Kajian Mekanisme Antibakteri Ekstrak Andaliman

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Botani Andaliman (Zanthoxylum acanthopodium DC)
Tanaman andaliman adalah tanaman rempah yang tumbuh di pegunungan
kawasan Danau Toba dan sekitarnya. Diduga penyebaran tanaman secara liar
melalui media kotoran burung. Burung memakan buah andaliman, kemudian
melalui kotoran burung tersebut biji andaliman tersebar kemana-mana dan tumbuh
secara liar. Menurut Hasairin (1994) dan Siregar (2003), andaliman mempunyai
ciri-ciri berperawakan perdu, tegak dengan tinggi 3-8 meter, batang dan cabang
merah kasar beralur, berbulu halus dan berduri (Gambar 2.1).
(a)
(b)
Gambar 2.1 (a) Tanaman Andaliman Terdiri Batang, Cabang, Ranting Berduri
(b) Buah Andaliman
Buah andaliman berbentuk bulat kecil berwarna hijau, bila digigit
mengeluarkan aroma wangi dan ada rasa getir yang tajam dan khas, serta dapat
merangsang produksi air liur. Menurut Sirait et al. (1991) masyarakat Himalaya,
Tibet dan sekitarnya menggunakan tumbuhan ini dalam produk pangan sebagai
bahan aromatik, perangsang nafsu makan dan sebagai obat sakit perut.
Tumbuhan andaliman berasal dari daerah Himalaya Subtropis, dan
distribusi dari tanaman ini terdapat di India Timur, Nepal, Pakistan Timur,
Myanmar, Thailand, China, Sumatera Utara dan Jepang (Hsuan Keng 1978). Di
Sumatera Utara tanaman ini tumbuh liar pada berbagai tempat, yaitu di daerah
Humbang, Silindung, Dairi dan Toba Holbung. Aroma dan rasa yang khas bumbu
ini tidak dapat ditinggalkan bagi orang yang telah terbiasa memakannya.
6
Menurut Hsuan Keng (1978) tanaman andaliman dengan nama latin
Zanthoxylum acanthopodium DC dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Ordo
: Geraniales
Famili
: Rutaceae
Marga
: Zanthoxylum
Spesies
: Zanthoxylum acanthopodium DC.
Pemanfaatan andaliman sebagai sambal atau bumbu masakan berbagai
jenis masakan tradisional suku Batak semakin menurun dengan bergesernya pola
makan dan gaya hidup masyarakat yang cenderung menginginkan serba praktis.
Selama ini telah banyak upaya untuk membudidayakan tanaman andaliman, tetapi
tidak menunjukkan hasil yang memuaskan karena sulit tumbuh, walaupun ada
yang dapat tumbuh tetapi tidak berbuah. Pengembangbiakan melalui biji tidak
berlangsung baik, walaupun perlakuan-perlakuan fisik dan kimia telah diteliti.
Penelitian yang dilakukan Sirait et al. (1991) melaporkan bahwa dari 74 biji
andaliman yang dicangkok ternyata hanya ada 7 yang menumbuhkan akar. Cara
yang tepat untuk pengembangbiakan tanaman andaliman sampai saat ini belum
diketahui. Penelitian ini merupakan dasar pemikiran untuk pengajuan manfaat
pengembangan tanaman andaliman pada Pemerintah Daerah.
Di sekitar kawasan Danau Toba Sumatera Utara terdapat tiga jenis varietas
tanaman andaliman yaitu :
1.
Sihorbo - tanaman andaliman dengan bentuk buah besar, kurang aromatik
dan produksi rendah
2.
Simanuk - tanaman andaliman dengan bentuk buah kecil, aroma dan rasa
lebih tajam dari Sihorbo, dan produksi lebih tinggi
3.
Sitanga - tanaman andaliman dengan aroma buah sangat tajam hingga
mirip bau kepinding alias tanga, produksi tinggi, namun kurang disenangi
masyarakat sampai sekarang.
7
Senyawa Antibakteri dari Bahan Tanaman
Pada beberapa bagian tanaman mengandung senyawa yang dapat bersifat
sebagai antibakteri. Senyawa tersebut diproduksi secara biologis oleh tanaman,
dan dapat menghambat pertumbuhan dan aktivitas mikroba (Nychas 1995).
Senyawa antibakteri yang dewasa ini banyak dikenal sebagai bahan pengawet
merupakan
senyawa
kimia
yang
mempunyai
kemampuan
menghambat
pertumbuhan bakteri (bakteristatik) atau membunuh bakteri (bakterisidal)
(Surekha dan Reddy 2000).
Beberapa bahan lain seperti gula, garam, vinegar, rempah -rempah atau
ekstrak minyak dari rempah-rempah, zat-zat dari pengasapan kayu merupakan
bahan-bahan yang tidak tergolong dalam bahan pengawet kimia atau sintetik
menurut definisi dari Food and Drug Administration (FDA). Pemilihan jenis
antimikroba yang cocok tergantung dari beberapa faktor, yaitu sifat-sifat
antimikroba yang digunakan, sifat dan komposisi produk pan gan yang akan
diawetkan, tipe sistem pengawetan lain yang ada pada bahan pangan, karakteristik
dan jumlah mikroorganisme awal, serta keamanan dan harga (Branen 1993).
Senyawa kimia yang digunakan untuk mencegah kerusakan pangan
memiliki sifat antiseptik pada kondisi tertentu. Jenis senyawa kimia yang banyak
digunakan sebagai bahan pengawet karena mempunyai daya antimikroba antara
lain adalah sulfit, nitrat dan nitrit. Senyawa biologis yang mempunyai aktivitas
antimikroba digolongkan dalam 3 kelompok, yaitu (1) senyawa antimikroba alami
yang berasal dari mikroorganisme seperti bakteriosin; (2) senyawa antimikroba
alami yang berasal dari hewan seperti fagosom, antibiotik, peptida, avidin, sistem
laktoperoksidase dan lisozim; (3) senyawa antimikroba alami yang berasal dari
tanaman seperti fitoaleksin, asam organik, minyak atsiri, senyawa fenolik, pigmen
dan senyawa kerabatnya (Gould 1995).
Beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri adalah: (1) jenis,
jumlah, umur dan latar belakang kehidupan bakteri, (2) konsentrasi zat antibakteri,
(3) suhu dan waktu kontak, (4) sifat fisiko-kimia substrat, seperti: pH, kadar air,
tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa-senyawa
lainnya (Frazier dan Westhoff 1983).
8
Golongan Fenolik
Senyawa fenolik merupakan substansi yang mempunyai satu cincin
aromatik dengan satu atau lebih substitusi gugus hidroksi (-OH) yang termasuk
turunan fungsional. Senyawa fenol cenderung mudah larut dalam air karena
umumnya akan berikatan dengan gula sebagai glikosida, dan biasanya terdapat
dalam vakuola sel. Senyawa ini diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu (1)
golongan fenol sederhana (vanilin, gingerol, shogaol, guaiakol dan eugenol); asam
fenol (p-kresol, 3-etilfenol, hidrokuinon dan asam galat); (2) turunan asam
hidroksinamat (p-kumarin, kafein dan firulin); (3) flavonoid (antosianin, flavonon,
flavonol dan tanin) (Nychas 1995; Shahidi dan Naczk 1995).
Beberapa senyawa fenolik yang bersifat antibakteri, seperti senyawa fenol
sederhana,
gingerol
dan
turunannya
dapat
menghambat
pertumbuhan
Mycobacterium avium dan M. tuberculosis (Hiserodt et al.1998). Eugenol yang
juga merupakan fenol sederhana dapat menghambat pertumbuhan Bacillus
subtilis. Golongan fenolik dari turunan hidroksinamat seperti kafein diketahui
dapat menghambat pertumbuhan Listeria monocytogenes (Conner 1993).
Golongan fenolik pada flavonol seperti katekin dapat menghambat pertumbuhan
V. cholerae dan aktivitas toksin yang dihasilkan (Toda et al. 1991).
Kondisi-kondisi yang dapat mempengaruhi aktivitas antibakteri adalah
struktur fungsional pada senyawa-senyawa fenolik sederhana, diantaranya: (1)
adanya peningkatan ikatan gugus n-alkil (<C 5) dalam senyawa yang dapat
meningkatkan aktivitas antibakteri, (2) posisi ikatan gugus alkil diduga juga dapat
mempengaruhi aktivitas antibakteri, (3) turunan -turunan polihidroksi umumnya
lebih kecil pengaruhnya dibandingkan dengan komponen monohidroksi, dan (4)
pemisahan gugus alkil dengan oksigen (contohnya metoksi-) dari senyawa fenolik
dapat menurunkan aktivitas antibakteri (Branen dan Davidson 1993 ). Sebagian
besar senyawa-senyawa golongan fenolik dalam bentuk glikosida-glikosida
cenderung bersifat polar, karena adanya gugus-gugus hidroksil (-OH) pada
struktur dasar senyawa fenolik, sehingga mudah larut dalam pelarut polar seperti
etanol, metanol, dan air (Houghton dan Raman 1998).
Senyawa-senyawa flavonoid yang memiliki aktivitas antimikroba, seperti:
licochalcone A, licochalcone B, licochalcone C, licochalcone D, dan echinatin
9
(Gambar 2.2) yang diisolasi dari akar tanaman Glycyrrhiza inflata, digolongkan
ke dalam retrochalcone yaitu khalkon dengan gugus oksigen pada posisi ikatan -2.
(a)
(b)
(d)
(c)
(e)
Gambar 2.2 Struktur licochalcone A (a), licochalcone B (b), licochalcone C (c),
licochalcone D (d), dan echinatin (e) (Haraguchi et al. 1998).
Senyawa retrochalcone seperti licochalcone A (Gambar 2.2-a) dan
licochalcone C (Gambar 2.2-c) terbukti memiliki aktivitas antibakteri yang tinggi
khususnya terhadap bakteri-bakteri Gram positif seperti sel S. aureus, M. luteus
dan B. subtilis dengan nilai MIC rata-rata 5.21 µg/ml. Hal ini erat kaitannya
dengan keberadaan gugus prenil pada cincin B struktur retrochalcone yang lebih
bersifat hidrofobik, sehingga memudahkan licochalcone A dan licochalcone C
berpenetrasi ke dalam membran sel bakteri dibandingkan dengan licochalcone B
dan licochalcone D yang lebih bersifat hidrofilik akibat adanya dua gugus
hidroksil (-OH) tanpa adanya gugus prenil pada cincin B. Selanjutnya
licochalcone A dan licochalcone C yang berpenetrasi ke dalam membran sel
bakteri akan mengganggu sistem transport elektron (O 2 ) dengan cara menghambat
NADH oksidase pada membran sel yang mengakibatkan penghambatan proses proses respirasi sel bakteri secara keseluruhan (Haraguchi et al. 1998).
10
Golongan Terpenoid
Golongan terpenoid dikenal sebagai senyawa utama pada tanaman yang
bersifat sebagai penyusun minyak atsiri. Terpenoid mempunyai rumus dasar yaitu:
(C 5H8) n atau dengan nama lain adalah isoprene-2 metil-2,3 butadiena (Teisser
1994). Golongan terpenoid yang mempunyai aktivitas antibakteri antara lain
adalah borneol, sineol, pinene, kamfene, dan kamfor (Conner 1993), nerelidol,
linalool, indol dan kadinen (Kubo et al. 1993) dan jus apel (Friedman et al.
2004a). Golongan senyawa ini efektif untuk menghambat pertumbuhan B. subtilis,
S. aureus, Salmonella enterica dan E. coli.
Sebagian senyawa-senyawa antibakteri dalam tanaman terdapat dalam
fraksi minyak atsiri yang diperoleh dari bahan tanaman melalui destilasi uap atau
dengan perlakuan dingin dan destilasi vakum, serta ekstraksi dengan pelarutpelarut organik (Reineccius 1994). Minyak atsiri (essential oils) didefenisikan
sebagai suatu kelompok dari senyawa berbau (odorus), larut dalam alkohol, terdiri
dari campuran eter, aldehida, keton, dan terpen (Nychas dan Tassou 2000).
Minyak atsiri umumnya merupakan gabungan kelompok-kelompok senyawa
volatil yang membentuk aroma spesifik dari spesies tanaman tertentu. Kelompokkelompok senyawa kimia yang terkandung dalam minyak atsiri, diantaranya
adalah: (a) hidrokarbon dengan formula kimia (C 5H8 )n, sebagai senyawa terpen
rendah seperti monoterpen, diterpen dan seskuiterpen; (b) turunan oksigenasi dari
senyawa-senyawa terpen diatas; (c) senyawa-senyawa aromatik dengan struktur
benzoid; dan/atau (d) senyawa-senyawa yang mengandung nitrogen atau sulfur
(Reineccius 1994). Secara kimia, terpenoid umumnya larut dalam lemak dan
terdapat di dalam sitoplasma sel tumbuhan. Kebanyakan terpenoid alam
mempunyai struktur siklik dan mempunyai satu gugus fungsi atau lebih (hidroksil,
karbonil, dan lain-lain) sehingga pada langkah akhir sintesis terjadi siklisasi dan
oksidasi atau pengubahan struktur lainnya (Harbone 1996). Secara rinci golongan
utama terpenoid tumbuhan dapat dilihat pada Tabel 2.1.
Senyawa terpen merupakan senyawa antibakteri utama dalam rempah rempah (Naidu dan Davidson 2000). Senyawa antibakteri aktif dalam sage dan
rosemary adalah borneol dan fraksi terpen. Senyawa ini memiliki daya hambat
terhadap bakteri Gram positif dan Gram negatif (Shelef 1983). Senyawa
11
monoterpen alkohol dan senyawa sesquiterpen alkohol seperti citronelal, geraniol,
linalool dan nerol terdapat pada sebagian besar minyak atsiri (Oyen dan Nguyen
1999). Senyawa-senyawa terpen ini telah dibuktikan memiliki sifat antibakteri
terhadap Campylobacter jejuni, E. coli, L. monocytogenes dan Salmonella
enterica (Friedman et al. 2002).
Tabel 2.1 Golongan Utama Terpenoid Tumbuhan
Jumlah
Satuan
Isoprena
1
2
Jumlah Golongan
karbon
C5
C10
3
C15
4
C20
6
8
n
C30
C40
Cn
Jenis utama dan sumbernya
Isoprena
dideteksi dalam daun Hamamelis japobica
Monoterpenoid monoterpena dalam minyak atsiri
monoterpena lakton tropolon
Seskuiterpenoid seskuiterpena dalam minyak atsiri
seskuiterpena lakton
absisin
Diterpenoid
asam diterpena dalam damar tumbuhan
giberelin
Triterpenoid
sterol, triterpena, saponin, glikosida
Tetraterpenoid karotenoid
Poliisoprena
karet
Sumber : Harbone 1996
Golongan Alkaloid
Secara umum alkaloid merupakan metabolit basa yang mengandung
nitrogen dan banyak sekali ragamnya termasuk struktur kimianya. Sebagian besar
alkaloid dibentuk dari asam-asam amino seperti lisin, ornitin, fenilalanin, tirosin
dan triptofan, serta kerangka asam-asam amino tersebut sebagian besar masih
tetap dalam struktur senyawa-senyawa alkaloid dan turunannya (Herbert 1988).
Banyak jenis alkaloid yang bersifat terpenoid atau sebagai terpenoid
termodifikasi. Beberapa jenis lainnya berupa senyawa aromatik seperti kolkhisina
yang mengandung gugus basa sebagai gugus rantai samping (Harbone 1996).
Banyak senyawa alkaloid yang khas dari suatu jenis tumbuhan atau
beberapa tumbuhan sekerabat. Oleh karena itu nama alkaloid seringkali
diturunkan dari nama sumber tumbuhan penghasilnya, misalnya alkaloid lupanin
dan albin yaitu alkaloid lupin dari biji Lupines albus L. (Mohamed et al. 1994 dan
Muzquiz et al. 1994) dan (+)-aphelandrine yaitu kelompok macrocyclic spermine
12
alkaloid dari akar tanaman Aphelandra fuscopunctata (Youhnovsky et al. 1999).
Saat ini, hanya ada beberapa kelompok peneliti yang telah berhasil menemukan
senyawa-senyawa antimikroba dan/atau antibakteri dari alkaloid tanaman,
diantaranya adalah: Bhattacharyya et al. (1993), Chakraborty et al. (1995), dan
Ramsewak et al (1999). Dari ketiga kelompok peneliti tersebut, semuanya
menemukan senyawa-senyawa antibakteri dari alkaloid tanaman yang termasuk
dalam kelompok senyawa alkaloid karbazol sebagai struktur dasar.
Secara umum alkaloid merupakan metabolit basa yang mengandung
nitrogen dan banyak sekali ragamnya termasuk struktur kimianya (Mann 1996).
Aktivitas senyawa-senyawa alkaloid atau senyawa yang mengandung N dari
tanaman sebagai senyawa antibakteri, belum banyak diketahui. Salah satu yang
telah diketahui mempunyai aktivitas antibakteri adalah senyawa alkaloid karbazol.
Senyawa antibakteri alkaloid karbazol terbukti memiliki aktivitas antibakteri,
diantaranya adalah (a) 3-metil-6,7-metilenadioksidakarbazol, (b) 1,8-d imetoksi-3formilkarbazol dan (c) beberapa senyawa alkaloid karbazol. S enyawa 3-metil-6,7metilenadioksidakarbazol (C 14H11NO2 ), bersifat antibakteri kuat dengan nilai MIC
terhadap B. subtilis sebesar 15 µg/ml, E. coli 25 µg/ml, dan S. aureus 33 µg/ml.
Senyawa ini diisolasi dari fraksi netral ekstrak dietileter kulit kayu tanaman
Clausena heptaphylla (Bhattacharyya et al. 1993). Senyawa 1,8-d imetoksi-3formilkarbazol (C 15 H13NO 3), merupakan senyawa antibakteri dan antikapang yang
kuat dengan
nilai MIC terhadap S. aureus 6 µg/ml, C. albicans 8 µg/ml,
P. aeruginosa dan S. Typhimurium sebesar 25 µg/ml, diisolasi dari fraksi netral
ekstrak etanol daun tanaman Clausena heptaphylla (Chakraborty et al. 1995).
Beberapa senyawa alkaloid karbazol lain seperti mahanimbina, mahanina, dan
murayanol, diisolasi dari ekstrak aseton daun tanaman Murraya koenigii, terbukti
memiliki aktivitas antibakteri, khususnya terhadap S. aureus, E. coli, dan
Streptococcus pyogenes (Ramsewak et al. 1999).
Penghambatan bakteri oleh suatu senyawa antibakteri dinyatakan dengan
nilai Minimum Inhibitory Concentration (MIC) yaitu konsentrasi minimum yang
dapat menghambat pertumbuhan bakteri lebih dari 90%, sedangkan nilai
Minimum Bactericidal Concentration (MBC) menyatakan konsentrasi minimum
yang dapat membunuh bakteri sebanyak 99.9% atau lebih dari inokulum asal
13
selama inkubasi 24 jam (Baron et al. 1995; Carson dan Riley 1995). Nilai MIC
dan MBC senyawa antibakteri ekstrak rempah -rempah maupun tanaman lainnya
berbeda-beda tergantung pada jenis mikroba. Nilai MIC senyawa antibakteri yang
lebih rendah menunjukkan bakteri lebih rentan terhadap komponen tersebut.
Ekstraksi Komponen Bioaktif
Ekstraksi adalah kegiatan penarikan kandungan kimia yang dapat larut
sehingga terpisah dari bahan yang tidak dapat larut dengan pelarut cair. Senyawa
aktif yang terdapat dalam berbagai bahan alami dapat digolongkan ke dalam
golongan minyak atsiri, alkaloid, flavonoid dan lain -lain. Struktur kimia yang
berbeda-beda akan mempengaruhi kelarutan dan stabilitas senyawa-senyawa
tersebut terhadap pemanasan, udara, cahaya, logam berat dan derajat keasaman.
Dengan diketahuinya senyawa aktif yang terkandung dalam bahan akan
mempermudah pemilihan pelarut dan cara ekstraksi yang tepat (Departemen
Kesehatan 2000).
Beberapa metode ekstraksi yang d ilakukan tergantung pada beberapa
faktor, antara lain: (1) tujuan dilakukan ekstraksi, (2) skala ekstraksi, (3) sifat-sifat
komponen yang akan di ekstraksi, dan sifat-sifat pelarut yang akan digunakan
(Houghton dan Raman 1998). Prinsip metode ekstraksi men ggunakan pelarut
organik adalah bahan yang akan diekstrak kontak langsung dengan pelarut pada
waktu tertentu, kemudian diikuti dengan melakukan pemisahan dari bahan yang
telah diekstrak. Metode ekstraksi dengan refluks pelarut organik pada dasarnya
adalah ekstraksi dengan pengadukan yang dilakukan pada suhu cukup tinggi (6070 0C) dan dilengkapi dengan kondensor (Adawiyah 1998).
Senyawa antibakteri dapat diperoleh dari berbagai bagian tanaman seperti
umbi, batang, kulit, daun, rimpang dan biji. Bagian tanaman tersebut mengandung
senyawa antibakteri yang berbeda-beda dan aktivitas penghambatannya berbeda
pula terhadap setiap jenis bakteri. Masing-masing bagian tersebut dapat
diekstraksi dengan beberapa pelarut seperti yang disajikan pada Tabel 2.2.
Ekstraksi bagian dari tanaman (biji, buah, rimpang dan daun) dengan pelarut
heksana, etilasetat dan metanol efektif menghambat pertumbuhan bakteri patogen.
14
Tabel 2.2 Beberapa Bagian Tanaman yang Bersifat Antimikroba
Bagian dan
jenis tanaman
Biji
Lada
Ekstrak metanol
S. aureus, C. albican
Atung
Ekstrak etilasetat
S. aureus, P. fluorescens
Ekstrak heksana
Ekstrak etilasetat
E. coli, A. flavus, Fusarium
S. aureus, P. fluorescens,
S. Typhimurium, E. coli,
P. fluorescens
B.stearothermophilus
S. Typhimurium,
E. coli, A. flavus, Fusarium
S. aureus, P. fluorescens,
S. Typhimurium, E. coli,
P. fluorescens
B.stearothermophilus
S. Typhimurium,
Mulia 2000
Ardiansyah 2001
Buah
Andaliman
Ekstraksi
Ekstrak metanol
Mobe
Ekstrak heksana
Ekstrak etilasetat
Ekstrak metanol
Bakteri yang dihambat
Pustaka
Sutedja dan
Agustina 1994
Moniharapon 1991;
Murhadi 2002;
Lavlinesia 2004
Yasni et al. 2004
Rimpang
Lengkuas
Ekstrak metanol
V. cholerae, S. aureus,
L. monocytogenes
Rahayu 1999
Daun
Teh
Ekstrak metanol
Streptococcus mutan
Sirih
Ekstrak metanol
E. coli, S. Typhimurium,
S. aureus. L. monocytogenes
Sakanaka et al.
1989
Sukarminah 1997
Pemilihan pelarut organik yang akan digunakan dalam ekstraksi
komponen bioaktif tanaman merupakan faktor penting dan menentukan untuk
mencapai tujuan dan sasaran ekstraksi komponen. Beberapa pelarut yang dapat
digunakan dalam ekstraksi dapat dilihat pada Tabel 2.3. Semakin tinggi nilai
polaritas, konstanta dielektrik, titik didih dan kelarutan dalam air maka pelarut
akan semakin polar.
Berdasarkan sifat fisik tersebut pelarut heksana bersifat nonpolar, etilasetat
bersifat semipolar dan metanol bersifat polar. Menurut Houghton dan Raman
(1998) pelarut dikelompokkan berdasarkan kekuatan pelarutnya. Heksana
merupakan pelarut paling nonpolar sedangkan air merupakan pelarut paling polar.
Ekstraksi dilakukan secara maserasi (tidak menggunakan panas) dan perkolasi
(menggunakan panas), dimana ekstraksi dengan menggunakan panas lebih cepat
mengekstrak senyawa yang diinginkan, karena pemanasan akan memperbesar
kelarutan. Biasanya untuk senyawa yang stabil dapat digunakan ekstraksi
15
sinambung dengan alat soxhlet, yang merupakan cara yang cepat dan hemat
(Hostettmann et al. 1997).
Tabel 2.3 Beberapa Sifat Pelarut Organik Untuk Ekstraksi
Kelarutan
Konstanta
dalam air
Polaritas
dielektrik
Titik didih
(e) a)
(%) b)
Pelarut
(Debye) b)
(0C) a)
• Karbondioksida
0.00
-56.60
• Pentana
0.00
1.84
36.20
0.010
• Heksana*
0.00
2.00
68.70
0.010
• Toluen*
0.29
2.40
11.06
0.046
• Benzen*
0.32
2.30
80.10
0.058
• Etilasetat
0.38
6.00
77.10
9.800
• Aseton
0.47
20.70
56.20
larut
• Propan-2-ol (IPA)
0.63
18.30
82.30
larut
• Etanol
0.68
24.30
78.30
larut
• Metanol*
0.73
32.60
64.80
larut
• Air
0.90
78.50
100.00
a)
Moyler (1995 ); b) Houghton dan Raman (1998) ; * bukan pelarut bahan pangan
Sifat penting yang harus diperhatikan adalah kepolaran senyawa dilihat
dari gugus polarnya (seperti gugus OH, COOH dan lain -lain). Senyawa polar
lebih mudah larut dalam pelarut polar dan senyawa nonpolar lebih mudah larut
dalam pelarut nonpolar. Derajat polaritas tergantung pada tetapan dielektrik,
makin besar tetapan dielektrik semakin polar pelarut tersebut. Ekstraksi bertingkat
dilakukan secara berturut-turut dimulai dengan pelarut nonpolar (heksana) lalu
dengan pelarut yang kepolarannya menengah (etilasetat atau dietileter), kemudian
dengan pelarut polar (metanol atau etanol). Dengan cara demikian akan diperoleh
ekstrak awal (crude extract) yang mengandung berturut-turut senyawa nonpolar,
kepolaran menengah dan polar (Hostettmann et al. 1997).
Bakteri Uji Aktivitas Antibakteri
Bakteri yang dapat digunakan untuk menguji aktivitas antibakteri pada
pangan meliputi bakteri Gram positif dan Gram negatif. Mikroba-mikroba
tersebut dapat digolongkan dalam mikroba patogen dan atau perusak karena kedua
golongan mikroba tersebut yang akan dicegah pertumbuhannya dengan antibakteri
yang terdapat pada rempah-rempah.
16
Bakteri Pembentuk Spora
Bacillus cereus merupakan bakteri penyebab keracunan yang terjadi di
Eropa sejak tahun 1906 (Jay 1996). Bakteri ini berbentuk batang, bersifat aerob
sampai aerob fakultatif, katalase positif dan kebanyakan bersifat Gram positif.
B. cereus dapat tumbuh pada suhu minimum 4-50C, suhu maksimum 48-50 0C,
dan suhu optimal pertumbuhannya 30 -450C, serta pada pH antara 4.9-9.3 (Jay
1996; Granum dan Baird-Parker 2000). Bakteri ini memproduksi spora tahan
panas dan tahan radiasi, dan tetap aktif setelah pemanasan selama 4 jam pada suhu
1350C (Cary et al. 2000).
Bacillus cereus dapat menyebabkan beberapa penyakit infeksi dan
intoksikasi. Spora sel B. cereus bertunas dan sel vegetatif menghasilkan toksin
selama fase eksponensial pertumbuhan atau selama masa sporulasi. Munculnya
diare terjadi setelah masa inkubasi 1-24 jam dan terlihat sebagai diare yang terus
menerus disertai nyeri dan kejang perut; jarang terjadi demam dan muntah.
Enterotoksin dapat ditemukan pada bahan pangan atau dibentuk dalam usus
(Granum dan Baird -Parker 2000).
Dua galur B. cereus (CIP 51.27 dan Z 4234) merupakan bakteri yang
paling sensitif diantara bakteri Gram positif dengan nilai MIC dan Minimum
Lethal Concentration (MLC) pada ekstrak rosemary masing-masing sama yaitu
konsentrasi 6 mmol/l (Campo et al. 2000). Contoh lainnya adalah karvakrol yang
banyak terdapat pada oregano (Origanum vulgare) dapat mematikan B. cereus
pada konsentrasi 1 mmol/l, sedangkan konsentrasi minimun yang dapat
menghambat pertumbuhan B. cereus adalah 0.75 mmol/l (Ultee et al. 1998).
Bakteri Gram positif
Staphylococcus aureus merupakan mikroba flora normal yang terdapat
pada permukaan tubuh, seperti pada permukaan kulit, rambut, hidung, mulut dan
tenggorokan. S. aureus banyak mencemari pangan karena tindakan yang tidak
higienis dalam penanganan pangan (Adam dan Moss 1995). S. aureus mampu
memproduksi enterotoksin yang tahan panas. Menurut Cary et al. (2000),
enterotoksin yang dapat menimbulkan penyakit dihasilkan bila jumlah sel
mencapai > 1.0 x 106 cfu/g.
17
S. aureus pada ekstrak rosemary dengan konsentrasi 0.25-1.0% dapat
menghambat dan bersifat bakterisidal (Campo et al. 2000). Bakteri Gram positif
seperti S. aureus dan L. monocytogenes lebih sensitif terhadap 21 jenis minyak
atsiri tumbuh-tumbuhan, seperti minyak kayu putih, kayu manis, cengkeh
dibandingkan bakteri Gram negatif seperti Salmonella enteritidis dan E. coli
(Palmer et al. 1998).
Suhu optimum pertumbuhan S. aureus adalah 35-37 0C, suhu minimum
6.70C dan suhu maksimum 45.50C. Bakteri ini dapat tumbuh pada pH 4.0-9.8
dengan pH optimum sekitar 7.0-7.8. Pertumbuhan pada pH mendekati 9.8 hanya
mungkin
bila
substratnya
mempunyai
komponen
yang
baik
untuk
pertumbuhannya (Supardi dan Sukamto 1999).
Bakteri Gram negatif
Salmonella Typhimurium merupakan bakteri patogen Gram negatif yang
banyak menimbulkan gangguan kesehatan manusia. Salmonella Typhimurium
merupakan bakteri Gram negatif, selnya berbentuk batang, dan tidak membentuk
spora. Bakteri ini bersifat motil dan flagella peritrikat, menghasilkan asam hasil
fermentasi dari glukosa, maltosa, manitol, dan sorbitol. Bakteri ini menggunakan
sitrat sebagai sumber karbon, tidak dapat memfermentasi salisin, selulosa dan
laktosa (Jay 1996). Salmonella Typhimurium tumbuh dengan suhu optimum
37 0C, meskipun dapat tumbuh pada suhu dibawah 100C, dan pH optimum
pertumbuhan adalah 6.5-7.5 walaupun dapat tumbuh pada interval pH 4.5-9.0.
Salmonella mempunyai ketahanan panas yang tinggi pada pH 5.5, aw rendah, dan
terdapat pada makanan dengan kandungan lemak tinggi, serta viabilitasnya akan
menurun selama penyimpanan beku (Portillo 2000).
Mekanisme Kerja Penghambatan Senyawa Antibakteri
Kemampuan rempah-rempah untuk menghambat pertumbuhan bakteri
merupakan salah satu kriteria pemilihan suatu senyawa antibakteri untuk
diaplikasikan
sebagai
pengawet
bahan
penghambatannya semakin efektif digunakan.
pangan.
Semakin
kuat
efek
18
Pengaruh komponen antibakteri terhadap sel bakteri dapat menyebabkan
kerusakan sel yang berlanjut pada kematian. Kerusakan sel yang ditimbulkan
komponen antibakteri dapat bersifat mikrosidal (kerusakan bersifat tetap) atau
mikostatik (kerusakan yang dapat pulih kembali). Suatu komponen akan bersifat
mikrosidal atau mikostatik tergantung pada konsentrasi komponen dan kultur
yang digunakan (Bloomfield 1991).
Penghambatan aktivitas mikroba oleh komponen bioaktif tanaman dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) gangguan pada senyawa
penyusun dinding sel, (2) peningkatan permeabilitas membran sel yang
menyebabkan kehilangan komponen penyusun sel, (3) menginaktifasi enzim
metabolik, dan (4) destruksi atau kerusakan fungsi material genetik (Brannen dan
Davidson 1993). Menurut Kanazawa et al. (1995) terjadinya proses tersebut diatas
karena pelekatan senyawa antimikroba pada permukaan sel mikroba atau senyawa
tersebut berdifusi ke dalam sel.
Fase pertumbuhan bakteri berpengaruh pada kerentanan bakteri terhadap
senyawa antibakteri. Menurut Thomson dan Hinton (1996) bakteri pada fase
stasioner lebih rentan terhadap antibakteri asam lemak rantai pendek dari pada
bakteri fase pertumbuhan eksponensial.
Kerusakan bakteri merupakan hasil interaksi senyawa antibakteri dengan
bagian tertentu pada sel bakteri (Gilbert 1984). Interaksi senyawa antibakteri
tersebut dapat menyebabkan sejumlah perubahan atau kerusakan pada sel bakteri
yang berpengaruh pada pola inaktivasi bakteri. Pada dosis yang tidak mematikan,
bakteri akan mengalami luka (injury), terjadi sejumlah perubahan dan kerusakan
struktur sel bakteri yang akhirnya dapat mempengaruhi fungsi metabolisme sel,
pada kerusakan yang parah akan menyebabkan kematian. Bentuk dan besarnya
perubahan atau kerusakan struktur sel dipengaruhi oleh jenis senyawa antibakteri,
jenis bakteri dan besarnya konsentrasi yang digunakan. Perubahan dan kerusakan
struktur sel oleh senyawa antibakteri dapat berupa perubahan morfologi sel,
perubahan ultrastruktur sel, ukuran sel, kebocoran dinding dan membran sel,
ketebalan dinding dan penampakan sitoplasma (Gemmel dan Lorian 1996).
Kerusakan sel bakteri oleh beberapa jenis antibiotik seperti polimiksin B,
penisilin G dan streptomisin telah dipelajari oleh Lin et al. (2000), seperti terlihat
19
pada Tabel 2.4. Polimiksin B merusak membran sel, penisilin G merusak dinding
sel, sedangkan streptomisin merusak ribosom. Penisilin G bersifat aktif terutama
terhadap bakteri Gram positif dan negatif , sedangkan bakteri Gram negatif pada
umumnya resisten terhadap penisilin G dan streptomisin. Secara umum,
mekanisme kerja antibiotik adalah dengan mengganggu sintesis dinding sel,
sintesis protein, sintesis asam nukleat dan juga pada fungsi membran (Best 1999).
Tabel 2.4 Mekanisme Antibiotik Polimiksin B, Penisilin G dan Streptomisin
terhadap Kerusakan Sel Bakteri
Antibiotik
Polimiksin B
Kerusakan
Membran sel
Penisilin G
Dinding sel
Streptomisin
Ribosom
Mekanisme
Fase Pertumbuhan
Masuk melalui pori pada
membran sel dan induksi
kebocoran sel
Menghambat pembentukan
dinding sel dan lisis pada sel
Menyebabkan misreading
mRNA dan produksi
polipeptida yang salah
Semua fase pertumbuhan
Eksponensial
Eksponensial
Sumber: Lin et al. (2000)
Merusak Dinding Sel
Sel bakteri dilindungi oleh dinding sel yang terdiri dari peptidoglikan,
ruang periplasma yang merupakan tempat enzim-enzim ekstraseluler dan
membran sitoplasma yang terlibat dalam proses respirasi. Peptidoglikan tersusun
dari N-asetilglukosamin dan N-asetilmuramat yang saling berikatan satu sama lain
serta asam-asam amino L-alanin, D-alanin, D-glutamat dan lisin (Fardiaz 1992).
Sintesis dinding sel melibatkan sejumlah enzim untuk menggab ungkan
fosfoenolpiruvat dengan N-asetilglukosamin.
Lapisan peptidoglikan merupakan suatu molekul raksasa (Gambar 2.3).
S. aureus merupakan bakteri Gram positif, yang memiliki 40 lapisan
peptidoglikan, merupakan 50% dari bahan dinding sel, sedangkan pada Gram
negatif hanya ada 1-2 lapisan peptidoglikan dan merupakan 5-10% dari bahan
dinding sel. Setiap zat yang menghambat salah satu langkah dalam biosintesis
peptidoglikan akan menyebabkan dinding sel bakteri yang tumbuh menjadi lemah
dan sel akan mengalami lisis (Jawetz et al. 1996).
20
a
b
Gambar 2.3 Struktur Peptidoglikan S. aureus (a) Satu Lapisan Peptidoglikan (b)
Dua Lapisan Peptidoglikan (Jawetz et al. 1996)
Rangka dasar polimer dinding sel terdiri atas rangkaian subunit asam Nasetilglukosamin dan N-asetilmuramat yang berselang-seling, dihubungkan
dengan ikatan ß-1,4 (Gambar 2.3a). Residu asam muramat dihubungkan dengan
peptida pendek, yang susunannya bervariasi menurut spesies bakteri. Pada
beberapa spesies, residu L-lisin digantikan oleh asam diaminopimelat, suatu asam
amino yang di alam hanya terdapat pada dinding sel prokariotik (Jawetz et al.
1996). Asam D-amino juga merupakan bagian khas dari dinding sel prokariotik.
Rantai peptida pada peptidoglikan dihubungkan menyilang antara rangka-rangka
dasar polisakarida yang sejajar seperti terlihat pada Gambar 2.3b. Peptidoglikan
yang terbentuk karena adanya ikatan silang, yang terdiri atas rantai peptida
pentaglisin, menghubungkan a-karboksil residu D-alanin ujung dari satu rantai
dengan kelompok e-amino dari L-lisin rantai berikutnya (De Jounge et al. 1996).
21
Struktur dinding sel bakteri Gram positif berbeda dengan dinding sel Gram
negatif (Gambar 2.4). Pada bakteri Gram positif dinding sel mengandung 90%
peptidoglikan serta lapisan tipis asam teikoat dan asam teikuronat yang bermuatan
negatif. Pada bakteri Gram negatif, pada lapisan di luar dinding sel ada yang
mengandung
5-10%
peptidoglikan,
selebihnya
terdiri
dari
protein,
lipopolisakarida dan lipoprotein. Lapisan ini merupakan lapisan lipid kedua, yang
disebut lapisan lipopolisakarida (LPS). Lapisan ini tidak tersusun semata-mata
oleh fosfolipid saja, seperti yang terdapat pada membran sitoplasma, tetapi juga
mengandung polisakarida dan protein (Madigan 2003).
Flagela
Asam lipoteikoat
Protein M
Porin
Lipoprotein
Hook
Lipopolisakarida
Lipid A
Membran Luar
Ikatan Peptida
Lapisan Peptidoglikan
Gel Periplasma
Membran Sitoplasma
Fosfolipid
Rotor Flagela
Membran Protein
Gram positif
Gram negatif
Gambar 2.4 Struktur Dinding Sel Bakteri Gram Positif dan Gram Neg atif
(Moat et al. 2002)
Sebagian besar dinding sel bakteri Gram positif mengandung sejumlah
besar asam teikoat yang dapat merupakan 50% dari bobot kering dinding sel.
Selain itu, mengandung protein M yang merupakan molekul panjang bersama
dengan lipoteikoat membentuk mikrofibril yang memudahkan pelekatan (Madigan
et al. 2003). Dinding sel bakteri Gram negatif mengandung tiga polimer yang
terletak di
luar lapisan
peptidoglikan:
lipoprotein,
porin
matriks
dan
lipopolisakarida. Lipopolisakarida dinding sel Gram negatif terdiri atas suatu lipid
kompleks yang disebut Lipid A. Lipid A terdiri atas suatu rantai satuan disakarida
glukosamin yang dihubungkan dengan ikatan pirofosfat, tempat melekat sejumlah
asam lemak berantai panjang.
22
LPS, sangat beracun dinamakan endotoksin yang terikat kuat pada
permukaan sel bakteri Gram negatif dan hanya dilepaskan bila sel mengalami
lisis. Bila LPS dipecah menjadi lipid A dan polisakarida, semua sifat racun
terdapat pada lipid A. Sebaliknya, polisakarida merupakan antigen permukaan
utama sel dan disebut antigen O. LPS terdiri dari antigen O, inti bagian luar
(N-asetilglukosamin, glukosa dan galaktosa) dan inti bagian dalam (heptosa dan
ketodeoksioktonat). Bakteri Gram negatif memiliki lapisan tambahan pada
dinding sel yang disebut membran luar (Gambar 2.5) (Madigan et al. 2003).
Membran tersebut terdiri dari lapisan lipopolisakarida (LPS) yang terikat satu
sama lain dengan kation divalent Ca++ dan Mg++ (Murray et al. 1998). Membran
luar berfungsi sebagai penghalang masuknya senyawa-senyawa yang tidak
diperlukan sel (bakteriosin, enzim dan senyawa hidrofobik) (Alakomi et al. 2000).
Antigen O
N-asetil
glukosamin
Glukos a
Galaktosa
Heptosa
Lipopolisakarida
Porin
Ketodeoksioktonat
Inti Bagian
Luar
Inti Bagian
Dalam
Lipid A
Membran Luar
Lipoprotein
Peptidoglikan
Periplasma
Miristatdeoksioktonat
Fosfolipid
Membran
Sitoplasma
Sitoplasma
Protein
Gambar 2.5 Struktur Membran Luar Bakteri Gram Negatif (Madigan et al. 2003)
Asam-asam organik seperti etilen diamin tetraacetic acid (EDTA), asam
sitrat, asam malat, asam tartarat, asam laktat (Gao et al. 1999; Stratford 2000) dan
asam klorida (Alakomi et al. 2000) dapat menghambat pertumbuhan bakteri Gram
negatif dengan mengkelat kation bivalen Ca++ dan Mg ++. Terlepasnya kation-
23
kation tersebut dari membran luar akan memudahkan masuknya senyawa
antibakteri ke dalam sel (Stratford 2000). Mekanisme kerja antibakteri dari
komponen fenolik diantaranya dapat bereaksi dengan komponen fosfolipid dari
membran sel (P. aeruginosa ), sehingga menyebabkan peningkatan status
permeabilitas sel membran atau dapat menyebabkan perubahan dalam komponen
asam lemak dan kandungan fosfolipid, dan selanjutnya dapat menyebabkan
kekacauan pada sistem membran sel (Nychas 1995).
Membran sel yang mengalami kebocoran parsial atau gangguan fungsi
permeabilitas tidak menyebabkan kematian sel mikroba, tetapi diduga hanya
memperlambat proses metabolik dalam sel mikroba sehingga hanya menghambat
pertumbuhan sel. Minyak atsiri dapat menghambat enzim yang terlibat pada
produksi energi dan pembentukan komponen struktural sehingga pembentukan
dinding sel bakteri terganggu. Alisin pada bawang diketahui dapat menghambat
enzim yang mempunyai peranan utama dalam metabolisme baik enzim yang
mempunyai gugus S-H maupun beberapa yang tidak mempunyai gugus S-H
(Conner 1993). Enzim sulfhidril yang dapat dihambat oleh alisin adalah protein
yang mempunyai komponen –SO-S tetapi bukan dari kelompok yang mempunyai
komponen –SO-, S -S atau –S-. Penghambatan terhadap enzim tersebut disebabkan
oleh oksidasi gugus tiol menjadi disulfhidril pada sisi alosterik enzim, yaitu pada
gugus sistein. Selain itu diketahui bahwa alisin mengganggu aliran elektron dalam
sistem reduktase disulfhidril dan menghambat fungsi reduktase dengan
mengoksidasi gugus sulfhidril dalam dinding sel, sehingga pembentukan dinding
sel tidak sempurna pada proses pembelahan sel (Nychas 1995).
Dalam upaya untuk mencapai sasaran, senyawa antibakteri dapat
menembus LPS dari dinding sel tersebut. Molekul-molekul yang bersifat
hidrofilik lebih mudah melewati LPS dibandingkan dengan yang hidrofobik. Pada
bakteri Gram positif, tidak ada lapisan LPS, sehingga fungsi penghalangnya tidak
ada dan molekul senyawa antibakteri yang bersifat hidrofilik maupun yang
hidrofobik dapat melewatinya (Best 1999). Pada bakteri Gram negatif terdapat sisi
hidrofilik yaitu karboksil, asam amino dan hidroksil (Gorman 1991).
Penghambatan komponen antibakteri adalah kemampuan suatu senyawa
antibakteri untuk mempengaruhi dinding sel mikroba (Ultee et al. 1998).
24
Mekanisme ini dapat disebabkan oleh adanya akumulasi komponen lipofilat yang
terdapat pada dinding sel atau membran sel, sehingga menyebabkan perubahan
komposisi penyusun dinding sel. Terjadinya akumulasi senyawa antibakteri
dipengaruhi oleh bentuk tak terdisosias i. Pada konsentrasi rendah molekulmolekul fenol yang terdapat pada minyak thyme kebanyakan berbentuk tidak
terdisosiasi, lebih hidrofobik, dapat mengikat daerah hidrofobik membran protein,
dan dapat melarut baik pada fase lipid dari membran bakteri. Dengan adanya
mekanisme ini dapat dinyatakan bahwa semakin banyak bentuk tidak terdisosiasi,
maka senyawa antibakteri semakin efektif daya antibakterinya. Pada Gambar 2.6
dapat dilihat mekanisme penghambatan bakteri oleh beberapa senyawa
antibakteri.
EDTA
Formaldehid
Hg2+
Formaldehid
Membran
Sitoplasma
Dinding sel
Proses
Transport
Paraben
2-pheniletanol
Hg2 +
Fenol
Asam lipofilat lemah
-SH Group
Komponen
sitoplasma, K +,
Bahan 260 nm,
Ribosa
Sitoplasma
-SH Group
-NH2
Group
DNA
Koagulasi
Konsentrasi tinggi:
- Hg2+
- Fenol
- Klorheksidin
-COOH Group
Bahan Kationik
Fenol
Membran ATPase
Sistem transpor elektron
Klorheksidin
Alkohol Akridin
Klorheksidin
Proton
motive
force
Karbanilid
Salisilanilid
Fenol dan bisfenol
Paraben
Asam lipofilat lemah
Heksaklorofan
Gambar 2.6 Mekanisme Penghambatan Bakteri Oleh Beberapa Senyawa
Antibakteri (Madigan et al. 2003)
Beberapa
senyawa
kimia
dan
antibakteri
seperti
EDTA,
fenol,
formaldehid, kationik dan alkohol dapat mengganggu dan menghambat sistem
metabolisme sel. Target penghambatan senyawa-senyawa antibakteri tersebut
berbeda-beda pada setiap sel bakteri.
25
Antibiotik yang telah diketahui dapat menghambat pembentukan dinding
sel adalah fosfomisin. Senyawa ini dapat bergabung dengan senyawa penyusun
dinding sel yang lain karena mempunyai analog struktur dengan fosfoenolpiruvat.
Fosfomisin
berikatan
secara
enzimatik
dengan
fosfoenolpiruvat
yang
mengakibatkan penghambatan sintesis asam muramat (Salyers dan Whitt 1994).
Selain itu, antibiotik penisilin, cefalosporin, carbapenem dan monobaktam
membunuh bakteri dengan menghambat sintesis peptidoglikan pada reaksi
transpeptidasi yang membentuk ikatan silang rantai samping peptida dari
kerangka peptidoglikan polisakarida (Salyers dan Whitt 1994). Lisozim dapat
memecah ikatan antara N-asetilglukosamin dan N-asetilmuramat. Bakteri Gram
positif lebih sensitif terhadap lisozim dibandingkan dengan bakteri Gram negatif,
karena bakteri Gram positif memiliki lapisan peptidoglikan yang lebih tebal dari
bakteri Gram negatif
Target penghambatan senyawa antibiotik penisilin G terutama terhadap
reseptor Penicillin Binding Proteins (PBPs), diantaranya terhadap enzim
transpeptidase. Enzim ini berperan sebagai katalis pada saat biosintesis
peptidoglikan (Lewis et al. 2004). Tahap awal sintesis dinding peptidoglikan
terjadi dalam sel, meliputi sintesis disakarida-pentapeptida, yang terdiri dari dua
gula amino, yaitu N-asetil glukosamin (G) dan N-asetil-asam muramik (M) dan
pentapeptida primer, yang terdiri dari L-ala-D-glut-L-lys-D-ala-D-ala. Tahap awal
dan tahap akhir dari biosintesis peptidoglikan ini dapat dihambat oleh antibiotik
penisilin G. Proses ini menyangkut kerja enzim transpeptidase yang bertugas
untuk melepaskan satu D-ala dari subunit peptida dalam proses pembentukan
rantai-rantai peptida (ikatan silang). Mekanisme kerja senyawa antibiotik penisilin
G adalah menghambat sintesis dinding sel bakteri, yakni dengan menghambat
kerja enzim transpeptidase (Gambar 2.7). Penisilin G mirip dengan D-ala dan
dapat berperan sebagai substrat yang menempati sisi aktif serin dari enzim
transpeptidase.
Ikatan yang terjadi antara penisilin G dan enzim transpeptidase merupakan
ikatan kovalen yang bersifat irreversibel. Jika subunit peptida tidak terintegrasi
dengan polimer peptida yang telah terbentuk, maka akan dapat memicu terjadinya
aktivitas enzim autolitik yang tidak normal pada sel perifer dinding sel. Enzim
26
autolitik sebenarnya secara normal termasuk dalam proses biosintesis dinding sel
bakteri. Enzim tersebut bertugas untuk membuat patahan tertentu pada
peptidoglikan yang telah terbentuk agar subunit peptida baru dapat ditambahkan
pada titik-titik pertumbuhan dinding sel.
Ikatan peptida D-ala-D-ala
D-ala
G
M L-ala
D-glu DAP
D-ala
H
CH3 O
H
CH3
N
C
N
C COOH
C
H
H
Transpeptidase
(dihambat penisilin G)
NH3
DAP
D-glu L-ala
D-ala
D-ala
G
M L-ala
D-glu DAP
M
G
D-ala
H
CH3 O
H
N
C
N DAP
C
H
+ D-ala
NH3
D- glu
D-ala
H
CH3
N
C COOH
H
H
L-ala
M
G
Gambar 2.7 Mekanisme Kerja Antibiotik Penisilin G terhadap Enzim
Transpeptidase (Murray et al.1998)
Pada saat aktivitas transpeptidase yang normal dihambat oleh senyawa
antibiotik penisilin G, inhibitor atau regulator normal dari sifat enzim autolitik
hilang, sehingga enzim tersebut tidak mampu mengendalikan aktivitasnya dan
membuat patahan lebih banyak pada peptidoglikan yang terbentuk. Akibatnya
dinding sel tersebut terdegradasi. Selanjutnya karena tekanan sitoplasma yang
hipertonik terhadap lingkungan, membran sitoplasma hancur kemudian terjadi
kebocoran sel dan diikuti oleh kematian sel bakteri (Murray et al.1998; Lin et al.
2000).
27
Untuk pertumbuhan, sel bakteri perlu mensintesis berbagai protein.
Sintesis protein berlangsung di dalam ribosom, dengan bantuan mRNA dan
tRNA. Pada bakteri, ribosom terdiri atas dua sub unit yang berdasarkan konstanta
sedimentasi dinyatakan sebagai ribosom 30S dan 50S. Untuk berfungsi pada
sintesis protein, kedua komponen ini akan bersatu pada pangkal rantai mRNA
menjadi ribosom 70S. Salah satu penghambatan sintesis protein yaitu dengan
antibiotik streptomisin (Gambar 2.8). Antibiotik streptomisin ini berikatan dengan
komponen ribosom 30S dan menyebabkan kode pada mRNA salah dibaca oleh
tRNA pada saat sintesis protein. Akibatnya akan terbentuk protein yang abnormal
dan nonfungsional bagi sel bakteri.
Sintesis dinding sel:
sikloserin
penisilin
vankomisin
teikoplasin
basitrasin
sepalosporin
monobaktam
karbapenam
Dinding sel
DNA gyrase
quinolon
DNA-RNA polimerase:
rifampin
Metabolisme asam folat
Ribosom
Trimetoprim
Sulfonamida
Ruang periplasma:
ß-laktamase
aminoglikosida
enzim modifikasi
Sintesis protein
(menghambat 50S)
kloramfenikol
kladomisin
PABA
Membran sel:
polimiksin
kloramfenikol
transasetilase
Sintesis protein
(menghambat 30S)
tetrasiklin, spektinomisin,
streptomisin, gentamisin,
Sintesis protein:
(tRNA)
mupirosin
Gambar 2.8 Mekanisme Kerja Antibotik pada Sel Bakteri (Murray et al. 1998)
Mengganggu Permeabilitas Membran Sel
Komponen
bioaktif
dapat
menyerang
membran
sitoplasma
dan
mempengaruhi integritasnya. Kerusakan pada membran ini mengakibatkan
28
peningkatan permeabilitas dan terjadi kebocoran sel, yang diikuti dengan
keluarnya materi intraseluler. Mekanisme antimikroba minyak atsiri (karvakrol,
sitral, dan geraniol) dan fenolik adalah mengganggu lapisan fosfolipid dari
membran sel yang menyebabkan peningkatan permeabilitas dan kehilangan unsur
pokok penyusun sel (Kim et al. 1995). Reaksi antara komponen membran
fosfolipid dengan minyak atsiri atau senyawa fenolik mengakibatkan perubahan
komposisi asam lemak dan fosfolipid dengan minyak atsiri atau senyawa fenolik
mengakibatkan perubahan nyata pada komposisi asam lemak dan kandungan
fosfolipid membran, yang diikuti dengan pembengkakan sel. Selanjutnya terjadi
kerusakan membran sitoplasma dan mengakibatkan keluarnya kandungan
intraseluler sebanyak 50% Na-glutamat-3,4 14C dan 12% NaH2 32PO4 dari E. coli.
Adanya bahan yang terkandung dalam sel menunjukkan pertahanan permeabilitas
lemah atau rusak, yang selanjutnya menghambat ikatan ATP-ase pada membran.
Sel bakteri dikelilingi oleh suatu struktur kaku yang disebut dinding sel,
yang melindungi membran protoplasma, baik osmotik maupun mekanik. Oleh
karena itu setiap zat yang mampu merusak dinding sel atau mencegah sintesisnya,
akan menyebabkan terbentuknya sel-sel yang peka terhadap tekanan osmotik.
Tekanan osmotik dalam sel akan menyebabkan terjadinya lisis, yang merupakan
dasar efek bakterisidal pada bakteri yang peka (Setiabudy dan Gan 1995).
Komponen membran sel atau membran sitoplasma terdiri dari fosfolipid
dan protein. Fosfolipid membentuk fase dua lapisan nonpolar kontinyu (lipid
bilayer). Nutrien, ion dan air yang diperlukan oleh sel harus melewati membran
sel yang bersifat permeabilitas selektif. Molekul-molekul dan ion-ion yang akan
diekskresikan harus melewati membran tersebut (Armstrong 1995). Membran
sitoplasma merupakan tempat berlangsungnya respirasi karena enzim-enzim yang
terlibat dalam respirasi terdapat dalam membran tersebut (Fardiaz 1989).
Membran sel (selaput sel) mempunyai barrier osmotik untuk difusi bebas
diantara lingkungan luar dan lingkungan dalam sel. Membran sitoplasma
melakukan fungsi pengangkutan aktif sehingga dapat mengendalikan komponen
internal sel. Bila integritas fungsi membran sitoplasma terganggu, makromolekul
dan ion akan lolos dari sel, sehingga terjadi kerusakan atau kematian sel.
29
Beberapa senyawa antibakteri dapat merusak satu atau lebih fungsi
tersebut dan menyebabkan gangguan utama pada kelangsungan hidup sel. Aksi
senyawa antibakteri yang memiliki sasaran utama membran sel tersebut tidak
tergantung pada fase pertumbuhan sel, dan dengan segera memulai aksinya ketika
sel dan antibakteri saling kontak. Aktivitas antibakter i dari ekstrak polar biji
picung segar dengan konsentrasi 60% terhadap sferoplas meningkat 77.8%
dibandingkan dengan sel utuh Salmonella Typhimurium (Nuraida et al. 1999).
Penggunaan enzim lisozim bertujuan untuk menghilangkan dinding sel bakteri,
sehingga yang tersisa adalah membran sitoplasma yang rapuh dan dapat
menyebabkan senyawa-senyawa antibakteri berpenetrasi masuk ke dalam sel.
Kebocoran sel bakteri dapat disebabkan karena rusaknya ikatan hidrofobik
komponen penyusun membran sel seperti protein, fosfolipid serta larutnya
komponen-komponen yang berikatan secara hidrofilik. Hal ini berakibat
meningkatnya permeabilitas membran sel, dan memungkinkan masuknya
senyawa-senyawa fenol dan ion-ion organik dalam sel, serta keluarnya substansi
sel seperti protein dan asam nukleat yang berakibat kematian sel (Ingram 1981).
Beberapa senyawa antibakteri seperti alilisotiosianat (Lin et al. 2000),
butylated hydroxyanisole (BHA) (Degre dan Sylvestre 1983), butylated
hydroxytoluena (BHT), asam p-kumarat dan asam kafeat (Nychas 1995) juga
dapat merusak membran sel dan menyebabkan kebocoran metabolit seluler.
Gangguan pada membran sel mengakibatkan terganggunya proses -proses
metabolisme dalam membran sel, seperti penyerapan nutrien, produksi energi dan
transpor elektron (Nychas 1995).
Antibiotik peptida nisin yang dihasilkan oleh beberapa galur Lactococcus
lactis (Adams dan Smid 2003) dapat membunuh bakteri spesies lain melalui
reaksi dengan fosfolipid membran sitoplasma. Antibiotik tersebut berinteraksi
dengan membran sitoplasma melalui ikatan elektrostatik dengan fosfolipid
membentuk pori pada membran sitoplasma. Ion-ion, asam amino dan ATP dapat
dengan mudah keluar melalui pori, mengakibatkan rusaknya proton motive force
(PMF) transmembran serta mengakibatkan kematian sel (Adams dan Smid 2003;
Ray dan Miller 2003).
30
Menghambat Sintesis Asam Nukleat dan Protein
Sintesis protein adalah pembentukan rantai polipeptida oleh asam-asam
amino melalui ikatan peptida (Prindle 1983). Proses sintesis tersebut terdiri atas
beberapa tahap seperti: inis iasi, penggabungan komplek asam-asam amino,
pembentukan ikatan peptida, translokasi dan terminasi. Beberapa senyawa
antibakteri mempunyai komponen bioaktif yang dapat menghambat sintesis
protein bakteri. Komponen bioaktif tersebut bereaksi dengan komponen sel
ribosom 50S yang akan membentuk kompleks pada tahap inisiasi (tahap awal
sintesis protein), sehingga menstimulasi pembacaan yang salah. Selanjutnya
terjadi penyimpangan dalam ribosom, yang mengakibatkan terjadinya sintesis
protein, dilanjutkan dengan pasangan yang tidak tepat dan akhirnya mengganggu
pembentukan protein.
Umumnya prinsip yang terjadi pada perubahan germinasi endospora
meliputi suatu tahap inisiasi RNA, sintesis protein dan membran. Adanya
senyawa fenolik dari minyak zaitun seperti klorokresol dapat mendenaturasi
enzim dan menghambat penggunaan l-alanin dan asam amino lain oleh enzim
subtilopeptidase. Penghambatan terhadap penggunaan asam amino tersebut
mengakibatkan sintesis protein yang diperlukan pada proses germinasi juga
terhambat (Nychas 1995).
Sintesis protein merupakan hasil akhir dari proses transkripsi (sintesis
asam ribonukleat, tergantung DNA) dan proses translasi (sintesis protein
tergantung RNA). Suatu komponen senyawa antibakteri yang menghambat salah
satu dari kedua proses tersebut akan menghambat sintesis protein (Best 1999).
Menurut Kim et al. (1995), komponen bioaktif dapat mengganggu pembentukan
asam nukleat (DNA dan RNA), sehingga transfer informasi genetik akan
terganggu karena komponen ini menghambat aktivitas enzim RNA polimerase
dan DNA polimerase, yang selanjutnya akan menginaktivasi atau merusak materi
genetik dan mengganggu proses pembelahan sel untuk pembiakan. Bunduki et al.
(1995) menyatakan bahwa terjadinya kerusakan sel bakteri selain ditandai dengan
berkurangnya
aktivitas
metabolisme
yang
menyebabkan
terganggunya
pertumbuhan bakteri tersebut, juga ditandai adanya kebocoran protein (sebagai
senyawa pembangun struktur inti sel) keluar sel atau medium di sekitarnya.
31
Menghambat Enzim-Enzim Metabolik
Enzim yang berperan dalam metabolisme dan pertumbuhan sel mikroba
dapat dihambat aktivitasnya oleh komponen antibakteri yang berakibat
terganggunya aktivitas maupun pertumbuhan mikroba. Konsentrasi antibakteri
yang tinggi dapat juga menyebabkan koagulasi enzim. Beberapa gangguan
aktivitas enzim dapat juga terjadi pada saat mikroba mensintesis asam
dihidrofolat dari p-aminobenzoat. Pada proses sintesis p-aminobenzoat dapat
terjadi penghambatan karena adanya sulfonamida yang akan menghambat enzim
dihidropteroat (Brown 1962).
Coral et al. (1988) melaporkan bahwa komponen bioaktif dapat merusak
sistem metabolisme di dalam sel dengan cara menghambat sintesis protein bakteri
dan menghambat kerja enzim intraseluller. Selain itu Kim et al. (1995),
menemukan bahwa dengan terpengaruhnya sistem enzim akan mempengaruhi
produksi energi penyusun sel dan sintesis komponen secara struktural. Senyawa
fenol dapat bereaksi dengan enzim dehidrogenase, sehingga mengakibatkan
hilangnya aktivitas enzim tersebut (Fuller 1991).
Komponen antibakteri dapat menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme
melalui
inaktivasi
enzim-enzim metaboliknya. Senyawa
antibakteri sulfit, nitrit dan asam benzoat dapat menginaktivasi berbagai enzim
metabolik bakteri. Nitrit dapat menghambat sistem enzim fosfat dehidrogenase,
sehingga mengakibatkan reduksi ATP dan ekskresi piruvat dalam bakteri
S. aureus (Friedman et al. 2004b). Sulfit dapat berikatan dengan glutation dari
berbagai enzim membentuk tiosulfonat. Reaksi in i dapat menginaktifkan enzimenzim yang memiliki ikatan disulfida (Davidson 1997). Asam benzoat dapat
menghambat aktivitas a-ketoglutarat dehidrogenase dan suksinat dehidrogenase
sehingga menghambat konversi a-ketoglutarat menjadi suksinil Co-A dan suksinat
menjadi fumarat. Senyawa tersebut dapat juga menghambat aktivitas
enzim
6-fosfofruktokinase yang terlibat dalam oksidasi glukosa (Ogbadu 2000).
Senyawa bioaktif isotiosianat dilaporkan dapat mengoksidasi ikatan
disulfida enzim (Delaquis dan Sholberg 1997), dan dapat berikatan dengan rantai
samping sistein pada enzim-enzim yang memiliki gugus sulfhidril (Ekstrand
1994).
Download