ABSTRACT Effectiveness Lean Forward Position (LFP) with LFP

advertisement
ABSTRACT
Effectiveness Lean Forward Position (LFP) with LFP position and Pursed Lips
Breathing (PLB) to The Increase Patient Respiratory Conditions Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD)
Suci Khasanah1, Suwito2, Sri Sumaryani3
Student’s Magister of Nursing1, Muhammadiyah Yogyakarta University
Professor, School of Medicine2, Muhammadiyah Yogyakarta University
Magister of Nursing, School of Nursing3, Muhammadiyah Yogyakarta University
Background: Nurses as care providers have a role in providing nursing care to
help improve respiratory condition of COPD patient’s.
The purpose of the study is determine of effectiveness of the LFP and LFP and
PLB to increase respiratory condition COPD patients.
Methods: experimental study design randomized control trial with pre- post test
control group . Sample 30 COPD patients with random sampling technique.
Parameters studied : RR , SaO2, dypsneu ( modified Borg scale ) and the amount
of air that can be exhaled.
Results : A LFP was effectively decreased RR, increased SaO2 and increased the
amount of air that can be exhaled (ρ value 0.007 < α 0.05; ρ value 0.005 < α 0.05
and ρ value 0.020 < α 0.05) respectively. A LFP and PLB were effectively
decreased RR and dypsneu ( ρ value 0.000 < α 0.05; ρ value 0.007 < α 0.05 ). It
were effectively increased SaO2 ( ρ value 0.005 < α 0.05 ). A LFP and PLB were
not effectively increased the amount of air that can be exhaled ( ρ value 0.066 > α
0.05 ). There weren’t different effectively between LFP with LFP and PLB to
decreased RR (ρ value 0,907> α 0,05). There were different effectively between
LFP with LFP and PLB to increased SaO2, increased the amount of air that can be
exhaled, and decreased dypsneu (ρ value 0,002 < α 0,05; ρ value 0,025 < α 0,05 ρ
value 0,000 < α 0,05) respectively.
Conclusion : A FLP and PLB are more effective increasing SaO2 and and
decreasing dypsneu than LFP only.
Keywords : RR , SaO2 , Dypsneu, amount of exhaled air, COPD , PLB , FLP
Korespondensi
Suci Khasanah, School of Nursing, Harapan Bangsa University Purwokerto,
Email [email protected]
Suwito, School of Medicine, Muhammadiyah Yogyakarta University, Email
Sri Sumaryani, School of Nursing3, Muhammadiyah Yogyakarta University,
Email
1
menunjukan
Pendahuluan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
PPOK
menempati
urutan pertama penyumbang angka
(PPOK) merupakan salah satu dari
kesakitan
kelompok penyakit tidak menular
bronkial (33%), kanker paru (30%)
yang
masalah
dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2008).
kesehatan masyarakat di Indonesia.
Angka kejadian PPOK di Jawa
Kejadian
Tengah pada tahun 2008 adalah
telah
menjadi
PPOK
meningkat
akan
seiring
meningkatnya
semakin
dengan
jumlah
perokok,
0,20%
(35%),
dan
mengalami
diikuti
pada
tahun
penurunan
2009
menjadi
polusi udara dari industri dan asap
0,12%
kendaraan yang menjadi faktor risiko
Tengah, 2009). Namun demikian
penyakit tersebut.
tidak menutup kemungkinan angka
Word
Health
(Profil
asma
Kesehatan
Jawa
Organisation
ini akan meningkat seiring dengan
(WHO) memperkirakan bahwa pada
meningkatnya jumlah perokok di
tahun 2020 prevalensi PPOK akan
Jawa Tengah.
terus meningkat dari peringkat ke-6
Hasil
wawancara
personal
menjadi peringkat ke-3 di dunia dan
dengan perawat di RSUD Prof. DR.
dari
Margono
peringkat
ke-6
menjadi
Soekarjo
peringkat ke-3 penyebab kematian
dimana
tersering di dunia (Depkes RI, 2008).
merupakan salah satu rumah sakit
Menurut WHO pada tahun 2010
rujukan wilayah Jawa Tengah bagian
PPOK adalah masalah kesehatan
barat, pada April 2012 didapatkan
utama
penyebab
informasi bahwa jumlah penderita
kematian no 4 di Indonesia (PDPI,
PPOK setiap harinya meningkat.
2006).
Rata-rata dalam sehari terdapat 20
yang
menjadi
Hasil survey penyakit tidak
penderita
rumah
Purwokerto,
dengan
sakit
PPOK
tersebut
yang
menular oleh Direktorat Jendaral
dirawat dengan keluhan sesak nafas
PPM dan PL di 5 rumah sakit
yang sangat berat dan sebagian besar
propinsi di Indonesia (Jawa Barat,
dari mereka adalah pasien yang
Jawa Timur, Lampung dan Sumatra
datang dengan serangan sesak nafas
Selatan)
berulang.
pada
tahun
2004,
i
Sesak
nafas
merupakan
dijumpai
atau
gejala
pada
dyspnoea
yang
umum
penderita
PPOK
dapat
meningkatkan
kondisi
pernafasan pasien PPOK
Hasil
penelitian
sebelumnya
(Ambrosino & Serradori, 2006).
berkaitan dengan
Penyebab sesak nafas tersebut bukan
condong ke depan seperti yang
hanya karena obstruksi pada bronkus
dilakukan oleh Kim, et al (2012),
atau bronkhospasme saja tapi lebih
Avanji & Hajbaghery (2011) dan
disebabkan
lain-lain
karena
adanya
PLB dan posisi
sebagaimana
telah
hiperinflasi. Oleh karena itu pada
disebutkan di atas memang sudah
penanganan
hanya
banyak dilakukan. Menurut penulis,
farmakologi
penelitian terhadap kedua tindakan
PPOK
mengandalkan
saja
tidak
terapi
melainkan
terapi
non
tersebut baru dilihat efektifitas dari
farmakologi juga merupakan hal
masing-masing
penting yang harus dilakukan untuk
sendiri-sendiri dan belum sampai
mengurangi sesak nafas (Russell, et
pada
al, 2012).
tersebut apabila dilakukan secara
Salah
satu
farmakologi
terapi
non
pengaruh
bersama-sama
kedua
terhadap
secara
tindakan
kondisi
latihan
pernafasan pasien dengan PPOK.
pernafasan. Beberapa teknik latihan
Oleh karena itu didasarkan pada hasil
pernafasan yang dapat dilakukan
penelitian
diantaranya
manfaat PLB dan posisi condong ke
inspirasi,
adalah
tindakan
adalah
pursed
latihan
lips
otot
breathing
depan
sebelumnya
pada
pasien
tentang
PPOK
(PLB) dan diaphragmatic breathing
sebagaimana telah disebutkan di atas
(Ambrosino & Serradori, 2006).
maka peneliti tertarik untuk meneliti
Serangkaian penelitian tentang
lebih lanjut “manakah yang paling
PLB dan posisi condong ke depan
efektif antara posisi CKD dengan
(CKD)yang telah dilakukan, seperti
posisi
dilakukan
oleh
Bianchi
(2004),
peningkatan
Ambrosino
&
Serradori
(2006),
pasien PPOK?”. Tujuan penelitian
CKD dan PLB terhadap
adalah
kondisi
untuk
pernafasan
Ramos et al (2009), dan Kim, et al
ini
mengetahui
(2012) menunjukan bahwa PLB
tindakan yang paling efektif antara
ii
posisi CKD dengan posisi CKD dan
inspirasi melalui hidung selama 2-3
PLB terhadap peningkatan kondisi
detik diikuti ekspirasi secara berlahan
pernafasan pasien PPOK.
melalui mulut minimal waktu 2 kali
inspirasi (4-6 detik) dilakukan selama
Metode
Desain penelitian eksperimen
randomized control trial pre post test
with control group. Sample 30
pasien
PPOK
dengan
random
30 menit dengan toleransi jeda istirahat
selama 5 menit.
Intrumen
tangan
yang
untuk
digunakan
mengukur
RR,
jam
puls
oxymetry untuk mengukur SaO2, respi
sampling. Parameter yang diteliti:
aide untuk mengukur jumlah udara yang
RR, SaO2, keluhan sesak nafas
dihembuskan dan modifikasi Borg scale
(skala modifikasi Borg)dan jumlah
untuk mengukur keluhan sesak nafas.
Intervensi diberikan setelah 4 jam
udara yang dapat dihembuskan.
Intervensi yang diberikan berupa
mendapatkan obat bronkhdilator, telah
posisi CKD (klp kontrol 2), posisi
dijelaskan maksud dan tujuan penelitian,
CKD dan PLB (klp intervensi) serta
bersedia menjadi responden dan telah
posisi semi fowler dan natural
breathing (klp kontrol 1). Posisi
CKD adalah Posisi duduk di tempat
tidur dengan punggung membungkuk
kedepan membentuk sudut 135 derajat
dan kepala serta lengan disangga/
diletakan di atasmeja atau bantal atau
lengan ditopang kepala atau lengan
ditopang paha. Posisi tersebut diberikan
pada pasien yang tidak mendapatkan
oksigen
dan
mendapatkan
obat
bronkhodilator setelah 4 jam pemberian
obat tersebut dan
tindakan posisi
dilakukan selama 10 menit pertama dan
dilanjutkan
istirahat
30
menit
setiap
5
dengan
jeda
menit.
PLB
adalahbreathing exercise berupa nafas /
diajarkan sebelumnya tindakan tersebut.
Analisis data yang digunakan untuk
mengetahui perbedaan RR dari tiap
perlakukan
pada
tiap
kelompok
menggunakan repetead ANOVA dan
antar kelompok menggunakan One Way
ANOVA. Perbedaan SaO2, keluhan
sesak nafas dan jumlah udara yang dapat
dihembuskan
pada
tiap
menggunakan
Friedman
kelompok
dan
antar
kelompok menggunakan Kruskal Wallis.
Penelitian ini telah memenuhi kelayakan
etik
oleh
Komisi
Etik
Penelitian
Universitas Muhammdiyah Yogyakarta.
Beberapa keterbatasan yang muncul
diantaranya adalah tidak ditentukan
derajat PPOK sehubungan Spirometri
yag rusak, Perlakuan dari masing-
iii
masing tindakan baru satu kali
Semua
pasien
PPOK
yang
sehingga belum dapat melihat lebih
menjadi responden pada penelitian
dalam dari masing-masing tindakan
ini
tersebut,
tindakan/
pengukuran
kondisi
dilakukan
pengukuran
perlakukan
dan
penelitian
pernafasan pada saat pengumpulan
setelah 4 jam mereka mendapatkan
data belum dilakukan oleh asisten
pengobatan, memiliki SaO2 ≤ 90%
peneliti
pada
dan kadar leukosit di atas normal.
perawat
Data karakteristik responden diambil
sedang
sebelum pasien diberikan perlakuan
yang
dikarenakan
waktu yang bersamaan
ditempat
penelitian
mempunyai beban tugas yang tinggi.
apapun. Data karakteristik responden
Hasil dan Pembahasan
pada penelitian ini dapat dilihat pada
1.
tabel 3.1 sebagai berikut:
Karakteristik Responden
Tabel 4.1: Karakteristik Responden Penelitian
Karakteristik
Responden
Uji
Homogenitas
Uji Beda
68,1
ρ = 0,000
ρ = 0,206
70%
60%
ρ = 0,353
ρ = 0,806
50%
30%
40%
12,91
13,93
13,32
ρ = 0,427
ρ = 0,446
18,80
18,19
18,19
ρ = 0,172
ρ = 891
10
10
Kelompok
Intervensi
Kelompok
Kontrol 1
Kelompok
Kontrol 2
62,7
63,2
1. Laki-laki
50%
2. Perempuan
Kadar Hemoglobin
(Hb)
Body Mass Indek
(BMI)
Usia
Jenis Kelamin
Total Sampel
10
penelitian dan hasil analisis hubungan
Tebel 3.1 memberikan informasi bahwa
didapatkan tidak ada hubungan antara
jenis kelamin, kadar Hb dan BMI pada
usia
tiap kelompok tersebar homogen dan
penelitian ini. Usia responden pada
tidak
penelitian ini tidak mempengaruhi hasil
ada
perbedaan
kelompok
penelitin
variabel
ini
diantara
ini,
diprediksi
tiap
sehingga
dengan
variabel
terikat
dari
penelitian.
tidak
mempengaruhi hasil penelitian ini. Usia
memang tidak tersebar secara homogen
tapi hasil uji beda menunjukan tidak ada
2.
Efektifitas Posisi CKD dengan
Posisi CKD dan PLB terhadap
Peningkatan
Status
Pernafasan
perbedaan rata-rata usia antar kelompok
iv
Hasil
analisis
efektifitas
dan PLB adalah sebagai berikut:
posisiCKD dengan posisi CKD
Tabel 3.2: Hasil Analisis Uji Beda Variabel RR
Rata-Rata
Klp Intervesi (Klp Klp Kontrol 1(klp
Klp Kontrol 2 (klp 3)
1)
2)
RR pre 1 (1)
25,7
25,6
30
RR post 1 (2)
26,1
25,6
20,6
RR post 2 (3)
20,4
25,7
20,6
Hasil analisis pada tiap klp dengan Repeated Anova: pada klp intervensi (ρ =0,010) : pre vs
post 1 (ρ =0,006); pre vs post 2(ρ =0,000); post 1 vs post 2 (ρ=0,000). Pada klp kontrol 1(ρ
=0,879). Pada klp kontrol 2 (ρ=0,000): pre vs post 1 (ρ=0,000); pre vs post 2(ρ=0,000);
post 1 vs post 2 (ρ=tak terhingga).
Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan Kruskall Wallis (syarat varian
untuk One Way ANOVA tidak terpenuhi): pada pre 1 (ρ=0,010): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,009);
klp 1 vs klp 3 (ρ=0,007); klp 2vs klp 3 (ρ=0,948). Pada post 1 (ρ=0,001): klp 1vs klp 2
(ρ=0,970); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,000); klp 2 vs klp 3(ρ=0,12). Pada post 2 (ρ=0,011): klp 1
vs klp 2 (ρ=0,008); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,907); klp 2 vs klp 3 (0,12)
Variabel
Keterangan:
Pre 1= sebelum klp intervensi diposisikan CKD; post 1=setelah klp intervensi diposisikan
CKD; post 2=(setelah klp intervensi diposisikan CKD dan PLB).
Klp 1= klp intervensi; klp 2= klp kontrol 1 dan klp 3=klp kontrol 2
Posisi CKD=posisi condong ke depan
Tabel 3.3: Hasil Analisis Uji Beda Variabel SaO2
Median
Klp Intervesi (Klp Klp Kontrol 1(klp
Klp Kontrol 2 (klp 3)
1)
2)
SaO2 pre (1)
89
89
87
SaO2 post 1 (2)
91
89
91
SaO2 post 2 (3)
95
87
90,5
Hasil analisis pada tiap klp dengan uji Friedman: pada klp intervensi (ρ =0,000) : pre vs
post 1 (ρ =0,005); pre vs post 2(ρ =0,005); post 1 vs post 2 (ρ=0,005). Pada klp kontrol 1(ρ
=1). Pada klp kontrol 2 (ρ=0,000): pre vs post 1 (ρ=0,005); pre vs post 2(ρ=0,005); post 1
vs post 2 (ρ=0,157).
Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan uji Kruskall Wallis: pada pre 1
(ρ=0,033): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,938); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,032); klp 2vs klp 3 (ρ=0,020). Pada
post 1 (ρ=0,001): klp 1vs klp 2 (ρ=0,004); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,308); klp 2 vs klp
3(ρ=0,000). Pada post 2 (ρ=0,000): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,000); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,002); klp
2 vs klp 3 (0,002)
Variabel
Tabel 3.4: Hasil Analisis Uji Beda Variabel Keluhan Sesak Nafas
Variabel
Klp Intervesi (Klp
Median
Klp Kontrol 1(klp
Klp Kontrol 2 (klp 3)
7
1)
2)
SaO2 pre (1)
6
4,5
4
SaO2 post 1 (2)
4
4,5
6
SaO2 post 2 (3)
2
4,5
6
Hasil analisis pada tiap klp dengan uji Friedman: pada klp intervensi (ρ =0,000) : pre vs
post 1 (ρ =0,006); pre vs post 2(ρ =0,007); post 1 vs post 2 (ρ=0,007). Pada klp kontrol 1(ρ
=tak terhingga). Pada klp kontrol 2 (ρ=tak terhingga).
Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan uji Kruskall Wallis: pada pre 1
(ρ=0,006): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,213); klp 1 vs klp 2 (ρ=0,001); klp 2vs klp 3 (ρ=0,062). Pada
post 1 (ρ=0,015): klp 1vs klp 2 (ρ=0,359); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,003); klp 2 vs klp
3(ρ=0,038). Pada post 2 (ρ=0,001): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,004); klp 1 vs klp 3 (ρ=0,001); klp
2 vs klp 3 (0,020)
Tabel 3.5: Hasil Analisis Uji Beda Variabel Jumlah Udara Yang Dapat
dihembuskan
Median
Klp Intervesi (Klp Klp Kontrol 1(klp
Klp Kontrol 2 (klp 3)
1)
2)
JUDH pre (1)
150
100
125
JUDH post 1 (2)
150
100
125
JUDH post 2 (3)
150
100
130
Hasil analisis pada tiap klp dengan uji Friedman: pada klp intervensi (ρ =0,015) : pre vs
post 1 (ρ =0,180); pre vs post 2(ρ =0,034); post 1 vs post 2 (ρ=0,066). Pada klp kontrol 1(ρ
=0,368). Pada klp kontrol 2 (ρ=0,002); pre vs post 1(ρ=1,000); pre vs post 2(ρ=0,020); post
1vs post 2 (ρ=0,020).
Hasil analisis antara tiap klp pada setiap perlakuan dengan uji Kruskall Wallis: pada pre 1
(ρ=0,191). Pada post 1 (ρ=0,072). Pada post 2 (ρ=0,027): klp 1 vs klp 2 (ρ=0,016); klp 1 vs
klp 3 (ρ=0,785); klp 2 vs klp 3 (0,0025)
Keterangan:
JUDH = jumlah udara yang dapat dihembuskan
Variabel
Hasil penelitian tersebut dapat
disimpulkan
untuk
posisi CKD efektif
meningkatkan
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan pnelitian Bhatt et al (2009)
status
yang menunjukan bahwa tidak ada
pernafasan, yaitu menurunkan RR.
perbedaan tidal volume (TV) dan RR
Begitu juga tindakan posisi CKD dan
, rasio Forced Expiratory Volume to
PLB
Forced Vital Capacity (FEV/FVC),
juga
efektif
meningkatkan
status pernafasan, yaitu menurunkan
maxsimum
RR. Namun demikian tidak ada
(MIP), maximal exspiratory pressure
perbedaan efektifitas antara posisi
(MEP), pergerakan diafragma selama
CKD dengan posisi CKD dan PLB
tidal breathing atau forced breathing
untuk
pada posisi duduk atau supinasi, atau
meningkatkan
status
pernafasan, yaitu menurunkan RR.
inspiratory
pressure
posisi CKD dengan tangan disupport
ii
pada lutut (tripod position) pada
Perbedaan hasil penelitian ini
pasien dengan PPOK. Hasil ini juga
dengan penelitian Bhatt et al (2009),
tidak didukung oleh penelitian Kera
kemungkinan dapat disebabkan oleh
dan
yang
derajat pasien PPOK. Pada penelitian
melaporkan bahwa TV tidak berubah
Bhatt et al (2009) derajat PPOK pada
secara signifikan pada posisi duduk
respondenya tidak dijelaskan begitu
pada 15 laki-laki dewasa. Hasil
juga pada penelitian ini derajat
penelitian ini juga tdak sejalan
PPOK tidak dapat teridentifikasi
dengan penelitian Filibeck (2005)
dikarenakan alat yang rusak. Berat
yang menunjukkan bahwa tidak ada
ringannya derajat PPOK tentunya
perbedaan dalam ukuran fungsi paru
akan berpengaruh terhadap kondisi
(VE, FVC, FEV1 dan) dan frekuensi
pernafasan pasien PPOK, mengingat
pernapasan, denyut jantung, dan
penyakit ini adalah suatu penyakit
saturasi O2 antara merosot dan tegak
paru obstruktif kronik yang bersifat
duduk pada pasien dengan PPOK.
progresif dan irreversibel. Alasan ini
Maruyama
(2005)
Perbedaan hasil penelitian ini
diperkuat
oleh
teori
yang
dapat dijelaskan sebagai berikut:
disampaikan GOLD (2006) yang
pada penelitian Kera dan Maruyama
menyatakan
(2005)
pernafasan
maupun
Fillibeck
(2005)
pada
penilitian
posisi
yang
diberikan hanya posisi duduk dan
bahwa
pasien
kondisi
PPOK
dapat
dilihat dari berat ringannya derajat
PPOK.
posisi duduk merosot/ semi fowler.
Posisi CKD akan meningkatkan
Tentulah hal tersebut menyebabkan
otot diafragma dan otot interkosta
hasil yang berbeda pada penelitian
eksternal pada posisi kurang lebih 45
ini,
derajat. Otot diafragma merupakan
karena
pada
penelitian
ini
perlakuan yang diberikan sama-sama
otot
posisi duduk, hanya saja posisi
interkosta eksternal juga merupakan
duduknya
otot inspirasi. Otot diafragma yang
adalah
CKD
dengan
utama
kedua
menyebabkan gaya grafitasi bumi
menyangga kepala.
untuk
45
otot
berada
tangan
posisi
dan
tangan disangga oleh bantal dan
telapak
pada
inspirasi
derajat
bekerja cukup adekuat pada otot
ii
utama
inspirasi
dibandingkan
tersebut
posisi
duduk
atau
inspirasi
dengan
energi
yang
menggunakan
sedikit
dapat
setengah duduk. Gaya grafitasi bumi
mengurangi kelelahan pasien saat
yang bekerja pada otot diafragma
bernafas dan juga meminimalkan
memudahkan
penggunaan oksigen.
berkontraksi
otot
tersebut
bergerak
ke bawah
Peningkatan kontraksi pada otot
memperbesar volume rongga toraks
diafragma
dengan
eksternal saat proses inspirasi juga
menambah
panjang
dan
otot
interkosta
vertikalnya. Begitu juga dengan otot
meningkatkan
interkosta eksternal, gaya grafitasi
intraabdomen saat otot-otot inspirasi
bumi yang bekerja pada otot tersebut
tersebut melemas. Otot intraabdomen
mempermudah iga terangkat keluar
merupakan otot utama ekspirasi.
sehingga
rongga
semakin
toraks
memperbesar
dalam
dimensi
anteroposterior.
Peningkatan
otot
kontraksi
otot
intraabdomen akan meningkatkan
tekanan intrabdomen. Peningkatan
Rongga toraks yang membesar
menyebabkan
kontraksi
tekanan
rongga toraks
di
dalam
mengembang dan
tekanan
intrabdomen
mendorong
diafragma
akan
ke
atas
semakin terangkat ke rongga toraks
memaksa paru untuk mengembang,
sehingga
dengan
ukuran rongga toraks. Otot ekspirasi
demikian
tekanan
akan
menurun.
intraalveolus
Penurunan
tekanan
yang
semakin
lain
memperkecil
yaitu
otot
interkosta
intraalveolus
internal dengan diposisikan CKD
lebih rendah dari tekanan atmosfir
menepatkan otot tersebut pada sudut
menyebabkan udara mengalir masuk
sekitar
ke dalam pleura.
memungkinakan
Proses
bahwa
tersebut
dengan
menujukan
posisi
CKD
45
derajat,
gaya
yang
grafitasi
bekerja lebih optimal. Gaya grafitasi
bumi
tersebut
akan
membantu
mempermudah pasien PPOK yang
menarik otot interkosta interna ke
mengalami obstruktif jalan nafas
bawah
melakukan inspirasi tanpa banyak
toraks semakin kecil.
mengeluarkan
energi.
sehingga
ukuran
rongga
Proses
iii
Ukuran
rongga
toraks
yang
semakin kecil membuat tekanan
intraalveolus
selama ekspirasi aktif atau dengan
mengadopsi posisi tubuh CKD.
semakin meningkat.
Adanya
peningkatan
Peningkatan tekanan intraalveolus
udara ekspirasi maka
yang
menurun
melebihi
tekanan
atmosfir
jumlah
CO2 akan
didalam
tubuh.
menyebabkan udara mengalir keluar
Menurunnya CO2 di dalam tubuh
dari paru.
akan
Proses ventilasi yang meningkat
menyebabkan
frekuensi
pernafasan
pada pasien PPOK yang diposisikan
Sebagaimana
CKD
Guyton
akan
meningkatkan
menurunnya
(RR).
disampaikan
(1999)
dan
oleh
Sheerwood
pengeluaran CO2 dan meningkatkan
(2001) bahwa kelebihan CO2 atau
asupan
ion
oksigen
ke
dalam
intraalveolus.
hydrogen
mempengaruhi
pernafasan terutama melalui efek
Peningkatan
proses
ventilasi
perangsangan langsung atas pusat
pada pasien yang diposisikan CKD
pernafasan
didasarkan
yang
semakin meningkatnya kadar CO2
disampaikan oleh Sherwood (2001)
dapat menyebabkan meningkatnya
bahwa bulkflow udara ke dalam dan
frekuensi pernafasan dan sebaliknya
keluar paru terjadi karena perubahan
menurunnya
siklus tekanan intraalveolus yang
menyebabkan menurunnya frekuensi
secara tidak langsung ditimbulkan
pernafasan (RR). Hal ini juga senada
oleh aktifitas otot-otot pernafasan.
dengan
Hal
oleh
Sergysels (1991, dalam Landers et
Gorman (2002); Kleinman (2002)
al., 2006) yang menunjukan adanya
dalam Gosselink (2003), bahwa pada
peningkatan tingkat ekspirasi akhir
pasien PPOK , pergerakan diafragma
dan ekspirasi yang aktif pada posisi
dan kontribusinya terhadap volume
CKD dari pada duduk bersandar. Hal
tidal seperti orang yang beristirahat.
senada
Diafragma
penelitian Landers et al (2006)
senada
pada
teori
disampaikan
dapat
diperpanjang
dengan meningkatkan tekanan perut
bahwa
itu
sendiri,
kadar
penelitian
juga
posisi
sehingga
CO2
Willeput
didapatkan
condong
dan
melalui
kedepan
dengan menempatkan kepala dan
iv
leher pada posisi yang sejajar atau
Tekanan
intrabdomen
yang
selaras dapat mengurangi obstruksi
meningkat lebih kuat lagi tentunya
jalan
akan meningkatkan pula pergerakan
nafas
dan
membantu
meningkatkan fungsi paru.
diafragma ke atas membuat rongga
Pendapat peneliti juga sejalan
torak semakin mengecil. Rongga
dengan penelitian yang dilakukan
toraks yang semakin mengecil ini
oleh Kim, et al (2012). Hasil
menyebabkan tekanan intraalveolus
penelitian
(2012)
semakin meningkat sehinga melebihi
menunjukan bahwa aktifitas otot SM
tekanan udara atmosfir. Kondisi
dan
tersebut akan menyebabkan udara
Kim,
SCM
et
al
meningkat
secara
signifikan pada posisi CKD dengan
mengalir
lengan disangga pada paha ataupun
atmosfir. Ekspirasi yang dipaksa
lengan
pada
disangga
kepala
dibandingkan posisi netral.
PLB
adalah
bernafas yang
keluar
bernafas
dari
PLB
paru
juga
akan
menyebabkan obstruksi jalan nafas
suatu
latihan
terdiri dari dua
dihilangkan
pernafasan
sehinga
resistensi
menurun.
Penurunan
mekanisme yaitu inspirasi secara
resistensi
kuat dan dalam serta ekspirasi aktif
memperlancar
dan panjang. Proses ekspirasi secara
dihembuskan dan atau dihirup.
normal
ke
pernafasan
akan
udara
yang
merupakan
proses
Bernafas PLB selain ekspirasi
nafas
tanpa
dipaksa juga diperpanjang. Upaya
mengelurkan
menggunakan energi. Bernafas PLB
memperpanjang
melibatkan proses ekspirasi secara
mencegah udara dihembuskan secara
paksa.
spontan yang dapat berakibat paru
Ekspirasi secara paksa tentunya
akan
meningkatkan
kontraksi
otot
kekuatan
intraabdomen
ekspirasi
akan
kolap atau runtuh, dengan demikian
dengan bernafas PLB membantu
mengeluarkan
udara
yang
sehingga tekanan intraabdomen pun
terperangkap pada pasien PPOK
meningkat
sehingga
melebihi
ekspirasi pasif.
pada
saat
CO2
di
paru
dapat
dikeluarkan.
v
Pengeluaran
paru
pasien PPOK setelah diposisikan
memberikan peluang kepada O2
CKD dengan setelah diposisikan
untuk mengisi ruang alveolus lebih
CKD dan PLB. Logikanya posisi
banyak lagi. Apalagi pada bernafas
CKD
PLB juga ada mekanisme inspirasi
inspirasi dan ekspirasi maka dengan
yang
maka
posisi CKD dan bernafas PLB pada
membantu
pasien dengan PPOK kerja inspirasi
kuat
CO2
dan
mekanisme
ini
meningkatkan
dari
dalam,
akan
asupan
O2
ke
alveolus.
alveolus
tekanan
O2
dibandingkan
di
dengan
tekanan O2 di kapiler paru
dan
rendahnya tekanan CO2 di alveolus
dibandingkan
CO2
dengan
di
tingginya
kapiler
paru
dapat
meningkatkan
dan ekspirasi akan lebih optimal lagi,
beban
Tingginya
tekanan
saja
otot
inspirasi
sehingga
udara
hiperinflasi
menurun,
berkurang,
terperangkap/
kapasitas
residu juga menurun dan pertukaran
gas pun meningkat.
Penjelasan mekanisme bernafas
PLB ini didasarkan pada prinsip
menyebabkan meningkatnya gradien
pertukaran
tekanan gas-gas tersebut di atara
pernafasan
kedua sisi.
disampaikan oleh Sherwood (2001).
tekanan
Perbedaan gradient
O2
yang
tinggi
gas
dan
resistensi
sebagaimana
Penjelasan mekanisme PLB juga
meningkatkan pertukaran gas, yaitu
didukung
difusi O2 dari alveolus ke kapiler
disampaikan oleh Chung Ong (2012)
paru. Perbedaan tekanan CO2 yang
bahwa dengan breathing exercise
tinggi juga meningkatkan pertukaran
PLB menyebabkan otot inspirasi
gas, yaitu difusi CO2 dari kapiler
bekerja lebih optimal sehingga beban
paru ke alveolus untuk selanjutnya
terhadap
dikelurkan ke atmosfir.
berkurang.
Oleh karena itu
mekanisme
Hasil
oleh
otot
teori
inspirasi
penelitian
ini
yang
pun
sejalan
bernafas PLB sebagaimana tersebut
dengan penelitan Kim et al. (2012)
di atas dapat memberikan penjelasan
yang
kepada hasil penelitian ini bahwa ada
bernafas
perbedaan frekuensi pernafasan pada
meningkatkan tidal volum (TV) dan
menunjukan
PLB
bahwa
pola
signifikan
vi
menurunkan
RR
dibandingkan
membutuhkan
energi
untuk
bernafas alamiah. Hasil penelitian ini
melakukan tindakan tersebut dan
juga sejalan dengan penelitian Jones,
dapat membuat pasien kelelahan.
Dean dan Chow (2003) yang juga
Kelelahan juga akan berdampak
menunjukan
PLB
kepada meningkatnya frekuensi RR.
meningkatkan Tidal Volume dan
Hasil komunikasi verbal terhadap
menurunkan RR pada pasien dengan
beberapa pasien PPOK kelompok
PPOK.
perlakuan menyampaikan rasa yang
bahwa
Sejauh
pengetahuan
peneliti
lelah
setelah
bernafas
PLB,
penelitian tentang tindakan posisi
walaupun setelahnya mereka merasa
CKD dan PLB yang dilakukan
lebih baik dalam bernafas.
bersama-sama belum pernah diteliti.
Pendapat ini sejalan
dengan
Tindakan memposisikan CKD dan
penelitian Alfanji dan Harry (2011)
PLB
secara
penelitian
bersama-sama
pada
bahwa
memang
tidak
sebanyak
ini
PLB
4
yang
kali
dilakukan
dalam
sehari
perpengaruh terhadap penurunan RR
sebelum makan dan sebelum tidur
tapi
selama 30 menit dan dilakukan
ada
secara
deskripsit
ada
perbedaan hasil walaupun hasilnya
secara teratur maka
tidak signifikan.
minggu didapatkan hasil saturasi
Tidak lebih efektifnya tindakan
setelah 3
oksigen secara signifikan meningkat,
gabungan posisi CKD dan PLB dari
PaCO2
posisi CKD saja pada penelitian ini
bernafas secara signifikan menurun.
mungkin
dikarenakan
jeda
menurun
Hasil
dan
frekuensi
penelitian
pengukuran yang sangat singkat
menunjukan
terhadap RR pada kedua kelompok
untuk meningkatkan SaO2. Posisi
tersebut. Sementara seperti sudah
CKD dan PLB juga efektif untuk
disampaikan
meningkatkan
bernafas
PLB
sebelumnya
terdiri
bahwa
dari
posisi
juga
CKD
SaO2
dan
efektif
ada
dua
perbedaan efektifitas antara posisi
mekanisme utama yaitu inspirasi
CKD dan posisi CD dengan PLB
yang dalam dan kuat serta ekspiasi
dalam meningkatkan SaO2 bermakna
paksa dan panjang, yang tentunya
secara statistik.
vii
Mekanisme
yang
dapat
punggungnya
pada
posisi
CKD
digunakan untuk menjelaskan hasil
walaupun pada posisi ini pernafasan
penelitian ini adalah sebagai berikut:
dirasakan lebih baik. Sebagaimana
pada pasien yang diposisikan semi
telah
fowler berdasarkan telaah terhadap
bahwa kelelahan dapat meningkatkan
konsep dan teori sebagaimana telah
desosiasi
oksigen Hb.
disampaikan
oksigen
Hb
Sherwood
(2001)
disampaikan
tentang bulkflow aliran udara dari
menyebabkan
dan ke paru, maka pada posisi
menurun.
sebelumnya
yang
nilai
Desosiasi
meningkat
SaO2
akan
tersebut dapat diprediksi inspirasi
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dan ekspirasi kurang adekut. Namun
dengan penelitian Filibeck (2005)
posisi tersebut merupakan posisi
yang menunjukan bahwa tidak ada
yang nyaman,
punggung
perbedaan dalam ukuran fungsi paru
dapat disangga oleh bantal/ kasur
(VE, FVC, FEV1) dan frekuensi RR,
sehingga
mengurangi
kelelahan.
denyut jantung serta SaO2 pada
Kelelahan
yang
berkurang
posisi duduk merosot/ semi fowler
karena
meminimalkan
oksigen
terdesosiasi
sehingga
yang
SaO2
dan duduk tegak pada pasien PPOK.
Penelitian
Fillibeck
(2005)
meningkat lebih tinggi dibandingkan
posisi yang diamati adalah posisi
dengan
duduk dan semi fowler. Pada posisi
pasien
yang
diposisikan
CKD.
semi
Pada posisi CKD inspirasi dan
fowler
terhadap
berdasarkan
konsep
dan
teori
ekspirasi memang lebih adekuat,
sebagaimana
namun posisi ini pada kondisi pasien
Sherwood (2001) tentang bulkflow
yang
aliran udara dari dan ke paru, maka
lemah
kelelahan
akan
pada
meningkatkan
pasien
tersebut.
telah
telaah
disampaikan
pada posisi tersebut dapat diprediksi
Kelelahan yang dapat terjadi pada
inspirasi
dan
ekspirasi
kurang
pasien tersebut didukung oleh hasil
adekut. Demikian pula pada posisi
informasi secara verbal pada saat
duduk tegak.
penelitian dari beberapa responden
tegak
yang menyampaikan merasa lelah
diafragma
Pada posisi duduk
peningkatan kerja
dan
otot
otot
interkosta
viii
eksterna tidak ada karena posisi otot
teori yang disampaikan oleh Chung
tersebut tegak lurus dengan gaya
Ong (2012) bahwa posisi CKD
grafitasi bumi, sementara pada posisi
memudahkan terjadinya inspirasi dan
semi fowler terdapat gaya grafitasi
ekspirasi yang akan berdampak pada
bumi yang berkerja namun kerjanya
perubahan volume paru. Chung Ong
berlawanan dengan kerja otot utama
(2012)
inspirasi. Begitu juga dengan otot
menurun
ekspirasi pada posisi duduk tegak,
meningkat.
peningkatan kerja pada otot tersebut
juga
kapasitas
dan
residu
pertukaran
Peningkatan
gas
pertukaran gas
tidak ada. Kondisi seperti ini pada
pada pasien yang melakukan posisi
pasien
mengalami
CKD dan PLB maka oksigen yang
obstruktif menurut peneliti kurang
berpindah ke kapiler paru pun akan
dapat
meningkat
PPOK
yang
membantu
meningkatkan
dan
CO2
yang
inspirasi dan ekspirasi, sehingga
dikeluarkan ke alveolus pun akan
pada akhirnya kedua posisi tersebut
meningkat.
kurang efektif untuk meningkatkan
oksigen yang berpindah ke kapiler
SaO2.
paru akan meningkatkan jumlah
Peningkatan SaO2 pada pasien
Peningkatan
jumlah
oksigen yang terikat oleh Hb. SaO2
PPOK dengan kadar Hb tinggi yang
adalah
dilakukan posisi CKD dan PLB
hemoglobin
dimungkinkan karena dengan posisi
teroksigenasi
CKD
hemoglobin dalam darah (total kadar
dapat
pergerakan
menyebabkan
meningkatkan
diafragma
perubahan
sehingga
volume
adalah
HbO2
rasio
oksigen/
hemoglobin
(HbO2)
dan
terdeoksigenasi
kadar
dengan
hemoglobin
(Hb),
dengan
paru dan dengan breathing exercise
demikian SaO2 pun akan meningkat.
PLB otot inspirasi bekerja lebih
Sebagaimana
optimal sehingga terjadi penurunan
Sherwood (2001) bahwa peningkatan
kerja elastis bernafas menyebabkan
PaO2 akan meningkatkan afinitas Hb
kapasitas residupun menurun serta
terhadap oksigen dan penurunan
pertukaran gas pun dapat meningkat.
jumlah CO2 juga akan meningkatkan
disampaikan
oleh
Penjelasan ini didukung oleh konsep
ix
afinitas Hb terhadap oksigen dan
menurunkan keluhan sesak nafas
sebaliknya.
bermakna secara statistik.
Kecenderungan kadar Hb pada
Hasil
penelitian
menunjukan
pasien PPOK akan meningkat. Hal
tidak efektifnya posisi CKD untuk
tersebut
menurunkan keluhan sesak nafas,
disebabkan
hipoksemia
akibat obstruksi pada saluran nafas
tidak
yang
menyebabkan
Gosselink (2003) dan KNGF (2008)
terpicunya mekanisme pembentukan
bahwa posisi CKD telah terbukti
sel
meningkatkan fungsi diafragma, dan
progresif
darah
merah.
Hipoksemia
sejalan
menyebabkan tubuh berkompensasi
karenanya
membentuk
dinding
sel
darah
merah
rekrutmen
akan meningkat di dalam tubuh. Hb
Dyspnea.
pendapat
meningkatkan
dada
sehingga jumlah sel darah merah
merupakan komponen dari sel darah
dengan
dan
otot
gerakan
mengurangi
aksesori
dan
Perbedaan hasil penelitian ini
merah sehingga jumlah sel darah
dapat dijelaskan
merah
secara
pada posisi CKD inspirasi dan
otomatis akan meningkatkan kadar
ekspirasi memang lebih adekuat,
Hb.
namun posisi ini pada kondisi pasien
yang
meningkat
Sebagaimana
disampaikan
Guyton (1996) dan Sherwood (2001)
yang
bahwa faktor utama yang memicu
kelelahan
pembentukan sel darah merah adalah
Kelelahan yang dapat terjadi pada
adanya kekurangan O2 di dalam
pasien tersebut didukung oleh hasil
tubuh/ hipoksemia, karena adanya
informasi secara verbal pada saat
hipoksemia direspon
oleh tubuh
penelitian dari beberapa responden
sebagai keadan kekurangan sel darah
yang menyampaikan merasa lelah
merah.
punggungnya
Hasil
posisi
penelitian
CKD
menunjukan
tidak
efektif
lemah
sebagai berikut:
akan
pada
meningkatkan
pasien
pada
tersebut.
posisi
CKD
walaupun pada posisi ini pernafasan
dirasakan lebih baik. Namun lebih
menurunkan keluhan sesak nafas.
baik
yang
Posisi CKD dan PLB efektif untuk
menjadi
diarasakankan
tidaklah
pun
bermakna
perbedaannya.
x
Sebagaimana telah disampaikan
CKD.
Berdasarkan
pengetahuan
sebelumnya bahwa kelelahan dapat
peneliti pengaruh tindakan gabungan
meningkatkan desosiasi oksigen Hb.
antara posisi CKD dengan bernafas
Desosiasi
PLB belum pernah dilakukan.
oksigen
Hb
yang
meningkat menyebabkan nilai SaO2
Namun
demikian
menurut
akan menurun. Kelelahanpun dapat
peneliti hasil penelitian ini dapat
meningkatkan penggunaan oksigen
dijelaskan
dan peningkatan CO2 lebih banyak
sebagai berikut: posisi CKD dapat
sehingga respon ini akan dapat
meningkatkan pergerakan diafragma
dipersepsikan sebagai suatu sensasi
sehingga menyebabkan perubahan
bernafas
nyaman
volume paru dan dengan breathing
sehingga munculah keluhan sesak
exercise PLB otot inspirasi bekerja
nafas atau keluhan sesak nafas
lebih
berkurang
penurunan kerja elastis bernafas
yang
tidak
sebagaimana
hasil
melalui
optimal
dan
akan
sehingga
tidak menunjukan perbedaan yang
berkurang dan kapasitas residupun
signifikan.
akan menurun serta pertukaran gas
penelitian
ini
sejalan
otot
terjadi
deskriptif pada penelitian ini namun
Hasil
beban
mekanisme
inspirasi
pun dapat meningkat. Efek dari PLB
dengan penelitian Bianchi et al.
tersebut
menurut
peneliti
masih
(2004) dan Ramos et al (2009). Hasil
dapat memenuhi kebutuhan oksigen
penelitian Bianchi, et al. (2004) PLB
yang cukup tinggi apabila pada
menurunkan volume akhir ekspirasi
pasien tersebut mengalami kelelahan
dan meningkatkan volume akhir
karena tindakan yang diberikannya.
inspirasi serta meningkatkan kondisi
Kecukupan oksigen di dalam
pernafasan (menurunkan skala Brogs
tubuh dan meningkatnya jumlah
Scale).
CO2 yang dikeluarkan dari dalam
Bernafas PLB sebagai tindakan
tubuh melalui tindakan posisi CKD
yang diberikan pada penelitian ini
dan PLB membuat pola pernafasan
sebenarnya tidaklah berdiri sendiri
menjadi lebih baik dan frekuensi
tetapi
pernafasan
tindakan
ini
digabung
sekaligus dengan pasien diposisikan
pun
menjadi
lebih
menurun mendekati normal. Kondisi
xi
pernafasan yang lebih baik membuat
uadara dari dan ke paru dan pusat
pasien merasa lebih nyaman dalam
pengaturan pernafasan. Penjelasan
bernafas setelah diposisikan CKD
ini juga didasarkan pada teori yang
dan PLB. Sensasi rasa nyaman dalam
dikemukakan
bernafas
Thorasic
dipersepsikan
sebagai
keluhan sesak nafas yang menurun.
Penjelasan
Society
American
(1999,
dalam
Chung Ong, 2012) bahwa dypsnea
hasil
diidentifikasi sebagai persepsi atau
penelitian ini didasarkan pada teori
pengamatan sensasi abnormal dan
yang disampaikan oleh Sherwood
mengganggu pernapasan.
(2001)
mekanisme
oleh
tentang
Hasil
bulkflow
penelitian
aliaran
menunjukan
PPOK akan mengalami udara yang
posisi CKD dan posisi CKD dan
terperangkap
PLB tidak efektif meningkatkan
trapping)
jumlah udara yang dihembuskan.
obstruksi saluran nafas. Adanya air
Posisi CKD selama 10 menit
pertama dan 30 menit berikutnya
dengan jeda istirahat setiap 5 menit
yang dilakukan pada pasien PPOK
dalam penelitian ini dan hanya
dilakukan
satu
kali
tersebut
nampaknya belum berhasil untuk
meningkatkan
kemampuan
diafragma berkontraksi secara efektif
dan
belum
mampu
trapping
atau
terjebak
dikarenakan
dalam
(air
adanya
keadaan
lama
menyebabkan diafragma mendatar,
kontraksi
kurang
efektif
fungsinya
sebagai
otot
pernafasan
berkurang
dan
utama
terhadap
ventilasi paru. kondisi tersebut dapat
menyebabkan menurunnya jumlah
udara yang dapat dihembuskan.
Hasil pada penelitian ini sejalan
membuka
dengan penelitian yang dilakukan
obstruksi jalan nafas yang ada secara
oleh Bhatt et al. (2009). Hasil
adekuat sehingga kedua tindakan ini
penelitian
tidak efektif meningkatkan jumlah
menunjukan
bahwa
udara yang dapat dihembuskan.
perbedaan
tekanan
Sebagaimana disampaikan oleh
Barnett (2006) bahwa pada pasien
inspirasi
Bhatt
dan
et
tekanan
al.
tidak
(2009)
ada
maksimal
maksimal
ekspirasi pada pasien PPOK yang
xii
diposisikan CKD dengan pasien
hanya diberikan satu kali sehingga
PPOK yang diposisikan duduk.
mungkin
Hasil penelitian ini tidak sejalan
dengan hasil penelitian Kim et al.
(2012), yang menunjukan adanya
peningkatan jumlah udara yang dapat
dimbuskan pada pasien PPOK yang
diposisikan CKD. Hasil penelitian ini
juga tidak sejalan dengan penelitain
Shinde dan Shinde (2012) yang
menunjukan bahwa pada posisi tegak
maka peak expiratory flow rate
belum
mampu
meningkatkan
kemampuan
menghembuskan udara. Faktor alat
mungkin juga berkontribusi terhadap
hasil penelitian ini karena lubang
yang besar membuat pembukaan
mulut semakin lebar sehingga pasien
kesulitan
untuk
udara
sebagaimana
disampaikan
menghembuskan
oleh
pernah
beberapa
responden secara verbal.
(PEFR) meningkat secara signifikan
Simpulan
dibandingkan dengan posisi kepala
1.
Posisi
CKD
efektif
untuk
meningkatkan kondisi pernafasan
yang tertunduk (head down).
pasien PPOK, yaitu menurunkan
Secara logika ekspirasi yang
meningkat pada posisi CKD
RR, meningkatkan SaO2 dan
akan
jumlah udara yang dihembuskan
membantu mengeluarkan udara yang
tapi tidak efektif menurunkan
terperangkap, yaitu karbondioksida
(CO2). Walaupun secara statistik
pada penelitian ini tidak
keluhan sesak nafas
2.
Posisi CKD dan PLB efektif
efektif
menurunkan RR, keluhan sesak
untuk meningkatkan jumlah udara
nafas dan meningkatkan SaO2,
yang
tapi tidak efektif meningkatkan
dihebuskan,
tetapi
secara
deskriptif ada beberapa pasien yang
mengalami
peningkatan
jumlah
jumlah udara yang dihebuskan.
3.
Posisi CKD dan PLB lebih efektif
menurunkan keluhan sesak nafas
udara yang dihembuskan.
dan meningkatkan SaO2, dan
Faktor
berkontribusi
lain
yang
terhadap
mungkin
hasil
penelitian ini adalah perlakuan yang
posisi
CKD
lebih
efektif
meningkatkan jumlah udara yang
dihembuskan.
22
sejenis dengan memperhatikan
Saran
derajat PPOK dan lama waktu
1.
Para pengelola rumah sakit :
pemeberian
perlu melakukan kajian lebih
CKD dan PLB.
mendalam
dan
dukungan
terhadap
berbagai
Rujukan
penelitian
tentang
pengaruh
Abidin, A., Yunus, F., Wiyono,
W.H., & Ratnawati, A. (2009).
Manfaat Rehabilitasi Paru
dalam
Meningkatkan atau
Mempertahankan Kapasistas
Fungsional dan Kualitas Hidup
Pasien
Penyakit
Paru
Obstruktif Kronik di RSUP
Persahabatan.
Jurnal
Respirologi Indonesia.V.29.N.2
Ambrosino, N. & Serradori, M.
(2006).
Comprehensive
Treatment of Dyspnoea in
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease Patients.
University Hospital of Pisa:
Long Termhealth Care
berdasarkan
kajian-kajian
tersebut dapat tersusun suatu
pedoman
penatalaksanaan
pasien PPOK yang tepat.
Para perawat : ikut mendukung
dan membantu dalam kegiatan
kajian dan penelitian yang lebih
mendalam lagi terkait pengaruh
posisi CKD dan PLB
agar
didapatkan hasil penelitian yang
dapat dijadikan dasar dalam
menyusun
pedoman
penatalaksanaan pasien PPOK.
3.
Para pasien PPOK : disarankan
untuk senantiasa memberikan
dukungan
dan
bantuan
khususnya kesediannya menjadi
responden
pada
penelitian-
penelitian yang akan dilakukan
untuk
mengaji
lebih
dalam
pengaruh posisi CKD dan PLB.
4.
posisi
memberikan
posisi CKD dan PLB sehingga
2.
tindakan
Para peneliti selanjutnya : untuk
dapat
melakukan
penelitian
Ambrosino, N., Giorgio, M.D., &
Paco, A.D. (2006). Strategies
to improve breathlessness and
exercise tolerance in chronic
obstructive pulmonary disease.
Elsevier Respiratory Medicine.
2:2-8. diakses 19 Agustus 2012
dari
doi:10.1016/j.rmedu.2006.06.0
02
Anwar, D., Chan, Y., & Basyar, M.
(2012). Hubungan Derajat
Sesak
Napas
Penderita
Penyakit
Paru
Obstruktif
Kronik Menurut Kuesioner
Modified Medical Research
Council Scale dengan Derajat
Penyakit
Paru
Obstruktif
23
Kronik. J Respir Indo. 2012;
32:200-7
Avanji, F.S.I. & Hajbaghery,
M.A.(2011). Effects of Pursed
Lip Breathing on Ventilation
and Activities of Daily Living
in Patients with COPD.
WebmedCentral
Rehabilitation.2(4):WMC0019
04. diakses 27 April 2012 dari
http://www.webmedcentral.co
m/article_view/1904
Barnes, P.J., Drazen, J.M., Rennard,
S.I., & Thomson, N. (2009).
Asma and COPD: Basic
Mechanisms and Clinical
Management, 2nd Ed. USA:
Elsevier
Barnett, M.
(2006).
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease in Primary Care.
Chichester · New York ·
Brisbane
·
Toronto
·
Singapore: John Wiley & Sons,
Ltd
Beauchamp, M.K., O’Hoski, S.,
BSc, Goldstein, R.S., &
Brooks, D. (2010). Effect of
Pulmonary Rehabilitation on
Balance in Persons With
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease. Arch Phys
Med Rehabil. Vol 91
Bentsen, S.B., Rustøen, T., &
Miaskowski,
C.
(2012).
Differences in subjective and
objective
respiratory
parameters in patients with
chronic obstructive pulmonary
disease with and without pain.
International Journal of COPD
.7:137–143. Diakses 5 Mei
2013
dari
http://dx.doi.org/10.2147/COP
D.S28994
Bhatt, S.P., Guleria, R., LuqmanArafath, T.K., Gupta, A.K.,
Mohan, A., Nanda, S., &
Stoltzfus, J.C. (2009). Effect of
tripod position on objective
parameters
of
respiratory
function in stable chronic
obstructive pulmonary disease.
Indian J Chest Dis Allied Sci.
51:83–85
Bianchi, R. et al. (2007). Patterns of
chest wall kinematics during
volitional pursed-lip breathing
in COPD at rest. Elsevier
Rspiratory Medicine. 09546111/s. diakses 19 Agustus
2012
dari
doi:10.1016/j.rmed.2007.01.02
1
Bianchi, R., et al. (2004). Chest Wall
Kinematics and Breathlessness
During Pursed-Lip Breathing
in Patients With COPD.Chest
Journal. 125;459-465 diakses
1
Mei
2012
dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/125/2/459.full.html
Bianchi, R., et al. (2004). During
Pursed-Lip
Breathing
in
Patients With Chest Wall
Kinematics and Breathlessness
COPD.
Chest
Journal.
125;459-465. diakses 1 Mei
2012
dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/125/2/459.full.html
Booth, S., & Dudgeon, D. (2006).
Dyspnoea
in
Advanced
Disease: A Guide to Clinical
24
Management. USA:
University Press
Oxford
Burns, N., & Grove, S.K. (2008).
The Practice of Nursing
Research - Text and E-Book
Package: Appraisal, Synthesis,
and Generation of Evidence,
6th ed. USA: Elsevier Science
Health Science Division
Chung Ong, K. (2012). Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease – Current Concepts
and Practice. Croatia: In Tech
Collins, E.G. et al. (2008). Can
Ventilation–Feedback Training
Augment Exercise Tolerance
in Patients with Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease?. American Journal of
Respiratory and Critical Care
Medicine,.Vol. 177, No. 8
(2008), pp. 844-852. diakses
19
Agustus
2012
dari
www.clinicaltrials.gov
Dahlan, M.S. (2008). Statistik untuk
Kedokteran dan Kesehatan:
deskriptif,
bivariate
dan
multivariate
dilengkapi
aplikasi dengan menggunakan
SPSS, 3rd ed. Jakarta: Salemba
Medika
De Marco, R. (2011). Risk Factor for
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease in Europan
Cohort of Young adults.
American Journal Respiratory
Critical Care Medicine. Vol.
183.pp. 891-897
Dechman, G. & Wilson,
C.R.
(2004). Evidence Underlying
Breathing Retraining in People
With
Stable
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease. Journal of the
American Phsiclal Therapy
Assosiation. 84.pp.1189-1197.
diakses 19 Agustus 2012 dari
http://ptjournal.apta.org/conten
t/84/12/1189
Dechman, G., & Wilson, C.R.
(2004). Evidence Underlying
Breathing Retraining in People
With
Stable
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease. Journal of the
Amarican Physical Therapy
Association.
84:1189-1197.
diakses 27 Mei 2012 dari
http://ptjournal.apta.org/conten
t/84/12/1189
Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. (2008). Keputusan
Mentri Kesehatan Republik
Indonesia
No.
1022/Menkes/SK/XI/2008.
Jakarta: Depkes RI
Departemen Kesehatan RI. (2008).
Pedoman
Pengendalian
Penyakit
paru
Obstruktif
Kronik. Jakarta: Direktorat
Jendral Pengendalian penyakit
dan Lingkungan, Direktorat
Pengendalian Penyakit Tidak
Menular
Depkes RI. (2009). Profil Kesehatan
Jawa Tengah.
Dislera, R.T., et al. (2011).
Interventions to support a
palliative care approach in
patients
with
chronic
obstructive pulmonary disease:
An integrative review. Elsevier
International
Journal
of
25
Nursing Studies. diakses 5
Februari
2012
dari
www.elsevier.com/ijns 00207489
Djodjodibroto,
D.
(2009).
Respirologi:
Respiratory
Medicine. Jakarata: EGC
Doenges, M.E., Moorhouse, M.F., &
Murr, A.C. (2010). Nursing
Care Plans: Guidelines for
Indivualizing
Clients Care
across the Life Span (8th ed).
Philadelphia:
F.A.
Davis
Company
Donohue, J.F., Sheth, K., Schwer,
W.A., & Schlager, S.I. (2006).
Asthma
and
COPD:
Management Strategies for the
Primary
Care
Provider.Chicago:
Medical
Communications Media, Inc
Faager, Stahle dan Larsen (2008),
dengan
judul
penelitian
Influence
of
Spontaneous
Pursed Lips Breathing on
Walking
Endurance
and
Oxygen Saturation in Patients
with Moderate to Severe
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease
Faager, Stahle dan Larsen (2008),
dengan
judul
penelitian
Influence
of
Spontaneous
Pursed Lips Breathing on
Walking
Endurance
and
Oxygen Saturation in Patients
with Moderate to Severe
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease
Sistemik Pada PPOK Terhadap
Sistem Kardiovaskular. Jurnal
Respirologi Indonesia.V.29.N.3
Fillibeck, et al, (2005), dengan judul
penelitian Does Sitting Posture
in
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease Really
Matter ? An Analysis of Two
Sitting Postures and Their
Effect on Pulmonary and
Cardiovascular Function.
Fregonezi, G.A. de F.,
Resqueti,
a,b,c V.R., & Rousa R. G.
(2004). Pursed Lips Breathing.
Arch Bronconeumol. Review
Article.40(6):279-82
Global Initiative For
Chronic
Obstructive Lung Disease.
(2006).Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and
Prevention
of
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease. USA: MCR VISION,
Inc.
Global Initiative For
Chronic
Obstructive Lung Disease.
(2010).Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and
Prevention
of
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease. USA: MCR VISION,
Inc.
Gosselink, R. (2003). Controlled
breathing and dyspnea in
patients
with
chronic
obstructive pulmonary disease
(COPD).
Journal
of
Rehabilitation Research and
Development. Vol. 40, No. 5.
Supplement 2. 25-34
Fahri, I., Dianiati, K.S., & Yunus, F.
(2009).
Efek
Peradangan
26
Hanania, N.A., & Sharafkhaneh, A
(Eds). (2011). COPD: A Guide
to Diagnosis and Clinical
Management.
New
York:
Humana Press
Heffner, J.E., Mularski, R.A., &
Calverley, P.M.A. (2010).
Opportunities for Improving
Care
COPD
Performance
Measures: Missing. Chest
Journal.
DOI
10.1378/chest.09-2306. diakses
2
Mei
2012
dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/early/2010/03/24/che
st.09-2306
Heijdra, y.f, Dekhuijzen, van
Herwaarden,
P.N.R.,
&
Folgering, H.T.M. (1994).
Effects of body position,
hyperinflation, and blood gas
tensions
on
maximal
respiratory
pressures
in
patients
with
chronic
obstructive pulmonary disease.
Thorax
Journal.49:453-458.
diakses 25 Juni 2013 dari
thorax.bmj.com
Hojat, B., & Mahdi, E. (2011). Effect
of different sitting posture on
pulmonary
function
in
students. Journal of Physiology
and Pathophysiology. Vol.
2(3). Pp.29-33. diakses 13 Juni
2013
dari
http://www.academicjournals.o
rg/jpap
Hulley, S.B., Cummings, S.R.,
Waren, S., Grady, D.G.,
Newman,
T.B.
(2007).
Designing Clinical Research
(3rd ed). Lippincott: Williams
& Wilkins
Ioannis Vogiatzis, I., et al. (2010).
Intercostal Muscle Blood Flow
Limitation during Exercise in
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease. American
Journal Respiratory Critical
Care Medicine. Vol 182. pp
1105–1113. diakses 19 Agstus
2012 dari www.atsjournals.org
Izadi-avanji , F.S. & AdibHajbaghery, M. (2011). Effects
of Pursed Lip Breathing on
Ventilation and Activities of
Daily Living in Patients with
COPD.
Webmed
Central
Rehabilitation
2(4):WMC001904 diakses 19
Agustus
2011
darihttp://www.webmedcentral
.com/article_view/1904
Johns Hopkins Medical Disclaimer
& Johns Hopkins Health Alert
(Eds). (2009). Guide to New
Treatment For COPD. New
York : MediZine LLC
Jones, A.Y., Dean, E., & Chow, C.C.
(2003). Comparasion of The
Oxygen Cost of Breathing
Exercises and Spontaneuous
Breathing in Patients with
Stable Chronic Obstructive
Pulmonary Desease (COPD).
Physio Therapy Journal. Vol.
83. Pp. 424-431.
Kamangar. (2010). Epidemiologi
Penyakit
Tidak
Menular.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Kant, S., & Singh, G.F. (2006).
Breathing
Exercises
as
adjuvant in the Management of
27
COPD: an Overview. Lung
India. Vol. 23. pp. 165-169.
diakses 18 Agustus 2012
dari http://www.lungindia.com/t
ext.asp?2006/23/4/165/44394
Kendrick, K.R., Baxi, S.C., Smith,
R.M., & Diego, S. (2000).
Usefulness of the modified 010 Borg scale in assessing the
degree of dyspnea in patients
with COPD and asthma.
Journal of Emergency Nursing.
Vol. 3:3: 216-222
Kera, T. & Maruyama, H. (2005).
The effect of posture on
respiratory activity of the
abdominal muscles. J Physiol
Anthropol
Appl
Human
Sci.24(4):259-65. diakses 19
Agustus
2012
dari
http://www.jstage.jst.go.jp/bro
wse/jpa
Kim
et al. (2012). Effects of
breathing maneuver and sitting
posture on muscle activity in
inspiratory accessory muscles
in patients with chronic
obstructive pulmonary disease.
Multidisciplinary Respiratory
Medicine. 7:9. diakses 13 Juni
2013
dari
http://www.mrmjournal.com/c
ontent/7/1/9
Kimathianaki M., Vaporidi, K., &
Georgopoulos, D. (2011).
Respiratory
muscle
dysfunction in COPD from
muscles to cell. Curr Drug
Targets.12:478–488.
KNGF. (2008). Chronic Obstructive
Pulmonary Disease: Practice
Guidelines. England: Royal
Dutch Society for Physical
Therapy
Lau, J., Chew, P.W., Wang, C., &
White, A.C. (2004). LongTerm Oxygen Therapy for
Severe COPD. England: TuftsNew England Medical Center
EPC
Lee LJ, Chang AT, Coppieters MW,
Hodges PW: Changes in sitting
posture induce multiplanar
changes in chest wall shape
and motion with breathing.
Respir Physiol Neurobiol 2010,
170:236–245.
Leidy, N.K., et al. (2010).
Standardizing Measurement of
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease
Exacerbations Reliability and
Validity of a Patient-reported
Diary. American
Journal
Respiratory Critical Care
Medicine. Vol 183. pp 323–
329. diakses 2 Mei 2012 dari
www.atsjournals.org
Lin, F., Parthasarathy, S., Taylo,r
S.J., Pucci, D., Hendrix, R.W.,
& Makhsous M: Effect of
different sitting postures on
lung capacity, expiratory flow,
and lumbar lordosis. Arch Phys
Med Rehab, 87:504–509. 28.
Lodewijckx, C.,
et al. (2011).
Impact of care pathways for inhospital management of COPD
exacerbation: A systematic
review. International Journal of
Nursing Studies Elsevier.
Resp. 48. diakses 2 Juni 2013
28
dari
doi:10.1016/j.ijnurstu.2011.06.
006
Maestu, P.L., & Stringer, W.W.
(2006). Hyperinflation and its
management
in
COPD.
International
Journal
of
COPD. 1(4) 381–400
Mahler, D.A. (2006). Mechanisms
and Measurement of Dyspnea
in
Chronic
Obstructive
Pulmonary Disease. Proc Am
Thorac Soc. Vol 3. pp 234–
238. diakses 13 Juli 2013 dari
www.atsjournals.org
Mahler, D.A., Gifford, A.H.,
Wateman, L.A., Ward, J.,
Machala, S., & Baird, J.C.
(2011). Mechanism of Greater
Oxygen Desaturation during
Walking
Compared
with
Cycling in COPD. Chest
Journal.
DOI
10.1378/chest.10-2415. diakses
2
Mei
2012
dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/early/2011/01/18/che
st.10-2415
Marhana, I.A., & Amin, M. (2010).
Korelasi Saturasi Oksigen
Perkutan Dengan Parameter
Derajat keparahan (Severity)
Pada
Asma
Eksaserbasi
Berdasarkan Kriteria Global
Initiative of Asthma 2008.
Majalah Kedokteran Respirasi
Vol. 1. No. 3 Oktober 2010
Martin, A.D., & Davenport, P.W.,
(2011). Extrinsic Threshold
PEEP Reduces Post Exercise
Dyspneu in COPD Patients: A
Placebo Controlled, Double
Blind Cross Over Study.
Cardiopulmonary
Physio
Therapy Journal. Vol. 22.pp.510
More, T. (2007). Respiratory
assessment in adults. Nursing
Standart. 21.49.48-56
Naga,S.S. (2013). Buku Panduan
Lengkap Ilmu Penyakit Dalam.
Edisi 4. Yogyakarta: Diva
Press
Namrata, P. & Anjali, B. (2012).
Effect of Different Sitting
Postures in Wheel Chair on
Lung Capacity, Expiratory
Flow in Patients of Spinal Cord
Injury of Spine Institute of
Ahmebadad. National Journal
of Medical Research. Vol.
2.I.2.
National Institute For Health and
Clinical Excellence. (2010).
Chronic
obstructive
pulmonary
disease
Management
of
chronic
obstructive pulmonary disease
in adults in primary and
secondary
care
(partial
update). Manchester: NICE
Clinical Guideline
Nield, et al (2007), dengan judul
Efficacy of
Pursed-Lips
Breathing: a Breathing Pattern
Retraining Strategy
for
Dyspnea
Reduction
ase
(COPD).
Nield, M.A., Soo Hoo,
G.W.,
Roper, J.M., & Santiago, S.
(2007). Efficacy of pursed-lips
breathing: a breathing pattern
retraining strategy for dyspnea
reduction.
Journal
29
Cardiopulmonal
Rehabilitation Prev.27(4):23744. diakses 19 Agustus 2012
dari www.jcrjournal.com
Nisha Shinde, N., & KJ Shinde .
(2012). Peak expiratory flow
rate: Effect of body positions
in patients with chronic
obstructive pulmonary disease.
Indian Journal of Basic &
Applied Medical Research.
Vol.-1, I-4, P. 357-362.
diakses 13 Juni 2013 dari
www.ijbamr.com
Notoatmodjo, S. (2010). Metode
Penelitian Kesehatan. Edisi 2.
Jakarta: PT Rineka Cipta
Ottenheijm, C.AC., Heunks, L.M., &
Dekhuijzen,
R.P.
(2008).
Diaphragm adaptations in
patients
with
COPD.
Respiratory Research. 9:12
doi:10.1186/1465-9921-9-12.
diakses 20 Agustus 2012 dari
http://respiratoryresearch.com/content/9/1/12
Padkao, T., Boonsawat, W., & U
Jones, C. (2010). Conical-PEP
is
safe,
reduces
lung
hyperinflation and contributes
to
improved
exercise
endurance in patients with
COPD: a randomised crossover
trial.
Journal
of
Physiotherapy. Vol. 56. p. 3336
Papavramidis, T.S., et al. (2011).
Diaphragmatic
Adaptation
Following Intra Abdominal
Weight Charging. Obesitas
Surgery
Journal.
Vol.
21.pp.1612-1616
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
(2003).
Penyakit
Paru
Obstruktif Kronik Pedoman
Diagnosis
dan
Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta: Depkes RI
Petty, T.L., Burns, M., & Tiep, B.L.
(2005).
Essentials
of
Pulmonary Rehabilitation: A
Do It Yourself Guide To
Enjoying Life With Chronic
Lung Disease. California: A
Pulmonary
Education
and
Research Foundation publication
Polit, D.F., & Beck, C.T. (2011).
Nursing Research: Generating
and Assessing Evidence for
Nursing Practice, 9th Ed.
Lippincot:
William
and
Wilkins
R
Ramos, et al. (2009). Influence of
pursed-lip breathing on heart
rate
variability
and
cardiorespiratory parameters in
subjects
with
chronic
obstructive pulmonary disease
(COPD). Rev Bras Fisioter,
São Carlos. v. 13, n. 4, p. 28893
Riyanto. (2006). Deskripsi Penyakit
sistem Sirkulasi: Penyebab
Kematian Utama di Indonesia.
Cermin Dunia Kedokteran. No.
143
Russell, R., Norcliffe, J., &
Bafadhel, M. (2012). Chronic
obstructive pulmonary disease:
management
of
chronic
disease. Elsevier Ltd. All rights
reserved. Medicine 40:5
30
Sastroasmoro, S., dan Ismael, S.,
(2008).
Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi
ke-3. Jakarta: CV.
Sagung Seto
Sastroasmoro, S., dan Ismael, S.,
(2011).
Dasar-dasar
Metodologi Penelitian Klinis.
Edisi
ke-6. Jakarta: CV.
Sagung Seto
Sherwood, L. (2001). Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem
(Human Physiology: From
Cells to Systems). Penterjemah:
Pendit, B.U., & Santoso, B.I.
Jakarta: EGC
Shinde, N., & KJ. Shinde, 2012Peak
expiratory flow rate: Effect of
body positions in patients with
chronic obstructive pulmonary
disease. Indian Journal of
Basic & Applied Medical
Research. Vol.-1, I-4, p. 357362. diakses 19 Agustus 2012
dari www.ijbamr.com
Spahija, J., Marchie , M.d., &
Grassino, A. (2005). Effects of
Imposed
Pursed-Lips
Breathing
on
Respiratory
Mechanics
and
During
Exercise
in
COPD.
Chestjournal.
128;640-650.
diakses 29 Mei 2012 dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/128/2/640.full.html
Sugiyono. (2010). Statistika untuk
Penelitian. Edisi 16. Bandung:
Alfabeta
Tashkin, D.P., Rennard, S., Hays,
J.T., Ma,W., Lawrence, D., &
Lee,
T.C.
Effects
of
Varenicline
on
Smoking
Cessation in Mild-to-Moderate
COPD:
A
Randomized
Controlled
Trial.
Chest
Journal.
DOI
10.1378/chest.10-0865. diakses
2
Mei
2012
dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/early/2010/09/21/che
st.10-0865
Thomas, L. A. (2009). Effective
dyspnea management strategies
identified by elders with endstage
chronic
obstructive
pulmonary disease . Elsevier.
Applied Nursing Research 22
:79–85 diakses 19 Agustus
2012
dari
www.elsevier.com/locate/apnr
TPadkao, T., Boonsawat, W., &
Jones, C.U. (2010). ConicalPEP is safe, reduces lung
hyperinflation and contributes
to
improved
exercise
endurance in patients with
COPD: a randomised crossover
trial.
Journal
of
Physiotherapy.
Vol.
56.
Australian
Physiotherapy
Association
Troosters,
T.,
Casaburi,
R.,
Gosselink, R. & Decramer, M.
(2005).
Pulmonary
Rehabilitation
in
Chronic
Obstructive
Pulmonary
Disease. Journal Respiratory
Critical Care Medicine. Vol
172. pp 19–38. diakses 19
Agustus
2012
dari
www.atsjournals.org
31
Waschki, B., Kirsten,A., Holz,O.,
Müller,K.C., M, T., Watz, H.,
& Magnussen, H. (2011).
Physical activity is the
strongest predictor of all-cause
mortality in patients with
chronic obstructive pulmonary
disease: a prospective cohort
study . Chest Journal.DOI
10.1378/chest.10-2521. diakses
2
Mei
2012
dari
http://chestjournal.chestpubs.or
g/content/early/2011/01/18/che
st.10-2521
Wust, R. CI. & Degens, H. (2007).
Factors contributing to muscle
wasting and dysfunction in
COPD patients . International
Journal Chronic Obstructrif
Pulmonal Disease. 2(3): 289–
300.
32
Download