free willf dan predestination - IAIN MANADO Open Journal Systems

advertisement
FREE WILL AND PREDESTINATION DALAM KAJIAN ISLAM
Ridwan Jamal1
Abstrak
Free will and predestination merupakan kajian yang banyak
menimbulkan polemik antara Qadariah, Mu’tazilah serta Jabariah
Asy’ariah dan Maturidiah. Jika kita ingin melihat intensitasnya dalam
masing-masing kecenderungannya, Qadariah lebih ekstrim daripada
Mu’tazilah dalam melihat kebebasan manusia. Sedangkan Jabariah
ekstrim dari pada Asy’ariah dalam hal fatalisme manusia. Dan
Maturidiah dalam hal ini mengambil jalan tengah, mereka tidak
menafikan kebebasan tuhan dan kekuasaan manusia. Perbedaan
pandangan mereka bertumpuh pada logika format-deduktif, tanpa
memperhatikan konteks social masing-masing pemikirannya.
Kata Kunci: Free Will And Predestination
A. Pendahuluan
Masalah Free will dan fatalisme masih relevan untuk dikaji di masa sekarang.
Karena persoalan ini terkait erat dengan sikap hidip manusia. Orang yang memiliki
kecenderungan liberal dalam pola hidup tentunya lebih berpeluang meraih kehidupan
yang lebih mapan dari pada yang mengikuti sikap fatalis.2 Namun demikian, seorang
terkadang menghadapi kendala dalam menentukan pilihan antara sikap liberal dan
fatalis. Itu disebabkan oleh adanya beberapa teks dalam Al-Quran yang memberikan
indikasi atas kebebasan manusia, seperti QS. al-Kahf (18): 29. dan terdapat juga
beberapa ayat yang yang menunjukkan bahwa manusia adalah mahluk yang sangat
lemah sehingga lebih cocok untuk bersikap fatali, seperti Q.S al-Takwir (81) : 29.
Rasa kebingungan menentukan sikap semakin tajam setelah ayat-ayat ini dikaji dan
dijelaskan oleh para pemikir sesuai dengan kecenderungan intelektual mereka
masing-masing. Yang lebih memprihatinkan lagi, penjelasan-penjelasan mereka
1
2
Penulis adalah dosen tetap pada Jurusan Syari’ah STAIN Manado.
Harun Nasution, Islam Rasional (Cet II, Jakarta, Mizan, 1995), h. 111.
dikaitkan dengan masalah selamatan di dunia dan di akhirat. Pemikiran teologis
mereka pisahkan dari konteks kesejarahannya. Sehingga muslim semakin tidak
percaya diri dalam mengambil sikap.
Dalam makalah ini, kami mencoba mengangkat ke permukaan beberapa faham
tentang free will dan predestination. Kami ingin menelaah perbedaan pandangan
beberapa faham dengan menghubungkannya dengan konteks sejarah di mana ia lahir
secara singkat. Dengan demikian, kesakralan beberapa faham teologi dapat berkurang,
disamping itu akan dapat merubah pola pikir pembaca yang mungkin dulunya
mempelajari teologi Islam untuk membela Tuhan kepada mempelajari teologi
membela umat Islam.
Memisahkan suatu pemikiran dari konteks sosio-politiknya akan membawa
kita kepada pemisahan pemikiran dari peran dan makna historisnya, memisahkan
kepala dari badan. Dan pada gilirannya tercipta transendensi pemikiran yang
menjerumuskan seseorang kepada pengkultusan pemikiran. Pengkultusan pemikiran
akan menyebabkan umat yang percaya bahwa hanya wahyu yang suci menjadi rancu
dalam berpikir karena hal itu menyebabkan mereka tidak mampu membedakan antara
yang profan dan yang sakral, sebagaimana yang dialami bangsa Israil.
B. Pembahasan
Free will Qadariah dan Mu’tazilah
Secara teknis, pedanan kata free will dalam bahasan Arab adalah al-qadariyah.
Yaitu, suatu faham teologi yang menyatakan bahwa manusia mempunyai kemampuan
(qudrah) dan kebebasan penuh berbuat dengan upayanya sendiri. Dialah yang
menciptakan segala perbuatannya karena dia pula yang bertanggung jawab atas segala
tindakannya. Dengan demikian, free will dan free act atau al-qadariyah berasal dari
pengertian bahwa manusia mempunyai qudrah atau kekuatan untuk melaksanakan
kehendaknya, dan bukan berasal dri pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada
takdir atau kadar Tuhan.
Aliran ini mulai merebak sebagai sebuah diskursus pemikiran dikalangan
intelektual muslim pada akhir pemerintahan Khulafa al-Rasyidin dan awal kekuasaan
bani Umayyah. Karena tergerak oleh keresahan akibat adanya konflik yang
berkepanjangan antara elit politik masyarakat dikala itu, seluruh lapisan masyarakat
dari kalangan awam sampai kalangan atas resah. Mereka muai mempertanyakan
makna hidup manusia. Jikalau manusia adalah mahluk yang cerdas dengan akal
budina, mengapa mereka tidak mampu menemukan solusi untuk membebaskan diri
dari kemelut yang sangat mengganggu ketenangan. Dalam merespon pertanyaan
tersebut, orang-orang dikala itu terbagi dalam dunia kecenderungan, kelompok
optimis dan pesimis. Kaum Qadariah adalah orang-orang optimis dan tidak menyerah
kepada nasib seperti kecenderungan pemikiran-bukan kecenderungan perbuatan kaum
Jabariyah. Karena pada tingkat perbuatan, tidak ada perbedaan antara tokoh-tokoh
Qadariyah dan Jabariya. Keduanya menentang arus ketidakadilan dalam masyarakat.
Untuk melegitimasi pendirian kaum Qadariyah, mereka mencari-cari landasan
argumentatif, baik dari wahyu mapun akal. Jadi pola pikir dulu yang terbentuk, baru
mencari landasan argumentatif.
Dengan merujuk kepada ayat Al-Quran, seperti Q.S. al-Ra’d (13):11, orangorang Qadariah berpendapat bahwa manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan
dalam berbuat3. Cm berbuat karena kehendaknya sendiri, bebas dari kehendak
Tuhan4. Bahkan ada diantara kaum Qadariah yang mengingkari qadha dan qadar
1.
Harun Nasution , Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan (Cet V;
Jakarta : UI Press, 1986), h. 31.
2
Imam Muhammad Abu Zahra, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah diterjemahkan olh Abd.
Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, (Cet. I;
Jakarta : Logos P.H, 1996), h.132.
Tuhan5. Pengingkaran mereka terhadap qadha berimplikasi pada pengingkaran ilmu
qadim Tuhan karena bagi mereka ilmu qadim Tuhan menghalangi kebebasan
manusia-berbeda dengan Mu’tazilah dalam hal ilmu Tuhan. Dengan demikian, Tuhan
tidak mengetahui yang mana yang akan terjadi, kecuali setelah terwujud.
Patut dicatat bahwa sepeninggal Rasulullah daerah kekuasaan Islam semakin
meluas melampaui batas-batas Jazirah Arab. Sebagai konsekuensi logis dari
perkembangan ini adalah orang-orang Islam mau tidak mau harus membuka diri
kepada semua corak peradaban dengan segala unsurnya. Dengan demikian, orangorang Islam bukan hanya mengembangkan kekuasaan wilayah secara fisik, tetapi ia
juga mengembangkan wilayah secara pemikiran.
Ketidakadilan penguasa dan fanatisme kekuasaan semakin menjauhkan para
elit pemikir6 dari para penguasa. Masyarakat semakin sibuk dengan urusan masingmasing tanpa peduli pada urusan pemerintah, bahkan ada yang bergabung dengan
golongan-golongan yang memberontak melawan pemerintah.
Washil ibn al-‘Atha (81-131 H) dan Amru ibn ‘Ubaid (w. 144 H), perintis
benih-benih dasar pemikiran Mu’tazilah yang hidup pada masa pergolakan Khalifah
Umayyah (41-131 H) yang akhirnya runtuh pada masa pemerintahan Marwan ibn
Muhammad, meskipun secara fisik keduanya tidak terlibat dalam urusan kekuasaan,
tetapi sebagai pemikir, dinamika masyarakat dikala itu tidak lepas dari
pengamatannya. Washil merumuskan konsep keadilan dan tauhid tentunya terdorong
oleh kenyataan yang ada dalam masyarakat pada masanya yang penuh sesak dengan
tindakan-tindakan kezaliman. Konsep ini adalah ungkapan sikap intelektual- jika tidak
3
Ibid
Lihat, Abdul Halim Uwais, Dirasah li al-Suqut al-Salasin al-Daulah al-Islamiyyah,
diterjemahkan Oleh Drs. Yudian Wahtudi dkk. Dengan judul Analisa Runtuhnya Daulah-daulah Islam
(Cet II; Jakarta : CV Pustaka Mantiq, 1992), h. 60-61.
4
ingin mengatakan ungkapan sikap politik-Washil terhadap penguasa yang tidak
menegakkan keadilan.
Sebagai konsekuensi dasar keadilan (al-Adl), maka keluarlah teori lain, yaitu
(a) akal dapat mengetahui baik buruknya sesuatu tanpa bantuan wahyu karena
predikat baik atau buruknya sesuatu tanpa bantuan wahyu karena predikat baik atau
buruknya sesuatu terdapat secara hakiki di dalamnya, tidak aksidental; (b) wajibnya
Tuhan berbuat untuk kebaikan (al-lithf) dan kemaslahatan bagi hamba-Nya. Dia tidak
boleh menciptakan kecuali hal-hal yang mendekatkan hamba kepada kebaikan dan
yang menjauhkannya dari keburukan; (c) kebebasan dan kemampuan manusia
berbuat tanpa campur tangan dari Tuhan karena sebuah objek tidak mungkin
dipengaruhi oleh dua kekuatan atau daya secara bersamaan. Dengan demikian, segala
sesuatu yang datang dari manusia itu merupakan hasil dari daya, kehendak dan
perbuatannya sendiri. Ini adalah konsekuensi logis pandangan mereka bahwa tanpa
bantuan wahyu cm mampu membedakan antara kebaikan dan keburukan, dan Allah
tidak berbuat kecuali hal-yang baik bagi hamba-Nya. Akibat dari segala tindakan
manusia adalah tanggung jawab manusia semata. Dengan demikian, keadilan dan
ketauhidan Tuhan terwujud secara nyata untuk kebaikan manusia, bukan untuk
Tuhan.
Al-Jubbai menjelaskan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatanperbuatannya, manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan
atas kehendak dan kemauannya sendiri. Dan daya untuk mewujudkan kehendak itu
telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Dengan demikian, daya
menurut Mu’tazilah adalah sifat yang mempunyai pengaruh, bukan efek dari sifat itu
sendiri. Efek dari sifat ini ialah perbuatan. Jadi efek nyata dari daya muncul
kemudian, tidak bersamaan dengan perbuatan.
Al-Qadhi Abd. Al-Jabbar, tokoh Mu’tazilah generasi terakhir dari madrasah alJubbai mengatakan bahwa yang dimaksud dengan “Tuhan membuat manusia sanggup
mewujudkan perbuatannya” ialah bahwa Tuhan menciptakan daya dalam diri manusia
dan pada daya inilah bergantung wujud perbuatan itu,dan bukanlah yang dimaksud
bahwa Tuhan membuat perbuatan yang telah dibuat manusia. Tidaklah mungkin
bahwa Tuhan mewujudkan perbuatan yang telah diwujudkan manusia.7 Pernyataan ini
berasal dari pendapat Mu’tazilah yang mengatakan bahwa hekekat daya adalah
kekuatan yang berfungsi memberi pengaruh. Daya dan pengaruh adalah dua hal yang
saling bertaut secara mutlak.Dengan demikian, tidak mungkin ada dua daya yang
memberi efek pada perbuatan yang sama, karena akan menyebabkan terjadinya dua
kekuatan yang berbentuan (al-tamannu’) satu sama lain. Karena perbuatan adalah
ciptaan manusia, maka tidak mungkin daya yang dipakai adalah daya tuhan,
melainkan dayanya sendiri yang tersimpan dalam dirinya sejak awal melahirkandaya
yang lain sebelum berbuat. Karena itu, kaum mu’tazilah melahirkan suatu teori taulid,
yaitu gerakan kedua timbul karena ada gerakan pertama. Seperti gerakan cincin yang
terjadi karena ada gerakan tangan8. Yang belum dijelaskan oleh kaum mu’tazilah
adalah pertayaan bagaimana terjadinya loncatan, pepindahan dari daya tuhan yang
diberikan kepada manusia menjadi daya manusia secara hakiki, bukan majazi?
generasi ketiga mu’tazilah memanfaatkan teori thufrah (loncatan) yag
dicetuskan al-Nazzam dalam membicarakan masalah kekuasaan Tuhan untuk
menjawab pertanyaan tersebut. Mereka berpendapat bahwa suatu benda dapat berada
pada tempat pertama, kedua,ketiga, dan langsung ketempat kesepuluh. Demkianlah
daya Tuhan yang tersimpan dalam diri manusia berubah menjadi daya manusia
5
6
48.
Harun Nasution, op. cit., h. 103.
Muhammad Sa’id Syaikh, Kamus Filsafat Islam, (Cet I; Jakarta : Rajawali pers, 1991), h.
sepenuhnya.9 Jawaban ini belum begitu memuaskan sebab masih menyisakan
pertanyaan, bagaimana proses loncatan terjadi, apakah daya itu berubah dengan
sendirinya atau ada faktor di luar dirinya yang melakukan.
B. Predistanition Jabariyah dan Asy’ariyah
Orang yang memiliki paham predistination atau fatalism yang dikenal dengan
nama fatalist. Orang yang percaya bahwa segala sesuatu ditentukan oleh nasib.
Orang-orang yang menganut paham ini dikenal dengan kaum Jabariah, yaitu
orang-orang yang meniadakan segala peran manusia dalam perbuatannya. Segala
sesuatu yang dilakukan telah ditetapkan Allah sejak zaman azali dan tugas manusia
hanya menjalani ketetapan itu bak kapas yang diterbangkan angin. Kemana arah angin
tertuju, kesanalah kapas itu menuju. Segala tindakan manusia tidak ada bedanya
dengan pergantian siang dan malam, terbitnya matahari di sebelah Timur dan
terbenamnya di sebelah Barat. Pendek kata, faham ini menafikan adanya perbuatan
hamba dan menyandarkan perbuatan itu sepenuhnya kepada Tuhan karena seorang
hamba tidak memiliki sifat kamampuan. Segala perbuatanya adalah keterpaksaan
semata.10
Jabariah merupakan antitesa dari faham Qadariah. Jabariah sebagai suatu
faham adalah anak sejarah, sama dengan Qadariah. Keduanya adalah ekspresi
pemikiran yang terlahir dari satu platform sejarah yang sama.
Abd al-Hasan Al-Asy’ari merasa prihatin dengan keadaan masyarakat yang
menyedihkan karena kondisi sosial politik dan itelektual yang tidak stabil. Mu’tazilah
yang dikenal sebagai golongan pemikir yang mempelopori pemikiran keadilan dan
kebebasan manusia justru terbawa-bawa menjadi alat kekuasaan.
7
Ahmad Hanfi, Theologi Islam (Ilmu Kalam) (Cet. VIII ; Jakarta: Bulan Bintang, 1990), h.
8
Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 121.
51.
Abd al-Hasan Al-Asy’ari ingin turut andil memberikan solusi terhadap
kebingungan pemikiran dan keagamaan yang melanda masyarakatnnya lewat jalur
intelektual keagamaan pada masanya.
Harun Nasution mengatakan, “dalam suasana demikianlah Al-Asy’ari keluar
dari golongan teologi dan menyusun teologi baru yang sesuai degan aliran orang yang
berpegang teguh dengan aliran orang yang berpegang kuat kepada hadits….apakah
tidak mungkin bahwa Al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah,karena melihat
bahwa aliran Mu’tazilah tidak dapat diterima oleh
umumnya umat Islam yang
bersifat sederhana dalam pemikiran? Dan pada waktu itu tidak ada aliran teologi yang
teratur sebagai gantinya.11
Polemik yang terjadi antara al-Asy’ari dengan berbagai kubu pemikiran
sebenarnya bersifat artificial. Karena tidak mungkin al-Asy’ari yang telah menggeluti
dan meyakini aliran Mu’tazilah selama 40 tahun tiba-tiba dirasuki perasaan ragu dan
berubah secara drastis dalam waktu yang singkat tanpa sebab yang jelas. Dengan
demikian, sikap ini merupakan sikap pragmatis yang didasari pada sebab-sebab
kemasyarakatan yang realistis dikala itu.
Salah satu persolan yang diangkat al-Asy’ari adalah masalah perbuatan
manusia. Dia mencoba mensintesakan antara aliran Qadariah-Mu’tazilah dan
Jabariah. Jika orang-orang Mu’tazilah menyatakan bahwa manusia menciptakan
perbuatannya sendiri, aliran Asy’ariah berpendapat bahwa kekuasaan Allah itu
meliputi segala sesuatu yang mungkin, termasuk perbuatan manusia. Jadi manusia
hanya sekedar alat bagi perbutan yang ditetapkan Allah. Peran manusia adalah peran
instrumental, tidak essensial. Peran manusia dalam perbutannya diistilahkan dengan
al-kasb (perolehan). Al-kasb merupakan perantara antara kekuasaan Tuhan yang
9
Harun Nasution, op. cit., h. 68.
mutlak dan perbuatan manusia, alat rasionalisasi hubungan antara keduanya, jawaban
teknis atas masalah pertemuan dalam satu objek perbuatan yang sama.
Al-Baghdadi memberikan ilustrasi untuk memahamkan teori kasb kaum
Asy’ariah dengan mengatakan bahwa “perbuatan mengangkat batu berat adalah
contoh yang biasa diberikan oleh kaum Asy’ariah tentang al-kasb. Ada orang yang
sama sekali tak sanggup mengangkat batu itu dan ada pula yang sanggup
mengangkatnya. Kalau kedua orang tersebut sama-sama mengangkat batu berat itu,
perbuatan mengangkat batu dialakukan oleh orang yang sanggup mengangkatnya,
tetapi itu tidak berarti bahwa orang yang tidak sanggup itu tidak turut mengangkat.
Perbuatan pada hakekatnya terjadi dengan perantara daya Tuhan, tetapi manusia
dalam pada itu tidak kehilangan sifat sebagai pembuat”.12
Dari ilustrasi ini, kekuatan Tuhan dilambangkan dengan orang yang kuat
mengangkat batu, sedangkan daya manusia disimbolkan dengan orang yang tidak
dapat sama sekali mengangkat batu. Ilustrasi ini mengangkat bentuk silogismenya
sudah tepat, tetapi tidak benar. Karena kalu memang orang pertama sanggup
mengangkat batu itu, untuk apa orang yang tidak berdaya sama sekali ikut
mengangkatnya. Tidak mengherankan jika teori kasb dijadikan orang-orang Arab
sebagai perumpaaan untuk hal-hal yang sangat sulit dan membingungkan dengan
mengatakan, “hal ini lebih sulit dari al-kasb al-Asy’ari”.
Adapun mengenai pemikiran teori Abu Manshur al-Maturidi banyak
dipengaruhi oleh pemikiran Imam Abu Hanifah. Pemikiran ini merupakan reaksi
terhadap kebingungan dan keresaha intelektual keagamaan masyarakat dikala itu
akibat goncangan-goncangan politik dan intelektual keagamaan yang tidak menentu
10
Ibid, h. 111.
sebagaimana yang dialami al-Asy’ari. Aliran Maturidiah, dengan demikian, usaha
sintesa pemikiran yang kedua.
Pendapat Maturidiah tentang perbuatan manusia berbeda dengan pendapat
Mu’tazilah dan kasb Asy’ari. Daya manusia menurut Maturidiah muncul bersamaan
dengan perbuatan sebagaimana yang dikatakan Asy’ari, dan perbuatan adalah
pemakaian daya yang diberikan Tuhan kepadanya. Jadi perbuatan itu merupakan
perbuatan manusia dalam arti yang sebenarnya, sebagaimana yang dikatakan
Mu’tazilah. Sedangkan perbuatan Tuhan hanya penciptaan daya dalam diri manusia
yang dipertanggung jawabkan manusia adalah pemakaiannya terhadap daya yang
terdapat dalam dirinya.13 Karena daya yang dipakai berbuat adalah Pemberian Tuhan
dalam diri manusia dan manusia berbuat dengan dayanya sendiri, maka mau tidak
mau harus ada suatu rentetan daya, dimana dari daya yang pertama tercipta daya
kedua dan seterusnya. Pendapat Maturidiah tentang perbuatan manusia tidak lebih
dari itu. Ia tidak berkembang kearah yang lebih jauh. Karena itu, Maturidiah tidak
terjebak kedalam perdebatan filosofis yang bias menjebak kedalam anomaly-anomali
(kejanggalan) logika, sebagaimana yang telah kita saksikan dalam argument yang
diajukan Mu’tazilah dan Asy’ari. Namun demikian, Maturidiah yang terlanjur
berpendapat seperti itu, akan mendapat masalah. Yaitu, kalau memang Tuhan
memberikan daya dalam diri manusia, apakah setelah itu Tuhan masih ikut campur
tangan atau tidak? kalau tidak, berarti Dia swt. istirahat. Dan jika tuhan ikut campur,
bagaimana Maturidiah memahamkan tentang tanggung jawab. Dan kalau tanggung
jawab letaknya pada penggunaan daya yang diberikan, maka siapa yang akan
bertangung jawab atas daya yang digunakan manusia untuk memanfaatkan daya yang
ada dalam dirinya? Daya tidak mungkin menjadi daya bagi dirinya sendiri.
11
Ibid., h. 112.
Secara substansial, antara Maturidiah dan Mu’tazilah tidak ada perdebatan.
Mu’tazilah yang mengatakan bahwa daya yang dipakai manusia adalah daya yang
disimpan Tuhan dalam dirinya tidak memiliki perbedaan pengertian dengan ungkapan
Maturidiah yang mengatakan bahwa daya yang tersimpan dalam diri manusia itulah
perbutan Tuhan. Keduanya sepakat bahwa manusia bisa berbuat secara hakiki karena
adanya kekuatan dalam dirinya. Karena kesamaan ini, kedua golongan menghadapi
persoalan argument yang sama.
C. Kesimpulan
Polemik yang terjadi antara Qadariah-Mu’tazilah Vs. Jabariah-Asy’ariah
dalam masalah free will dan predestination jika kita ingin melihat intensitasnya dalam
masing-masing kecenderungan adalah: Qadariah jauh lebih ekstrim dari pada
Mu’tazilah dalam melihat kebebasan manusia dari pada Mu’tazilah karena Qadariah
sampai kepada tingkat meniadakan ilmu Tuhan yang azali. Mereka berpendapat
bahwa Tuhan baru mengetahui perbuatan manusia saat dia melakukannya.
Sedangkan, Jabariah lebih ekstrim dari pada Asy’ariah dalam hal fatalisme manusia.
Meskipun kaum Asy’ari berpendapat kekusaan Tuhan meliputi segala kemungkinan,
tetapi mereka tidak meniadakan sama sekali peran dan tangung jawab manusia dalam
perbuatannya dengan teori kasb yang mereka tawarkan.
Maturidiah adalah aliran yang mengambil jalan tengah dalam masalah ini.
Mereka tidak menafikan kekuasaan Tuhan dan kekuatan manusia. Namun, secara
substansial, semua pikiran di atas tidak ada yang keluar dari aqidah Islam sebab
semua mengakui bahwa semua daya bersumber dari Tuhan. Qadariah dan Mu’tazilah
yang jauh melangkah dalam hal ini, masih mengatakan bahwa Tuhanlah yang
menciptakan daya dalam diri manusia. Sebaliknya, Jabariah yang menafikan
kebebasan manusia, tokoh mereka masih terlibat dalam perjuangan melawan
ketidakadilan penguasa, sebagaimana yang dilakukan orang-orang Qadariah.
Pertentangan intelektual di antara mereka hanya sebatas perdebatan verbal. Perbedaan
mereka hanya pada cara mengekspresikan hubungan timbal balik antara perbuatan
manusia dan perbuatan Tuhan. Perbedaan ini timbul, pertama, karena pemahaman
mereka yang berbea-beda dalam menelaah bahasan al-Qur’an; kedua, perbedaan sikap
dalam menanggapi gejala-gejala social; ketiga, perbedaan tempat dan waktu yang
mereka miliki. Factor yang kedua dan ketiga memberikan corak kepada factor yang
pertama. Sehigga orang-orang yang terlibat perdebatan tentang pandangan semua
aliran di atas dengan bertumpu pada logika formal-deduktif, tanpa meperhatikan
konteks social masing-masing pemikiran tersebut diatas, akan terjebak ke dalam
perdebatan yang tidak jelas juntrungannya. Karena setiap peserta debat akan
menemukan
keanehan-keanehan
(anomali)
sebagaimana yang telah kami sebutkan.
logika
dalam
argument
mereka,
DAFTAR PUSTAKA
Abu Zahrah, Imam Muhamad. Tarikh al-Mazahib al-Islamiyyah. Diterjemhkan oleh
Abd. Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan
Aqidah Dalam Islam. Cet. I; Jakarta: Logos P.H., 1996.
Hanafi, Ahmad. Theologi Islam (Ilmu Kalam). Cet. VIII ; Jakarta : Bulan Bintang,
1990.
Nasution, Harun. Islam Rasional. Cet. III ; Jakarta: Mizan, 1995.
----------------------, Teologi Islam, Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet.
V; Jakarta : UI Press, 1986.
Syaikh, Muhammad Sa’id, A Dictionary of Muslim Philosophy. Diterjemahkan Oleh
Husein Machmud dengan judul Kamus Filsafat Islam. Cet. I ; Jakarta:
Rajawali Press, 1991.
‘Uwais, Abd. Halim, Dirasatin li Suquti Salasina Daulatan Islamiyyatah.
Diterjemakan Oleh Drs. Yudian Wahyudi dkk. Dengan judul Analisa
Runtuhnya Daulah-daulah Islam. Cet. II; Jakarta : CV. Pustaka Mantiq,
1992.
Download