Kata Kunci : Ketuhanan, Politik, Teologi (aliran

advertisement
PERDEBATAN ASPEK-ASPEK KETUHANAN DALAM TEOLOGI
KAITANNYA DENGAN KALIMAT TAUHID DI ALAM MELAYU 1
H. Muhammad Bahar Akkase Teng2
ABSTRAC
Teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi agama Islam. Tapi, istilah ini
dari khazana dan tradisi Gereja Kristiani. Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam
Encyclopaedia of Religion and Religions berarti “ilmu yang membicarakan tentang
Tuhan dan hubunganNya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup
keseluruhan bidang agama”. Teologi Islam belum dikenal pada masa Nabi Muhammad
Saw. dan sahabat-sahabatnya, melainkan baru dikenal pada masa kemudiannya, setelah
ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan setelah orang banyak suka
membicarakan soal-soal alam ghaib atau metafisika
Perdebatan pertama para sahabat, ketika Rasulullah wafat, mereka pikirkan
siapa pengganti atau penerus beliau, kemudian baru pemakamannya. Munculnya reaksi
dan protes politik Islam yang pertama pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin
Affan. Puncak pergerakan politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Perselisihan
yang terjadi anatara Ali bin Abi Thalib dan para penentangnya akan menimbulkan aliranaliran keagamaan dalam Islam, seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah,
Asy’ariyah, Maturidiyah, Ahlussunnah wal Jamaah, Jabariyah, dan Qadariyah. Aliranaliran ini pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu
mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek
sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul
mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan. Dalam
perdebatan teologi dijelaskan : (a)Apakah yang berbuat dosa besar itu divonis kafir atau
musyrik, (b)Tidak kafir dan tidak juga mukmin. (c)Apakah al Quran itu makhluk atau
bukan, Qadim atau Hadisah (d)Apakah sifat Allah itu sama dengan Zat Allah.
Pendidikan dunia Islam ( di Alam Melayu ), sebagian mengadopsi pedidikan
Barat, muncul di dunia Islam golongan terpelajar Barat di samping ulama lulusan
sekolah-sekolah agama. Di kalangan teologi sunnatullah zaman klasik dan kaum ulama
agama masih dipengaruhi oleh teologi kehendak mutlak Tuhan Zaman Pertengahan.
Kaum terpelajar Barat di Indonesia dan di Malaysia masih belum yakin bahwa
keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam suatu usaha tergantung pada ikhtiarnya. Tapi
mereka merasa bahwa qadha dan qadar Tuhan mempunyai peran di dalamnya. Bagi
Masyarakat Indonesia dan masyarakat Malaysia yang mayoritas beragama Islam,
khususnya kaum terpelajar Barat perlu mengadopsi ke dua macam teologi ini yakni
teologi sunnatullah dan teologi kehendak mutlak Tuhan. Bila ke dua teologi ini
digunakan akan menolong peningkatan produktivitas masyarakat itu.
Teologi
berkembang di Indonesia, dewasa ini adalah teologi kehendak mutlak Tuhan, yakni
1
Makalah yang dipresentasekan pada “Seminar Antarabangsa Ke -2 Arkeologi, Sejarah & Budaya Di Alam
Melayu” 26 – 27 November 2013 / 22 – 23 Muharram 1434 H. Institut Alam dan Tamddun Melayu (ATMA) Universiti
Kebangsaan Malaysia Dengan Kerjasama Ikatan Ahli Arkeologi Malaysia.
2
Staf Pengajar Filsafat, Filsafat Sejarah, Sejarah Islam dan Sejarah Timur Tengah pada jurusan Ilmu Sejarah
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin, dan Kandidat Doktor Pemikiran Islam (Filsafat Islam) Universitas Islam
Negeri Alauddin Makassar
1
segalanya telah ditentukan secara langsung dan secara mutlak oleh Tuhan, sehingga hal
tersebut kurang menyokong bagi peningkatan produktivitas.
Kata Kunci : Ketuhanan, Politik, Teologi (aliran), Alam Melayu
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Islam adalah agama yang sejak awal diturunkannya diterima dan
diamalkan oleh masyarakat urban (perkotaan di Mekah dan Madinah). Islam
diterima oleh suatu lapisan masyarakat yang mampu berpikir rasional dan logis.
Masyarakat yang mampu membedakan dan menarik garis pemisah yang tegas
antara nilai-nilai Islam dan nilai-nilai Jahiliyah. Istilah-istilah seperti tauhid dan
musyrik, Islam dan kafir
Pada masa Nabi dan Khulafa’ Rasyidun, memiliki keistimewaan, yakni
periode Madinah sebagai pusat Pemerintahan yang dijiwai ajaran Islam (qur’an
dan hadis). Ilmu-ilmu keislaman yang lain belum tumbuh. Oleh Karena Al-Quran
secara langsung dikaji, digeluti dan direnungkannya maka pemikiran dan
pengalaman Islam tumbuh dan berkembang secara sinkron (serentak) antara zikir,
pikir dan amal perbuatan yang nyata.3 Terjadinya perkembangan serentak dan
saling menjiwai antara iman, Islam, ihsan. Yaitu terjadinya perkembangan
serentak antara keyakinan agama (iman), perbuatan lahiriah (Islam) dan perasaan
moral
spritual (ihsan). Iman memancarkan cahaya Islam dan ihsan secara
serentak. Masalah keyakinan erat hubungannya dengan masalah ketuhanan.
3
.Abdullah, M. Amain , Falsafah Kalam Di Era Post Modernisme, (Cet.1; Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1995),
h.79
2
Problematika ketuhanan merupakan persoalan metafisika yang paling
kompleks dan tua. Pada mulanya, manusia bisa memecahkan secara wajar, yang
kemudian mulai diperdebatkan dan difilsafatkan. Problematika menjadi obyek
kajian dari tokoh agama, ilmuwan dan filosof. Ide ketuhanan ini yakni pemikiran
dan obyek pembahasannya dianggap sebagai pemikiran paling tinggi yang pernah
dicapai oleh manusia.
Untuk menghadapi pemikiran ini, manusia dituntun oleh
masyarakat dan lingkungannya atau bahkan oleh wahyu dan ilham yang
diturunkan kepadanya. 4
Pada umumnya, manusia mengambil keyakinan mereka dari orang
sekelilingnya. Ia mengimani apa yang mereka imani. Di dalam hadis
diriwayatkan oleh Muslim, yang artinya: “Setiap bayi dilahirkan dalam
keadaan fitrah. Kedua orang tuanyalah yang menyebabkan menjadi pemeluk
agama Yahudi atau Nasrani “.
Dalam perspektif pemikiran Islam, ilmu tauhid atau ilmu kalam
memiliki karakteristik, corak dan bentuk
yang khas. Pemikirannya sangat
melekat dengan kondisi social, cultural dan politis, di saat umat Islam sedang
mengembangkan ajarannya. Secara teologis, pemikiran tauhid atau kalam
muncul bersamaan dengan penyikapan umat Islam terhadap ajaran, baik dalam
bentuk pemahaman, penghayatan, dan pengamalan. Oleh karena itu, sejak
awal, terutama setelah Rasulullah SAW, wafat, pemikiran kalam telah muncul.
4
Madkour, I4brahim , Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Cet. 3 ; Jakarta : Bumi Aksara), h. 21
3
Pada awal pemerintahan Ali bin Abi Thalib ra (Ali), muncul beberapa
tantangan dari para sahabat yang tidak senang atas kepemimpinan
Ali,
sekaligus memicu peperangan antara khalifa dan para sahabat. Seperti perang
jamal. Faktor penyulut Perang Jamal ini disebabkan oleh Ali tidak mau
menghukum para pembunuh Usman bin Affan ra (Usman).
Ali sebenarnya
ingin sekali menghindari perang dan menyelesaikan perkara itu secara damai.
Namun, ajakan tersebut ditolak oleh Aisyah, Zubair, dan Talhah. Zubair dan
Talhah terbunuh ketika hendak melarikan diri, sedangkan Aisyah ditawan dan
dikirim kembali ke Mekah. Dan
Perang Siffin
yang berlangsung antara
pasukan Ali melawan tentara Muawiyah bin Abu Sufyan. Kedua peristiwa
inilah yang memicu konflik politik yang berlanjut menjadi perdebatan teologi.
Penulis melihat
bahwa persoalan ketuhanan ini sangat urgen untuk
dibahas, dikeritisi, dipahami melalui sumber ajaran agama Islam, pada masa
kini
4
B. Rumusan dan Batasan Masalah
Berangkat
dari judul dan pembahasan latar belakang yang telah
diuraikan, maka permasalahan yang akan menjadi obyek pembahasan makalah
ini, dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana pengertian dan kemunculan Teologi Islam ?
2. Bagaimana perdebatan teologi Islam dalam kaitannya dengan kalimat
tauhid. ?
3. Bagaimana pandangan teolog dalam konsep ketuhanan masa ini ?
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Kemunculan Teologi Islam
1. Pengertian
Pengertian teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi agama Islam.
Istilah yang diambil dari agama lain, yaitu dari khazana dan tradisi Gereja
Kristiani. Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion
and
Religions
berarti
“ilmu
yang membicarakan
tentang Tuhan
dan
hubunganNya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas mencakup
keseluruhan bidang agama”. Dalam pengertian ini agaknya perkataan teologi
lebih tepat dipadankan dengan istilah fiqhi, dan bukan hanya dengan ilmu kalam
atau ilmu tauhid. Istilah fiqhi di sini bukan dimaksudkan ilmu fiqhi sebagaimana
kita pahami selama ini, melainkan istilah fiqhi seperti yang pernah digunakan
sebelum ilmu fiqhi lahir.
Imam Abu Hanifah, Bapak ilmu fiqhi, menulis buku al Fikhu Al Akbar
yang isinya bukan tentang ilmu fiqhi, tetapi justru tentang aqidah yang menjadi
obyek pembahasan ilmu kalam atau tauhid. Boleh jadi, ilmu fiqhi seperti yang
berkembang sekarang ini dalam rangka pemikiran Imam Abu Hanifah adalah al
Fikhu al Ashghar. Sebab, keduanya – baik ilmu kalam atau ilmu tauhid maupun
ilmu fiqhi – pada dasarnya adalah fiqhi atau pemahaman yang tersistematisasikan.
Yang pertama, menyangkut bidang ushuliyah (tentang yang prinsip atau yang
pokok), sedangkan yang kedua menyangkut bidang furu’iyah (detail atau cabang).
Akan tetapi perjalanan sejarah dan tradisi keilmuan Islam telah menyingkirkan
6
pengertian fiqhi sebagaimana dipergunakan Imam Abu Hanifah. Dengan
menyinggung masalah ini, hanya ingin dikatakan bahwa pemakaian istilah teolgi
mempunyai alasan cukup kuat, sebab ia membantu kita memahami Islam secara
lebih utuh dan lebih terpadu. sentral dalam teologi Islam adalah ide tauhid. Jelas
sekali pembahasan tentang teologi sebagaimana terdapat dalam ilmu tauhid sangat
intelektualistik sifatnya. Lebih-lebih kalau kita memasuki pembahasan yang lebih
rumit, terutama ketika membicarakan sifat-sifat Tuhan, yang selama ini dikenal
sebagai “sifat dua puluh” Dalam membahas sifat dua puluh itu, muncul berbagai
konsep seperti sifat nafsiyah, salabiyah, ma’ani dan sifat ma’nawiyah. Juga
dikemukakan pembahasan tentang kaitan atau ta’alluq sifat-sifat
Tuhan dengan
alam ini, dan muncullah konsep-konsep tentang ta’alluq ma’iyah, ta’alluq ta’tsir,
ta’alluq hukmiyah, ta’alluq bil quwwah, ta’alluq shuluhi qadim, ta’alluq tanjizi
qadim ta’alluq tanjizi hadits.
Kebanyakan dari kita tentu tidak akrab dengan
istilah-istilah atau konsep-konsep tersebut.
Dengan mengemukakan hal itu ingin ditunjukkan betapa jauhnya teologi
yang dibahas dalam buku-buku ilmu Tauhid dengan dunia praktis, dengan
problematika kemanusiaan. Teologi semacam itu adalah teologi yang steril dan
mandul. Ia tidak mempunyai relevansi dengan realitas kehidupan kita. Teologi
semacam itu tidaklah membuahkan elan vital (gairah hidup), ia tidak melahirkan
inner force (kekuatan batin), moral maupun spiritual, yang membuat kita
bergairah dalam aksi untuk membebaskan diri kita dan masyarakat sekitar kita
dari segala bentuk kemusyrikan.
7
Dalam memahami ide tauhid, ada baiknya bila kita memahami apa-apa
yang oleh alQuran dianggap sebagai syirik atau kemusyrikan. Al Quran
mengemukakan dua ciri utama dari kemusyrikan, yakni; pertama, menganggap
Tuhan mempunyai syarik atau sekutu, kedua, menganggap Tuhan mempunyai
andad atau saingan. Kedua ciri utama itu wujud dalam berbagai bentuk
manifestasi.
Kalau kita mendengar perkataan syirik atau kemusyrikan yang segera
terbayang dalam angan-angan kita biasanya penyembahan berhala, seperti
dilakukan para penganut agama-agama “pangan”. Dan memang alQuran sendiri
menyinggung bahkan mengecam orang-orang yang menjadikan berhala sebagai
ilah atau sembahan (QS. 6:74; 7:138; 21:52). Selain berhala, alQuran juga
mengemukakan hal-hal lain yang bisa dijadikan obyek sesembahan selain Tuhan,
misalnya penyembahan benda-benda langit seperti matahari, bulan dan bintang
(QS. 41:37) atau benda-benda mati lainnya (QS. 4:117). Juga disinggung adanya
penyembahan makhluk halus seperti jin (QS. 6:101) atau tokoh-tokoh yang
dipertuhan atau dianggap mempunyai unsur-unsur ketuhanan (QS. 4:117; 5:116;
6:102; 19:82-92; 16:57; 17:40 dan 37:49).
Berkenaan dengan penyembahan berhala, benda-benda langit atau bendabenda mati lainnya, atau penyembahan makhluk halus atau manusia yang
dipertuhan, kiranya dari segi keberagamaan kita sebagai muslim, bukanlah
persoalan yang masih memerlukan perhatian yang lebih banyak. Misalnya sangat
jelas dan karena itu menghindarinya pun mudah. Akan tetapi masalah
kemusyrikan tidak berhenti sampai disitu saja. AlQuran masih mengemukakan
8
hal-hal lain yang berkaitan dengan masalah kemusyrikan, yang lebih halus
sifatnya, terutama berkaitan dengan ciri kemusyrikan yang menempatkan adanya
andad atau saingan terhadap Tuhan, bukan dalam bentuk penyembahan melainkan
dalam bentuk kecintaan (QS. 2:165). Dalam kategori ini bisa dimasukkan juga
sikap ketaatan yang sama sekali tanpa reserve terhadap ulama (QS. 9:31) atau
sikap fanatisme golongan, aliran atau juga organisasi yang berlebih-lebihan (QS.
23:52-53; 30:31-32).
Hal-hal lain yang oleh alQuran dijadikan contoh sebagai saingan Tuhan
dalam kaitannya dengan kecintaan kita adalah keluarga dan kerabat dekat kita,
kekayaan, usaha atau bussiness kita, dan rumah-rumah mewah kita (QS. 9:24).
Selain itu masih ada satu hal lagi yang oleh alQuran disebutkan sebagai “ sesuatu
yang bisa menjadi ilah atau sesembahan kita; “ yaitu bahwa nafsu kita sendiri
(QS. 25:43).
Berbagai
bentuk
manifestasi
kemusyrikan
tersebut,
sebagaimana
dikemukakan alQuran, menunjukkan bahwa masalah kemusyrikan bukanlah
sesuatu yang sederhana, karena itu usaha kita menjadi orang yang benar-benar
bertauhid bukanlah masalah yang mudah. 5
2. Sejarah Teologi Islam
Kepercayaan suatu agama merupakan pokok dasarnya, Islam sebagai
agama, merasa perlu untuk menjelaskan pokok dasar ajarannya dan segi-segi
dakwah yang menjadi tujuannya alQuran dan Hadis Nabi Muhammad S.a.w,
5
Rahman, Budhy Munawar. “Kontekstualisasi Doktrin Islam Dalam Sejarah” Penerbit Para Madina 1995
9
banyak berisi pembicaraan tentang wujud Tuhan, keAgungan dan KeEsaanNya.
AlQuran, terutama, menyebutkan untuk Tuhan sifat-sifat yang banyak sekali, di
mana sebagiannya bertalian dengan Zat Tuhan sendiri, dan sebagiannya lagi
menyatakan macamnya hubungan dengan makhlukNya, seperti mendengar,
melihat, maha adil, menciptakan, memberi rezki, menghidupkan, mematikan dan
sebagainya.
Akan tetapi gaya (uslub) bahasa ayat-ayat alQuran dan hadis tersebut
lebih mendekati kepada gaya percakapan, memberi nasehat dan petunjuk, dari
pada gaya penguraian secara ilmiah. Kita tidak dapat mengatakan bahwa alQuran
dan hadis Nabi Muhammad S.a.w. berisi uraian yang sistimatis tentang
kepercayaan dan meletakkan metode yang lengkap serta mencakup untuk ilmu
Tauhid (Theology Islam). Memang hal ini bukan menjadi tugas Rasul-rasul
(Nabi-nabi) dan mereka yang bekerja dalam bidang perbaikan umat, di mana
perhatian yang utama ditujukan kepada penyiaran dakwah. Penyusunan ilmu yang
semacam itu menjadi tugas para pengikut dan orang-orang yang datang
sesudahnya.
Dengan demikian, maka teologi Islam belum dikenal pada masa Nabi
Muhammad S.a.w. dan sahabat-sahabatnya, melainkan baru dikenal pada masa
kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu mulai muncul dan setelah
orang banyak suka membicarakan soal-soal alam ghaib atau metafisika. Dalam
pada itu teologi Islam tidak sekaligus timbul, dan pada masa awal berdirinya
belum jelas dasar-dasarnya. Baru setelah melalui beberapa fase, maka ia
mengenal berbagai golongan dan aliran, setelah kaum muslimin selama kurang
10
lebih tiga abad lamanya melakukan berbagai perdebatan, baik antara sesama
mereka maupun dengan lawan-lawannya dan pemeluk-pemeluk agama lain, maka
akhirnya kaum muslimin sampai kepada ilmu yang menjelaskan akidahnya dan
juga perincian-perinciannya.6
AlQuran sendiri, sebagai kitab utama agama Islam, menyerukan
pemakaian akal-pikiran dan memperhatikan alam semesta ini dengan pancaindera,
dan mencela dengan keras taklid (ikut-ikutan serta orang-orang yang suka ikutikutan), terutama dalam hal kepercayaan agama. Juga alQuran banyak
menyinggung dan membantah golongan-golongan atheis (dahriyyi), golongan
musyrikin, mereka yang tidak mempercayai keputusan nabi-nabi
dan juga
golongan munafikin yang mengatakan bahwa semua yang terjadi di dunia ini dari
perbuatan Tuhan seluruhnya.
Karena itu kaum muslimin sendiri harus melepaskan akal pikirannya
untuk menggali isi alQuran dan sunnah Rasul sebagai penjelas dan juru
penerangnya alQuran. Setelah Nabi Muhammad S.a.w. wafat, timbul persolan,
siapakah
yang berhak memegang khilafat
(pimpinan kaum muslimin)
sesudahnya?. Dengan berlalunya masa, muncullah apa yang disebut “peristiwa
Ali bin Abi Thalib kontra Usman bin Affan “ yang telah banyak menimbulkan
persengketaan dan perdebatan di kalangan kaum muslimin untuk diketahui siapa
yang benar dan siapa pula yang salah. Pertama yang diperselisihkan ialah soal
“Imamah” (pimpinan kaum muslimin) dan syarat-syaratnya, serta siapa yang
berhak memegangnya. Setelah terjadi pembunuhan atas diri Usman bin Affan r.a.
(th 655 M), timbul perselisihan yang lain, yaitu sekitar persoalan dosa besar, apa
6
Madkur, Ibrahim. “Tarikhul Falsafah” Matba’at Amiriah, tahun 1948
11
hakekatnya dan bagaimana
hukum orang yang mengerjakannya. Apa yang
dimaksudkan dengan dosa besar, mula-mula ialah pembunuhan tersebut.
Kelanjutannya, sudah barang tentu, ialah perselisihan tentang iman, apa
pengertian dan bagaimana dasarnya, serta pertaliannya dengan perbuatan lahir.
Perselisihan ini telah menimbulkan golongan-golongan Khawarij, Murji’ah dan
kemudian lagi golongan Mu’tazilah.
Dengan demikian, maka perselisihan dalam soal dosa besar (pembunuhan)
sudah bercorak agama yang sebelumnya masih bercorak politik dan kemudian
menjadi pembicaraan penting dalam teologi Islam. Sebenarnya lebih dekat tepat
kalau dimasukkan dalam ilmu fiqhi, karena bertalian dengan hukum amalan lahir,
bukan dalam bidang kepercayaan. Akan
tetapi karena pendapat beberapa
golongan Islam dalam soal tersebut hampir-hampir membawa mereka keluar dari
dasar-dasar agama Islam, maka ulama-ulama teologi Islam memasukkan soal-soal
tersebut ke dalam pembahasan teologi Islam, agar bisa dibahas sebaik-baiknya,
lepas dari rasa fanatik dan penguasaan hawa nafsu dan agar jelas batas-batas
antara yang benar dan yang salah, untuk menjaga kemurnian kepercayaan agama. 7
3. Munculnya Aliran-aliran Teologi Islam
Aliran-aliran dalam teologi Islam ini muncul setelah wafatnya Rasulullah
Muhammad SAW, karena begitu sentralnya tokoh seorang pribadi Muhammad
SAW disamping sebagai Nabi, Rasul Beliau juga seorang kepala Negara dan
kepala pemerintahan, ahli Negara (Negarawan), sehingga ketika Beliau wafat
7
Hanafi , A. “Pengantar Theology Islam “ Penerbit Pustaka Al Husna 1987 Jakarta
12
masyarakat Madinah sibuk memikirkan pengganti Beliau untuk mengepalai
negara yang baru lahir itu. Sampai hal ini mengganggu prosesi pemakaman beliau
dan mengganggap pemakaman Nabi merupakan soal kedua bagi mereka waktu
itu. Selanjutnya muncul persoalan ‘Khilafah’ soal pengganti Nabi Muhammad
sebagai kepala Negara.
Sejarah mencatat bahwa Abu Bakar lah yang disetujui oleh masyarakat
Islam diwaktu itu untuk menjadi Khalifah pertama (pengganti Rasul). Kemudian
Abu Bakar digantikan oleh Umar Ibn al-Khattab dan Umar tergantikan oleh
Usman Ibn Affan. Usman termasuk dalam golongan pedagang Quraisy yang kaya,
kaum keluarganya dari golongan masyarakat aristocrat/ bangsawan Mekah yang
memiliki pengalaman dan pengetahuan tentang dagang, admistrasi. Pengetahuan
mereka ini sangat bermanfaat dalam memimpin administrasi daerah- daerah di
luar Semenanjung Arabia yang masuk dibawah kekuasaan Islam.
Ahli sejarah menggambarkan Usman ibn Affan sebagai orang yang lemah
dan tak sanggup mementang ambisi kaum keluarganya yang kaya dan
berpengaruh itu. Tindakan–tindakan politik yang dilakukan Usman ibn Affan
kerap kali mengangkat mereka (kerabat keluarganya) menjadi Gubernur di daerah
yang tunduk kepada kekuasaan Islam. Selanjutnya perasaan tidak senang muncul
di daerah akibat dari tindakan politik yang dilakukan Usman ibn Affan ini. Di
Mesir sebagai reaksi dijatuhkannya Amr ibn Al’As yang digantikan oleh
Abdullah Ibn Sa’d Ibn abi Sarh salah satu anggota kerabat keluarga Usman ibn
Affan
sebagai Gubernur Mesir. 500 pemberontak berkumpul dan kemudian
bergerak ke Madinah.
13
Perkembangan di Madinah selanjutnya membawa persoalan pada
pembunuhan Usman ibn Affan oleh pemuka-pemuka pemberontakan dari Mesir
ini. Setelah Usman ibn Affan wafat, Ali bin Abi Thalib sebagai calon terkuat
menjadi khalifah ke-empat. Tetapi segera setelah memimpin ia mendapat reaksi
dan tantangan dari pemuka-pemuka yang ingin pula menjadi Khalifah terutama
Talhah dan Zubeir dari Mekah yang mendapat sokongan, dorongan dari Aisyah
ra. Tantangan dari Aisyah, Talhah, Zubeir ini dipatahkan Ali bin Abi Thalib
dalam pertempuran yang terjadi di Irak di tahun 656 H. Talhah dan Zubeir mati
terbunuh dalam pertempuran ini dan Aisyah dikirim kembali ke Mekah.
Tantangan (pertempuran/peperangan) kedua datang dari Mu’awiyah.
Gubernur Damaskus dan keluarga yang dekat dengan Usman ibn Affan
sebagaimana halnya Talhah dan Zubeir mereka tidak mau mengakui Ali bin Abi
Thalib sebagai Khalifah. Ia menuntut kepada Ali bin Abi Thalib agar menghukum
pembunuh Usman ibn Affan, bahkan ia menuduh Ali bin Abi Thalib turut andil
dalam pembunuhan itu.
Namun tangan kanan Mu’awiyah, Amr Ibn ash yang terkenal sebagai
orang licik minta berdamai dengan mengangkat al-quran ke atas. Quraisy yang
ada di pihak Ali mendesak Ali bin Abi Thala supaya menerima tawaran itu dan
dicarilah perdamaian dengan mengadakan Arbitrase (Tahkim). Sebagai perantara/
utusan diangkatlah orang-orang kepercayaan yakni: Amr bin Ash dari pihak
Mu’awiyah dan Abu Musa al Asy’ary dari pihak Ali bin Abi Thalib. Ke dua
utusan ini terjadi permupakatan untuk menjatuhkan ke dua tokoh yang
bertentangan itu. Abu Musa al Asy’ari berdiri lebih dahulu mengumumkan
14
putusan menjatuhkan ke dua tokoh ini. Berbeda dengan Amr ibn al ‘Ash,
mengumumkan hanya menyetujui penjatuhan Ali bin Abi Thalib
yang telah
diumumkan al ‘Asy’ari, tetapi menolak penjatuhan Mu’awiyah. 8
Keadaan Ali menerima tahkim (arbitrasi) sungguhpun dalam keadaan
terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian dari tentaranya. Mereka keluar dari barisan
Ali bin Abi Thalib (terkenal dalam sejarah dengan nama Khawarij) dan berbalik
melawan Ali bin Abi Thalib. Dalam peperangan itu kaum Khawarij kalah, tetapi
tentara Ali sangat lemah untuk dapat meneruskan melawan Mu’awiyah. 9
Dari pembahasan di atas penulis dapat melihat bahwa pada waktu itu telah
timbul golongan politik, golongan Ali bin Abi Thalib (Syi’ah), golongan yang
keluar dari barisan Ali bin Abi Thalib (Khawarij), dan golongan Mu’awiyah, yang
kemudian membentuk dinasti Bani Umayyah dan membawa system kerajaan
dalam Islam.
Kaum Khawarij berpandangan bahwa tidak ada putusan oleh arbitrasi
manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum
yang ada dalam alquran
‫ال حكم اال هلل‬
hukum selain dari hukum Allah), atau
. La hukma illa lillah (tidak ada
‫ ال حكم اال هللا‬La hakama illa Allah (
tidak ada pengantara selain dari Allah). Mereka memandang Ali bin Abi Talib
telah berbuat salah dan berdosa.
8
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan , ( Cet. V . Jakarta UI Press 1986)
h.5
9
Harun Nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, (jid. I Jakarta UI Press 2009 ) h.91.
15
Mengapa muncul teologi Islam ?. menurut penulis (pemakalah), salah satu
golongan (Khawarij) mengkafirkan dan menyalahkan golongan yang lain ( Ali bin
Abi Thalib dan Mu’awiyah), karena menerima arbitrasi. Seperti dalam firman
Allah Al-Maidah ;44
‫و من لم يحكم بما ا نزل هللا فا ولئك هم الكا فر و ن‬
.yang artinya “ Dan barang siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa
yang telah diturunkan Allah, adalah kafir”.
Dalam perkembangannya, kaum khawarij pecah menjadi beberapa sekte.
Konsep kafir turut pula mengalami perobahan. Yang dipandang kafir bukan lagi
hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan alquran, tetapi orang yang
berbuat dosa besar, yaitu murtakib al kabair atau capital sinners, juga dipandang
kafir.
Persoalan manusia berbuat dosa inilah kemudian memiliki pengaruh
dalam pertumbuhan dan perkembangan teologi Islam selanjutnya. Persoalan ini
memunculkan tiga aliran dalam Islam, pertama aliran Khawarij yang berbuat
dosa besar adalah kafir, tegasnya murtad karena itu ia wajib dibunuh. Kedua
aliran Murji’ah yang menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan
kafir, tetapi tetap masih mukmin. Adapun soal dosa yang dilakukan tergantung
kepada Allah SWT untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Ketiga aliran
Mu’tazilah berpendapat bahwa orang yang berbuat dosa besar bukan kafir dan
16
bukan pula mukmin, dalam bahasa Arabnya al manzilah bain al manzilatain
(posisi diantara dua posisi). 10
B. Perdebatan Teologi Kaitannya dengan Ketauhidan
Perselisihan yang terjadi antara Ali bin Abi Thalib ra
dan para
penentangnya pun menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam, seperti
Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy'ariyah, Maturidiyah, Ahlussunah wal
Jamaah, Jabbariyah, dan Qadariyah. Aliran-aliran ini pada awalnya muncul
sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu mengenai perbedaan
pandangan dalam masalah kepemimpinan dan kekuasaan (aspek sosial dan
politik). Namun, dalam perkembangan selanjutnya, perselisihan yang muncul
mengubah sifat-sifat yang berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.
Kelompok khawarij yang akhirnya menjadi penentang Ali bin Abi Thalib
mengganggap bahwa Ali bin Abi Thalib tidak melaksanakan keputusan hukum
bagi pihak yang memeranginya sebagaimana ajaran Alquran. Karena itu, mereka
menuduh Ali bin Abi Thalib ra,
kafir dan darahnya halal. Sementara itu,
kelompok yang mendukung Ali bin Abi Thalib ra, dan keturunannya (Syiah)
melakukan pembelaan atas tuduhan itu. Dari sinilah, bermunculan berbagai
macam aliran keagamaan dalam bidang teologi.
Selain persoalan politik dan akidah (keimanan), muncul pula pandangan
yang berbeda mengenai Alquran (makhluk atau kalamullah), qadha dan qadar,
dan lain sebagainya.
10
Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan , ( Cet. V . Jakarta UI Press 1986) h.7
17
Dalam hubungan perbuatan dosa, hal itu masuk ke persoalan kufr;
Siapakah yang disebut kafir dan keluar dari Islam ? Siapakah yang disebut
mukmin, tidak keluar dari, tetapi tetap dalam Islam ?. Pendapat tentang siapa
yang sebenarnya masih Islam dan siapa yang telah ke luar dari Islam dan menjadi
kafir serta soal-soal yang bersangkut – paut dengan hal ini tidak selamanya sama,
sehingga timbullah berbagai golongan dalam kalangan Khawarij diantaranya, :
1. Al Muhakkimh. Golongan ini berpendapat bahwa semua tokoh yang
menyetujui arbiterasi bersalah dan menjadi kafir. Berbuat zinah
dipandang sebagai salah satu dosa besar, maka orang yang
mengerjakan zinah telah menjadi kafir dan keluar Islam. Begitu pula
membunuh sesama manusia dianggap ke luar dari Islam dan menjadi
kafir
2. Al Ibadah. Golongan ini merupakan
golongan yang paling moderat
dari seluruh golongan Khawarij. Paham moderat sebagai berikut;
a) orang Islam yang tak sepaham dengan mereka bukanlah mukmin
dan bukanlah musyrik, tetapi kafir.
b) orang Islam yang berbuat dosa besar adalah muwahhid yang meng
Esa-kan Tuhan, tetapi bukan mukmin dan kalaupun kafir hanya
merupakan kafir al ni’mah dan bukan kafir al millah, yaitu kafir
agama. 11
11
As Syahrasattani, al Milal wan Nihal, (Jld 1. Mustafa Halabi Mesir 1976) h.134
18
Kaum Murji’ah. Menurut golongan ini, orang yang berbuat dosa besar,
tetap mukmin bukan kafir, karena ia masih tetap mengucapkan dua kalimat
syahadat. Dalam golongan Murji’ah Moderat, Abu Hanifa mendefinisikan iman
ialah pengetahuan dan pengakuan tentang Tuhan, tentang Rasul-rasulNya dan
tentang segala apa yang datang dari Tuhan dalam keseluruhan dan tidak dalam
perincian; tidak mempunyai sifat bertambah atau berkurang, dan tidak ada
perbedaan antara manusia dalam hal iman, tidak ada .perbedaan antara iman
orang Islam yang berdosa besar dan iman orang Islam yang patuh menjalankan
perintah-perintah Allah. Ini boleh pula membawa kesimpulan bahwa
perbuatan kurang penting diperbandingkan dengan iman.
Menurut penulis
kurang bisa diterima. Bagaimana mungkin seorang yang dididik beramal sampai
besarnya dapat menganjurkan untuk meninggalkan amal ?.
Teori Ketuhanan Mu’tazilah. Asas teori ketuhanan, menurut Mu’tazilah,
adalah al Tanzih dan al Tauhid (penyucian dan pengesaan terhadap Allah SWT).
Untuk itu mereka benar-benar menyucikan Allah SWT dari materi dan segala
aksedensianya, karena “Allah bukanlah jism juga bukan bayangan. Bukan
subtansi juga aksidensia. Bukan bagian juga bukan keseluruhan (totalitas). Tidak
dibatasi oleh zaman atau tempat. Tidak punya orang tua juga tidak punya anak.
Tidak bisa dipandang mata, tidak bisa didengar telinga. Sama sekali tidak
menyerupai makhluk. Dan semua yang terlintas di hati anda, maka Allah adalah
tidak seperti itu. Sebagai konsekuensi adanya prinsip al Tanzih ini, maka tidak
ada jalan untuk
melihat Allah
dengan pandangan
mata, karena ini
mengkonsekuensikan arah tempat di mana Allah berada padahal mengatakan
19
bahwa “Allah berada di suatu arah’ adalah mustahil. Allah mengajak bicara
kepada Musa dengan suara-suara yang terdengar telinga juga mustahil, karena ini
mengkonsekuensikan pembadanan (terhadap Allah SWT) yang sama sekali tidak
ditolak oleh Muktazilah.12
Secara sederhana, mereka menolak hadis-hadis yang memberi mekesan al
Jismiyyah (perbadanan, antromorfisme) dan al Maddiyah (materialitas).
Mengenai prinsip bahwa “ Allah tidak sama denagan segala yang temporal “ tak
seorangpun yang melakukan kajian dan penelitian sedalam yang dilakukan kaum
Mu’tazilah. Mereka memerangi pemikiran al Tasybih dan al Tajsim yang
gemanya menyusup ke dalam Islam dari agama-agama lain. Teori ketuhanan
Mu’tazilah, yang mengingatkan kita kepada teori yang dikemukakan oleh Plotinus
(tokoh aliran Iskandaria) “ Allah satu “ adalah Esa. Tidak ada yang menyamai dan
tidak ada yang menandingi. Tidak punya sekutu dan penolong. Dia adalah Sang
Pencipta Yang Maha Pengatur, Esa dan Kekal Abadi. Pendapat ini menentang
argumen yang mengemukakan pluralism dan dualism. Mu’tazilah menentang
kaum dualis (Manawiah, Mazdakiah dan Sabi’ah yang berpendapat bahwa Tuhan
itu banyak). Kaum Mu’tazilah membicarakan problematika sifat-sifat Allah dan
menafsirkan dalam bentuk yang bisa menjaga pengertian keesaan Tuhan. Apakah
sifat ini adalah zat Allah ? Mereka mengemukakan teori sifat-sifat Zat dan sifatsifat Af’al. Mereka membuktikan bahwa ada sifat-sifat negatif baik secara lafzi
maupun maknawi, seperti tidak menyamai segala yang temporal. Ada juga sifatsifat positif secara lafzi tetapi negatif secara maknawi, seperti sifat eternal dan
12
.Madkour, Ibrahim , Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Cet. 3 ; Jakarta : Bumi Aksara), h. 50
20
kekal.
Di samping itu, ada pula sifat-sifat yang positif secara lafzi maupun
maknawi, seperti sifat berkuasa dan berkehendak. Kajian Mu’tazilah secara
khusus; al-‘ilm (Maha Mengetahui ), al Hayah (Maha Hidup), al Qudrat (Maha
Kuasa), al Basar (Maha Melihat), al Iradah (Maha Berkehendak), al Sam’ (Maha
Mendengar), dan al Kalam (Maha Berfirman). 13
Abu Huzail al-‘Allaf (849
M = 228 H) pendiri aliran Mu’tazilah,
berpandangan bahwa Allah bukan Jism tidak punya bentuk, guna membantah
bahwa “ Allah mengetahui dengan ilmu yang ilmu itu adalah Dia, Maha Kuasa
melalui kekuasaan yang kekuasaan itu adalah Dia, Maha Hidup dengan sifat
Hayat yang sifat Hayat itu adalah Dia.” Pandangan ini mengandung unsur yang
mengingatkan kita kepada teori Aristoteles bahwa penggerak pertama adalah akal,
sekaligus subyek yang berpikir. Al-Asy’ari meyakini bahwa al ‘Allaf terpengaruh
oleh pandangan ini. Pendapat Al ‘Asy’ari ini dikonfirmasikan oleh Al
Syahrastani. “Al Kalam (Maha Berbicara) adalah sifat yang eternal, qadimah.
Sedangkan Al-Qur’an adalah makhluk, yang diciptakan oleh Allah di al Lauh al
Mahfuz. Kemudian diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. 14
Kaum Asy’ariah
mengkaji tentang
Wujud al Sani (adanya Sang
Pencipta). Untuk menguatkan adanya Allah, Al-Asy’ari menjelaskan berbagai
bentuk pembuktian alami. Seperti, perkembangan manusia dari sperma menjadi
segumpal darah, kemudian menjadi daging, merupakan bukti yang pasti akan
adanya Sang Pencipta Yang Maha Kuasa dan Maha Mengetahui. Kaum Asy’ariah
13
Al Asy’ari. Maqaalaatul Islamiyat wa Ikhtilaaful Mushalliina Jld. I ( Cet.II 1969 Mesir Nahdhah Misriyah)
14
As Syahrasattani, al Milal wan Nihal, (Jld 1. Mustafa Halabi Mesir 1976) h.34
h.165
21
adalah kaum sifatiah ( yang mengatakan bahwa Allah punya sifat-sifat) seperti
halnya kaum salaf. Mereka mengkokohkan sifat-sifat Allah sebagaimana adanya,
dan membedakan sifat yang disifati (al Mausuf). Jadi Allah mengetahui dengan
ilmu, berkuasa karena sifat kuasa. Sifat-sifat Allah adalah al-Ilmu (Maha
Mengetahui), al-Qudrah (Maha Kuasa), al-Hayah (Maha Hidup), al-Iradah (Maha
Berkehendak) , al-Sama’ (Maha Mendengar), al-Basar (Maha Melihat) , dan alKalam (Maha Berfirman). Semua ini adalah sifat-sifat azali (eternal) dan abadi.
Menegaskan sifat berarti menegasikan yang disifati, sebagaimana halnya
menegasikan aksi berarti menegasikan subyek yang beraksi. Mereka menolak al
Ta’til (pandangan bahwa Allah tidak punya sifat-sifat) dalam berbagai macam
coraknya, baik nihilisasi Sang Pencipta dari ciptaanNya maupun nihilisasi Sang
Pencipta dari sifat-sifatNya.
Mereka menolak al Tasybih dan al-Tajsim dan
mereka menyerahkan kepada Allah atau mereka takwilkan, karena Allah sama
sekali tidak menyerupai makhlukNya.
Kekuasaan Allah adalah satu, dan diterapkan kepada semua hal yang
menjadi obyek kekuasaanNya, maka apapun yang ada di alam ini haruslah lahir
dari kekuasaanNya. Ilmu Allah Swt adalah azali dan mencakup semua obyek
pengetahuan, tanpa melalui indera maupun pembuktian. Melihat Allah dengan
pandangan mata boleh, karena setiap yang ada boleh dilihat. Menguatkan bahwa
Allah bisa dilihat tidak berarti tasybih dan tajsim, sebab melihat di sini tidak sama
dengan kita melihat benda-benda di dunia. 15
Allah berfirman dalam (Q.S Al Qiyaamah :22-23
15
Madkour, Ibrahim , Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Cet. 3 ; Jakarta : Bumi Aksara), h. 68
22
‫و جوه يومئذ نا ضر ة‬
“Wajah-wajah (orang yang beriman) pada hari itu
berseri-seri.”
‫إ لي ر بها نا ظر ة‬
“Mereka memandang Tuhannya.”
Firman Allah adalah sifat azali. Alquran adalah firman Allah oleh sebab
itu, bukan makhluk.
Al Asy’ari adalah pendiri aliran Al- Asy’ariah yang berdasarkan pada asas
perpaduan antara kaum Salaf dan kaum Mu’tazilah. Porsi problematika sifat-sifat
Tuhan dengan perpaduan ini nampak begitu jelas. Di satu pihak, sependapat
dengan kaum Salaf, Al-Asy’ari meneguhkan sifat-sifat Tuhan. Sedangkan pada
posisi lain, sependapat dengan kaum Mu’tazilah, Al-Asy’ari mengungkapkan
bahwa sifat-sifat itu ada pada zat. Akan tetapi al Asy’ari mengulang kembali apa
yang telah dikatakan oleh Ibnu Kilab bahwa :”Tidak boleh dikatakan bahwa zat
itu adalah sifat-sifat” 16. Ini adalah pernyataan kontradiksi. Al Asy’ari tidak bisa
mengingkari apa yang disebut di dalam kitab dan sunnah, bahwa Allah punya
Singgasana, wajah dan tangan, tetapi ia menerima sejalan dengan pandangan
kaum Salaf, dan kadang ia takwilkan sejalan dengan Mu’tazilah. Asy’ari berusaha
keras untuk menggunakan dalil-dalil naqliah dan aqliah yang kokoh untuk
memungkinkan melihat Allah dengan cara memberikan kesan kepada kita seakan
ia berbeda pendapat dari kaum Mu’tazilah, kemudian segera menetapkan bahwa
peristiwa melihat Allah tidak mengkonsekuinsikan arah dan ruang, tetapi hanya
16
.As Syahrasattani, al Milal wan Nihal, (Jld 1. Mustafa Halabi Mesir 1976) h.67
23
sekedar merupakan jenis pengetahuan dan presepsi, yang jalannya adalah mata
dengan cara yang tidak bisa seperti di dunia. Al-Asy’ari juga mengambil sikap
tengah dalam masalah sifat Kalam (Allah Maha Berfirman). Untuk itu ia
menggunakan istilah Kalam dalam dua pengertian: Al Ma’na al-Nafsi al Qa’im bi
al-Zat (Pengertian kalam yang ada pada Zat. Sifat ini dikaitkan kepada Allah,
adalah eternal dan azali. Sifat kalam ini juga dipergunakan pada suara-suara dan
huruf-huruf yang menyampaikan pengertian ini. Ini secara yakin ini adalah
temporal (hadisah).
Dengan teori ini problematika “apakah al-Quran itu makhluk” bisa
dipecahkan dengan penjelasan yang ringan dan mudah. Mu’tazilah, Al-Asy’ari
menetapkan bahwa Allah Maha Adil. Namun, sependapat dengan kaum Salaf,
melaksanakan sesuatu, walaupun itu teori al-Salah wa al-Aslah (pandangan yang
mengatakan bahwa Allah harus melakukan yang baik dan yang terbaik), karena
Allah bebas melakukan apa yang ia kehendaki. Akhirnya, Al Asy’ari menerima
teori yang dikemukakan oleh Mu’tazilah bahwa akal bisa mengetahui kebaikan
dan kejelekan yang ada di dalam benda-benda, tetapi ini tidak diharuskan kecuali
berdasarkan dalil naqli, karena setiap orang, walaupun dengan akalnya bisa
mengetahui Allah tetapi pengetahuan ini diwajibkan kepadanya hanya atas
perintah syara’.
Ketuhanan menurut Aliran Maturidiah, Mereka menguatkan bahwa Allah
memiliki sifat-sifat yang berbeda dari segala yang temporal. Jadi Allah Maha
Mengetahui karena sesuatu ilmu yang tidak seperti ilmu-ilmu (makhluk). Maha
24
Kuasa karena sesuatu kekuasaan tetapi tidak seperti kekuasaan (makhluk). Kalam
bukan merupakan jenis huruf maupun suara yang temporal.
Al-Maturidih berpandangan bahwa melihat Allah adalah hak dan harus
tanpa bagaimana (bisa digambarkan bagaimana caranya), tidak berhadapan
maupun membelakangi, tidak terang maupun gelap. Masalah Allah berada di
‘Arsy (singgasana) dan Istiwa (duduk di singgasana) yang memang disebutkan
dalam teks-teks agama, pengertiannya ia diserahkan kepada Allah atau ia
takwilkan bahwa itu menunjukkan ke Maha Agungan. Kaum Maturidi sependapat
dengan kaum Asy’ari mengenai unsur-unsur raisi (fundamental) yang melandasi
teori ketuhanan, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai masalah-masalah lain
yang bersifat cabang. Yang berhubungan dengan problematika ketuhanan. Seperti
; Asy’ariah menganggap sifat baqa’ (Maha Kekal) sebagai sifat tambahan bagi
Zat (Allah), sementara kaum Maturidiah menolak sifat ini, sebagian kaum
Asy’ariah (al Haramaini, ar Razi) menolak. Mereka berpendapat bahwa al-Baqa
itu adalah kenyataan adanya Zat di dalam zaman bukan sesuatu yang ditambahkan
pada Zat.17
Problematika ketuhanan bagi Syi’ah. Kaum Zaidiah awalnya lebih dekat
kepada kaum Salaf, walaunpun imam mereka berguru kepada Washil bin ‘Ata,
mereka kagum, karena Washil mengajarkan bahwa kakeknya, ‘Ali bisa
melakukan kesalahan. Pengikut Zaidiah berpandangan bahwa Allah SWT adalah
17
.Madkour, Ibrahim , Aliran dan Teori Filsafat Islam, (Cet. 3 ; Jakarta : Bumi Aksara), h. 84
25
sesuatu yang tidak seperti sesuatu yang lain; tidak serupa dengan segala sesuatu
yang ada. Ia Maha Mengetahui, karena sifat Maha Mengetahui yang sifat ini
bukanlah Ia juga bukan selain Ia. Ia Maha Kuasa karena sifat karena sifat Maha
Kuasa yang sifat Maha Kuasa ini bukanlah Ia juga bukan selain Ia. Allah tidak
diberi sifat bahwa ia Maha Kuasa untuk melakukan kezaliman, karena ia
mustahil berbuat.
Sebagian penganut Mu’tazilah Bagdad bergabung dengan aliran Zaidiah,
kemudian dua orang tokoh besar Mu’tazilah Basrah mampu menguasai ajaranajaran mereka yang ada pada kedua tokoh itu ; Abu Ali, dan Abu Hasyim. Sejak
abad ke 6 H. Kaum Mu’tazilah tidak menemukan perlindungan kuat kecuali pada
kaum Zaidiah Yaman, melalui mereka akhirnya bisa ditemukan sumber-sumber
penting bagi pemikiran Mu’tazilah. Teori ketuhanan yang dipegangi oleh kaum
Zaidiah Yaman adalah pandangan Mu’tazilah murni18
C. Pandangan Teolog dalam konsep Ketuhanan masa Modern
Kemajuan bangsa Eropa pada abad ke-19 mengejutkan Dunia Islam, dan
tidak menyangka bahwa bangsa Eropa yang telah mereka kalahkan pada zaman
klasik dahulu, pada zaman Modern menguasai mereka. Napoleon Bonaparte
dalam waktu tiga minggu dapat menguasai seluruh Mesir tahun 1798 M. Inggris
memasuki India dan menghancurkan Kerajaan Mughal tahun 1857 M.
Dunia Islam telah membuka mata dan muncul kesadaran bahwa mereka
telah mundur dan jauh ditinggalkan Eropa. Muncullah kemudian ulama dan
18
.As Syahrasattani, al Milal wan Nihal, (Jld 1. Mustafa Halabi Mesir 1976) h.208
26
pemikir-pemikir Islam dengan ide cemerlang untuk memajukan Dunia Islam dan
mengejar ketinggalan dari Barat.
Salah satu bentuk atau cara yang dilihat oleh para ulama dan pemikir
seperti Jamaluddin
Al Afgani yang mengelilingi Dunia Islam, Muhammad
Abduh di Mesir, Zia Gokalp di Turki, dan Sayyid Ahmad Khan di India, adalah
kembali ke teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofi dan ilmiah
zaman Klasik di kalangan ulama dan umat Islam Zaman Modern.
Dalam teologi Islam terdapat pertentangan mengenai masalah apakah
Tuhan mempunyai sifat atau tidak, sifat, dalam arti sesuatu yang mempunyai
wujud tersendiri disamping esensi. Sebahagian aliran mengatakan ada dan
sebahagian lainnya mengatakan tidak. Masalah ini juga disinggung oleh
Muhammad Abduh.
Dalam risalah 19 ia menyebut sifat-sifat Tuhan. Mengenai masalah apakah
sifat itu termasuk esensi Tuhan ataukah lain dari esensi Tuhan, ia jelaskan bahwa
hal itu
terletak di luar kemampuan manusia untuk mengetahuinya. Tetapi
sungguhpun demikian ia kelihatannya lebih cenderung kepada pendapat bahwa
sifat termasuk esensi Tuhan walaupun ia tidak dengan tegas mengatakan
demikian.
Masalah itu ia bahas dalam buku Hasyiah Muhammad Abduh 20. Disitu ia
jelaskan bahwa sifat menurut pendapat filosof Islam, adalah esensi Tuhan. Apa
19
20
Muhammad Abduh.” Risalah Al Tawhid” Cairo : Dar Al Manar, 1366 H hal.52
Nasution, Harun. “Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah” Penerbit Universitas Indonesia
1987. Hal. 71
27
yang dimaksud filosof bukanlah bahwa esensi adalah satu dan sama dengan sifat
dan bukan pula bahwa sifat adalah satu dan sama dengan esesnsi. Yang mereka
maksud ialah bahwa esensi, sebagai satu-satunya sumber dari segala yang ada,
merupakan sumber dari akibat yang timbul dari sifat. Akibat yang timbul dari
sifat mengetahui, umpamanya, ialah “memperoleh pengetahuan” tentang objek
pengetahuan; tetapi dalam pada itu “ memperoleh pengetahuan “ yang timbul
sebagai akibat yang timbul dari esensi, yang adalah sumber dari segala yang ada.
Dengan demikian, esensi dan sifat mengetahui adalah satu. Dengan demikian
dapatlah disebut bahwa sifat adalah esensi, dan ini membawa kepada peniadaan
sifat dan penegasan adanya akibat saja.
Bahwa Muhammad Abduh lebih cenderung kepada pendapat para filosof
ini dapat disimpulkan dari kritik yang disampaikannya terhadap difinisi al ‘Alim,
sebagai orang yang mempunyai sifat mengetahui, yang disebut penegtahuan, dan
sifat pengetahuan itu melekat pada esensinya. Dalam pendapatnya Al ‘Alim
adalah orang yang baginya hakikat sesuatu telah menjadi nyata. 21 Definisi ini
juga menolak adanya sifat yang disebut pengetahuan. Juga ia mengkritik pendapat
yang mengatakan bahwa sifat adalah lain dari Tuhan. Salah satu dari argumen
mereka, demikian ia jelaskan, bahwa Tuhan, untuk menjadi sempurna, berhajat
pada sesuatu di luar esensiNya, yaitu sifat. Ini berarti bahwa terdapat hal-hal
yang lebih tinggi dari Tuhan, suatu hal yang tak dapat diterima akal. Ia
pertanyakan mana yang lebih dapat diterima: bahwa sifat adalah satu dan sama
dengan esensi dengan penegasan sempurnanya esensi atau esensi tidak sempurna
21 Al Syaikh Muhammad Abduh bain Al Falasifah (selanjutnya disebut Al Syaikh) Cairo: Isa Al Halabi wa
Syurakah, 1958). Hal. 283
28
dan oleh karena
itu berhajat pada sesuatu untuk mencapai kesempurnaan
Muhammad Abduh memihak pada golongan yang meniadakan sifat. Ia
mengkritik pendapat Al Asy’ari bahwa sifat bukanlah esensi dan bukan pula lain
dari esensi. Pendapat itu didasarkan atas argumen berikut: tak dapat dikatakan
bahwa sifat dan yang disifati atau bahagian dan keseluruhan adalah lain dari
pasangan masing-masing.
Menurut Aliran Asy’ari jika dalam ungkapan “ tidak ada di rumah selain
Zaid” sifat-sifat dan bahagian-bahagian Zaid dianggap lain dari Zaid, sifat dan
bahagian itu termasuk dalam hal-hal yang tak ada di rumah, sedangkan sifat dan
bahagian itu. Dalam pendapat Muhammad Abduh argumen ini adalah lemah,
karena yang dimaksud dalam ungkapan “ tidak ada di rumah selain Zaid “ adalah
tiap orang kecuali Zaid dan bukan sifat dan bahagian dari Zaid. 22 Oleh karena itu
ia tidak setuju dengan pendapat golongan Asy’ari bahwa sifat adalah bukan
Tuhan tetapi tidak lain dari Tuhan.
Muhammad Abduh, definisi tentang “lain” dalam tulisan Asy’ari. Ia
berpendapat bahwa konsep itu berasal dari Al Asy’ari sendri, karena salah satu
ungkapan pendiri aliran ini membawa kepada pendapat yang sebaliknya. Yang
dimaksudnya adalah ungkapan yang menurut Al Syarastani berasal dari Al
Asy’ari dalam bukunya Al Milal wa Al Nihal. Menurut ungkapan itu tak dapat
disebut bahwa sifat adalah Tuhan, pula bukan lain dari Tuhan . Jelas kata
Muhammad Abduh, bahwa kata, yang daripadanya dikeluarkan pengertian “ia
adalah Tuhan” adalah “bukan Tuhan” sendiri. Ungkapan itu membawa kepada
22
Ibid., hal. 305 -308
29
peniadaan yang bersifat majemuk. Jelasnya sifat-sifat itu tidak bisa dikatakan
Tuhan, tidak pula “ bukan Tuhan “, tidak pula “ lain dari Tuhan” dan tidak pula “
bukan lain dari Tuhan”. Ungkapan demikian, katanya lebih lanjut, tidak ada
artinya kecuali diberi interpretasi bahwa yang dimaksud dengan sifat hanyalah
keadaan mental,
dan pada hakekatnya tidak mempunyai wujud .
Dalam
pengertian Muhammad Abduh, Al Asy’ari , berlainan dengan pengikutpengikutnya, menerima konsep penidaan sifat-sifat Tuhan dan, sebagian kaum
Mu’tazilah, memandang sifat hanya sebagai keadaan mental.
Dari penjelasan di atas Muhammad Abduh fokus kepada konsep
peniadaan sifat Tuhan, sungguhpun dalam risalah Al Tawhid ia berbicara tentang
sifat-sifat Tuhan. Perlu ditegaskan bahwa dalam Risalah ia tidak membahas
apakah sifat esensi atau lain dari esensi Tuhan dan juga tidak membicarakan
apakah sifat kekal atau tidak kekal. Dengan lain kata, di dalamnya ia tidak
menjelaskan pendapatnya tentang sifat . Dengan demikian tidaklah terdapat
pertentangnan antara pendapat yang ditulisnya dalam Hasyiah dan tulisannya
tentang sifat dalam risalah 23
Mulailah pada abad ke-19 didirikan yayasan pendidikan model Barat di
Mesir, Turki dan India. Di sini diajarkan metode berpikir rasional, filosofis dan
ilmiah. Sains di sekolah-sekolah ini amat dipentingkan, sehingga timbullah di
Dunia Islam golongan terpelajar Barat di samping ulama lulusan sekolah-sekolah
agama. Yayasan pendidikan tidak terpengaruh dengan perkembangan barat dan
23 Pada umumnya orang berpendapat bahwa Muhammad Abduh mempunyai paham Ahlus Sunnah dalam soal
sifat Tuhan. Menurut Michel dan A. Raziq ia mengikuti paham Al Asy’ari (Risalah Al Tawhid hal. 7) Dan pendapat Adams,
karena tidak membicarakan masalah-masalah besar yang dipersoalkan teolog klasik, seperti masalah apakah sifat identik
dengan esensi , Muhammad mengambil posisi Sunnah dalam hal ini (Islam and Modernism, hal. 146-147)
30
masih tetap memakai teologi tradisional, nonfilosofis, dan nonilmiahnya. Kalau di
kalangan kaum terpelajar Barat mulai berkembang teologi sunnatullah zaman
klasik, kaum ulama agama masih dipengaruhi oleh teologi kehendak
mutlak
Tuhan zaman Pertengahan. Dengan timbulnya kembali teologi sunnatullah dan
orientasi keduniaan di kalangan kaum terpelajar Barat yang besar pengaruhnya
kepada umat. Produktivitas di Dunia Islam Zaman Modern mulai meningkat
kembali.
Menurut Penulis, inilah keadaan umat Islam zaman Modern di Timur
Tengah. Adapun di Indonesia, di Malaysia dan negara di Asia Tenggara lainnya
keadaannya berbeda. Islam datang ke Dunia Melayu pada abad ke-7 atau 8 M.
Namun baru berkembang pada abad ke-13 s/d 15 M. Maka yang berkembang
bukanlah teologi sunnatullah zaman klasik, tetapi teologi kehandak mutlak Tuhan
Zaman
Pertengahan
dengan
pemikiran
tradisional,
nonfilosofis,
dan
nonilmiahnya. Pemikiran Tradisional di Indonesia dan di Malaysia berhaluan ke
ajaran Imam Abu Hasan Al Asy’ari atau lebih popler adalah ahlussunna
waljamaah. Walaupun masyarakat bertaqlid kepada ajaran Imam Asy’ari ,
meskipun tidak sempurna. Umat Islam Indonseia dan Malaysia kurang kenal
pada teologi sunnatullah Zaman Klasik dengan pemikiran rasional, filosofis dan
ilmiahnya. Kepada umat Islam tergambar bahwa teologi kehendak mutlak Tuhan
lah satu-satunya teologi yang ada dalamIslam.
Pada dasarnya, ajaran tauhid
tradisional bertitik tolak dari rukun Iman, mengenai keimana kepada Allah Swt.
Berpusat pada doktrin sifat dua puluh, terbagi atas 4 bagian yaitu sifat Nafsiyah
(Wujud) , sifat Salabiyah ( Qidam, Baqa’, Mukhalafatu lilhawadisi, Qiyamuhu
31
binafsihi wahdaniyat, qudrat, iradat. Sifat Ma’ani ( Ilmu, Hayat, Sama’ , Bashar,
dan kalam) sifat Ma’nawiyah ( Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu Muridan, Kaunuhu
‘Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sam’an, Kaunuhu Bashran, dan Kaunuhu
Mutakalliman.)
Agama Islam berkembang di dunia Melayu pada abad ke-13 s/d 15 M.
sejak itu umat Islam di dunia Melayu khususnya Indonesia mulai terpengaruh
dengan teologi kehendak mutlak Tuhan dengan pemikiran tradisomnal, non
filosofis dan nonilmiahnya. Banyak umat Islam Indonesia yang sangat percaya
bahwa nasib secara mutlak terletak di tangan Tuhan. Manusia tak berdaya dan
hanya menyerah kapada qadah dan qadar Tuhan. Karena berkembangnya teologi
kehendak mutlak Tuhan,banyak umat Islam yang ragu-ragu dan kurang percaya
akan adanya sunnatullah. Banyak yang yakin bahwa segalanya telah ditentukan
oleh Tuhan. Maka usaha manusia pun tak banyak artinya. Jelas bahwa sikap
serupa ini tidak menolong bagi meningkatnya produktivitas.
Yayasan pendidikan model Barat, seperti halnya di Timur Tengah, juga
berkembang di Indonesia dan di Malaysia, meskipun seabad lebih terlambat yaitu
abad ke-20. Pemikiran rasional, filosofis dan ilmiah, yang dikembangkan
pendidikan model Barat ini, tidak menimbulkan teologi sunnatullah di Indonesia,
kecuali di kalangan kecil umat. Kaum intelek yang berpendidikan barat sendiri,
masih banyak dipengaruhi paham qadha dan qadar, dan kelihatannya kurang
mantap dengan pendapat adanya sunnatullah atau hukum alam ( natural laws)
ciptaan Tuhan, dan Kausalitas. Kaum terpelajar Barat masih belum yakin bahwa
keberhasilan dan ketidak berhasilan dalam suatu usaha, tergantung pada
32
ikhtiarnya. Tapi mereka merasa bahwa qadah dan qadar Tuhan mempunyai peran
di dalamnya.
Pada saat yang sama kaum terpelajar agama yang dikenal dengan nama
ulama tidak kenal dengan teologi sunnatullah dengan pemikiran rasional, filosofis
dan ilmiahnya. Sejarah perkembangan pemikiran Islam tidak diajarkan, baik di
madrasah maupun di pesantren. Maka kalau disebut teologi sunnatullah mereka
heran dan menganggap hal itu dipandang tidak islami.24
IV. Penutup
Berdasarkan uraian-uraian di atas, ada beberapa kesimpulan yang menjadi
bahan refleksi dalam makalah ini sebagai berikut :
1. teologi tidak berasal dari khazanah dan tradisi agama Islam . Istilah yang
diambil dari agama lain, yaitu dari khazana dan tradisi Gereja Kristiani.
Kata teologi sebagaimana dijelaskan dalam Encyclopaedia of Religion and
Religions berarti “ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan
hubunganNya dengan alam semesta, namun sering kali diperluas
mencakup keseluruhan bidang agama”. Teologi Islam belum dikenal pada
masa Nabi Muhammad Saw. dan sahabat-sahabatnya, melainkan baru
dikenal pada masa kemudiannya, setelah ilmu-ilmu keislaman satu persatu
24
Harun Nasution . Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran . (Cet. I . 1995.) Mizan Bandung
33
mulai muncul dan setelah orang banyak suka membicarakan soal-soal
alam ghaib atau metafisika
2. Masyarakat Madinah sangat merindukan sosok kepemimpinan Nabi
Muhammad Saw. Ketika Rasulullah wafat, yang pertama tama yang
mereka pikirkan siapa pengganti atau penerus beliau, kemudian baru
pemakamannya. Munculnya reaksi dan protes politik Islam yang pertama
pada masa kepemimpinan Khalifah Usman bin Affan. Puncak pergerakan
politik pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib, banyak persoalan yang sulit
untuk dipecahkan yang mengakibatkan munculnya teologi dalam Islam.
Perselisihan yang terjadi anatara Ali bin Abi Thalib dan para
penentangnya akan menimbulkan aliran-aliran keagamaan dalam Islam,
seperti Syi’ah, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyah, Maturidiyah,
Ahlussunnah wal Jamaah, Jabariyah, dan Qadariyah. Aliran-aliran ini
pada awalnya muncul sebagai akibat percaturan politik yang terjadi, yaitu
mengenai perbedaan pandangan dalam masalah kepemimpinan dan
kekuasaan (aspek sosial dan politik). Namun, dalam perkembangan
selanjutnya, perselisihan yang muncul mengubah sifat-sifat yang
berorientasi pada politik menjadi persoalan keimanan.
Dalam perdebatan teologi dijelaskan :
a. Apakah yang berbuat dosa besar itu divonis kafir atau musyrik
b. Tidak kafir dan tidak juga mukmin.
c. Apakah al Quran itu makhluk atau bukan, Qadim atau Hadisah
d. Apakah sifat Allah itu sama dengan Zat Allah.
34
3. Pendidikan dunia Islam, sebagian mengadopsi pedidikan Barat , muncul di
dunia Islam golongan terpelajar Barat di samping ulama lulusan sekolahsekolah agama. Di kalangan teologi sunnatullah zaman klasik dan kaum
ulama agama masih dipengaruhi oleh teologi kehendak mutlak Tuhan
Zaman Pertengahan. Kaum terpelajar Barat di Indonesia masih belum
yakin bahwa keberhasilan dan ketidakberhasilan dalam suatu usaha
tergantung pada ikhtiarnya. Tapi mereka merasa bahwa qadha dan qadar
Tuhan mempunyai peran di dalamnya. Bagi Masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam,
khususnya kaum terpelajar Barat
perlu
mengadopsi ke dua macam teologi ini yakni teologi sunnatullah dan
teologi kehendak mutlak Tuhan. Karena agama menganjurkan bila
memberikan suatu alasan atau argument perlu menggunakan dalil aqli dan
dalil naqli. Bila ke dua teologi ini digunakan akan menolong peningkatan
produktivitas masyarakat itu.
Teologi berkembang di Indonesia, dewasa ini adalah teologi
kehendak mutlak Tuhan, yakni segalanya telah ditentukan secara langsung
dan secara mutlak oleh Tuhan, sehingga hal tersebut kurang menyokong
bagi peningkatan produktivitas.
35
Daftar Pustaka
Abdullah, M. Amin, 1995 “Falsafah Kalam di Era Post Modernisme” . Cet. I .
Penerbit Mizan Bandung .
Abu Sulaeman, Abdul Hamid Azamah Al-Aql Al – Muslim .Terj.Rifyal Ka’bah
: 1994 “Krisis Pemikiran Islam” . Cet. I. Media Dakwah
Jakarta
Ansary, Abdou, Filali. Reformer l’Islam : 2009,”Une introduction aux debats
Contemporains, Terj. ….. Pembaruan Islam Dari Mana
dan Hendak Ke Mana? “ Cet. I . Desember Mizan
Bandung.
Asy’ari . 1969 “Maqaalaatul Islamiyin wa Ikhtilaaful Mushallina Jld 1 & 2 . Cet.
II. Penerbit Maktabah An Nahdha Al Mishriyah.
Madkour, Ibrahim. 2004 “Aliran dan Teori Filsafat Islam . Cet. III. November”
Bumi Aksara Jakarta
Nasution, Harun . 1986 “Teologi Islam Aliran- Aliran Sejarah Analisa
Perbandingan” , Cet. I .. UI Press. Jakrta
36
……………….... 1987 “Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah”
Cet. I. UI Press Jakarta .
…………………1987 “Filsafat & Mistisisme dalam Islam”. Cet. V .. Bulan
Bintang Jakarta.
………………... 1987 “Filsafat Agama”, Cet. VI.. Bulan Bintang Jakarta.
………………... 1995 “Islam Rasional Gagasan dan Pemikiran”. Cet. I.. Pustaka
Pelajar Yogyakarta.
……………….. 2008 “Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid I”
( Edisi II.Cet. UI Press Jakarta .
……………….. 2008 “Islam ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II “
(Edisi II.Cet. UI Press Jakarta
Shahrastani. 1976 “Al Milal wa Nihal . Jus 1 & 2” . Cet. Maktab Mustafa Al
Halabi Mesir .
37
38
Download