BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Berkomunikasi adalah

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Berkomunikasi
adalah
kebutuhan
bagi
manusia.
Manusia
membutuhkan dan senantiasa berusaha membuka serta menjalin
komunikasi atau hubungan dengan sesamanya. Selain itu ada sejumlah
kebutuhan dalam diri manusia yang hanya dapat dipuaskan lewat
komunikasi dengan sesamanya,misalnya kebutuhan aktualisasi diri dan
kebutuhan penghargaan yang itu semua bisa diwujudkan melalui
komunikasi interpersonal.
Dalam kehidupan sehari-hari komunikasi interpersonal sangat
penting untuk menjalankan fungsi sebagai alat mempengaruhi atau
membujuk orang lain, karena melalui komunikasi interpersonal kita dapat
menggunakan lima alat indera untuk mempertinggi daya bujuk pesan
yang kita komunikasikan kepada komunikan. Sebagai komunikasi yang
bersifat face to face, komunikasi interpersonal berperan penting hingga
kapan pun, selama manusia masih mempunyai emosi. Nyatannya
komunikasi tatap-muka ini membuat manusia merasa lebih akrab dengan
sesamanya, berbeda dengan komunikasi lewat media massa seperti surat
kabar,
televisi,
ataupun
lewat
1
teknologi
yang
lain.
2
Untuk menciptakan hubungan yang lebih akrab dan dekat maka
manusia melakukan komunikasi interpersonal. Menurut Martin Buber
dalam buku Komunikasi interpersonal:interaksi keseharian (2013:23),
komunikasi interpersonal adalah komunikasi antara seorang komunikator
dengan seorang komunikan, secara langsung face to face, menurutnya kita
melihat orang lain dengan segala keutuhan dan kepribadiannya, kita tidak
melihat seseorang harus mengikuti norma sosial tertentu, namun kita
menerima mereka secara utuh.
Tidak berbeda dengan komunikasi yang dilakukan oleh orang
dengan gangguan mental. Dalam masyarakat mereka begitu dikucilkan
dan bahkan ada yang mentertawakan, menjauhi atau memandang sebelah
mata. Hal ini berbeda sekali dengan yang terjadi di Yayasan Sinai. Sikap
dan usaha-usaha para relawan yang mengurus
Yayasan Sinai dalam
memperlakukan orang dengan gangguan mental ini layaknya sebagai
manusia normal.
Hal yang dilakukan relawan initermasuk dalam komunikasi
interpersonal. Melalui proses komunikasi interpersonal, seseorang dapat
mengetahui sikap, dan juga sifat dirinya sendiri yang tidak ia ketahui
ketika
tidak
berinteraksi
dengan
orang
lain.
(diakses
dari
http://annisamauizhoh.blogspot.com/2013/12/teori-teori-dasarkomunikasiantar.html#!/2015/4/teori-teori-dasar-komunikasi-antar.html pukul 08.41
WIB).
3
Dengan mengetahui sifat dan kepribadian melalui komunikasi
interpersonal, maka komunikasi interpersonal penting dilakukan dalam
penanganan kepribadian. Selain komunikasi interpersonal,iklim atau
suasana emosional dalam masyarakat terutama keluarga sangatlah penting
bagi perkembangan kepribadian seseorang. Apalagi orang dengan
kebutuhan khusus, mereka pantas mendapatkan perhatian lebih. Dengan
hal ini diharapkan masyarakat lebih menghargai dan memperlakukan
orang dengan gangguan mental ini sama dengan manusia pada umumnya.
Menurut Laswell yang dikutip oleh Effendy dalam buku Ilmu
Komunikasi: Teori & Praktek (2006:10) komunikasi adalah penyampaian
dan penerimaan suatu pesan (message)yang di dalamnya mengandung
unsur: komunikator, pesan, media, komunikan & efek. Menurut Martin
Buber yang dikutip oleh Julia Wood dalam buku Komunikasi
interpersonal: interaksi keseharian (2013:23) komunikasi interpersonal
adalah semacam suatu transaksi (berkelanjutan) yang selektif, sistemis,
dan unik, yang membuat kita mampu merefleksikan dan mampu
membangun pengetahuan bersama orang lain.
Menurut Bernstein dalam situs e-psikologi.com, pendekatan
behaviorisme menekankan kepada tingkah laku yang boleh dilihat dan
diukur. Pendekatan ini dipelopori oleh John B. Watson di Universiti John
Hopkins Amerika Serikat pada tahun 1913 yang berpendapat bahwa
tingkah laku dipengaruhi oleh lingkungan sekitar dan bukannya unsurunsur yang ada di dalam.
4
Ide ini menekankan bahwa tingkah laku dan proses adalah hasil
daripada pembelajaran. Menurut pendekatan ini, tingkah laku ialah satu
sisi gerak balas yang dipelajari dengan wujudnya rangsangan.
Menurut situs e-psikologi.com, Pavlov (1962), setiap rangsangan
akan menimbulkan gerak balas dan berlaku pembelajaran apabila terdapat
kaitan antara rangsangan dan gerak balas. Hal ini bermaksud pembelajaran
yang berlaku apabila ada kaitan antara rangsangan dan gerak balas.
Menurut situs e-psikologi.com, Mahani Razali (2002), hal yang berlaku
adalah pembelajaran yang berlaku akibat dari dua rangsangan ini. B.F.
Skinner (1904-1990) setuju dengan pendapat Pavlov tetapi menyatakan
bahawa tingkah laku dapat diperhatikan dalam jangka panjang supaya
dapat mengubah perlakuan yang mudah kepada perlakuan kompleks.
Menurutnya, bimbingan, latihan, ganjaran, pengukuhan dan pengajaran
yang terus-menerus adalah penting bagi menjamin perubahan tingkah laku
yang berkesan.
Sehubungan dengan pengertian teori-teori di atas, peneliti
menyimpulkan bahwa semua orang membutuhkan komunikasi. Termasuk
orang dengan gangguan mental, mereka juga membutuhkan komunikasi,
tak
berbeda
dengan
orang
normal
umumnya.
Namun
mereka
membutuhkan perlakuan yang lebih dibandingkan dengan orang normal.
menurut pendekatan behaviorisme yang dijelaskan di atas, orangorangdengan gangguan mental berkomunikasi sesuai dengan karakteristik
pribadinya berdasarkan stimulus, respon, dan reaksi. Namun mereka
5
memiliki sifat dan karakter yang berbeda berdasarkan pendekatan
behaviorisme dalam komunikasi interpersonal untuk perkembangan
kepribadian masing-masing. Untuk lebih mengenal lebih jauh seperti apa
peranan metode pendekatan behaviorisme pada orang gangguan mental
berdasarkan stimulus, respon dan reaksi maka perlu dilakukan penelitian.
Penelitian ini menarik dan penting untuk diteliti, karena Yayasan
Sinai juga telah banyak menjadi perbincangan publik dan diliput beberapa
media, diantaranya:
Gambar 1 Yayasan Sinai dimuat di Solopos.com (Diakses dari
Solopos.com Pada Jum’at 13 mei pukul 11.22)
6
Gambar 2 Yayasan Sinai dumuat di Metrotvnews.com (Diakses
dari metrotvnews.com pada Jum’at 13 Mei pukul 11.23)
7
Gambar 3 Yayasan Sinai dimuat di salah satu Koran (Foto diambil
di Yayasan Sinai Pada 23 Februari 2016)
8
Jika melihat apa yang terjadi di masyarakat. Selama ini orang
dengan gangguan mental atau kasarnya orang gila cenderung dikucilkan.
Mayoritas orang sudah takut dulu ketika melihat orang gila di jalan.
Apakah seperti itu cara memperlakukan sesama manusia, bukankah
seharusnya tidak boleh membedakan satu sama lain. Bukankah agama dan
norma kita mengajarkan bahwa harus menghargai semua manusia. Hal ini
mungkin menjadi sesuatu yang biasa dan tidak dipedulikan sebagian besar
masyarakat. Karena sudah biasa takut dengan orang gila hal ini
membentuk kebiasaan di masyarakat sehingga menjadi pola pikir atau
mindset dimana jika melihat orang gila mereka takut atau menjauhi. Cara
berpikir seperti inilah yang seharusnya dihilangkan. Memang untuk bisa
secara normal berkomunikasi dengan orang gangguan mental itu sulit.
Namun setidaknya masyarakat berusaha memahami kondisi mereka
dengan memperlakukan mereka dengan baik. Peneliti melihat masih
banyak sebagian orang yang tidak memperlakuan mereka dengan baik,
misalnya banyak anak kecil yang ketika mereka melihat orang gila malah
mencemooh, menggoda, mentertawakan atau mengganggu. Pada orang
normal saja hal itu tidak baik apalagi pada orang dengan gangguan mental.
Uniknya tidak semua orang memperlakukan orang bergangguan
mental dengan buruk. Di Yayasan Sinai, para relawan memanusiakan
manusia, di sana orang dengan gangguan mental diperlakukan normal dan
diajak berinteraksi. Bahkan para relawan mengajak orang dengan
gangguan mental ini berbicara seakan berdialog dengan sesama manusia
9
normal. Ada cerita menarik mengenai Yayasan Sinai, pernah ada polisi
menangkap orang gila yang tidak bisa diatur dan memberontak. Kukunya
panjang, rambutnya panjang tak beraturan. Tangan dan kakinya diborgol
oleh polisi karena takut orang gila ini mengamuk. Kemudian orang gila ini
dibawa ke Yayasan Sinai, namun ternyata relawan Yayasan Sinai tak tega
melihat orang gila ini diborgol. Seketika itu borgol dilepas dan relawan
pun memeluk orang gila ini. Dan yang terjadi orang gila ini menangis.
Sungguh cerita yang sulit dipercaya, namun itu adalah kisah nyata ketika
peneliti bertanya pada Titus pemilik Yayasan Sinai. Dengan melihat hal
ini ternyata orang dengan gangguan mental masih bisa diperlakukan
normal, tidak seperti orang pikirkan pada umumnya. Relawan pun bekerja
dengan tidak terlalu mempedulikan uang karena sebenarnya pendapatan
mereka tidak sebanding dengan apa yang mereka lakukan untuk orangorang dengan gangguan mental. Inilah yang menjadikan Yayasan Sinai
menarik untuk diteliti. Seperti apa para relawan memperlakukan orang
gangguan mental ini setiap harinya.
Peneliti akan melakukan penelitian dengan menjadikan sasaran
subjek dalam penelitian ini adalah orang-orang dengan gangguan mental
pada Yayasan Sinai (orang yang secara nyata mengalami hambatan dan
keterbelakangan perkembangan mental intelektual jauh di bawah rata-rata
sehingga mengalami kesulitan komunikasi maupun bersosial) yang
berlokasi di Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol ,
Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah, mengingat Yayasan Sinai adalah
10
suatu Yayasan Pembinaan orang dengan gangguan mental yang
mengajarkan hal pribadi dan sosial serta memberikan kasih sayang kepada
orang dengan gangguan mental. Beberapa orang dengan gangguan mental
akan diamati secara mendalam untuk mendapatkan pola komunikasi
interpersonal dalam penanganan kepribadian. Diharapkan hasil penelitian
ini dapat menjadi masukan bagi pihak
yang berkaitan dalam
berkomunikasi dengan orang gangguan mental.
Melihat situasi demikian, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian
terhadap
pola-pola
komunikasi
interpersonal
terhadap
perkembangan kepribadian orang dengan gangguan mental. Bagaimana
stimulus, respon dan reaksi yang terjadi pada orang dengan gangguan
mental dalam berkomunikasi. Penelitian dilakukan di Dk. Kutu Rt.02 /08
Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol, Kabupaten Sukoharjo Jawa
Tengah karena peneliti ingin melihat langsung bagaimana pola komunikasi
yang dilakukan oleh para relawan terhadap orang gangguan mental dalam
penanganan perkembangan kepribadian mereka.
B.
Rumusan Masalah
Mengacu pada latar belakang seperti telah dipaparkan diatas, maka
rumusan masalah yang muncul dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimanakah pola komunikasi interpersonal yang dilakukan oleh
relawan dengan klien dalam penanganan kepribadian orang dengan
gangguan mental di Yayasan Sinai Kabupaten Sukoharjo Jawa Tengah?”
11
C.
Tujuan Penelitian
Selaras dengan perumusan masalah diatas, penelitian ini bertujuan
untuk:
Mengetahui pola-pola komunikasi interpersonal antara relawan dengan
klien
gangguan mental di Yayasan Sinai Sukoharjo Jawa Tengah.
Terutama pada aspek;
a. Tempat komunikasi interpersonal dilakukan.
b. Isi komunikasi interpersonal yang dilakukan.
c. Waktu komunikasi interpersonal yang dilakukan.
d. Durasi komunikasi interpersonal yang dilakukan.
e. Siapa yang menginisiasi dalam komunikasi interpersonal.
f. Cara Komunikasi yang dilakukan: Perintah, cerita, curhat, informatif
D.
Manfaat Penelitian
1. Data hasil penelitian ini bisa digunakan sebagai informasi dan
masukan bagi masyarakat dalam berkomunikasi khususnya dengan
orang gangguan mental.
2. Data hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah perkembangan
teori komunikasi khususnya komunikasi interpersonal.
12
E.
Kerangka Teori
1. Komunikasi
Riswandi (2009:1) memaparkan 6 definisi komunikasi dari para
ahli yaitu:
a. Carl Hovland, Janis & Kelley, komunikasi adalah suatu proses melalui
dimana seseorang (komunikator) menyampaikan stimulus(biasanya
dalam bentuk kata-kata) dengan tujuan
mengubah atau membentuk
perilaku orang-orang lainnya (khalayak).
b. Bernard Berelson & Gary A.Steiner, Komunikasi adalah suatu proses
penyampaian informasi, gagasan, emosi, keahian, dan lain-lain melalui
penggunaan simbol-simbol seperti kata-kata, gambar, angka-angka, dan
lain-lain.
c. Harold Laswell, komunikasi pada dasarnya merupakan suatu proses
yang menjelaskan “siapa” “mengatakan “apa” “dengan saluran apa”,
“kepada siapa”, dan “dengan akibat apa” atau “hasil apa”
d. Barnlund, komunikasi timbul didorong oleh kebutuhan-kebutuhan untuk
mengurangi
rasa
ketidakpastian,
bertindak
secara
efektif,
mempertahankan atau memperkuat ego.
e. Weafer, komunikasi adalah seluruh prosedur melalui mana pikiran
seseorang dapat mempengaruhi pikiran orang lainnya.
f. Gode, komunikasi adalah suatu proses yang membuat sesuatu dari
semula yang dimiliki oleh seseorang (monopoli seseorang) menjadi
dimiliki oleh dua orang arau lebih.
13
Semua definisi di atas pada dasarnya memiliki makna yang sama
yaitu penyampaian pesan dari pihak satu ke pihak lainnya. Pihak atau
pelaku komunikasi bisa jadi seorang individu, kelompok, oraganisasi,
perusahaan, atau Negara. Pesan yang disampaikan dapat berupa verbal
(kata-kata) atau non verbal (simbol/bahasa tubuh) sehingga dapat
disimpulkan sebuah interaksi yang mengandung pesan dari pihak satu ke
pihak lainnya bisa diartikan “komunikasi”.
Alo Liliweri (2013:5-6) mengatakan bahwa dari berbagai sumber
definisi komunikasi, komunikasi sebagai aktifitas melibatkan:
1. Sumber komunikasi.
2. Pesan komunikasi yang berbentuk verbal dan non verbal.
3. Media atau saluran sebagai sarana-wadah-> tempat pesan atau
rangkaian pesan dialihkan.
4. Cara, alat, atau metode untuk memindahkan pesan.
5. Penerima atau sasaran yang menerima komunikasi
6. Tujuan dan maksud komunikasi.
7. Rangkaian kegiatan antara sumber atau pengirim dengan
sasaran atau penerima.
8. Situasi komunikasi.
9. Proses komunikasi, yakni proses satu arah, interaksi dan proses
transaksi.
10. Pemberian makna bersama atas pesan dari sumber
penerima yang terlibat dalam komunikasi.
dan
14
11. Pembagian pengalaman atas pesan yang dipertukarkan dari
sumber dan penerima yang terlibat dalam komunikasi.
Dari yang disebutkan Alo Liliweri di atas ditemukan unsur yang
sama dari definisi komunikasi yang dikatakan Laswell. Yaitu komunikasi
melibatkan sumber komunikasi, pesan apa, cara apa, kepada siapa dan efek
apa. Bisa dibilang komunikasi bisa terjalin jika mengandung unsur yang
dikatakan Laswell. Dan akan lebih efeketif jika komunikasi mengandung
banyak unsur seperti yang dikatakan Alo Liliweri.
Masih menurut Alo Liliweri (2013:18) komunikasi secara umum
memiliki lima fungsi yaitu:
1. Sumber atau pengirim menyebarluaskan informasi agar dapat
diketahui penerima.(informasi)
2. Sumber menyebarluaskan informasi dalam rangka mendidik
penerima.(pendidikan)
3. Sumber
meberikan
instruksi
agar
dilaksanakan
penerima.(instruksi)
4. Sumber memengaruhi konsumen dengan informasi yang
persuasif untuk mengubah persepsi, sikap dan perilaku
penerima.(persuasi)
5. Sumber menyebarluaskan informasi untuk menghibur sambil
memengaruhi penerima.(menghibur)
Dengan mengetahui fungsi komunikasi kita dapat menetapkan isi
pesan
yang akan
disampaikan sebelumnya. Contoh ketika kita
15
berkomunikasi sebagai instruksi kita akan banyak menggunakan kata
jangan, sebaiknya, seharusnya. Contoh lain, komunikasi sebagai
persuasive maka kita akan menggunakan kata-kata seperti ayo, mari, dan
lainnya yang bersifat mempengaruhi. Dengan mengetahui isi pesan dan
tujuan
kita
berkomunikasi
maka
kegagalan
komunikasi
dapat
diminimalisir.
Selain itu, komunikasi akan semakin efektif jika kedua belah pihak
yang berkomunikasi mengerti dengan bahasa yang digunakan dan tau
makna yang dibicarakan (Onong Ucjana Effendy, 2003:9). Terkait dengan
komunikasi, komunikasi mengandung unsur-unsur di dalamnya. Menurut
Onong Ucjana Effendy (2003:18-19) ada Sembilan unsur komunikasi
yaitu:
1.
Sender: Komunikator yang menyampaikan pesan kepada
seseorang atau sejumlah orang.
2.
Encoding: Penyandian yakni proses pengalihan pikiran ke
dalam bentuk lambing.
3.
Message: Pesan yang merupakan seperangkat lambang
bermakna yang disampaikan oleh komunikator.
4.
Media: Saluran komunikasi tempat berlalunya pesan dari
komunikatorkepada komunikan.
5.
Decoding: Pengawasandian, yaitu proses di mana komunikan
menetapkan makna pada lambing yang disampaikan oleh
komunikator kepadanya.
16
6.
Receiver:
Komunikan
yang
menerima
pesan
dari
komunikator.
7.
Response: Tanggapan, seperangkat reaksi pada komunikan
setelah diterpa pesan.
8.
Feedback: Umpan balik, yakni tanggapan komunikan apabila
tersampaikan atau disampaikan kepada komunikator.
9.
Noise: Gangguan tak terencana yang terjadi dalam proses
komunikasi sebagai akibat diterimanya pesan lain oleh
komunikan yang berbeda dengan pesan yang disampaikan
oleh komunikator kepadanya.
Dengan mengetahui unsur-unsur dalam proses komunikasi maka
akan menjadikan komunikasi lebih efektif. Karena menurut Onong
Uchjana Effendy (2003:19) Unsur-unsur komunikasi di atas adalah faktorfaktor kunci dalam komunikasi efektif. Menurutnya komunikator harus
mengetahui khalayak mana yang dijadikan sasaran dan tanggapan apa
yang diinginkannya. Ia harus terampil dalam menyandi pesan dengan
memperhitungkan bagaimana komunikan sasaran biasanya menguasai
sandi pesan. Komunikator harus mengirimkan pesan melalui media yang
efisien dalam mencapai khalayak sasaran (Onong Uchjana Effendy,
2003:19)
17
2. Komunikasi Interpersonal
Charles R. Berger, Micahel E. Roloff, David R. RoskosEwoldsenpada
buku
Handbook
Ilmu
Komunikasi
(2014:213)
mendefinisikan komunikasi interpersonal yaitu Interpersonal commication
is a complex, situated social process in wich people who have established
a communicative relationship exchange messages in an effort to generate
shared meanings and accomplish social goals (Komunikasi interpersonal
adalah proses sosial berkait konteks, rumit, yang didalamnya orang-orang
yang telah membangun hubungan komunikatif bertukar pesan dalam
upaya untuk menghasilkan makna-makna yang dianut bersama dan
mencapai tujuan sosial).
Effendy dalam skripsi Mayyesa Maya.(2009:10) mengemukakan
bahwa pada hakikatnya komunikasi interpersonal adalah komunikasi
antara komunikator dengan seorang komunikan. Komunikasi jenis ini
dianggap paling efektif dalam hal upaya mengubah sikap, pendapat, atau
perilaku seseorang, karena sifatnya yang dialogis, berupa percakapan.
Arus balik bersifat langsung. Komunikator mengetahui tanggapan
komunikan
ketika
itu
juga,
pada
saat
komunikasi
dilancarkan.
Komunikator mengetahui pasti apakah komunikasinya itu positif atau
negatif, berhasil atau tidak.
De Vito dalam skripsi Mayyesa, Maya.(2009:10 mengatakan
komunikasi interpersonal merupakan pengiriman pesan-pesan dari
18
seseorang dan diterima oleh orang yang lain atau, sekelompok orang
dengan efek dan umpan balik yang langsung.
Alo
Liliweri
(2013:20)
menjelaskan
bahwa
komunikasi
interpersonal adalah komunikasi yang dilakukan oleh 2 atau 3 orang
dengan jarak fisik di antara mereka yang sangat dekat, bertatatap muka
atau bermedia dengan sifat umpan balik yang berlangsung cepat, adaptasi
pesan bersifat khusus, serta memiliki tujuan/maksud komunikasi tidak
berstruktur.
Dari beberapa sumber mngenai Komunikasi interpersonal di atas
ditemukan kesamaan bahwa komunikasi interpersonal bersifat langsung
dan memiliki tujuan. Sehingga bisa dikatakan pada setiap komunikasi
interpersonal pasti memiliki sebuah tujuan tertentu. Komunikasi
interpersonal membutuhkan komunikasi yang efektif agar tujuan lebih
dapat tercapai.
Jalaluddin Rakhmat (2013:127) mengatakan ada 3 hal yang
menumbuhkan komunikasi interpersonal yaitu:
1. Trust (percaya)
Jalaluddin (2013;127) menyebutkan bahwa salah satu faktor
terpenting dalam menciptakan komunikasi interpersonal yang efektif
adalah percaya. Menurutnya jika kita mampu percaya pada orang lain
maka kita akan lebih terbuka pada orang tersebut. Yang pada akhirnya kita
lebih nyaman berkomunikasi dengannya. Contoh, ketika kita mendapatkan
tugas kelompok dengan murid baru maka kita akan merasa tidak nyaman
19
karena belum percaya, sedangkan jika kerja kelompok dengan sahabat
sendiri sudah tentu lebih nyaman dibandingkan dengan murid baru. Maka
jujur dan terbuka ketika berkomunikasi adalah gerbang awal agar orang
menaruh
rasa
percaya
pada
kita,
sehingga
terjalin
komunikasi
interpersonal yang baik.
2. Sikap Suportif
Jalaluddin (2013-132) mengartikan sikap suportif adalah sikap
yang
mengurangi
sikap
defensif
dalam
komunikasi.
Jalaluddin
menjelaskan sikap defensif merupakan hal yang dapat membuat gagal
sebuah komunikasi. Sikap defensif adalah sikap yang tidak menerima,
tidak jujur dan tidak empatis (Jalaluddin, 2013:132). Maka hindari sikap
defensif ketika berkomunikasi. Karena hal ini hanya akan menciptakan
komunikasi yang tidak efektif. Hindari hal-hal seperti ingin mengontrol
lawan bicara, mengevaluasi dan mendominasi pembicaraan. Kita harus
lebih banyak berempati dan menghargai lawan bicara.
3. Sikap terbuka
Yaitu sikap yang mau menerima pemikiran-pemikran dari berbagai
sudut pandang. Orang yang tidak mau melihat sudut pandang dari orang
lain adalah orang egois. Ia hanya peduli dari pemikirannya sendiri.
Sehingga ketika berkomunikasi dapat menimbulkan kesalahpahaman
maupun pemaksaan kehendak. Dengan mau membuka pikiran kita
terhadap pemikiran orang lain maka kita mebuka hal-hal baru untuk kita.
Memang tidak semua hal baru kita telan mentah-mentah, namun
20
setidaknya kita menghargai apa yang disampaikan orang lain. Carl Rogers
dalam buku psikologi komunikasi (2013:136) mengatakan when someone
understands how it feels and seems to be, without wanting to anlyze me or
judge me, then I can blossom and grow in that climate.(Bila orang lain
memahami bagaimana perasaan dan pandangan saya, tanpa berkeinginan
untuk menganalisis atau menilai saya, barulah saya dapat tumbuh dan
berkembang pada iklim seperti itu.
Dari ketiga hal yang dipaparkan Jalaluddin di atas, ia menekankan
pada satu hal yaitu kejujuran. Pada dasarnya untuk menumbuhkan
komunikasi interpersonal kita berfokus pada kejujuran sehingga siapapun
mampu menaruh rasa percaya pada kita. Nantinya bermanfaat untuk
membuat
komunikasi
interpersonal
lebih
efektif.
Namun
dalam
komunikasi interpersonal konflik selalu ada, menurut Putnam & Wilson
yang dikutip oleh Qin Zhang; Michael, Andreychick; David, A Sapp &
Colleen, Arendt dalam jurnal internasional berjudul The Dynamic
Interplay of Interaction Goals, Emotion, and Conflict Styles: Testing a
Model of Intrapersonal and Interpersonal Effects on Conflict Styles,
mereka menyebutkan Conflict is a central and inevitable aspect of social
life. Broadly conceptualized as an interactional. Yang pada intinya konflik
merupakan salah unsur atau jalan untuk mencapai tujuan dalam
komunikasi interpersonal.
Kemudian komunikasi interpersonal juga berimplikasi terhadap
organisasi dan budaya seperti yang disebutkan Jalan Willem yaitu
21
Implications for School Principals In connection with the research findings
indicate that interpersonal communication, organizational culture, job
satisfaction, and achievement motivation affect the organizational
commitment, the principal can make efforts to improve the organizational
commitment
dalam
jurnal
internasional
berjudul
The
Effect
of
Interpersonal Communication, Organizational Culture, Job Satisfaction,
and Achievement Motivation to Organizational Commitment of State High
School Teacher in the District Humbang Hasundutan, North Sumatera,
Indonesia.
Sehubungan dengan komunikasi interpersonal, Julia Wood
(2013:23-29) menyebutkan ada delapan ciri dari komunikasi interpersonal
yaitu:
1. Selektif: Komunikasi interpersonal tidak bisa dilakukan dengan
semua orang. Kita tentu akan memilih-milih orang, karena
komunikasi interpersonal memerlukan lebih banyak energy,
waktu dan usaha yang kita berikan pada orang lain
2. Sistemis: Komunikasi interpersonal dipengaruhi oleh sistem,
situasi, waktu, masyarakat, budaya, latar belakang personal dan
sebagainya. Kita dapat menggabungkan semua sistem tersebut
untuk memahami dinamika komunikasi interpersonal, namun
kita mesti memahami seluruh sistem tersebut saling berkaitan
dengan kata lain tiap bagian dalam sistem komunikasi saling
terkait satu sama lain.
22
3. Unik: Mengutip dari Nicholson dalam buku komunikasi
interpersonal. Setiap orang selalu unik, begitu pula dengan
persahabatan. Sekelompok sahabat pasti menciptakan pola unik
sendiri dan bahkan istilah-istilah yang hanya dimiliki oleh
kelompok mereka sendiri. Berdasarkan hal tersebut maka setiap
komunikasi
interpersonal
adalah
unik
karena
kita
berkomunikasi pada orang yang berbeda-beda dengan keunikan
mereka masing-masing.
4. Processual: Komunikasi interpersonal adalah proses yang
berkelanjutan. Komunikasi interpersonal akan berkembang
seiring berjalannya waktu. Hubungan komunikasi interpersonal
dapat menjadi renggang atau lebih dekat nantinya, tergantung
bagaimana komunikasi interpersonal tersebut berlangsung.
5. Transaksional: Komunikasi interpersonal adalah hubungan
timbal balik, sifat komunikasi interpersonal berdampak pada
tanggung jawab komunikator untuk menyampaikan pesan
secara jelas.
6. Individual: Komunikasi interpersonal hanya terjadi jika kita
dapat memahami diri sendiri sebagai manusia yang unik, kita
belajar untuk memahami ketakutan, harapan, masalah dan
kegembiraan dalam berinteraksi secara utuh bersama orang
lain. Ketika kepercayaan sudah terbangun maka kita bisa
berbagi privasi pada orang lain.
23
7. Pengetahuan personal: Komunikasi Interpersonal membantu
perkembangan pengetahuan personal dan wawasan kita
terhadap interaksi manusia. Ketika berinterkasi kita membuka
pemahaman terhadap kepribadian orang lain. Kita dapat belajar
dan mengetahui karakter seseorang.
8. Menciptakan makna: Mengutip Duck dalam buku Komunikasi
Interpersonal inti dari komunikasi interpersonal adalah berbagi
makna dan informasi antara dua belah pihak. Dalam
berkomunikasi kita dapat bertukar pikiran, yang didalamnya
mengandung pesan, tujuan dan makna yang ingin dicapai.
Selain ciri-ciri komunikasi interpersonal Julia Wood juga
menyebutkan delapan prinsip komunikasi interpersonal (2013:30) yaitu:
1. Kita tidak mungkin hidup tanpa berkomunikasi, maksudnya
adalah dimana ada manusia pasti ada komunikasi. Manusia
tidak dapat menghindari komunikasi ketika berada dalam
kelompok karena kita saling menginterpretasikan apa yang
dilakukan oleh manusia lainnya.
2. Komunikasi Interpersonal adalah hal yang tidak dapat diubah,
ketika kita mengatakan sesuatu terhadap orang. Maka kata-kata
tersebut tidak dapat ditarik kembali. Jadi berhati-hati ketika
akan berbicara usahakan untuk tidak menyesal setelah
mengatakannya.
24
3. Komunikasi Interpersonal melibatkan masalah etika, mengutip
Richard Johanessen dalam buku komunikasi interpersonal
(2013:31) komunikasi yang beretika terjadi ketika seseorang
menciptakan
hubungan
yang
seimbang
dan
saling
mencerminkan sikap empati. Maka gunakan etika ketika
berkomunikasi interpersonal.
4. Manusia menciptakan makna dalam komunikasi interpersonal,
manusia menciptakan makna dalam proses komunikasi, proses
pemaknaan muncul dari bagaimana kita menginterpretasikan
komunikasi.
5. Metakomunikasi
memengaruhi
pemaknaan,
kata
metakomunikasi berasal dari kata metayang berarti tentangdan
komunikasi jadi artinya berkomunikasi tentang komunikasi.
Maksudnya, kita berbicara baik verbal maupun nonverbal
mngenai apa yang kita rasakan atau apa yang lawan bicara kita
perlihatkan. Misalnya, “apakah aku terlalu keras ?” , “apakah
kamu sedang marah?”
6. Komunikasi
Interpersonal
menciptakan
hubungan
yang
berkelanjutan, Komunikasi adalah interpersonal adalah cara
utama membangun dan memperbaiki sebuah hubungan.
7. Komunikasi tidak dapat menyelesaikan semua hal, komunikasi,
Julia mengatakan komunikasi interpersonal bukanlah tongkat
ajaib yang dapat menyelesaikan semua masalah. Terkadang ada
25
hal yang tidak perlu kita komunikasikan kepada orang lain.
Seberapa efektif komunikasi tergantung dari situasi yang
terjadi dalam sebuah kebudayaan.
8. Efektifitas Komunikasi Interpersonal adalah sesuatu yang dapat
dipelajari, pada dasarnya semua hal dapat dipelajari termasuk
cara berkomunikasi yang baik agar tercipta komunikasi yang
efektif.
3.Teori Kepribadian
Paulus Budiraharjo dalam skripsi (Mayyesa, Maya. 2009:11)
mengutip dari B.F.Skinner, kepribadian manusia adalah sekelompok polapola kebiasaan yang menjadi ciri khas suatu individu.
Bisa dikatakan berdasarkan pengertian di atas, kebiasaan-kebiasaan
yang kita lakukan sehari-hari dapat membentuk kepribadian kita. Sehingga
faktor lingkungan bisa sangat berpengaruh terhadap kepribadian
seseorang. Faktor pergaulan juga bisa mempengaruhi kepribadian
seseorang karena interaksi dengan orang-orang tertentu dengan jangka
waktu yang lama tentu akan membuat sebuah kebiasaan yang jelas
berpengaruh terhadap kepribadian seseorang.
Faktor lain yang sangat berpengaruh adalah faktor keluarga, tidak
bisa dipungkiri ini adalah lingkungan dan pergaulan seorang individu yang
pertama. Jadi perannya sangat vital dalam membentuk kepribadian
seseorang. Ini membuktikan dengan siapa kita berkomunikasi bisa
26
merubah perilaku seseorang seperti yang dikatakan Joyee S. Chatterjee,
Anurudra Bhanot, Lauren B. Frank, Sheila T. Murphy, & Gerry Power
dalam jurnal internasional berjudul
The Importance of Interpersonal
Discussion and Self-Efficacy in Knowledge, Attitude, and Practice Models
yaitu Not only is interpersonal discussion important, but the target others
with whom that discussion occurs are also important for predicting
behavioral change.
Mengutip dalam situs pengertianku.net, disebutkan pengertian
Kepribadian dari beberapa ahli, yaitu:

Menurut, Theodore R. Newcombe – Kepribadian adalah organisasi
sikap-sikap yang dimiliki seseorang sebagai latar belakang
terhadap perilaku.

Lalu menurut, Yinger – Kepribadian adalah keseluruhan perilaku
dari seorang individu dengan sistem kecenderungan tertentu yang
berinteraksi dengan serangkaian instruksi.

Sedangkan menurut, Cuber – Kepribadian adalah gabungan
keseluruhan dari sifat-sifat yang tampak dan dapat dilihat oleh
seseorang.
Sudah sangat jelas dengan ditambah tiga pengertian di atas dapat
disimpulkan kepribadian pada umumnya adalah perilaku seorang individu
yang ia lakukan secara terus-menerus sehingga menjadikan hal itu yang
mencirikan diri yang khas dari suatu individu.
27
Mattew Olson dan Hergenhahn dalam buku pengantar teori-teori
kepribadian (2013-3) menyebutkan ada tujuh faktor yang mempengaruhi
kepribadian yaitu:
1. Genetik, mengutip dari Tellegen dalam buku teori kepribadian
(2013:5) bahwa genetik merupakan satu-satunya variable
paling berpengaruh bagi penentuan kadar sifat kepribadian
yang dimiliki seseorang seperti rasa sejahtera, kemampuan
bersosialisasi, prestasi, agresi dan tradisionalisme.
2. Sifat-sifat,
menurut
Mattew
dan
Hergenhahn
(2013:6)
mengatakan banyak teorisi yakin jika sifat atau pembawaan
yang dimiliki seseorang relative konstan di seluruh hidupnya
dan karena itulah perilaku manusia akan cenderung konsisten
di sepanjang waktu.
3. Pengaruh Sosial-Budaya, situasi dimana seseorang lahir dan
dibesarkan (seperti jenis budaya, lingkungan masyarakat dan
keluarga) memiliki dampak yang besar bagi kepribadian
(Mattew dan Hergenhahn, 2013:7)
4. Pembelajaran, Mattew dan Hergenhahn (2013:8) menyebutkan
bahwa kita bisa menjadi seperti sekarang karena hal-hal yang
sudah memberi kita penghargaan dan penghukuman. Artinya
jika sejarah penghargaan dan penghukuman kita berberda maka
berbeda pula kepribadian kita.
28
5. Pertimbangan Eksistensial-Humanistik, Tak peduli di kondisi
apa anda temukan diri anda berada, atau pengalaman yang anda
miliki, pada akhirnya andalah yang memberikan makna-makna
ke hal ini apapun itu.(Mattew dan Hergenhahn, 2013:9). Bisa
dikatakan apapun lingkungan atau faktor eksternal yang
mempengaruhi orang, tetap orang tersebut yang menentukan
kepribadian dirinya sseperti apa.
6. Mekanisme Bawah-Sadar, menurut Mattew dan Hergenhahn
(2013:10) kepribadian
seseorang tidak
ditentukan oleh
kesadaran namun oleh otak bawah sadar yang harus diselami
agar dapat terlihat oleh kesadaran kita.
7. Proses-proses Kognitif, Mattew dan Hergenhahn (2013:10)
mengatakan bahwa banyak teori kognitif yang menitikberatkan
perilaku dan tidak mengindahkan pentingnya masa lalu.
Maksud Mattew dan Hergehahn di sini adalah kepribadian
dapat terbentuk lebih karena perilaku-perilaku yang dijalanii
individu setiap harinya, atau dengan kata lain proses dari waktu
ke waktu.
Mattew
dan
Hergehahn
(2013:11)
menyimpulkan
bahwa
kepribadian adalah gabungan dari elemen-elemen di atas, karena hampir
semua teori mengandung elemen tersebut.
29
Selain elemen, Menurut Karl Jung yang dikutip oleh Hergehahn
dan Mathew Olson dalam pengantar teori kepribadian (2013:129-131)
kepribadian dibentuk oleh berbagai komponen yaitu:
1. Ego: ego adalah dimana kita dalam keadaan sadar atau hidup di
alam kesadaran.
2. Bawah-Sadar Pribadi, terdiri atas bahan-bahan yang awalnya
disadari kemudian direpresi atau dilupakan atau sejak awal
memang tidak begitu jelas untuk bisa diserap kesadaran.
3. Bawah
Sadar
Kolektif,
mencerminkan
pengalaman-
pengalaman kolektif yang dimiliki di masa lalu evolusi
manusia.
Masih menurut karl Jung yang dikutip Hergehahn dan Mathew
dalam buku pengantar teori kepribadian (2013:140-143) ada delapan tipe
kebribadian yaitu:
1. Berpikir-Ekstrover: Realitas objektif mendominasi, begitu pula
fungsi berpikirnya. Individu seperti ini hidup berdasarkan
aturan yang baku dan berharap setiap orang melakukan yang
sama.
2. Merasa-Ekstrover: Realitas objektif mendominasi, begitu pula
fungsi merasa. Individu ini akan bersikap sesuai perasaan yang
diharapkan orang lain pada dirinya di setiap situasi.
30
3. Mengindra-Ekstrover: Realiats objektif mendominasi, begitu
pula fungsi mengindra. Individu yang realis dan peduli hanya
ke fakta-fakta objektif.
4. Mengintuisi-Ekstrover: Realitas objektif mendominasi, begitu
pula fungsi mengintuisi. Individu ini melihat ke luar realitas
ribuan kemungkinan. Irasional dan kurang peduli terhadap
logika.
5. Berpikir-Introver: Realitas subjektif mendominasi, begitu pula
fungsi berpikir. Individu ini akan mengikuti pikirannya sendiri
tak peduli tidak konvesional atau bahayanya bagi orang lain. Ia
lebih subjektif daripada objektif.
6. Merasa-Intover: Realitas subjektif mendominasi, begitu pula
fungsi merasa. Individu ini berfokus ke perasaan yang
disediakan oleh pengalaman, realitas objektivitas penting hanya
sejauh ia memberinya gambaran-gambaran mental subjektif
yang dialami dan dinilai secara pribadi.
7. Mengindra-Introver: Realitas subjektif mendominasi, begitu
pula fungsi mengindra. Tipe ini banyak dimiliki seniman, yang
mengandalkan kemampuan indrawi untuk memberi mereka
makna subjektif.
8. Mengintuisi-Introver: Realitas subjektif mendominasi, begitu
pula fungsi megintuisi. Tipe ini implikasi dari gambaran-
31
gambaran mental internal dieksplorasi besar-besaran. Tipe ini
yang paling menutup diri, menjaga jarak dan disalahpahami.
4. Komunikasi Konseling
Andi Mappiare (1992:12) menyebutkan bahwa komunikasi
konseling adalah upaya bantuan sehingga individu menemukan jalannya
sendiri, atau individu menemukan jawaban terhadap pertanyaan yang
dihadapinya, atau dapat berbuat sesuatu, atas upaya dalam konseling.
John McLeod (2008:16) mengartikan komunikasi konseling adalah
aktifitas yang muncul ketika seseorang bermasalah mengundang dan
mengizinkan orang lain untuk memasuki hubungan tertentu diantara
mereka.
Hartono dan Boy Soedarmadji dalam buku psikologi konseling
(2013:26) menjelaskan ada dua jenis komunikasi konseling, konvesional
dan modern, Komunikasi Konseling konvesional adalah pelayanan
professional yang diberikan oleh konselor kepada konseli secara tatap
muka agar konseli dapat mengembangkan perilakunya ke arah lebih maju,
pelayanan konseling bersifat kuratif dalam arti penyembuhan.
Kemudian
komunikasi
konseling
modern
adalah
hasil
perkembangan konseling dalam abad teknologi, sehingga proses konseling
dipengaruhi
oleh
kemajuan
teknologi
khususnya
informatika.(Hartono dan Boy Soedarmadji, 2013:28)
teknologi
32
Sedangkan Pietrofesa yang dikutip oleh Andi Mappiare dalam
buku Pengantar Konseling dan Psikoterapi(1992:16) mendefinisikan
komunikasi konseling secara ringkas, yaitu:
a. Komunikasi Konseling adalah suatu layanan professional yang
disediakan oleh konselor berwenang.
b. Komunikasi konseling adalah suatu proses yang terjadi atas
dasar hubungan konselor-klien.
c. Komunikasi Konseling adalah berurusan dengan ketrampilan
pembuatan keputusan dan pemecahan masalah.
d. Komunikasi Konseling menjadikan klien mempelajari tingkahlaku atas sikap-sikap baru.
e. Komunikasi Konseling adalah upaya bersama dua pihak
konselor dan klien, dan konseling berlandas pada penghargaan
terhadap individu.
f. Komunikasi Konseling tidak dapat dibatasi secara tegas karena
ini merupakan sesuatu yang dinamis, namun ada ketrampilan
yang lazim dipakai bagi hubungan bantuan seperti itu.
g. Komunikasi Konseling adalah suatu pandangan hidup.
Dari pengertian Komunikasi Konseling di atas dapat dijelaskan
bahwa Komunikasi Konseling pada intinya adalah komunikasi antar
individu dimana individu yang pertama mencoba membantu individu
lainnya sehingga individu tersebut dapat mengatasi masalah yang
33
dihadapi. Dimana individu yang membantu memiliki keahlian atau
profesional. Ini sejalan dengan yang dikatakan Brtitish Association
Counselling (BAC) yang dikutip oleh John McLeod dalam buku pengantar
Konseling teori dan studi kasus (2008:5) bahwa tugas konseling adalah
memberikan kesempatan kepada klien untuk mengeksplorasi, menemukan
dan menjelaskan cara hidup lebih memuaskan dan cerdas dalam
menghadapi sesuatu. Sehubungan dengan konseling, dalam buku
Pengantar Konseling dan Psikoterapi (1992:17) Pietrofesa yang dikutip
oleh Andi Mappiare menyebutkan bahwa ada 6 unsur komunikasi
konseling, yaitu:
a. Suatu proses
b. Adanya seseorang yang dipersiapkan secara professional
c. Membantu orang lain
d. Untuk pemahaman diri, pembuatan keputusan dan pemecahan
masalah
e. Pertemuan dari hati ke hati antarmanusia
f. Hasilnya sangat bergantung pada kualitas hubungan.
Komunikasi konseling tentunya memiliki tujuan, Hartono dan Boy
Soedarmadji dalam bukunya psikologi konseling (2013:30) menyebutkan
tujuan secara umum komunikasi konseling secara umum adalah agar
konseli dapat mengubah perilakunya ke arah yang lebih maju (progressive
34
behavior changed), melalui terlaksananya tugas-tugas perkembangan
secara optimal, kemadirian dan kebahgiaan hidup.
John McLeod juga menyebutkan tujuan komunikasi konseling
(2008:13) ada 15, yaitu:
1. Pemahaman: yaitu ada pemahaman terhadap akar dan
perkembangan kesulitan emosional.
2. Berhubungan dengan orang lain: menjadi lebih mampu
membentuk dan mempertahankan hubungan yang bermakna
dan memuaskan orang lain.
3. Kesadaran diri: menjadi lebih peka terhadap pemikiran dan
perasaan yang selama ini ditahan atau ditolak.
4. Penerimaan diri: pengembangan sikap positif terhadap diri
yang ditandai oleh kemampuan menjelaskan pengalaman yang
selalu menjadi subjek kritik diri dan penolakan.
5. Aktualisasi diri dan individuasi: pergerakan ke arah pemenuhan
potensi dan penerimaan integrasi bagian diri yang sebelumnya
saling bertentangan.
6. Pencerahan:
Membantu
klien
mencapai
kondisikesdaran
spiritual yang lebih tinggi
7. Pemecahan masalah: Menemukan pemecahan problem tertentu
yang tak bisa dipecahkan oleh klien seorang diri.
8. Pendidikan psikologi: Membuat klien mampu menangkap ide
dan teknik untuk memahami dan mengontrol tingkah laku.
35
9. Memiliki ketrampilan sosial: Mempelajari dan menguasai
ketrampilan sosial dan interpersonal.
10. Perubahan kognitif: Modifikasi atau mengganti kepercayaan
yang tak rasional.
11. Perubahan tingkah laku: Modifikasi atau mengganti tingkah
laku yang maladaptif atau merusak.
12. Perubahan sistem: memperkenalkan perubahan dengan cara
beroperasinya sistem sosial.
13. Penguatan: berkenaan dengan ketrampilan, kesadaran, dan
pengetahuan yang akan membuat klien mampu mengontrol
hidupnya.
14. Restitusi: mambantu klien membuat perubahan kecil terhadap
perilaku yang merusak.
15. Reproduksi dan aksi sosial: menginspirasikan dalam diri
seseorang hasrat dan kapasitas untuk peduli terhadap orang
lain.
36
F. Kerangka Pemikiran
Kerangka pemikiran yang melandasi penelitian ini adalah teori
Pengondisian klasik milik Ivan Petrovich Pavlov. Ivan Pavlov yang
dikutip oleh Lawrence dan Daniel dalam buku Kepribadian: teori dan
penelitian (2012:136) mengatakan pengondisian klasik adalah proses
dimana stimulus yang awalnya netral (yaitu organisme awalnya tidak
merespons dalam perilaku) kemudian menghasilkan respons.
Kemudian Pavlov yang dikutip oleh Koswara juga menyimpulkan
dalam buku teori-teori kepribadian (1991:79) bahwa respons atau tingkah
laku organisme bisa dikondisikan dan organisme bisa memiliki respon
tertentu melalui stimulus atau pembelajaran.
Hal ini yang mendasari peneliti melakukan penelitian di Yayasan
Sinai, dimana tingkah laku/kepribadian orang dengan gangguan mental
dapat dibentuk, yaitu dengan stimulus yang dilakukan relawan yang
berupa komunikasi interpersonal terhadap orang dengan gangguan mental
(organisme) sehingga menghasilkan reaksi atau tingkah laku (respons).
37
Relawan
Melakukan
Komunikasi
Interpersonal
Berupa
Perintah
Cerita
Curhat
Informatif
Terhadap
Orang Dengan
Gangguan Mental
Penanganan
Kepribadian
Gambar 4 skema kerangka berpikir
38
Berdasarkan skema diatas, peneliti mendeskripsikan bahwa pola
komunikasi interpersonal relawan yang berupa cerita, curhat, informatif
dan perintah terhadap orang dengan gangguan mental, respon atau
kepribadian seperti apa yang terbentuk nantinya terhadap orang dengan
gangguan mental di Yayasan Sinai Sukoharjo.
G. Metodologi Penelitian
Pengertian Penelitian menurut Sukmadinata dalam bukunya
Metode Penelitian Pendidikan (2005:5) adalah suatu proses pengumpulan
dan analisis data yang dilakukan secara sistematis, untuk mencapai tujuantujuan tertentu. Pengumpulan dan analisis data dilakukan secara ilmiah, baik
bersifat kuantitatif maupun kualitatif, eksperimental maupun noneksperimental, interaktif maupun non-interaktif.
Metode ilmiah akan lebih valid apabila disusun dengan
menggunakan metode yang tepat dan baik. Dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode-metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis adalah jenis penelitian
yang bersifat kualitatif. Penelitian kualitatif (Qualilative Research)
bertolak dari filsafat konstruktivisme yang berasumsi bahwa kenyataan itu
berdimensi jamak, interaktif dan suatu pertukaran pengalaman sosial (a
shared social eperience) yang diinterpretasikan oleh individu-individu.
(Sukmadinata, Syaodih, 2001:94).
39
Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dilakukan dalam situasi
yang wajar atau dalam natural setting. Penelitian kualitatif pada
hakekatnya mengamati orang dalam lingkungan hidupnya, berinteraksi
dengan mereka, berusaha memahami bahasa dan tafsiran mereka tentang
dunia sekitarnya. (Nasution, 1988:5).
Dalam penelitian kualitatif deskriptif, data yang dikumpulkan
terutama berupa kata-kata, kalimat atau gambar yang memiliki arti lebih
daripada sekedar angka atau frekuensi. Peneliti menekankan catatan yang
menggambarkan situasi sebenarnya untuk mendukung penyajian data.
Begitu pula dengan penelitian yang peneliti lakukan, penelitian ini
adalah penelitian deskriptif kualitatif. Peneliti akan menggambarkan,
meringkaskan berbagai kondisi dan berbagai situasi. Dalam penelitian ini
peneliti akan menggambarkan pola komunikasi interpersonal yang
dilakukan relawan terhadap klien di Yayasan Sinai, Sukoharjo.Peneliti
ingin mengetahui bagaimana relawan memperlakukan klien, dan peneliti
juga ingin melihat sudut pandang dari relawan atas pengalaman mereka
merawat orang dengan gangguan mental setiap harinya. Dalam hal ini
peneliti barprinsip pada teori yang diungkapkan Silverman yang dikutip
oleh Afrizal dalam buku Metode Penelitian Kualitatif (2014:30) bahwa
salah satu pertimbangan data yang diambil dalam metode deskriptif
kualitatif adalah adanya makna yang diberikan oleh individu-individu
terhadap sesuatu
atau bagaimana manusia memperoleh makna itu.
Silverman mengatakan bahwa untuk mencapai tujuan penelian deskriptif
40
kualitatif ini peneliti perlu mengumpulkan informasi dari sudut pandang
aktor-aktor. Peneliti akan mengumpulkan informasi mengenai label-label,
stigma-stigma,
atau
argumen-argumen
yang
diberikan
oleh
orang/narasumber terhadap sesuatu.
Peneliti juga berpegang pada teori dari Strauss dan Corbin yang
dikutip oleh Afrizal dalam buku Metode Penelitian Kualitatif (2014:31)
dalam penelitian deskriptif kualitatif, pengalaman orang terhadap sesuatu
juga merupakan pertimbangan data dalam penelitian jenis ini. Sama halnya
dalam penelitian ini, relawan merupakan orang yang berpengalaman dalam
menangani orang dengan gangguan mental di Yasasan Sinai, Sukoharjo.
2. Lokasi Penelitian
Peneliti mengambil Lokasi langsung pada Yayasan Sinai yaitu di
Dk. Kutu Rt.02 /08 Kelurahan Telukan Kecamatan Grogol , Kabupaten
Sukoharjo Jawa Tengah.
3. Sumber Data
a. Data Primer
Menurut Umar yang dikutip oleh Effendy dalam buku Ilmu
Komunikasi dan Praktek, data primer adalah data yang diperoleh
langsung di lapangan oleh peneliti sebagai obyek penulisan. (2003:56).
Data primer dalam penelitian ini didapat dari teknik observasi yang
dilakukan oleh peneliti, dimana peneliti melakukan observasi
41
partisipan. Menurut
Burhan (2011:119) observasi partisipan adalah
pengumpulan data
melalui observasi terhadap objek pengamatan
dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam
aktivitas kehidupan objek pengamatan. Peneliti akan berpartisipasi
langsung dalam interaksi atau kegiatan yang dilakukan olehYayasan
Sinai. Peneliti menggunakanmetode observasi partisipan karena peneliti
ingin melihat dan ikut serta langsung dalam mengangani orang dengan
gangguan mental. Dengan turun langsung, peneliti dapat merasakan apa
yang dilakukan relawan terhadap klien. Sehingga mampu mendapatkan
data dan gambaran yang lebih jelas.
Selain dengan teknik observasi, peneliti juga menggunakan teknik
wawancara mendalam (indepth interview) guna mendapatkan data
primer yang diperlukan. Wawancara
wawancara
mendalam adalah metode
dimana pewawancara dan informan terlibat dalam
kehidupan sosial yang relatif lebih lama (Burhan, 2011:111).
Sedangkan Afrizal (2014:137) mengatakan wawancara mendalam
adalah interaksi sosial informal antara seorang peneliti dengan para
informannya. Taylor
(2014:136)
dalam buku metode penelitian kualitatif
menyebutkan
bahwa
wawancara
mendalam
adalah
wawancara dimana pewawancara perlu mendalami informasi dari
informan, sehingga wawancara mendalam perlu dilakukan berulang
kali. Bukan pertanyaan sama yang diulang-ulang, namun menanyakan
hal yang berbeda berulang kali kepada informan yang sama dengan
42
tujuan klarifikasi informasi yang sudah didapat pada wawancara
sebelumnya atau mendalami hal-hal yang muncul dalam wawancara
yang telah dilakukan sebelumnya dengan informan.
Dengan metode ini peneliti mengadakan tanya jawab langsung
secara berulang dan dalam waktu yang
lama, karena wawancara
mendalam tidak hanya sekedar tanya jawab namun pewawancara juga
berusaha membangun kedekatan dengan informan.Dalam penelitian ini
yang menjadi informan yaitu para relawan yang menangani orang
gangguan mental di Yayasan Sinai Sukoharjo.
b. Data Sekunder
Data sekunder merupakandata yang tidak langsung memberikan data
kepada peneliti, misalnya penelitian harus melalui orang lain atau
mencari melalui dokumen. (Sugiyono, 2005:62). Peneliti mendapatkan
data sekunder terkait penelitian ini melalui buku-buku serta literatur
yang mendukung atau sesuai dengan penelitian ini.
Dokumentasi merupakan salah satu sumber data sekunder yang
digunakan peneliti. Selain itu beberapa referensi yang berupa buku,
jurnal, dan berbagai penelitian terdahulu yang memiliki tema serupa
dengan penelitian ini.
4. Teknik Pengambilan Sampel
Penelitian ini menggunakan metode purposive sampling. Purposive
sampling adalah metode pengambilan informan atau narasumber dimana
43
seorang informan tersebut memiliki kriteria yang sesuai dengan penelitian
yang dilakukan (Afrizal, 2014:140)
Maksudnya, peneliti harus menentukan seperti apa informan yang
akan dijadikan narasumber sebelum melakukan penelitian di lapangan.
Informan tersebut harus memenuhi kriteria yang sesuai dengan penelitian
yang dilakukan. Atau secara sederhana orang yang menjadi informan
tersebut adalah orang yang memiliki informasi yang dibutuhkan dalam
penelitian.
Berdasarkan metode purposive sampling, maka peneliti akan
menentukan terlebih dahulu kriteria informan sebelum terjun ke lapangan.
Dalam penelitian ini yang menjadi kriteria informan adalah relawan yang
berpengalaman atau sudah lama bekerja di Yayasan Sinai. Karena relawan
yang berpengalaman atau sudah lama bekerja akan lebih mengerti kondisi
di lapangan dibandingkan relawan yang baru saja bekerja, sehingga
peneliti akan mendapatkan informasi yang lebih banyak dan dibutuhkan
dalam penelitian ini.
5. Teknik Validitas Data
Validitas data adalah data yang terkumpul dapat menggambarkan
realitas yang ingin diungkapkan oleh peneliti (Afrizal, 2014:167). Dengan
kata lain apakah data yang didapat peneliti di lapangan benar adanya dan
dapat dipertanggung jawabkan.
44
Untuk mencapai validitas data, penelitian ini munggunakan teknik
triangulasi data. Mengutip dalam situs laporanpenelitian.com, Miles &
Huberman( 1984) Triangulasi data dilakukan dengan cara menggunakan
beragam sumber data dalam pengumpulan data. Dengan triangulasi data
ini peneliti bertujuanmenguji data yang diperoleh dari satu sumber untuk
dibandingkan dengan data dari sumber lain. Dari perbandingan tersebut,
peneliti akan sampai pada salah satu kemungkinan: data yang diperoleh
ternyata konsisten, tidak konsisten, atau berlawanan.
Menurut Afrizal prinsip teknik trianggulasi data adalah informasi
mesti dikumpulkan atau dicari dari sumber-sumber yang berbeda agar
tidak bias sebuah kelompok (2014:168).
6. Teknik Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun data yang
diperoleh dari hasil wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain
secara sistematis sehingga mudah dipahami dan temuannya dapat
diinformasikan kepada orang lain (Sugiyono, 2009:244).
Penelitian ini menggunakan analisis interaktif. Menurut Miles dan
Huberman dalam buku metode penelitian kualitatif (2014:178) analisis
interaktif adalah cara analisis data dalam penelitain kualitatif yang
dilakukan secara siklus, dimulai dari tahap satu sampai tiga kembali ke
tahap satu, Tahap tersebut yaitu reduksi data, penyajian data dan
kesimpulan.
45
Tahap reduksi data merupakan tahap pekodingan terhadap data,
yaitu peneliti memberikan nama atau penamaan terhadap hasil peneleitian.
Hasil kegiatan tahap pertama adalah diperolehnya tema-tema atau
klasifikasi dari hasil penelitian. Tema-tema tersebut telah mengalami
penamaan oleh peneliti. Cara melakukannya menurut Miles dan Huberman
dalam buku metode penelitian kualitatif (2014:178) adalah peneliti
menulis ulang catatan-catatan di lapangan dan merangkumnya, apabila
data yang diperoleh dari wawancara yang direkam maka peneliti
mentraskrip hasil rekaman. Setelah semua data dirangkum kemudian
ditulis secara rapi. Selanjutnya peneliti memilah-milah data dan
mengkelompokan data tersebut atau penamaan terhadap interpretasi yang
dibuat.
Tahap berikutnya penyajian data, pada tahap ini data yang telah
dikelompokan tersebut disajikan. Penyajian bisa dalam bentuk naratif,
diagram maupun matrik.
Tahap ketiga adalah penarikan kesimpulan, pada tahap ini peneliti
menarik kesimpulan dari temuan data. Setelah kesimpulan diambil peneliti
mengecek ulang proses koding dan penyajian data untuk memastikan tidak
ada kesalahan yang dilakukan. Setelah ketiga tahap ini dilakukan maka
peneliti telah melakukan temuan penelitian berdasarkan analisis data.
Dengan demikian ketiga tahap tersebut harus terus dilakukan sampai
penelitian berakhir. Berikut gambaran analisis interaktif menurut Miles
dan Huberman dalam bentuk skema.
46
Gambar 5 skema analisis interaktif Miles dan Huberman dalam
buku merode penelitian kualitatif (2014:180)
Download