ABSTRACT Effectiveness Lean Forward Position (LFP) with LFP position and Pursed Lips Breathing (PLB) to The Increase Patient Respiratory Conditions Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Suci Khasanah1, Suwito2, Sri Sumaryani3 Student’s Magister of Nursing1, Muhammadiyah Yogyakarta University Professor, School of Medicine2, Muhammadiyah Yogyakarta University Magister of Nursing, School of Nursing3, Muhammadiyah Yogyakarta University Background: Nurses as care providers have a role in providing nursing care to help improve respiratory condition of COPD patient’s. The purpose of the study is determine of effectiveness of the LFP and LFP and PLB to increase respiratory condition COPD patients. Methods: experimental study design randomized control trial with pre- post test control group . Sample 30 COPD patients with random sampling technique. Parameters studied : RR , SaO2, dypsneu ( modified Borg scale ) and the amount of air that can be exhaled. Results : A LFP was effectively decreased RR, increased SaO2 and increased the amount of air that can be exhaled (ρ value 0.007 < α 0.05; ρ value 0.005 < α 0.05 and ρ value 0.020 < α 0.05) respectively. A LFP and PLB were effectively decreased RR and dypsneu ( ρ value 0.000 < α 0.05; ρ value 0.007 < α 0.05 ). It were effectively increased SaO2 ( ρ value 0.005 < α 0.05 ). A LFP and PLB were not effectively increased the amount of air that can be exhaled ( ρ value 0.066 > α 0.05 ). There weren’t different effectively between LFP with LFP and PLB to decreased RR (ρ value 0,907> α 0,05). There were different effectively between LFP with LFP and PLB to increased SaO2, increased the amount of air that can be exhaled, and decreased dypsneu (ρ value 0,002 < α 0,05; ρ value 0,025 < α 0,05 ρ value 0,000 < α 0,05) respectively. Conclusion : A FLP and PLB are more effective increasing SaO2 and and decreasing dypsneu than LFP only. Keywords : RR , SaO2 , Dypsneu, amount of exhaled air, COPD , PLB , FLP Korespondensi Suci Khasanah, School of Nursing, Harapan Bangsa University Purwokerto, Email [email protected] Suwito, School of Medicine, Muhammadiyah Yogyakarta University, Email Sri Sumaryani, School of Nursing3, Muhammadiyah Yogyakarta University, Email 1 menunjukan Pendahuluan Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka (PPOK) merupakan salah satu dari kesakitan kelompok penyakit tidak menular bronkial (33%), kanker paru (30%) yang masalah dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2008). kesehatan masyarakat di Indonesia. Angka kejadian PPOK di Jawa Kejadian Tengah pada tahun 2008 adalah telah menjadi PPOK meningkat akan seiring meningkatnya semakin dengan jumlah perokok, 0,20% (35%), dan mengalami diikuti pada tahun penurunan 2009 menjadi polusi udara dari industri dan asap 0,12% kendaraan yang menjadi faktor risiko Tengah, 2009). Namun demikian penyakit tersebut. tidak menutup kemungkinan angka Word Health (Profil asma Kesehatan Jawa Organisation ini akan meningkat seiring dengan (WHO) memperkirakan bahwa pada meningkatnya jumlah perokok di tahun 2020 prevalensi PPOK akan Jawa Tengah. terus meningkat dari peringkat ke-6 Hasil wawancara personal menjadi peringkat ke-3 di dunia dan dengan perawat di RSUD Prof. DR. dari Margono peringkat ke-6 menjadi Soekarjo peringkat ke-3 penyebab kematian dimana tersering di dunia (Depkes RI, 2008). merupakan salah satu rumah sakit Menurut WHO pada tahun 2010 rujukan wilayah Jawa Tengah bagian PPOK adalah masalah kesehatan barat, pada April 2012 didapatkan utama penyebab informasi bahwa jumlah penderita kematian no 4 di Indonesia (PDPI, PPOK setiap harinya meningkat. 2006). Rata-rata dalam sehari terdapat 20 yang menjadi Hasil survey penyakit tidak penderita rumah Purwokerto, dengan sakit PPOK tersebut yang menular oleh Direktorat Jendaral dirawat dengan keluhan sesak nafas PPM dan PL di 5 rumah sakit yang sangat berat dan sebagian besar propinsi di Indonesia (Jawa Barat, dari mereka adalah pasien yang Jawa Timur, Lampung dan Sumatra datang dengan serangan sesak nafas Selatan) berulang. pada tahun 2004, i Sesak nafas merupakan dijumpai atau gejala pada dyspnoea yang umum penderita PPOK dapat meningkatkan kondisi pernafasan pasien PPOK Hasil penelitian sebelumnya (Ambrosino & Serradori, 2006). berkaitan dengan Penyebab sesak nafas tersebut bukan condong ke depan seperti yang hanya karena obstruksi pada bronkus dilakukan oleh Kim, et al (2012), atau bronkhospasme saja tapi lebih Avanji & Hajbaghery (2011) dan disebabkan lain-lain karena adanya PLB dan posisi sebagaimana telah hiperinflasi. Oleh karena itu pada disebutkan di atas memang sudah penanganan hanya banyak dilakukan. Menurut penulis, farmakologi penelitian terhadap kedua tindakan PPOK mengandalkan saja tidak terapi melainkan terapi non tersebut baru dilihat efektifitas dari farmakologi juga merupakan hal masing-masing penting yang harus dilakukan untuk sendiri-sendiri dan belum sampai mengurangi sesak nafas (Russell, et pada al, 2012). tersebut apabila dilakukan secara Salah satu farmakologi terapi non pengaruh bersama-sama kedua terhadap secara tindakan kondisi latihan pernafasan pasien dengan PPOK. pernafasan. Beberapa teknik latihan Oleh karena itu didasarkan pada hasil pernafasan yang dapat dilakukan penelitian diantaranya manfaat PLB dan posisi condong ke inspirasi, adalah tindakan adalah pursed latihan lips otot breathing depan sebelumnya pada pasien tentang PPOK (PLB) dan diaphragmatic breathing sebagaimana telah disebutkan di atas (Ambrosino & Serradori, 2006). maka peneliti tertarik untuk meneliti Serangkaian penelitian tentang lebih lanjut “manakah yang paling PLB dan posisi condong ke depan efektif antara posisi CKD dengan (CKD)yang telah dilakukan, seperti posisi dilakukan oleh Bianchi (2004), peningkatan Ambrosino & Serradori (2006), pasien PPOK?”. Tujuan penelitian CKD dan PLB terhadap adalah kondisi untuk pernafasan Ramos et al (2009), dan Kim, et al ini mengetahui (2012) menunjukan bahwa PLB tindakan yang paling efektif antara ii posisi CKD dengan posisi CKD dan inspirasi melalui hidung selama 2-3 PLB terhadap peningkatan kondisi detik diikuti ekspirasi secara berlahan pernafasan pasien PPOK. melalui mulut minimal waktu 2 kali inspirasi (4-6 detik) dilakukan selama Metode Desain penelitian eksperimen randomized control trial pre post test with control group. Sample 30 pasien PPOK dengan random 30 menit dengan toleransi jeda istirahat selama 5 menit. Intrumen tangan yang untuk digunakan mengukur RR, jam puls oxymetry untuk mengukur SaO2, respi sampling. Parameter yang diteliti: aide untuk mengukur jumlah udara yang RR, SaO2, keluhan sesak nafas dihembuskan dan modifikasi Borg scale (skala modifikasi Borg)dan jumlah untuk mengukur keluhan sesak nafas. Intervensi diberikan setelah 4 jam udara yang dapat dihembuskan. Intervensi yang diberikan berupa mendapatkan obat bronkhdilator, telah posisi CKD (klp kontrol 2), posisi dijelaskan maksud dan tujuan penelitian, CKD dan PLB (klp intervensi) serta bersedia menjadi responden dan telah posisi semi fowler dan natural breathing (klp kontrol 1). Posisi CKD adalah Posisi duduk di tempat tidur dengan punggung membungkuk kedepan membentuk sudut 135 derajat dan kepala serta lengan disangga/ diletakan di atasmeja atau bantal atau lengan ditopang kepala atau lengan ditopang paha. Posisi tersebut diberikan pada pasien yang tidak mendapatkan oksigen dan mendapatkan obat bronkhodilator setelah 4 jam pemberian obat tersebut dan tindakan posisi dilakukan selama 10 menit pertama dan dilanjutkan istirahat 30 menit setiap 5 dengan jeda menit. PLB adalahbreathing exercise berupa nafas / diajarkan sebelumnya tindakan tersebut. Analisis data yang digunakan untuk mengetahui perbedaan RR dari tiap perlakukan pada tiap kelompok menggunakan repetead ANOVA dan antar kelompok menggunakan One Way ANOVA. Perbedaan SaO2, keluhan sesak nafas dan jumlah udara yang dapat dihembuskan pada tiap menggunakan Friedman kelompok dan antar kelompok menggunakan Kruskal Wallis. Penelitian ini telah memenuhi kelayakan etik oleh Komisi Etik Penelitian Universitas Muhammdiyah Yogyakarta. Beberapa keterbatasan yang muncul diantaranya adalah tidak ditentukan derajat PPOK sehubungan Spirometri yag rusak, Perlakuan dari masing- iii masing tindakan baru satu kali Semua pasien PPOK yang sehingga belum dapat melihat lebih menjadi responden pada penelitian dalam dari masing-masing tindakan ini tersebut, tindakan/ pengukuran kondisi dilakukan pengukuran perlakukan dan penelitian pernafasan pada saat pengumpulan setelah 4 jam mereka mendapatkan data belum dilakukan oleh asisten pengobatan, memiliki SaO2 ≤ 90% peneliti pada dan kadar leukosit di atas normal. perawat Data karakteristik responden diambil sedang sebelum pasien diberikan perlakuan yang dikarenakan waktu yang bersamaan ditempat penelitian mempunyai beban tugas yang tinggi. apapun. Data karakteristik responden Hasil dan Pembahasan pada penelitian ini dapat dilihat pada 1. tabel 3.1 sebagai berikut: Karakteristik Responden Tabel 4.1: Karakteristik Responden Penelitian Karakteristik Responden Uji Homogenitas Uji Beda 68,1 ρ = 0,000 ρ = 0,206 70% 60% ρ = 0,353 ρ = 0,806 50% 30% 40% 12,91 13,93 13,32 ρ = 0,427 ρ = 0,446 18,80 18,19 18,19 ρ = 0,172 ρ = 891 10 10 Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol 1 Kelompok Kontrol 2 62,7 63,2 1. Laki-laki 50% 2. Perempuan Kadar Hemoglobin (Hb) Body Mass Indek (BMI) Usia Jenis Kelamin Total Sampel 10 penelitian dan hasil analisis hubungan Tebel 3.1 memberikan informasi bahwa didapatkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin, kadar Hb dan BMI pada usia tiap kelompok tersebar homogen dan penelitian ini. Usia responden pada tidak penelitian ini tidak mempengaruhi hasil ada perbedaan kelompok penelitin variabel ini diantara ini, diprediksi tiap sehingga dengan variabel terikat dari penelitian. tidak mempengaruhi hasil penelitian ini. Usia memang tidak tersebar secara homogen tapi hasil uji beda menunjukan tidak ada 2. Efektifitas Posisi CKD dengan Posisi CKD dan PLB terhadap Peningkatan Status Pernafasan perbedaan rata-rata usia antar kelompok iv Hasil analisis efektifitas dan PLB adalah sebagai berikut: posisiCKD dengan posisi CKD Tabel 3.2: Hasil Analisis Uji Beda Variabel RR Rata-Rata Klp Intervesi (Klp Klp Kontrol 1(klp Klp Kontrol 2 (klp 3) 1) 2) RR pre 1 (1) 25,7 25,6 30 RR post 1 (2) 26,1 25,6 20,6 RR post 2 (3) 20,4 25,7 20,6 Hasil analisis pada tiap klp dengan Repeated Anova: pada klp intervensi (ρ =0,010) : pre vs post 1 (ρ =0,006); pre vs post 2(ρ =0,000); post 1 vs post 2 (ρ=0,000). Pada klp kontrol 1(ρ =0,879). Pada klp kontrol 2 (ρ=0,000): pre vs post 1 (ρ=0,000); pre vs post 2(ρ=0,000); post 1 vs post 2 (ρ=tak terhingga). Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan Kruskall Wallis (syarat varian untuk One Way ANOVA tidak terpenuhi): pada pre 1 (ρ=0,010): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,009); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,007); klp 2vs klp 3 (ρ=0,948). Pada post 1 (ρ=0,001): klp 1vs klp 2 (ρ=0,970); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,000); klp 2 vs klp 3(ρ=0,12). Pada post 2 (ρ=0,011): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,008); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,907); klp 2 vs klp 3 (0,12) Variabel Keterangan: Pre 1= sebelum klp intervensi diposisikan CKD; post 1=setelah klp intervensi diposisikan CKD; post 2=(setelah klp intervensi diposisikan CKD dan PLB). Klp 1= klp intervensi; klp 2= klp kontrol 1 dan klp 3=klp kontrol 2 Posisi CKD=posisi condong ke depan Tabel 3.3: Hasil Analisis Uji Beda Variabel SaO2 Median Klp Intervesi (Klp Klp Kontrol 1(klp Klp Kontrol 2 (klp 3) 1) 2) SaO2 pre (1) 89 89 87 SaO2 post 1 (2) 91 89 91 SaO2 post 2 (3) 95 87 90,5 Hasil analisis pada tiap klp dengan uji Friedman: pada klp intervensi (ρ =0,000) : pre vs post 1 (ρ =0,005); pre vs post 2(ρ =0,005); post 1 vs post 2 (ρ=0,005). Pada klp kontrol 1(ρ =1). Pada klp kontrol 2 (ρ=0,000): pre vs post 1 (ρ=0,005); pre vs post 2(ρ=0,005); post 1 vs post 2 (ρ=0,157). Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan uji Kruskall Wallis: pada pre 1 (ρ=0,033): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,938); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,032); klp 2vs klp 3 (ρ=0,020). Pada post 1 (ρ=0,001): klp 1vs klp 2 (ρ=0,004); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,308); klp 2 vs klp 3(ρ=0,000). Pada post 2 (ρ=0,000): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,000); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,002); klp 2 vs klp 3 (0,002) Variabel Tabel 3.4: Hasil Analisis Uji Beda Variabel Keluhan Sesak Nafas Variabel Klp Intervesi (Klp Median Klp Kontrol 1(klp Klp Kontrol 2 (klp 3) 7 1) 2) SaO2 pre (1) 6 4,5 4 SaO2 post 1 (2) 4 4,5 6 SaO2 post 2 (3) 2 4,5 6 Hasil analisis pada tiap klp dengan uji Friedman: pada klp intervensi (ρ =0,000) : pre vs post 1 (ρ =0,006); pre vs post 2(ρ =0,007); post 1 vs post 2 (ρ=0,007). Pada klp kontrol 1(ρ =tak terhingga). Pada klp kontrol 2 (ρ=tak terhingga). Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan uji Kruskall Wallis: pada pre 1 (ρ=0,006): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,213); klp 1 vs klp 2 (ρ=0,001); klp 2vs klp 3 (ρ=0,062). Pada post 1 (ρ=0,015): klp 1vs klp 2 (ρ=0,359); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,003); klp 2 vs klp 3(ρ=0,038). Pada post 2 (ρ=0,001): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,004); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,001); klp 2 vs klp 3 (0,020) Tabel 3.5: Hasil Analisis Uji Beda Variabel Jumlah Udara Yang Dapat dihembuskan Median Klp Intervesi (Klp Klp Kontrol 1(klp Klp Kontrol 2 (klp 3) 1) 2) JUDH pre (1) 150 100 125 JUDH post 1 (2) 150 100 125 JUDH post 2 (3) 150 100 130 Hasil analisis pada tiap klp dengan uji Friedman: pada klp intervensi (ρ =0,015) : pre vs post 1 (ρ =0,180); pre vs post 2(ρ =0,034); post 1 vs post 2 (ρ=0,066). Pada klp kontrol 1(ρ =0,368). Pada klp kontrol 2 (ρ=0,002); pre vs post 1(ρ=1,000); pre vs post 2(ρ=0,020); post 1vs post 2 (ρ=0,020). Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan uji Kruskall Wallis: pada pre 1 (ρ=0,191). Pada post 1 (ρ=0,072). Pada post 2 (ρ=0,027): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,016); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,785); klp 2 vs klp 3 (0,0025) Keterangan: JUDH = jumlah udara yang dapat dihembuskan Variabel Hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan untuk posisi CKD efektif meningkatkan Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan pnelitian Bhatt et al (2009) status yang menunjukan bahwa tidak ada pernafasan, yaitu menurunkan RR. perbedaan tidal volume (TV) dan RR Begitu juga tindakan posisi CKD dan , rasio Forced Expiratory Volume to PLB Forced Vital Capacity (FEV/FVC), juga efektif meningkatkan status pernafasan, yaitu menurunkan maxsimum RR. Namun demikian tidak ada (MIP), maximal exspiratory pressure perbedaan efektifitas antara posisi (MEP), pergerakan diafragma selama CKD dengan posisi CKD dan PLB tidal breathing atau forced breathing untuk pada posisi duduk atau supinasi, atau meningkatkan status pernafasan, yaitu menurunkan RR. inspiratory pressure posisi CKD dengan tangan disupport ii pada lutut (tripod position) pada Perbedaan hasil penelitian ini pasien dengan PPOK. Hasil ini juga dengan penelitian Bhatt et al (2009), tidak didukung oleh penelitian Kera kemungkinan dapat disebabkan oleh dan yang derajat pasien PPOK. Pada penelitian melaporkan bahwa TV tidak berubah Bhatt et al (2009) derajat PPOK pada secara signifikan pada posisi duduk respondenya tidak dijelaskan begitu pada 15 laki-laki dewasa. Hasil juga pada penelitian ini derajat penelitian ini juga tdak sejalan PPOK tidak dapat teridentifikasi dengan penelitian Filibeck (2005) dikarenakan alat yang rusak. Berat yang menunjukkan bahwa tidak ada ringannya derajat PPOK tentunya perbedaan dalam ukuran fungsi paru akan berpengaruh terhadap kondisi (VE, FVC, FEV1 dan) dan frekuensi pernafasan pasien PPOK, mengingat pernapasan, denyut jantung, dan penyakit ini adalah suatu penyakit saturasi O2 antara merosot dan tegak paru obstruktif kronik yang bersifat duduk pada pasien dengan PPOK. progresif dan irreversibel. Alasan ini Maruyama (2005) Perbedaan hasil penelitian ini diperkuat oleh teori yang dapat dijelaskan sebagai berikut: disampaikan GOLD (2006) yang pada penelitian Kera dan Maruyama menyatakan (2005) pernafasan maupun Fillibeck (2005) pada penilitian posisi yang diberikan hanya posisi duduk dan bahwa pasien kondisi PPOK dapat dilihat dari berat ringannya derajat PPOK. posisi duduk merosot/ semi fowler. Posisi CKD akan meningkatkan Tentulah hal tersebut menyebabkan otot diafragma dan otot interkosta hasil yang berbeda pada penelitian eksternal pada posisi kurang lebih 45 ini, derajat. Otot diafragma merupakan karena pada penelitian ini perlakuan yang diberikan sama-sama otot posisi duduk, hanya saja posisi interkosta eksternal juga merupakan duduknya otot inspirasi. Otot diafragma yang adalah CKD dengan utama kedua menyebabkan gaya grafitasi bumi menyangga kepala. untuk 45 otot berada tangan posisi dan tangan disangga oleh bantal dan telapak pada inspirasi derajat bekerja cukup adekuat pada otot ii utama inspirasi dibandingkan tersebut posisi duduk atau inspirasi dengan energi yang menggunakan sedikit dapat setengah duduk. Gaya grafitasi bumi mengurangi kelelahan pasien saat yang bekerja pada otot diafragma bernafas dan juga meminimalkan memudahkan penggunaan oksigen. berkontraksi otot tersebut bergerak ke bawah Peningkatan kontraksi pada otot memperbesar volume rongga toraks diafragma dengan eksternal saat proses inspirasi juga menambah panjang dan otot interkosta vertikalnya. Begitu juga dengan otot meningkatkan interkosta eksternal, gaya grafitasi intraabdomen saat otot-otot inspirasi bumi yang bekerja pada otot tersebut tersebut melemas. Otot intraabdomen mempermudah iga terangkat keluar merupakan otot utama ekspirasi. sehingga rongga semakin toraks memperbesar dalam dimensi anteroposterior. Peningkatan otot kontraksi otot intraabdomen akan meningkatkan tekanan intrabdomen. Peningkatan Rongga toraks yang membesar menyebabkan kontraksi tekanan rongga toraks di dalam mengembang dan tekanan intrabdomen mendorong diafragma akan ke atas semakin terangkat ke rongga toraks memaksa paru untuk mengembang, sehingga dengan ukuran rongga toraks. Otot ekspirasi demikian tekanan akan menurun. intraalveolus Penurunan tekanan yang semakin lain memperkecil yaitu otot interkosta intraalveolus internal dengan diposisikan CKD lebih rendah dari tekanan atmosfir menepatkan otot tersebut pada sudut menyebabkan udara mengalir masuk sekitar ke dalam pleura. memungkinakan Proses bahwa tersebut dengan menujukan posisi CKD 45 derajat, gaya yang grafitasi bekerja lebih optimal. Gaya grafitasi bumi tersebut akan membantu mempermudah pasien PPOK yang menarik otot interkosta interna ke mengalami obstruktif jalan nafas bawah melakukan inspirasi tanpa banyak toraks semakin kecil. mengeluarkan energi. sehingga ukuran rongga Proses iii Ukuran rongga toraks yang semakin kecil membuat tekanan intraalveolus selama ekspirasi aktif atau dengan mengadopsi posisi tubuh CKD. semakin meningkat. Adanya peningkatan Peningkatan tekanan intraalveolus udara ekspirasi maka yang menurun melebihi tekanan atmosfir jumlah CO2 akan didalam tubuh. menyebabkan udara mengalir keluar Menurunnya CO2 di dalam tubuh dari paru. akan Proses ventilasi yang meningkat menyebabkan frekuensi pernafasan pada pasien PPOK yang diposisikan Sebagaimana CKD Guyton akan meningkatkan menurunnya (RR). disampaikan (1999) dan oleh Sheerwood pengeluaran CO2 dan meningkatkan (2001) bahwa kelebihan CO2 atau asupan ion oksigen ke dalam intraalveolus. hydrogen mempengaruhi pernafasan terutama melalui efek Peningkatan proses ventilasi perangsangan langsung atas pusat pada pasien yang diposisikan CKD pernafasan didasarkan yang semakin meningkatnya kadar CO2 disampaikan oleh Sherwood (2001) dapat menyebabkan meningkatnya bahwa bulkflow udara ke dalam dan frekuensi pernafasan dan sebaliknya keluar paru terjadi karena perubahan menurunnya siklus tekanan intraalveolus yang menyebabkan menurunnya frekuensi secara tidak langsung ditimbulkan pernafasan (RR). Hal ini juga senada oleh aktifitas otot-otot pernafasan. dengan Hal oleh Sergysels (1991, dalam Landers et Gorman (2002); Kleinman (2002) al., 2006) yang menunjukan adanya dalam Gosselink (2003), bahwa pada peningkatan tingkat ekspirasi akhir pasien PPOK , pergerakan diafragma dan ekspirasi yang aktif pada posisi dan kontribusinya terhadap volume CKD dari pada duduk bersandar. Hal tidal seperti orang yang beristirahat. senada Diafragma penelitian Landers et al (2006) senada pada teori disampaikan dapat diperpanjang dengan meningkatkan tekanan perut bahwa itu sendiri, kadar penelitian juga posisi sehingga CO2 Willeput didapatkan condong dan melalui kedepan dengan menempatkan kepala dan iv leher pada posisi yang sejajar atau Tekanan intrabdomen yang selaras dapat mengurangi obstruksi meningkat lebih kuat lagi tentunya jalan akan meningkatkan pula pergerakan nafas dan membantu meningkatkan fungsi paru. diafragma ke atas membuat rongga Pendapat peneliti juga sejalan torak semakin mengecil. Rongga dengan penelitian yang dilakukan toraks yang semakin mengecil ini oleh Kim, et al (2012). Hasil menyebabkan tekanan intraalveolus penelitian (2012) semakin meningkat sehinga melebihi menunjukan bahwa aktifitas otot SM tekanan udara atmosfir. Kondisi dan tersebut akan menyebabkan udara Kim, SCM et al meningkat secara signifikan pada posisi CKD dengan mengalir lengan disangga pada paha ataupun atmosfir. Ekspirasi yang dipaksa lengan pada disangga kepala dibandingkan posisi netral. PLB adalah bernafas yang keluar bernafas dari PLB paru juga akan menyebabkan obstruksi jalan nafas suatu latihan terdiri dari dua dihilangkan pernafasan sehinga resistensi menurun. Penurunan mekanisme yaitu inspirasi secara resistensi kuat dan dalam serta ekspirasi aktif memperlancar dan panjang. Proses ekspirasi secara dihembuskan dan atau dihirup. normal ke pernafasan akan udara yang merupakan proses Bernafas PLB selain ekspirasi nafas tanpa dipaksa juga diperpanjang. Upaya mengelurkan menggunakan energi. Bernafas PLB memperpanjang melibatkan proses ekspirasi secara mencegah udara dihembuskan secara paksa. spontan yang dapat berakibat paru Ekspirasi secara paksa tentunya akan meningkatkan kontraksi otot kekuatan intraabdomen ekspirasi akan kolap atau runtuh, dengan demikian dengan bernafas PLB membantu mengeluarkan udara yang sehingga tekanan intraabdomen pun terperangkap pada pasien PPOK meningkat sehingga melebihi ekspirasi pasif. pada saat CO2 di paru dapat dikeluarkan. v Pengeluaran paru pasien PPOK setelah diposisikan memberikan peluang kepada O2 CKD dengan setelah diposisikan untuk mengisi ruang alveolus lebih CKD dan PLB. Logikanya posisi banyak lagi. Apalagi pada bernafas CKD PLB juga ada mekanisme inspirasi inspirasi dan ekspirasi maka dengan yang maka posisi CKD dan bernafas PLB pada membantu pasien dengan PPOK kerja inspirasi kuat CO2 dan mekanisme ini meningkatkan dari dalam, akan asupan O2 ke alveolus. alveolus tekanan O2 dibandingkan di dengan tekanan O2 di kapiler paru dan rendahnya tekanan CO2 di alveolus dibandingkan CO2 dengan di tingginya kapiler paru dapat meningkatkan dan ekspirasi akan lebih optimal lagi, beban Tingginya tekanan saja otot inspirasi sehingga udara hiperinflasi menurun, berkurang, terperangkap/ kapasitas residu juga menurun dan pertukaran gas pun meningkat. Penjelasan mekanisme bernafas PLB ini didasarkan pada prinsip menyebabkan meningkatnya gradien pertukaran tekanan gas-gas tersebut di atara pernafasan kedua sisi. disampaikan oleh Sherwood (2001). tekanan Perbedaan gradient O2 yang tinggi gas dan resistensi sebagaimana Penjelasan mekanisme PLB juga meningkatkan pertukaran gas, yaitu didukung difusi O2 dari alveolus ke kapiler disampaikan oleh Chung Ong (2012) paru. Perbedaan tekanan CO2 yang bahwa dengan breathing exercise tinggi juga meningkatkan pertukaran PLB menyebabkan otot inspirasi gas, yaitu difusi CO2 dari kapiler bekerja lebih optimal sehingga beban paru ke alveolus untuk selanjutnya terhadap dikelurkan ke atmosfir. berkurang. Oleh karena itu mekanisme Hasil oleh otot teori inspirasi penelitian ini yang pun sejalan bernafas PLB sebagaimana tersebut dengan penelitan Kim et al. (2012) di atas dapat memberikan penjelasan yang kepada hasil penelitian ini bahwa ada bernafas perbedaan frekuensi pernafasan pada meningkatkan tidal volum (TV) dan menunjukan PLB bahwa pola signifikan vi menurunkan RR dibandingkan membutuhkan energi untuk bernafas alamiah. Hasil penelitian ini melakukan tindakan tersebut dan juga sejalan dengan penelitian Jones, dapat membuat pasien kelelahan. Dean dan Chow (2003) yang juga Kelelahan juga akan berdampak menunjukan PLB kepada meningkatnya frekuensi RR. meningkatkan Tidal Volume dan Hasil komunikasi verbal terhadap menurunkan RR pada pasien dengan beberapa pasien PPOK kelompok PPOK. perlakuan menyampaikan rasa yang bahwa Sejauh pengetahuan peneliti lelah setelah bernafas PLB, penelitian tentang tindakan posisi walaupun setelahnya mereka merasa CKD dan PLB yang dilakukan lebih baik dalam bernafas. bersama-sama belum pernah diteliti. Pendapat ini sejalan dengan Tindakan memposisikan CKD dan penelitian Alfanji dan Harry (2011) PLB secara penelitian bersama-sama pada bahwa memang tidak sebanyak ini PLB 4 yang kali dilakukan dalam sehari perpengaruh terhadap penurunan RR sebelum makan dan sebelum tidur tapi selama 30 menit dan dilakukan ada secara deskripsit ada perbedaan hasil walaupun hasilnya secara teratur maka tidak signifikan. minggu didapatkan hasil saturasi Tidak lebih efektifnya tindakan setelah 3 oksigen secara signifikan meningkat, gabungan posisi CKD dan PLB dari PaCO2 posisi CKD saja pada penelitian ini bernafas secara signifikan menurun. mungkin dikarenakan jeda menurun Hasil dan frekuensi penelitian pengukuran yang sangat singkat menunjukan terhadap RR pada kedua kelompok untuk meningkatkan SaO2. Posisi tersebut. Sementara seperti sudah CKD dan PLB juga efektif untuk disampaikan meningkatkan bernafas PLB sebelumnya terdiri bahwa dari posisi juga CKD SaO2 dan efektif ada dua perbedaan efektifitas antara posisi mekanisme utama yaitu inspirasi CKD dan posisi CD dengan PLB yang dalam dan kuat serta ekspiasi dalam meningkatkan SaO2 bermakna paksa dan panjang, yang tentunya secara statistik. vii Mekanisme yang dapat punggungnya pada posisi CKD digunakan untuk menjelaskan hasil walaupun pada posisi ini pernafasan penelitian ini adalah sebagai berikut: dirasakan lebih baik. Sebagaimana pada pasien yang diposisikan semi telah fowler berdasarkan telaah terhadap bahwa kelelahan dapat meningkatkan konsep dan teori sebagaimana telah desosiasi oksigen Hb. disampaikan oksigen Hb Sherwood (2001) disampaikan tentang bulkflow aliran udara dari menyebabkan dan ke paru, maka pada posisi menurun. sebelumnya yang nilai Desosiasi meningkat SaO2 akan tersebut dapat diprediksi inspirasi Hasil penelitian ini tidak sejalan dan ekspirasi kurang adekut. Namun dengan penelitian Filibeck (2005) posisi tersebut merupakan posisi yang menunjukan bahwa tidak ada yang nyaman, punggung perbedaan dalam ukuran fungsi paru dapat disangga oleh bantal/ kasur (VE, FVC, FEV1) dan frekuensi RR, sehingga mengurangi kelelahan. denyut jantung serta SaO2 pada Kelelahan yang berkurang posisi duduk merosot/ semi fowler karena meminimalkan oksigen terdesosiasi sehingga yang SaO2 dan duduk tegak pada pasien PPOK. Penelitian Fillibeck (2005) meningkat lebih tinggi dibandingkan posisi yang diamati adalah posisi dengan duduk dan semi fowler. Pada posisi pasien yang diposisikan CKD. semi Pada posisi CKD inspirasi dan fowler terhadap berdasarkan konsep dan teori ekspirasi memang lebih adekuat, sebagaimana namun posisi ini pada kondisi pasien Sherwood (2001) tentang bulkflow yang aliran udara dari dan ke paru, maka lemah kelelahan akan pada meningkatkan pasien tersebut. telah telaah disampaikan pada posisi tersebut dapat diprediksi Kelelahan yang dapat terjadi pada inspirasi dan ekspirasi kurang pasien tersebut didukung oleh hasil adekut. Demikian pula pada posisi informasi secara verbal pada saat duduk tegak. penelitian dari beberapa responden tegak yang menyampaikan merasa lelah diafragma Pada posisi duduk peningkatan kerja dan otot otot interkosta viii eksterna tidak ada karena posisi otot teori yang disampaikan oleh Chung tersebut tegak lurus dengan gaya Ong (2012) bahwa posisi CKD grafitasi bumi, sementara pada posisi memudahkan terjadinya inspirasi dan semi fowler terdapat gaya grafitasi ekspirasi yang akan berdampak pada bumi yang berkerja namun kerjanya perubahan volume paru. Chung Ong berlawanan dengan kerja otot utama (2012) inspirasi. Begitu juga dengan otot menurun ekspirasi pada posisi duduk tegak, meningkat. peningkatan kerja pada otot tersebut juga kapasitas dan residu pertukaran Peningkatan gas pertukaran gas tidak ada. Kondisi seperti ini pada pada pasien yang melakukan posisi pasien mengalami CKD dan PLB maka oksigen yang obstruktif menurut peneliti kurang berpindah ke kapiler paru pun akan dapat meningkat PPOK yang membantu meningkatkan dan CO2 yang inspirasi dan ekspirasi, sehingga dikeluarkan ke alveolus pun akan pada akhirnya kedua posisi tersebut meningkat. kurang efektif untuk meningkatkan oksigen yang berpindah ke kapiler SaO2. paru akan meningkatkan jumlah Peningkatan SaO2 pada pasien Peningkatan jumlah oksigen yang terikat oleh Hb. SaO2 PPOK dengan kadar Hb tinggi yang adalah dilakukan posisi CKD dan PLB hemoglobin dimungkinkan karena dengan posisi teroksigenasi CKD hemoglobin dalam darah (total kadar dapat pergerakan menyebabkan meningkatkan diafragma perubahan sehingga volume adalah HbO2 rasio oksigen/ hemoglobin (HbO2) dan terdeoksigenasi kadar dengan hemoglobin (Hb), dengan paru dan dengan breathing exercise demikian SaO2 pun akan meningkat. PLB otot inspirasi bekerja lebih Sebagaimana optimal sehingga terjadi penurunan Sherwood (2001) bahwa peningkatan kerja elastis bernafas menyebabkan PaO2 akan meningkatkan afinitas Hb kapasitas residupun menurun serta terhadap oksigen dan penurunan pertukaran gas pun dapat meningkat. jumlah CO2 juga akan meningkatkan disampaikan oleh Penjelasan ini didukung oleh konsep ix afinitas Hb terhadap oksigen dan menurunkan keluhan sesak nafas sebaliknya. bermakna secara statistik. Kecenderungan kadar Hb pada Hasil penelitian menunjukan pasien PPOK akan meningkat. Hal tidak efektifnya posisi CKD untuk tersebut menurunkan keluhan sesak nafas, disebabkan hipoksemia akibat obstruksi pada saluran nafas tidak yang menyebabkan Gosselink (2003) dan KNGF (2008) terpicunya mekanisme pembentukan bahwa posisi CKD telah terbukti sel meningkatkan fungsi diafragma, dan progresif darah merah. Hipoksemia sejalan menyebabkan tubuh berkompensasi karenanya membentuk dinding sel darah merah rekrutmen akan meningkat di dalam tubuh. Hb Dyspnea. pendapat meningkatkan dada sehingga jumlah sel darah merah merupakan komponen dari sel darah dengan dan otot gerakan mengurangi aksesori dan Perbedaan hasil penelitian ini merah sehingga jumlah sel darah dapat dijelaskan merah secara pada posisi CKD inspirasi dan otomatis akan meningkatkan kadar ekspirasi memang lebih adekuat, Hb. namun posisi ini pada kondisi pasien yang meningkat Sebagaimana disampaikan Guyton (1996) dan Sherwood (2001) yang bahwa faktor utama yang memicu kelelahan pembentukan sel darah merah adalah Kelelahan yang dapat terjadi pada adanya kekurangan O2 di dalam pasien tersebut didukung oleh hasil tubuh/ hipoksemia, karena adanya informasi secara verbal pada saat hipoksemia direspon oleh tubuh penelitian dari beberapa responden sebagai keadan kekurangan sel darah yang menyampaikan merasa lelah merah. punggungnya Hasil posisi penelitian CKD menunjukan tidak efektif lemah sebagai berikut: akan pada meningkatkan pasien pada tersebut. posisi CKD walaupun pada posisi ini pernafasan dirasakan lebih baik. Namun lebih menurunkan keluhan sesak nafas. baik yang Posisi CKD dan PLB efektif untuk menjadi diarasakankan tidaklah pun bermakna perbedaannya. x Sebagaimana telah disampaikan CKD. Berdasarkan pengetahuan sebelumnya bahwa kelelahan dapat peneliti pengaruh tindakan gabungan meningkatkan desosiasi oksigen Hb. antara posisi CKD dengan bernafas Desosiasi PLB belum pernah dilakukan. oksigen Hb yang meningkat menyebabkan nilai SaO2 Namun demikian menurut akan menurun. Kelelahanpun dapat peneliti hasil penelitian ini dapat meningkatkan penggunaan oksigen dijelaskan dan peningkatan CO2 lebih banyak sebagai berikut: posisi CKD dapat sehingga respon ini akan dapat meningkatkan pergerakan diafragma dipersepsikan sebagai suatu sensasi sehingga menyebabkan perubahan bernafas nyaman volume paru dan dengan breathing sehingga munculah keluhan sesak exercise PLB otot inspirasi bekerja nafas atau keluhan sesak nafas lebih berkurang penurunan kerja elastis bernafas yang tidak sebagaimana hasil melalui optimal dan akan sehingga tidak menunjukan perbedaan yang berkurang dan kapasitas residupun signifikan. akan menurun serta pertukaran gas penelitian ini sejalan otot terjadi deskriptif pada penelitian ini namun Hasil beban mekanisme inspirasi pun dapat meningkat. Efek dari PLB dengan penelitian Bianchi et al. tersebut menurut peneliti masih (2004) dan Ramos et al (2009). Hasil dapat memenuhi kebutuhan oksigen penelitian Bianchi, et al. (2004) PLB yang cukup tinggi apabila pada menurunkan volume akhir ekspirasi pasien tersebut mengalami kelelahan dan meningkatkan volume akhir karena tindakan yang diberikannya. inspirasi serta meningkatkan kondisi Kecukupan oksigen di dalam pernafasan (menurunkan skala Brogs tubuh dan meningkatnya jumlah Scale). CO2 yang dikeluarkan dari dalam Bernafas PLB sebagai tindakan tubuh melalui tindakan posisi CKD yang diberikan pada penelitian ini dan PLB membuat pola pernafasan sebenarnya tidaklah berdiri sendiri menjadi lebih baik dan frekuensi tetapi pernafasan tindakan ini digabung sekaligus dengan pasien diposisikan pun menjadi lebih menurun mendekati normal. Kondisi xi pernafasan yang lebih baik membuat uadara dari dan ke paru dan pusat pasien merasa lebih nyaman dalam pengaturan pernafasan. Penjelasan bernafas setelah diposisikan CKD ini juga didasarkan pada teori yang dan PLB. Sensasi rasa nyaman dalam dikemukakan bernafas Thorasic dipersepsikan sebagai keluhan sesak nafas yang menurun. Penjelasan Society American (1999, dalam Chung Ong, 2012) bahwa dypsnea hasil diidentifikasi sebagai persepsi atau penelitian ini didasarkan pada teori pengamatan sensasi abnormal dan yang disampaikan oleh Sherwood mengganggu pernapasan. (2001) mekanisme oleh tentang Hasil bulkflow penelitian aliaran menunjukan PPOK akan mengalami udara yang posisi CKD dan posisi CKD dan terperangkap PLB tidak efektif meningkatkan trapping) jumlah udara yang dihembuskan. obstruksi saluran nafas. Adanya air Posisi CKD selama 10 menit pertama dan 30 menit berikutnya dengan jeda istirahat setiap 5 menit yang dilakukan pada pasien PPOK dalam penelitian ini dan hanya dilakukan satu kali tersebut nampaknya belum berhasil untuk meningkatkan kemampuan diafragma berkontraksi secara efektif dan belum mampu trapping atau terjebak dikarenakan dalam (air adanya keadaan lama menyebabkan diafragma mendatar, kontraksi kurang efektif fungsinya sebagai otot pernafasan berkurang dan utama terhadap ventilasi paru. kondisi tersebut dapat menyebabkan menurunnya jumlah udara yang dapat dihembuskan. Hasil pada penelitian ini sejalan membuka dengan penelitian yang dilakukan obstruksi jalan nafas yang ada secara oleh Bhatt et al. (2009). Hasil adekuat sehingga kedua tindakan ini penelitian tidak efektif meningkatkan jumlah menunjukan bahwa udara yang dapat dihembuskan. perbedaan tekanan Sebagaimana disampaikan oleh Barnett (2006) bahwa pada pasien inspirasi Bhatt dan et tekanan al. tidak (2009) ada maksimal maksimal ekspirasi pada pasien PPOK yang xii diposisikan CKD dengan pasien hanya diberikan satu kali sehingga PPOK yang diposisikan duduk. mungkin Hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian Kim et al. (2012), yang menunjukan adanya peningkatan jumlah udara yang dapat dimbuskan pada pasien PPOK yang diposisikan CKD. Hasil penelitian ini juga tidak sejalan dengan penelitain Shinde dan Shinde (2012) yang menunjukan bahwa pada posisi tegak maka peak expiratory flow rate belum mampu meningkatkan kemampuan menghembuskan udara. Faktor alat mungkin juga berkontribusi terhadap hasil penelitian ini karena lubang yang besar membuat pembukaan mulut semakin lebar sehingga pasien kesulitan untuk udara sebagaimana disampaikan menghembuskan oleh pernah beberapa responden secara verbal. (PEFR) meningkat secara signifikan Simpulan dibandingkan dengan posisi kepala 1. Posisi CKD efektif untuk meningkatkan kondisi pernafasan yang tertunduk (head down). pasien PPOK, yaitu menurunkan Secara logika ekspirasi yang meningkat pada posisi CKD RR, meningkatkan SaO2 dan akan jumlah udara yang dihembuskan membantu mengeluarkan udara yang tapi tidak efektif menurunkan terperangkap, yaitu karbondioksida (CO2). Walaupun secara statistik pada penelitian ini tidak keluhan sesak nafas 2. Posisi CKD dan PLB efektif efektif menurunkan RR, keluhan sesak untuk meningkatkan jumlah udara nafas dan meningkatkan SaO2, yang tapi tidak efektif meningkatkan dihebuskan, tetapi secara deskriptif ada beberapa pasien yang mengalami peningkatan jumlah jumlah udara yang dihebuskan. 3. Posisi CKD dan PLB lebih efektif menurunkan keluhan sesak nafas udara yang dihembuskan. dan meningkatkan SaO2, dan Faktor berkontribusi lain yang terhadap mungkin hasil penelitian ini adalah perlakuan yang posisi CKD lebih efektif meningkatkan jumlah udara yang dihembuskan. 22 sejenis dengan memperhatikan Saran derajat PPOK dan lama waktu 1. Para pengelola rumah sakit : pemeberian perlu melakukan kajian lebih CKD dan PLB. mendalam dan dukungan terhadap berbagai Rujukan penelitian tentang pengaruh Abidin, A., Yunus, F., Wiyono, W.H., & Ratnawati, A. (2009). Manfaat Rehabilitasi Paru dalam Meningkatkan atau Mempertahankan Kapasistas Fungsional dan Kualitas Hidup Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik di RSUP Persahabatan. Jurnal Respirologi Indonesia.V.29.N.2 Ambrosino, N. & Serradori, M. (2006). Comprehensive Treatment of Dyspnoea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease Patients. University Hospital of Pisa: Long Termhealth Care berdasarkan kajian-kajian tersebut dapat tersusun suatu pedoman penatalaksanaan pasien PPOK yang tepat. Para perawat : ikut mendukung dan membantu dalam kegiatan kajian dan penelitian yang lebih mendalam lagi terkait pengaruh posisi CKD dan PLB agar didapatkan hasil penelitian yang dapat dijadikan dasar dalam menyusun pedoman penatalaksanaan pasien PPOK. 3. Para pasien PPOK : disarankan untuk senantiasa memberikan dukungan dan bantuan khususnya kesediannya menjadi responden pada penelitian- penelitian yang akan dilakukan untuk mengaji lebih dalam pengaruh posisi CKD dan PLB. 4. posisi memberikan posisi CKD dan PLB sehingga 2. tindakan Para peneliti selanjutnya : untuk dapat melakukan penelitian Ambrosino, N., Giorgio, M.D., & Paco, A.D. (2006). Strategies to improve breathlessness and exercise tolerance in chronic obstructive pulmonary disease. Elsevier Respiratory Medicine. 2:2-8. diakses 19 Agustus 2012 dari doi:10.1016/j.rmedu.2006.06.0 02 Anwar, D., Chan, Y., & Basyar, M. (2012). Hubungan Derajat Sesak Napas Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik Menurut Kuesioner Modified Medical Research Council Scale dengan Derajat Penyakit Paru Obstruktif 23 Kronik. J Respir Indo. 2012; 32:200-7 Avanji, F.S.I. & Hajbaghery, M.A.(2011). Effects of Pursed Lip Breathing on Ventilation and Activities of Daily Living in Patients with COPD. WebmedCentral Rehabilitation.2(4):WMC0019 04. diakses 27 April 2012 dari http://www.webmedcentral.co m/article_view/1904 Barnes, P.J., Drazen, J.M., Rennard, S.I., & Thomson, N. (2009). Asma and COPD: Basic Mechanisms and Clinical Management, 2nd Ed. USA: Elsevier Barnett, M. (2006). Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Primary Care. Chichester · New York · Brisbane · Toronto · Singapore: John Wiley & Sons, Ltd Beauchamp, M.K., O’Hoski, S., BSc, Goldstein, R.S., & Brooks, D. (2010). Effect of Pulmonary Rehabilitation on Balance in Persons With Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Arch Phys Med Rehabil. Vol 91 Bentsen, S.B., Rustøen, T., & Miaskowski, C. (2012). Differences in subjective and objective respiratory parameters in patients with chronic obstructive pulmonary disease with and without pain. International Journal of COPD .7:137–143. Diakses 5 Mei 2013 dari http://dx.doi.org/10.2147/COP D.S28994 Bhatt, S.P., Guleria, R., LuqmanArafath, T.K., Gupta, A.K., Mohan, A., Nanda, S., & Stoltzfus, J.C. (2009). Effect of tripod position on objective parameters of respiratory function in stable chronic obstructive pulmonary disease. Indian J Chest Dis Allied Sci. 51:83–85 Bianchi, R. et al. (2007). Patterns of chest wall kinematics during volitional pursed-lip breathing in COPD at rest. Elsevier Rspiratory Medicine. 09546111/s. diakses 19 Agustus 2012 dari doi:10.1016/j.rmed.2007.01.02 1 Bianchi, R., et al. (2004). Chest Wall Kinematics and Breathlessness During Pursed-Lip Breathing in Patients With COPD.Chest Journal. 125;459-465 diakses 1 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/125/2/459.full.html Bianchi, R., et al. (2004). During Pursed-Lip Breathing in Patients With Chest Wall Kinematics and Breathlessness COPD. Chest Journal. 125;459-465. diakses 1 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/125/2/459.full.html Booth, S., & Dudgeon, D. (2006). Dyspnoea in Advanced Disease: A Guide to Clinical 24 Management. USA: University Press Oxford Burns, N., & Grove, S.K. (2008). The Practice of Nursing Research - Text and E-Book Package: Appraisal, Synthesis, and Generation of Evidence, 6th ed. USA: Elsevier Science Health Science Division Chung Ong, K. (2012). Chronic Obstructive Pulmonary Disease – Current Concepts and Practice. Croatia: In Tech Collins, E.G. et al. (2008). Can Ventilation–Feedback Training Augment Exercise Tolerance in Patients with Chronic Obstructive Pulmonary Disease?. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine,.Vol. 177, No. 8 (2008), pp. 844-852. diakses 19 Agustus 2012 dari www.clinicaltrials.gov Dahlan, M.S. (2008). Statistik untuk Kedokteran dan Kesehatan: deskriptif, bivariate dan multivariate dilengkapi aplikasi dengan menggunakan SPSS, 3rd ed. Jakarta: Salemba Medika De Marco, R. (2011). Risk Factor for Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Europan Cohort of Young adults. American Journal Respiratory Critical Care Medicine. Vol. 183.pp. 891-897 Dechman, G. & Wilson, C.R. (2004). Evidence Underlying Breathing Retraining in People With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of the American Phsiclal Therapy Assosiation. 84.pp.1189-1197. diakses 19 Agustus 2012 dari http://ptjournal.apta.org/conten t/84/12/1189 Dechman, G., & Wilson, C.R. (2004). Evidence Underlying Breathing Retraining in People With Stable Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal of the Amarican Physical Therapy Association. 84:1189-1197. diakses 27 Mei 2012 dari http://ptjournal.apta.org/conten t/84/12/1189 Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (2008). Keputusan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 1022/Menkes/SK/XI/2008. Jakarta: Depkes RI Departemen Kesehatan RI. (2008). Pedoman Pengendalian Penyakit paru Obstruktif Kronik. Jakarta: Direktorat Jendral Pengendalian penyakit dan Lingkungan, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan Jawa Tengah. Dislera, R.T., et al. (2011). Interventions to support a palliative care approach in patients with chronic obstructive pulmonary disease: An integrative review. Elsevier International Journal of 25 Nursing Studies. diakses 5 Februari 2012 dari www.elsevier.com/ijns 00207489 Djodjodibroto, D. (2009). Respirologi: Respiratory Medicine. Jakarata: EGC Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., & Murr, A.C. (2010). Nursing Care Plans: Guidelines for Indivualizing Clients Care across the Life Span (8th ed). Philadelphia: F.A. Davis Company Donohue, J.F., Sheth, K., Schwer, W.A., & Schlager, S.I. (2006). Asthma and COPD: Management Strategies for the Primary Care Provider.Chicago: Medical Communications Media, Inc Faager, Stahle dan Larsen (2008), dengan judul penelitian Influence of Spontaneous Pursed Lips Breathing on Walking Endurance and Oxygen Saturation in Patients with Moderate to Severe Chronic Obstructive Pulmonary Disease Faager, Stahle dan Larsen (2008), dengan judul penelitian Influence of Spontaneous Pursed Lips Breathing on Walking Endurance and Oxygen Saturation in Patients with Moderate to Severe Chronic Obstructive Pulmonary Disease Sistemik Pada PPOK Terhadap Sistem Kardiovaskular. Jurnal Respirologi Indonesia.V.29.N.3 Fillibeck, et al, (2005), dengan judul penelitian Does Sitting Posture in Chronic Obstructive Pulmonary Disease Really Matter ? An Analysis of Two Sitting Postures and Their Effect on Pulmonary and Cardiovascular Function. Fregonezi, G.A. de F., Resqueti, a,b,c V.R., & Rousa R. G. (2004). Pursed Lips Breathing. Arch Bronconeumol. Review Article.40(6):279-82 Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease. (2006).Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: MCR VISION, Inc. Global Initiative For Chronic Obstructive Lung Disease. (2010).Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. USA: MCR VISION, Inc. Gosselink, R. (2003). Controlled breathing and dyspnea in patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Journal of Rehabilitation Research and Development. Vol. 40, No. 5. Supplement 2. 25-34 Fahri, I., Dianiati, K.S., & Yunus, F. (2009). Efek Peradangan 26 Hanania, N.A., & Sharafkhaneh, A (Eds). (2011). COPD: A Guide to Diagnosis and Clinical Management. New York: Humana Press Heffner, J.E., Mularski, R.A., & Calverley, P.M.A. (2010). Opportunities for Improving Care COPD Performance Measures: Missing. Chest Journal. DOI 10.1378/chest.09-2306. diakses 2 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/early/2010/03/24/che st.09-2306 Heijdra, y.f, Dekhuijzen, van Herwaarden, P.N.R., & Folgering, H.T.M. (1994). Effects of body position, hyperinflation, and blood gas tensions on maximal respiratory pressures in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Thorax Journal.49:453-458. diakses 25 Juni 2013 dari thorax.bmj.com Hojat, B., & Mahdi, E. (2011). Effect of different sitting posture on pulmonary function in students. Journal of Physiology and Pathophysiology. Vol. 2(3). Pp.29-33. diakses 13 Juni 2013 dari http://www.academicjournals.o rg/jpap Hulley, S.B., Cummings, S.R., Waren, S., Grady, D.G., Newman, T.B. (2007). Designing Clinical Research (3rd ed). Lippincott: Williams & Wilkins Ioannis Vogiatzis, I., et al. (2010). Intercostal Muscle Blood Flow Limitation during Exercise in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. American Journal Respiratory Critical Care Medicine. Vol 182. pp 1105–1113. diakses 19 Agstus 2012 dari www.atsjournals.org Izadi-avanji , F.S. & AdibHajbaghery, M. (2011). Effects of Pursed Lip Breathing on Ventilation and Activities of Daily Living in Patients with COPD. Webmed Central Rehabilitation 2(4):WMC001904 diakses 19 Agustus 2011 darihttp://www.webmedcentral .com/article_view/1904 Johns Hopkins Medical Disclaimer & Johns Hopkins Health Alert (Eds). (2009). Guide to New Treatment For COPD. New York : MediZine LLC Jones, A.Y., Dean, E., & Chow, C.C. (2003). Comparasion of The Oxygen Cost of Breathing Exercises and Spontaneuous Breathing in Patients with Stable Chronic Obstructive Pulmonary Desease (COPD). Physio Therapy Journal. Vol. 83. Pp. 424-431. Kamangar. (2010). Epidemiologi Penyakit Tidak Menular. Jakarta: PT Rineka Cipta Kant, S., & Singh, G.F. (2006). Breathing Exercises as adjuvant in the Management of 27 COPD: an Overview. Lung India. Vol. 23. pp. 165-169. diakses 18 Agustus 2012 dari http://www.lungindia.com/t ext.asp?2006/23/4/165/44394 Kendrick, K.R., Baxi, S.C., Smith, R.M., & Diego, S. (2000). Usefulness of the modified 010 Borg scale in assessing the degree of dyspnea in patients with COPD and asthma. Journal of Emergency Nursing. Vol. 3:3: 216-222 Kera, T. & Maruyama, H. (2005). The effect of posture on respiratory activity of the abdominal muscles. J Physiol Anthropol Appl Human Sci.24(4):259-65. diakses 19 Agustus 2012 dari http://www.jstage.jst.go.jp/bro wse/jpa Kim et al. (2012). Effects of breathing maneuver and sitting posture on muscle activity in inspiratory accessory muscles in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Multidisciplinary Respiratory Medicine. 7:9. diakses 13 Juni 2013 dari http://www.mrmjournal.com/c ontent/7/1/9 Kimathianaki M., Vaporidi, K., & Georgopoulos, D. (2011). Respiratory muscle dysfunction in COPD from muscles to cell. Curr Drug Targets.12:478–488. KNGF. (2008). Chronic Obstructive Pulmonary Disease: Practice Guidelines. England: Royal Dutch Society for Physical Therapy Lau, J., Chew, P.W., Wang, C., & White, A.C. (2004). LongTerm Oxygen Therapy for Severe COPD. England: TuftsNew England Medical Center EPC Lee LJ, Chang AT, Coppieters MW, Hodges PW: Changes in sitting posture induce multiplanar changes in chest wall shape and motion with breathing. Respir Physiol Neurobiol 2010, 170:236–245. Leidy, N.K., et al. (2010). Standardizing Measurement of Chronic Obstructive Pulmonary Disease Exacerbations Reliability and Validity of a Patient-reported Diary. American Journal Respiratory Critical Care Medicine. Vol 183. pp 323– 329. diakses 2 Mei 2012 dari www.atsjournals.org Lin, F., Parthasarathy, S., Taylo,r S.J., Pucci, D., Hendrix, R.W., & Makhsous M: Effect of different sitting postures on lung capacity, expiratory flow, and lumbar lordosis. Arch Phys Med Rehab, 87:504–509. 28. Lodewijckx, C., et al. (2011). Impact of care pathways for inhospital management of COPD exacerbation: A systematic review. International Journal of Nursing Studies Elsevier. Resp. 48. diakses 2 Juni 2013 28 dari doi:10.1016/j.ijnurstu.2011.06. 006 Maestu, P.L., & Stringer, W.W. (2006). Hyperinflation and its management in COPD. International Journal of COPD. 1(4) 381–400 Mahler, D.A. (2006). Mechanisms and Measurement of Dyspnea in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Proc Am Thorac Soc. Vol 3. pp 234– 238. diakses 13 Juli 2013 dari www.atsjournals.org Mahler, D.A., Gifford, A.H., Wateman, L.A., Ward, J., Machala, S., & Baird, J.C. (2011). Mechanism of Greater Oxygen Desaturation during Walking Compared with Cycling in COPD. Chest Journal. DOI 10.1378/chest.10-2415. diakses 2 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/early/2011/01/18/che st.10-2415 Marhana, I.A., & Amin, M. (2010). Korelasi Saturasi Oksigen Perkutan Dengan Parameter Derajat keparahan (Severity) Pada Asma Eksaserbasi Berdasarkan Kriteria Global Initiative of Asthma 2008. Majalah Kedokteran Respirasi Vol. 1. No. 3 Oktober 2010 Martin, A.D., & Davenport, P.W., (2011). Extrinsic Threshold PEEP Reduces Post Exercise Dyspneu in COPD Patients: A Placebo Controlled, Double Blind Cross Over Study. Cardiopulmonary Physio Therapy Journal. Vol. 22.pp.510 More, T. (2007). Respiratory assessment in adults. Nursing Standart. 21.49.48-56 Naga,S.S. (2013). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Yogyakarta: Diva Press Namrata, P. & Anjali, B. (2012). Effect of Different Sitting Postures in Wheel Chair on Lung Capacity, Expiratory Flow in Patients of Spinal Cord Injury of Spine Institute of Ahmebadad. National Journal of Medical Research. Vol. 2.I.2. National Institute For Health and Clinical Excellence. (2010). Chronic obstructive pulmonary disease Management of chronic obstructive pulmonary disease in adults in primary and secondary care (partial update). Manchester: NICE Clinical Guideline Nield, et al (2007), dengan judul Efficacy of Pursed-Lips Breathing: a Breathing Pattern Retraining Strategy for Dyspnea Reduction ase (COPD). Nield, M.A., Soo Hoo, G.W., Roper, J.M., & Santiago, S. (2007). Efficacy of pursed-lips breathing: a breathing pattern retraining strategy for dyspnea reduction. Journal 29 Cardiopulmonal Rehabilitation Prev.27(4):23744. diakses 19 Agustus 2012 dari www.jcrjournal.com Nisha Shinde, N., & KJ Shinde . (2012). Peak expiratory flow rate: Effect of body positions in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Indian Journal of Basic & Applied Medical Research. Vol.-1, I-4, P. 357-362. diakses 13 Juni 2013 dari www.ijbamr.com Notoatmodjo, S. (2010). Metode Penelitian Kesehatan. Edisi 2. Jakarta: PT Rineka Cipta Ottenheijm, C.AC., Heunks, L.M., & Dekhuijzen, R.P. (2008). Diaphragm adaptations in patients with COPD. Respiratory Research. 9:12 doi:10.1186/1465-9921-9-12. diakses 20 Agustus 2012 dari http://respiratoryresearch.com/content/9/1/12 Padkao, T., Boonsawat, W., & U Jones, C. (2010). Conical-PEP is safe, reduces lung hyperinflation and contributes to improved exercise endurance in patients with COPD: a randomised crossover trial. Journal of Physiotherapy. Vol. 56. p. 3336 Papavramidis, T.S., et al. (2011). Diaphragmatic Adaptation Following Intra Abdominal Weight Charging. Obesitas Surgery Journal. Vol. 21.pp.1612-1616 Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2003). Penyakit Paru Obstruktif Kronik Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Depkes RI Petty, T.L., Burns, M., & Tiep, B.L. (2005). Essentials of Pulmonary Rehabilitation: A Do It Yourself Guide To Enjoying Life With Chronic Lung Disease. California: A Pulmonary Education and Research Foundation publication Polit, D.F., & Beck, C.T. (2011). Nursing Research: Generating and Assessing Evidence for Nursing Practice, 9th Ed. Lippincot: William and Wilkins R Ramos, et al. (2009). Influence of pursed-lip breathing on heart rate variability and cardiorespiratory parameters in subjects with chronic obstructive pulmonary disease (COPD). Rev Bras Fisioter, São Carlos. v. 13, n. 4, p. 28893 Riyanto. (2006). Deskripsi Penyakit sistem Sirkulasi: Penyebab Kematian Utama di Indonesia. Cermin Dunia Kedokteran. No. 143 Russell, R., Norcliffe, J., & Bafadhel, M. (2012). Chronic obstructive pulmonary disease: management of chronic disease. Elsevier Ltd. All rights reserved. Medicine 40:5 30 Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., (2008). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-3. Jakarta: CV. Sagung Seto Sastroasmoro, S., dan Ismael, S., (2011). Dasar-dasar Metodologi Penelitian Klinis. Edisi ke-6. Jakarta: CV. Sagung Seto Sherwood, L. (2001). Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem (Human Physiology: From Cells to Systems). Penterjemah: Pendit, B.U., & Santoso, B.I. Jakarta: EGC Shinde, N., & KJ. Shinde, 2012Peak expiratory flow rate: Effect of body positions in patients with chronic obstructive pulmonary disease. Indian Journal of Basic & Applied Medical Research. Vol.-1, I-4, p. 357362. diakses 19 Agustus 2012 dari www.ijbamr.com Spahija, J., Marchie , M.d., & Grassino, A. (2005). Effects of Imposed Pursed-Lips Breathing on Respiratory Mechanics and During Exercise in COPD. Chestjournal. 128;640-650. diakses 29 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/128/2/640.full.html Sugiyono. (2010). Statistika untuk Penelitian. Edisi 16. Bandung: Alfabeta Tashkin, D.P., Rennard, S., Hays, J.T., Ma,W., Lawrence, D., & Lee, T.C. Effects of Varenicline on Smoking Cessation in Mild-to-Moderate COPD: A Randomized Controlled Trial. Chest Journal. DOI 10.1378/chest.10-0865. diakses 2 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/early/2010/09/21/che st.10-0865 Thomas, L. A. (2009). Effective dyspnea management strategies identified by elders with endstage chronic obstructive pulmonary disease . Elsevier. Applied Nursing Research 22 :79–85 diakses 19 Agustus 2012 dari www.elsevier.com/locate/apnr TPadkao, T., Boonsawat, W., & Jones, C.U. (2010). ConicalPEP is safe, reduces lung hyperinflation and contributes to improved exercise endurance in patients with COPD: a randomised crossover trial. Journal of Physiotherapy. Vol. 56. Australian Physiotherapy Association Troosters, T., Casaburi, R., Gosselink, R. & Decramer, M. (2005). Pulmonary Rehabilitation in Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Journal Respiratory Critical Care Medicine. Vol 172. pp 19–38. diakses 19 Agustus 2012 dari www.atsjournals.org 31 Waschki, B., Kirsten,A., Holz,O., Müller,K.C., M, T., Watz, H., & Magnussen, H. (2011). Physical activity is the strongest predictor of all-cause mortality in patients with chronic obstructive pulmonary disease: a prospective cohort study . Chest Journal.DOI 10.1378/chest.10-2521. diakses 2 Mei 2012 dari http://chestjournal.chestpubs.or g/content/early/2011/01/18/che st.10-2521 Wust, R. CI. & Degens, H. (2007). Factors contributing to muscle wasting and dysfunction in COPD patients . International Journal Chronic Obstructrif Pulmonal Disease. 2(3): 289– 300. 32