LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR, JAWA BARAT 29—30 MEI 2010 disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan pada Program SI Jurusan Sastra Indonesia Oleh Kelompok 1 Kelompok 7 Kelompok 13 PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS PADJADJARAN JATINANGOR 2010 LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR, JAWA BARAT 29—30 MEI 2010 disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Kuliah Kerja Lapangan pada program SI Jurusan Sastra Indonesia Oleh Kelompok 1 : Gessya Gustian Didit Mardiansyah Trisellya Novrenik Abdul Hadi Ceria Firanthy S 180110070003 180110070016 180110090009 180110090012 180110090044 Kelompok 7 : Mahfud Achyar Astriningum Yuliantini Muhamad Danial Ade Krisniawan 180110070051 180110070053 180110070054 180110090023 180110090024 Kelompok 13 : Risah Munita Kristha Immanuel S. Fitri Sutanti Rachmat Hidayat Neng Lina 180110070042 180110070049 180110090028 180110090034 180110090051 LEMBAR PENGESAHAN Judul : LAPORAN KULIAH KERJA LAPANGAN PENELITIAN KONDISI SOSIAL, BUDAYA, FOLKLOR, DAN DIALEK DI KELURAHAN BOJONGKANTONG KECAMATAN LANGENSARI KOTA BANJAR, JAWA BARAT 29—30 MEI 2010 Kelompok 1 : Gessya Gustian Didit Mardiansyah Trisellya Novrenik Abdul Hadi Ceria Firanthy S 180110070003 180110070016 180110090009 180110090012 180110090044 Kelompok 7 : Mahfud Achyar Astriningum Yuliantini Muhamad Danial Ade Krisniawan 180110070051 180110070053 180110070054 180110090023 180110090024 Risah Munita Kristha Immanuel S. Fitri Sutanti Rachmat Hidayat Neng Lina 180110070042 180110070049 180110090028 180110090034 180110090051 Kelompok 13 : Diketahui, Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II, Agus Nero S., M.Hum. Djarlis Gunawan, Drs. NIP 196606171992031002 NIP 196006181986011001 Disahkan, Ketua Program Studi Sastra Indonesia, Tatang Suparman, M. Hum NIP 196606061998021001 KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allas swt yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan penyusunan laporan Kuliah Kerja Lapangan ini. Laporan ini berjudul Laporan Kuliah Kerja Lapangan Penelitian Kondisi Sosial, Budaya, Folklor, Dan Dialek Di Kelurahan Bojongkantong Kecamatan Langensari Kota Banjar, Jawa Barat 29—30 Mei 2010. Penyusun melaporkan ini dalam rangka memenuhi tugas Kuliah Kerja Lapangan pada semester V. Penyusun mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah membantu, di antaranya yaitu pihak-pihak berikut: 1. Prof. Dr. H. Dadang Suganda, selaku Dekan Fakultas Sastra Universitas Padjadjaran; 2. Tatang Suparman, M.Hum, selaku Ketua Program Studi Sastra Indonesia; 3. H. Agus Nero Sofyan, M.Hum dan Djarlis Drs., selaku dosen pembimbing; 4. Orang tua penyusun yang telah memberikan dukungan, baik moral maupun materi; 3. Teman-teman penyusun dan semua pihak yang tidak dapat dituliskan satu persatu. Dalam penyusunan makalah ini, penyusun telah berusaha dengan sebaik-baiknya. Namun, apabila masih ditemukan kesalahan penyusun mengharapkan kritik dan saran guna memperbaiki segala kekurangan yang terdapat dalam makalah ini. Penyusun berharap makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca pada umumya dan bagi penyusun khususnya. Bandung, Juni 2010 Penyusun DAFTAR ISI KATA PENGANTAR.................................................................................. ..................... ii DAFTAR ISI...................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1 I.1 Latar belakang penelitian……………………………………………… 1 I.2 Masalah Penelitian…………………………………………………….. 2 I.3 Identifikasi Masalah…………………………………………………… 2 I.4 Tujuan Penelitian………………………………………………………. 2 1.5 Metodologi……………………………………………………………. 3 I.6 Sumber Data…………………………………………………………… 3 BAB II PEMBAHASAN MATERI................................................................................. 4 2.1 Kondisi Umum Bojongkantong......................................................................... 4 2.1.1 Keterangan tentang titik pengamatan............................................... 4 2.1.2 Situasi Kebahasaan……………...................................................... 4 2.1.3 Situasi Geografis…………………………………………………. 4 2.1.4 Penduduk……………………………………………………….... 2.1.5 Mata pencarian…………………………………………………… 5 2.1.6 Pendidikan……………………………………………………….. 2.1.7 Agama……………………………………………………………. 6 2.1.8 Hubungan ke luar (dengan desa lain)…………………………….. 7 2.1.9 Prasarana hubungan………………………………………………. 7 4 6 2.1.10 Usia desa………………………………………………………….. 7 2.1.11 Sejarah desa……………………………………………………….. 7 2.2 Sosial dan Kebudayaan Bojongkantong.............................................................. 8 2.2.1 Kondisi Sosial.................................................................................. 10 2.2.2 Aktivitas Masyarakat……..………………………………….......... 12 2.2.3 Aliran Agama yang Menyimpang……………………………….... 13 2.3 Kebudayaan Kelurahan Bojongkantong 2.3.1 Tradisi adat……………………………………………………….. 14 2.3.2 Kesenian………………………………………………………….. 15 2.3.3 Kuliner dan Makanan Khas………………………………………. 16 2.4 Budaya Pop…………………………………………………………………… 17 2.5 Foklor Kelurahan Bojongkantong…………………………………………….. 18 2.6 Dialektologi…………………………………………………………………… 19 2.7 Data Informan………………………………………………………………… 25 BAB III PENUTUP............................................................................................................ 27 3.1 Simpulan............................................................................................................. 27 3.2 Saran................................................................................................................... 27 DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................ iiii BAB I PENDAHULUAN 1.1 Penelitian Sosial Budaya Objek penelitian sosial budaya adalah manusia dan fenomene-fenomena/gejala- gejala sosial budaya. Penelitian dalam ilmu sosial menurut Nasir (1999) dapat disebut sebagai suatu proses yang terus-menerus, kritis, terorganisasi untuk mengadakan analisis dan mememberikan interpretasi terhadap fenomena sosial yang memiliki hubungan saling berkaitan. Menurut Soekanto (1995), penelitian sosiologi dapat dikatakan sebagai proses pengungkapan kebenaran berdasarkan penggunaan konsep-konsep dasar yang dikenal dalam sosiologi. Adapun konsep-konsep dasar tersebut antara lain; 1. interaksi sosial, 2. kelompok sosial, 3. kebudayaan, 4. lembaga sosial, 5. lapisan sosial, 6. kekuasaan dan wewenang, 7. perubahan sosial, 8. masalah sosial, Data-data yang diperlukan tersebut mencakup hal-hal sebagai berikut: 1. pola interaksi sosial,yang berguna untuk menciptakan suasana kondusif bagi pembangunan 2. kelompok-kelompok sosial sebagai bagian dari masyarakat 3. kebudayaan yang berintikan pada nilai-nilai yang mendukung pembangunan 4. stratifikasi sosial sebagai pembeda masyarakat dalam kelas-kelas sosial secara vrtikal. 5. lembaga-lembaga sosial sebagai kebutuhan dasar manusia dan kelompok sosial. Metode Penelitian 1. Wawancara Salah satu metode penelitian dalam penelitian ini adalah dengan wawancara. Wawancara disebut juga lisan, yaitu suatu dialog yang dilakukan oleh pewawancara (interviewer) untuk memperoleh dari responden. Ditinjau dari segi pelaksanaannya, wawancara dibagi menjadi tiga jenis; a. wawancara bebas b. wawancara terpimpin c. wawancara bebas terpimpin Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam metode wawancara, antara lain sebagai berikut: 1. pelaksanaan wawancara 2. prosedur wawancara 3. sikap pewawancara 2. Observasi Observasi merupakan aktivitas penelitian dalam rangka mengumpulkan data yang berkaitan dengan masalah penelitian melalui proses pengamatan dilapangan. Menurut keberadaan pengamat dilapangan, observasi dapat dibedakan menjadi dua, yaitu; 1. pengamatan terlibat (observasi partisipasi) 2. observasi tak terlibat (observasi nonpatisipasi) Penggunaan observasi dalam pengumpulan data mempunyai keuntungan dan kelemahan. Pada umumnya, secara garis besar pemilihan metode penelitian dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain seperti dibawah ini; 1. tujuan penelitian 2. sampel penilitian 3. lokasi 4. pelaksana 5. biaya, waktu, dan data. 1.2 Foklor Menurut Brunvand (1983:1), seorang ahli folklor dari Amerika Serikat, folklor digolongkan ke dalam tiga kelompok besar berdasarkan tipenya; 1. folklor lisan 2. folklor sebagian lisan 3. folklor bukan lisan Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain; (a) bahasa rakyat seperti logat, pangkat tradisional, dan title kebangsawanan; (b) ungkapan tradisional, seperti peribahasa, pepatah; (c) pertanyaan tradisional seperti teka-teki; (d) puisi rakyat, seperti pantun, gurindam, dan syair; (e) cerita prosa rakyat, seperti mite, legenda, dan dongeng; (f) nyanyian rakyat. Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam golongan ini antara lain kepercayaan rakyat, permainan rakyat, teater rakyat, adat-istiadat, upacara adat, pesta rakyat, dan lain-lain. Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan, walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Kelompok besar ini dapat dibagi menjadi dua subkelompok, yakni material dan yang bukan material. Bentuk-bentuk folklor yang tergolong material antara lain arsitektur rakyat (bentuk rumah asli daerah, bentuk lumbung padi, dan sebagainya), kerajinan tangan rakyat; pakaian dan perhiasan tubuh adat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional. Sedangkan yang termasuk bukan material antara lain geral isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat (kentongan tanda bahaya di Jawa atau bunyi gendang untuk mengirim berita seperti yang dilakukan di Afrika), dan musik rakyat. Kendati demikian, pada laporan KKL ini, penyusun tidak menyajikan semua data yang ada di Bojongkantong yang berkaitan dengan folklor seperti yang telah dikemukakan sebelumnya. Penyusun hanya akan membahas beberapa bagian folklor karena keterbatasan waktu yang disediakan untuk penelitian ini dan kesulitan dalam pencarian informan yang dapat memberikan keterangan mendetail mengenai folklor di desa Bojongkantong. 1.3 Dialektologi Dalam kehidupan sehari-hari sering kita dengar orang-orang menyebutkan istilah dialek dan aksen. Banyak yang tidak menyadari baik itu dialek maupun aksen, sebenarnya bahasa. Itu artinya, terjadi kekacauan pemakaian atau pengertian ketiga istilah tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi dalam kesempatan ini, penyusun hanya akan membahas persoalan tentang dialek yang umumnya menerangkan tentang bagaimana seseorang berkomunikasi dengan sekitar. Istilah dialek yang umumnya dikatakan sebagai logat, digunakan dalam pembicaraan ilmu bahasa termasuk di Indonesia. Dialek sendiri berasal dari kata Yunani yaitu dialektos. Pada mulanya digunakan dalam hubungannya dengan keadaan bahasanya. Di Yunani, terdapat perbedaan kecil dalam bahasa yang digunakan oleh para penuturnya. Namun, sedemikian jauh hal itu tidak sampai menyebabkan mereka menganggap bahwa mereka mempunyai bahasa yang berbeda (Meillet, 1967:69). Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek. Pertama, dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda-beda, yang memiliki ciri-ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dalam bahasa yang sama. Kedua, dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa (Kys, 1967:69). Bersamaan dengan perkembangan dan pertumbuhan masyarakat pendukungnya, salah satu dialek yang sederajat itu lambat laun diterima sebagai bahasa baku oleh seluruh daerah pakai dialek-dialek itu karena berbagai faktor. Faktor penentu itu berupa politik, kebudayaan, dan ekonomi (Kys, 1967:72). Dalam proses itu, juga turut berjasa kaum perantara yang terdiri atas mereka yang berpendidikan serta menguasai bahasa dan budayanya. Pada awalnya, kelompok berpendidikan itu dwibahasawan. Mereka menggunakan koine, yaitu ungkapanungkapan “bahasa baku” sebagai bahasa budaya, dan dialek sebagai bahasa rakyat. Koine itu mereka gunakan di antara sesama mereka dan dialek mereka gunakan jika bertalimarga (berkomunikasi) dengan penduduk setempat, petani, dan kelompok masyarakat sederhana lainnya. Sementara itu, penduduk umum adalah ekabahasawan. Tahap berikutnya, masyarakat berpendidikan berubah menjadi ekabahasawan. Mereka menghindari pemakaian dialek yang mulai kehilangan dasar-dasar keindahannya. Sejalan dengan itu, penduduk berubah menjadi dwibahasawan. Mereka menggunakan bahasa baku sesuai dengan taraf pendidikan mereka jika bertalimarga dengan kelompok berpendidikan dan tetap menggunakan dialek di antara sesama mereka (Guiraud, 1970:7-8). Lokabahasa atau geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mengkaji hubungan yang ada dalam ragam-ragam bahasa, bertumpu pada satuan ruang atau tempat terwujudnya ragam-ragam itu (Dubois, 1967: 230) Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian geolinguistik ini adalah metode pupuan lapangan dengan menggunakan cara pencatatan langsung. Pencatatan langsung ini dilakukan dengan syarat mendapatkan informan yang tepat, yang telah memiliki syarat informan yang baik. BAB II MONOGRAFI 2.1 Kondisi Umum Bojongkantong 2.1.1 Keterangan tentang titik pengamatan: Pemerintah Kota Banjar, Kecamatan Langensari Kelurahan Bojongkantong, Jalan Raya Banjar, KM 09 Kode Pos 46325, Jawa Barat Gambar 1.1 Kantor Lurah Bojongkantong 2.1.2 Situasi Kebahasaan Sebelah timur desa berbahasa: Jawa Sebelah barat desa berbahasa: Sunda Sebelah utara desa berbahasa: Jawa Sebelah selatan desa berbahasa: Jawa 2.1.3 Situasi Geografis Letak: pedesaan dengan kondisi persawahan hampir 20% Morfologi: pengunungan dan berbukit 2.1.4 Penduduk Pria : 4880 Wanita : 4739 Jumlah : 9619 Jumlah KK: 2698 Mayoritas etnik: 65% Jawa Minoritas etnik: 35% Sunda Gambar 1.2 Rekapitulasi Kependudukan 2.1.5 Mata pencarian Bertani: 2150 Berdagang: 17 Buruh: 57 Pegawai negeri: 67 Buruh tani: 1725 2.1.6 Pendidikan SD: 1653; SMP: 1175; SMA: 783; D1: 130; D2: 91; S1: 27; S2: 9 Gambar 1.3 Rekapitulasi Pendidikan 2.1.7 Agama Islam: 4879 Katolik: 3 Budha: 1 Gambar 1.4 Rekapitulasi Agama 2.1.8 Hubungan ke luar (dengan desa lain) Sudah lancar karena infrastruktur jalan sudah bagus sehingga memudahkan transportasi ke desa lain. 2.1.9 Prasarana hubungan Angkot: 30 Delman: 15 Sepeda: setiap KK (Kepala Keluarga) memiliki sepeda ± 2-3 sepeda/KK Sepeda Motor: hampir setiap KK memiliki sepeda. 2.1.10 Usia desa Desa ini dibangun: di bawah 50 tahun. 2.1.11 Sejarah desa Menurut Teguh Riadi (28 thn), salah satu staf Kelurahan Bojongkantong menuturkan bahwa keluarahan Bojongkantong dulunya merupakan perubahan nama dari desa Mulya Sari. Kemudian, Mulya Sari terpecah menjadi dua desa yaitu Langen dan Bojongkantong. Pada tahun 80an, Mulya Sari pun diganti menjadi Bojongkantong. Sementara itu, menurut Dulah yang juga merupakan staf kelurahan Bojongkantong menceritakan bahwa asal mula nama Bojongkantong konon karena dulu di sekitar tambak yang banyak buaya terdapat banyak kantong-kantong. Hal itu dilakukan guna mencegah dan membendung air sungai agar tidak masuk ke desa. Berbeda dengan apa yang disampaikan Dulah, ketua RT 01/03, Salim Rosandi (70 thn) berpendapat bahwa asal nama Bojongkantong karena pada saat adanya Tambak Baya (mbah dalem) di Pecah Langkap Lancar, ketika para sesepuh rapat di daerah pemerintahan gemar mengantongi uang yang tidak pernah dikeluarkan kembali dari kantongnya (sok ngantong wae) atau korupsi. 2.2 Gambaran Sosial dan Kebudayaan Bojongkantong Bojongkantong merupakan salah satu dari dua kelurahan yang ada di kecamatan Langensari. Pada umumnya, penamaan untuk tata pemerintah setelah kecematan yaitu desa. Namun, Bojongkantong agaknya berbeda karena pada tahun 2008 Bojongkantong resmi menjadi kelurahan, bukan desa. Dalam penelitian sosial-kebudayaan yang penyusun lakukan di kelurahan Bojongkantong tidak terlalu menggambarkan secara keseluruhan bagaimana kondisi sosial-kebudayaan yang ada di Bojongkantong. Hal ini dikarenakan minimnya waktu yang diberikan untuk meniliti sehingga hanya sebagian kecil saja yang mampu Penyusun sajikan pada laporan ini. BAB IV PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Sosial Bojongkantong bisa dikatakan sebagai salah satu kelurahan yang cukup maju di kecamatan Langen Sari. Hal ini ditandai dengan perubahan nama yang dulunya desa menjadi kelurahan. Karena jika bicara kelurahan, tentunya istilah administrasi itu hanya digunakan di wilayah perkotaan. Selain itu, kemajuan sosial lainnya bisa dilihat dari sarana dan prasarana. Gedung-gedung pemerintahan, kantor-kantor, gedung pendidikan, dan sarana lainnya yang ada di Bojongkantong bisa dikatakan cukup bagus dan arsitektur bagunannya pun terlihat sudah modern. Sejalan dengan program PNPM pemerintah, masyarakat Kelurahan Bojongkantong itu meresponnya dengan mengadakan program antara lain; rehabilitasi jalan, rehabiltasi rumahrumah warga, dan pemberdayaan kooperasi yang ada di kelurahan tersebut yang sedang berjalan hingga saat ini. Satu hal yang menarik pada kelurahan ini adalah nama koperasinya itu bernama Bolamas, yang taklain adalah gabungan dari nama dusun yang ada di kelurahan tersebut yaitu, Bojongsari, Langkap Lancar, Margasari, dan Sasagaran. Misalnya pada gedung di bawah ini: Gambar 1.5 Gedung Kesehatan Gambar 1.6 Gedung Kelurahan Tidak hanya sarana dan prasarananya saja yang sudah maju. Sejauh pengamatan penyusun di lapangan, rumah-rumah yang ada di Bojongkantong pun sudah terlihat bercorak kota dan modern. Jarang sekali Penyusun menemukan rumah yang kondisinya masih tidak layak digunakan seperti rumah panggung yang sudah tua dan tidak layak pakai. “Dulu, sekitar tahun 70-80an rumah-rumah di Bojongkantong masih tradisional. Rumahrumah di sini dibuat dari bambu. Namun, seiring berjalannya waktu, sekitar tahun 80an hingga sekarang rumah-rumah pun dibuat dari tembok,” ujar Salim Rosandi. Seperti pada contoh: Gambar 1.7 Corak Bangunan Rumah Walaupun rata-rata mata pencaharian di Bojongkantong bertani, tapi kondisi sosial di Bojongkantong relatif lebih maju. Penyusun menilai bahwa pergantian nama Bojongkantong sedikit banyaknya memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkembangan sosial kemasyarakatan yang ada di Bojongkantong. 4.2 Aktivitas Masyarakat Seperti yang telah penyusun paparkan, pada umumnya masyarakat Bojongkantong sebagai petani. Setiap hari, petani-petani itu pun berangkat ke sawah masing-masing. Uniknya, untuk mencapai tujuan mereka, masyarakat Bojongkantong cenderung lebih banyak menggunakan alat transportasi seperti sepeda dan sepeda motor. Gambar 1.8 Aktivitas Warga Menggunakan Sepeda Setelah lelah bekerja seharian, masyarakat yang bekerja sebagai petani itu pun kembali pulang ke rumahnya masing-masing untuk beristirahat hingga besok paginya memulai aktivitas lagi. Sementara itu, untuk kerukunan dan kenyamanan warga Bojongkantong terjamin dengan baik. Contohnya, di setiap RT diberlakukan kesepakatan untuk gotong royong untuk membersihkan sarana publik setiap bulannya sesuai dengan waktu yang disepakati. Sedangkan untuk kenyamanan, Pos Kamling masih diberdayakan dengan baik. Gambar 1.9 Pos Kamling Akan tetapi, ragam aktivitas kemasyarakatan yang ada di Bojongkantong lebih banyak dilakoni oleh generasi tua karena banyak generasi muda Bojongkantong bekerja sebagai TKI dan TKW di luar negeri. Sehingga aktivitas kaum muda pun kurang berkembang dengan baik. Kendati demikian, kecerian anak-anak Bojongkantong saat bermain masih sering terlihat pada sore hari misalnya bermain bola di lapangan. Gambar 1.10 Bermain Bola Secara keseluruhan, penyusun berkesimpulan bahwa kondisi sosial kemasyrakatan di kelurahan Bojongkantong berkembang pesat dan masih mengindahkan nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Akan tetapi, meskipun begitu masih ada potret kehidupan dan realitas yang perlu menjadi cermatan Penyusun. Potret ini Penyusun rekam sebagai sebuah hipotesis bahwa ternyata masih ada kondisi yang cukup kontras dengan paparan Penyusun di atas. Misalnya pada gambar di bawah ini; Gambar 1.11 Tungku Pada gambar di atas menunjukkan masih ada masyarakat Bojongkantong yang menggunakan tungku untuk memasak, tidak menggunakan kompor minyak atau gas. Hal ini memberikan gambaran kepada kita bahwa di zaman modern seperti ini tungku ternyata masih digunakan oleh masyarakat Indonesia. Banyak alasan kenapa tungku yang berbahan bakar kayu masih digunakan. Salah satunya karena tungku lebih hemat dan bahan dasarnya mudah didapat. Selain itu, jika menggunakan tungku tidak menimbulkan resiko yang lebih besar ketimbang menggunakan kompor gas. Selain itu, potret lain juga terdapat di pinggir jalan sekitar RT 01/03. Penyusun menemukan tempat buang air besar dan kecil yang dikenal dengan nama kakus. Tentunya ini menjadi pertanyaan bagi Penyusun kenapa ada kakus di pinggir jalan? Mungkinkah masih ada warga Bojongkantong yang menggunakan kakus tersebut untuk membuang hajatnya? Penyusun pun kemudian menanyai ketua RT setempat. Menurutnya, kakus itu sudah tidak dipakai lagi. Namun, ia juga kebingungan kenapa kakus itu masih ada. Seharusnya kakus itu ditiadakan karena merusak keindahan jalan di Bojongkantong. Gambar 1.12 Kakus 4.3 Aliran Agama yang Menyimpang di Bojongkantong Selain gambaran kondisi sosial kemasyarakatan, Penyusun juga mendapatkan informasi bahwa ada aliran agama yang menyimpang di Bojongkantong yaitu aliran PBB (Pagayuban Budaya Bangsa) dan AKI (Amanat Keagungan Ilahi). Menurut informan yang Penyusun tanya, aliran PBB merupakan aliran yang tidak menempel pada ajaran agama manapun. Aliran ini berkembang ketika adanya paham Kawurug Naluri. Penganut aliran ini adalah orang Jawa yang masih mempercayai adanya Tuhan. Pada mulanya, paham Kawurug Naluri diindikasikan sebagai G-30 S/PKI. Dampaknya aliran ini bubar dan pengikutnya banyak yang keluar. Untuk pencegahan berkembangnya aliran ini, sebenarnya sudah dilakukan upaya agar mereka memeluk agama yang sudah ada. Hasilnya, ada yang masuk dan ada yang tidak. Ibadah mereka ditandai dengan adanya upacara/apel setiap hari senin. Walaupun aliran ini sudah tidak terdengar lagi geliatnya, namun tahun ini muncul lagi. Pusatnya di Gombong Monokriau, Kebumen Jawa Tengah. Di sana merupakan cabangnya yang lebih terorganisir dan lebih terang-terangan menolak keberadaan agama yang ada di Indonesia. Sanksi sosial yang diberikan pihak keluruhan pada pengikut aliran ini hanya berupa memberi tanda strip (-) di kolom agama pada KTP (Kartu Tanda Penduduk) mereka. Sekarang, jumlah pengikut PBB semakin berkurang dan hanya menyisakan lima orang (yang sudah sangat tua). Mereka menetap di wilayah Kujang Sari dan keberadaaan mereka sudah menjadi rahasia umum. Bagi masyarakat, kehadiran mereka sebenarnya tidak mengganggu. Karena mereka beribadah di dalam kamar dan akhlaknya mereka pun baik. Sebagai identitas, untuk laki-lakinya memakai ikat kepala warna ungu dari kain kafan. Sedangkan perempuannya memakai sanggul. Selain PBB, aliran yang menyimpang dan sesat lainnya yaitu AKI. Tetapi bedanya, aliran ini menempel pada agama Islam. Cara beribadahnya hampir sama dengan umat Islam. Namun ganjilnya, mereka wudhu bukan menggunakan air biasa. Tapi menggunakan minyak wangi. Selain itu, keganjilan lainnya adalah acara memotong kambing yang diyakini sebagai cara untuk menebus dosa-dosa. Sekarang, pengikut aliran AKI ini telah disyahadatkan kembali. 4.4 Gambaran Kebudaayaan di Bojongkantong 4.4.1 Tradisi Adat a. Upacara Kelahiran Hampir sama dengan tradisi daerah lain, di Bojongkantong mengadakan upacara kelahiran. Bentukan upacaranya dengan mengadakan aqiqah yang bertujuan menyambut kelahiran bayi dengan cara memotong kambing. Selain itu, pada upacara kelahiran di Bojongkantong ada tradisi yang unik yang dikenal dengan istilah macopatan (mulud). b. Upacara Pernikahan Tradisi pernikahan di Bojongkantong menggunakan tradisi kebudayaan Sunda dan Jawa. Bergantung kemauan dan asal daerah mempelai. Akan tetapi, ada kebiasaan yang cukup unik. Pernikahan diadakan di rumah istri dan suami harus tinggal di rumah istri. Untuk menopang biaya pernikahan bagi pihak wanita maka seluruh warga ngelek, ngais, dan nanggung yang biasa disebut arisan. Para tetangga memberikan makanan atau pangan kepada keluarga yang akan menikah. Tujuannya agar suatu saat ketika nantinya ada tetangga yang lain akan mengadakan hajatan / pernikahan maka saling membantu dan bekerjasama. Seserahan pada acara pernikahan di Bojongkantong berupa beras, kambing, kayu bakar, dan buntel kadut. Apabila ada kasus yang menikah itu merupakan anak yang lebih kecil (ada kakaknya yang belum menikah) maka adik tersebut harus ngarunghal yaitu memberi apa pun yang diinginkan oleh orang yang dilangkahi, misalnya kakak. c. Upacara Kematian Bojongkantong mengenal tahlilan, peringatan 1 hari, 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, 2000 hari, dan lebih dari setahun dinamakan mendak. Acaranya berupa tahlilan dan pengajian yang dilakukan bersama-sama. d. Peringatan Hari Besar Agama Memperingati hari besar agama seperti Maulid, Safar, dan lain sebagainya, warga Bojongkantong mengisi peringatan tersebut dengan cara mengadakan perlombaan anak-anak, pengajian, khataman Qur‟an, makan-makan, dan yang lainnya. e. Abid Abid adalah ritual khusus atau lebih tepatnya perayaan yang dilakukan setelah seorang anak khatam Al-Qur‟an. Prosesi ini dimulai dengan mandinya sang pengkhatam Qur‟an di masjid yang jauh dari rumahnya. Setelah mandi, anak tersebut didandani seperti orang Arab dengan mengenakan pakaian serba putih. Dilanjutkan dengan naik kuda dari masjid tempat ia mandi menuju ke rumah. Sesampainya di rumah, pesta atau lebih tepatnya acara syukuran telah menanti sang pengkhatam Qur‟an tiba. Jika ada keluarga yang tidak mampu mengadakan perayaan seperti ini, dapat mengikuti Abid masal. 4.4.2 Kesenian a. Kuda Lumping Merupakan kesenian tradisional yang unik. Karena, pelaku kesenian ini seakan-akan kerasukan dengan memakan pecahan ditampilkan di lapangan) b. Tagonian kaca (beling), gabah (padi), dan lain-lain (biasanya Merupakan kesenian untuk mengiringi dendang kasidah, biasanya berupa rebana, kendang, dan lain-lain. Tujuannnya adalah sebagai syiar Islam dan untuk meramaikan hari-hari besar Islam. c. Kaorkesan Penampilan orkes musik. Biasanya ditampilkan di pesta pernikahan. d. Janeng Alat musik campuran rebab mirip dengan kuda lumping dan ditampilkan di panggung. 2.3.2 Kuliner dan makan khas a. Kue seroja Merupakan makanan yang terbuat dari tepung beras yang proses pembuatannya memakai cetakan yang berbentuk menyerupai bunga seroja sehingga bentuknya seperti kembang dan penamaannya disesuaikan dengan nama bunga tersebut. b. Awug Makanan yang terbuat dari tepung beras dan gula merah, yang proses pembuatannya dikukus dengan aseupan sampai matang dan ditaburi dengan kelapa yang sudah diparut. c. Teng-teng Makanan yang merupakan kegemaran masyarakat tradisional. Sebenarnya, makanan ini tidak hanya terdapat di daerah Bojongkantong, akan tetapi hampir di setiap daerah ada. Makanan tersebut terbuat dari beras yang digoreng tanpa memakai minyak goreng lalu dicampur dengan gula merah yang sudah masak. Setelah masak, teng-teng disajikan biasanya berebntuk kotak persegi panjang atau bulat. d. Mangleng Mangleng adalah makanan yang berasal dari bahan dasar singkong yang direbus terlebih dahulu kemdian dikeringkan. Setelah itu, dimasak dengan campuran gula merah yang sudah dimasak dan bisa disajikan dalam keadaan hangat ataupun dingin. e. Sambel dua Pada umumnya makanan ini adalah teman makan nasi yang paling sederhana. Karena, makanan yang hanya dibuat dari cabe, dan garam. Ada juga yang menambahkan sedikit terasi agar terasa lebih nikmat, karena disesuaikan dengan selera makan. Di daerah Sunda, makanan ini dikenal dengan nama sambal telenjeng. Akan tetapi, di daerah Jawa Tengah (suku Jawa) yang merupakan perbatasannya disebut dengan nama sambal korosak. f. Pecel Banjur Makanan khas yang ada di daerah Bojongkantong ini bernama pecel banjur. Bahan-bahan pecel banjur terdiri dari daun pepaya, daun singkong, daun katuk, honje, tauge, petai cina, gendot, cabai, kacang tanah, kencur, bawang putih, dan garam. Cara pembuatan pecel banjur ini mulanya bumbu-bumbu seperti kacang tanah, cabai, kencur, bawang putih dan garam dihaluskan. Beri sedikit air pada bumbu tersebut. Untuk isi pecel, seperti daun pepaya, daun singkong, daun katuk, honje, tauge, petai cina dan gendot dijadikan satu kemudian dibanjur dengan bumbu pecel yang sudah dihaluskan. Demikianlah hingga makanan ini diberi nama pecel banjur. 2.4 Budaya Pop Budaya pop yang digemari oleh generasi muda Bojongkantong adalah situs jejaring sosial seperti facebook dan band. Saat ini, hampir tidak ada generasi muda di Bojongkantong memainkan permainan tradisional dan mempelajari kebudayaan daerah. Selain budaya pop yang telah Penyusun sebutkan di atas, keunikan lain yang ada di Bojongkantong terlihat dari bentuk gapura di setiap RT yang seragam. Menurut Salim, bentuk gapura yang ada di Bojongkantong seperti anak tangga. Pemilihan model gapura lantaran instruksi ibu wali kota Banjar yang menghimbau warga Bojongkantong agar menggunakan gapura semacam itu di setiap RT agar terlihat lebih seragam dan unik. Gambar 1.3 Gapura 2.5 Foklor Bojongkantong a. Tradisi mencuci benda-benda yang sudah sepuh, misalnya keris yang dilakukan oleh orang-orang yang memiliki keris saja. b. Ilmu kebal. Ilmu kebal ini hampir punah karena guru besarnya sudah lanjut usia. c. Mitos batu besar angker Ada mitos batu besar yang dikenal angker. Menurut penuturan warga setempat, siapa yang duduk di atasnya maka akan kesurupan. Namun, batu besar tersebut sudah „mati‟ dan batu besar itu akan dipecah untuk digunakan sebagai benteng pembatas tebing. d. Keramat pasir kanji Merupakan pohon besar yang dijadikan sebagai tempat penyembahan. Konon, pohon tersebut adalah makam Mbah Kamsi dan Eyang Kamsi yang merupakan cikal bakal desa Bojongkantong. Mereka meninggal dikuburkan di sana sehingga warga setempat meyakini tempat itu sebagai tempat keramat. Masyarakat pun seringkali mengadakan hajatan ngembang di sana. e. Cikangere Merupakan rumah Pak De Rambang. Dulu, ada mata air yang keluar dari lubang. Di tempat itu, ada ular besar yang disinyalir merupakan ular siluman/ular jadi-jadian. f. Citamelang Merupakan tempat pemujaan. Tempat tersebut diyakini mampu melanggengkan hubungan percintaan bagi yang datang ke sana. Konon, dulu ada tiga makhluk (ular) yang dikenal dengan nama Ipri dinikahi oleh orang Jawa. Kemudian, Ipri tersebut menjadi manusia dan di bawa ke Jawa Tengah. g. Gunung kokoplak, konon pada masa Mbah dalam pangeran Tambak Baya, bila seseorang ingin kaya maka datanglah ke sana. Di gunung tersebut ada siluman monyet yang disebut Ngetek. Menurut penuturan ketua RT setempat, dulu ada orang Sumatera ke sana sekitar tahun 1960. Pecinya diambil monyet paling besar. Setelah itu, dia pun pulang. Namun, setelah kejadian itu dia menjadi mudah mencari nafkah dan sukses. Tempat tersebut masih dikunjugi orang-orang tapi intesitasnya bisa dikatakan agak jarang. 2.5 Dialektologi Berdasarkan sifatnya, sumber penelitian dialek dapat dibagi menjadi dua, yaitu sumber lisan dan sumber tulis. Pada kesempatan kali ini Penyusun menggunakan sumber lisan agar mempermudah proses penelitian dialek. Karena daerah Banjaran terletak di antara Jawa Barat dan Jawa Tengah, secara otomatis penggunaan bahasa mereka sehari-hari tidak luput dari bahasa Sunda dan Jawa. Tempat penelitian Penyusun sendiri terletak di Kecamatan Banjaran Kelurahan Bojongkantong. Sesampainya di kelurahan ini penyusun disambut dengan begitu ramahnya, tentu dengan keadaan desa yang masih sedikit terasa. Pemukiman warga di Bojongkantong tidak layaknya perumahan yang berhimpitan satu sama lain. Akhirnya Penyusun pun memulai penelitian dialek dengan mendatangi rumah Pak RT (Salim Rosandi) yang ternyata merangkap sebagai sesepuh di Bojongkantong yang berusia 70 tahun. Dengan ramahnya Pria berusia enam puluh sembilan tahun inipun bersedia membantu kelompok Penyusun. Secara garis besar, Pak RT menunjukkan jati dirinya sebagai orang turunan Ciamis, karena bahasa yang beliau pakai di dominasi oleh bahasa Sunda. Akan tetapi Pak RT berkata, bahwa ia pun bisa menggunakan bahasa Jawa, lantaran bila ia tidak memahami bahasa Jawa maka ketika ia datang ke kelurahan ia tidak mengerti apa-apa. Umumnya para pekerja di kelurahan menggunakan bahasa Jawa. Karena hasil wawancara dengan Pak RT tidak terlalu membuat Penyusun puas, Penyusun pun mencari kembali narasumber. Perjalanan pun cukup jauh, karena tempat tinggal Pak RT tadi termasuk ke dalam wilayah orang sunda, sementara orang jawa memiliki kawasannya sendiri. Bertemulah Penyusun dengan Ibu Halidah (berusia 59 tahun) yang pada awalnya merasa terheran-heran dengan kehadiran Penyusun. Pertama kali mengobrol, dialek Bu Halidah sudah menunjukkan kejawaannya. Ternyata memang benar, beliau asli dari jawa. Setelah Penyusun wawancarai Bu Halidah lebih dominan dengan bahasa jawa, akan tetapi ia pun menguasai bahasa sunda. Hal yang menarik dari daerah perbatasan ini adalah berbaurnya antara dua bahasa dalam satu wilayah. Dalam posisi seperti ini bisa menjadi kelebihan dan bisa pula menjadi kekurangan. Lebihnya baik suku jawa maupun sunda dapat diterima dengan baik, sehingga tidak ada masalah ketika berkomunikasi. Kurangnya adalah kebingungan penggunaan bahasa para generasi baru. Pengaruh penggunaan dua bahasa dalam suatu wilayah atau disuatu daerah yang meyoritas masyarakatnya atau penduduknya bertempat tinggal di daerah perbatasan. Penggunaan dua bahasa atau bilingualisme itu sudah menjadi persoalan yang bisa tetepi juga bisa menjadi permasalahan serius karena mereka bisa dibilang bingung dalam menggunakan dua bahasa atau bilingualisme. Penduduk tersebut sudah terpengaru dengan masuk bahasa yang dipakai oleh kedua daerah yang mereka tinggali dan kedua bahasa tersebut mereka gunakan menjadi bahasa sehari-hari dalam berkomunikasi. Data dialek di desa Bojongkantong, Kota Banjar, Jawa Barat No. GLOS Bahasa Sunda Bahasa Jawa 001 Kakek Aki Mbah kakung 002 Nenek Nini Mbah putri 003 Ayah Bapak Bapak 004 Ibu Mamah Ema/ Mama‟ 005 Paman tua Uwa Pa‟de 006 Paman muda Mamang Pa‟le 007 Bibi tua Uwa Bu‟de 008 Bibi muda Bibi Bu‟le 008a Laki-laki Pamegeut Lanang 008b Perempuan Awewe Wedo 009 Kakak laki-laki Aa Mas 010 Kakak perempuan Teteh/ Eceu Mbak/ Mbak yu 011 Adik laki-laki Adi lalaki Ade lanang 012 Adik perempuan Adi awewe Ade wedo 013 Anak Putra Putra 014 Keponakan tua Keponakan Kepona‟an 015 Keponakan muda Keponakan Kepona‟an 016 Cucu Incu Putu 017 Suami Salaki Garwo 018 Istri Pamajikan Strikulo 019 Mertua Mitoha Mertuo 020 Menantu Minantu Mantu 021 Besan Besan Besan 022 Ipar Ipar Ipar 022a Panggilan untuk anak 022b Lk Ujang/ Asep Nang/Ie 022c Neng Ndo Panggilan untuk anak 022d Pr 023 Tiri Tere Kwalon 023a Nama Ngaran/ Nami Jeneng 024 Pegawai desa Pamong Desa Pegawai Desa 025 Pesuruh di desa Pesuruh Pesuruh 026 Kepala desa Kuwu Lurah 027 Kepala kampong Kepala Golongan Kepala Golongan 028 Juru tuis Juru tulis Carik 029 Penghulu Amil/ Naib Penghulu 030 Peronda Ronda Ronda 030a Dukun beranak Indung beurang Dukun bayi 030b Dukun sunat Dukun sunat Dukun sebet 030c Arisan Arisan Arisan 031 Selamatan (kenduri) Kenduren Kepungan 032 Kerja bakti Keridan Kerja Bakti 033 Kepala Sirah Sirah 034 Otak Otak Utek 034a Kening Tarang Batu? Soca Meripat 034b Mata# 034c Bulu mata Bulu soca Idep 035 Air mata# Cimata/ cisoca Eluh 035a Hidung Pangambung Irung 036 Mulut# Baham Tutu? 036a Air ludah# Dahdir Iler 036b Dahak# Reuhak Riak 037 Bibir Biwir Lambe 038 Gigi Huntu Untu? 038a Geraham Geraham Geraham 039 Lidah Letah Ilat 040 Telinga Cepil Kuping 040a Leher Beuheung Gulu 041 Pundak Tak-tak Undak 042 Belikat Walikat Welikat 042a Jari tangan Ramo Jari 042b Ibu jari Jempol Jempol 043 Telunjuk Telunjuk Telunjuk 043a Jari tengah Jari tengah Jari tengah 044 Jari manis Jari manis Jari manis 045 Kelingking Cingir Jentik 046 Tangan Panangan Tangan 047 Telapak tangan Dampal Telapak 048 Kuku Kuku Kuku 048a Kaki Suku Sikil 048b Paha Ping-ping Pupu 049 Lutut# Tu‟ur Dengkul 050 Betis Bitis Kempol 051 Tulang kering Bulang Balung 052 Mata kaki Mumuncangan Nto-nto 052a Telapak kaki Dampal suku Telapak sikil Tulang Balung 052b Tulang 053 Rambut Rambut Rambut 054 Alis Halis Alis 054a Darah# Geutih Getih 055 Sumsum# Sum-sum Sum-sum Jantung Jantung Jantung Hati# Hati Hati DATA INFORMAN Bapak Salim Rosandi merupakan mantan ketua RT 01/03 kelurahan Bojongkantong. Beliau mengabdi sebagai ketua RT sejak tahun 1960 hingga tahun 80an. Pria paruh baya kelahiran Lumbung, 20 April 1940 adalah warga asli kota Banjar dan kemudian pindah ke Bojongkantong tahun 1958. . Teguh Riadi Pria kelahiran 1981 ini sudah menetap di keluruhan Bojongkantong. Kendati demikian, staf kelurahan yang tamatan D2 ini merupakan keturunan Jawa. Bahasa yang sering digunakan sehari-hari adalah bahasa Jawa. Namun, beliau juga bisa menggunakan bahasa Sunda dan bahasa Indonesia bergantung lawan bicaranya. BAB V PENUTUP 3.1 Simpulan Bojongkantong merupakan salah satu dari dua kelurahan yang ada di kecamatan Langen Sari. Pada umumnya, penamaan untuk tata pemerintah setelah kecematan yaitu desa. Namun, Bojongkantong agaknya berbeda, karena pada tahun 2008 Bojongkantong resmi menjadi kelurahan bukan desa. Meskipun sudah bisa dikatakan kelurahan yang maju namun nilai-nilai kekeluargaan masih sangat kental di sini. Kelurahan Bojongkantong bisa dibilang kelurahan yang sudah maju, itu terlihat dari bangunan-bangunan yang sudah modern, mitos-mitos ataupun hal tidak logis sudah kurang diminati oleh warga setempat itu menandakan pola pikir mereka yang telah maju dan nilai keagamaannya yang lumayan tinggi membuat warga tetap terpelihara keimanannya, terlihat bagaimana kontrol masyarakat yang masih kental terhadap permasalahan yang ada disekelilingnya yakni terlihat ketika mencuatnya ajaran-ajaran sesat yang terjadi di wilayah tersebut langsung diselesaikan (bubarkan). Berkaitan dengan aspek sosial-budaya, folklor, dan kebahasaan, Bojongkantong memiliki potensi yang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari banyaknya variasi kebudayaan seperti kesenian, makanan, dan upacara adat. Tidak hanya sebatas itu, Bojongkantong merupakan daerah yang unik. Pasalnya, karena berada di daerah perbatasan, Jawa Barat dan Jawa Tengah sehingga menyebabkan adanya penggunaan Dwibahasa bagi masyarakat setempat. Maka takheran, jika banyak masyarakat setempat yang bisa menggunakan dua bahasa (Jawa dan Sunda) secara fasih walaupun bukan asli dari daerah Jawa/Sunda. Tentunya ini menjadikan Bojongkantong merupakan salah satu kelurahan yang ada di Kecamatan Langensari, Kota Banjar memiliki ragam dialek, budaya, dan kehidupan sosial yang kompleks. 3.2 Saran Ketika tengah menganalisis kelurahan Bojongkantong, penyusun agak kesulitan mendapatkan informasi terkait foklor, mitos, dan lain sebagainya dikarenakan desa ini sudah tidak kental lagi dengan hal-hal seperti itu. Jika dilihat kondisi desa ini tidak jauh berbeda dengan tempat tinggal penyusun, yang membedakan hanyalah kelurahan ini memiliki kekhasan yakni memakai dua bahasa dalam satu daerah yakni sunda dan jawa yang bisa dikaji oleh bagian tim yang meneliti dialektologi. Maka untuk kedepannya KKL lebih baik ditempatkan di tempat yang masih sangat desa yakni jauh dari pengaruh hidup perkotaan, misalnya untuk mencari data mengenai permainan remaja di bojongkantong sudah mengenal facebook dan permaianan daerah sudah lama dilupakan. Selain itu, waktu untuk mengumpulkan data sebaiknya diberikan lebih banyak agar data yang dihimpun lebih kompleks dan komprehensif. LAMPIRAN Kel.1 : Peneliti Dialektologi Kelompok 1 menuju rumah warga untuk wawancara Kelompok 1 mewawancarai ketua RT Kel. 7 : Peneliti Sosial Budaya Kelompok 7 bersama narasumber bapak dan ibu RT Kelompok 7 bersama warga Bojongkantong Kel.13 : para peneliti Foklor Kelompok 13 bersama tuan rumah dan dosen pembimbing Kelompok 13 bersama tuan rumah dan dosen pembimbing DAFTAR PUSTAKA Danandjaja, James. 1991. Folklor Indonesia. Jakarta: Grafiti. Samsuri, 1985. Analisis Bahasa. Jakarta: Erlangga.