian depan sebuah rumah’. Kedua pengertian ini memang sangat berbeda. Namun pada umumnya ditulis dengan bentuk kata yang sama, ‘teras’. Walaupun di dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia telah dibedakan dengan pemberian lambang fonem, namun pada umumnya kata ini dikategorikan sebagai kata yang berhomograf. 43 4) Hiponimi dan Hipernimi Kata ‘hiponimi’ berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang berarti ‘di bawah’. Dengan demikian secara harafiah hiponim dapat diartikan sebagai nama yang termasuk di bawah nama lain. Sedangkan secara semantik, hiponim dapat diartikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Misalkan saja, kata ‘mujahir’ berhiponim terhadap kata ‘ikan’. Namun, kata ‘ikan’ tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’. Hal ini dikarenakan kedudukan umum-khususnya yang tidak sebanding. Kata ‘mujahir’ (makna lebih khusus) merupakan bagian dari kata ‘ikan’ (makna lebih umum). Oleh sebab itu, sekali lagi kata ‘ikan’ tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’, namun kata ‘ikan’ berhipernim terhadap kata ‘mujahir’. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh sebab itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Yang perlu diperhatikan 44 adalah, konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda, tetapi agak sulit diterapkan pada kata kerja atau kata sifat. 5) Polisemi Polisemi sering diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Namun pada pembahasan terdahulu diungkapkan bahwa setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut sebagai makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Dalam perkembangan selanjutnya, kompnen- komponen makna ini berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu. Lagipula kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase dan kalimat. Secara sepintas mungkin akan ada pendapat yang menyatakan bahwa sebenarnya polisemi dan homonimi ini memiliki kemiripan, bahkan ada yang berpendapat bahwa keduanya sama. Namun sebenarnya di antara homonimi dan polisemi ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan yang sudah sangat jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang 45 kebetulan bentuknya sama. Kemudian, karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh sebab itu di dalam kamus, bentuk-bentuk homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan demikian, oleh karena polisemi ini adalah sebuah kata, maka dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Selain perbedaan tersebut, terdapat satu perbedaan lagi antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentuk-bentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungnnya sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan makna-makna pada kata yang polisemi masih ada hubungannya karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut. 6) Ambiguitas Chaer (2009:104) dalam bukunya mengungkapkan bahwa ‘ambiguitas’ atau yang sering disebut sebagai ‘ketaksaan’ sering diartikan sebagai kata yang bermakna ganda atau mendua arti. Pengertian ini tidak salah, namun jika kita melihat pengertian ini, maka akan sangat sulit dibedakan antara kata bemakna polisemi dengan kata yang bermakna ambigu. Walaupun ambiguitas dan polisemi merupakan kata-kata yang 46 bermakna ganda, namun kegandaan makna dalam polisemi berasal dari kata, sedangkan kegandaan makna dalam ambiguitas berasal dari satuan gramatikal yang lebih besar (yaitu frase atau kalimat) dan terjadi sebagai akibat dari penafsiran struktur gramatikal yang berbeda. 7) Redundansi Meskipun tidak ditemukan dalam kosakata bahasa Indonesia, namun kata ‘redundansi’ sering diartikan sebagai ‘berlebih-lebihan’ dalam pemakaian unsur segmental dalam suatu bentuk ujaran. Namun secara semantik, sebenarnya masalah redundansi tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila bentuk berbeda, maka maknanya pun akan menjadi berbeda juga. g. Medan Makna dan Komponen Makna 1) Medan Makna Dalam Kamus Linguistik (Kridalaksana, 1982) diungkapkan bahwa ‘medan makna’ (semantic field, semantic domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata 47 atau unsur leksikal yang maknanya berhubungan dalam satu bidang tertentu jumlahnya tidak sama dari satu bahasa dengan bahasa lain. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur leksikal dalam setiap bahasa berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu termasuk dalam golongan ‘kolokasi’ dan golongan ‘set’. Kolokasi berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ‘ada di tempat yang sama dengan’. Pengertian ini menunjuk pada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsur-unsur leksikal itu. Untuk memperoleh gambaran lebih terang mengenai hal ini, maka kita dapat mengambil contoh kalimat: “Tiang layar perahu nelayan itu patah dihantam badai, lalu perahu itu digulung ombak, dan tenggelam beserta isinya”. Melalui kalimat tersebut kita dapati kata ‘layar’, ‘perahu’, ‘nelayan’, ‘badai’, ‘ombak’, dan ‘tenggelam’ merupakan kata-kata dalam satu kolokasi atau satu tempat atau satu lingkungan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang berkolokasi ditemukan bersama atau berada bersama dalam satu tempat atau satu lingkungan. Jika koloasi merujuk pada hubungan sintagmatik karena sifatnya yang linear, maka ‘set’ menunjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada 48 dalam suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu kesatuan. Hal lain yang penting adalah, setiap unsur leksikal dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai teori medan makna, meskipun makna unsur-unsur leksikal itu sering bertumpang tindih dan batas-batasnya seringkali menjadi kabur. Kelemahann lainnya adalah pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara yang disebut makna denotasi dan makna konotasi, antara makna dasar dari suatu kata atau leksem dengan makna tambahan dari kata itu. 2) Komponen Makna Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker) mengungkapkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur lesikal tersebut. 3. Linguistik Antropologi 49 Dalam bukunya, Koentjaraningrat (1883:1) menjelaskan awal mula terbentuknya ilmu antropologi. Dalam fase awal (sebelum tahun 1800), suku-suku bangsa penduduk pribumi Afrika, Asia dan Amerika mulai didatangi oleh orang Eropa Barat sejak akhir abad ke-15 dan permulaan abad ke-16. Lambat laun (dalam proses yang terjadi hingga 4 abad lamanya) berbagai daerah di muka bumi mulai terkena pengaruh negara-negara Eropa Barat. Dalam waktu yang bersamaan, mulai terkumpul himpunan besar buku-buku kisah perjalanan, laporan dan lain sebagainya, buah tangan para musafir, pelaut, pendeta, penerjemah Kitab Injil dan pegawai pemerintah jajahan. Dalam sumber ini pun termuat suatu himpunan besar dari bahan pengetahuan berupa deskripsi tentang adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik dari beraneka warna suku-bangsa di Afrika, Asia, Oseania (yaitu kepulauan di Lautan Teduh) dan suku-suku bangsa Indian, penduduk pribumi Amerika. Dari himpunan bahan-bahan tersebut ternyata terdapat hal yang sangat menarik perhatian bangsabangsa Eropa Barat. Dalam himpunan tersebut terdapat perbedaan yang sangat mendasar dari adat istiadat, susunan masyarakat, bahasa dan ciri-ciri fisik bangsa Eropa Barat. Nantinya bahan-bahan pengetahuan tersebut disebut dengan etnografi yang berasal dari kata ethnos yang berarti ‘bangsa’ atau ‘deskripsi tentang bangsa-bangsa’. Dalam perkembangannya, ilmu antropologi ini mencapai kematangannya sebagai sebuah bidang ilmu pengetahuan. Dalam masa 50 matang itulah mulai disadari bahwa terjadinya sebuah bidang ilmu pengetahuan pasti juga dipengaruhi oleh bidang ilmu yang lain. Pengaruh ini bukan saja melulu membicarakan mengenai ikut andil atau tidaknya sebuah bidang ilmu pengetahuan terhadap terbentuknya bidang ilmu pengetahuan yang lain. Pengaruh ini juga dapat diartikan sebagai daya bantu suatu bidang keilmuan untuk dapat menyelesaikan persoalan-persoalan ilmiah bidang ilmu yang lain. Dalam hal ini ilmu antropologi telah berafiliasi dengan bidang keilmuan yang lain, diantaranya ilmu bahasa (linguistik). Sehingga dikenallah apa yang disebut dengan disiplin ilmu Antropologi Linguistik dan Linguistik Antropologi. Linguistik antropologi dibedakan dengan antropologi linguistik. Perbedaan keduanya terletak pada fokus penelitian. Antropologi linguistik menekankan pada penelitian antropologi. Sedangkan linguistik antropologi menitikberatkan pada aspek bahasa (linguistik). Bahasa dalam linguistik antropologi merupakan sistem klasifikasi yang paling rumit dari sebuah kebudayaan. Duranti (1997:6) menyatakan bahwa linguistik antropologi terbentuk dari linguistik struktural, tetapi memiliki perspektif atau sudut pandang yang berbeda dalam objek yang dikaji, bahasa dan ketajaman sebuah objek. Linguistik antropologi menekankan pada linguistik sebagai pengungkap pola pikir masyarakat. Sementara Antropologi linguistik memandang bahasa sebagai satu set aplikasi kebudayaan. Bagi 51 Antropologi linguistik, bahasa yang digunakan dalam masyarakat merupakan salah satu media untuk melakukan pendekatan antropologi. Seperti dikemukakan Duranti (1997:21): Language as a set of cultural practice and the need to understand linguistic anthropology as fundamentally an interdisciplinary enterprise that draws from a variety of approaches within the humanities and the social science and yet presents itw own unique views of the nature of speaking and its role in the constitution of society and the interpretation of culture. Linguistik antropologi berangkat dari teori relativitas bahasa yang dikemukakan oleh von Humboldt dan dilanjutkan oleh SapirWhorf, yang dikenal dengan hipotesis Sapir-Whorf. Bahasa seseorang menentukan pandangan dunia melalui kategori gramatikal dan klasifikasi semantis yang ada dalam bahasa itu dan diwarisi bersama kebudayaannya. Hasil klasifikasi semantik itulah yang nantinya digunakan sebagai media penafsiran makna pengetahuan yang ada dalam suatu budaya. Singkat kata, menurut Sapir-Whorf, bahasa menentukan cara pandang terhadap dunia luar. Dari uraian singkat di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa Linguistik Antropologi menganalisis bahasa dalam kaitannya dengan penuturnya, dalam hal ini dengan budaya penuturnya. Dapat dikatakan bahwa bahasa berkaitan dengan budaya penuturnya tetapi tidak dapat dikatakan bahwa masyarakat yang berbahasa sama selalu memiliki budaya yang sama, demikian pula sebaliknya. Hanya aspek-aspek tertentu dari bahasa yang berkaitan dengan budayanya. Aspek-aspek 52 tersebut antara lain tatabahasa, leksikon, cara berbicara atau berkomunikasi, dan lainnya. 53 BAB III MAKNA KATA ‘SUCI’ DALAM AGAMA ISLAM DAN AGAMA KRISTEN (TINJAUAN LINGUISTIK ANTROPOLOGI) Dalam poin kedelapan keputusan seksi A kongres bahasa Indonesia II tahun 1954 di Medan, dijelaskan bahwa bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu yang kemudian disesuaikan dengan pertumbuhan masyarakat Indonesia. Hal ini menerangkan bahwa kosakata bahasa Indonesia memiliki sifat yang dinamis, dapat berubah dari waktu ke waktu. Selain bersifat dinamis, Harimurti Kridalaksana (2009:2) menyebutkan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa yang terbuka. Artinya, bahasa Indonesia memiliki peluang untuk menyerap kosakata dari bahasa lainnya (bahasa asing maupun bahasa daerah). Pada tahun 1996, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa melakukan penelitian mengenai perkembangan jumlah kosakata serapan dalam bahasa Indonesia. Sebanyak 1.495 kata berasal dari bahasa Arab, 3.280 kata dari bahasa Belanda, 290 kata dari bahasa Tionghoa, 7 kata dari bahasa Hindi, 1.610 kata dari bahasa Inggris, 63 kata dari bahasa Parsi, 131 kata dari bahasa Portugis, 677 kata dari bahasa Sansekerta-Jawa Kuna, dan 83 kata dari bahasa Tamil. Dalam situs wikipedia2,dijelaskan bahwa kata ‘suci’ merupakan kosakata bahasa Indonesia yang diserap dari bahasa Sansekerta yang artinya ‘keramat’ (dalam situs yang sama, disebutkan pula bahwa karena sudah sangat lama dikenal 2 Wikipedia, Kata Serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia, 2010.https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Sanskerta_dalam_bahasa _Melayu_dan_bahasa_Indonesia_modern (diakses pada 15 September 2015) 54 di Nusantara, kata-kata Sanskerta ini seringkali sudah tidak dikenali lagi dan sudah termasuk dalam kosakata dasar). Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia yang disusun oleh W.J.S. Poerwadarminta pada tahun 1976, disebutkan bahwa kata ‘keramat’ memiliki beberapa pengertian. Yang pertama, kata ‘keramat’ merupakan kondisi suci, dan karena kesuciannya tersebut, dapat mengadakan sesuatu yang ajaib, seperti menyembuhkan orang yang sakit, memberi berkat keselamatan, dan sebagainya. Pengertian pertama ini dapat diwujudkan dalam contoh kalimat sebagai berikut : “Makam Sunan Gunung Jati ialah salah satu makam yang keramat di Cirebon”. Dalam hal ini ‘makam Sunan Gunung Jati’ yang dimaksudkan dipercaya mampu mengadakan sesuatu yang ajaib. Definisi kata ‘keramat’ yang berikutnya adalah tempat atau sesuatu yang suci dan mulia. Seperti halnya pada pengertian yang pertama, kata ‘suci’ yang dimaksudkan pada pengertian ini pun memiliki arti ‘dapat mengadakan sesuatu yang ajaib’. Dalam pengertian ini kata ‘keramat’ dapat diwujudkan dalam beberapa contoh di bawah ini: 1. ‘berziarah ke keramat’. Dalam kalimat ini kata ‘keramat’ diartikan sebagai kuburan orang yang dianggap suci; 2. ‘penunggu keramat’. Frasa ini mengandung arti seseorang yang berprofesi sebagai penunggu tempat-tempat yang dianggap suci; 3. ‘minta keramat’. Kata ‘keramat dalam frasa ini dapat didefinisikan sebagai ‘berkat’. Sehingga frasa ini memiliki arti ‘minta berkat’. 55 Definisi kata ‘keramat’ selanjutnya adalah ‘orang yang saleh’. Dalam kalimat, “Banyaklah segala aulia dan keramat dengan syariat Nabi Muhammad”, kata ‘keramat’ dipadankan dengan kata ‘aulia’ yang menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia memiliki pengertian ‘orang suci atau wali’. Oleh sebab itu teranglah sudah bahwa dalam hal ini, kata ‘keramat’ pun memiliki pengertian yang sama dengan kata ‘aulia’. Kemudian dalam bagian selanjutnya akan dijelaskan secara lebih rinci mengenai konsep-konsep makna yang melekat pada kata ‘suci’. A. Aspek Ketatabahasaan Kata ‘suci’ 1. Proses Morfologis Kata ‘suci Telah disinggung di bagian awal mengenai perbedaan mendasar antara bidang ilmu interdisipliner Antropologi Linguistik dengan Linguistik Antropologi. Dan dalam penelitian ini penulis menggunakan pendekatan Linguistik Antropologi. Dalam Linguistik Antropologi, faktor-faktor linguistik merupakan fokus utama di dalam proses penelitian, hingga pada akhirnya hasil-hasil yang didapatkan akan diaplikasikan ke dalam ranah yang lebih aplikatif (antropologi) dalam kaitannya dengan konsep makna kata ‘suci’ dalam kolokasi keagamaan agama Kristen dan Agama Islam. Dengan demikian, dalam penelitian ini langkah pertama yang akan dikerjakan adalah menelaah kata ‘suci’ dari sudut pandang linguistik. Ilmu linguistik memiliki berbagai cabang bidang kajian. Namun telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa yang menjadi fokus pengamatan adalah 56 penelaahan makna melalui cabang ilmu semantik. Walaupun pada praktiknya, untuk sampai pada ranah telaah makna perlu juga ditelaah struktur intern kata dan struktur kalimat pada studi gramatikal yang terangkum dalam cabang ilmu morfologi dan sintaksis. Oleh sebab itu dalam subbab ini akan dibahas terlebih dahulu konsep kata ‘suci’ berdasarkan sudut pandang ilmu morfologi yang nantinya akan dilanjutkan pada sudut pandang ilmu sintaksis. Hal pertama yang perlu dipahami adalah bahwa morfologi – bersama-sama dengan sintaksis- merupakan tataran ilmu bahasa yang disebut tata bahasa atau gramatika. Namun sebenarnya terdapat perbedaan mendasar antara morfologi dan sintaksis. Morfologi yang juga disebut tata kata atau tata bentuk, merupakan studi gramatikal struktur intern kata. Sedangkan sintaksis yang juga disebut tata kalimat, merupakan studi gramatikal mengenai kalimat. Untuk menelaah kata dalam morfologi, perlu dibahas mengenai proses morfologis yang mungkin dikenakan pada kata tersebut. Setidaknya terdapat tiga proses morfologis yang akan dibahas dalam bagian ini, antara lain afiksasi (pembubuhan afiks), reduplikasi (pengulangan) dan komposisi (pemajemukan). Sebelum diuraikan lebih lanjut tentang ketiga proses morfologis di atas perlu ditegaskan terlebih dahulu tiga istilah pokok dalam proses ini, yaitu kata dasar, bentuk dasar, dan unsur langsung. Penjelasannya adalah sebagai berikut: 57 - kata dasar adalah kata yang belum berubah, belum mengalami proses morfologis, baik berupa proses penambahan imbuhan, proses pengulangan, maupun proses pemajemukan; - bentuk dasar merupakan bentuk yang menjadi dasar dalam proses morfologis, dapat berupa kata dasar, kata berimbuhan, kata ulang, dan dapat pula berupa kata majemuk; - unsur langsung merupakan bentuk dasar dan imbuhan yang membentuk kata jadian. a. Afiksasi (Pembubuhan Afiks) Dalam tata bahasa tradisional afiks disebut imbuhan, yaitu morfem terikat yang dapat mengubah makna gramatikal suatu bentuk dasar. Misalnya me- dan -kan, di- dan -kan, yang dapat mengubah arti gramatikal seperti kata ‘arsip’ menjadi ‘mengarsipkan’ atau ‘diarsipkan’. Proses penambahan afiks pada sebuah bentuk dasar atau kata dasar inilah yang disebut afiksasi. Afiks yang terletak di awal bentuk kata dasar. seperti ber-, di-; ke-, me-, se-, pe-, per-, ter-, pre-, swa-, adalah prefiks atau awalan. Yang disisipkan di dalam sebuah kata dasar, seperti -em, -er-, -el-, disebut infiks atau sisipan. Yang terletak di akhir kata dasar, seperti -i -an, -kan, -isme, -isasi, -is,-if dan lain-lain dinamakan sufiks atau akhiran. Gabungan prefiks dan sufiks yang membentuk satu kesatuan dan bergabung dengan kata dasarnya secara serentak seperti: ke-an , 58 pe-an , dan per-an dinamakan konfiks. Karena konfiks sudah membentuk satu kesamaan, maka harus tetap dihitung satu morfem. Jadi kata ‘pemberhentian’ dihitung tiga morfem, bukan empat. Bentuk dasarnya ‘henti’, satu morfem, mendapat prefiks ber-, satu morfem, dan mendapat konfiks pe-an yang juga dihitung satu morfem, maka semuanya tiga morfem. Dalam proses morfologis, dikenal yang disebut dengan afiks produktif ialah afiks yang mampu menghasilkan terus dan dapat digunakan secara teratur membentuk unsur-unsur baru. Yang termasuk afiks produktif ialah: me-, di-, pe-, ber-, -an, -i, pe-an, peran, dan ke-an. Sedangkan yang termasuk afiks improduktif ialah: sisipan -el-, -em-, er-, atau akhiran - wati. Karena pada penelitian ini objek yang ditelaah adalah kata ‘suci’, maka akan diulas terlebih dahulu proses afiksasi yang mungkin dikenakan pada kata ‘suci’ seperti yang terangkum dalam tabel berikut ini: Proses Afiksasi Kata ‘suci’ No. Prefiks Infiks Sufiks Konfiks 1 ber- Bersuci -el- - -an - meN-/-kan menyucikan 2 men- - -er- - -kan - men-/-i - 3 memper- - -em- - -i - ber-/-kan - 4 di- - -in- - -ah - ber-/-an - 5 ter- Tersuci -wi - ke-/-an Kesucian 59 6 per- - -nya - peN-/-an Penyucian 7 peN- Penyuci -wan - per-/-an Persucian 8 pe- - -wati - se-/-nya - 9 pra-/pre- - -in - memper-/-kan - 10 -at - memper-/-i - 11 -a/-i - - Kata ‘suci’ hanya dapat disandingkan dengan 6 (enam) buah afiks dan berubah menjadi kata ‘bersuci’, ‘tersuci’, ‘penyuci’, ‘menyucikan, ‘kesucian’, ‘penyucian’, dan ‘persucian’. Setelah mengalami proses afiksasi, maka kata ‘suci’ akan mengalami perubahan konsep makna. Kata ‘suci’ berubah menjadi kata ‘bersuci’ ketika dikenai afiks ber-. Dalam memahami afiks ber- ini tentunya tidak terlepas dari proses morfofonemik. Proses morfofonemik dapat menyebabkan terjadinya perubahan fonem. Di satu pihak, perubahan itu terjadi pada fonem awal bentuk dasarnya dan di pihak lain, perubahan itu terjadi pada fonem prefiks. Dalam realitasnya, prefiks ber- akan ditemukan morf yang berbeda, yaitu sebagai ber-, be-, dan bel-. Pada prefiks ber-, dapat diikuti oleh kata sifat (bersedih, berhemat, beruntung), kata bilangan (bertiga, berempat, berlima), kata verba ( berlari, bernyanyi, bertanya), kata nominal (beristri, bersepeda), juga berjumpa). berupa pokok kata (bertemu, bersandar, 60 Dalam buku Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Alwi, 2003:144), terdapat empat kaidah morfofonemik untuk prefiks bersebagai berikut: 1) prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada dasar yang dimulai dengan fonem /r/; 2) prefiks ber- berubah menjadi be- jika ditambahkan pada kata dasar yang suku pertamanya berakhir dengan /er/; 3) prefiks ber- berubah menjadi bel-. Jika ditambahkan pada kata dasar tertentu; 4) prefiks ber- tidak berubah bentuknya bila digabungkan dengan dasar di luar kaidah 1) - 3) di atas. Denagn kata lain, prefiks ber- tidak berubah bentuknya bila dilekatkan pada bentuk dasar yang fonem awalnya berupa vokal (kecuali untuk satuan ‘ajar’) dan konsonan apapun asal tidak mengandung unsur /er/ pada suku pertamanya. Dalam kaidah ini, prefiks ber- dapat dilekatkan dengan kata sifat, pokok kata, kata bilangan, dan kata nominal. Prefiks ber- ini memiliki fungsi sebagai pembentuk kata kerja intransitif. Kata kerja intransitif adalah kata kerja yang tidak membutuhkan objek. Kata kerja intransitif tidak dapat diubah ke dalam bentuk pasif. Keberadaan prefiks ber- menimbulkan maknamakna sebagai berikut: 61 1) mempunyai/memakai, pada makna ini bentuk dasarnya berupa verba; 2) menyatakan perbuatan aktif, pada makna ini bentuk dasarnya berupa nomina; 3) naik/mengendarai; 4) mengeluarkan/menghasilkan; 5) berisi/mengandung; 6) merasakan/mengalami/makna keadaan, pada makna ini bentuk dasarnya berupa kata sifat; 7) kelompok/himpunan; Prefiks ber- bergabung dengan kata ‘suci’ dan membentuk kata ‘bersuci’. Kata ini mungkin saja jarang ditemukan dalam percakapan sehari-hari. Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dinyatakan pengertian ‘bersuci’ sebagai tindakan membersihkan diri sebelum melakukan salat. Secara lebih lengkap, bersuci (bahasa Arab: طهارة,; transliterasi: thohara) merupakan bagian dari prosesi ibadah umat Islam yang bermakna menyucikan diri yang mencakup secara lahir atau batin, sedangkan menyucikan diri secara batin saja di istilahkan sebagai tazkiyatun nufus. Prefiks ber- pada kata ‘bersuci’ tidak berubah bentuknya karena kata ‘suci’ sebagai kata dasar memiliki huruf awal berupa konsonan dan tidak mengandung unsur /er/ pada suku pertamanya. Selain itu, kata ‘suci’ termasuk dalam golongan kata sifat yang 62 dalam kaidahnya prefiks ber- tidak akan berubah bentuknya jika disandingkan dengan dengan kata sifat, pokok kata, kata bilangan, dan kata nominal. Sehingga prefiks ber- jika bertemu dengan kata ‘suci’ bukan menjadi kata ‘besuci’ atau ‘belsuci’, melainkan ‘bersuci’. Karena kata ‘bersuci’ memiliki kata dasar ‘suci’ yang merupakan kata sifat, maka kata ‘bersuci’ memiliki makna ‘keadaan’. Sehingga dapat dikatakan bahwa ‘bersuci’ memiliki definisi sebagai keadaan suci (bersih, bebas dari dosa, keramat, murni). Selanjutnya, kata ‘suci’ akan berubah menjadi kata ‘tersuci’ ketika mendapatkan afiks ter-. Afiks ter- berfungsi membentuk kata kerja (pasif) atau kata sifat. Arti yang akan terbentuk dari penambahan afiks ini antara lain ‘dalam keadaan di’, ‘dikenai tindakan secara tak sengaja’, ‘dapat di’, ‘paling’ (superlatif). Untuk kata ‘tersuci’, arti yang paling memungkinkan untuk muncul adalah ‘paling’ (superlatif)’. Hal ini disebabkan karena kata tersebut memiliki kata dasar berupa adjektiva. Selanjutnya, kata ‘suci’ berubah menjadi kata ‘penyuci’ jika mendapatkan afiks pen-. Prefiks peN- memiliki hubungan yang erat dengan prefiks meN-. Prefiks meN- berfungsi membentuk kata kerja, sedangkan prefiks peN- berfungsi membentuk kata benda dari dasar yang mungkin sama dengan bentuk dasar kata berprefiks 63 meN-. Dengan demikian, keduanya memiliki kedekatan arti. Arti yang muncul dari prefiks peN- pada kata adalah sebagai berikut: - menyatakan orang yang biasa melakukan tindakan yang tersebut pada bentuk dasar ‘suci’; - menyatakan alat yang dipakai untuk melakukan tindakan yang tersebut pada bentuk dasar ‘suci’; - menyatakan yang biasa melakukan tindakan yang berhubungan dengan benda yang tersebut pada bentuk dasar ‘suci’. Kata ‘suci’ dapat mengalami empat macam konfiksasi. Hal tersebut akan dijelaskan melalui tabel berikut ini: No. 1. Konfiks Makna yang Terkandung per-/-an + ‘suci’ = Kata ‘suci’ yang semula memiliki arti ‘persucian’ sebagai keadaan yang bersih menurut pandangan keagamaan berubah menjadi ‘perihal bersuci’ atau ‘pencucian’. 2. ke-/-an + ‘suci’ = Konfiks ini menyebabkan kata dasar ‘suci’ ‘kesucian’ berubah kedudukan menjadi kata benda. ‘Kesucian’ dapat disamaartikan dengan kebersihan (hati) dan kemurnian yang juga memiliki kedudukan sebagai kata benda. 3. peN-/-an + ‘suci’= Dalam pengertian ini kata ‘persucian’ ‘penyucian’ menunjukkan proses atau cara agar menjadi ‘suci’. 64 4. meN-/-kan + ‘suci’ = Konfiks ini menyebabkan kata dasar ‘suci’ ‘menyucikan’ berubah kedudukan menjadi kata kerja. Kata ‘menyucikan’ dapat dipadankan dengan kata ‘membersihkan’, ‘memurnikan’, ‘menguduskan’. b. Reduplikasi (Pengulangan) Reduplikasi adalah proses pembentukan kata dengan cara mengulang bentuk dasar. Reduplikasi atau perulangan adalah proses pengulangan kata atau unsur kata. Reduplikasi juga merupakan proses penurunan kata dengan perulangan utuh maupun sebagian. Contohnya adalah "anjing-anjing", "lelaki", "sayur-mayur" dan sebagainya. Dalam bahasa Indonesia dikenal reduplikasi berikut: - reduplikasi fonologis, pengulangan fonem tanpa terlalu banyak mengubah arti dasar; - reduplikasi morfologis; - reduplikasi sintaktis, contoh: "malam-malam pekerjaan itu dikerjakannya", artinya "walau sudah malam hari, pekerjaan itu tetap dikerjakannya"; - reduplikasi gramatikal, pengulangan fungsional dari bentuk dasar yang meliputi reduplikasi morfologis dan sintaksis; 65 - reduplikasi idiomatis, atau 'kata ulang semu', adalah pengulangan kata dasar yang menghasilkan kata baru, contoh "mata-mata" artinya agen rahasia; - reduplikasi non-idiomatis, pengulangan kata dasar yang tidak mengubah makna dasar, contoh "kucing-kucing". Dalam hal ini, kata ‘suci’ tidak mengalami reduplikasi fonologis, moroflogis, sintaksis, idiomatis dan non-idiomatis. Namun kata ‘suci’ masih dapat mengalami bentuk pengulangan gramatikal. Kata ‘suci’ dapat berubah ke dalam bentuk kata ‘sesuci-sucinya’ dengan konsep kalimat seperti pada contoh kalimat ‘Sesuci-sucinya seorang bayi yang baru saja dilahirkan, tetap saja tidak akan mampu mengalahkan kesucian Allah di surga’. Kalimat ini mengandung pengertian bahwa walaupun ‘seorang bayi yang baru saja dilahirkan’ sering dijadikan sebagai ikon (lambang) kesucian di dunia ini, namun kesucian yang dimiliki bayi tersebut tidak akan pernah sedahsyat kesucian yang dimiliki ‘Sang Penciptanya’. Sehingga kata ‘sesucisesucinya’ memiliki makna ‘seberapapun sucinya’. c. Pemajemukan (Komposisi) Komposisi ialah proses pembentukan kata majemuk atau kompositum. Kata majemuk ialah gabungan kata yang telah bersenyawa atau membentuk satu kesatuan dan menimbulkan arti baru, contoh: kamar mandi, kereta api, rumah makan, baju tidur. Gabungan kata yang juga membentuk satu kesatuan, tetapi tidak menimbulkan 66 makna baru disebut ‘frasa’, contoh: ‘sapu ijuk’, ‘meja itu’, ‘kepala botak’, ‘rambut gondrong’, ‘mulut lebar’ Kata ‘suci’ pun hadir dalam berbagai komposisi yang mencerminkan sifat kemajemukan. Berikut ini akan dibahas beberapa kata majemuk yang mengandung kata ‘suci’ yang diambil dari konsep-konsep makna yang sering digunakan dalam agama Islam maupun agama Kristen. Kata No. Arti Majemuk 1. Kemah suci Kemah suci berasal dari bahasa Ibrani Mishkan ( )משכןyang artinya ‘tempat tinggal Allah’. Kemah suci merupakan tempat ibadah sentral yang dapat dipindah-pindahkan untuk bangsa Ibrani sejak masa mereka meninggalkan Mesir setelah peristiwa Exodus (pembebasan dari Mesir), hingga masa para hakim ketika mereka terlibat dalam upaya penaklukan negeri Kanaan, hingga unsur-unsurnya dijadikan bagian dari Bait Allah yang permanen di Yerusalem sekitar abad ke-10 SM. 2. Bait suci Bait suci adalah adalah sebutan untuk pusat peribadatan bangsa Israel dan orang 67 Yahudi di Yerusalem pada zaman kuno, yang terletak di Bukit Bait Suci. Bangunan ini digunakan untuk beribadah dan mempunyai fungsi utama untuk mempersembahkan kurban korbanot. Selama beberapa abad tempat ini menjadi pusat ibadah agama Yahudi. 3. Orang suci Orang suci adalah manusia yang memiliki mata batin dan dapat memancarkan kewibawaan rohani, serta menerina mempunyai kepekaan untuk gaib, dalam getaran-getaran penampilannya dapat mewujudkan ketenangan dan penuh kasih, yang di sertai kemurnian lahir dan batin di dalam mengamalkan ajaran agama, tidak terpengaruh oleh gelombang duniawi. 4. Para suci Kata majemuk ‘para suci’ ini hanya muncul sekali dalam Alkitab. Terdapat dalam kitab Ayub 15:15,” Sesungguhnya, para suci-Nya tidak dipercayai-Nya, seluruh langit pun tidak bersih pada pandnaganNya”. Dalam perikop ini dikemukakan pendapat Elifas nahwa orang fasik akan bisasa. Dalam ayat ini yang dimaksud dengan ‘orang suci’ adalah orang-orang yang seolah-olah menyembah Alah dengan sepenuh 68 hati menurut pandangan dunia, namun sebenarnya di mata Allah orang-orang tersebut termasuk dalam golongan orang fasik yang layak dibinasakan. 6. Batu suci ‘Batu suci’ yang dimaksudkan adalah batu Hajar Aswad. Diriwayatkan oleh Ibn Abu Abbas: “Hajar Aswad turun dari surga berwarna lebih putih dari susu lalu berubah warnanya jadi hitam akibat dosa-dosa bani Adam." 7. Tempat suci ‘Tempat suci’, tempat ibadah atau tempat peribadatan merupakan tempat atau bangunan yang dianggap suci (dikeramatkan). Setiap umat mempunyai tempat suci dalam pelaksanaan ibadahnya. Adapun tempat ibadah dari agama resmi di Indonesia adalah Masjid (untuk umat Islam), Gereja (untuk umat Protestan dan Katholik), Pura (untuk umat Hindu), Wihara (untuk umat Buddha) dan Litang/kelenteng untuk umat Khonghucu. Pemerintah memberikan perlindungan akan tempat ibadah ini sebagai wujud nyata dari UUD 1945 tentang kebebasan beragama. 8. Kota suci Kota suci adalah kota-kota atau tempat yang 69 disucikan oleh agama, kepercayaan, golongan, sekelompok masyarakat tertentu yang menjadi pusat sejarah atau kepercayaan dari kelompok tersebut. 9. Kitab suci Kitab Suci adalah gabungan dari dua kata yaitu ‘kitab’ dan ‘suci’. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia kata ‘kitab’ memiliki arti sebuah buku sedangkan kata ‘suci’ memiliki arti ( bersih, dalam arti keagamaan yaitu bebas dari dosa, bebas dari noda, bebas dari kesalahan ). Di dalamnya berisi Wahyu Tuhan yang di bukukan, yang memuat ajaran-ajaran tentang seluruh aspek kehidupan bagi seluruh umat beragama. 2. Kedudukan Kata ‘suci’ di dalam Kalimat Sebelum melangkah lebih jauh, dalam model analisis kalimat yang dikembangkan Verhaar (1978:57), mengungkapkan bahwa konstituen kalimat dideskripsikan berdasarkan fungsi, kategori, dan peran. Dalam hal ini, verba, adjektiva, nomina merupakan pengisi kategorial suatu fungsi seperti subjek, predikat, objek dan peran sebagai pengisi semantis. Dengan demikian, pengetahuan tentang kategori kata/frasa diperlukan dalam pendeskripsian kalimat. 70 Telah dijelaskan sebelumnya bahwa untuk menentukan kategori atau kedudukan kata di dalam sebuah kalimat, maka sangat diperlukan pengetahuan yang benar mengenai pengertian masingmasing kategori sebagai berikut: a. Verba, dengan ciri-ciri sebagai berikut: - verba memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat; - verba mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas; - verba –khususnya yang bermakna keadaan- tidak dapat diberi perfiks ter- yang berarti ‘paling’; - pada umumnya, verba tidak dapat bergabung dengan katakata yang menyatakan makna kesangatan. b. Adverbia, merupakan kata yang menjelaskan verba, adjektiva, atau adverbia lain. c. Nomina, pronomina dan numeralia. Nomina adalah kata yang mengacu pada manusia, binatang, benda dan konsep atau pengertian. Pronomina adalah kata yang dipakai untk mengacu kepada nomina lain. Dan numeralia atau sering disebut kata bilangan adalah kata yang dipakai untuk menghitung banyaknya maujud atau sesuatu yang memiliki bentuk nyata (orang, binatang, barang) dan konsep. 71 Berbeda dengan kelas kata yang dipaparkan di atas yang memiliki arti leksikal, kata tugas hanya memiliki arti gramatikal. Hampir semua kata tugas tidak menjadi dasar untuk membentuk kata lain. Kata tugas dibagi menjadi: preposisi, konjungtor, interjeksi, artikula dan partikel penegas. Adjektiva yang merupakan kata yang memberikan keterangan yang lebih khusus tentang sesuatu yang dinyatakan oleh nomina itu sebagai atribut yang mengungkapkan kualitas atau keanggotaan dalam suatu golongan. Dalam hal ini penulis dapat menyimpulkan bahwa tidaklah mungkin kata ‘suci’ dimaskkan dalam kategori verba. Karena dalam kenyataannya, kata ‘suci’ ini: - tidak memiliki fungsi utama sebagai predikat atau sebagai inti predikat dalam kalimat; - tidak mengandung makna inheren perbuatan (aksi), proses, atau keadaan yang bukan sifat atau kualitas; - dapat mengalami proses morfologi prefiksasi ter- menjadi kata ‘tersuci’ yang artinya adalah ‘paling suci’. Kata ‘suci’ pun tidak memenuhi syarat sebagai adverbia yang merupakan kata yang dapat menjelaskan verba, adjektiva, atau adverbia lain. Kata ‘suci’ juga tidak mengacu pada seuatu yang berwujud seperti manusia, binatang, benda dan sebuah konsep atau pengertian, sehingga tidak dapat dimasukkan dalam jenis nomina. 72 Dengan demikian tentu saja merupakan hal yang sangat mustahil mengkategorikan kata ‘suci’ sebagai pronomina yang merupakan kata yang dipakai untk mengacu kepada nomina lain. Kata ‘suci’ memenuhi syarat sebagai adjektiva. Secara tradisional, adjektiva dikenal sebagai kata yang mengungkapkan kualitas atau keadaan suatu benda. Alwi (2003:171) berpendapat bahwa adjektiva adalah kata yang memberikan keterangan. Berikut ini adalah ciri adjektiva menurut para ahli. Menurut Chaer, kata-kata yang dapat diikuti dengan kata keterangan sekali serta dapat dibentuk menjadi kata ulang berimbuhan gabung se-/nya, misalnya kata indah (indah sekali, seindah-indahnya). Seperti halnya dengan kata ‘suci’ yang dapat diikuti dengan keterangan sekali dalam bentuk ‘tersuci’ serta dapat dibentuk menjadi kata ulang berimbuhan gabung dalam bentuk ‘sesuci-sucinya’. Kridalaksana (2005:59) mengungkapkan ciri-ciri adjektiva ini lebih terperinci, yaitu adjektiva merupakan kategori yang memiliki kemungkinan untuk: - bergabung dengan partikel tidak, ‘tidak suci’; - mendampingi nomina, ‘kemah suci’, ‘tempat suci’, ‘kitab suci’ dan sebagainya; - didampingi partikel seperti lebih, sangat, agak, ‘lebih suci’, ‘sangat suci’, ‘agak suci’; 73 - dapat hadir berdampingan dengan kata lebih…daripada… atau paling untuk menyatakan tingkat perbandingan, ‘lebih suci daripada (sesuatu yang lain)’; - dapat dibentuk menjadi nomina dengan konfiks ke-/-an, ‘kesucian’ yang memiliki makna yang sama dengan kata ‘kebersihan’ dan ‘kemurnian’; - dapat berfungsi atributif, predikatif, dan pelengkap. Sebagai adjektiva, kata ‘suci’ memiliki kedudukaan yang menarik. Secara kebahasaan, adjektiva dapat dihasilkan melalui proses transposisi dari verba atau nomina. Transposisi adalah perubahan kelas kata tanpa pengubahan bentuk. Selain itu, Adjektiva dapat menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan suatu kata. Bentuk Adjektiva pun beragam. Ada yang disebut dengan adjektiva dasar (monomorfemis) yang merupakan sebagian besar dari adjektiva, meskipun ada yang berbentuk pengulangan semu. Ada juga yang disebut dengan adjektiva turunan (polimorfemis) melalui proses afiksasi, pengulangan, penggabungan, dan pemajemukan. Dengan kata lain, sebuah adjektiva memiliki banyak varian bentuk yang mengindikasikan adanya variasi penggunaan dan konsep maknanya. 74 B. Aspek Kemaknaan Kata ‘suci’ 1. Jenis Makna yang Terkandung dalam Kata ‘suci’ Dalam bidang semantik, jenis makna dibedakan menjadi makna leksikal dan makna gramatikal, makna referensial dan nonreferensial, makna denotatif dan makna konotatif, makna kata dan makna istilah, makna konseptual dan makna asosiatif, makna idiomatikal dan peribahasa, makna kias, serta makna lokusi, ilokusi dan perlokusi. Oleh sebab itu, dalam pembahasan ini kata ‘suci’ akan ditelaah secara mendalam berdasarkan jenis-jenis makna yang terdapat di dalam bidang semantik. Berikut penjabarannya. a. Makna Leksikal dan Gramatial Kata ‘suci’ Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa ‘leksikal’ adalah bentuk adjektif yang diturunkan dari bentuk nomina ‘leksikon’ (vokabuler, kosa kata, perbendaharaan kata). Satuan dari leksikon adalah ‘leksem’, yaitu satuan bentuk bahasa yang bermakna. Jika leksikon kita samakan dengan kosakata atau perbendaharaan kata, maka leksem dapat kita samakan dengan kata. Dengan demikian, makna leksikal dapat diartikan sebagai makna yang bersifat leksikon, bersifat leksem, atau bersifat kata. Oleh sebab itu dapat disimpulkan bahwa makna leksikal adalah makna yang sesuai dengan referennya, makna yang sesuai dengan hasil observsi alat indra, atau makna yang sungguh-sungguh ada 75 dalam kehidupan kita. Dalam kalimat “ Allah Maha Adil, Maha Kasih dan Maha Suci”, kata ‘suci’ mengungngkapkan makna sebenarnya sebagai segala sesuatu yang bersih, tak berdosa, dan berhati murni. Tentunya dalam hal ini tidak akan ada intepretasi yang lain. Makna leksikal biasanya dipertentangkan atau dioposisikan dengan makna gramatikal. Jika makna leksikal berkenaan dengan makna leksem atau kata yang sesuai dengan referennya, maka makna gramatikal adalah makna yang hadir sebagai akibat dari adanya proses gramatika (seperti proses afiksasi, proses reduplikasi dan proses komposisi). Oleh karena makna sebuah kata, baik kata dasar maupun kata jadian, sering tergantung pada konteks kalimat atau konteks situasi maka makna gramatikal itu sering juga disebut ‘makna kontekstual’ atau ‘makna situasional’. Selain itu bisa juga disebut ‘makna struktural’ karena proses dan satuan-satuan gramatikal itu selalu berkenaan dengan struktur kebahasaan. Proses komposisi atau proses penggabungan dalam bahasa Indonesia juga banyak melahirkan makna gramatikal. Kata ‘suci’ akan memiliki kedudukan yang berbeda ketika telah mengalami perubahan secara gramatikal. Kata ‘suci’ yang merupakan kata sifat akan berubah menjadi kata kerja jika mengalami konfiksasi me-/-kan, berubah menjadi kata benda jika 76 mengalami konfiksasi ke-/-an, berubah menjadi keterangan alat jika dikenai prefiks peN- dan seterusnya. Perubahan kedudukan dalam kalimat ini tentunya pada akhirnya akan mempengaruhi maknanya. b. Makna Referensial dan Nonreferensial Kata ‘suci’ Perbedaan antara makna referensial dan makna nonreferensial diketahui dari ada atau tidaknya referen dari katakata itu. Bila kata-kata itu mempunyai referen, yaitu sesuatu di luar bahasa yang diacu oleh kata itu, maka kata tersebut disebut sebagai kata bermakna referensial. Namun, jika kata-kata tersebut tidak mempunyai referen, maka kata itu disebut kata bermakna nonreferensial. Sebagai contoh, kita dapat menyebut ‘pensil’ dan ‘penggaris’ memiliki makna referensial karena keduanya memiliki referen, yaitu sejenis peralatan tulis. Demikian juga dengan kata ‘suci’. Jika kata ‘suci’ disandingkan dengan kata ‘adil’, ‘kasih’ maka kata ‘suci’ akan disebut sebagai kata bermakna referensial karena kata ‘suci’ merupakan anggota dari kata-kata yang memiliki referen ‘TUHAN’. c. Makna Konotatif dan Denotatif Kata ‘suci’ 77 Hal yang paling mencolok untuk dapat membedakan makna denotatif dan makna konotatif adalah mengenai ada atau tidaknya ‘nilai rasa’. Setiap kata itu mempunyai (terutama yang disebut kata penuh) mempunyai makna denotatif, tetapi tidak setiap kata itu memiliki makna konotatif. Sebuah kata disebut memiliki makna konotatif apabila kata itu mempunyai ‘nilai rasa’, baik positif maupun negatif. Namun, jika suatu kata tidak memiliki nilai rasa, maka dikatakan tidak memiliki konotasi. Tetapi dapat juga disebut memiliki konotasi netral. Kata ‘suci’ dan ‘bersih’ memiliki denotasi yang sama. Keduanya sama-sama memiliki makna denotasi ‘terbebas dari kotoran’. Demikian juga dengan kata ‘suci’ dan kata ‘keramat’. Keduanya juga memiliki makna denotasi yang sama sebagai sesuatu yang dikhususkan. Makna denotasi pada dasarnya sama dengan makna referensial karena makna denotatif ini lazim diberi penjelasan sebagai makna yang sesuai dengan hasil observasi menurut pengelihatan, penciuman, pendengaran, perasaan atau pengalaman lainnya. Jadi, makna denotatif ini menyangkut informasi-informasi faktual objektif. Lalu karena itu maka denotasi sering disebut sebagai ‘makna sebenarnya’. Sedangkan makna konotatif memiliki keunikannya sendiri. Makna konotasi sebuah bahasa dapat berbeda dari satu kelompok masyarakat dengan kelompok masyarakat yang lain, 78 sesuai dengan pandangan hidup, dan norma-norma penilaian kelompok masyarakat tesebut. Misalkan saja kata ‘babi’. Kata tersebut memiliki konotasi negatif bagi komunitas-komunitas agama yang menajiskannya, namun bisa saja di dalam lingkungan masyarakat yang lain kata ini memiliki konotasi yang positif. Oleh sebab itu, makna konotatif dapat juga berubah dari waktu ke waktu. Seperti halnya kata ‘suci’ dan ‘bersih’, meskipun keduanya memiliki makna denotasi yang sama sebagai ‘keadaan yang bebas dari kotoran’, namun terdapat nilai rasa yang berbeda pada saat mengucapkannya. Jenis ‘bebas dari kotoran’ dari keduanya seolah-olah menyiratkan perbedaan tingkatan. Mungkin merupakan hal yang umum untuk mentebutkan ‘toilet itu bersih’ karena memang pada saat itu toilet baru saja selesai dibersihkan. Namun alangkah sangat berbeda ‘nilai rasanya’ apabila toilet yang telah dibersihkan itu disebut sebagai ‘toilet yang suci’. Inilah yang disebut dengan perbedaan nilai rasa. Hal ini juga berlaku dalam perbandingan kata ‘keramat’ dengan ’suci’ dan kata yang meliputi kata ‘suci’ lainnya. d. Makna Kata ‘suci’ Sebagai Sebuah Kata dan Sebuah Istilah Telah disinggung pada bagian terdahulu bahwa menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘kata’ adalah unsur bahasa yang 79 diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat digunakan dalam berbicara. Sedangkan ‘istilah’ adalah kata atau gabungan kata yang dengan cermat mengungkapkan makna konsep, proses, keadaan atau sifat yang khas dalam bidang tertentu. Melihat hal ini, tentunya harus sangat dibedakan mengenai makna kata dan makna istilah. Perbedaan adanya makna kata dan makna istilah didasarkan pada ketepatan makna itu dalam penggunaannya secara umum dan secara khusus. Dalam penggunaan bahasa secara umum acapkali kata-kata itu digunakan secara tidak cermat sehingga maknanya bersifat umum. Tetapi dalam penggunaan secara khusus, dalam bidang kegiatan tertentu, kata-kata itu digunakan secara cermat sehingga maknanya pun menjadi tepat. Makna sebuah kata walaupun secara sinkronis tidak berubah, tetapi karena berbagai faktor dalam kehidupan, dapat menjadi berifat umum. Makna kata itu baru menjadi jelas kalau sudah digunakan dalam suatu kalimat maka kata itu menjadi umum dan kabur. Berbeda dengan kata yang maknanya masih bersifat umum, maka istilah memiliki makna yang tetap dan pasti. Ketetapan dan kepastian makna istilah itu karena istilah itu hanya digunakan dalam bidang kegiatan atau keilmuan tertentu. Jadi, tanpa konteks kalimatnya pun makna istilah itu sudah pasti. Makna kata sebagai istilah memang dibuat setepat mungkin untuk menghindari 80 kesalahpahaman dalam bidang ilmu atau kegiatan tertentu. Di luar bidang tertentu, istilah sebenarnya dikenal juga adanya pembedaan kata dengan makna umum dan kata dengan makna khusus atau makna yang lebih terbatas. Dalam hal ini jika kita melihat kata majemuk ‘tempat suci’ dari sudut pandang makna secara umum, maka hal yang pertama kali terlintas di benak kita adalah makna referensial (misalkan dari kamus) dari kata tersebut. Kata ‘suci’ memiliki arti ‘bersih’, ‘keramat’, ‘tidak kena najis’. Hal ini akan menyebabkan perdebatan mengenai pengertian kata majemuk ‘tempat suci tersebut’. Bisa saja orang mengartikannya sebagai semua tempat yang bersih, atau semua tempat yang dikeramatkan atau bahkan semua tempat yang tidak terdapat benda-benda yang bersifat najis menurut syariat agama masing-masing (misalkan tempat yang tidak ada anjingnya disebut ‘tempat suci’). Hal ini akan berbeda jika kata ‘tempat suci’ tersebut digunakan dalam ruang lingkup ‘keagamaan’ yang sudah memiliki kesepakatan-kesepakatan khusus mengenai peristilahan. Maka tentunya akan menjadi lebih kongkret mengartikan kata majemuk ‘tempat suci’ tersebut. Misalkan saja dalam bidang keagamaan, kata majemuk ‘tempat suci’ akan diartikan sebagai tempat ibadah atau bangunan yang dianggap memiliki nilai magis karena kesakralannya. 81 e. Makna Konseptual dan Asosiatif Kata ‘suci’ Pembedaan makna konseptual dan makna asosiatif didasarkan pada ada atau tidak adanya hubungan (asosiasi, refleksi) makna sebuah kata dengan makna yang lain. Secara garis besar, Leech membedakan makna menjadi makna asosiatif dan makna konseptual. Makna konseptual adalah makna yang sesuai dengan konsepnya, makna yang sesuai dengan referennya dan makna yang bebas dari asosiasi atau hubungan apapun. Oleh sebab itu, sebenarnya makna konseptual ini sama dengan makna referensial, makna leksikal, dan makna denotatif. Sedangkan makna asosiatif adalah makna yang dimiliki sebuah kata berkenaan dengan adanya hubungan kata itu dengan keadaan di luar bahasa. Sebagai contoh, kata ‘melati’ berasosiasi dengan makna ‘suci’. Makna asosiatif ini sesungguhnya sama dengan perlambang-perlambang yang digunakan oleh suatu masyarakat bahasa untuk menyatakan suatu konsep lain. Karena makna asosiatif ini berhubungan dengan nilai-nilai moral dan pandangan hidup yang berlaku dalam suatu masyarakat bahasa yang berarti juga berurusan dengan nilai rasa bahasa, maka ke dalam makna asosiatif ini termasuk juga makna konotatif. Di samping itu ke dalamnya termasuk juga makna-makna lain seperti makna stilistika, makna afektif dan makna kolokatif. Makna 82 stilistika berkenaan dengan gaya pemilihan kata sehubungan dengan adanya perbedaan sosial dan bidang kegiatan di dalam masyarakat. Makna afektif berkenaan dengan perasaan pembicara pemakai bahasa secara pribadi baik terhadap lawan bicara maupun terhadap objek yang dibicarakan. Sedangkan makna kolokatif berkenaan dengan makna kata dalam kaitannya dengan makna kata lain yang mempunyai ‘tempat’ yang sama dalam sebuah frase (‘ko’ artinya ‘sama’/’bersama’; ‘lokasi’ artinya ‘tempat’). 2. Relasi Makna dalam Kata ‘suci’ a. Sinonimi Ada beberapa poin yang harus dipahami sebelum beranjak pada telaah sinonim. Sinonim dapat diartikan sebagai nama lain untuk benda atau hal yang sama. Secara semantik sinonim didefinisikan sebagai ungkapan (bisa berupa kata, frasa atau kalimat) yang maknanya kurang lebih sama dengan makna ungkapan lain. Dalam hal ini hubungan makna antara dua buah kata yang bersinonim bersifat dua arah. Dalam pembahasan di atas diungkapkan bahwa sinonim merupakan ungkapan yang maknanya ‘kurang lebih sama’. Hal ini berarti, dua buah kata yang bersinonim tersebut kesamaannya tidak seratus persen. Hal ini terjadi karena telah diungkapkan sebelumnya bahwa prinsip umum semantik adalah bentuk sebuah 83 kata yang berbeda dapat menimbulkan makna yang berbeda pula, walaupun dalam hal ini perbedaannya hanya sedikit. Demikian juga dengan kata-kata yang bersinonim, karena bentuknya berbeda, maka maknanya pun tidak sama persis. Hanya saja, katakata tersebut membawa infomasi yang serupa. Berikut ini adalah tabel daftar sinonim kata ‘suci’ yang diperoleh dari Tesaurus Bahasa Indonesia tulisan Eko Endarmoko3 : Sinonim Kata ‘suci’ No. 1. Kata ‘bersih’ Pengertian 1. Bebas dari segala kotoran; 2. bening dan tidak keruh (air), tidak berawan (langit); 3. tidak tercemar (terkena kotoran); 4. tulus, Ikhlas; 5. tidak bernoda, suci; tidak bercampur dengan unsur atau zat lain, asli. 2. 3. 3 ‘ceria’ ‘kalis’ 1. Bersih; 2. suci; 3. murni; 4. berseri-seri; 5. bersinar, cerah. 1. Suci, bersih, murni; Eko Endarmoko, Tesaurus Bahasa Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2006. 84 2. tidak berkilat atau bersinar karena tersaput sesuatu; 3. tidak dapat kena air atau tidak dapat basah; 4. tidak dapat kena penyakit, kebal (dari penyakit); 5. terhindar (dari bahaya) 4. ‘kudus’ 5. ‘maksum’ Suci, murni. 1. Terbagi, terpisah, tercerai, lepas; 2. terpelihara dari dosa dan kesalahan, bebas dari dosa dan kesalahan. 6. ‘murni’ 1. Tidak bercampur dengan unsur yang lain, tulen; 2. lugu, belum dipengaruhi oleh kehidupan kota besar; 3. tulus, suci, sejati; 4. belum terpengaruh oleh dunia luar. 5. keadaan yang masih suci (perawan), belum ternoda, belum pernah menikah. 7. ‘nirmala’ Tanpa cacat cela, bersih, suci, tidak bernoda. 8. ‘tahir’ Bersih, suci, murni. 9. ‘zakiah’ Suci, murni, bersih. 10. ‘sakral’ Suci, keramat. 11. ‘putih’ 1. Warna dasar yang serupa dengan warna 85 kapas; 2. mengandung atau memperlihatkan earna yang serupa dengan warna kapas. 3. murni, suci, tidak bernoda; 4. pucat. 12. ‘haram’ 1. terlarang (oleh agama Islam), tidak halal; 2. suci, terpelihara, terlindung; 3. sama sekali tidak, sungguh-sungguh tidak; 4. terlarang oleh undang-undang, tidak sah. 13. ‘fitrah’ 14. ‘bening’ Sifat asal, kesucian, bakat, pembawaan. 1. Bersih, putih, tidak bercampur tanah, jernih; 2. bersih, dan berkilau. 15. ‘keramat’ 1. suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan (tentang orang yang bertakwa); 2. suci dan bertuah yang dapat memberikan efek magis dan psikologis kepada pihak lain (tentang barang atau tempat suci). 16. ‘tulen’ Sejati (tidak bercampur), asli (bukan tiruan, tidak lancung) Terdapat 16 (enam belas) kata yang membawa informasi yang sama dengan kata ‘suci’. Dalam tabel tersebut telah dijelaskan 86 secara gamblang mengenai makna-makna yang terkaandung dalam setiap kata. Makna-makna tersebut tidak lantas sama persis, namun jika ditelusuri lebih dalam, kata-kata tersebut membawa informasi yang sama dengan informasi yang dibawa oleh kata ‘suci’. Kata ‘suci’ jika telah mengalami proses perubahan secara gramatikal ternyata memiliki sinonim yang memiliki makna berbeda pula. Berikut ini merupakan tabel daftar sinonim kata ‘suci’ yang telah mengalami proses afiksasi. Sinonim kata ‘suci’ yang Mengalami Proses Afiksasi No. 1. Kata ‘bersuci’ Sinonim ‘menyertu’ (membersihkan Arti Mencuci bagian tubuh yang kena najis (seperti dijilat anjing). diri –sebelum salat-, hidup suci –saleh-) ‘memberkati’ 1. Memberi berkat; ‘menyucikan’ 2. Mendoakan supaya Tuhan (membersihkan – mendatangkan berkah. batin, hati dan ‘menahbiskan’ 2. Menyucikan sesuatu (orang, air) sebagainya-, untuk keperluan keagamaan dalam memurnikan, agama Kristen. menguduskan) ‘memandikan’ 1. Membersihkan tubuh 87 (jenazah) (orang, hewan dan sebagainya) dengan cara menyiram atau memasukkannya ke dalam air; 2. menyucikan (tentang mayat); 3. memasukkan ke dalam air (atau barang cair), mencelupkan. ‘membersihkan’ 1. Membuat supaya bersih (dengan jalan mencuci, menyapu, menggosok dan sebagainya); 2. membinasakan, melenyapkan; 3. memulihkan, mengembalikan (nama baik). ‘purgatif’ 1. Bersifat membersihkan (berkaitan dengan pencernaan); 2. pencahar. 88 ‘kemurnian’ 1. Perihal murni, keaslian; 2. kesucian, kebersihan. ‘ketulusan’ Kesungguhan dan kebersihan (hati), kejujuran. ‘kesakralan’ Perihal keadaan sakral, kesucian. ‘kegadisan’ 1. Kemurnian seorang gadis, keperawanan; 2. sifat gadis. ‘kesucian’ (kebersihan –hati ‘kehormatan’ 3. 1. Pernyataan hormat, penghargaan; dan sebagainya-, 2. yang dihormati, tempat kita kemurnian) menaruh hormat; 3. kebesaran, kemuliaan; 4. nama baik, harga diri. 5. Kesucian (wanita). ‘keperawanan’ Perihal perawan, kesucian (kemurnian) seorang gadis, kegadisan. ‘virginitas’ Keperawanan, kesucian. ‘penyucian’ ‘pemurnian’ Proses atau tindakan memurnikan. (proses, cara, ‘purifikasi’ Penyucian, pembersihan. perbuatan ‘pemberkatan’ Proses, cara, perbuatan 4. menyucikan – memberikan berkat. 89 jiwa, jasmani, dan ‘pengudusan’ Proses, cara, perbuatan sebagainya-) mengkuduskan. ‘takdis’ Penyucian, pengudusan. b. Antonimi Kata antonimi berasal dari bahasa Yunani Kuno. Kata tersebut terdiri dari kata onoma yang artinya ‘nama’ dan anti yang artinya ‘melawan’, yang jika digabungkan dapat berarti ‘nama lain untuk benda yang lain pula’. Namun secara lengkap antonim merupakan ungkapan (biasanya berupa kata, namun tidak menutup kemungkinan juga dapat ditemui dalam bentuk frase atau kalimat) yang maknanya dianggap kebalikan dari makna ungkapan lain. Hubungan makna antara dua buah kata yang berantonim bersifat dua arah, artinya sifat ini berlaku kebalikan. Sama halnya dengan sinonim, antonim pun terdapat pada semua tataran bahasa (tataran morfem, tataran kata, tataran frase, dan tataran kalimat). Namun dalam bahasa Indonesia untuk tataran morfem (terikat) barangkali tidak ada. Namun hal ini tidak berlaku untuk bahasa-bahasa lain. Dalam berbagai sumber kata ‘antonim’ sering diistilahkan dengan ‘lawan kata’. Persoalan ini nampaknya menimbulan perdebatan yang panjang di antara para ahli bahasa. Hal ini didasarkan pada argumen bahwa pada dasarnya bukan kata- 90 katanyalah yang berlawanan, namun makna dari kata-kata tersebut yang berlawanan. Oleh sebab itu banyak yang beranggapan bahwa seharusnya bukan ‘lawan kata’ yang digunakan untuk mengistilahkan ‘sinonim’, tetapi ‘lawan makna’. Karena berkaitan dengan makna, maka sama halnya dengan sinonim, antonim pun tidak bersifat mutlak. Misalkan saja kata ‘hitam’ dan ‘putih’. Kedua kata ini tidak mutlak berantonim karena hubungan perbandingan maknanya tidak mutlak searah. Kata ‘suci’ pun memiliki makna yang berlawanan dengan makna-makna yang terkandung dari beberapa kata sebagai berikut: No. 1. Kata Kotor Arti 1. Tidak bersih, kena noda; 2. banyak bekas, sampahnya barang (barang busuk dan sebagainya), jorok, menjijikkan; 3. melanggar kesusilaan, tidak patut, keji; 4. tidak mengikuti aturan, tidak jujur. 2. Najis 1. Kotor yang menjadi sebab terhalangnya seseorang untuk 91 beribadah kepada Allah (misalkan: terkena jilatan anjing); 2. kotoran (tinja, air kencing); 3. jijik. 3. Cemar 1. Kotor, ternoda; 2. keji, cabul, mesum; 3. buruk, tercela. c. Hiponimi dan Hipernimi Kata ‘hiponimi’ berasal dari bahasa Yunani kuno yang terdiri dari kata onoma yang berarti ‘nama’ dan hypo yang berarti ‘di bawah’. Dengan demikian secara harafiah hiponim dapat diartikan sebagai nama yang termasuk di bawah nama lain. Sedangkan secara semantik, hiponim dapat diartikan sebagai ungkapan (biasanya berupa kata, tetapi dapat juga berupa frase atau kalimat) yang maknanya dianggap merupakan bagian dari makna suatu ungkapan lain. Relasi antara dua buah kata yang berhiponim ini adalah searah. Misalkan saja, kata ‘mujahir’ berhiponim terhadap kata ‘ikan’. Namun, kata ‘ikan’ tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’. Hal ini dikarenakan kedudukan umum-khususnya yang tidak sebanding. Kata ‘mujahir’ (makna lebih khusus) merupakan bagian dari kata 92 ‘ikan’ (makna lebih umum). Oleh sebab itu, sekali lagi kata ‘ikan’ tidak berhiponim terhadap kata ‘mujahir’, namun kata ‘ikan’ berhipernim terhadap kata ‘mujahir’. Konsep hiponimi dan hipernimi mengandaikan adanya kelas bawahan dan kelas atasan, adanya makna sebuah kata yang berada di bawah makna kata lainnya. Oleh sebab itu, ada kemungkinan sebuah kata yang merupakan hipernimi terhadap sejumlah kata lain akan menjadi hiponim terhadap kata lain yang hierarkial berada di atasnya. Yang perlu diperhatikan adalah, konsep hiponimi dan hipernimi mudah diterapkan pada kata benda, tetapi agak sulit diterapkan pada kata kerja atau kata sifat. Makna kata ‘suci’ dalam konsep makna hiponimi dan hipernimi ini akan disajikan dalam bagan berikut ini: ‘suci’ ‘bersih’ ‘murni’ ‘keramat’ ‘maksum’ Keterangan bagan: 1) Kata ‘suci’ berhipernim terhadap kata ‘bersih’, ‘murni’, ‘keramat’, dan ‘maksum’. Hal ini disebabkan karena maknamakna yang terkandung di dalam kata-kata tersebut sudah terangkum dalam makna kata ‘suci’. Sehingga kata ‘suci’ 93 memiliki kedudukan makna yang lebih tinggi dibandingkan dengan kata-kata yang lain. 2) Kata ‘bersih’ berhiponim terhadap kata ‘suci’. Sesuatu yang disebut ‘suci’ pasti memiliki makna ‘bersih’, namun sesuatu yang dikatakan ‘bersih’ belum tentu bermakna ‘suci’. Misalkan saja rumah yang bersih belum tentu juga merupakan rumah yang suci menurut lingkungan-lingkungan tertentu. Misalkan saja kaum beragama Islam akan menganggap sebuah rumah iru tidak suci karena si empunya rumah memelihara anjing, walaupun rumah tersebut dalam keadaan yang bersih secara fisik. Karena mungkin akan ada anggapan-anggapan bahwa di bagian-bagian tertentu dalam rumah tersebut sudah tercemar kotoran anjing yang menyebabkan seseorang harus bersuci. 3) Kata ‘murni’ berhiponim dengan kata ‘suci’. Di dalam kata ‘suci’ sudah terkandung makna kata ‘murni’. Namun belum tentu sesuatu yang murni tersebut dapat dikatakan sebagai sesuatu yang suci. ‘Susu murni’ misalnya. Memang tidak ada kandungan lain yang terdapat di dalam susu tersebut, 100% susu sapi. Namun susu semacam itu tidak akan pernah disebut sebagai ‘susu suci’. 4) Kata ‘keramat’ berhiponim dengan kata ‘suci’. Meskipun keduanya memiliki makna-makna ‘magis’ atau ‘supranatural’ 94 di dalamnya, namun kata ‘suci’ dan ‘keramat’ ini memiliki konsep yang berbeda. Sesuatu yang disucikan pasti merupakan sesuatu yang keramat, sehingga tidak boleh diperlakukan dengan sembarangan. Namun, sesuatu yang dikatakan ‘keramat’ belum tentu memiliki makna ‘suci’, karena di dalam kata ‘suci’ tersebut terdapat makna ‘bebas dari dosa’. Bisa saja sesuatu yang ‘keramat’ tersebut justru mendorong seseorang kepada hal-hal yang menjerumuskan dalam dosa. 5) Kata ‘maksum’ berhiponim dengan kata ‘suci’. Kedua kata ini memiliki unsur makna yang sama, yaitu ‘terpisah’. Hanya saja di dalam kata ‘suci’ terkandung makna terpisah baik dalam segi ragawi maupun rohani, sedangkan pengertian terpisah dalam kata ‘maksum’ hanya berkaitan dengan keadaan terpisah dalam arti raga duniawi. d. Polisemi Polisemi sering diartikan sebagai satuan bahasa (terutama kata, bisa juga frasa) yang memiliki makna lebih dari satu. Namun pada pembahasan terdahulu diungkapkan bahwa setiap kata hanya memiliki satu makna, yakni yang disebut sebagai makna leksikal atau makna yang sesuai dengan referennya. Dalam perkembangan selanjutnya, kompnen-komponen makna 95 ini berkembang menjadi makna-makna tersendiri. Makna-makna yang bukan makna asal dari sebuah kata bukanlah makna leksikal sebab tidak merujuk kepada referen dari kata itu. Lagipula kehadirannya harus pula dalam satuan-satuan gramatikal yang lebih tinggi dari kata seperti frase dan kalimat. Secara sepintas mungkin akan ada pendapat yang menyatakan bahwa sebenarnya polisemi dan homonimi ini memiliki kemiripan, bahkan ada yang berpendapat bahwa keduanya sama. Namun sebenarnya di antara homonimi dan polisemi ini memiliki perbedaan yang sangat mendasar. Perbedaan yang sudah sangat jelas adalah bahwa homonimi bukanlah sebuah kata, melainkan dua buah kata atau lebih yang kebetulan bentuknya sama. Kemudian, karena homonimi ini bukan sebuah kata, maka maknanya pun berbeda. Oleh sebab itu di dalam kamus, bentuk-bentuk homonimi didaftarkan sebagai entri-entri yang berbeda. Sebaliknya, bentuk-bentuk polisemi adalah sebuah kata yang memiliki makna lebih dari satu. Dengan demikian, oleh karena polisemi ini adalah sebuah kata, maka dalam kamus didaftarkan sebagai sebuah entri. Selain perbedaan tersebut, terdapat satu perbedaan lagi antara homonimi dan polisemi, yaitu makna-makna pada bentukbentuk homonimi tidak ada kaitan atau hubungnnya sama sekali antara yang satu dengan yang lain. Sedangkan makna-makna pada 96 kata yang polisemi masih ada hubungannya karena memang dikembangkan dari komponen-komponen makna kata-kata tersebut. Berikut ini akan digambarkan kata ‘suci’ dang memiliki kerangka bentuk polisemi: 1. ‘bersih’ dalam arti keagamaan, seperti tidak terkena najis, selesai mandi janabat. SUCI 2. Bebas dari dosa, bebas dari cela, bebas dari noda, maksum, keramat. 3. Murni. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa dalam bahasa Indonesia kata ‘suci’ setidaknya mengacu kepada tiga buah konsep makna. 3. Medan Makna dan Komponen Makna Kata ‘suci’ Dalam Kamus Linguistik karangan Kridalaksana4 menyatakan bahwa ‘medan makna’ (semantic field, semantic domain) adalah bagian dari sistem semantik bahasa yang menggambarkan bagian dari bidang kebudayaan atau realitas dalam alam semesta tertentu dan yang direalisasikan oleh seperangkat unsur leksikal yang maknanya berhubungan. Kata atau unsur leksikal yang maknanya berhubungan 4 Harimurti Kridalaksana, Kamus Linguistik, Gramedia, Jakarta, 1982. 97 dalam satu bidang tertentu jumlahnya tidak sama dari satu bahasa dengan bahasa lain. Hal ini disebabkan karena unsur-unsur leksikal dalam setiap bahasa berkaitan erat dengan kemajuan atau situasi budaya masyarakat bahasa yang bersangkutan. Kata-kata yang berada dalam satu medan makna dapat digolongkan menjadi dua, yaitu termasuk dalam golongan ‘kolokasi’ dan golongan ‘set’. Kolokasi berasal dari bahasa latin colloco yang berarti ‘ada di tempat yang sama dengan’. Pengertian ini menunjuk pada hubungan sintagmatik yang terjadi antara kata-kata atau unsurunsur leksikal itu. Jika koloasi merujuk pada hubungan sintagmatik karena sifatnya yang linear, maka ‘set’ menunjuk pada hubungan paradigmatik karena kata-kata atau unsur-unsur yang berada dalam suatu set dapat saling menggantikan. Suatu set biasanya berupa sekelompok unsur leksikal dari kelas yang sama yang tampaknya merupakan satu kesatuan. Hal lain yang penting adalah, setiap unsur leksikal dalam suatu set dibatasi oleh tempatnya dalam hubungan dengan anggota-anggota dalam set tersebut. Pengelompokan kata berdasarkan kolokasi dan set dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai teori medan makna, meskipun makna unsur-unsur leksikal itu sering bertumpang tindih dan batas-batasnya seringkali menjadi kabur. Kelemahann lainnya adalah pengelompokan ini juga kurang memperhatikan perbedaan antara yang 98 disebut makna denotasi dan makna konotasi, antara makna dasar dari suatu kata atau leksem dengan makna tambahan dari kata itu. Komponen makna atau komponen semantik (semantic feature, semantic property, atau semantic marker) mengungkapkan bahwa setiap kata atau unsur leksikal terdiri dari satu atau beberapa unsur yang bersama-sama membentuk makna kata atau makna unsur lesikal tersebut. Melalui pemaparan yang telah disampaikan sebelumnya, kata ‘suci’ pun memiliki komponen-komponen yang membentuk makna dari kata tersebut. Komponen-komponen makna ini nantinya akan membantu membedakan makna kata ‘suci’ dengan makna kata lain yang dianggap memiliki kemiripan makna (sinonim). SINONIM ‘ceria’ ‘kalis’ ‘kudus’ ‘maksum’ ‘murni’ ‘nirmala’ ‘tahir’ ‘zakiah’ ‘sakral’ ‘putih’ ‘haram’ ‘fitrah’ ‘bening’ ‘keramat’ ‘tulen’ 1. Bersih + + + - - + + + + - + + + + - + 2. -/+ + - - + -/+ + - + - - - + - - - 3. Bebas dari dosa Keramat - - - + - - - - - + - + - - + - 4. Murni -/+ + - + + + - + + - + + + + - + NO. ‘bersih’ KOMPONEN KATA ‘SUCI’ 99 4. Kata ‘suci’ di dalam Berbagai Bidang Pemakaian a. Agama Islam 1) Istilah-istilah yang Berkaitan dengan Kata ‘suci’ Sebelum berbicara lebih jauh mengenai pandangan Islam mengenai kata ‘suci’, berikut ini akan disajikan daftar istilah yang erat hubungannya dengan kata ‘suci’, yang nantinya akan dibahas secara lebih terperinci pada bagian-bagian berikutnya. No. 1. Istilah Pengertian ‘haram’ Iistilah dalam fikih atau syariat untuk menunjuk sesuatu yang dilarang dalam Islam; sesuatu yang dituntut Allah untuk ditinggalkan oleh setiap mukalaf dengan tuntutan yang tegas dan mengikat; jika dilarang akan membuahkan dosa. 2. Haramin Sebutan untuk kota Mekkah dan Madinah yang Syarifain (al- artinya “dua tanah yang suci/sakral”. Status Haramayn keharaman Mekkah merupakan permintaan Nabi asy-Syarifayn) Muhammad SAW, sedangkan keharaman Mekkah merupakan permintaan Nabi Ibrahim AS. Kata ‘haram’ di sini tidak terkait dengan kata ‘haram dalam istilah fikih. 3. ‘harem’ Ruang dalam rumah yang diperuntukkan bagi 100 perempuan dalam rumah tangga poligami. Kata ini diambil dari kata dalam bahasa Arab, alharam, yang berarti ‘larangan’. Pada zaman kekilafahan wilayah Turki pribadi Utsmani, bagi Harem sultan adalah yang tidak sembarang orang dapat memasukinya. Ruangan ini sering dijaga oleh para kasim. 4. ‘ihram’ Niat dalam pelaksanaan ibdah haji atau umrah, sehingga seseorang mengikatkan diri pada keharaman-keharaman tertentu; keadaan bersuci diri pada waktu melakukan ibadah haji dan umrah di Mekkah; meniatkan dan melakukan pekerjaan ihram untuk tujuan ibadah haji dan/atau umrah. 5. Muharam (al- Bulan ke-1 dalam kalender Hijriyah Muharram) (penanggalan Islam), yang lazimnya terdiri atas 29 hari. Bulan ini merupakan salah satu dari bulan haram atau yang disakralkan, selain bulan Zulkaidah, Zulhijah, dan Rajab. Tentu saja kesakralan keempat bulan itu lebih merujuk pada tradisi bangsa Arab di masa lalu yang mengharamkan diadakannya peperangan dalam bulan-bulan tersebut. Kata ‘muharam’ berarti 101 ‘terlarang’ yang merupakan turunan dari kata ‘haram’ dalam bahasa Arab. Pada hari kesepuluh bulan itu, disunnahkan untuk mengerjakan puasa sunnah yang disebut dengan puasa Asyura (hari ke-10). Kesunahan puasa ini berdasarkan pada salah satu hadis Nabi Muhammad SAW yang sempat bercita-cita untuk berpuasa pada hari ke10 (Muharam). Beberapa peristiwa penting yang terjadi dalam sejarah Islam pada bulan ini, antara lain: 1. Tahun baru Islam (1 Muharam) 2. Nabi Muhammad SAW mengalahkan Bani Muharin dan Bani Tsa’labah, dan suku dari klan Bani Gathafan (4H) 3. Wafatnya Khalifah ‘Umar bin al-Khaththab RA (2 Muharam) Kitab Tanbih al-Ghafilin menyebut beberapa peristiwa yang sudah dan akan terjadi juga diyakini berlangsung pada bulan ini. Misalnya, diciptakannya Nabi Adam AS yang kemudian dimasukkan ke surga (10 muharam), diciptakannya lautan dan surga, disembuhkannya penyakit Nabi Ayub AS, terbelahnya laut bagi 102 Bani Israil yang dikejar-kejar pasukan firaun, dilantiknya Nabi Sulaiman AS sebagai Raja. Selain itu, Hari Kiamat juga diyakini akan terjadi pada tanggal 10 Muharam. 6. Najis (an- Benda yang kotor dan menjijikkan dalam Najs) pandangan syariat. Namun, tidak selalu yang dianggap manusia kotor adalah najis, begitu pula sebaliknya. Misalnya, tanah atau debu yang dalam pandangan manusia adalah sesuatu yang kotor, justru dalam pandangan syariat dapat digunakan untuk bersuci (tayamum) selama tidak tersedia air. Sebaliknya, anjing maupun babi yang bagi sebagian manusia tidak menjijikkan ternyata dalam pandangan syariat dianggap najis. 7. Najis Najis berat, yaitu anjing dan babi dan keturunan Mugalazah dari keduanya atau salah satu dari keduanya. (Najis al- Cara menyucikan sesuatu dari najis ini adalah Mughallazhah) dengan membasuh air ke bagian tubuh atau pakaian yang terkena najis sebanyak 7 kali, dimana salah satu basuhan di antaranya menggunakan tanah yang suci. Jika najis tersebut diyakini belum hilang, maka lakukan basuhan tersebut kira-kira enam kali lagi. 103 8. Najis Najis ringan, yaitu kencing bayi laki-laki yang Mukhafafah usianya belum sampai dua tahun dan tidak ( Najis al- mengkonsumsi makanan selain air susu ibunya. Mukhaffafah) Cara menyucikan badan atau benda yang terkena najis ini cukup dengan memercikkan air secara merata sampai diyakini hilang zat najisnya. 9. Najis Najis sedang, seperti arak atau cairan minuman Mutawasitah keras; bangkai makhluk hidup, kecuali mayat (Najis al- manusia, ikan dan belalang; darah, nanah, Mutawasithah) muntah, kotoran atau tahi dan air seni semua makhluk hidup; susu binatang yang dagingnya bukan untuk dimakan, kecuali susu manusia; bagian tubuh yang terpotong atau terpisah dari hewan yang masih hidup (dianggap sebagai bangkai). Cara menyucikan sesuatu dari najis ini adalah dengan menghilangkan rasa, warna, dan baunya. Misal, pakaian yang terkena darah atau nanah, maka pakaian tersebut harus dicuci sampai rasa, warna dan bau darah atau nanah tersebut hilang. 10. 11. Tayamum (at- Bersuci dari hadas menggunakan debu dengan Tayamum) aturan-aturan yang telah ditetapkan syariat. Wudhu (al- Tindakan bersuci menggunakan air pada anggota 104 Wudhu) 12. Ziarah Ziyarat) badan tertentu. (az- Kunjungan ke tempat yang dianggap suci atau mulia; mendatangi kuburan tertentu untuk mendoakan yang sudah mati yang dikuburkan di situ. 13. Aulia Awliya) 14. Halal (al- Bentuk jamak dari kata ‘waliy’ (wali) yang berarti orang suci. (al- Sesuatu yang dibolehkan di dalam Islam. Halal) 2) Perihal Bersuci Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Alwi, 2007), kata ‘bersuci diartikan sebagai suatu proses membersihkan diri (sebelum salat). Ada dua perbedaan pendapat secara umum mengenai kata ‘bersuci’: a) ‘bersuci’ diartikan dengan terbebas dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman; b) ‘bersuci’ diartikan dengan proses pembersihan diri dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan 105 suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman. Islam mengajarkan tentang kebersihan. Baik kebersihan hati, badan, maupun lingkungan. Islam memandang bahwa memelihara kebersihan adalah masalah penting yang wajib diperhatikan dan laksanakan dalam kehidupan manusia seharihari. Lebih jauh, tak hanya kebersihan, islam mengajarkan pula tentang kesucian. bersih dan suci adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan. keduannya sangat erat berhubungan dengan kesehatan, meskipun arti katanya tak persis sama. Bersih merupakan kata sifat yang menunjukkan keadaan bebas dari kotoran. Kebersihan bersifat umum dan tidak terkait langsung dengan tata cara peribadatan. Namun demikian, tetap saja merupakan keharusan bagi setiap muslim untuk melaksanakannya dalam kehdupan sehari-hari. Sementara, suci dalam ajaran islam ialah terhindar dari najis dan hadas. Agar menjadi suci, seorang muslim haru mejalankan aturan berupa tata cara taharah (bersuci). Setelah bertaharah, baru kita dapat menjalankan ibadah-ibadah khusus, terutama sholat. Ada dua jenis kotoran dalam ajaran islam. Yang pertama adalah najis. Sifat najis adalah hissy (dapat dilihat). Misalnya air 106 kencing, tinja, darah, dan nanah. Yang kedua adalah hadas. sifat hadas adalah ma’nawi (abstrak, tak terlihat). Contohnya adalah buang angin untuk hadas kecil dan keluar mani untuk hadas besar (junub). 3) Hikmah Bersuci Islam percaya bahwa tak ada perintah Allah bagi umat manusia yang sia-sia. Semua pasti membawa kebaikan bagi manusia. Tak terkecuali soal bersuci. Ada manfaat yang berlimpah bagi manusia yang mau melaksanakan. Manfaat langsung tampak di mata adalah keindahan. Selain keindahan, ada manfaat yang tak kalah penting, yakni kesehatan. Banyak sekali penyakit yang datang dari kotoran. Misalnya, hanya karena jorok dan tidak mandi, maka jamur kulit akan segar tumbuh subur merembak dikulit. Belum penyakit – penyakit lain, yang menyerang pencernaan, misalnya. Itu baru kesehatan jasmani dan lingkungan. Padahal kebersihan dan keucian fisik juga membawa dampak pada kesehatan rohani manusia. Maka, menjaga kebersihan dan kesucian menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim. Itu semua adalah manfaat bersuci lahir dan batin secara umum. Lebih jauh, ada pula manfaat-manfaat khusus yang akan kita raih, terutama dalam tata cara taharah-taharah tertentu. 107 Berikut ini adalah manfaat-manfaat yang akan diperoleh dari aktivitas bersuci: a) Istinjak merupakan merupakan aktivitas jejang untuk membersihkan mencapai kesucian najis lahir. Utamanya adalah mencegah pelbagai penyakit yang ditimbulkan kotoran. Sedangkan untuk kesucian batin, istinjak merupakan saraana pendekatan manusia kepada Allah. Sebab dengannya seorang muslim bisa menjalankan ibadah secara sah dan benar. b) Wudu. Selain bertujuan dari hadas kecil, ada banyak sekali makna dan hikmah yang dapat kita renungkan dari seluruh rukun maupun sunnah wudu, antara lain: - berkumur-kumur merupakan lambang penyucian mulut dan lidah, agar terhindar dari makanan yang di haramkan Allah, serta menjaganya dari perkataan kotor atau sia-sia; - membasuh muka dan sudut-sudut mata dilakukan agar wajah selalu berseri indah, membuat orang lain senang melihatnya. Juga agar manusia selalu menjaga pandangan mata, menghindarkannya dari sesuatu yang terlarang untuk dilihat; 108 - membasuh tangan memuat makna agar tangan manusia terjaga dari perbuatan tidak terpuji, seperti merampas hak atau menyakiti tubuh orang lain; - mengusap sebagian kepala bertujuan agar pikiran manusia senantiasa bersih, dan otak kita mampu mampu menyerap ilmu Allah dengan jernih; - dengan membasuh kedua daun telinga, berarti manusia memelihara dari bunyi perkataan yang kotor dan tidak bermanfaat; - membasuh membasuh kedua kaki mengandung hikmah agar kaki terpelihara dari langkah yang salah, dari langkah-langkah menuju maksiat, dari langkah-langkah menjahui rida Allah. c) Tayamum. Yaitu mengusap tanah (debu) ke muka dan kedua tangan sampai siku dengan beberapa syarat. Tayamum adalah pengganti wudu atau mandi, sebagai keringanan bagi orang yang tidak dapat menggunakan air karena beberapa halangan, seperti sakit atau dalam perjalanan sukar menemukan air atau memang tidak ada air. Taymum dengan debu yang suci dapat dilakukan untuk menyucikan diri dari hadas kecil maupun hadas besar. Di dalam tayamum pun ada makna yang tersirat yang perlu direnungkan. Tayamum menggunakan debu. 109 Secara umum, kita menganggap debu itu kotor (misalnya saat menempel di pakaian). Dari sudut pandang agama, debu itu suci. Itulah yang akan memaksa manusia untuk sadar bahwa jasad manusia tak beda jauh dengan debu. Bersuci dengan debu mengingatkan manusia akan kejadian asal manusia, yakni tanah kakek moyang bangsa manusia Adam, diciptakan Allah dari tanah. Kelak setelah mati, jasad semua anak turunnya pun akan lebur kembai menjadi tanah. Hikmah yang lain adalah membuat manusia bersyukur bahwa Allah selalu memberikan banyak kemudahan. Karena air wudu memang tak selalu bisa dapat di setiap tempat, maka debu yang ada dimanamana menjadi pilihan. d) Menghilangkan hadas besar dengan mandi wajib. Bagi orang junub (keadaan kotor karena keluar mani), secara lahiriah mandi wajib tak berdampak besar pada kebersihan tubuh. Hanya saja kesegaran fisik nya akan pulih, sehingga dapat kembali menjalankan aktivitas kehidupan dengan baik. Lebih jauh, secara batiniah sungguh besar manfaatnya yang akan didapat. Sebab mandi junub dapat menetralkan pengaruh kejiwaan akibat hubun gan seksual suami istri, yang menyerupai naluri seksual hewani. Sehingga seorang muslim dapat kembali kesuciaannya. 110 Bagi perempuan yang usai haid atau melahirkan, wajib mandi dapat membersihkan kotoran yang melekat pada dirinya. Juga memulihkan kekuatan serta kesegaran tubuhnya, sehingga bisa kembali beribadah dengan baik kepada Allah. 4) Najis dan Haram Halam daftar sinonim kata ‘suci’ yang telah disampaikan pada bagian sebelumya, kata ‘suci’ tersebut dipadankan dengan kata ‘haram’. Disebutkan bahwa selain bermakna ‘terlarang’ dan ‘halal’, kata haram juga memiliki makna ‘suci’, ‘terpelihara’, dan ‘terlindung’. Kedua makna yang terkandung dalam kata ‘haram tersebut akan tampak sekali perbedaannya jika dirangkai dalam kalimat-kalimat berikut ini: a. Haram hukumnya apabila makan bangkai. b. Wanita itu melahirkan anak haram. c. Tanah haram di Mekah itu adalah semulia-mulianya tempat di atas bumi. Jika ditelusuri secara umum, maka kalimat (a) akan memiliki maksud bahwa ‘bangkai’ itu tidak boleh/dilarang untuk dimakan karena mungkin akan menyebabkan kesehatan tubuh terganggu. Namun kalimat (b), kata ‘Mekah’ disebut sebagai ‘Tanah Haram’. Hal ini bukan berarti bahwa posisi 111 ‘Mekah’ disejajarkan dengan kata ‘Bangkai’ yang sama-sama mengandung makna ‘haram’. Inilah yang menjadi poin pentingnya dan kadang-kadang menimbukan perdebatan. Kata ‘haram’ tidak boleh diartikan secara sembarangan. Konteks ‘dilarang’ ini bukan hanya berkaitan pada apapun yang dianggap hina, dan tidak bai untuk keberlangsungan hidup manusia, namun manusia sebagai makhluk berdosa juga harus mengakui bahwa ada kuasa yang pasti lebih tinggi darinya, yang menyebabkan dirinya tidak lagi layak untuk bersentuhan dengan hal-hal tersebut. Berbeda lagi dengan kalimat b). Dalam hal ini kata ‘haram’ yang dirangkaikan menjadi frasa ‘anak haram’, memiliki arti negatif. ‘Anak haram’ diartikan sebagai anak yang lahir di luar ikatan perniahan, Tentu saja ‘haram’ dalam konteks ini tidak dapat disamaartikan dengan kata ‘suci’ Oleh sebab itu kata ‘haram’ di sini setidaknya memiliki dua tipe pandangan yang berbeda. Di sisi lain kata ‘haram’ diartikan sebagai sesuatu yang dilarang untuk disentuh, dimakan, ataupun digunakan karena sifat-sifat fisiknya yang akan menyebabkan kerugian bagi diri manusia. Di sisi lain terdapat makna kata ‘haram’ yang dapat diartikan sebagai sesuatu yang sakral sehingga manusia yang telah berdosa dilarang untuk menyentuhnya karena sifatnya yang suci tersebut. 112 Namun, ada satu masalah lagi yang menjadi topik yang apik untuk dibicarakan. Secara umum banyak masyarakat pengguna bahasa Indonesia yang masih sulit memahami makna sebenarnya kata ‘haram’, sehingga acap kali kata ini disejajarkan, bahkan disama artikan dengan kata ‘najis’. Dalam bagian ini akan dijelaskan lebih mendalam mengenai perbedaan kata ‘najis’ dan ‘haram’ agar nantinya dapat menyelesaikan masalah kesalahpahaman tersebut. Setiap yang najis itu haram dimakan, namun belum tentu yang haram itu najis. Kaedah ini disebutkan oleh para ulama di antaranya Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau berkata, “Setiap najis diharamkan untuk dimakan, namun tidak setiap yang haram dimakan itu najis.” (Majmu’atul Fatawa, 21: 16). Kaedah ini bermakna setiap yang najis haram dimakan. Sedangkan sesuatu yang haram, belum tentu najis, bisa jadi pula suci. Penerapan kaedah ini adalah sebagai berikut. - Racun haram untuk dikonsumsi karena memberikan dhoror (bahaya) pada tubuh. Namun dalam hal ini, haram tidak semata-mata dihukumi najisnya. Karena keharaman belum tentu mengkonsekuensikan najis. - Makanan yang dicuri diharamkan untuk dikonsumsi karena tidak ada izin si empunya atau pula tidak diizinkan oleh 113 syari’at. Akan tetapi sesuatu yang haram ini tidak menunjukkan najisnya. - Khomr sudah disepakati haramnya, namun -menurut pendapat terkuat- khomr tidaklah najis. Karena hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang najisnya. Imam Asy Syaukani rahimahullah berkata mengenai firman Allah, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah adalah kotor termasuk perbuatan syaitan” (QS. Al Maidah: 90). Khomr di sini dikaitkan dengan anshob(berhala) dan azlam (anak panah). Ini sudah mengindikasikan bahwa yang dimaksud adalah kotor maknawi dan bukan najis syar’i (Lihat Ad Daroril Mudhiyyah Syarh Ad Duroril Bahiyyah, hal. 62-63). - Darah -yang dialirkan- dihukumi haram berdasarkan ayat, “ Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan atasmu (memakan) bangkai, darah, daging babi dan apa yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah; tetapi barangsiapa yang terpaksa memakannya dengan tidak menganiaya dan tidak pula melampaui batas, maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun Penyayang.” (QS. An Nahl: 115). lagi Maha 114 Yang dimaksudkan darah yang dialirkan disebutkan dalam ayat, “Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi – karena sesungguhnya semua itu kotor – atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa, sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.” (QS. Al An’am: 145). Namun meskipun darah diharamkan tetapi tidaklah najis. Hukum darah itu kembali pada hukum asal segala sesuatu yaitu suci sampai ada dalil yang menyatakan najisnya. Darah yang dianggap najis hanyalah darah haid, selain itu dihukumi akan sucinya. Mengenai kaedah di atas dijelaskan pula bahwa sesuatu yang najis tentu saja haram, namun tidak sebaliknya. Karena najis berarti tidak boleh disentuh dalam setiap keadaan. Hukum najisnya suatu benda berarti menunjukkan haramnya, namun tidak sebaliknya. Diharamkan memakai sutera dan emas (bagi pria), namun keduanya itu suci karena didukung oleh dalil dan ijma’ (konsensus para ulama). Jika engkau mengetahui hal ini, maka haramnya khomr dan daging keledai jinak sebagaimana disebutkan dalam dalil tidak menunjukkan akan najisnya. Jika ingin menyatakan najis, harus didukung dengan dalil lain. Jika tidak, maka kita tetap berpegang dengan hukum asal yaitu segala sesuatu 115 itu suci. Siapa yang mengklaim keluar dari hukum asal, maka ia harus mendatangkan dalil. Sedangkan bangkai dihukumi najisnya karena dalil mengatakan haram sekaligus najisnya. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan yang mencolok antara kata ‘haram’ dan ‘najis’. Oleh sebab itu diharapkan bagian ini akan membantu menyelesaikan kesalahpahaman dalam memaknai keduanya. b. Agama Kristen Sebuah pepatah bijak mengatakan bahwa salah satu cara untuk mengetahui pola pemikiran seseorang adalah dengan cara memahami buku-buku apa saja yang pernah Ia baca. Penulis pun meyakini bahwa informasi-informasi yang diperoleh seseorang dari buku yang dibacanya dapat membentuk konsep pemikiran seseorang terhadap hal-hal tertentu. Atas dasar pemikiran yang demikian, maka pada bagian ini penulis akan menyajikan hasil penelitian mengenai pandangan agama Kristen tentang kata ‘suci’ dengan jalan menguraikan secara detil penggunaan-penggunaan kata ‘suci’ di dalam Alkitab (kitab suci agama Kristen). Tentunya hasil penelusuran dari Alkitab ini akan penulis lengkapi dengan beberapa sumber yang diharapkan dapat menunjang penjelasan. 1) Kata ‘kudus 116 Dalam bukunya, Otto (1946:731) menjelaskan bahwa Allah adalah kudus, artinya Ia bebas terhadap dunia. Dia disebut dengan "nama" Kudus yang berasal dari bahasa Ibrani qadosh. Otto mendefinisikan konsep tentang ‘yang kudus’ sebagai yang dianggap sebagai numinus. Otto menjelaskan bahwa numinus tersebut merupakan pengalaman yang nonrasional dan tidak terinderakan, atau perasan yang objek utamanya langsung berada di luar diri pribadi. Ia menciptakan istilah yang baru ini berdasarkan kata dari bahasa Latin numen yang berarti ‘tuhan’. Ungkapan ini secara etimologis tidak berkaitan dengan gagasan Immanuel Kant tentang numeneon, yaitu sebuah istilah dari bahasa Yunani yang merujuk kepada suatu realitas yang tidak dapat diketahui yang ada di balik segala sesuatu. Yang numinus adalah sebuah misteri yang mempesona dan sekaligus juga yang menakutkan. Hal ini juga menjadi paradigma bagi studi agama-agama perhatian yang memusatkan pada kebutuhan untuk menyadari hal-hal yang religius sebagai sebuah kategori orisinil di dalam dirinya sendiri yang tidak pernah dapat direduksi. Secara lebih lengkap, Istilah-istilah yang prinsipal adalah qadosy atau qadosh atau kadosh dan hagios dalam bahasa Yunani. Terjemahan yang lazim bagi keduanya adalah 117 kudus, walaupun kadang-kadang keduanya diterjemahkan dengan 'suci'. Perbedaan antara kudus dan suci tidaklah gamblang, justru bisa benar mengatakan bahwa bila yang dipikirkan adalah kualitas hakiki Tuhan dan manusia, maka dipakailah istilah kudus; istilah suci menekankan akibat daripada sikap yg menjurus kepada kesucian. Qadosy dapat berarti 'terpisah' (dikhususkan) atau 'terpotong dari', digunakan terhadap keadaan terlepasnya seseorang atau suatu benda (supaya Tuhan dapat memakainya, dan dengan demikian terhadap keadaan orang atau obyek yang dilepas itu). Hagios mempunyai dasar pemikiran yang sama mengenai keterpisahan dan kesucian terhadap Allah. Kata 'mahakudus' dalam Kisah 2:27 dan kata 'kudus' dalam Wahyu 15:4 adalah terjemahan dari kata Yunani hosios (di tempat lain diterjemahkan 'suci' atau 'saleh'), suatu kata yg mengandung arti hubungan yg benar dengan Allah, mungkin juga dalam pengertian kekasih. 2) Kekudusan Allah Untuk membahas mengenai konsep ‘kudus’ yang dikenakan pada Allah sang Maha Sempurna, maka dipaparkan ayat-ayat yang berkaitan sebagai berikut: 118 - Imamat 19:2, "Berbicaralah kepada segenap jemaah Israel dan katakan kepada mereka: Kuduslah kamu, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, kudus.” - Yesaya 57:15, “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Yang Mahakudus nama-Nya: "Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk." - Yosua 3:5. ”Berkatalah Yosua kepada bangsa itu: "Kuduskanlah dirimu, sebab besok TUHAN akan melakukan perbuatan yang ajaib di antara kamu." - Keluaran 15:11, “ Siapakah yang seperti Engkau, di antara para allah, ya TUHAN; siapakah seperti Engkau, mulia karena kekudusan-Mu, menakutkan karena perbuatan-Mu yang masyhur, Engkau pembuat keajaiban?” Ayat-ayat tersebut menunjukakan kekudusan Allah yang tidak ada bandingannya. Istilah kudus di Perjanjian Lama sama dengan di Perjanjian Baru, dipakai dalam pengertian tertinggi terhadap Allah. Istilah itu menunjuk, pertama, kepada keterpisahan Allah dari ciptaan dan bahwa Ia mengungguli ciptaan itu. Demikianlah 'kudus' menggambarkan transendensi 119 Allah. YHWEH, karena 'kekudusan'-Nya berdiri bertentangan dengan ilah-ilah (Keluaran 15:11) demikian juga dengan seluruh ciptaan (Yesaya 40:25). Istilah itu juga menunjuk kepada hubungan, dan mengandung kedudukanNya arti ketentuan sendiri Allah terhadap untuk memelihara makhluk-makhluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, 'sifat dalam mana YHWEH menjadikan diriNya sendiri ukuran mutlak bagi diriNya sendiri'. Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan manusia (Hosea 11:9), itu adalah sama artinya dengan 'Allah yg tertinggi', dan terutama menekankan sifat Allah yg sangat menakutkan (Mazmur 99:3). Karena kekudusan meliputi setiap keistimewaan sifat Allah, maka hal itu dapat disifatkan sebagai: demikianlah Allah adanya. Sebagaimana sinar matahari mencakup semua warna dalam spektrumnya dan menjadi cahaya (terang) demikianlah dalam penyataan diriNya sendiri, semua sifat Allah menjadi satu dalam kekudusan; untuk maksud itu maka kekudusan pernah disebut: 'sifat dari segala sifat' yg kesatuannya mencakup segala sifat Allah. Untuk mengerti keberadaan dan perangai Allah sebagai hanya kumpulan kesempurnaan yang abstrak, berarti membuat Allah tidak riil. Di dalam Allah dari Alkitab, kesempurnaan hidup berfungsi dalam kekudusan. 120 Kitab Suci menekankan kemantapan sifat moral (Wahyu 22: 11), juga menekankan segi pembalasan dari kekudusan Allah, yg mencakup dunia dalam penghakiman. Berdasarkan hakikat Allah, hidup diatur sedemikian rupa sehingga dalam kekudusan terdapat 'sejahtera', dalam dosa terdapat 'kutuk'. Karena kekudusan Allah tidak bisa membuat dan mengindahkan suatu alam semesta di mana dosa dapat tumbuh dengan sempurna, maka kualitas pembalasan dalam pemerintahan Allah menjadi jelas. Tapi pembalasan itu bukanlah akhir dari segala sesuatu; kekudusan Allah menjamin bahwa akan ada perbaikan akhir, suatu regenerasi dalam bidang moral. Menggunakan kata 'kudus' atas orang yang dinobatkan bagi maksud-maksud agamawi. Misalnya para imam yang ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yang disucikan bagi Allah tidak sama dengan bangsa-bangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini 'kudus' mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terlepas dari PB, sebagaimana dalam 1 Korintus 7:14, di mana suami yang tidak beriman dikuduskan karena hubungannya dengan istri yang beriman demikian sebaliknya. 121 Tapi konsepsi mengenai kekudusan berkembang, sejalan dengan penyataan Allah, dari luar ke dalam, dari yang bersifat upacara kepada kenyataan; maka 'kudus' mendapat arti etis yang kuat, dan ini adalah maknanya, yang nyaris satu-satunya makna dalam PB. Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yg Ia terapkan pada diriNya sendiri dan segi yg Ia kehendaki supaya makhluk ciptaan-Nya mengenal Dia demikian. Dan para nabi menyatakan bahwa Allah menghendaki untuk mengkomunikasikan kekudusan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya Ia menuntut kesucian dari mereka. Apabila 'Aku ini kudus adanya', demikianlah pernyataan Allah sendiri yang mengangkat hakikat diriNya mengungguli makhluk ciptaan-Nya, demikianlah 'hendaknya kamu kudus' adalah seruan Allah bagi makhluk ciptaan-Nya, supaya mereka dapat menjadi orang yang mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (Ibrani 12:10). Kekudusan Allah dikaruniakan kepada jiwa manusia, pada saat ia dilahirkan kembali, dan itulah yang menjadi sumber dan landasan bagi tabiat yang suci. 3) Hal-hal yang Berkaitan dengan Kata ‘suci’ 122 Dalam tradisi kekristenan, ada beberapa hal yang dianggab mengandung unsur ‘suci’. Berikut ini akan dipaparkan beberapa ayat yang berkaitan dengan kata ‘suci’. - Bilangan 7:1. “Pada waktu Musa selesai mendirikan Kemah Suci, diurapinnya dan dikuduskannyalah itu dengan segala perabotnya, juga mezbah dengan segala perkakasnya; dan setelah diurapi dan dikuduskannya semua itu .....” - 1 Samuel 3:3. “ Lampu rumah Allah belum lagi padam. Samuel telah tidur di dalam bait suci TUHAN, tempat tabut Allah.” - Titus 1:15. “ Bagi orang suci semuanya suci; tetapi bagi orang najis dan bagi orang tidak beriman suatu pun tidak ada yang suci, karena baik akal maupun suara hati mereka najis.” - Ayub 15:15. “Sesungghnya, para suci-Nya tidak dipercyai-Nya, seluruh langit pun tidak bersih pada pandangannya.” - Ratapan 4:1. “Ah, sungguh pudar emas itu, emas murni itu berubah; batu-batu suci itu terbuang di pojok tiap jalan.” - Yohanes 11:48. “Apabila kita biarkan Dia, maka semua orang akan percaya kepada-Nya dan orang-orang Roma Akan datang dan akan merampas tempat suci kita sert bangsa kita.” 123 - Matius 22:29. “Yesus menjawab mereka: “Kamu sesat, sebab kamu tidak mengerti Kitab Suci maupun kusa Allah. 4) Hari Sabat Hal yang tak kalah penting dari tradisi agama Kristen adalah kepercayaannya kepada hati ‘sabat’ sebagai hari yang dikuduskan. Memperingati hari Sabat merupakan hukum ke empat dalam sepuluh perintah Allah. Keluaran 31:14 mengungkapkan bahwa, “Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu hatrus dilenyapkan dari antara bangsanya.” Kata shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata kerja shabat, dalam bahasa yang sama, yang secara harafiah berarti "berhenti", atau shev yang Meskipun shabbat hampir secara berarti universal "duduk". diterjemahkan "istirahat" atau suatu "masa istirahat", terjemahan yang lebih harafiah adalah "berhenti", dengan implikasi "berhenti dari melakukan pekerjaan". Jadi Sabat adalah hari untuk orang berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat. Kata Ibrani untuk melakukan "mogok", misalnya, berasal dari akar kata Ibrani yang sama dengan shabbat, dan mengandung implikasi yang sama, yaitu bahwa para buruh yang mogok secara aktif 124 berhenti melakukan pekerjaan, dan bukan secara pasif "beristirahat". Hal ini menjelaskan pertanyaan teologis yang sering diajukan tentang mengapa Allah perlu "beristirahat" pada hari yang ketujuh dalam penciptaan alam semesta, seperti yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian pasal 1. Bila dipahami bahwa Allah "berhenti" bekerja dan bukannya "beristirahat" dari kerjanya, penggunaan ini lebih konsisten dengan pandangan Alkitab tentang Allah yang Mahakuasa yang tidak membutuhkan "istirahat". Namun, sering diikuti terjemahan yang jauh lebih umum yaitu sabat sebagai "istirahat". Sabat adalah hari perayaan dan salah satu hari beribadah. Pada hari Sabat orang Yahudi menyajikan makanan yang berlimpah sebanyak tiga kali setelah kebaktian di sinagoga selesai: pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan Sabtu sore sebelum Sabat berakhir. Lebih banyak orang Yahudi yang berusaha menghadiri kebaktian di sinagoga pada hari Sabat, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya. Selain hari raya Yom Kippur (karena hari itu bukanlah hari yang menyedihkan, melainkan hari raya yang besar), hari-hari puasa umum ditunda atau dimajukan sehari bila jatuhnya bersamaan pada hari Sabat, dan orang-orang berduka yang menjalani Shivah, dari luarnya berusaha tampil biasa saja 125 selama hari Sabat. Mereka bahkan dilarang memperlihatkan tanda-tanda kedukaan di depan umum. Saat ini beberapa gereja di seluruh dunia yang juga merayakan dan memelihara Hari Sabat pada Hari Sabtu yaitu Gereja Yesus Sejati (True Jesus Church) dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist Church) serta Jemaat Allah Global Indonesia. Waktu yang digunakan untuk berbakti dan merayakan Hari Sabat sama dengan waktu perayaan Sabat orang Yahudi yaitu dimulai dari Jumat Malam (tepat di saat matahari terbenam) dan berakhir pada Sabtu Malam (tepat di saat matahari terbenam). 5) Perihal Makanan yang Halal dan Haram Dalam hukum Yahudi dikenal apa yang disebut dengan kosher. Kosher , yang berasal dari kata bahasa Ibrani kashrut ataukashruth adalah istilah dalam hukum tentang makanan Yahudi. Sesuai disebut kosher (istilah bahasa dengan halakha suatu Inggris, dari makanan istilah bahasa Ibrani kasher, yang berarti "layak" (dalam konteks ini berarti layak untuk dimakan orang Yahudi). Sebagian besar hukum dasar kosher berasal dari Kitab Imamat dan Ulangan di dalam Torah. Ada banyak sekali alasan yang dikemukakan untuk hukum-hukum ini, yang 126 merentang dari filosofis dan ritualistik hingga praktis dan higienis. Kata kosher telah dipinjam oleh banyak bahasa. Dalam bahasa Inggris, kata ini digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sah, diizinkan, asli, atau otentik. Dalam Kekristenan dewasa ini terdapat kelompok-kelompok yang masih memelihara hukum kosher ini. Berikut ini akan dipaparkan beberapa aturan dalam makanan antara yang boleh dan yang tidak boleh dimakan. Pemaparan ini tidak akan seterperinci hukum dalam Yahudi yng masih memegang teguh 613 atutan torah. Pemaparan ini diambil dari sebuah perikop Alkitab dalam Imamat 11:1-47. Dilarang Tidak Dilarang Unta, karena memang memamah Setiap binatang yang berkuku belah, biak, tetapi berkuku belah. (ayat 4) yaitu yang kukunya bersela panjang dan yang memamah biak (ayat 3) Pelanduk, memamah karena biak, memang Belalang gambar, belalang kunyit, tetapi tidak belalang padi. (ayat 22) berkuku belah. (ayat 5) Kelinci, karena memang memamah biak, tetapi tidak berkuku belah. (ayat 6) Babi hutan, berkuku belah, karena memang yaitu kukunya 127 bersela panjang, tetapi tidak memamah biak. (ayat 7) Segala yang tidak bersirip atau bersisik di dalam lautan dan di dalam sungai. (ayat 10) Bangsa burung: burung rajawali, ering janggut dan elang laut, elang merah dan elang hitam, burung gagak, burung unta, burung hantu, camar, burung hantu putih, burung undan, burung ering, burung ranggung, bangau, meragai dan kelelawar (ayat 13-19) Tikus buta, tikus, katak, landak, biawak, bengkarung, siput dan bunglon. (Ayat 29-30) Dalam hal ini kekristenan setidaknya terbagi dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama sepakat 100% menjalankan hukum kosher, kelompok kedua menjalankannya dengan disertai penyesuaia pada perubahan zaman namun tetap menganggapnya sebagai ilmu kesehatan, namun ada pula kelompok besar lainnya yan menolak 100% amaran ini. c. Nama Bermakna ‘suci’ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ‘nama’ merupakan kata untuk menyebut atau memenaggil orang, 128 tempat, binatang, dan sebagainya. Dalam masyarakat, memberikan nama kepada anak merupakan wujud kasih sayang dan doa orang tua untuk anaknya. Oleh sebab itu, setiap nama yang diberikan kepada anak seharusnya memiliki tujuan-tujuan yang baik. Dalam bagian ini penulis akan memaparkan daftar nama-nama manusia yang biasa digunakan oleh masyarakat beragama Islam dan Kristen yang di dalamnya mengandung makna ‘suci’. Namun sebelumnya akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pandangan dari agama Kristen dan Islam perihal pemberian nama pada anak. Dalam agama Kristen, dikenal pula tradisi pemberian nama pada anak. Kebanyakan nama-nama yang diberikan terinspirasi dari kisah-kisah leluhur ideologisnya pada masa lampau. Jika diperinci satu per satu, maka akan ditemukan berbagai macam nama anak beserta artinya. Nama-nama yang tercantum tersebut ternyata tidak serta-merta diberikan. Namun ada alur peristiwa yang mendasari dipilihnya nama tersebut. Nama-nama tersebut tidak semuanya memiliki arti yang positif. Ada juga nama-nama bermakna negatif yang diberikan pada manusia dan hal-hal tertentu. Untuk lebih memahami hal ini, akan dicontohkan nama-nama beserta artinya untuk hal-hal dan orang-orang di dalam Alkitab: 129 No. Nama Ayat Referensi Arti 1. Hawa Kejadian 3:20 Ibu semua yang hidup. 2. Mara Keluaran 15:3 Pahit rasanya. Kejadian 17:5 Bapa 3. sejumlah besar bangsa Abraham Roma 4:11 Bapa Orang Percaya Dalam pandangan muslim, Halim (2000:64) menyebut beberapa tujuan yang seharusnya menjadi pijakan orang tua muslim tentunya tidak lepas dari tiga hal secara bersamaan, yakni memenuhi kewajiban alami, mentaati perintah agama dan mendidik kesalehan anak. 1) Memenuhi kewajiban alami Semua yang ada di alam ini tak akan teridentifikasikan secara pasti tanpa nama-nama yang melekat padanya terlebih lagi isi alam yang menjadi mahluk paling mulia berupa manusia. untuk mengidentifikasi-kannya, manusia secara mutlak memerlukan sebuah nama yang secara otomatis menjadi sebuah kewajiban alami. Manusia yang pertama kali diciptakan oleh Allah pun tidak lepas dari kewajiban alami. Allah SWT memberinya 130 nama Adam, dan benda-benda yang berkenaan atau mengelilingi kehidupan beliaupun oleh Allah SWT diberikan nama sendiri yang kemudian diberitahukan kepada beliau. Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT secara jelas dalam surat al-Baqarah: 31. “Dan dia (Allah SWT) mengajarkan kepada Adam namanama semua (benda) yang kemudian disebutkannya terhadap para malaikat……” Dengan demikian, ketika menamai anak para orang tua muslim tidak terlepas dari tujuan untuk memenuhi kewajiban alami yang satu ini. Karena tanpa sebuah nama, nyaris anak-anak yang terlahirkannya itu tidak terbilang sebagai manusia. Dengan nama yang diberikan itulah, maka anak terlengkapi unsur kemanusiaannya. Dalam rangka menempatkan tujuan untuk memenuhi kewajiban alami tersebut, maka nama yang hendak diberikan mesti disesuaikan dengan jati dirinya anak itu sendiri. Sebagai mahluk termulia di alam raya ini. Tidak disamakan dengan nama binatang dan juga tidak disamakan dengan nama malaikat, apalagi nama kekuasaan dan keagungan Allah SWT. 2) Mentaati Perintah Agama. 131 Selain untuk memenuhi kewajiban alami, menamai anak hendaklah bertujuan pula untuk memenuhi perintah agama, sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “Dari Kharis bin Nu’am ia berkata, saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Muliakanlah anak-anak kalian dan berilah mereka nama-nama yang baik”. (H.R. Ibnu Maajah) Dengan menetapkan tujuan menamai anak untuk mentaati perintah agama, niscaya harapan yang dicanangkan di dalam nama yang diberikan kepada anakpun akan berupa harapan yang baik dan benar menurut kaca mata agama. Sebuah harapan mulia agar anaknya kelak tumbuh dewasa menjadi insan muslim yang taat menjalankan ajaran agamanya, mampu menghambakan diri kepada Allah SWT secara baik dan benar, serta mampu pula berhubungan baik dengan sesama makhluk ciptan-Nya. Selain memiliki harapan yang jelas dan benar dengan menetapkan tujuan menami anak untuk mentaati perintah agama maka apa yang akan dilakukannya itu sudah barang tentu akan mendapatkan imbalan dari sisi Allah SWT. 3) Mendidik kesalehan anak 132 Selain kewajiban memberikan nama yang baik kepada anak, salah satu kewajiban berat lainnya bagi orang tua terhadap anak tercintanya ialah mendidik dan mengarahkan menuju terbentuknya anak yang saleh, yang pandai menghambakan diri kepada Allah SWT secara baik dan benar, sekaligus pandai berhubungan sesama makhluk. Sehingga anak tersebut bisa terselamatkan dari sengatan api neraka. Kewajiban tersebut merupakan instruksi langsung dari Sang Pencipta yang harus ditaati oleh setiap hamba-Nya yang beriman. Perintah ini secara tegas disampaikan dalam firmanNya dalam surat al-Tahrim ayat “Wahai orang yang beriman, jagalah diri dan keluarga (anak, istri) kalian dari siksa api neraka…” Menjaga diri dan keluarga dari siksa api neraka tidak lain harus dilakukan dengan cara mendidik diri dan keluarga menuju terbentuknya insan-insan yang saleh. Dan insan yang saleh itu sendiri tiada lain adalah insan yang pandai menghambakan diri kepada Allah SWT dan pandai berhubungan baik dengan sesama. Insan saleh yang demikian nantinya akan terjauh dari kehinaan dan siksaan api neraka. 133 Dan berikut ini adalah daftar nama yang biasa digunakan oleh masyarakat beragama Islam dan Kristen yang memiliki makna ‘suci: No. Nama 1. Attar 2. Aghnia 3. Thahir 4. Suci 5. Zakiy 6. Kalis 7. Atharuf 8. Azkha 9. Agha 10. Raiqa 11. Agnes 12. Taher 13. Azkatia 14. Glenys 15. Tahereh 16. Tahra Kelamin Laki-laki Asal Bahasa Arab Kelamin dan Asal Laki-laki Arab Perempuan Irlandia Perempuan Irlandia Laki-laki Islami Laki-laki Islami Perempuan Indonesia Perempuan Indonesia Laki-laki Islami Laki-laki Islami Laki-laki Indonesia Laki-laki Indonesia Laki-laki Arab Laki-laki Arab Perempuan Arab Perempuan Arab Laki-laki Sansekerta Laki-laki Sansekerta Perempuan Islami Perempuan Islami Perempuan Jerman Perempuan Jerman Laki-laki Persia Laki-laki Persia Perempuan Indonesia Perempuan Indonesia Perempuan WalesPerempuan inggris Walesinggris Perempuan Persia Perempuan Persia Perempuan Arab Perempuan Arab Arti nama Murni, suci dan bersih Bersih, suci Bersih – Suci Bersih, murni Suci, bersih suci, bersih Suci, bersih Suci, bersih Murni, bersih, suci Bersih, suci, murni Suci, bersih, keramat Murni, suci, bersih Semakin maju, suci, bersih bersih, murni, suci Murni, bersih, suci Bersih, suci, perawan 134 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. Aazkiya Perempuan Islami Perempuan Lebih suci, bersih Islami Glenda Perempuan Sejarah Perempuan Kosakata Wales modern, Sejarah gabungan dari kata iglan 'bersih, murni, suci' + da 'baik'. Ini juga dipakai diluar Wales,dan dihubungkan dengan artis danpolitisi Glenda jackson Azbin Laki-laki Arab Laki-laki bersih, suci Arab Agna Perempuan Jerman Perempuan (Bentuk lain dari Jerman Agnethe) Suci,bersih, keramat Ayska Perempuan Arab Perempuan Suci, bersih (nama lain Arab dari Azka) Shafy Laki-laki Islami Laki-laki Yang suci, murni, bersih, Islami tidak keruh Azbin Laki-laki Islami Laki-laki Bersih, Suci Islami Zakiah Perempuan Sansekerta Perempuan Murni dan bersih Sansekerta Azqiara Perempuan Islami Perempuan Orang Islami yang bersih dan dihormati Cathernie Perempuan Perancis Perempuan Bersih dan murni Perancis Zacchaeus Laki-laki Kristiani Laki-laki Bersih dan sempurna Kristiani Agnisa Perempuan Perancis Perempuan Bersih dan murni Perancis Renjiro Laki-laki Jepang Laki-laki Bersih dan tegak Jepang Claro Laki-laki Latin Laki-laki Bersih dan terbuka Latin Klarissa Perempuan Jerman Perempuan Bersih dan cerdas Jerman Revalina Perempuan Indonesia Perempuan Wanita cantik dan bersih Indonesia Wesl Laki-laki Unisex Laki-laki Tanah terbuka dan bersih Unisex Azkayra Perempuan Islami Perempuan Orang 135 Islami yang bersih dan dihormati 136 BAB IV PENUTUP A. Simpulan Kata ‘suci’ yang merupakan bentuk adjektiva memiliki kedudukaan yang menarik. Secara kebahasaan, adjektiva dapat dihasilkan melalui proses transposisi dari verba atau nomina. Transposisi adalah perubahan kelas kata tanpa pengubahan bentuk. Selain itu, Adjektiva dapat menerangkan kuantitas, kecukupan, urutan, kualitas, maupun penekanan suatu kata. Bentuk adjektiva pun beragam. Ada yang disebut dengan adjektiva dasar (monomorfemis) yang merupakan sebagian besar dari adjektiva, meskipun ada yang berbentuk pengulangan semu. Ada juga yang disebut dengan adjektiva turunan (polimorfemis) melalui proses afiksasi, pengulangan, penggabungan, dan pemajemukan. Dengan kata lain, sebuah adjektiva memiliki banyak varian bentuk yang mengindikasikan adanya variasi penggunaan dan konsep maknanya. Dalam kaitannya dengan telaah makna, kata ‘suci’ pun memiiki pembahasan yang menarik. Melalui telaah ini ditemukan jenis-jenis makna yang terkandung dalam kata ‘suci’. Jenis-jenis makna tersebut meliputi makna leksikal dan gramatikal, makna referensial dan nonreferensial, makna konotatif dan denotatif, makna kata ‘suci’ sebagai sebuah kata dan sebuah istilah, serta makna konseptual dan asosiatif kata ‘suci’. Ditemukan juga bentuk-bentuk relasi makna dalam kata ‘suci’ yang berupa sinonimi, 137 antonimi, hiponimi dan hipernimi, serta polisemi. Selain itu telah dibahas juga adanya medan makna dan komponen-komponen makna yang terdapat di dalam kata ‘suci’ . Secara garis besar, konsep kata ‘suci’ menurut agama Islam dan Kristen tidak jauh berbeda. Keduanya memiliki ide pokok ‘terlarang’ dan ‘memisahkan dari’. Hanya saja, karena kedua agama ini pertama kali dikembangkan oleh dua budaya yang jauh berbeda, maka dalam penerapannya ada hukum-hukum syariat yang seolah-olah membedakannya satu sama lain. Dengan metode penelitian dalam teori Linguistik Antropologi, penulis dapat dengan mudah memetakan masalah-masalah yang dirumuskan menjadi sebuah pola berfikir yang taktis namun kritis. Melalui teori ini pula didapatkan kesimpulan-kesimpulan yang dapat ‘melerai’ masalah perbedaan pendapat mengenai konsep kata ‘suci’ yang bisa saja muncul. B. Saran Dalam memahami budaya pemakaian kata ‘suci’ dalam agama Islam dan Kristen, maka sangat perlu dilakukan penelusuran bahasa asli kitab yang menjadi pedoman agama-agama tersebut. Penelitian ini akan menjadi lebih akurat apabila peneliti menguasai dua bahasa asing yang menjadi bahasa asal penyusunan kitab keagamaan Islam (bahasa Arab) dan agama Kristen (Ibrani). Karena dengan mengerti bahasa asalnya, 138 penelusuran makna-makna kalimat dalam Kitab Suci sebagai salah satu pedoman dalam penelitian pun akan menjadi lebih mudah. Sehingga pada akhirnya masalah ‘salah tafsir’ akan dapat diminimalisir. 139 DAFTAR PUSTAKA Alwi, Hasan. 2003. Kata Serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. __________. 2007. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Rineka Cipta. Duranti, Alessandro. 1997. Linguistic Antropology. University Press. Inggris: Cambridge Endarmoko, Eko. 2006. Tesaurus Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Halim, M. Nipan Abdul. 2000. Anak Soleh Dambaan Keluarga. Yogyakarta. Pustaka Pelajar Offset. Huberman, Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif. Jakarta: Universitas Indonesia Press. Kentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Radar Jaya Offset. Kridalaksana, Harimurti. 1982. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia. ___________________. 2005. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Mulyana. 1996. Senarai Kata Serapan dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Otto, Rudolf. 1946. The Idea of the Holy. Inggris: Oxford University Press. 140 Siregar, Rumanasari. 2006. Aplikasi Teori Metabahasa Makna Alami. Sumatera Utara: Politeknik Negeri Medan Press. Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa: Pengantar Penelitian Wahana Kebudayaan secara Linguistis. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Wibowo, Agustinus. 2011. Garis Batas. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Wierzbicka, Anna. 1999. Language, Culture and Meaning. Amsterdam: John Benjamin Publishing. Wikipedia. 2010. “Kata Serapan dari Bahasa Sansekerta dalam Bahasa Melayu dan Bahasa Indonesia”. https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_kata_serapan_dari_bahasa_Sanskerta_ dalam_bahasa_Melayu_dan_bahasa_Indonesia_modern (diakses pada 15 September 2015) 141 LAMPIRAN A. Draft Wawancara dengan Pemuka Agama Kristen a. Biodata Narasumber Nama : Ptd. Tjahjadi Nugroho M.Th. Kedudukan : Pendiri Jemaat Allah Global Indonesia Lahir : 26 Mei 1945 Denominasi : Kristen Tauhid Kediaman : Jalan Jeruk VII no. 30, Lamper Lor Semarang b. Waktu Wawancara Hari/Tanggal wawancara : Minggu, 27 Maret 2016 Waktu wawancara Tempat wawancara : Pukul 09.30 WIB :Jalan Jeruk VII no. 30, Lamper Lor Semarang c. Draft Pertanyaan 1. Bagaimana penjelasan anda mengenai kata ‘suci’? Jawab: ‘Suci’ sama artinya dengan ‘kudus’. Allah disebut dengan "nama" Kudus yang berasal dari bahasa Ibrani qadosh. Secara lebih lengkap, Istilah-istilah yang prinsipal adalah qadosy atau qadosh atau kadosh dan hagios dalam bahasa Yunani. Terjemahan yang lazim bagi keduanya adalah kudus, walaupun kadang-kadang keduanya diterjemahkan dengan 'suci'. Perbedaan antara kudus dan suci tidaklah gamblang, justru bisa benar mengatakan bahwa bila yang dipikirkan adalah kualitas hakiki Tuhan dan manusia, maka 142 dipakailah istilah kudus; istilah suci menekankan akibat daripada sikap yg menjurus kepada kesucian. 2. Lalu bagaimana kaitannya dengan kekudusan Allah? Jawab: Untuk membahas mengenai konsep ‘kudus’ yang dikenakan pada Allah sang Maha Sempurna, bacalah Imamat 19:2, Yesaya 57:15, Yosua 3:5 dan Keluaran 15:11. Ayat-ayat tersebut menunjukakan kekudusan Allah yang tidak ada bandingannya. Istilah kudus di Perjanjian Lama sama dengan di Perjanjian Baru, dipakai dalam pengertian tertinggi terhadap Allah. Istilah itu menunjuk, pertama, kepada keterpisahan Allah dari ciptaan dan bahwa Ia mengungguli ciptaan itu. Demikianlah 'kudus' menggambarkan transendensi Allah. YHWEH, karena 'kekudusan'Nya berdiri bertentangan dengan ilah-ilah (Keluaran 15:11) demikian juga dengan seluruh ciptaan (Yesaya 40:25). Istilah mengandung itu arti juga menunjuk ketentuan kepada Allah hubungan, untuk dan memelihara kedudukanNya sendiri terhadap makhluk-makhluk bebas lainnya. Itu adalah pengesahan Allah sendiri, 'sifat dalam mana YHWEH menjadikan diriNya sendiri ukuran mutlak bagi diriNya sendiri'. Istilah itu tidak hanya menjelaskan perbedaan Allah dan manusia (Hosea 11:9), itu adalah sama artinya dengan 'Allah yg tertinggi', 143 dan terutama menekankan sifat Allah yg sangat menakutkan (Mazmur 99:3). Kitab Suci menekankan kemantapan sifat moral (Wahyu 22: 11), juga menekankan segi pembalasan dari kekudusan Allah, yg mencakup dunia dalam penghakiman. Berdasarkan hakikat Allah, hidup diatur sedemikian rupa sehingga dalam kekudusan terdapat 'sejahtera', dalam dosa terdapat 'kutuk'. Karena kekudusan Allah tidak bisa membuat dan mengindahkan suatu alam semesta di mana dosa dapat tumbuh dengan sempurna, maka kualitas pembalasan dalam pemerintahan Allah menjadi jelas. Tapi pembalasan itu bukanlah akhir dari segala sesuatu; kekudusan Allah menjamin bahwa akan ada perbaikan akhir, suatu regenerasi dalam bidang moral. Menggunakan kata 'kudus' atas orang yang dinobatkan bagi maksud-maksud agamawi. Misalnya para imam yang ditahbiskan dalam upacara istimewa, juga seluruh umat Israel sebagai satu bangsa yang disucikan bagi Allah tidak sama dengan bangsabangsa lain. Jadi hubungannya dengan Allah menjadikan Israel satu bangsa kudus, dan dalam pengertian ini 'kudus' mengacu kepada pengungkapan tertinggi hubungan perjanjian Israel dan Allah. Jalan pikiran ini tidak terlepas dari PB, sebagaimana dalam 1 Korintus 7:14, di mana suami yang tidak beriman dikuduskan 144 karena hubungannya dengan istri yang beriman demikian sebaliknya. Tapi konsepsi mengenai kekudusan berkembang, sejalan dengan penyataan Allah, dari luar ke dalam, dari yang bersifat upacara kepada kenyataan; maka 'kudus' mendapat arti etis yang kuat, dan ini adalah maknanya, yang nyaris satu-satunya makna dalam PB. Para nabi memproklamirkan kekudusan sebagai penyataan sendiri oleh Allah, kesaksian yg Ia terapkan pada diriNya sendiri dan segi yg Ia kehendaki supaya makhluk ciptaanNya mengenal Dia demikian. Dan para nabi menyatakan bahwa Allah menghendaki untuk mengkomunikasikan kekudusan-Nya kepada makhluk ciptaan-Nya, dan sebaliknya Ia menuntut kesucian dari mereka. Apabila 'Aku ini kudus adanya', demikianlah pernyataan Allah sendiri yang mengangkat hakikat diriNya mengungguli makhluk ciptaan-Nya, demikianlah 'hendaknya kamu kudus' adalah seruan Allah bagi makhluk ciptaan-Nya, supaya mereka dapat menjadi orang yang mengambil bagian dalam kekudusan-Nya (Ibrani 12:10). Kekudusan Allah dikaruniakan kepada jiwa manusia, pada saat ia dilahirkan kembali, dan itulah yang menjadi sumber dan landasan bagi tabiat yang suci. 3. Hal-hal apa saja yang berkaitan dengan kata ‘suci’? Jawab: 145 Dalam tradisi kekristenan, ada beberapa hal yang dianggap mengandung unsur ‘suci’. Baca ayat-ayat ini: Bilangan 7:1, 1 Samuel 3:3, Titus 1:15, Ayub 15:15, Ratapan 4:1, Yohanes 11:48, Matius 22:29. 4. Bagaimana anda menyikapi adanya ‘hari suci’ yang disebut dengan hari Sabat? Jawab: Hal yang tak kalah penting dari tradisi agama Kristen adalah kepercayaannya kepada hati ‘sabat’ sebagai hari yang dikuduskan. Memperingati hari Sabat merupakan hukum ke empat dalam sepuluh perintah Allah. Keluaran 31:14 mengungkapkan bahwa, “Haruslah kamu pelihara hari Sabat, sebab itulah hari kudus bagimu; siapa yang melanggar kekudusan hari Sabat itu, pastilah ia dihukum mati, sebab setiap orang yang melakukan pekerjaan pada hari itu, orang itu hatrus dilenyapkan dari antara bangsanya.” Kata shabbat dalam bahasa Ibrani berasal dari kata kerja shabat, dalam bahasa yang sama, yang secara harafiah berarti "berhenti", atau shev yang Meskipun shabbat hampir secara berarti universal "duduk". diterjemahkan "istirahat" atau suatu "masa istirahat", terjemahan yang lebih harafiah adalah "berhenti", dengan implikasi "berhenti dari melakukan pekerjaan". Jadi Sabat adalah hari untuk orang 146 berhenti bekerja, dengan implikasinya beristirahat. Kata Ibrani untuk melakukan "mogok", misalnya, berasal dari akar kata Ibrani yang sama dengan shabbat, dan mengandung implikasi yang sama, yaitu bahwa para buruh yang mogok secara aktif berhenti melakukan pekerjaan, dan bukan secara pasif "beristirahat". Hal ini menjelaskan pertanyaan teologis yang sering diajukan tentang mengapa Allah perlu "beristirahat" pada hari yang ketujuh dalam penciptaan alam semesta, seperti yang dikisahkan dalam Kitab Kejadian pasal 1. Bila dipahami bahwa Allah "berhenti" bekerja dan bukannya "beristirahat" dari kerjanya, penggunaan ini lebih konsisten dengan pandangan Alkitab tentang Allah yang Mahakuasa yang tidak membutuhkan "istirahat". Namun, sering diikuti terjemahan yang jauh lebih umum yaitu sabat sebagai "istirahat". Sabat adalah hari perayaan dan salah satu hari beribadah. Pada hari Sabat orang Yahudi menyajikan makanan yang berlimpah sebanyak tiga kali setelah kebaktian di sinagoga selesai: pada Jumat malam, Sabtu tengah hari, dan Sabtu sore sebelum Sabat berakhir. Lebih banyak orang Yahudi yang berusaha menghadiri kebaktian di sinagoga pada Sabat, dan mungkin tidak hadir pada hari-hari lainnya. hari 147 Selain hari raya Yom Kippur (karena hari itu bukanlah hari yang menyedihkan, melainkan hari raya yang besar), hari-hari puasa umum ditunda atau dimajukan sehari bila jatuhnya bersamaan pada hari Sabat, dan orang-orang berduka yang menjalani Shivah, dari luarnya berusaha tampil biasa saja selama hari Sabat. Mereka bahkan dilarang memperlihatkan tanda-tanda kedukaan di depan umum. Saat ini beberapa gereja di seluruh dunia yang juga merayakan dan memelihara Hari Sabat pada Hari Sabtu yaitu Gereja Yesus Sejati (True Jesus Church) dan Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (Seventh Day Adventist Church) serta Jemaat Allah Global Indonesia. Waktu yang digunakan untuk berbakti dan merayakan Hari Sabat sama dengan waktu perayaan Sabat orang Yahudi yaitu dimulai dari Jumat Malam (tepat di saat matahari terbenam) dan berakhir pada Sabtu Malam (tepat di saat matahari terbenam). 5. Adakah aturan tentang halal dan haram? Jawab: Dalam hukum Yahudi dikenal apa yang disebut dengan kosher. Kosher , yang berasal dari kata bahasa Ibrani kashrut ataukashruth adalah istilah dalam hukum tentang makanan Yahudi. Sesuai dengan halakha suatu makanan 148 disebut kosher (istilah bahasa Inggris, dari istilah bahasa Ibrani kasher, yang berarti "layak" (dalam konteks ini berarti layak untuk dimakan orang Yahudi). Sebagian besar hukum dasar kosher berasal dari Kitab Imamat dan Ulangan di dalam Torah. Ada banyak sekali alasan yang dikemukakan untuk hukum-hukum ini, yang merentang dari filosofis dan ritualistik hingga praktis dan higienis. Kata kosher telah dipinjam oleh banyak bahasa. Dalam bahasa Inggris, kata ini digunakan untuk mengartikan sesuatu yang sah, diizinkan, asli, atau otentik. Dalam Kekristenan dewasa ini terdapat kelompok-kelompok yang masih memelihara hukum kosher ini. Berikut ini akan dipaparkan beberapa aturan dalam makanan antara yang boleh dan yang tidak boleh dimakan. Pemaparan ini tidak akan seterperinci hukum dalam Yahudi yng masih memegang teguh 613 atutan torah. Pemaparan ini diambil dari sebuah perikop Alkitab dalam Imamat 11:1-47. Dalam hal ini kekristenan setidaknya terbagi dalam tiga kelompok besar. Kelompok pertama sepakat 100% menjalankan hukum kosher, kelompok kedua menjalankannya dengan disertai penyesuaia pada perubahan zaman namun tetap menganggapnya sebagai ilmu kesehatan, namun ada kelompok besar lainnya yan menolak 100% amaran ini. pula 149 B. Draft Wawancara dengan Pemuka Agama Islam a. Biodata Narasumber Nama : Dr. K.H. Nuril Arifin Husein (Gus Nuril) Tanggal Lahir : 12 Juli 1959 Kota Asal : Ujungpangkah Kulon, Gresik, Indonesia Pandangan Politik : Pluralisme yang rahmatan lil alamin Agama : Islam (Sufi) Alamat Sekarang : Jalan Sendang Guwo Raya Pesantren Lembaga / Perusahaan : Pesantren Sokotunggal Jabatan : Qodimuhu ma’had b. Waktu dan Tempat Wawancara Hari/tanggal : Kamis, 12 November 2015 Waktu : Pukul 15.12 – 16.20 WIB Tempat : Kantor Wawasan, Lamper Lor, Semarang c. Tanya Jawab 1) Bagaimana konsep ‘bersuci’ dalam agama Islam? Jawab: ‘bersuci’ diartikan dengan terbebas dari najis maknawi, yaitu dosa-dosa, baik dosa batin maupun dosa lahir. Karena iman ada dua bentuk, yaitu meninggalkan dan melakukan, maka tatkala sudah meninggalkan dosa-dosa berarti sudah memenuhi separuh iman. Selain itu ‘bersuci’ diartikan dengan proses pembersihan diri dengan air. Bersuci dengan air ada dua macam, yaitu bersuci dari hadats kecil dan hadats besar. Bila bersuci diartikan dengan suci dari hadats kecil dan hadats besar maka yang dimaksud dengan iman adalah sholat. Jadi bersuci itu separuh dari sholat. Sholat dikatakan sebagai iman karena merupakan pokok amalan iman. ( ا}لنّظا فة من اإليمان{رواه مسلمartinya : kerbersihan termasuk iman) 150 2) Menurut anda, apa kaitannya ‘suci’ dengan ‘bersih’? Jawab: Islam mengajarkan tentang kebersihan. Baik kebersihan hati, badan, maupun lingkungan. Islam memandang bahwa memelihara kebersihan adalah masalah penting yang wajib diperhatikan dan laksanakan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Lebih jauh, tak hanya kebersihan, islam mengajarkan pula tentang kesucian. bersih dan suci adalah dua hal yang tidak dapat di pisahkan. keduannya sangat erat berhubungan dengan kesehatan, meskipun arti katanya tak persis sama. Bersih merupakan kata sifat yang menunjukkan keadaan bebas dari kotoran. Kebersihan bersifat umum dan tidak terkait langsung dengan tata cara peribadatan. Namun demikian, tetap saja merupakan keharusan bagi setiap muslim untuk melaksanakannya dalam kehdupan sehari-hari. Sementara, suci dalam ajaran islam ialah terhindar dari najis dan hadas. Agar menjadi suci, seorang muslim haru mejalankan aturan berupa tata cara taharah (bersuci). Setelah bertaharah, baru kita dapat menjalankan ibadah-ibadah khusus, terutama sholat. Ada dua jenis kotoran dalam ajaran islam. Yang pertama adalah najis. Sifat najis adalah hissy (dapat dilihat). Misalnya air kencing, tinja, darah, dan nanah. Yang kedua adalah hadas. sifat hadas adalah ma’nawi (abstrak, tak terlihat). Contohnya adalah buang angin untuk hadas kecil dan keluar mani untuk hadas besar (junub). 3) Apa manfaat ‘bersuci’ menurut pandangan Islam? Jawab: Islam percaya bahwa tak ada perintah Allah bagi umat manusia yang sia-sia. Semua pasti membawa kebaikan bagi manusia. Tak terkecuali soal bersuci. Ada manfaat yang berlimpah bagi manusia yang mau melaksanakan. Manfaat langsung tampak di mata adalah keindahan. Selain keindahan, ada manfaat yang tak kalah penting, yakni kesehatan. Banyak sekali penyakit yang datang dari kotoran. Misalnya, hanya karena jorok dan tidak mandi, maka jamur kulit akan segar tumbuh subur 151 merembak dikulit. Belum penyakit –penyakit lain, yang menyerang pencernaan, misalnya. Itu baru kesehatan jasmani dan lingkungan. Padahal kebersihan dan keucian fisik juga membawa dampak pada kesehatan rohani manusia. Maka, menjaga kebersihan dan kesucian menjadi suatu kewajiban bagi seorang muslim. 4) Bagaimana hubungan kata ‘suci’, ‘haram’ dan ‘najis’? Jawab: Setiap yang najis itu haram dimakan, namun belum tentu yang haram itu najis. Kaedah ini disebutkan oleh para ulama di antaranya Ibnu Taimiyah rahimahullah. Kaedah ini bermakna setiap yang najis haram dimakan. Sedangkan sesuatu yang haram, belum tentu najis, bisa jadi pula suci. Penerapan kaedah ini adalah sebagai berikut. - Racun haram untuk dikonsumsi karena memberikan dhoror (bahaya) pada tubuh. Namun dalam hal ini, haram tidak semata-mata dihukumi najisnya. Karena keharaman belum tentu mengkonsekuensikan najis. - Makanan yang dicuri diharamkan untuk dikonsumsi karena tidak ada izin si empunya atau pula tidak diizinkan oleh syari’at. Akan tetapi sesuatu yang haram ini tidak menunjukkan najisnya. - Khomr sudah disepakati haramnya, namun -menurut pendapat terkuat- khomr tidaklah najis. Karena hukum asal segala sesuatu itu suci sampai ada dalil yang najisnya. Imam Syaukani rahimahullah berkata mengenai firman Allah. Asy 152 BIODATA PENULIS Lahir di Klaten pada tanggal 27 September 1993. Anak tunggal dari pasangan Alm. Giyanto MD dan Almh. Nur Widiyati. Menempuh pendidikan Sekolah Dasar di Yayasan Sekolah Kristen 3 Klaten, Sekolah Menengah Pertama di Yayasan Katolik Pangudi Luhur 1 Klaten dan Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Klaten. Selain memiliki ketertarikan pada bidang tulis menulis, penulis yang pernah meraih peringkat III Duta Bahasa Provinsi Jawa Tengah tahun 2012 ini juga memiliki ketertarikan yang kuat pada berbagai bidang seni kerajinan, salah satunya seni merajut. Penulis telah mengembangkan dan menularkan ketertarikannya pada seni rajut dengan cara mendirikan sanggar rajut di Fakultas Ilmu Budaya dan di komunitas pedagang Masjid Agung Jawa Tengah. Penulis telah merampungkan proses pembuatan buku tutorial merajut yang berjudul “Rajut Karakter Untuk Anak” yang diterbitkan oleh penerbit Tiara Aksa dan sedang mengembangkan usaha dagangnya yang memiliki brand Checraft. Pasca Lulus, besar harapan penulis untuk dapat melanjutkan karir sebagai tim kreatif atau reporter televisi dengan tidak melupakan cita-cita lainnya sebagai penulis buku rajut serta sebagai pengusaha dan pengajar seni rajut.