Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara PERDEBATAN ASPEK-ASPEK KETUHANAN DALAM TEOLOGI DAN KAITANNYA DENGAN KALIMAT TAUHID Sabara Balai Litbang Agama Makassar Jalan AP. Pettarani No 72 Makassar Email; [email protected] Abstract; The History of Islamic thought by some schools of kalam (theology) who have different views with one another. Differences in views on the different schools of kalam theology in Islam is based on the difference manhaj or epistemology to understand and believe in the existence of God. The concept of divinity of each of the flow of Islamic theology in different and sometimes diametrically opposed in interpreting sentences shared Tawhid, which is La ilaha illallah as an axiom in Islamic theology. Not only difference of interpretation at the level of mere theological concepts, but also implications for the realm of social applications of these theological views. So the difference in the attitude of life is largely determined by differences in theological outlook. Keywords: Asy’ariyah, Maturudiyah, Mu’tazilah, Wahabiyah, Syi’ah Abstrak; Sejarah pemikiran Islam oleh beberapa sekolah kalam (teologi) yang memiliki pandangan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan pandangan tentang sekolah yang berbeda dari teologi kalam dalam Islam didasarkan pada manhaj perbedaan atau epistemologi untuk memahami dan percaya pada keberadaan Tuhan. Konsep ketuhanan dari masing-masing aliran teologi Islam di yang berbeda dan kadang-kadang bertentangan dalam menafsirkan kalimat Tauhid bersama, yang merupakan La ilaha illallah sebagai aksioma dalam teologi Islam. Tidak hanya perbedaan penafsiran pada tingkat konsep teologis semata, tetapi juga berimplikasi pada ranah aplikasi sosial pandangan teologis. Jadi perbedaan dalam sikap hidup sangat ditentukan oleh perbedaan pandangan teologis. Kata Kunci; Asy’ariyah – Maturidiyah – Muktazilah – Wahabi - Syiah AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 79 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… I. PENDAHULUAN Dalam Islam pembahasan mengenai masalah ketuhanan terdapat dalam bidang filsafat dan kalam (teologi) Pengkajian filosof muslim mengenai ketuhanan biasanya berkisar pada menetapkan adanya Tuhan berdasarkan argumen rasional, hubungan zat Tuhan dengan sifat-sifatNya, hubungan perbuatan Tuhan dengan manusia, hakekat qadha dan qadhar Tuhan, serta hakekat kejahatan dan hubungannya dengan Tuhan.1 Jika filsafat lebih mendasarkan argumentasinya pada akal, maka ilmu kalam lebih mendasarkan argumentasinya pada naql (wahyu). Bagi pemikiran teologi (kalam), agama adalah persoalan hidup dan mati (ultimate concern) yang tidak dapat dengan mudah diganti.2 Pada awal teologi dipandang sebagai bagian dari hukum (fiqh), namun kemudian wacana teologi berkembang secara massif hingga melahirkan berbagai aliran yang bertentangan satu sama lain dalam sebuah ilmu yang disebut dengan ilmu kalam. Persoalan yang dihadapi oleh ilmu kalam ialah bagaimana menetapkan kepercayaan-kepercayaan mendasar dalam Islam dengan bukti yang meyakinkan, yaitu mengenai wujud Allah, sifat-sifatNya, perbuatan Tuhan, Rasul, Alquran, dan Eskatologi. Mu’tazilah merupakan aliran pertama dalam teologi yang fokus pada pembahasan seputar tema-tema ketuhanan yang kemudian disusul oleh munculnya aliran Asy’ariyah, Maturudiyah, dan lainlain.3 Sekalipun terjadi perbedaan yang cukup signifikan dalam pembahasan mengenai masalah-masalah ketuhanan, namun kesemuanya itu berdasarkan pada aksioma yang sama, yaitu La ilaha illallah sebagai kalimat Tauhid yang menjadi fondasi utama dalam akidah Islam. Kalimat Tauhid tersebut terdiri atas dua frase, yaitu ”La ialaha” sebagai frase negasi (nafy) yang menegasikan segala eksistensi wujud mutlak baik dalam pahaman manusia serta frase ”Illallah” sebagai frase afirmasi (itsbat) yang menyiratkan pengakuan akan eksistensi Allah sebagai Wujud Mutlak yang mesti diimani secara total melebihi apa pun.4 Dalam Islam, kalimat La ilaha illallah diterima sebagai postulat yang menjadi penanda keberislaman dan keberimanan seseorang. Hanya saja, penafsiran tentang kalimat Tauhid itulah yang kemudian terjadi perbedaan dan perdebatan hingga melahirkan banyak aliran pemikiran dalam memahami konsep ketuhanan dalam Islam. Oleh karena itu, fokus dalam tulisan ini adalah, bagaimana perdebatan aspek-aspek ketuhanan dalam teologi dan kaitannya dengan kalimat Tauhid?. Kemudian terjabarkan dalam tiga pokok pembahasan, yaitu; bagaimana perdebatan seputar epistemologi ketuhanan?, bagaimana perdebatan seputar konsep ketuhanan?, dan bagaimana perdebatan konsep ketuhanan dan relasinya dengan kehidupan sosial? 80 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara II. PEMBAHASAN A. Perdebatan Epistemologi Ketuhanan (Manhaj Kalam) Bagaimana manusia bisa mengetahui dan meyakini akan eksistensi Tuhan?, merupakan pertanyaan dasar seputar epistemologi ketuhanan atau manhaj kalam. Pertanyaan ini menjadi sangat penting untuk mengetahui kerangka paradigmatik dari masing-masing aliran teologi dalam menyusun kerangka dan formulasi konsep teologinya. Secara umum perbedaan dalam manhaj kalam didasarkan pada perbedaan dalam memposisikan peran akal dan wahyu dalam kaitannya dengan konsep ketuhanan. Mu’tazilah dianggap sebagai aliran yang sangat menitikberatkan peran akal dalam manhaj kalamnya. Hal ini bertentangan secara diametral dengan aliran Asy’ariyah yang lebih mendasarkan manhaj kalamnya pada pendekatan skriptualistik dalam memahami nash Al-quran maupun hadis. Mu’tazilah memberikan kepercayaan yang penuh pada kekuatan akal manusia. Epistemologi kaum Mu’tazilah ini ialah mempergunakan akal dan kemudian memberi interpretasi pada teks atau nas wahyu sesuai dengan pendapat akal. Sehingga kaum Mu’tazilah banyak memakai ta’wil dalam memahami nas wahyu atau dengan kata lain, Mu’tazilah lebih cenderung membaca yang tersirat dari teks.5 Itulah sebabnya Mu’tazilah kemudian berkembang menjadi sebuah aliran kalam yang bercorak rasional dan bahkan cenderung bersifat liberal dalam pemikiran kalamnya. Berbeda secara diametral dengan Mu’tazilah, kelompok Asy’ariyah lebih cenderung bergantung pada wahyu dalam memahami konsep-konsep ketuhanan. Berkebalikan dengan Mu’tazilah, kalam Asy’ariyah terlebih dahulu beranjak kepada teks wahyu dan kemudian memberikan argument-argumen rasional untuk teks tersebut. Jika Mu’tazilah banyak berpegang pada ta’wil atas teks, Asy’ariyah lebih berpegang pada arti harfiah dari teks wahyu. Dengan kata lain, kelompok Asy’ariyah membaca teks secara tersurat.6 Akhirnya manhaj kalam Asy’ariyah jatuh pada manhaj kalam tradisional yang tidak terlalu banyak melibatkan logika dan filsafat dalam memahami petunjuk nas.7 Kalam Asy’ariyah dalam manhaj kalamnya lebih cenderung memandang kalimat tauhid pada sebagai kalimat yang menegasi (nafy). Dan implikasinya menolak segala bentuk ta’wil dan analogi menyangkut masalah-masalah ketuhanan. Perkembangan selanjutnya dari kalam Asy’ariyah, lebih banyak diwarnai dengan corak sufistik, khususnya dari al-Ghazali, al-Baqillani, dan alJuwaini. Mereka inilah yang kemudian mengembangkan pemikiran kalam Asy’ariyah. Sehingga tampak di permukaan, khususnya di kalangan umat Islam Indonesia, pemikiran kalam Asy’ariyah yang telah diramu dan diwarnai oleh pemikiran sufistik al-Ghazali dan tokoh tasawuf lainnya. Sehingga terkesan manhaj kalam Asy’ariyah adalah manhaj kalam yang cenderung sufistik.8 Manhaj dan konsep kalam Asy’ariyah juga menemukan pembelaan filosofisnya melalui seorang mutakallim Asy’ariyah yang juga seorang filosof AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 81 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… muslim terkemuka yaitu Fakhr al-Din al-Razi. Secara umum kalam Asy’ariyah menjadi pemikiran kalam yang mainstream dalam dunia Ahlussunnah (Sunni). Pandangan kalam Asy’ariyah ini memiliki kesamaan dengan pandangan kalam kelompok Wahabi9 yang aksentuasi manhaj kalamnya pada purifikasi akidah (Tauhid) umat Islam. Segala bentuk ta’wil atau analogi tentang Allah merupakan sebuah pemahaman yang bertentangan dengan kalimat Tauhid, sehingga dapat merusak Tauhid umat. Pada praksisnya, manhaj kalam Wahabi justru lebih memperlihatkan ortodoksi pemikiran dibandingkan Asy’ariyah. Bahkan lebih dari Asy’ariyah, kalam Wahabi sangat tekstual dalam memahami nas-nas teologi dalam Alquran maupun hadis dan sangat menentang segala bentuk penggunaan akal dalam pandangan teologi. Di samping kalam Asy’ariyah dan Wahabi, aliran kalam yang juga eksis di dunia Sunni adalah kalam Maturudiyah. Secara umum, manhaj kalam Maturudiyah berposisi sebagai sintesa dari manhaj kalam Mu’tazilah yang cenderung “liar” dalam penggunan akal serta manhaj kalam Asy’ariyah yang sangat menekankan pada otoritas makna harfiah nas. Sehingga manhaj kalam Maturudiyah tampak mengambil jalan tengah antara dikotomi akal dan naql (nas) Bebas dari ikatan fanatisme terhadap ortodoksi tradisional tetapi tetap mempedomani naql sebagai kebenaran mutlak. Akal bukan disejajarkan dengan naql, melainkan digunakan untuk memahami naql. Dengan demikian manhaj kalam Maturudiyah terlihat berada pada posisi tengah antara manhaj kalam Mu’tazilah yang rasional dan manhaj kalam Asy’ariyah yang literal. Dari sisi naql, manhaj kalam Maturudiyah lebih dekat dengan Asy’ariyah, sdangkan dari segi penggunaan akal, manhaj kalam Maturudiyah lebih dekat dengan Mu’tazilah.10 Corak manhaj kalam Maturudiyah ini berimplikasi pada bangunan konsep teologinya yang cenderung lebih rasional dibandingkan Asy’ariyah namun tidak seliberal Mu’tazilah. Berbeda dengan aliran-aliran kalam yang ada di dunia Sunni, di dunia Syiah bangunan konsep kalam termasuk belakangan baru tersusun secara sistematis. Secara konseptual, pemikiran kalam Syiah baru tersusun secara sistematis oleh Nashr al-Din al-Thusi, seorang ulama Syiah yang hidup sekitar abad 14 Masehi.11 Nashr al-Din al-Thusi merupakan seorang ulama yang juga seorang filosof aliran paripatetik (masysya’iyyah). Sehingga dalam manhaj kalamnya sangat diwarnai oleh corak berpikir filsafat paripatetik. Secara umum, manhaj kalam di dunia Syiah sangat memberikan porsi yang cukup besar dalam penggunaan akal. Hal ini didasarkan pada frase nafy dalam kalimat Tauhid, yang meniscayakan pengingkaran rasional terhadap segala macam pahaman tentang Ilah atau wujud mutlak. Frase afirmasi “Illallah” merupakan simbolitas dari capaian akhir pencaharian rasionalitas manusia akan Sang Wujud Mutlak yang keberadaanNya bersifat Wajib al-Wujud.12 Posisi akal dan naql dalam manhaj kalam Syiah didudukkan dalam porsi yang sama sebagai penuntun kebenaran fitrawi manusia akan sang Khalik. Rasio manusia menuntun manusia pada aksioma dasar akidah, khususnya tentang kebenaran 82 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara eksistensi dan keesaan Allah, kemestian akan keadilanNya, kemestian akan adanya kenabian dan imamah, serta keniscayaan akan adanya hari kebangkitan.13 Kedudukan nas kemudian berposisi sebagai peneguh, penjalas, dan memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai pembahasan teologi yang tidak mampu didedah oleh nalar an sich manusia.14 Ma’rifatullah dalam pandangan kalam Syiah merupakan pangkal agama yang harus dipahami dalam kerangka pembuktian rasional.15 Dalam keyakinan Syiah mengimani keberadaan Allah dan keesaanNya dengan pendekatan rasional merupakan kemestian fitrawi, karena keimanan kepadaNya tidak boleh didasarkan pada taklid semata.16 Itulah sebabnya dalam manhaj kalam Syiah peran rasionalitas filsafat sangat signifikan dalam menyusun pandangan kalamnya. Hal ini dikarenakan, pada umumnya mutakallim Syiah adalah juga seorang filosof. B. Perdebatan Konsep Ketuhanan Perbedaan manhaj kalam tersebut akhirnya berimplikasi pada perbedaan yang sangat signifikan tentang konsep ketuhanan pada masing-masing aliran kalam. Perbedaan dalam penempatan peran dan kedudukan akal dalam manhaj kalam akhirnya menimbulkan perbedaan yang sangat signifikan pada konsep ketuhanan. Antara Mu’tazilah dan Asy’ariyah (dan juga Wahabi) yang berbeda secara biner dalam memposisikan akal menyebabkan pandangan ketuhanan antara aliran tersebut berbeda secara diametral. Mu’tazilah yang memberikan peran yang sangat besar pada akal dan lebih cenderung menggunakan metode ta’wil dan analogi dalam menafsirkan ayat-ayat seputar teologi. Walhasil dalam memahami nas yang berbicara tentang “kedirian” Allah ditafsirkan secara metaforik. Misalnya ayat yang bertutur tentang Yad Allah (Tangan Allah), Wajh Allah (Wajah Allah), ‘Arsy, Kursy, dan lainnya dipahami sebagai ungkapan metaforik tentang kekuasaan, keagungan, dan kemuliaan Allah. Pendapat ini berbeda secara diametral dengan kalam Asy’ariyah dan Wahabi, yang memahami teks-teks teologi secara literal, sehingga cenderung menafsirkan ayat-ayat tentang tema-tema tersebut secara tekstual. Meskipun demikian, pandangan tentang tangan, wajah, ‘arsy, dan kursy Allah tidak bisa diserupakan sesuatu yang bersifat makhluk. Berdasarkan pada frase nafy dalam kalimat Tauhid yang diperjelas dengan ayat “laysa kamitslihi syai’un, kalam Wahabi dan juga Asy’ariyah menolak segala bentuk penyerupaan atau analogi tentang hal-hal tersebut.17 Perbedaan lain antara kalam Asy’ariyah dan Mu’tazilah adalah pada persoalan eksistensi Zat dan Sifat Allah. Dalam kalam Mu’tazilah, eksistensi Zat dan Sifat Allah adalah identik, sehingga Allah dalam kalam Mu’tazilah diyakini tidak memiliki sifat. Sedangkan dalam kalam Asy’ariyah eksistensi Sifat-sifat Allah sebagai “entitas” yang eksis. Dalam kalam Asy’ariyah, sifat Allah bukanlah esensi Allah, bukan Allah, dan bukan selain Allah (la Huwwa wa la ghairuh). Pandangan ini jelas-jelas ditolak oleh Mu’tazilah yang menganggap AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 83 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… pandangan tersebut berimplikasi pada ta’addud alqudama (banyaknya ke-qadiman). Pandangan ini menurut Mu’tazilah menimbulkan Syirik, karena meyakini akan adanya pluralitas “dalam” kedirian Allah.18 Perbedaan lain antara keduanya adalah pada keyakinan mengenai kehendak dan kekuasaan Allah. Mu’tazilah cenderung berpendapat bahwa kehendak dan kekuasaan Allah “di batasi” oleh hukum-hukum tertentu yang ditentukan oleh Allah sendiri, semisal janji dan ancaman, serta keadilanNya. Sedangkan Asy’ariyah berpendapat sebaliknya, bahwa kehendak dan kekuasaan Allah tidak terbatas sebagaimana ketidakterbatasan Allah sendiri. Oleh karena itu, janji, ancaman, dan keadilan Allah tidak bisa membatasi kehendak dan kekuasaanNya. Perbedaan pandangan ini berimplikasi pada pandangan tentang apakah Tuhan bisa memasukkan orang kafir ke surga dan memasukkan orang mukmin ke neraka?. Dalam pandangan Asy’ariyah hal itu mungkin saja, sedangkan dalam pandangan Mu’tazliah hal tersebut adalah mustahil karena bertentangan dengan janji dan ancamanNya, serta bertolak belakang dengan prinsip keadilanNya. Dalam hal penyifatan Allah, pandangan kalam Wahabi menampilkan corak yang lebih ortodoks dibandingkan Asy’ariyah. Pandangan kalam Wahabi meyakini eksistensi Allah yang duduk di atas ‘ArsyNya dan disetiap sepertiga malam turun ke langit dunia. Pandangan kalam ini sangat bercorak antropomorphis atau menyamakan Allah dengan sifat-sifat kemanusiaan. Dengan demikian tampak ambiguitas dalam pandangan kalam Wahabi, yang di satu sisi menolak analogi dan penyerupaan Allah dengan makhlukNya, tapi di sisi lain pandangan kalamnya menyiratkan penyerupaan Allah dengan manusia. Pada ranah Tauhid praksis, didasarkan pada frase nafy dalam kalimat Tauhid, kalam Wahabi menentang keras segala hal atau prilaku yang dianggap sebagai bentuk penyembahan kepada selainNya. Itulah sebabnya, Wahabi sangat keras dalam menentang praktek-praktek dan keyakinan tradisional yang mempercayai akan adanya kekuatan atau karamah pada benda-benda tertentu, termasuk diantara kuburan nabi dan para wali. Keyakinand dan prilaku tersebut dalam pandangan mereka adalah praktek yang mengarah pada kesyirikan yang harus dimurnikan dari akidah umat Islam. Pendapat lain dalam kalam Sunni yaitu Maturudiyah, yang dalam manhaj kalamnya mencoba membangun sintesa antara ortodoksi literal Asy’ariyah dan liberalisme rasionalitas Mu’tazilah. Paralel dengan pandangan Asy’ariyah, kalam Maturudiyah menyatakan bahwa Allah memiliki sifat, namun Maturudiyah juga berpendapat bahwa sifat Allah bukanlah sesuatu selain ZatNya (laisa syai’ ghairu zat). Dengan demikian dalam Tauhid sifat, Maturudiyah berbeda dengan Mu’tazilah yang cenderung menegasikan sifat, namun juga berbeda dengan pandangan Asy’ariyah yang meyakini eksistensi sifat sebagai entitas yang bukan Allah tapi juga bukan selain Allah. Dengan demikian, Maturudiyah juga menolak akan adanya ta’addud al-qudama’).19 84 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara Posisi jalan tengah dalam kalam Maturudiyah juga terlihat pada pembahasan perbuatan manusia dan ketetapan Allah. Jika Mu’tazilah berpandangan bahwa perbuatan manusia diciptakannya sendiri dan keadilan Allah adalah dengan memberinya pahala jika ia baik. Sedangkan dalam pandangan Asy’ariyah perbuatan manusia diciptakan oleh Allah dan keadilan Allah dengan membalas dari segi kasbnya. Namun, jika Allah memberikan siksa pada kasb yang baik dan sebaliknya memberikan surga pada kasb yang buruk Allah tetaplah Maha Adil. Maturudiyah berpandangan bahwa, perbuatan manusia dilakukan atas pilihannya sendiri. Allah terlibat dalam menciptakan istita’ah (kemampuan) pada diri manusia yang menyebabkan manusia dapat menciptakan sendiri perbuatannya. Dan keadilan Allah ialah membalas perbuatan yang diciptakan sendiri oleh manusia.20 Kalam Syiah yang manhajnya dipengaruhi oleh pemikiran filsafat, hal pertama yang harus dilakukan oleh seorang muslim dalam mengimani Allah adalah dengan membuktikan dengan dalil rasional akan keberadaaNya. Oleh karena itulah para mutakallim Syiah yang juga filosof, seperti Nashr al-Din alThusi, Mulla Hadi Sabzawari, Mulla Shadra, dan yang kontemporer seperti Taqy Misbah Yazdi, dan Jawadi Amuli menyusun argumentasi-argumentasi rasional tentang pembuktian akan keberadaan dan keesaan Allah. Argumenargumen tersebut selain meminjam dari argumentasi para filosof paripatetik seperti pembuktian dengan teori kausalitas, dalil gerak, qadim wa huduts, keberaturan alam, dan lain-lain, juga disempurnakan dengan pembuktian akan eksistensi dan unitas Allah melalui argumentasi wujud atau dalil shiddiqin yang digagsa oleh Mulla Shadra.21 Secara umum mengenai doktrin tentang Tauhid dalam kalam Syiah tampak dalam khotbah Ali bin Abu Thalib dalam Nahj Balaghah: Pangkal agama adalah ma’rifat tentang Dia. Kesempurnaan ma’rifat itentang Dia adalah membenarkanNya. Kesempurnaan dalam membenarkanNya adalah meyakini keesaanNya. Kesempurnaan keyakinan pada keesaanNya adalah memandang Dia suci. Kesempurnaan kesucianNya adalah dengan menafikan sifat-sifatNya, karena setiap sifat merupakan bukti bahwa ia berbeda dengan yang disifati. Mka barangsiapa yang melekatkan sifat pada Allah berarti dia mengakui keserupaanNya. Barangsiapa mengakui keserupaanNya berarti dia menduakanNya. … Dia maujud tapi tidak melalui fenomena pewujudan. Dia bersama segala sesuatu tapi tidak dalam kedekatan fisik. Dia berbeda dengan segala sesuatu tapi tidak dalam keterpisahan fisik. Dia berbuat tetapi tidak dalam konotasi gerak dan alat. …22 Dalam pandangan kalam Syiah, Allah adalah eksistensi yang WujudNya tidak terbatas oleh ruang dan waktu. Sehingga pemaknaan akan ayat-ayat teologis yang cenderung mendeskripsikan Allah secara materil harus ditafsirkan dalam kerangka metaforik. Ketakterbatasan Allah meniscayakan AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 85 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Dia di luar dari apa pun termasuk pemahaman mnausia. Oleh karena itu nalar manusia tak akan mungkin mampu memahami Dia sebagaiamana Dia. Akal manusia hanya mengantarkan manusia pada batas-batas pembuktian akan keberadaan dan keesaanNya saja. 23 Terkait dengan frase Nafy dalam kalimat Tauhid, Tauhid Zat adalah menafikan apa pun yang seperti Allah baik dalam pemahaman maupun kenyataan. Dan terkait dengan frase itsbat, tauhid Zat bermakna pengakuan akan eksistensi Allah yang melebihi dari segala apa pun dan tidak ada yang serupa denganNya. Dalam hal Tauhid Sifat, kalam Syiah mengakui bahwa Zat dan Sifat-sifat Allah adalah identik. Tauhid Sifat bermakna menafikan pluralitas dalam ZatNya sebagai keniscayaan akan keesaanNya.24 Tauhid Sifat dalam kalam Syiah memiliki kesamaan dengan Mu’tazilah yang cenderung menafikan Sifat Allah sebagai entitas yang mandiri. Sifat Allah merupakan realitas i’tibari yang eksistensinya idnetik dengan Zat Allah. Nama dan Sifat-sifat merupakan atribusi-atribusi artifisial yang dilekatkan kepada Allah dalam upaya untuk memudahkan memahami tentang Allah, karena memahami Zat Allah adalah suatu hal yang mustahil. Dalam Kalam Syiah, Sifat Allah terbagi dalam dua kategori, yaitu Sifat Zati dan Sifat Af’ali.25 Yang pertama merupakan Sifat Allah yang dikaitkan dengan DiriNya sendiri, seperti Sifat Wujud, Qadim, Esa, Quddus, dan lain-lain. Sedangkan Sifat Af’ali adalah Sifat-sifat Allah yang dilekatkan atas dasar relasi antara Allah dan makhlukNya. Seperti Sifat Rahman, Rahim, Khaliq, Ghafur, dan lain-lain. Konsep tentang Allah dalam kalam Syiah banyak dipenngaruhi oleh pandangan filsafat dan sufisme atau irfan. Allah dipahami sebagai Causa Prima, Wujud Mutlak (Wajib al-Wujud), Cahaya di atas segala cahaya (al-Nur al-anwar), dan Wujud qua wujud (Wujud Murni). Konsep Wahdat al–Wujud diterima sebagai keyakinan mainstream yang berbeda dengan pandangan kalam di dunia Sunni. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh konsep irfan Ibn ‘Arabi dan filsafat wujud Mulla Shadra. Tauhid dipahami sebagai kesatuan dengan Allah yang menafikan kesadaran akan segala sesuatu selain Allah, dalam pengertian tidak ada segala sesuatu yang eksis secara mandiri selain Dia. 26 Pandangan ini didasarkan pada pahaman frase nafy dalam kalimat Tauhid yang meniscayakan penafian akan wujud-wujud lain yang mandiri selain Allah. Karena Wujud pada dasarnya adalah tunggal, maka proses penciptaan alam semesta merupakan proses gradasi dari Wujud Murni yang melahirkan tingkatantingkatan wujud dalam ciptaan atau yang dikenal dalam filsafat Shadra dengan istilah tasykik al-wujud. Perbedaan yang sangat tajam dalam konsep ketuhanan dalam teologi Islam menjadikan wacana teologi Islam menjadi sangat kaya dalam hal tematema pembahasan dan pendekatan dalam memahami tema-tema tersebut. Namun, di sisi lain perbedaan tersebut terkadang melahirkan konflik horizontal yang cukup tajam antara masing-masing kelompok. Sangat banyak catatan sejarah bertutur tentang arogansi suatu golongan teologi yang ketika 86 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara berkuasa cenderung menafikan bahkan menghabisi kelompok lainnya, peristiwa mihnah merupakan salah satu contohnya. C. Perdebatan Konsep Ketuhanan dan Relasinya dengan Kehidupan Sosial Ilmu kalam sebagai warisan tradisi pemikiran Islam klasik yang selalu berkutat pada tema-tema ketuhanan yang abstrak, membuat ilmu kalam klasik sangat bercorak teosentris dan jauh dari hal-hal yang bersifat antroposentris. Atau dengan kata lain, pembahasan dalam ilmu kalam lebih bersifat “melangit” sehingga tak mampu dipraksiskan atau dipersentuhkan untuk menjawab pesoalan-persoalan kemanusiaan. Dikotomi wilayah transenden dan immanen dalam kalam Islam klasik, telah menempatkan Tuhan sebagai realitas transenden yang “jauh’ dari manusia. Realitas Tuhan ditempatkan sebagai realitas adi kodrati yang lepas dari realitas manusia dan tak akan pernah menyentuh kodrat kemanusiaan. Akibatnya, pembahasan-pembahasan ketuhanan dalam kalam yang bertujuan pada peneguhan keyakinan akan keberadaan dan keesanNya tidak membawa implikasi logis yang konstruktif bagi perkembangan sejarah kemanusiaan umat Islam. Hassan Hanafi misalnya mengkritik kalam Asy’ariyah yang menurutnya tak mampu dibuktikan secara ilmiah dikarenakan doktrin-doktrin teologi hanya berupa ide-ide “kosong” yang tak mampu diwujudkan secara kongkret, sehingga teologi Asy’ariyah tak mampu digunakan sebagai penuntun umat Islam menuju kebangkitannya dalam kehidupan yang nyata. Atas dasar inilah Hassan Hanafi menuduh teologi Asy’ariyah sebagai salah satu penyebab kemunduran Islam disamping sufisme.27 Selain itu teologi Asy’ariyah tak mampu dibuktikan secara filosofis, dikarenakan teologi Asy’ariyah lebih bersifat dialektik dan diarahkan untuk mempertahankan doktrin akidah dan memelihara kemurniannya serta tidak memiliki formulasid an kerangka yang jelas untuk dapat dilakukan “pembumian” terhadap pandangan teologisnya. Secara praksis, menurut Hassan Hanafi, teologi Asy’ariyah yak mampu menjadi “pandangan yang benar-benar hidup” yang memberi motivasi tindakan dalam kehidupan kongkret manusia. Hal ini dikarenakan penyusunan doktrin teologi tidak didasarkan atas kesadaran murni dan nilai-nilai perbuatan manusia. Sehingga muncul keterpecahan (split) antara keimanan teoritis dan keimanan praktis dalam umat Islam, yang pada gilirannya akan menghasilkan sikap-sikap moral ganda atau “sinkretisme kepribadian”. Fenomena sinkretis ini tampak jelas, menurut Hassan Hanafi, dengan adanya paham keagamaan dan sekularisme (dalam kebudayaan), tradisional dan modern (dalam peradaban), Timur dan Barat (dalam politik), Konserbatisme dan progresifisme (dalam sosial), serta kapitalisme dan sosialisme (dalam ekonomi).28 Melihat efek regresif dari teologi Asy’ariyah yang hari ini menjadi mainstreem utama dalam khasanah teologi Islam yang dianut oleh mayoritas umat Islam, meniscayakan perlunya digagas suatu konstruk teologi Islam yang mampu menjawab persoalan-persoalan umat Islam. Rekonstruksi teologi Islam AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 87 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… adalah satu hal yang sangat urgen dalam rangka pembenahan kondisi umat Islam menuju keadaan yang lebih baik. Teologi islam yang lebih bercorak antroposentris adalah corak teologi yang sangat dibutuhkan dalam menjawab kondisi kekinian umat Islam yang terpuruk pada keterbelakangan dan ketertinggalan dari umat-umat yang lain. Dalam rangka menyusun format kerangka teologi yang bersifat antroposentris sangat dibutuhkan penafsiran baru yang rasional dan ilmiah, serta tetap berdasarkan pada nash suci (Al-quran dan hadis) sebagai rujukan doktrinal dalam menyusun kerangka teologi yang konstruktif bagi umat Islam. Menurut Toshio Kuroda, dalam menyusun konstruk teologi yang memiliki relevansi dalam menjawab persoalan-persoalan yang senantiasa muncul dalam perjalanan manusia sepanjang zaman. Didasarkan pada keyakinan bahwa Islam adalah norma kehidupan yang sempurna dan mampu beradaptasi pada setiap bangsa dan setiap waktu. Firman Allah adalah abadi dan universal yang menyangkut seluruh aktivitas dari seluruh suasana aktivitas kemanusiaan tanpa perbedaan apakah ia aktivitas mental atau aktivitas duniawi.29 Berdasarkan pernyataan Toshio Kuroda tersebut, dapat disimpulkan bahwa Islam mencakup bidang-bidang keduniaan, mental, dan sekaligus ketuhanan. Dengan demikian teologi (Tauhid) memiliki fungsi vital dalam pemikiran umat Islam, dalam lembaga-lembaga sosial politik Islam, dan dalam peradaban.30 Tauhid haruslah bermakna penyatuan atau kesatuan antara dimensi transenden (spiritual) dan imanen (sosial). Antara realitas ilahiyah yang transenden dengan realitas alam dan manusia yang imanen tak memiliki keterpisahan yang kaku sehingga tak bsia diposisikan secara biner. Dalam pandangan Murtadha Muthahhari, konstruksi teologi (Tauhid) akhirnya, harus menjadi sebuah pandangan dunia (world view) Tauhid yang bersifat unipolar dan uniaxial.31 Menurut Allamah Husein Thabaththaba’I kalimat Tauhid sebagai nilai dasar dalam akidah Islam meniscayakan akan terwujudnya tatanan masyarakat yang didasarkan pada beberapa prinsip dasar kemanusiaan. Yang pertama adalah prinsip persamaan (egalitarianisme) yang mnyiratkan makna bahwa posisi manusia pada dasarnya adalah sama. Pangkat, golongan, suku, dan kekayaan bukanlah parameter yang menjadi ukuran kemuliaan seseorang di masyarakat. Kemuliaan seseorang didasarkan pada kedekatan hubungannya dengan Allah sebagai modus existence. Kedua adalah prnsip realisme, di mana pandangan dunia Tauhid meniscayakan sebuah keyakinan teologis yang berimplikasi secara langsung pada kenyataan hidup manusia sehari-hari dan menjadi landasan dalam setiap gerak kehidupan manusia. Dan yang ketiga adalah prinsip keseimbangan antara wilayah material dan spiritual, ranah individual dan sosial manusia.32 Dalam kaitannya dengan konsep La ilaha illallah, kalimat tauhid tersebut harus terejawantah dalam seluruh tata kehidupan manusia. Internalisasi 88 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara kalimat Tauhid tidak hanya melahirkan kesadaran individual menjadi insane tauhidi, tapi juga harus berimplikasi pada terbentuknya tatanan masyarakat tauhidi yang didasarkan pada nilai-nilai Tauhid. Kalimat Tauhid yang menafikan segala ilah selain Allah memestikan terwujudnya tatanan masyarakat yang egaliter, di mana tidak ada dikoromi kelas dalam masyarakat yang membuat satu kelompok menindasa kelompok masyarakat yang lain. Oleh karena itu, jika dalam masyarakat masih terjadi ketimpangan sosial, maka keniscayaan dari internalisasi kalimat Tauhid adalah dengan melakukan perjuangan pembebasan (liberation). Sehingga terwujud tata kehidupan sosial yang berlandaskan pada persaudaraan atas nama kemanusiaan (ukhuwah insaniyah) berlandaskan nilai-nilai keadilan Allah yang diejawantahkan dalam konteks kehidupan sosial manusia.33 Dengan demikian pembahsan tema-tema ketuhanan dalam teologi Islam tidak hanya menjadi wacana yang bersifat intellectual exercise semata, melainkan memiiliki relevansi langsung dengan kehidupan manusia Sehingga kalimat Tauhid sebagai sistem dan nilai dasar dalam keimanan Islam benar-benar membawa implikasi rahmat dalam kehidupan mansuia sebagaimana ultimate goal dari risalah Islam selaku rahmatan lil alamin. III. PENUTUP Perbedaan dalam pandangan teologi pada berbagai aliran kalam dalam islam didasarkan pada perbedaan manhaj atau epistemologi dalam memahami dan meyakini eksistensi Allah. Konsep ketuhanan antara masing-masing aliran teologi dalam Islam berbeda bahkan terkadang bertentangan secara diametral. Perbedaan ini membuat munculnya firqah-firqah kalam dalam Islam yang di satu sisi memperkaya khasanah tema-tema teologi Islam namun juga di sisi lain terkadang menjadi pemicu perpecahan dan konflik di kalangan umat islam. Dengan menelisik manhaj ketuhanan aliran kalam dalam Islam, maka kita akan mengetahui akar-akar perbedaan pandangan teologi dari masingmasing aliran kalam. Hingga kita bisa menyusun kerangka epistemologi ketuhanan yang mumpuni. Sehingga dengan itu dapat tersusun konstruksi konsep teologi Islam yang par excellence. Perbedaan konsep ketuhanan dalam setiap aliran kalam dalam Islam telah memperkaya khasanah pemikiran teologi Islam, selain membuat tematema teologi Islam menjadi lebih luas secara konseptual, perlu juga dilakukan pendekatan multidisipliner dalam menyusun kerangka konsep teologi Islam, sehinga tema ketuhanan dalam Islam bisa lebih bersifat dinamis. Oleh karena itu, perlu disusun sebuah kerangka teologi Islam yang benar-benar menyentuh permasalahan realitas kemanusiaan. Sehingga teologi Islam dapat benar-benar menjadi wacana yang membumi. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 89 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Endnotes Achmad Muchaddam Fahham, Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabathaba’i (Cet, I; Bandung: Teraju, 2003), h. 3. 2 A. Khudori Saleh, Wacana Baru Filsafat Islam (Cet, I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), h. 29. 3 Cyril Glase, The Concise Ensiklopedia of Islam, (Cet, I; London: Stacey International, 1990), h. 202. 4 Murtadha Muthahhari, Islamic of World View, Cet, II; London: Zahra Foundation Press, 1992), h. 33. 5 Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II, (Cet, VI; Jakarta: UI Press, 1986), h. 42. 6 Lihat ibid. 7 Noer Iskandar al-Barsany, Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturudi, (Cet, I; Jakarta: Srigunting Press, 2001), h. 89. 8 Ibid., h. 89-90. 9 Aliran revivalis Islam yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahab dan lahir serta berkembang di Hijaz pada abad 18. Secara epistemic, pemikiran kalam Wahabi merupakan pengembangan lebih alnjut dari pemikiran kalam Ibnu Taimiyah yang bercorak neo Hambali. Aliran ini sangat keras dalam menekankan purifikasi akidah umat, sehingga pada prakteknya cenderung sangat tidak toleran pada berbagai paham yang menurut mereka bertentangan dengan ajaran Islam. Lihat Ja’far Subhani, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab, (Cet, I; Qum: Maktabah Tauhid, 2000), h. 11-19. 10 Lihat Noer Iskandar al-Barsany, ibid., h. 90-91. 11 Murtadha Muthahhari, Fundamental of Islamic Teology, (Cet, IV; Teheran: Islamic Propagation Organization, 1997), h. 34. 12 Murtadha Muthahhari, Islamic of World View… h. 45. 13 Akidah Syiah terdiri atas lima poin dasar yang dikenal dengan istilah ushul al-khamsah, yaitu; Tauhid, al-Adl al-Ilahi, nubuwwah, imamah, dan ma’ad. Tauhid, nubuwwah, dan ma’ad merupakan ushul al-din, sedangkan al-adl al-ilahi dan imamah merupakan ushul mazhab. 14 Lihat ibid., h. 49-50. 15 Hal ini didasarkan pada ucapan Ali bin Abu Thalib dalam Nahj al-Balaghah, “Pangkal agama adalah pengetahuan tentang Dia”. Lihat Syarif Radhi, Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad Hashem dengan Judul Mutiara Sastra Ali, (Cet, I; Jakarta; al-huda, 2009), h. 37. 16 Hasan Abu Ammar, Akidah Syiah Seri Tauhid, (Cet, I: Jakarta: yayasan al-Muntazhar, 1992), h. 45. 17 Lihat Cyril Glase, op. cit., h. 409. 18 Lihat Noer Iskandar al-Barsany, op. cit., h. 81. 19 Noer Iskandar al-Barsany, op. cit., h. 33. 20 Ibid., h. 91-92. 21 Lebih lengkap mengenai dalil-dalil pembuktian akan keberadaan dan keesaan Allah dalam akidah Syiah, lihat Hasan Abu Ammar, op. cit. h. 45-219. 22 Lihat Syarif Radhi, Nahj Balaghah, op. cit., h. 37-40. 23 Ja’far Subhani, Illahiyat Jilid I, (Cet, II; Qum: Maktabah Tauhid, 2002), h. 34. 24 Lihat Ibid., h. 43. 25 Ibid., h. 46. 26 Cyril Glase, loc. cit. 27 Lihat AH. Ridwan, Reformasi Intelektual Islam (Cet, I; Yogyakarta: Ittaqa Press, 1998), h. 4445. 1 28 Lihat Hassan Hanafi, Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, diterjemahkan oleh Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke Revolusi (Cet, I; Jakarta: Paramadina, 2003), h. 39. 90 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Sabara 29 Kazuo Shimogaki, Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought : a Critical Reading, diterjemahkan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula dengan Judul Islam Kiri: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanafi (Cet. VII; Yogyakarta: LKiS, 2004), h. 16. 30 Ibid. 31 Lihat Murtadha Muthahhari, Syesyi Makoleh, diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan (Cet, I; Jakarta: Lentera Basritama, 2002), h, 221. Lihat Allamah Husein Thabaththaba’I, Muhammad in the Mirror of Islam, Diterjemahkan oleh Husein Anis al-habsy dengan Judul Hikmah Islam. (Cet, IV; Bandung: Mizan, 1993), h. 23-35. 33 Jauh sebelum slogan liberte, freternite, dan egalite didengungkan dalam revolusi Prancis tahun 1789. Rasulullah saw dengan revolusi Tauhidnya secara tidak langsung telah memperkenalkan konsepkonsep tersebut sebagai nilai dasar dalam sistem sosial masyarakat Islam. 32 DAFTAR PUSTAKA Ammar, Hasan Abu, Akidah Syiah Seri Tauhid. Jakarta: Yayasan al-Muntazhar. 1992. Al-Barsany, Noer Iskandar. Pemikiran Kalam Abu Mansur al-Maturudi. Jakarta: Srigunting Press. 2001. Fahham, Achmad Muchaddam. Tuhan dalam Filsafat Allamah Thabaththaba’i. Bandung: Teraju. 2003. Glase, Cyril. The Concise Ensiklopedia of Islam. London: Stacey International. 1990. Hanafi, Hassan. Min al-Aqidah ila al-Tsawrah, diterjemahkan oleh Asep Usman Ismail, Suadi Putro, dan Abdul Rauf dengan Judul Dari Akidah ke Revolusi. Jakarta: Paramadina. 2003. Muthahhari, Murtadha. Islamic of World View. London: Zahra Foundation Press. 1992. _______, Fundamental of Islamic Teology. Teheran: Islamic Propagation Organization. 1997. _______, Syesyi Makoleh. Diterjemahkan oleh Muhammad Ilyas Hasan dengan Judul Kumpulan Artikel Pilihan. Jakarta: Lentera Basritama, 2002. AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 91 Sabara Perdebatan Aspek-Aspek Ketuhanan dalam Teologi… Nasution, Harun. Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya Jilid II. Jakarta: UI Press, 1986. Radhi, Syarif. Nahj al-Balaghah, Diterjemahkan oleh Muhammad Hashem dengan Judul Mutiara Sastra Ali. Jakarta; al-Huda. 2009. Ridwan, AH. Reformasi Intelektual Islam. Yogyakarta: Ittiqa Press. 1998. Shaleh, Khudori. Wacana Baru Filsafat Islam. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004. Shimogaki, Kazuo. Between Modernity and Postmodernity the Islamic Left and Dr. Hassan Hanafi’s Thought : a Critical Reading. Diterjemahkan oleh M. Imam Aziz dan M. Jadul Maula dengan Judul Islam Kiri: Antara Modernisme dan Postmodernisme Telaah Kritis Pemikiran Hassan Hanaf. Yogyakarta: LKiS. 2004. Subhani, Ja’far. Illahiyat Jilid I. Qum: Maktabah tauhid. 2002. _______, Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Qum: Maktabah tauhid. 2000. Thabaththaba’I, Allamah Husein. Muhammad in the Mirror of Islam. Diterjemahkan oleh Husein Anis al-Habsy dengan Judul Hikmah Islam. Bandung: Mizan, 1993. 92 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015