BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Problem resistensi bakteri terhadap antibakteri mula-mula ditemukan pada tahun 1980-an dengan ditemukannya kasus multipel resisten pada strain bakteri Streptococcus pneumoniae, Mycobacterium tuberculosis, Staphylococcus aureus, dan Enterococcus faecalis. Semakin tinggi penggunaan antibakteri maka semakin tinggi pula tekanan selektif proses evolusi bakteri yang bersifat resisten. Menurut Azizian et al. (2014), jika bakteri semakin resisten terhadap antibakteri, maka pengobatan dengan antibakteri yang sama tidak akan mampu membunuh bakteri, sehingga diperlukan pengembangan perlakuan terhadap bakteri dan diperlukan antibakteri lain yang lebih efektif daripada antibakteri sebelumnya. Senyawa kompleks merupakan salah satu senyawa yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari dan memiliki peranan penting dalam berbagai penerapan ilmu seperti biologi, analitik, kedokteran, klinik, industri dan bidang lainnya. Misalnya proses pengikatan oksigen oleh Fe2+ dalam hemoglobin yang membentuk kompleks oksihemoglobin untuk diedarkan ke seluruh tubuh (Cotton dan Wilkinson, 1988). Selain itu, Lu et al. (2010) telah menyintesis kompleks besi dengan polipiridil yang diaplikasikan sebagai dye pada DSSC. Peranan senyawa kompleks dalam bidang farmasi, misalnya sebagai obat atau antibakteri seperti kompleks [FeL(H2O)2] (L=P-methoxybenzaldehyde dihydroxypyrimidine) (Sakhare et al., 2015) dan dan 2-amino-4, 6- kompleks [Fe(L1)3] (L1=4- benzylidine amino benzoic acid (Deshpandhe et al., 2011). Berdasarkan penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kompleks besi dapat diaplikasikan sebagai antibakteri. Besi merupakan salah satu unsur logam transisi golongan VIIIB yang berwarna kuning, nomor atom 26 dengan massa atom 55,938 g/mol, mempunyai titik lebur 1535 oC. Besi termasuk golongan logam transisi yang mempunyai tingkat konfigurasi elektronik [Ar] 3d6 4s2 yang mempunyai tingkat oksidasi utama +2 dan +3, kompleks besi(III) pada umumnya lebih stabil daripada kompleks besi(II) (Lee, 1 2 1991). Besi(III) dapat membentuk berbagai macam geometri pada kompleksnya antara lain oktahedral (Majeed et al., 2010; Deshapandhe et al., 2011; Hossain et al., 2013; Asemave et al., 2015), trigonal bipiramida (Fryzuk et al., 1998) dan square piramida (Chiniforoshan et al., 2006). Dapson atau 4,4’ diaminodiphenylsulfone merupakan senyawa obat turunan dari sulfonamid yang memiliki fungsi tertentu. Dapson merupakan zat yang bekerja terhadap lepra (Schunack dan Mayer, 1990). Dapson merupakan obat lepra yang utama, karena mempunyai aktivitas antibakteri yang tinggi, mudah dibuat, harganya murah, mudah diaplikasikan dan efek sampingnya sangat kecil (Makarov et al., 2006). Suatu senyawa dapat bertindak sebagai ligan apabila mempunyai atom donor, yaitu atom yang mempunyai pasangan elektron bebas. Dapson dapat membentuk kompleks dengan berbagai jenis donor atom yang terkoordinasi pada atom pusat. Ligan dapson mempunyai atom donor N, O dan S yang dapat membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan atom pusat Fe(III) yang mempunyai orbital d tidak terisi penuh. Gugus-gugus yang sama pada suatu ligan, tidak selalu terkoordinasi sama pada ion pusat. Sebagaimana terjadi pada kompleks [Cu(L2)2Cl2](CH3OH)2, L2=dapson, dimana ligan mempunyai atom donor elektron N pada NH primer, atom O dan S pada gugus SO2. Atom donor yang terkoordinasi adalah N primer (Tella dan Obaleye, 2009). Pada kompleks M(II)-dapson, terbentuk ikatan kovalen koordinasi antara atom S dari gugus SO2 pada ligan berikatan dengan ion pusat M, M=Co(II), Ni(II) dan Zn(II) (Vijayalakshmi et al., 2015). Pada kompleks [Cu(L2)2Cl2)](H2O)(SO4)H2O, terbentuk ikatan kovalen koordinasi antara atom N pada gugus NH2 dan atom O pada gugus SO2 dengan logam Cu(II). Sehingga terjadi koordinasi bidentat melalui N-amino dan 1 atom O pada gugus SO2 (Tella dan Obaleye, 2009). Dari beberapa contoh kompleks dapson diatas menunjukkan bahwa atom donor N pada NH primer dan atom O serta S pada gugus SO2 tidak selalu terkoordinasi pada atom pusat, namun keduanya mempunyai kemampuan untuk terkoordinasi pada atom pusat dengan salah satu gugus NH primer atau gugus SO2 3 yang terkoordinasi (monodentat) atau keduanya terkoordinasi secara bersama-sama pada atom pusat (bidentat). Suatu ligan yang dikoordinasikan pada ion logam mampu meningkatkan aktivitas antibakteri dibandingkan ligan bebas dan ion logamnya. Aktivitas bakterisidal kompleks besi(III) lebih baik daripada ion besi(III) bebas, misalnya pada kompleks Fe-leusin (Asemave et al., 2015) dan ligan bebas (Hossain et al., 2013). Tella dan Obaleye (2010) telah membandingkan beberapa kompleks sebagai antibakteri dengan ion logam yang berbeda namun ligan yang sama. Berdasarkan penelitian tersebut diperoleh urutan aktivitas antibakteri yaitu Fe(III) > Ni(II) = Cd(II) > Co(II) > Cu(II) = Mn(II) > sulfadimidin. Oleh sebab itu kompleks Fe(III) dengan dapson dimungkinkan dapat berpotensi sebagai antibakteri. B. Perumusan Masalah 1. Identifikasi Masalah a. Pada sintesis kompleks, peranan pelarut sangat penting dalam pembentukan suatu kompleks. Penggunaan pelarut basa dapat memungkinkan terjadinya persaingan antara ligan dapson dengan pelarut. Penggunaan pelarut asam memungkinkan ligan akan terprotonasi oleh H+ dari pelarut yang digunakan sehingga menyebabkan kompleks Fe(III) dengan dapson tidak terbentuk. Oleh karena itu pada sintesis kompleks diperlukan pelarut yang bersifat netral yang dapat melarutkan garam logam dan ligan. Metanol merupakan senyawa organik polar yang bersifat netral. Tyagi dan Kumar (2014) telah berhasil menyintesis kompleks Ni(II), Zn(II) dan Cu(II) dengan dapson menggunakan pelarut metanol. Megahed et al. (2014) telah berhasil menyintesis kompleks Fe(III) dengan urea menggunakan pelarut metanol. Selain itu, perbandingan mol logam dan ligan dalam pembentukan kompleks tidak selalu stoikiometri sehingga perlu dicari perbandingan yang sesuai. b. Karakterisasi kompleks yang dapat dipelajari antara lain transisi elektronik, kemagnetan, geometri kompleks dan kestabilan kompleks. Formula kompleks dapat ditentukan dari pengukuran kadar Fe dalam kompleks, analisis unsur, dan perbandingan muatan kation dan anion dalam kompleks. Gugus-gugus yang 4 sama pada suatu ligan, tidak selalu terkoordinasi sama pada ion pusat. Permasalahan yang muncul adalah bagaimana memperkirakan formula dan karakterisasi kompleks Fe(III)-dapson? c. Bakteri secara umum ada 2 macam yaitu bakteri gram positif dan bakteri gram negatif. Bakteri gram positif antara lain bifidobacterium, bacillus, lactobacillus, staphilococcus, clotridium, actinomyces, dan propionibacterium sedangkan bakteri gram negatif antara lain Rhizobium leguminosarum, Salmonella typhi, Helicobacter pylori, Neisseria gonorrchoeae, Pseudomonas aeruginosa dan Escherichia coli. Sakhare et al. (2015) telah berhasil menyintesis kompleks [FeL(H2O)2] (L=P-methoxybenzaldehyde dan 2-amino-4, 6- dihydroxypyrimidine) yang diaplikasikan sebagai antibakteri pada Escherichia coli, Salmonella typhi, Staphylococcus aureus dan Bacillus subtilis. Selain itu, Khadra et al. (2016) telah berhasil menyintesis kompleks [FeL1(H2O)2] (L1= (E)N-(4-(2-hydroxybenzylideneamino)phenylsulfonyl) yang diaplikasikan sebagai antibakteri pada Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa, Streptococcus pneumonie dan Bacillus subtilis. Permasalahan yang muncul adalah jenis bakteri gram positif dan negatif mana yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri? d. Metode pengujian aktivitas antibakteri senyawa kompleks dapat dilakukan dengan metode difusi dan dilusi. Pada metode dilusi menggunakan antimikroba dengan kadar menurun baik dalam media cair atau padat, kemudian media diinokulasi bakteri uji dan dieramkan. Sedangkan, pada metode difusi zat uji diteteskan pada kertas cakram yang dapat berdifusi dengan baik pada permukaan media padat yang telah diinokulasi bakteri uji (Jawetz et al., 2008). Dalam pengerjaannya metode dilusi kurang praktis dan jarang dipakai, sedangkan metode difusi pengerjaannya sederhana, cepat, mudah dan membutuhkan alat yang tidak banyak. Metode apa yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri? 2. Batasan Masalah a. Pelarut yang digunakan dalam sintesis kompleks Fe(III)-dapson adalah pelarut bersifat netral yang dapat melarutkan logam dan ligan yaitu pelarut metanol. 5 b. Formula kompleks Fe(III)-dapson ditentukan dari pengukuran kadar Fe dalam kompleks dengan SSA, keberadaan molekul H2O diperkirakan melalui analisis TG/DTA, gugus fungsi yang terkoordinasi diperkirakan melalui spektra FTIR dan perbandingan muatan kation anion ditentukan dari pengukuran daya hantar listrik larutan kompleks. Sifat kemagnetan kompleks ditentukan dari pengukuran dengan menggunakan MSB (Magnetic Suspectibility Balance). Transisi elektronik kompleks ditentukan berdasarkan spektra elektronik dengan instrumen spektrofotometer UV Vis. c. Bakteri gram positif yang digunakan dalam pengujian aktivitas antibakteri adalah Staphylococcus aureus sedangkan bakteri gram negatif adalah Escherichia coli. d. Metode uji aktivitas antibakteri yang digunakan adalah difusi kertas cakram (metode Kirby-Bauer). 3. Rumusan Masalah a. Bagaimana cara sintesis kompleks Fe(III)-dapson? b. Bagaimana karakteristik dan formula kompleks Fe(III)-dapson? c. Bagaimana aktivitas antibakteri ion Fe(III), dapson dan kompleks Fe(III)-dapson terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Escherichia coli? C. Tujuan Penelitian a. Mengetahui cara sintesis kompleks Fe(III)-dapson. b. Mengetahui karakteristik dan memperkirakan formula kompleks Fe(III)-dapson. c. Mengetahui aktivitas antibakteri ion Fe(III), dapson dan kompleks Fe(III)dapson terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan bakteri Escherichia coli. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang sintesis dan karakterisasi kompleks Fe(III) dengan dapson serta dapat mengetahui potensi antibakteri kompleks Fe(III)-dapson terhadap bakteri Staphylococcus aureus dan Escherichia coli.