Kondisi Sosial, Budaya, Folklor, dan Bahasa

advertisement
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN
PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK
DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI
KOTA BANJAR, JAWA BARAT
29—30 MEI 2010
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan
pada Program SI Jurusan Sastra Indonesia
Oleh
Kelompok
1
Kelompok
7
Kelompok
13
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2010
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN
PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK
DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI
KOTA BANJAR, JAWA BARAT
29—30 MEI 2010
disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan
pada program SI Jurusan Sastra Indonesia
Oleh
Kelompok 1 :
Gessya Gustian
Didit Mardiansyah
Trisellya Novrenik
Abdul Hadi
Ceria Firanthy S
180110070003
180110070016
180110090009
180110090012
180110090044
Kelompok 7 :
Mahfud Achyar
Astriningum
Yuliantini
Muhamad Danial
Ade Krisniawan
180110070051
180110070053
180110070054
180110090023
180110090024
Kelompok 13 :
Risah Munita
Kristha Immanuel S.
Fitri Sutanti
Rachmat Hidayat
Neng Lina
180110070042
180110070049
180110090028
180110090034
180110090051
LEMBAR PENGESAHAN
Judul
:
LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN PENELITIAN KONDISI
SOSIAL, BUDAYA,
FOLKLOR, DAN DIALEK DI KELURAHAN
BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR,
JAWA BARAT 29—30 MEI 2010
Kelompok 1 :
Gessya Gustian
Didit Mardiansyah
Trisellya Novrenik
Abdul Hadi
Ceria Firanthy S
180110070003
180110070016
180110090009
180110090012
180110090044
Kelompok 7 :
Mahfud Achyar
Astriningum
Yuliantini
Muhamad Danial
Ade Krisniawan
180110070051
180110070053
180110070054
180110090023
180110090024
Risah Munita
Kristha Immanuel S.
Fitri Sutanti
Rachmat Hidayat
Neng Lina
180110070042
180110070049
180110090028
180110090034
180110090051
Kelompok 13 :
Diketahui,
Dosen Pembimbing I,
Dosen Pembimbing II,
Agus Nero S., M.Hum.
Djarlis Gunawan, Drs.
NIP 196606171992031002
NIP 196006181986011001
Disahkan,
Ketua Program Studi Sastra Indonesia,
Tatang Suparman, M. Hum
NIP 196606061998021001
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allas swt yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan laporan Kuliah
Kerja Lapangan ini.
Laporan ini berjudul Laporan Kuliah Kerja Lapangan Penelitian Kondisi Sosial, Budaya,
Folklor, Dan Dialek Di Kelurahan Bojongkantong Kecamatan Langensari Kota Banjar, Jawa
Barat 29—30 Mei 2010. Penyusun melaporkan ini dalam rangka memenuhi tugas Kuliah Kerja
Lapangan pada semester V.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, di
antaranya yaitu pihak-pihak berikut:
1. Prof. Dr. H. Dadang Suganda, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas
Padjadjaran;
2. Tatang Suparman, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia;
3. H. Agus Nero Sofyan, M.Hum dan Djarlis Drs., selaku dosen pembimbing;
4. Orang tua penyusun yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materi;
3. Teman-teman penyusun dan semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu.
Dalam penyusunan makalah ini, penyusun telah berusaha dengan sebaik-baiknya.
Namun, apabila masih ditemukan kesalahan penyusun mengharapkan kritik dan saran guna
memperbaiki segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Penyusun berharap makalah
ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumya dan bagi penyusun khususnya.
Bandung, Juni 2010
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................. ..................... ii
DAFTAR ISI......................................................................................................................
iii
BAB I PENDAHULUAN.................................................................................................
1
I.1 Latar belakang penelitian……………………………………………… 1
I.2 Masalah Penelitian…………………………………………………….. 2
I.3 Identifikasi Masalah…………………………………………………… 2
I.4 Tujuan Penelitian………………………………………………………. 2
1.5 Metodologi……………………………………………………………. 3
I.6 Sumber Data…………………………………………………………… 3
BAB II PEMBAHASAN MATERI.................................................................................
4
2.1 Kondisi Umum Bojongkantong......................................................................... 4
2.1.1
Keterangan tentang titik pengamatan............................................... 4
2.1.2
Situasi Kebahasaan……………...................................................... 4
2.1.3
Situasi Geografis…………………………………………………. 4
2.1.4
Penduduk………………………………………………………....
2.1.5
Mata pencarian…………………………………………………… 5
2.1.6
Pendidikan………………………………………………………..
2.1.7
Agama……………………………………………………………. 6
2.1.8
Hubungan ke luar (dengan desa lain)…………………………….. 7
2.1.9
Prasarana hubungan………………………………………………. 7
4
6
2.1.10 Usia desa………………………………………………………….. 7
2.1.11 Sejarah desa……………………………………………………….. 7
2.2 Sosial dan Kebudayaan Bojongkantong.............................................................. 8
2.2.1
Kondisi Sosial.................................................................................. 10
2.2.2
Aktivitas Masyarakat……..………………………………….......... 12
2.2.3
Aliran Agama yang Menyimpang……………………………….... 13
2.3 Kebudayaan Kelurahan Bojongkantong
2.3.1
Tradisi adat……………………………………………………….. 14
2.3.2
Kesenian………………………………………………………….. 15
2.3.3
Kuliner dan Makanan Khas………………………………………. 16
2.4 Budaya Pop…………………………………………………………………… 17
2.5 Foklor Kelurahan Bojongkantong…………………………………………….. 18
2.6 Dialektologi…………………………………………………………………… 19
2.7 Data Informan………………………………………………………………… 25
BAB III PENUTUP............................................................................................................ 27
3.1 Simpulan............................................................................................................. 27
3.2 Saran................................................................................................................... 27
DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................
iiii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Penelitian Sosial Budaya
Objek penelitian sosial budaya adalah manusia dan fenomene-fenomena/gejala- gejala
sosial budaya.
Penelitian dalam ilmu sosial menurut Nasir (1999) dapat disebut sebagai suatu proses
yang terus-menerus, kritis, terorganisasi untuk mengadakan analisis dan mememberikan
interpretasi terhadap fenomena sosial yang memiliki hubungan saling berkaitan.
Menurut Soekanto (1995), penelitian sosiologi dapat dikatakan sebagai proses
pengungkapan kebenaran berdasarkan penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal dalam
sosiologi.
Adapun konsep-konsep dasar tersebut antara lain;
1. interaksi sosial,
2. kelompok sosial,
3. kebudayaan,
4. lembaga sosial,
5. lapisan sosial,
6. kekuasaan dan wewenang,
7. perubahan sosial,
8. masalah sosial,
Data-data yang diperlukan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut:
1. pola interaksi sosial,yang berguna untuk menciptakan suasana kondusif bagi pembangunan
2. kelompok-kelompok sosial sebagai bagian dari masyarakat
3. kebudayaan yang berintikan pada nilai-nilai yang mendukung pembangunan
4. stratifikasi sosial sebagai pembeda masyarakat dalam kelas-kelas sosial secara vrtikal.
5. lembaga-lembaga sosial sebagai kebutuhan dasar manusia dan kelompok sosial.
Metode Penelitian
1. Wawancara
Salah satu metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Wawancara disebut
juga lisan, yaitu suatu dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh
dari responden.
Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wawancara dibagi menjadi tiga jenis;
a. wawancara bebas
b. wawancara terpimpin
c. wawancara bebas terpimpin
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode wawancara, antara lain sebagai berikut:
1. pelaksanaan wawancara
2. prosedur wawancara
3. sikap pewawancara
2. Observasi
Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang
berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan dilapangan.
Menurut keberadaan pengamat dilapangan, observasi dapat dibedakan menjadi dua,
yaitu;
1. pengamatan terlibat (observasi partisipasi)
2. observasi tak terlibat (observasi nonpatisipasi)
Penggunaan observasi dalam pengumpulan data mempunyai keuntungan dan kelemahan.
Pada umumnya, secara garis besar pemilihan metode penelitian dipengaruhi oleh beberapa hal,
antara lain seperti dibawah ini;
1. tujuan penelitian
2. sampel penilitian
3. lokasi
4. pelaksana
5. biaya, waktu, dan data.
1.2 Foklor
Menurut Brunvand (1983:1), seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, folklor
digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya;
1. folklor lisan
2. folklor sebagian lisan
3. folklor bukan lisan
Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklor
yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain; (a) bahasa rakyat seperti logat, pangkat
tradisional, dan title kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah; (c)
pertanyaan tradisional seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e)
cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat.
Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan
dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain
kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, adat-istiadat, upacara adat, pesta rakyat, dan
lain-lain.
Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara
pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua
subkelompok, yakni material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong
material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan
sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman
rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain geral
isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau
bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat.
Kendati demikian, pada laporan KKL ini, penyusun tidak menyajikan semua data yang
ada di Bojongkantong yang berkaitan dengan folklor seperti yang telah dikemukakan
sebelumnya. Penyusun hanya akan membahas beberapa bagian folklor karena keterbatasan
waktu yang disediakan untuk penelitian ini dan kesulitan dalam pencarian informan yang dapat
memberikan keterangan mendetail mengenai folklor di desa Bojongkantong.
1.3 Dialektologi
Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang-orang menyebutkan istilah dialek
dan aksen. Banyak yang tidak menyadari baik itu dialek maupun aksen, sebenarnya bahasa. Itu
artinya, terjadi kekacauan pemakaian atau pengertian ketiga istilah tersebut dalam kehidupan
sehari-hari. Akan tetapi dalam kesempatan ini, penyusun hanya akan membahas persoalan
tentang dialek yang umumnya menerangkan tentang bagaimana seseorang berkomunikasi
dengan sekitar.
Istilah dialek yang umumnya dikatakan sebagai logat, digunakan dalam pembicaraan
ilmu bahasa termasuk di Indonesia. Dialek sendiri berasal dari kata Yunani yaitu dialektos. Pada
mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani, terdapat
perbedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh para penuturnya. Namun, sedemikian jauh
hal itu tidak sampai menyebabkan mereka menganggap bahwa mereka mempunyai bahasa yang
berbeda (Meillet, 1967:69).
Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek. Pertama, dialek adalah seperangkat bentuk ujaran
setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip
sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dalam bahasa yang sama. Kedua, dialek
tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Kys, 1967:69).
Bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat pendukungnya, salah
satu dialek yang sederajat itu lambat laun diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah
pakai dialek-dialek itu karena berbagai faktor. Faktor penentu itu berupa politik, kebudayaan,
dan ekonomi (Kys, 1967:72). Dalam proses itu, juga turut berjasa kaum perantara yang terdiri
atas mereka yang berpendidikan serta menguasai bahasa dan budayanya. Pada awalnya,
kelompok berpendidikan itu dwibahasawan. Mereka menggunakan koine, yaitu ungkapanungkapan “bahasa baku” sebagai bahasa budaya, dan dialek sebagai bahasa rakyat. Koine itu
mereka gunakan di antara sesama mereka dan dialek mereka gunakan jika bertalimarga
(berkomunikasi) dengan penduduk setempat, petani, dan kelompok masyarakat sederhana
lainnya. Sementara itu, penduduk umum adalah ekabahasawan.
Tahap berikutnya, masyarakat berpendidikan berubah menjadi ekabahasawan. Mereka
menghindari pemakaian dialek yang mulai kehilangan dasar-dasar keindahannya. Sejalan dengan
itu, penduduk berubah menjadi dwibahasawan. Mereka menggunakan bahasa baku sesuai dengan
taraf pendidikan mereka jika bertalimarga dengan kelompok berpendidikan dan tetap
menggunakan dialek di antara sesama mereka (Guiraud, 1970:7-8).
Lokabahasa atau geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mengkaji hubungan
yang ada dalam ragam-ragam bahasa, bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya
ragam-ragam itu (Dubois, 1967: 230)
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian geolinguistik ini adalah metode
pupuan lapangan dengan menggunakan cara pencatatan langsung. Pencatatan langsung ini
dilakukan dengan syarat mendapatkan informan yang tepat, yang telah memiliki syarat informan
yang baik.
BAB II
MONOGRAFI
2.1 Kondisi Umum Bojongkantong
2.1.1 Keterangan tentang titik pengamatan:
Pemerintah Kota Banjar, Kecamatan Langensari
Kelurahan Bojongkantong, Jalan Raya Banjar, KM 09
Kode Pos 46325, Jawa Barat
Gambar 1.1 Kantor Lurah Bojongkantong
2.1.2 Situasi Kebahasaan
Sebelah timur desa berbahasa: Jawa
Sebelah barat desa berbahasa: Sunda
Sebelah utara desa berbahasa: Jawa
Sebelah selatan desa berbahasa: Jawa
2.1.3
Situasi Geografis
Letak: pedesaan dengan kondisi persawahan hampir 20%
Morfologi: pengunungan dan berbukit
2.1.4
Penduduk
Pria
: 4880
Wanita : 4739
Jumlah : 9619
Jumlah KK: 2698
Mayoritas etnik: 65% Jawa
Minoritas etnik: 35% Sunda
Gambar 1.2 Rekapitulasi Kependudukan
2.1.5 Mata pencarian
Bertani: 2150
Berdagang: 17
Buruh: 57
Pegawai negeri: 67
Buruh tani: 1725
2.1.6 Pendidikan
SD: 1653;
SMP: 1175;
SMA: 783;
D1: 130;
D2: 91; S1: 27; S2: 9
Gambar 1.3 Rekapitulasi Pendidikan
2.1.7 Agama
Islam: 4879
Katolik: 3
Budha: 1
Gambar 1.4 Rekapitulasi Agama
2.1.8 Hubungan ke luar (dengan desa lain)
Sudah lancar karena infrastruktur jalan sudah bagus sehingga memudahkan transportasi ke
desa lain.
2.1.9
Prasarana hubungan
Angkot: 30
Delman: 15
Sepeda: setiap KK (Kepala Keluarga) memiliki sepeda ± 2-3 sepeda/KK
Sepeda Motor: hampir setiap KK memiliki sepeda.
2.1.10
Usia desa
Desa ini dibangun: di bawah 50 tahun.
2.1.11 Sejarah desa
Menurut Teguh Riadi (28 thn), salah satu staf Kelurahan Bojongkantong menuturkan bahwa
keluarahan Bojongkantong dulunya merupakan perubahan nama dari desa Mulya Sari.
Kemudian, Mulya Sari terpecah menjadi dua desa yaitu Langen dan Bojongkantong. Pada tahun
80an, Mulya Sari pun diganti menjadi Bojongkantong.
Sementara itu, menurut Dulah yang juga merupakan staf kelurahan
Bojongkantong menceritakan bahwa asal mula nama Bojongkantong konon karena dulu di
sekitar tambak yang banyak buaya terdapat banyak kantong-kantong. Hal itu dilakukan guna
mencegah dan membendung air sungai agar tidak masuk ke desa.
Berbeda dengan apa yang disampaikan Dulah, ketua RT 01/03, Salim Rosandi (70 thn)
berpendapat bahwa asal nama Bojongkantong karena pada saat adanya Tambak Baya (mbah
dalem) di Pecah Langkap Lancar, ketika para sesepuh rapat di daerah pemerintahan gemar
mengantongi uang yang tidak pernah dikeluarkan kembali dari kantongnya (sok ngantong wae)
atau korupsi.
2.2 Gambaran Sosial dan Kebudayaan Bojongkantong
Bojongkantong merupakan salah satu dari dua kelurahan yang ada di kecamatan
Langensari. Pada umumnya, penamaan untuk tata pemerintah setelah kecematan yaitu desa.
Namun, Bojongkantong agaknya berbeda karena pada tahun 2008 Bojongkantong resmi menjadi
kelurahan, bukan desa.
Dalam penelitian sosial-kebudayaan yang penyusun lakukan di kelurahan Bojongkantong
tidak terlalu menggambarkan secara keseluruhan bagaimana kondisi sosial-kebudayaan yang ada
di Bojongkantong. Hal ini dikarenakan minimnya waktu yang diberikan untuk meniliti sehingga
hanya sebagian kecil saja yang mampu Penyusun sajikan pada laporan ini.
BAB IV
PEMBAHASAN
4.1 Kondisi Sosial
Bojongkantong bisa dikatakan sebagai salah satu kelurahan yang cukup maju di
kecamatan Langen Sari. Hal ini ditandai dengan perubahan nama yang dulunya desa menjadi
kelurahan. Karena jika bicara kelurahan, tentunya istilah administrasi itu hanya digunakan di
wilayah perkotaan.
Selain itu, kemajuan sosial lainnya bisa dilihat dari sarana dan prasarana. Gedung-gedung
pemerintahan, kantor-kantor, gedung pendidikan, dan sarana lainnya yang ada di Bojongkantong
bisa dikatakan cukup bagus dan arsitektur bagunannya pun terlihat sudah modern.
Sejalan dengan program PNPM pemerintah, masyarakat Kelurahan Bojongkantong itu
meresponnya dengan mengadakan program antara lain; rehabilitasi jalan, rehabiltasi rumahrumah warga, dan pemberdayaan kooperasi yang ada di kelurahan tersebut yang sedang berjalan
hingga saat ini. Satu hal yang menarik pada kelurahan ini adalah nama koperasinya itu bernama
Bolamas, yang taklain adalah gabungan dari nama dusun yang ada di kelurahan tersebut yaitu,
Bojongsari, Langkap Lancar, Margasari, dan Sasagaran.
Misalnya pada gedung di bawah ini:
Gambar 1.5 Gedung Kesehatan
Gambar 1.6 Gedung Kelurahan
Tidak hanya sarana dan prasarananya saja yang sudah maju. Sejauh pengamatan
penyusun di lapangan, rumah-rumah yang ada di Bojongkantong pun sudah terlihat bercorak
kota dan modern. Jarang sekali Penyusun menemukan rumah yang kondisinya masih tidak layak
digunakan seperti rumah panggung yang sudah tua dan tidak layak pakai.
“Dulu, sekitar tahun 70-80an rumah-rumah di Bojongkantong masih tradisional. Rumahrumah di sini dibuat dari bambu. Namun, seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 80an hingga
sekarang rumah-rumah pun dibuat dari tembok,” ujar Salim Rosandi. Seperti pada contoh:
Gambar 1.7 Corak Bangunan Rumah
Walaupun rata-rata mata pencaharian di Bojongkantong bertani, tapi kondisi sosial di
Bojongkantong relatif lebih maju. Penyusun menilai bahwa pergantian nama Bojongkantong
sedikit banyaknya memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan sosial
kemasyarakatan yang ada di Bojongkantong.
4.2 Aktivitas Masyarakat
Seperti yang telah penyusun paparkan, pada umumnya masyarakat Bojongkantong
sebagai petani. Setiap hari, petani-petani itu pun berangkat ke sawah masing-masing. Uniknya,
untuk mencapai tujuan mereka, masyarakat Bojongkantong cenderung lebih banyak
menggunakan alat transportasi seperti sepeda dan sepeda motor.
Gambar 1.8 Aktivitas Warga Menggunakan Sepeda
Setelah lelah bekerja seharian, masyarakat yang bekerja sebagai petani itu pun kembali
pulang ke rumahnya masing-masing untuk beristirahat hingga besok paginya memulai aktivitas
lagi.
Sementara itu, untuk kerukunan dan kenyamanan warga Bojongkantong terjamin dengan
baik. Contohnya, di setiap RT diberlakukan kesepakatan untuk gotong royong untuk
membersihkan sarana publik setiap bulannya sesuai dengan waktu yang disepakati. Sedangkan
untuk kenyamanan, Pos Kamling masih diberdayakan dengan baik.
Gambar 1.9 Pos Kamling
Akan tetapi, ragam aktivitas kemasyarakatan yang ada di Bojongkantong lebih banyak
dilakoni oleh generasi tua karena banyak generasi muda Bojongkantong bekerja sebagai TKI dan
TKW di luar negeri. Sehingga aktivitas kaum muda pun kurang berkembang dengan baik.
Kendati demikian, kecerian anak-anak Bojongkantong saat bermain masih sering terlihat pada
sore hari misalnya bermain bola di lapangan.
Gambar 1.10 Bermain Bola
Secara keseluruhan, penyusun berkesimpulan bahwa kondisi sosial kemasyrakatan di
kelurahan Bojongkantong berkembang pesat dan masih mengindahkan nilai dan norma-norma
yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi, meskipun begitu masih ada potret kehidupan dan
realitas yang perlu menjadi cermatan Penyusun. Potret ini Penyusun rekam sebagai sebuah
hipotesis bahwa ternyata masih ada kondisi yang cukup kontras dengan paparan Penyusun di
atas. Misalnya pada gambar di bawah ini;
Gambar 1.11 Tungku
Pada gambar di atas menunjukkan masih ada masyarakat Bojongkantong yang
menggunakan tungku untuk memasak, tidak menggunakan kompor minyak atau gas. Hal ini
memberikan gambaran kepada kita bahwa di zaman modern seperti ini tungku ternyata masih
digunakan oleh masyarakat Indonesia. Banyak alasan kenapa tungku yang berbahan bakar kayu
masih digunakan. Salah satunya karena tungku lebih hemat dan bahan dasarnya mudah didapat.
Selain itu, jika menggunakan tungku tidak menimbulkan resiko yang lebih besar ketimbang
menggunakan kompor gas.
Selain itu, potret lain juga terdapat di pinggir jalan sekitar RT 01/03. Penyusun
menemukan tempat buang air besar dan kecil yang dikenal dengan nama kakus. Tentunya ini
menjadi pertanyaan bagi Penyusun kenapa ada kakus di pinggir jalan? Mungkinkah masih ada
warga Bojongkantong yang menggunakan kakus tersebut untuk membuang hajatnya?
Penyusun pun kemudian menanyai ketua RT setempat. Menurutnya, kakus itu sudah
tidak dipakai lagi. Namun, ia juga kebingungan kenapa kakus itu masih ada. Seharusnya kakus
itu ditiadakan karena merusak keindahan jalan di Bojongkantong.
Gambar 1.12 Kakus
4.3 Aliran Agama yang Menyimpang di Bojongkantong
Selain gambaran kondisi sosial kemasyarakatan, Penyusun juga mendapatkan informasi
bahwa ada aliran agama yang menyimpang di Bojongkantong yaitu aliran PBB (Pagayuban
Budaya Bangsa) dan AKI (Amanat Keagungan Ilahi). Menurut informan yang Penyusun tanya,
aliran PBB merupakan aliran yang tidak menempel pada ajaran agama manapun. Aliran ini
berkembang ketika adanya paham Kawurug Naluri. Penganut aliran ini adalah orang Jawa yang
masih mempercayai adanya Tuhan. Pada mulanya, paham Kawurug Naluri diindikasikan sebagai
G-30 S/PKI. Dampaknya aliran ini bubar dan pengikutnya banyak yang keluar.
Untuk pencegahan berkembangnya aliran ini, sebenarnya sudah dilakukan upaya agar
mereka memeluk agama yang sudah ada. Hasilnya, ada yang masuk dan ada yang tidak. Ibadah
mereka ditandai dengan adanya upacara/apel setiap hari senin.
Walaupun aliran ini sudah tidak terdengar lagi geliatnya, namun tahun ini muncul lagi.
Pusatnya di Gombong Monokriau, Kebumen Jawa Tengah. Di sana merupakan cabangnya yang
lebih terorganisir dan lebih terang-terangan menolak keberadaan agama yang ada di Indonesia.
Sanksi sosial yang diberikan pihak keluruhan pada pengikut aliran ini hanya berupa
memberi tanda strip (-) di kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka. Sekarang,
jumlah pengikut PBB semakin berkurang dan hanya menyisakan lima orang (yang sudah sangat
tua). Mereka menetap di wilayah Kujang Sari dan keberadaaan mereka sudah menjadi rahasia
umum.
Bagi masyarakat, kehadiran mereka sebenarnya tidak mengganggu. Karena mereka
beribadah di dalam kamar dan akhlaknya mereka pun baik. Sebagai identitas, untuk laki-lakinya
memakai ikat kepala warna ungu dari kain kafan. Sedangkan perempuannya memakai sanggul.
Selain PBB, aliran yang menyimpang dan sesat lainnya yaitu AKI. Tetapi bedanya, aliran
ini menempel pada agama Islam. Cara beribadahnya hampir sama dengan umat Islam. Namun
ganjilnya, mereka wudhu bukan menggunakan air biasa. Tapi menggunakan minyak wangi.
Selain itu, keganjilan lainnya adalah acara memotong kambing yang diyakini sebagai cara untuk
menebus dosa-dosa. Sekarang, pengikut aliran AKI ini telah disyahadatkan kembali.
4.4 Gambaran Kebudaayaan di Bojongkantong
4.4.1 Tradisi Adat
a. Upacara Kelahiran
Hampir sama dengan tradisi daerah lain, di Bojongkantong mengadakan upacara
kelahiran. Bentukan upacaranya dengan mengadakan aqiqah yang bertujuan menyambut
kelahiran bayi dengan cara memotong kambing. Selain itu, pada upacara kelahiran di
Bojongkantong ada tradisi yang unik yang dikenal dengan istilah macopatan (mulud).
b. Upacara Pernikahan
Tradisi pernikahan di Bojongkantong menggunakan tradisi kebudayaan Sunda dan Jawa.
Bergantung kemauan dan asal daerah mempelai. Akan tetapi, ada kebiasaan yang cukup unik.
Pernikahan diadakan di rumah istri dan suami harus tinggal di rumah istri. Untuk menopang
biaya pernikahan bagi pihak wanita maka seluruh warga ngelek, ngais, dan nanggung yang biasa
disebut arisan. Para tetangga memberikan makanan atau pangan kepada keluarga yang akan
menikah. Tujuannya agar suatu saat ketika nantinya ada tetangga yang lain akan mengadakan
hajatan / pernikahan maka saling membantu dan bekerjasama. Seserahan pada acara pernikahan
di Bojongkantong berupa beras, kambing, kayu bakar, dan buntel kadut.
Apabila ada kasus yang menikah itu merupakan anak yang lebih kecil (ada kakaknya yang
belum menikah) maka adik tersebut harus ngarunghal yaitu memberi apa pun yang diinginkan
oleh orang yang dilangkahi, misalnya kakak.
c. Upacara Kematian
Bojongkantong mengenal tahlilan, peringatan 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari,
2000 hari, dan lebih dari setahun dinamakan mendak. Acaranya berupa tahlilan dan pengajian
yang dilakukan bersama-sama.
d. Peringatan Hari Besar Agama
Memperingati hari besar agama seperti Maulid, Safar, dan lain sebagainya, warga
Bojongkantong mengisi peringatan tersebut dengan cara mengadakan perlombaan anak-anak,
pengajian, khataman Qur‟an, makan-makan, dan yang lainnya.
e. Abid
Abid adalah ritual khusus atau lebih tepatnya perayaan yang dilakukan setelah seorang
anak khatam Al-Qur‟an. Prosesi ini dimulai dengan mandinya sang pengkhatam Qur‟an di
masjid yang jauh dari rumahnya. Setelah mandi, anak tersebut didandani seperti orang Arab
dengan mengenakan pakaian serba putih. Dilanjutkan dengan naik kuda dari masjid tempat ia
mandi menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, pesta atau lebih tepatnya acara syukuran telah
menanti sang pengkhatam Qur‟an tiba. Jika ada keluarga yang tidak mampu mengadakan
perayaan seperti ini, dapat mengikuti Abid masal.
4.4.2 Kesenian
a. Kuda Lumping
Merupakan kesenian tradisional yang unik. Karena, pelaku kesenian ini seakan-akan
kerasukan dengan memakan pecahan
ditampilkan di lapangan)
b. Tagonian
kaca (beling), gabah (padi), dan lain-lain (biasanya
Merupakan kesenian untuk mengiringi dendang kasidah, biasanya berupa rebana, kendang,
dan lain-lain. Tujuannnya adalah sebagai syiar Islam dan untuk meramaikan hari-hari besar
Islam.
c. Kaorkesan
Penampilan orkes musik. Biasanya ditampilkan di pesta pernikahan.
d. Janeng
Alat musik campuran rebab mirip dengan kuda lumping dan ditampilkan di panggung.
2.3.2
Kuliner dan makan khas
a. Kue seroja
Merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras yang proses pembuatannya memakai
cetakan yang berbentuk menyerupai bunga seroja sehingga bentuknya seperti kembang dan
penamaannya disesuaikan dengan nama bunga tersebut.
b. Awug
Makanan yang terbuat dari tepung beras dan gula merah, yang proses pembuatannya
dikukus dengan aseupan sampai matang dan ditaburi dengan kelapa yang sudah diparut.
c. Teng-teng
Makanan yang merupakan kegemaran masyarakat tradisional. Sebenarnya, makanan ini
tidak hanya terdapat di daerah Bojongkantong, akan tetapi hampir di setiap daerah ada. Makanan
tersebut terbuat dari beras yang digoreng tanpa memakai minyak goreng lalu dicampur dengan
gula merah yang sudah masak. Setelah masak, teng-teng disajikan biasanya berebntuk kotak
persegi panjang atau bulat.
d. Mangleng
Mangleng adalah makanan yang berasal dari bahan dasar singkong yang direbus terlebih
dahulu kemdian dikeringkan. Setelah itu, dimasak dengan campuran gula merah yang sudah
dimasak dan bisa disajikan dalam keadaan hangat ataupun dingin.
e. Sambel dua
Pada umumnya makanan ini adalah teman makan nasi yang paling sederhana. Karena,
makanan yang hanya dibuat dari cabe, dan garam. Ada juga yang menambahkan sedikit terasi
agar terasa lebih nikmat, karena disesuaikan dengan selera makan. Di daerah Sunda, makanan ini
dikenal dengan nama sambal telenjeng. Akan tetapi, di daerah Jawa Tengah (suku Jawa) yang
merupakan perbatasannya disebut dengan nama sambal korosak.
f. Pecel Banjur
Makanan khas yang ada di daerah Bojongkantong ini bernama pecel banjur. Bahan-bahan
pecel banjur terdiri dari daun pepaya, daun singkong, daun katuk, honje, tauge, petai cina,
gendot, cabai, kacang tanah, kencur, bawang putih, dan garam. Cara pembuatan pecel banjur ini
mulanya bumbu-bumbu seperti kacang tanah, cabai, kencur, bawang putih dan garam
dihaluskan. Beri sedikit air pada bumbu tersebut. Untuk isi pecel, seperti daun pepaya, daun
singkong, daun katuk, honje, tauge, petai cina dan gendot dijadikan satu kemudian dibanjur
dengan bumbu pecel yang sudah dihaluskan. Demikianlah hingga makanan ini diberi nama pecel
banjur.
2.4 Budaya Pop
Budaya pop yang digemari oleh generasi muda Bojongkantong adalah situs jejaring sosial
seperti facebook dan band. Saat ini, hampir tidak ada generasi muda di Bojongkantong
memainkan permainan tradisional dan mempelajari kebudayaan daerah. Selain budaya pop yang
telah Penyusun sebutkan di atas, keunikan lain yang ada di Bojongkantong terlihat dari bentuk
gapura di setiap RT yang seragam. Menurut Salim, bentuk gapura yang ada di Bojongkantong
seperti anak tangga. Pemilihan model gapura lantaran instruksi ibu wali kota Banjar yang
menghimbau warga Bojongkantong agar menggunakan gapura semacam itu di setiap RT agar
terlihat lebih seragam dan unik.
Gambar 1.3 Gapura
2.5 Foklor Bojongkantong
a. Tradisi mencuci benda-benda yang sudah sepuh, misalnya keris yang dilakukan oleh
orang-orang yang memiliki keris saja.
b. Ilmu kebal.
Ilmu kebal ini hampir punah karena guru besarnya sudah lanjut usia.
c. Mitos batu besar angker
Ada mitos batu besar yang dikenal angker. Menurut penuturan warga setempat, siapa
yang duduk di atasnya maka akan kesurupan. Namun, batu besar tersebut sudah „mati‟
dan batu besar itu akan dipecah untuk digunakan sebagai benteng pembatas tebing.
d. Keramat pasir kanji
Merupakan pohon besar yang dijadikan sebagai tempat penyembahan. Konon, pohon
tersebut adalah makam Mbah Kamsi dan Eyang Kamsi yang merupakan cikal bakal desa
Bojongkantong. Mereka meninggal dikuburkan di sana sehingga warga setempat
meyakini tempat itu sebagai tempat keramat. Masyarakat pun seringkali mengadakan
hajatan ngembang di sana.
e. Cikangere
Merupakan rumah Pak De Rambang. Dulu, ada mata air yang keluar dari lubang. Di
tempat itu, ada ular besar yang disinyalir merupakan ular siluman/ular jadi-jadian.
f. Citamelang
Merupakan tempat pemujaan. Tempat tersebut diyakini mampu melanggengkan
hubungan percintaan bagi yang datang ke sana. Konon, dulu ada tiga makhluk (ular) yang
dikenal dengan nama Ipri dinikahi oleh orang Jawa. Kemudian, Ipri tersebut menjadi
manusia dan di bawa ke Jawa Tengah.
g. Gunung kokoplak, konon pada masa Mbah dalam pangeran Tambak Baya, bila seseorang
ingin kaya maka datanglah ke sana. Di gunung tersebut ada siluman monyet yang disebut
Ngetek. Menurut penuturan ketua RT setempat, dulu ada orang Sumatera ke sana sekitar
tahun 1960. Pecinya diambil monyet paling besar. Setelah itu, dia pun pulang. Namun,
setelah kejadian itu dia menjadi mudah mencari nafkah dan sukses. Tempat tersebut
masih dikunjugi orang-orang tapi intesitasnya bisa dikatakan agak jarang.
2.5 Dialektologi
Berdasarkan sifatnya, sumber penelitian dialek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber
lisan dan sumber tulis. Pada kesempatan kali ini Penyusun menggunakan sumber lisan agar
mempermudah proses penelitian dialek. Karena daerah Banjaran terletak di antara Jawa Barat
dan Jawa Tengah, secara otomatis penggunaan bahasa mereka sehari-hari tidak luput dari bahasa
Sunda dan Jawa. Tempat penelitian Penyusun sendiri terletak di Kecamatan Banjaran Kelurahan
Bojongkantong. Sesampainya di kelurahan ini penyusun disambut dengan begitu ramahnya,
tentu dengan keadaan desa yang masih sedikit terasa. Pemukiman warga di Bojongkantong tidak
layaknya perumahan yang berhimpitan satu sama lain. Akhirnya Penyusun pun memulai
penelitian dialek dengan mendatangi rumah Pak RT (Salim Rosandi) yang ternyata merangkap
sebagai sesepuh di Bojongkantong yang berusia 70 tahun. Dengan ramahnya Pria berusia enam
puluh sembilan tahun inipun bersedia membantu kelompok Penyusun. Secara garis besar, Pak
RT menunjukkan jati dirinya sebagai orang turunan Ciamis, karena bahasa yang beliau pakai di
dominasi oleh bahasa Sunda. Akan tetapi Pak RT berkata, bahwa ia pun bisa menggunakan
bahasa Jawa, lantaran bila ia tidak memahami bahasa Jawa maka ketika ia datang ke kelurahan ia
tidak mengerti apa-apa. Umumnya para pekerja di kelurahan menggunakan bahasa Jawa.
Karena hasil wawancara dengan Pak RT tidak terlalu membuat Penyusun puas, Penyusun
pun mencari kembali narasumber. Perjalanan pun cukup jauh, karena tempat tinggal Pak RT tadi
termasuk ke dalam wilayah orang sunda, sementara orang jawa memiliki kawasannya sendiri.
Bertemulah Penyusun dengan Ibu Halidah (berusia 59 tahun) yang pada awalnya merasa
terheran-heran dengan kehadiran Penyusun. Pertama kali mengobrol, dialek Bu Halidah sudah
menunjukkan kejawaannya. Ternyata memang benar, beliau asli dari jawa. Setelah Penyusun
wawancarai Bu Halidah lebih dominan dengan bahasa jawa, akan tetapi ia pun menguasai bahasa
sunda. Hal yang menarik dari daerah perbatasan ini adalah berbaurnya antara dua bahasa dalam
satu wilayah. Dalam posisi seperti ini bisa menjadi kelebihan dan bisa pula menjadi kekurangan.
Lebihnya baik suku jawa maupun sunda dapat diterima dengan baik, sehingga tidak ada masalah
ketika berkomunikasi. Kurangnya adalah kebingungan penggunaan bahasa para generasi baru.
Pengaruh penggunaan dua bahasa dalam suatu wilayah atau disuatu daerah yang
meyoritas masyarakatnya atau penduduknya bertempat tinggal di daerah perbatasan. Penggunaan
dua bahasa atau bilingualisme itu sudah menjadi persoalan yang bisa tetepi juga bisa menjadi
permasalahan serius karena mereka bisa dibilang bingung dalam menggunakan dua bahasa atau
bilingualisme. Penduduk tersebut sudah terpengaru dengan masuk bahasa yang dipakai oleh
kedua daerah yang mereka tinggali dan kedua bahasa tersebut mereka gunakan menjadi bahasa
sehari-hari dalam berkomunikasi.
Data dialek di desa Bojongkantong, Kota Banjar, Jawa Barat
No.
GLOS
Bahasa Sunda
Bahasa Jawa
001
Kakek
Aki
Mbah kakung
002
Nenek
Nini
Mbah putri
003
Ayah
Bapak
Bapak
004
Ibu
Mamah
Ema/ Mama‟
005
Paman tua
Uwa
Pa‟de
006
Paman muda
Mamang
Pa‟le
007
Bibi tua
Uwa
Bu‟de
008
Bibi muda
Bibi
Bu‟le
008a
Laki-laki
Pamegeut
Lanang
008b Perempuan
Awewe
Wedo
009
Kakak laki-laki
Aa
Mas
010
Kakak perempuan
Teteh/ Eceu
Mbak/ Mbak yu
011
Adik laki-laki
Adi lalaki
Ade lanang
012
Adik perempuan
Adi awewe
Ade wedo
013
Anak
Putra
Putra
014
Keponakan tua
Keponakan
Kepona‟an
015
Keponakan muda
Keponakan
Kepona‟an
016
Cucu
Incu
Putu
017
Suami
Salaki
Garwo
018
Istri
Pamajikan
Strikulo
019
Mertua
Mitoha
Mertuo
020
Menantu
Minantu
Mantu
021
Besan
Besan
Besan
022
Ipar
Ipar
Ipar
022a
Panggilan untuk anak
022b Lk
Ujang/ Asep
Nang/Ie
022c
Neng
Ndo
Panggilan untuk anak
022d Pr
023
Tiri
Tere
Kwalon
023a
Nama
Ngaran/ Nami
Jeneng
024
Pegawai desa
Pamong Desa
Pegawai Desa
025
Pesuruh di desa
Pesuruh
Pesuruh
026
Kepala desa
Kuwu
Lurah
027
Kepala kampong
Kepala Golongan
Kepala Golongan
028
Juru tuis
Juru tulis
Carik
029
Penghulu
Amil/ Naib
Penghulu
030
Peronda
Ronda
Ronda
030a
Dukun beranak
Indung beurang
Dukun bayi
030b Dukun sunat
Dukun sunat
Dukun sebet
030c
Arisan
Arisan
Arisan
031
Selamatan (kenduri)
Kenduren
Kepungan
032
Kerja bakti
Keridan
Kerja Bakti
033
Kepala
Sirah
Sirah
034
Otak
Otak
Utek
034a
Kening
Tarang
Batu?
Soca
Meripat
034b Mata#
034c
Bulu mata
Bulu soca
Idep
035
Air mata#
Cimata/ cisoca
Eluh
035a
Hidung
Pangambung
Irung
036
Mulut#
Baham
Tutu?
036a
Air ludah#
Dahdir
Iler
036b Dahak#
Reuhak
Riak
037
Bibir
Biwir
Lambe
038
Gigi
Huntu
Untu?
038a
Geraham
Geraham
Geraham
039
Lidah
Letah
Ilat
040
Telinga
Cepil
Kuping
040a
Leher
Beuheung
Gulu
041
Pundak
Tak-tak
Undak
042
Belikat
Walikat
Welikat
042a
Jari tangan
Ramo
Jari
042b Ibu jari
Jempol
Jempol
043
Telunjuk
Telunjuk
Telunjuk
043a
Jari tengah
Jari tengah
Jari tengah
044
Jari manis
Jari manis
Jari manis
045
Kelingking
Cingir
Jentik
046
Tangan
Panangan
Tangan
047
Telapak tangan
Dampal
Telapak
048
Kuku
Kuku
Kuku
048a
Kaki
Suku
Sikil
048b Paha
Ping-ping
Pupu
049
Lutut#
Tu‟ur
Dengkul
050
Betis
Bitis
Kempol
051
Tulang kering
Bulang
Balung
052
Mata kaki
Mumuncangan
Nto-nto
052a
Telapak kaki
Dampal suku
Telapak sikil
Tulang
Balung
052b Tulang
053
Rambut
Rambut
Rambut
054
Alis
Halis
Alis
054a
Darah#
Geutih
Getih
055
Sumsum#
Sum-sum
Sum-sum
Jantung
Jantung
Jantung
Hati#
Hati
Hati
DATA INFORMAN
Bapak Salim Rosandi merupakan mantan ketua RT 01/03
kelurahan Bojongkantong. Beliau mengabdi sebagai ketua
RT sejak tahun 1960 hingga tahun 80an. Pria paruh baya
kelahiran Lumbung, 20 April 1940 adalah warga asli kota
Banjar dan kemudian pindah ke Bojongkantong tahun 1958.
.
Teguh Riadi
Pria kelahiran 1981 ini sudah menetap di keluruhan
Bojongkantong. Kendati demikian, staf kelurahan yang
tamatan D2 ini merupakan keturunan Jawa. Bahasa
yang sering digunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa.
Namun, beliau juga bisa menggunakan bahasa Sunda
dan bahasa Indonesia bergantung lawan bicaranya.
BAB V
PENUTUP
3.1 Simpulan
Bojongkantong merupakan salah satu dari dua kelurahan yang ada di kecamatan Langen
Sari. Pada umumnya, penamaan untuk tata pemerintah setelah kecematan yaitu desa. Namun,
Bojongkantong agaknya berbeda, karena pada tahun 2008 Bojongkantong resmi menjadi
kelurahan bukan desa. Meskipun sudah bisa dikatakan kelurahan yang maju namun nilai-nilai
kekeluargaan masih sangat kental di sini.
Kelurahan Bojongkantong bisa dibilang kelurahan yang sudah maju, itu terlihat dari
bangunan-bangunan yang sudah modern, mitos-mitos ataupun hal tidak logis sudah kurang
diminati oleh warga setempat itu menandakan pola pikir mereka yang telah maju dan nilai
keagamaannya yang lumayan tinggi membuat warga tetap terpelihara keimanannya, terlihat
bagaimana kontrol masyarakat yang masih kental terhadap permasalahan yang ada
disekelilingnya yakni terlihat ketika mencuatnya ajaran-ajaran sesat yang terjadi di wilayah
tersebut langsung diselesaikan (bubarkan).
Berkaitan dengan aspek sosial-budaya, folklor, dan kebahasaan, Bojongkantong memiliki
potensi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya variasi kebudayaan seperti kesenian,
makanan, dan upacara adat. Tidak hanya sebatas itu, Bojongkantong merupakan daerah yang
unik. Pasalnya, karena berada di daerah perbatasan, Jawa Barat dan Jawa Tengah sehingga
menyebabkan adanya penggunaan Dwibahasa bagi masyarakat setempat. Maka takheran, jika
banyak masyarakat setempat yang bisa menggunakan dua bahasa (Jawa dan Sunda) secara fasih
walaupun bukan asli dari daerah Jawa/Sunda. Tentunya ini menjadikan Bojongkantong
merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Langensari, Kota Banjar memiliki
ragam dialek, budaya, dan kehidupan sosial yang kompleks.
3.2 Saran
Ketika tengah menganalisis kelurahan Bojongkantong,
penyusun agak kesulitan
mendapatkan informasi terkait foklor, mitos, dan lain sebagainya dikarenakan desa ini sudah
tidak kental lagi dengan hal-hal seperti itu. Jika dilihat kondisi desa ini tidak jauh berbeda
dengan tempat tinggal penyusun, yang membedakan hanyalah kelurahan ini memiliki kekhasan
yakni memakai dua bahasa dalam satu daerah yakni sunda dan jawa yang bisa dikaji oleh bagian
tim yang meneliti dialektologi.
Maka untuk kedepannya KKL lebih baik ditempatkan di tempat yang masih sangat desa
yakni jauh dari pengaruh hidup perkotaan, misalnya untuk mencari data mengenai permainan
remaja di bojongkantong sudah mengenal facebook dan permaianan daerah sudah lama
dilupakan.
Selain itu, waktu untuk mengumpulkan data sebaiknya diberikan lebih banyak agar data
yang dihimpun lebih kompleks dan komprehensif.
LAMPIRAN
Kel.1 : Peneliti Dialektologi
Kelompok 1 menuju rumah warga untuk wawancara
Kelompok 1 mewawancarai ketua RT
Kel. 7 : Peneliti Sosial Budaya
Kelompok 7 bersama narasumber bapak dan ibu RT
Kelompok 7 bersama warga Bojongkantong
Kel.13 : para peneliti Foklor
Kelompok 13 bersama tuan rumah dan dosen pembimbing
Kelompok 13 bersama tuan rumah dan dosen pembimbing
DAFTAR PUSTAKA
Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti.
Samsuri, 1985. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.
Download