BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Dalam kehidupan kenegaraan modern, birokrasi memegang peranan penting dalam rangka pemenuhan kebutuhan pelayanan kepada masyarakat. Dengan demikian, maka dapat diformulasikan bahwa masyarakat hanya akan mendapatkan pelayanan publik yang baik, berguna, dan memuaskan jika penyelenggaraannya dilakukan melalui birokrasi modern. Hal ini setidaknya sejalan dengan pandangan Etzioni (1986: 35) bahwa: “Birokrasi dinilai sebagai alat yang paling efektif dalam melaksanakan kebijakan pemerintah apapun. Di negara-negara yang sedang membangun peranan birokrasi yang sudah penting itu semakin bertambah penting dengan dijalankannya pula oleh birokrasi fungsi-fungsi lain di luar policy implementation seperti menjadi artikulator dan agretator kepentingan, menjadi sumber informasi tentang public issues and political events, sehingga mempengaruhi proses penyusunan kebijakan pemerintah, menjalankan sosialisasi politik, menjadi stabilisator politik, menjadi pengendali pembangunan, melakukan pelayanan, dan lain sebagainya.” Pentingnya kehadiran birokrasi menurut Wahyudi Kumorotomo (1992:71) setidaknya didasari oleh tiga alasan, yakni: pertama, pluralisme politik. Diferensiasi pola kehidupan masyarakat mengakibatkan terbentuknya pluralisme politik yang belum pernah terjadi pada jaman sebelumnya. Untuk menjawab aspirasi masyarakat yang beraneka ragam, pemerintah harus melakukan departemenisasi yang sangat luas, dan itu hanya bisa dilaksanakan melalui birokrasi. Kedua, proses konsentrasi. Ini terjadi karena begitu banyak tugas-tugas finansial yang mesti dilaksanakan oleh birokrat sehingga mau tidak mau harus dapat memelihara gerak langkah birokrasi dengan sistem pertanggungjawaban yang pasti. 1 Ketiga, kompleksitas teknologi. Hal ini juga menghendaki dibuatnya pola-pola rasional yang telah menjadi ciri khas birokrasi. Berdasarkan ketiga alasan di atas, maka yang perlu diperhatikan adalah bahwa rasionalitas birokrasi hendaknya tanggap terhadap kehendak serta kebutuhan masyarakat, dan bukan sekedar mengutamakan rasionalitas yang kaku, yang lebih tanggap terhadap kehendak para pejabat. Dalam konteks kehidupan kenegaraan khususnya di Indonesia, persepsi orang tentang birokrasi selalu adalah birokrasi pemerintah dan seringkali diartikan sebagai officialdom atau kerajaan pejabat yaitu suatu kerajaan yang rajarajanya adalah pejabat dari suatu bentuk organisasi yang digolongkan modern (Thoha, 2003:2). Dalam perspektif seperti ini, maka tentu kehendak para pejabat lebih diutamakan ketimbang pelayanan birokrasi yang berkualitas kepada masyarakat. Dengan demikian, maka birokrasi memegang peranan penting dalam penyelenggaraan fungsi pemerintahan. Birokrasi adalah satu-satunya lembaga yang memiliki struktur jaringan terlengkap di seluruh wilayah negara atau daerah, oleh karena fungsinya sebagai alat penyelenggara pemerintahan, keberadaan institusi birokrasi meliputi setiap desa atau kelurahan yang ada dalam suatu negara atau daerah. Dengan demikian, semua sumber kekuasaan yang dimiliki oleh birokrasi itu menjadikan birokrasi sebagai institusi atau lembaga yang dominan dan dibutuhkan oleh semua pihak, atau dengan kata lain, dalam kehidupan negara modern setiap orang ataupun kelompok sudah pasti bergantung pada birokrasi. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat katakan bahwa birokrasi adalah ruh pelayanan publik bagi masyarakat. Walaupun demikian, ruh pelayanan publik pada masa Orde Baru sepertinya mengalami pereduksian sebatas pelayanan kepada pejabat. 2 “Gerak birokrasi” dengan ciri Asal Bapak Senang (ABS) merupakan “buah pahit” yang terpaksa ditelan oleh masyarakat Indonesia, akumulasi “buah pahit” itu meluapkan emosi masyarakat dengan melahirkan reformasi yang dimulai tahun 1998. Salah satu tuntutan dari “gerak masyarakat” itu adalah reformasi birokrasi pada setiap level pemerintahan, baik dari pusat sampai ke daerah-daerah. Dengan demikian gerakan reformasi menghendaki birokrasi memiliki netralitas politik, responsif, akuntabel, dan transparan dalam melakukan pelayanan publik bagi masyarakat. Walaupun demikian, disadari pula bahwa harapan masyarakat tentang adanya pelayanan publik yang baik dan bermanfaat itu belum seluruhnya terwujud. Dalam banyak hal kita masih menemui prosedur pelayanan yang berbelit-belit, lambatnya pelayanan dan korupsi yang mengakar dengan beragam bentuknya dalam birokrasi. Mencermati citra buruk penyelenggaraan pelayanan publik dalam perspektif birokrasi ini memunculkan sebuah asumsi bahwa seolah-olah negara ini (Indonesia) tidak pernah mengalami reformasi 1998. Jika pandangan tentang pelayanan publik yang dilakukan negara dengan birokrasinya diarahkan pada level makro maka yang muncul tentulah penilaian yang negatif. Sebenarnya pada level mikro arah pelayanan publik yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kenegaraan sudah memunculkan wajah yang sedikit memuaskan, walaupun belum semuanya memberikan pelayanan yang berkualitas. Misalnya saja dengan ditetapkannya UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah atau yang sering dikenal dengan UU Otonomi Daerah, telah memberikan ruang gerak yang cukup baik bagi pemerintah desa untuk mengatur diri dan memberikan pelayanan yang prima bagi warganya. 3 Tuntutan reformasi 1998 (yang masih juga tetap diupayakan sampai sekarang) tentang perbaikan kehidupan kenegaraan dan pelayanan kepada masyarakat (dalam makna civil society), juga telah memberikan spirit yang positif kepada Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk melakukan reformasi birokrasi dalam ‘tubuhnya” sendiri. Mencermati Surat Keputusan Kapolri No. Pol SKEP/737/x/2005 tanggal 13 Oktober 2005 tentang kebijaksanaan dan strategi penerapan model Perpolisian Masyarakat (Polmas) dalam penyelenggaraan tugas-tugas Polri, terkesan adanya keterlambatan reformasi dalam tubuh Polri ini. Walaupun demikian, upaya reformasi yang dilakukan perlu didukung, sebab setidaknya ada niat baik yang melandasi kebijakan itu demi memberi pelayanan publik yang lebih baik kepada masyarakat. Fokus penelitian ini, diarahkan pada bentuk reformasi pada tubuh Polri tersebut. namun tidak dalam kerangka melihatnya secara umum bentuk reformasi Polri itu. Fokus utama yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah pembentukan Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) yang merupakan konsekuensi logis dari reformasi Polri tentang pembentukan Polmas. Selain itu, penelitian ini juga mengambil satu lokasi khusus (setingkat desa) sebagai lokasi amatan pelaksanaan peran FKPM dalam menangani dan menyelesaikan masalah-masalah sosial atau kamtibmas. Desa yang dimaksud adalah desa Kaliurang, Kec. Srumbun, Kab. Magelang, Jawa Tengah. Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM) Kaliurang dibentuk tahun 2007 atas prakasa polisi dan pemerintah desa. Dalam proses identifikasi masalah yang dilakukan tahun 2006 oleh pemerintah desa Kaliurang dan Polmas, ditemukan berbagai macam masalah sosial yang sering terjadi, diantaranya: pencurian, perampokan dan penganiayaan, perselingkuhan, narkoba dan minuman keras (miras), dan perkelaihian 4 antar warga, adalah bentuk-bentuk penyelewengan atau perilaku menyimpang dari individu-individu yang terus berulang dan meresahkan masyarakat. Selain itu, permasalahan ini dapat menjadi lebih kompleks akibat masalah-masalah yang ditimbulkan oleh bencana alam. Desa Kaliurang, kabupaten Magelang merupakan desa yang rawan bencana alam karena posisinya (letaknya) yang hanya berjarak 9 kilometer dari Gunung Merapi. Terjadinya bencana alam tentu meninggalkan berbagai permasalahan sosial yang tidak bisa jika hanya dibebankan kepada pemerintah daerah apalagi pemerintah desa. Sehingga hal yang mendesak untuk menanggulangi masalahmasalah itu adalah adanya kebutuhan mensinergikan aktivitas pemerintahan desa dengan kepentingan dan kebutuhan masyarakat agar tercipta kehidupan yang damai dan harmonis.1 Menyeruaknya masalah-masalah yang berkaitan kamtibmas adalah bukti konkrit lenturnya pemahaman masyarakat (warga) akan nilai dan norma atau adat-istiadat setempat. Masalah-masalah sosial seperti ini memang sulit jika proses penyelesaiannya langsung diserahkan polisi yang terlanjur dicitrakan negatif oleh masyarakat, karena sering main hakim sendiri atau “pukul dulu baru tanya.” Dalam perspektif seperti inilah maka tujuan reformasi birokrasi kepolisian yang melahirkan Polmas bertujuan sebagai forum komunikasi polisi dan masyarakat, dan pembentukan FKPM diupayakan dalam rangka memberikan pelayanan dan menyelesaikan masalah-masalah sosial yang muncul 1 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Kaliurang, Ibu Kaptiyah tanggal 18 Mei dan 18 Juli 2012; dan Sekretaris Desa, bapak Suwardi tanggal 1 Mei 2012, masing-masing di kantor desa Kaliurang. Menurut mereka menyeruaknya masalah-masalah sosial itu tidak munkin hanya bisa diselesaikan oleh pemerintah desa (perangkat desa), karena itu ada kebutuhan untuk membentuk semacam forum kemitraan polisi masyarakat yakni FKPM dengan jutuan membantu pemerintah desa dan juga polisi untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial yang berkaitan dengan kamtibmas. 5 dalam masyarakat, tentunya dengan pendekatan yang berbeda, yakni pendekatan kekeluargaan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa masyarakat diberdayakan untuk mampu menyelesaikan masalah-masalah mereka sendiri. Argumentasi ini didasarkan pada pemahaman bahwa yang menjadi anggota atau pengurus FKPM bukan polisi tetapi masyarakat sendiri. Pihak polisi yang bekerjasama dengan berbagai organisasi nonpemerintah (LSM/NGO) hanya bertugas memberdayakan, memberikan penguatan kapasitas baik individu maupun kelembagaan kepada FKPM untuk mampu mengatasi masalah-masalah sosial yang ada di daerahnya masing-masing, dalam hal ini desa Kaliurang.2 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana peran FKPM dalam mengatasi masalah-masalah kemasyarakatan di Desa Kaliurang, Kabupaten Magelang?”. 1.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah: Mendiskripsikan peran FKPM dalam mengatasi masalah-masalah sosial di Desa Kaliurang, Kabupaten Magelang. 2 Hasil wawancara dengan Kades Kaliurang, Ibu Kaptiyah tanggal 12 Mei 2012 di ruang kerjanya. 6 1.4. Manfaat Penelitian Sebagai sebuah tulisan ilmiah, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik teoritis maupun praktis. Secara teoritis, penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan bagi teori kebijakan publik dengan fokus pada penyelenggaraan pelayanan publik yang dilakukan pemerintah (negara) kepada masyarakat yang salah satu bentuknya adalah Forum Kemitraan Polisi Masyarakat (FKPM), agar tercipta sinergisitas pelayanan publik yang baik dengan “tuntutan” kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi menyukseskan kehidupan bersama yang damai, rukun dan harmoni. Sedangkan secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan kontribusi bagi masyarakat tentang kinerja FKPM dalam membantu masyarakat guna menyelesaikan permasalahan-permasalahan sosial kemasyarakatan, dengan pendekatan kekeluargaan. 7