BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkomunikasi adalah kebutuhan bagi manusia. Manusia membutuhkan dan senantiasa berusaha membuka serta menjalin komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu ada sejumlah kebutuhan dalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat komunikasi dengan sesamanya,misalnya kebutuhan aktualisasi diri dan kebutuhan penghargaan yang itu semua bisa diwujudkan melalui komunikasi interpersonal. Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi interpersonal sangat penting untuk menjalankan fungsi sebagai alat mempengaruhi atau membujuk orang lain, karena melalui komunikasi interpersonal kita dapat menggunakan lima alat indera untuk mempertinggi daya bujuk pesan yang kita komunikasikan kepada komunikan. Sebagai komunikasi yang bersifat face to face, komunikasi interpersonal berperan penting hingga kapan pun, selama manusia masih mempunyai emosi. Nyatannya komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat kabar, televisi, ataupun lewat 1 teknologi yang lain. 2 Untuk menciptakan hubungan yang lebih akrab dan dekat maka manusia melakukan komunikasi interpersonal. Menurut Martin Buber dalam buku Komunikasi interpersonal:interaksi keseharian (2013:23), komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara seorang komunikator dengan seorang komunikan, secara langsung face to face, menurutnya kita melihat orang lain dengan segala keutuhan dan kepribadiannya, kita tidak melihat seseorang harus mengikuti norma sosial tertentu, namun kita menerima mereka secara utuh. Tidak berbeda dengan komunikasi yang dilakukan oleh orang dengan gangguan mental. Dalam masyarakat mereka begitu dikucilkan dan bahkan ada yang mentertawakan, menjauhi atau memandang sebelah mata. Hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi di Yayasan Sinai. Sikap dan usaha-usaha para relawan yang mengurus Yayasan Sinai dalam memperlakukan orang dengan gangguan mental ini layaknya sebagai manusia normal. Hal yang dilakukan relawan initermasuk dalam komunikasi interpersonal. Melalui proses komunikasi interpersonal, seseorang dapat mengetahui sikap, dan juga sifat dirinya sendiri yang tidak ia ketahui ketika tidak berinteraksi dengan orang lain. (diakses dari http://annisamauizhoh.blogspot.com/2013/12/teori-teori-dasarkomunikasiantar.html#!/2015/4/teori-teori-dasar-komunikasi-antar.html pukul 08.41 WIB). 3 Dengan mengetahui sifat dan kepribadian melalui komunikasi interpersonal, maka komunikasi interpersonal penting dilakukan dalam penanganan kepribadian. Selain komunikasi interpersonal,iklim atau suasana emosional dalam masyarakat terutama keluarga sangatlah penting bagi perkembangan kepribadian seseorang. Apalagi orang dengan kebutuhan khusus, mereka pantas mendapatkan perhatian lebih. Dengan hal ini diharapkan masyarakat lebih menghargai dan memperlakukan orang dengan gangguan mental ini sama dengan manusia pada umumnya. Menurut Laswell yang dikutip oleh Effendy dalam buku Ilmu Komunikasi: Teori & Praktek (2006:10) komunikasi adalah penyampaian dan penerimaan suatu pesan (message)yang di dalamnya mengandung unsur: komunikator, pesan, media, komunikan & efek. Menurut Martin Buber yang dikutip oleh Julia Wood dalam buku Komunikasi interpersonal: interaksi keseharian (2013:23) komunikasi interpersonal adalah semacam suatu transaksi (berkelanjutan) yang selektif, sistemis, dan unik, yang membuat kita mampu merefleksikan dan mampu membangun pengetahuan bersama orang lain. Menurut Bernstein dalam situs e-psikologi.com, pendekatan behaviorisme menekankan kepada tingkah laku yang boleh dilihat dan diukur. Pendekatan ini dipelopori oleh John B. Watson di Universiti John Hopkins Amerika Serikat pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa tingkah laku dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan bukannya unsurunsur yang ada di dalam. 4 Ide ini menekankan bahwa tingkah laku dan proses adalah hasil daripada pembelajaran. Menurut pendekatan ini, tingkah laku ialah satu sisi gerak balas yang dipelajari dengan wujudnya rangsangan. Menurut situs e-psikologi.com, Pavlov (1962), setiap rangsangan akan menimbulkan gerak balas dan berlaku pembelajaran apabila terdapat kaitan antara rangsangan dan gerak balas. Hal ini bermaksud pembelajaran yang berlaku apabila ada kaitan antara rangsangan dan gerak balas. Menurut situs e-psikologi.com, Mahani Razali (2002), hal yang berlaku adalah pembelajaran yang berlaku akibat dari dua rangsangan ini. B.F. Skinner (1904-1990) setuju dengan pendapat Pavlov tetapi menyatakan bahawa tingkah laku dapat diperhatikan dalam jangka panjang supaya dapat mengubah perlakuan yang mudah kepada perlakuan kompleks. Menurutnya, bimbingan, latihan, ganjaran, pengukuhan dan pengajaran yang terus-menerus adalah penting bagi menjamin perubahan tingkah laku yang berkesan. Sehubungan dengan pengertian teori-teori di atas, peneliti menyimpulkan bahwa semua orang membutuhkan komunikasi. Termasuk orang dengan gangguan mental, mereka juga membutuhkan komunikasi, tak berbeda dengan orang normal umumnya. Namun mereka membutuhkan perlakuan yang lebih dibandingkan dengan orang normal. menurut pendekatan behaviorisme yang dijelaskan di atas, orangorangdengan gangguan mental berkomunikasi sesuai dengan karakteristik pribadinya berdasarkan stimulus, respon, dan reaksi. Namun mereka 5 memiliki sifat dan karakter yang berbeda berdasarkan pendekatan behaviorisme dalam komunikasi interpersonal untuk perkembangan kepribadian masing-masing. Untuk lebih mengenal lebih jauh seperti apa peranan metode pendekatan behaviorisme pada orang gangguan mental berdasarkan stimulus, respon dan reaksi maka perlu dilakukan penelitian. Penelitian ini menarik dan penting untuk diteliti, karena Yayasan Sinai juga telah banyak menjadi perbincangan publik dan diliput beberapa media, diantaranya: Gambar 1 Yayasan Sinai dimuat di Solopos.com (Diakses dari Solopos.com Pada Jum’at 13 mei pukul 11.22) 6 Gambar 2 Yayasan Sinai dumuat di Metrotvnews.com (Diakses dari metrotvnews.com pada Jum’at 13 Mei pukul 11.23) 7 Gambar 3 Yayasan Sinai dimuat di salah satu Koran (Foto diambil di Yayasan Sinai Pada 23 Februari 2016) 8 Jika melihat apa yang terjadi di masyarakat. Selama ini orang dengan gangguan mental atau kasarnya orang gila cenderung dikucilkan. Mayoritas orang sudah takut dulu ketika melihat orang gila di jalan. Apakah seperti itu cara memperlakukan sesama manusia, bukankah seharusnya tidak boleh membedakan satu sama lain. Bukankah agama dan norma kita mengajarkan bahwa harus menghargai semua manusia. Hal ini mungkin menjadi sesuatu yang biasa dan tidak dipedulikan sebagian besar masyarakat. Karena sudah biasa takut dengan orang gila hal ini membentuk kebiasaan di masyarakat sehingga menjadi pola pikir atau mindset dimana jika melihat orang gila mereka takut atau menjauhi. Cara berpikir seperti inilah yang seharusnya dihilangkan. Memang untuk bisa secara normal berkomunikasi dengan orang gangguan mental itu sulit. Namun setidaknya masyarakat berusaha memahami kondisi mereka dengan memperlakukan mereka dengan baik. Peneliti melihat masih banyak sebagian orang yang tidak memperlakuan mereka dengan baik, misalnya banyak anak kecil yang ketika mereka melihat orang gila malah mencemooh, menggoda, mentertawakan atau mengganggu. Pada orang normal saja hal itu tidak baik apalagi pada orang dengan gangguan mental. Uniknya tidak semua orang memperlakukan orang bergangguan mental dengan buruk. Di Yayasan Sinai, para relawan memanusiakan manusia, di sana orang dengan gangguan mental diperlakukan normal dan diajak berinteraksi. Bahkan para relawan mengajak orang dengan gangguan mental ini berbicara seakan berdialog dengan sesama manusia 9 normal. Ada cerita menarik mengenai Yayasan Sinai, pernah ada polisi menangkap orang gila yang tidak bisa diatur dan memberontak. Kukunya panjang, rambutnya panjang tak beraturan. Tangan dan kakinya diborgol oleh polisi karena takut orang gila ini mengamuk. Kemudian orang gila ini dibawa ke Yayasan Sinai, namun ternyata relawan Yayasan Sinai tak tega melihat orang gila ini diborgol. Seketika itu borgol dilepas dan relawan pun memeluk orang gila ini. Dan yang terjadi orang gila ini menangis. Sungguh cerita yang sulit dipercaya, namun itu adalah kisah nyata ketika peneliti bertanya pada Titus pemilik Yayasan Sinai. Dengan melihat hal ini ternyata orang dengan gangguan mental masih bisa diperlakukan normal, tidak seperti orang pikirkan pada umumnya. Relawan pun bekerja dengan tidak terlalu mempedulikan uang karena sebenarnya pendapatan mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan untuk orangorang dengan gangguan mental. Inilah yang menjadikan Yayasan Sinai menarik untuk diteliti. Seperti apa para relawan memperlakukan orang gangguan mental ini setiap harinya. Peneliti akan melakukan penelitian dengan menjadikan sasaran subjek dalam penelitian ini adalah orang-orang dengan gangguan mental pada Yayasan Sinai (orang yang secara nyata mengalami hambatan dan keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata sehingga mengalami kesulitan komunikasi maupun bersosial) yang berlokasi di Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol , Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, mengingat Yayasan Sinai adalah 10 suatu Yayasan Pembinaan orang dengan gangguan mental yang mengajarkan hal pribadi dan sosial serta memberikan kasih sayang kepada orang dengan gangguan mental. Beberapa orang dengan gangguan mental akan diamati secara mendalam untuk mendapatkan pola komunikasi interpersonal dalam penanganan kepribadian. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pihak yang berkaitan dalam berkomunikasi dengan orang gangguan mental. Melihat situasi demikian, penulis tertarik untuk melakukan penelitian terhadap pola-pola komunikasi interpersonal terhadap perkembangan kepribadian orang dengan gangguan mental. Bagaimana stimulus, respon dan reaksi yang terjadi pada orang dengan gangguan mental dalam berkomunikasi. Penelitian dilakukan di Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah karena peneliti ingin melihat langsung bagaimana pola komunikasi yang dilakukan oleh para relawan terhadap orang gangguan mental dalam penanganan perkembangan kepribadian mereka. B. Rumusan Masalah Mengacu pada latar belakang seperti telah dipaparkan diatas, maka rumusan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah: “Bagaimanakah pola komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh relawan dengan klien dalam penanganan kepribadian orang dengan gangguan mental di Yayasan Sinai Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah?” 11 C. Tujuan Penelitian Selaras dengan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan untuk: Mengetahui pola-pola komunikasi interpersonal antara relawan dengan klien gangguan mental di Yayasan Sinai Sukoharjo Jawa Tengah. Terutama pada aspek; a. Tempat komunikasi interpersonal dilakukan. b. Isi komunikasi interpersonal yang dilakukan. c. Waktu komunikasi interpersonal yang dilakukan. d. Durasi komunikasi interpersonal yang dilakukan. e. Siapa yang menginisiasi dalam komunikasi interpersonal. f. Cara Komunikasi yang dilakukan: Perintah, cerita, curhat, informatif D. Manfaat Penelitian 1. Data hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai informasi dan masukan bagi masyarakat dalam berkomunikasi khususnya dengan orang gangguan mental. 2. Data hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perkembangan teori komunikasi khususnya komunikasi interpersonal. 12 E. Kerangka Teori 1. Komunikasi Riswandi (2009:1) memaparkan 6 definisi komunikasi dari para ahli yaitu: a. Carl Hovland, Janis & Kelley, komunikasi adalah suatu proses melalui dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus(biasanya dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan mengubah atau membentuk perilaku orang-orang lainnya (khalayak). b. Bernard Berelson & Gary A.Steiner, Komunikasi adalah suatu proses penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahian, dan lain-lain melalui penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan lain-lain. c. Harold Laswell, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses yang menjelaskan “siapa” “mengatakan “apa” “dengan saluran apa”, “kepada siapa”, dan “dengan akibat apa” atau “hasil apa” d. Barnlund, komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk mengurangi rasa ketidakpastian, bertindak secara efektif, mempertahankan atau memperkuat ego. e. Weafer, komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya. f. Gode, komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi dimiliki oleh dua orang arau lebih. 13 Semua definisi di atas pada dasarnya memiliki makna yang sama yaitu penyampaian pesan dari pihak satu ke pihak lainnya. Pihak atau pelaku komunikasi bisa jadi seorang individu, kelompok, oraganisasi, perusahaan, atau Negara. Pesan yang disampaikan dapat berupa verbal (kata-kata) atau non verbal (simbol/bahasa tubuh) sehingga dapat disimpulkan sebuah interaksi yang mengandung pesan dari pihak satu ke pihak lainnya bisa diartikan “komunikasi”. Alo Liliweri (2013:5-6) mengatakan bahwa dari berbagai sumber definisi komunikasi, komunikasi sebagai aktifitas melibatkan: 1. Sumber komunikasi. 2. Pesan komunikasi yang berbentuk verbal dan non verbal. 3. Media atau saluran sebagai sarana-wadah-> tempat pesan atau rangkaian pesan dialihkan. 4. Cara, alat, atau metode untuk memindahkan pesan. 5. Penerima atau sasaran yang menerima komunikasi 6. Tujuan dan maksud komunikasi. 7. Rangkaian kegiatan antara sumber atau pengirim dengan sasaran atau penerima. 8. Situasi komunikasi. 9. Proses komunikasi, yakni proses satu arah, interaksi dan proses transaksi. 10. Pemberian makna bersama atas pesan dari sumber penerima yang terlibat dalam komunikasi. dan 14 11. Pembagian pengalaman atas pesan yang dipertukarkan dari sumber dan penerima yang terlibat dalam komunikasi. Dari yang disebutkan Alo Liliweri di atas ditemukan unsur yang sama dari definisi komunikasi yang dikatakan Laswell. Yaitu komunikasi melibatkan sumber komunikasi, pesan apa, cara apa, kepada siapa dan efek apa. Bisa dibilang komunikasi bisa terjalin jika mengandung unsur yang dikatakan Laswell. Dan akan lebih efeketif jika komunikasi mengandung banyak unsur seperti yang dikatakan Alo Liliweri. Masih menurut Alo Liliweri (2013:18) komunikasi secara umum memiliki lima fungsi yaitu: 1. Sumber atau pengirim menyebarluaskan informasi agar dapat diketahui penerima.(informasi) 2. Sumber menyebarluaskan informasi dalam rangka mendidik penerima.(pendidikan) 3. Sumber meberikan instruksi agar dilaksanakan penerima.(instruksi) 4. Sumber memengaruhi konsumen dengan informasi yang persuasif untuk mengubah persepsi, sikap dan perilaku penerima.(persuasi) 5. Sumber menyebarluaskan informasi untuk menghibur sambil memengaruhi penerima.(menghibur) Dengan mengetahui fungsi komunikasi kita dapat menetapkan isi pesan yang akan disampaikan sebelumnya. Contoh ketika kita 15 berkomunikasi sebagai instruksi kita akan banyak menggunakan kata jangan, sebaiknya, seharusnya. Contoh lain, komunikasi sebagai persuasive maka kita akan menggunakan kata-kata seperti ayo, mari, dan lainnya yang bersifat mempengaruhi. Dengan mengetahui isi pesan dan tujuan kita berkomunikasi maka kegagalan komunikasi dapat diminimalisir. Selain itu, komunikasi akan semakin efektif jika kedua belah pihak yang berkomunikasi mengerti dengan bahasa yang digunakan dan tau makna yang dibicarakan (Onong Ucjana Effendy, 2003:9). Terkait dengan komunikasi, komunikasi mengandung unsur-unsur di dalamnya. Menurut Onong Ucjana Effendy (2003:18-19) ada Sembilan unsur komunikasi yaitu: 1. Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada seseorang atau sejumlah orang. 2. Encoding: Penyandian yakni proses pengalihan pikiran ke dalam bentuk lambing. 3. Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang bermakna yang disampaikan oleh komunikator. 4. Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari komunikatorkepada komunikan. 5. Decoding: Pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan menetapkan makna pada lambing yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. 16 6. Receiver: Komunikan yang menerima pesan dari komunikator. 7. Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan setelah diterpa pesan. 8. Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator. 9. Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan oleh komunikator kepadanya. Dengan mengetahui unsur-unsur dalam proses komunikasi maka akan menjadikan komunikasi lebih efektif. Karena menurut Onong Uchjana Effendy (2003:19) Unsur-unsur komunikasi di atas adalah faktorfaktor kunci dalam komunikasi efektif. Menurutnya komunikator harus mengetahui khalayak mana yang dijadikan sasaran dan tanggapan apa yang diinginkannya. Ia harus terampil dalam menyandi pesan dengan memperhitungkan bagaimana komunikan sasaran biasanya menguasai sandi pesan. Komunikator harus mengirimkan pesan melalui media yang efisien dalam mencapai khalayak sasaran (Onong Uchjana Effendy, 2003:19) 17 2. Komunikasi Interpersonal Charles R. Berger, Micahel E. Roloff, David R. RoskosEwoldsenpada buku Handbook Ilmu Komunikasi (2014:213) mendefinisikan komunikasi interpersonal yaitu Interpersonal commication is a complex, situated social process in wich people who have established a communicative relationship exchange messages in an effort to generate shared meanings and accomplish social goals (Komunikasi interpersonal adalah proses sosial berkait konteks, rumit, yang didalamnya orang-orang yang telah membangun hubungan komunikatif bertukar pesan dalam upaya untuk menghasilkan makna-makna yang dianut bersama dan mencapai tujuan sosial). Effendy dalam skripsi Mayyesa Maya.(2009:10) mengemukakan bahwa pada hakikatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan. Arus balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan komunikan ketika itu juga, pada saat komunikasi dilancarkan. Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau negatif, berhasil atau tidak. De Vito dalam skripsi Mayyesa, Maya.(2009:10 mengatakan komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari 18 seseorang dan diterima oleh orang yang lain atau, sekelompok orang dengan efek dan umpan balik yang langsung. Alo Liliweri (2013:20) menjelaskan bahwa komunikasi interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh 2 atau 3 orang dengan jarak fisik di antara mereka yang sangat dekat, bertatatap muka atau bermedia dengan sifat umpan balik yang berlangsung cepat, adaptasi pesan bersifat khusus, serta memiliki tujuan/maksud komunikasi tidak berstruktur. Dari beberapa sumber mngenai Komunikasi interpersonal di atas ditemukan kesamaan bahwa komunikasi interpersonal bersifat langsung dan memiliki tujuan. Sehingga bisa dikatakan pada setiap komunikasi interpersonal pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Komunikasi interpersonal membutuhkan komunikasi yang efektif agar tujuan lebih dapat tercapai. Jalaluddin Rakhmat (2013:127) mengatakan ada 3 hal yang menumbuhkan komunikasi interpersonal yaitu: 1. Trust (percaya) Jalaluddin (2013;127) menyebutkan bahwa salah satu faktor terpenting dalam menciptakan komunikasi interpersonal yang efektif adalah percaya. Menurutnya jika kita mampu percaya pada orang lain maka kita akan lebih terbuka pada orang tersebut. Yang pada akhirnya kita lebih nyaman berkomunikasi dengannya. Contoh, ketika kita mendapatkan tugas kelompok dengan murid baru maka kita akan merasa tidak nyaman 19 karena belum percaya, sedangkan jika kerja kelompok dengan sahabat sendiri sudah tentu lebih nyaman dibandingkan dengan murid baru. Maka jujur dan terbuka ketika berkomunikasi adalah gerbang awal agar orang menaruh rasa percaya pada kita, sehingga terjalin komunikasi interpersonal yang baik. 2. Sikap Suportif Jalaluddin (2013-132) mengartikan sikap suportif adalah sikap yang mengurangi sikap defensif dalam komunikasi. Jalaluddin menjelaskan sikap defensif merupakan hal yang dapat membuat gagal sebuah komunikasi. Sikap defensif adalah sikap yang tidak menerima, tidak jujur dan tidak empatis (Jalaluddin, 2013:132). Maka hindari sikap defensif ketika berkomunikasi. Karena hal ini hanya akan menciptakan komunikasi yang tidak efektif. Hindari hal-hal seperti ingin mengontrol lawan bicara, mengevaluasi dan mendominasi pembicaraan. Kita harus lebih banyak berempati dan menghargai lawan bicara. 3. Sikap terbuka Yaitu sikap yang mau menerima pemikiran-pemikran dari berbagai sudut pandang. Orang yang tidak mau melihat sudut pandang dari orang lain adalah orang egois. Ia hanya peduli dari pemikirannya sendiri. Sehingga ketika berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman maupun pemaksaan kehendak. Dengan mau membuka pikiran kita terhadap pemikiran orang lain maka kita mebuka hal-hal baru untuk kita. Memang tidak semua hal baru kita telan mentah-mentah, namun 20 setidaknya kita menghargai apa yang disampaikan orang lain. Carl Rogers dalam buku psikologi komunikasi (2013:136) mengatakan when someone understands how it feels and seems to be, without wanting to anlyze me or judge me, then I can blossom and grow in that climate.(Bila orang lain memahami bagaimana perasaan dan pandangan saya, tanpa berkeinginan untuk menganalisis atau menilai saya, barulah saya dapat tumbuh dan berkembang pada iklim seperti itu. Dari ketiga hal yang dipaparkan Jalaluddin di atas, ia menekankan pada satu hal yaitu kejujuran. Pada dasarnya untuk menumbuhkan komunikasi interpersonal kita berfokus pada kejujuran sehingga siapapun mampu menaruh rasa percaya pada kita. Nantinya bermanfaat untuk membuat komunikasi interpersonal lebih efektif. Namun dalam komunikasi interpersonal konflik selalu ada, menurut Putnam & Wilson yang dikutip oleh Qin Zhang; Michael, Andreychick; David, A Sapp & Colleen, Arendt dalam jurnal internasional berjudul The Dynamic Interplay of Interaction Goals, Emotion, and Conflict Styles: Testing a Model of Intrapersonal and Interpersonal Effects on Conflict Styles, mereka menyebutkan Conflict is a central and inevitable aspect of social life. Broadly conceptualized as an interactional. Yang pada intinya konflik merupakan salah unsur atau jalan untuk mencapai tujuan dalam komunikasi interpersonal. Kemudian komunikasi interpersonal juga berimplikasi terhadap organisasi dan budaya seperti yang disebutkan Jalan Willem yaitu 21 Implications for School Principals In connection with the research findings indicate that interpersonal communication, organizational culture, job satisfaction, and achievement motivation affect the organizational commitment, the principal can make efforts to improve the organizational commitment dalam jurnal internasional berjudul The Effect of Interpersonal Communication, Organizational Culture, Job Satisfaction, and Achievement Motivation to Organizational Commitment of State High School Teacher in the District Humbang Hasundutan, North Sumatera, Indonesia. Sehubungan dengan komunikasi interpersonal, Julia Wood (2013:23-29) menyebutkan ada delapan ciri dari komunikasi interpersonal yaitu: 1. Selektif: Komunikasi interpersonal tidak bisa dilakukan dengan semua orang. Kita tentu akan memilih-milih orang, karena komunikasi interpersonal memerlukan lebih banyak energy, waktu dan usaha yang kita berikan pada orang lain 2. Sistemis: Komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh sistem, situasi, waktu, masyarakat, budaya, latar belakang personal dan sebagainya. Kita dapat menggabungkan semua sistem tersebut untuk memahami dinamika komunikasi interpersonal, namun kita mesti memahami seluruh sistem tersebut saling berkaitan dengan kata lain tiap bagian dalam sistem komunikasi saling terkait satu sama lain. 22 3. Unik: Mengutip dari Nicholson dalam buku komunikasi interpersonal. Setiap orang selalu unik, begitu pula dengan persahabatan. Sekelompok sahabat pasti menciptakan pola unik sendiri dan bahkan istilah-istilah yang hanya dimiliki oleh kelompok mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka setiap komunikasi interpersonal adalah unik karena kita berkomunikasi pada orang yang berbeda-beda dengan keunikan mereka masing-masing. 4. Processual: Komunikasi interpersonal adalah proses yang berkelanjutan. Komunikasi interpersonal akan berkembang seiring berjalannya waktu. Hubungan komunikasi interpersonal dapat menjadi renggang atau lebih dekat nantinya, tergantung bagaimana komunikasi interpersonal tersebut berlangsung. 5. Transaksional: Komunikasi interpersonal adalah hubungan timbal balik, sifat komunikasi interpersonal berdampak pada tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan secara jelas. 6. Individual: Komunikasi interpersonal hanya terjadi jika kita dapat memahami diri sendiri sebagai manusia yang unik, kita belajar untuk memahami ketakutan, harapan, masalah dan kegembiraan dalam berinteraksi secara utuh bersama orang lain. Ketika kepercayaan sudah terbangun maka kita bisa berbagi privasi pada orang lain. 23 7. Pengetahuan personal: Komunikasi Interpersonal membantu perkembangan pengetahuan personal dan wawasan kita terhadap interaksi manusia. Ketika berinterkasi kita membuka pemahaman terhadap kepribadian orang lain. Kita dapat belajar dan mengetahui karakter seseorang. 8. Menciptakan makna: Mengutip Duck dalam buku Komunikasi Interpersonal inti dari komunikasi interpersonal adalah berbagi makna dan informasi antara dua belah pihak. Dalam berkomunikasi kita dapat bertukar pikiran, yang didalamnya mengandung pesan, tujuan dan makna yang ingin dicapai. Selain ciri-ciri komunikasi interpersonal Julia Wood juga menyebutkan delapan prinsip komunikasi interpersonal (2013:30) yaitu: 1. Kita tidak mungkin hidup tanpa berkomunikasi, maksudnya adalah dimana ada manusia pasti ada komunikasi. Manusia tidak dapat menghindari komunikasi ketika berada dalam kelompok karena kita saling menginterpretasikan apa yang dilakukan oleh manusia lainnya. 2. Komunikasi Interpersonal adalah hal yang tidak dapat diubah, ketika kita mengatakan sesuatu terhadap orang. Maka kata-kata tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi berhati-hati ketika akan berbicara usahakan untuk tidak menyesal setelah mengatakannya. 24 3. Komunikasi Interpersonal melibatkan masalah etika, mengutip Richard Johanessen dalam buku komunikasi interpersonal (2013:31) komunikasi yang beretika terjadi ketika seseorang menciptakan hubungan yang seimbang dan saling mencerminkan sikap empati. Maka gunakan etika ketika berkomunikasi interpersonal. 4. Manusia menciptakan makna dalam komunikasi interpersonal, manusia menciptakan makna dalam proses komunikasi, proses pemaknaan muncul dari bagaimana kita menginterpretasikan komunikasi. 5. Metakomunikasi memengaruhi pemaknaan, kata metakomunikasi berasal dari kata metayang berarti tentangdan komunikasi jadi artinya berkomunikasi tentang komunikasi. Maksudnya, kita berbicara baik verbal maupun nonverbal mngenai apa yang kita rasakan atau apa yang lawan bicara kita perlihatkan. Misalnya, “apakah aku terlalu keras ?” , “apakah kamu sedang marah?” 6. Komunikasi Interpersonal menciptakan hubungan yang berkelanjutan, Komunikasi adalah interpersonal adalah cara utama membangun dan memperbaiki sebuah hubungan. 7. Komunikasi tidak dapat menyelesaikan semua hal, komunikasi, Julia mengatakan komunikasi interpersonal bukanlah tongkat ajaib yang dapat menyelesaikan semua masalah. Terkadang ada 25 hal yang tidak perlu kita komunikasikan kepada orang lain. Seberapa efektif komunikasi tergantung dari situasi yang terjadi dalam sebuah kebudayaan. 8. Efektifitas Komunikasi Interpersonal adalah sesuatu yang dapat dipelajari, pada dasarnya semua hal dapat dipelajari termasuk cara berkomunikasi yang baik agar tercipta komunikasi yang efektif. 3.Teori Kepribadian Paulus Budiraharjo dalam skripsi (Mayyesa, Maya. 2009:11) mengutip dari B.F.Skinner, kepribadian manusia adalah sekelompok polapola kebiasaan yang menjadi ciri khas suatu individu. Bisa dikatakan berdasarkan pengertian di atas, kebiasaan-kebiasaan yang kita lakukan sehari-hari dapat membentuk kepribadian kita. Sehingga faktor lingkungan bisa sangat berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Faktor pergaulan juga bisa mempengaruhi kepribadian seseorang karena interaksi dengan orang-orang tertentu dengan jangka waktu yang lama tentu akan membuat sebuah kebiasaan yang jelas berpengaruh terhadap kepribadian seseorang. Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah faktor keluarga, tidak bisa dipungkiri ini adalah lingkungan dan pergaulan seorang individu yang pertama. Jadi perannya sangat vital dalam membentuk kepribadian seseorang. Ini membuktikan dengan siapa kita berkomunikasi bisa 26 merubah perilaku seseorang seperti yang dikatakan Joyee S. Chatterjee, Anurudra Bhanot, Lauren B. Frank, Sheila T. Murphy, & Gerry Power dalam jurnal internasional berjudul The Importance of Interpersonal Discussion and Self-Efficacy in Knowledge, Attitude, and Practice Models yaitu Not only is interpersonal discussion important, but the target others with whom that discussion occurs are also important for predicting behavioral change. Mengutip dalam situs pengertianku.net, disebutkan pengertian Kepribadian dari beberapa ahli, yaitu: Menurut, Theodore R. Newcombe – Kepribadian adalah organisasi sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang terhadap perilaku. Lalu menurut, Yinger – Kepribadian adalah keseluruhan perilaku dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang berinteraksi dengan serangkaian instruksi. Sedangkan menurut, Cuber – Kepribadian adalah gabungan keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh seseorang. Sudah sangat jelas dengan ditambah tiga pengertian di atas dapat disimpulkan kepribadian pada umumnya adalah perilaku seorang individu yang ia lakukan secara terus-menerus sehingga menjadikan hal itu yang mencirikan diri yang khas dari suatu individu. 27 Mattew Olson dan Hergenhahn dalam buku pengantar teori-teori kepribadian (2013-3) menyebutkan ada tujuh faktor yang mempengaruhi kepribadian yaitu: 1. Genetik, mengutip dari Tellegen dalam buku teori kepribadian (2013:5) bahwa genetik merupakan satu-satunya variable paling berpengaruh bagi penentuan kadar sifat kepribadian yang dimiliki seseorang seperti rasa sejahtera, kemampuan bersosialisasi, prestasi, agresi dan tradisionalisme. 2. Sifat-sifat, menurut Mattew dan Hergenhahn (2013:6) mengatakan banyak teorisi yakin jika sifat atau pembawaan yang dimiliki seseorang relative konstan di seluruh hidupnya dan karena itulah perilaku manusia akan cenderung konsisten di sepanjang waktu. 3. Pengaruh Sosial-Budaya, situasi dimana seseorang lahir dan dibesarkan (seperti jenis budaya, lingkungan masyarakat dan keluarga) memiliki dampak yang besar bagi kepribadian (Mattew dan Hergenhahn, 2013:7) 4. Pembelajaran, Mattew dan Hergenhahn (2013:8) menyebutkan bahwa kita bisa menjadi seperti sekarang karena hal-hal yang sudah memberi kita penghargaan dan penghukuman. Artinya jika sejarah penghargaan dan penghukuman kita berberda maka berbeda pula kepribadian kita. 28 5. Pertimbangan Eksistensial-Humanistik, Tak peduli di kondisi apa anda temukan diri anda berada, atau pengalaman yang anda miliki, pada akhirnya andalah yang memberikan makna-makna ke hal ini apapun itu.(Mattew dan Hergenhahn, 2013:9). Bisa dikatakan apapun lingkungan atau faktor eksternal yang mempengaruhi orang, tetap orang tersebut yang menentukan kepribadian dirinya sseperti apa. 6. Mekanisme Bawah-Sadar, menurut Mattew dan Hergenhahn (2013:10) kepribadian seseorang tidak ditentukan oleh kesadaran namun oleh otak bawah sadar yang harus diselami agar dapat terlihat oleh kesadaran kita. 7. Proses-proses Kognitif, Mattew dan Hergenhahn (2013:10) mengatakan bahwa banyak teori kognitif yang menitikberatkan perilaku dan tidak mengindahkan pentingnya masa lalu. Maksud Mattew dan Hergehahn di sini adalah kepribadian dapat terbentuk lebih karena perilaku-perilaku yang dijalanii individu setiap harinya, atau dengan kata lain proses dari waktu ke waktu. Mattew dan Hergehahn (2013:11) menyimpulkan bahwa kepribadian adalah gabungan dari elemen-elemen di atas, karena hampir semua teori mengandung elemen tersebut. 29 Selain elemen, Menurut Karl Jung yang dikutip oleh Hergehahn dan Mathew Olson dalam pengantar teori kepribadian (2013:129-131) kepribadian dibentuk oleh berbagai komponen yaitu: 1. Ego: ego adalah dimana kita dalam keadaan sadar atau hidup di alam kesadaran. 2. Bawah-Sadar Pribadi, terdiri atas bahan-bahan yang awalnya disadari kemudian direpresi atau dilupakan atau sejak awal memang tidak begitu jelas untuk bisa diserap kesadaran. 3. Bawah Sadar Kolektif, mencerminkan pengalaman- pengalaman kolektif yang dimiliki di masa lalu evolusi manusia. Masih menurut karl Jung yang dikutip Hergehahn dan Mathew dalam buku pengantar teori kepribadian (2013:140-143) ada delapan tipe kebribadian yaitu: 1. Berpikir-Ekstrover: Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi berpikirnya. Individu seperti ini hidup berdasarkan aturan yang baku dan berharap setiap orang melakukan yang sama. 2. Merasa-Ekstrover: Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi merasa. Individu ini akan bersikap sesuai perasaan yang diharapkan orang lain pada dirinya di setiap situasi. 30 3. Mengindra-Ekstrover: Realiats objektif mendominasi, begitu pula fungsi mengindra. Individu yang realis dan peduli hanya ke fakta-fakta objektif. 4. Mengintuisi-Ekstrover: Realitas objektif mendominasi, begitu pula fungsi mengintuisi. Individu ini melihat ke luar realitas ribuan kemungkinan. Irasional dan kurang peduli terhadap logika. 5. Berpikir-Introver: Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi berpikir. Individu ini akan mengikuti pikirannya sendiri tak peduli tidak konvesional atau bahayanya bagi orang lain. Ia lebih subjektif daripada objektif. 6. Merasa-Intover: Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi merasa. Individu ini berfokus ke perasaan yang disediakan oleh pengalaman, realitas objektivitas penting hanya sejauh ia memberinya gambaran-gambaran mental subjektif yang dialami dan dinilai secara pribadi. 7. Mengindra-Introver: Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi mengindra. Tipe ini banyak dimiliki seniman, yang mengandalkan kemampuan indrawi untuk memberi mereka makna subjektif. 8. Mengintuisi-Introver: Realitas subjektif mendominasi, begitu pula fungsi megintuisi. Tipe ini implikasi dari gambaran- 31 gambaran mental internal dieksplorasi besar-besaran. Tipe ini yang paling menutup diri, menjaga jarak dan disalahpahami. 4. Komunikasi Konseling Andi Mappiare (1992:12) menyebutkan bahwa komunikasi konseling adalah upaya bantuan sehingga individu menemukan jalannya sendiri, atau individu menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang dihadapinya, atau dapat berbuat sesuatu, atas upaya dalam konseling. John McLeod (2008:16) mengartikan komunikasi konseling adalah aktifitas yang muncul ketika seseorang bermasalah mengundang dan mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu diantara mereka. Hartono dan Boy Soedarmadji dalam buku psikologi konseling (2013:26) menjelaskan ada dua jenis komunikasi konseling, konvesional dan modern, Komunikasi Konseling konvesional adalah pelayanan professional yang diberikan oleh konselor kepada konseli secara tatap muka agar konseli dapat mengembangkan perilakunya ke arah lebih maju, pelayanan konseling bersifat kuratif dalam arti penyembuhan. Kemudian komunikasi konseling modern adalah hasil perkembangan konseling dalam abad teknologi, sehingga proses konseling dipengaruhi oleh kemajuan teknologi khususnya informatika.(Hartono dan Boy Soedarmadji, 2013:28) teknologi 32 Sedangkan Pietrofesa yang dikutip oleh Andi Mappiare dalam buku Pengantar Konseling dan Psikoterapi(1992:16) mendefinisikan komunikasi konseling secara ringkas, yaitu: a. Komunikasi Konseling adalah suatu layanan professional yang disediakan oleh konselor berwenang. b. Komunikasi konseling adalah suatu proses yang terjadi atas dasar hubungan konselor-klien. c. Komunikasi Konseling adalah berurusan dengan ketrampilan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. d. Komunikasi Konseling menjadikan klien mempelajari tingkahlaku atas sikap-sikap baru. e. Komunikasi Konseling adalah upaya bersama dua pihak konselor dan klien, dan konseling berlandas pada penghargaan terhadap individu. f. Komunikasi Konseling tidak dapat dibatasi secara tegas karena ini merupakan sesuatu yang dinamis, namun ada ketrampilan yang lazim dipakai bagi hubungan bantuan seperti itu. g. Komunikasi Konseling adalah suatu pandangan hidup. Dari pengertian Komunikasi Konseling di atas dapat dijelaskan bahwa Komunikasi Konseling pada intinya adalah komunikasi antar individu dimana individu yang pertama mencoba membantu individu lainnya sehingga individu tersebut dapat mengatasi masalah yang 33 dihadapi. Dimana individu yang membantu memiliki keahlian atau profesional. Ini sejalan dengan yang dikatakan Brtitish Association Counselling (BAC) yang dikutip oleh John McLeod dalam buku pengantar Konseling teori dan studi kasus (2008:5) bahwa tugas konseling adalah memberikan kesempatan kepada klien untuk mengeksplorasi, menemukan dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam menghadapi sesuatu. Sehubungan dengan konseling, dalam buku Pengantar Konseling dan Psikoterapi (1992:17) Pietrofesa yang dikutip oleh Andi Mappiare menyebutkan bahwa ada 6 unsur komunikasi konseling, yaitu: a. Suatu proses b. Adanya seseorang yang dipersiapkan secara professional c. Membantu orang lain d. Untuk pemahaman diri, pembuatan keputusan dan pemecahan masalah e. Pertemuan dari hati ke hati antarmanusia f. Hasilnya sangat bergantung pada kualitas hubungan. Komunikasi konseling tentunya memiliki tujuan, Hartono dan Boy Soedarmadji dalam bukunya psikologi konseling (2013:30) menyebutkan tujuan secara umum komunikasi konseling secara umum adalah agar konseli dapat mengubah perilakunya ke arah yang lebih maju (progressive 34 behavior changed), melalui terlaksananya tugas-tugas perkembangan secara optimal, kemadirian dan kebahgiaan hidup. John McLeod juga menyebutkan tujuan komunikasi konseling (2008:13) ada 15, yaitu: 1. Pemahaman: yaitu ada pemahaman terhadap akar dan perkembangan kesulitan emosional. 2. Berhubungan dengan orang lain: menjadi lebih mampu membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna dan memuaskan orang lain. 3. Kesadaran diri: menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan perasaan yang selama ini ditahan atau ditolak. 4. Penerimaan diri: pengembangan sikap positif terhadap diri yang ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang selalu menjadi subjek kritik diri dan penolakan. 5. Aktualisasi diri dan individuasi: pergerakan ke arah pemenuhan potensi dan penerimaan integrasi bagian diri yang sebelumnya saling bertentangan. 6. Pencerahan: Membantu klien mencapai kondisikesdaran spiritual yang lebih tinggi 7. Pemecahan masalah: Menemukan pemecahan problem tertentu yang tak bisa dipecahkan oleh klien seorang diri. 8. Pendidikan psikologi: Membuat klien mampu menangkap ide dan teknik untuk memahami dan mengontrol tingkah laku. 35 9. Memiliki ketrampilan sosial: Mempelajari dan menguasai ketrampilan sosial dan interpersonal. 10. Perubahan kognitif: Modifikasi atau mengganti kepercayaan yang tak rasional. 11. Perubahan tingkah laku: Modifikasi atau mengganti tingkah laku yang maladaptif atau merusak. 12. Perubahan sistem: memperkenalkan perubahan dengan cara beroperasinya sistem sosial. 13. Penguatan: berkenaan dengan ketrampilan, kesadaran, dan pengetahuan yang akan membuat klien mampu mengontrol hidupnya. 14. Restitusi: mambantu klien membuat perubahan kecil terhadap perilaku yang merusak. 15. Reproduksi dan aksi sosial: menginspirasikan dalam diri seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli terhadap orang lain. 36 F. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah teori Pengondisian klasik milik Ivan Petrovich Pavlov. Ivan Pavlov yang dikutip oleh Lawrence dan Daniel dalam buku Kepribadian: teori dan penelitian (2012:136) mengatakan pengondisian klasik adalah proses dimana stimulus yang awalnya netral (yaitu organisme awalnya tidak merespons dalam perilaku) kemudian menghasilkan respons. Kemudian Pavlov yang dikutip oleh Koswara juga menyimpulkan dalam buku teori-teori kepribadian (1991:79) bahwa respons atau tingkah laku organisme bisa dikondisikan dan organisme bisa memiliki respon tertentu melalui stimulus atau pembelajaran. Hal ini yang mendasari peneliti melakukan penelitian di Yayasan Sinai, dimana tingkah laku/kepribadian orang dengan gangguan mental dapat dibentuk, yaitu dengan stimulus yang dilakukan relawan yang berupa komunikasi interpersonal terhadap orang dengan gangguan mental (organisme) sehingga menghasilkan reaksi atau tingkah laku (respons). 37 Relawan Melakukan Komunikasi Interpersonal Berupa Perintah Cerita Curhat Informatif Terhadap Orang Dengan Gangguan Mental Penanganan Kepribadian Gambar 4 skema kerangka berpikir 38 Berdasarkan skema diatas, peneliti mendeskripsikan bahwa pola komunikasi interpersonal relawan yang berupa cerita, curhat, informatif dan perintah terhadap orang dengan gangguan mental, respon atau kepribadian seperti apa yang terbentuk nantinya terhadap orang dengan gangguan mental di Yayasan Sinai Sukoharjo. G. Metodologi Penelitian Pengertian Penelitian menurut Sukmadinata dalam bukunya Metode Penelitian Pendidikan (2005:5) adalah suatu proses pengumpulan dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Pengumpulan dan analisis data dilakukan secara ilmiah, baik bersifat kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental maupun noneksperimental, interaktif maupun non-interaktif. Metode ilmiah akan lebih valid apabila disusun dengan menggunakan metode yang tepat dan baik. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode-metode sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif (Qualilative Research) bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a shared social eperience) yang diinterpretasikan oleh individu-individu. (Sukmadinata, Syaodih, 2001:94). 39 Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dalam situasi yang wajar atau dalam natural setting. Penelitian kualitatif pada hakekatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang dunia sekitarnya. (Nasution, 1988:5). Dalam penelitian kualitatif deskriptif, data yang dikumpulkan terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih daripada sekedar angka atau frekuensi. Peneliti menekankan catatan yang menggambarkan situasi sebenarnya untuk mendukung penyajian data. Begitu pula dengan penelitian yang peneliti lakukan, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Peneliti akan menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi dan berbagai situasi. Dalam penelitian ini peneliti akan menggambarkan pola komunikasi interpersonal yang dilakukan relawan terhadap klien di Yayasan Sinai, Sukoharjo.Peneliti ingin mengetahui bagaimana relawan memperlakukan klien, dan peneliti juga ingin melihat sudut pandang dari relawan atas pengalaman mereka merawat orang dengan gangguan mental setiap harinya. Dalam hal ini peneliti barprinsip pada teori yang diungkapkan Silverman yang dikutip oleh Afrizal dalam buku Metode Penelitian Kualitatif (2014:30) bahwa salah satu pertimbangan data yang diambil dalam metode deskriptif kualitatif adalah adanya makna yang diberikan oleh individu-individu terhadap sesuatu atau bagaimana manusia memperoleh makna itu. Silverman mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan penelian deskriptif 40 kualitatif ini peneliti perlu mengumpulkan informasi dari sudut pandang aktor-aktor. Peneliti akan mengumpulkan informasi mengenai label-label, stigma-stigma, atau argumen-argumen yang diberikan oleh orang/narasumber terhadap sesuatu. Peneliti juga berpegang pada teori dari Strauss dan Corbin yang dikutip oleh Afrizal dalam buku Metode Penelitian Kualitatif (2014:31) dalam penelitian deskriptif kualitatif, pengalaman orang terhadap sesuatu juga merupakan pertimbangan data dalam penelitian jenis ini. Sama halnya dalam penelitian ini, relawan merupakan orang yang berpengalaman dalam menangani orang dengan gangguan mental di Yasasan Sinai, Sukoharjo. 2. Lokasi Penelitian Peneliti mengambil Lokasi langsung pada Yayasan Sinai yaitu di Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol , Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah. 3. Sumber Data a. Data Primer Menurut Umar yang dikutip oleh Effendy dalam buku Ilmu Komunikasi dan Praktek, data primer adalah data yang diperoleh langsung di lapangan oleh peneliti sebagai obyek penulisan. (2003:56). Data primer dalam penelitian ini didapat dari teknik observasi yang dilakukan oleh peneliti, dimana peneliti melakukan observasi 41 partisipan. Menurut Burhan (2011:119) observasi partisipan adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktivitas kehidupan objek pengamatan. Peneliti akan berpartisipasi langsung dalam interaksi atau kegiatan yang dilakukan olehYayasan Sinai. Peneliti menggunakanmetode observasi partisipan karena peneliti ingin melihat dan ikut serta langsung dalam mengangani orang dengan gangguan mental. Dengan turun langsung, peneliti dapat merasakan apa yang dilakukan relawan terhadap klien. Sehingga mampu mendapatkan data dan gambaran yang lebih jelas. Selain dengan teknik observasi, peneliti juga menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth interview) guna mendapatkan data primer yang diperlukan. Wawancara wawancara mendalam adalah metode dimana pewawancara dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relatif lebih lama (Burhan, 2011:111). Sedangkan Afrizal (2014:137) mengatakan wawancara mendalam adalah interaksi sosial informal antara seorang peneliti dengan para informannya. Taylor (2014:136) dalam buku metode penelitian kualitatif menyebutkan bahwa wawancara mendalam adalah wawancara dimana pewawancara perlu mendalami informasi dari informan, sehingga wawancara mendalam perlu dilakukan berulang kali. Bukan pertanyaan sama yang diulang-ulang, namun menanyakan hal yang berbeda berulang kali kepada informan yang sama dengan 42 tujuan klarifikasi informasi yang sudah didapat pada wawancara sebelumnya atau mendalami hal-hal yang muncul dalam wawancara yang telah dilakukan sebelumnya dengan informan. Dengan metode ini peneliti mengadakan tanya jawab langsung secara berulang dan dalam waktu yang lama, karena wawancara mendalam tidak hanya sekedar tanya jawab namun pewawancara juga berusaha membangun kedekatan dengan informan.Dalam penelitian ini yang menjadi informan yaitu para relawan yang menangani orang gangguan mental di Yayasan Sinai Sukoharjo. b. Data Sekunder Data sekunder merupakandata yang tidak langsung memberikan data kepada peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau mencari melalui dokumen. (Sugiyono, 2005:62). Peneliti mendapatkan data sekunder terkait penelitian ini melalui buku-buku serta literatur yang mendukung atau sesuai dengan penelitian ini. Dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang digunakan peneliti. Selain itu beberapa referensi yang berupa buku, jurnal, dan berbagai penelitian terdahulu yang memiliki tema serupa dengan penelitian ini. 4. Teknik Pengambilan Sampel Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Purposive sampling adalah metode pengambilan informan atau narasumber dimana 43 seorang informan tersebut memiliki kriteria yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan (Afrizal, 2014:140) Maksudnya, peneliti harus menentukan seperti apa informan yang akan dijadikan narasumber sebelum melakukan penelitian di lapangan. Informan tersebut harus memenuhi kriteria yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan. Atau secara sederhana orang yang menjadi informan tersebut adalah orang yang memiliki informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Berdasarkan metode purposive sampling, maka peneliti akan menentukan terlebih dahulu kriteria informan sebelum terjun ke lapangan. Dalam penelitian ini yang menjadi kriteria informan adalah relawan yang berpengalaman atau sudah lama bekerja di Yayasan Sinai. Karena relawan yang berpengalaman atau sudah lama bekerja akan lebih mengerti kondisi di lapangan dibandingkan relawan yang baru saja bekerja, sehingga peneliti akan mendapatkan informasi yang lebih banyak dan dibutuhkan dalam penelitian ini. 5. Teknik Validitas Data Validitas data adalah data yang terkumpul dapat menggambarkan realitas yang ingin diungkapkan oleh peneliti (Afrizal, 2014:167). Dengan kata lain apakah data yang didapat peneliti di lapangan benar adanya dan dapat dipertanggung jawabkan. 44 Untuk mencapai validitas data, penelitian ini munggunakan teknik triangulasi data. Mengutip dalam situs laporanpenelitian.com, Miles & Huberman( 1984) Triangulasi data dilakukan dengan cara menggunakan beragam sumber data dalam pengumpulan data. Dengan triangulasi data ini peneliti bertujuanmenguji data yang diperoleh dari satu sumber untuk dibandingkan dengan data dari sumber lain. Dari perbandingan tersebut, peneliti akan sampai pada salah satu kemungkinan: data yang diperoleh ternyata konsisten, tidak konsisten, atau berlawanan. Menurut Afrizal prinsip teknik trianggulasi data adalah informasi mesti dikumpulkan atau dicari dari sumber-sumber yang berbeda agar tidak bias sebuah kelompok (2014:168). 6. Teknik Analisis Data Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain secara sistematis sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2009:244). Penelitian ini menggunakan analisis interaktif. Menurut Miles dan Huberman dalam buku metode penelitian kualitatif (2014:178) analisis interaktif adalah cara analisis data dalam penelitain kualitatif yang dilakukan secara siklus, dimulai dari tahap satu sampai tiga kembali ke tahap satu, Tahap tersebut yaitu reduksi data, penyajian data dan kesimpulan. 45 Tahap reduksi data merupakan tahap pekodingan terhadap data, yaitu peneliti memberikan nama atau penamaan terhadap hasil peneleitian. Hasil kegiatan tahap pertama adalah diperolehnya tema-tema atau klasifikasi dari hasil penelitian. Tema-tema tersebut telah mengalami penamaan oleh peneliti. Cara melakukannya menurut Miles dan Huberman dalam buku metode penelitian kualitatif (2014:178) adalah peneliti menulis ulang catatan-catatan di lapangan dan merangkumnya, apabila data yang diperoleh dari wawancara yang direkam maka peneliti mentraskrip hasil rekaman. Setelah semua data dirangkum kemudian ditulis secara rapi. Selanjutnya peneliti memilah-milah data dan mengkelompokan data tersebut atau penamaan terhadap interpretasi yang dibuat. Tahap berikutnya penyajian data, pada tahap ini data yang telah dikelompokan tersebut disajikan. Penyajian bisa dalam bentuk naratif, diagram maupun matrik. Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan, pada tahap ini peneliti menarik kesimpulan dari temuan data. Setelah kesimpulan diambil peneliti mengecek ulang proses koding dan penyajian data untuk memastikan tidak ada kesalahan yang dilakukan. Setelah ketiga tahap ini dilakukan maka peneliti telah melakukan temuan penelitian berdasarkan analisis data. Dengan demikian ketiga tahap tersebut harus terus dilakukan sampai penelitian berakhir. Berikut gambaran analisis interaktif menurut Miles dan Huberman dalam bentuk skema. 46 Gambar 5 skema analisis interaktif Miles dan Huberman dalam buku merode penelitian kualitatif (2014:180)