Kritik Ulama Kalam tentang Dzat dan Sifat Allah SWT

advertisement
Kritik Ulama Kalam tentang Dzat dan Sifat Allah SWT
MAKALAH
Disusun guna memenuhi tugas
Mata Kuliah
: Tauhid
Dosen Pengampu
: Drs. A. Ghofir Romas
Disusun Oleh:
1. M. A. Ilham Fathoni (1401026046)
2. Firyal Almira. S
(1401026047)
3. Clarrissa Claudya. A (1401026048)
4. Hidayatul Hasanah
(1401026049)
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2015
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam berbagai buku tentang teologi islam, pembicaraan tentang siat-sifat Tuhan
banyak melibatkan aliran Mu‟tazilah, Asy‟ariyyah, dan Matridiyyah. Perbedaan pendapat
antara aliran tersebut sangat tajam. Disatu sisi, Mu‟tazilah mengatakan bahwa Tuhan tidak
bersifat. Di sisi lain, Asy‟ariyyah dan Maturidiyyah mengatakan bahwa Tuhan niscaya
bersifat.
Alasan mengapa Mu‟tazilah mengingkari sifat-sifat Tuhan tidak benar-benar jelas.
Mahmud Shubhi berpendapat bahwa pemikiran Mu‟tazilah ini dilatarbelakangi oleh konsep
Nasrani tentang sifat Tuhan. Dalam ajaran Nasrani, Isa al-Masih adalah seorang manusia,
tetapi dalam dirinya terdapat sifat Tuhan. Faktor yang menyebabkan mu‟tazilah meniadakan
sifat Tuhan adalah demi mempertahankan keesaan Tuhan yang dikenal dengan paham
tawhid. Meski Tuhan tidak bersifat bukan berarti bahwa Tuhan tidak mengetahui, tidak
melihat, tidak berkuasa dan sebagainya. Namun, Tuhan tetap mengetahui dengan dzatnya,
bukan dengan pengetahuan. Tuhan tetap melihat dengan DzatNya bukan dengan penglihatan.
Tuhan tetap berkuasa dengan DzatNya bukan dengan kekuasaan.
Disamping itu, menurut al-Nazhzham, sifat-sifat tersebut harus terlepas dari Tuhan
karena keberadaannya membuat pengertian adanya tambahan pada diri Tuhan. Allah
mengetahui dengan DzatNya dan terlepas dari kebodohan dan kekurangan. Dalam hal ini, alNazhzham sesungguhnya sifat-sifat Allah itu adalah sifat salbiyyah (yang menunjukkan
ketidaksamaan DzatNya dengan makhluk).
B. Permasalahan
Bagaimana kritik Ulama Kalam tentang dzat dan sifat Allah?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Zat dan Sifat Allah
Pada masa sahabat dan tabi‟in, persoalan zat dan sifat Allah tidak pernah menjadi
pembicaraan kaum muslimin.
Sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama adalah sifat dzattiyah, yakni
sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini tidak terlepas dari DzatNya. Seperti ilmu,
kekuasaan, mendengar, melihat, kemuliaan, hikmah, ketinggian, keagungan, wajah, dua
tangan, dua mata.
Bagian kedua adalah sifat fi’liyah. Yaitu sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti
bersemayam di atas „Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir di malam, dan
datang pada hari Kiamat.
Tetapi pada masa sesudah mereka, timbullah persoalan sifat menjadi pembicaraan
golongan-golongan Islam, antara lain:
a. Aliran Musyabbihah
Aliran Musyabbihah atau karamiyah berpegang pada lahir-lahir nash-nash ayat
atau hadits mutasybihat berpendapat Allah mempunyai muka, dua tangan atau dua mata
bahkan lebih dari itu, Tuhan adalah tubuh lain daritubuh biasa.
Dalam ayat Al-Quran, banyak ayat-ayat yang menurut lahirnya berisi persamaan
Tuhan dengan makhluk, antara lain dalam QS. Al-Mulk:16, Al-An‟am:3,60, An-Nahl:50,
Asy-Syura:51, Toha:5, Al-Baqarah:210, dan AL-Kahfi:48.
b. Aliran Mu‟tazilah
Aliran ini mensifati Tuhan dengan esa, qodim, dan berbeda dari makhluk, sifatsifat ini adalah sifat salaby (negatif) karena tidak menambahkan sesuatu kepada zat
Tuhan. Dikatakan esa, karena tidak ada sekutu, kodim tidak ada permulaannya dan
berbeda dari makhluk, karena tidak ada yang menyamainya.
Wasil bin Atha‟ mensucikan Tuhan sejauh mungkin, ia tidak mengakui sifat ijaby
(positif) bagi Allah, seperti ilmu, qudrat dan iradat.
Pengikut-pengikut wasil tidak mengingkari sifat-sifat ijaby sama sekali, sebab
akan mengakibatkan pengosongan Tuhan dari sifat-sifatnNya dan menjadikan Tuhan
sebagai suatu fikiran murni, tidak ada isinya. Sebab itu ditetapkan sufat pokok yaitu ilmu
dan qudrat, kedua sifat ini disamakan dengan zat Tuhan sendiri.
Aliran ini mendapat sebutan golongan pengosongan sifat-sifat dari Tuhan, dari
lawannya yaitu golongan Al-Asy‟ariyah. Sebutan tersebut karena mereka tidak mau
memahami dasar pendapat golongan mu‟tazilah, yaitu pemisahan antara Tuhan dan
manusia dan menegaskan keesaan yang semurni-murninya.
c. Filosof-Filosof Islam
Pendapat para filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi mendekati pendapat
mu‟tazilah, mereka mengingkari berbilangnya sifat Tuhan dan mensucikan semurnimurninya.
Tetapi mereka tidak disebut golongan Mu‟tazilah karena mengetahui sifat-sifat
yang dikatakan lawan-lawannya, tetapi mereka menegaskan bahwa pengertiannya adalah
satu juga, yaitu zat Tuhan sendiri.
Tuhan adalah wujud pertama yang ada dengan sendirinya dan sebab pertama.
Sifat-sifat yang disebutkan Al-Quran tidak bisa diingkari tetapi harus diartikan, sifat-sifat
itu adalah gambaran pikiran yang diperlukan manusia untuk mempunyai gambaran
tentang Tuhan.
d. Al-Asy‟ariyah
Al Asy‟ary mengadakan pemisahan antara sifat negatif dan positif. Pendapat
tentang sifat negatif sama dengan aliran Mu‟tazilah, tetapi dalam sifat-sifat positif
berbeda pendapatnya. Mereka berpendapat, sifat positif berbeda dengan dzat Tuhan dan
antara sifat-sifat itu sendiri berlainan satu sama lain.
Sifat-sifat itu bukan hakekat dzat Tuhan sendiri. Tuhan mengetahui,
menghendaki, berkuasa, berbicara, hidup, melihat, mendengar, artinya Ia mempunya
sifat-sifat ilmu, iradah, qudrat, dan seterusnya.
Al Asy‟ariyah mengharuskan berlakunya soal-soal kemanusiaan pada Tuhan atau
mengharuskan berlakunya hukum pada alam lahir alam ghoib. Sifat-sifat dzat Tuhan
semuanya Azali karena itu tidak mungkin iradahnya baru sebagaimana yang dikata aliran
Mu‟tazilah. Sifat Tuhan bukan dzatnya bukan pula lain dari dzatnya, berarti sifat-sifat itu
tidak dapat lepas dari dzatNya.
Pemahaman tersebut tidak memecahkan persoalan sebelumnya, yaitu sebagimana
sifat-sifat lain daripada dzat, dan sifat-sifat itu qadim pula. Hal ini karena keinginan
memerasionalkan sifat-sifat Tuhan dengan sifat-sifat manusia. Seharusnya Al Asy‟ariyah
dan pengikut-pengikutnya mengetahui bahwa hubungan Tuhan dengan sifat-sifatnya lain
dengan hubungan manusia dengan sifat-sifatnya.
e. Al-Maturidi
Ia mengakui Tuhan memiliki sifat-sifat sejak zaman azali, tanpa pemisahan
antara sifat-sifat zat misalnya qudrat, dan sifat-sifat aktifitas (perbuatan, sifat af‟al)
misalnya menciptakan, menghidupkan, memberi rizki dan lain-lain. Sifat-sifat tersebut
tidak boleh diperbincangkan apakah hakikat zat atau tidak.
Penegasan Al Asy‟ari “tidak berbeda dari dzat” diartikan bahwa sifat-sifat itu
tetap ada pada dzat dan tidak bisa lepas daripadaNya. Apabila sifat-sifat itu bukan hakikat
dzat, tidak pula berbeda dari dzat, apakah sebenarnya sifat-sifat itu?
Al Maturidi menegaskan sifat-sifat itu sifat Allah tidak lebih dari itu, sehingga Ia
tidak dapat menyelesaikan pertentangan yang ada sebelumnya. Sikap Al Maturi terhadap
Mu‟tazilah lebih lunak, penetapan sifat untuk Allah tidak berarti tasybih dan aliran yang
mengingkari sifat-sifat dengan alasan mensucikan Allah tidak perlu disebut Mu‟tazilah
dan tidak pula kafir. Walaupun pengingkaran sifat lebih berbahaya daripada
melepaskannya, sebab dapat menjadikan Allah suatu gambaran fikiran yang kosong.
f. Ibnu-Rusyd
Ia berpendapat bahwa pembahasan tentang sifat-sifat Allah tidak ada gunanya dan
merupakn bid‟ah, karena tidak pernah dibicarakan kaum muslimin pada masa permulaan
Islam. Ibnu Rusyd membagi sifat-sifat Allah menjadi dua :
a) Sifat-sifat perbuatan yaitu yang menentukan hubungan Allah dengan makhluk.
b) Sifat zat dan wujud yaitu sifat-sifat yang meniadakan dari Tuhan segi-segi kelemahan
yang terdapat pada manusia.
Sikap para ulama kalam dalam kedua sifat-sifat tersebut selalu memerangi prinsip
pemisahan yang tegas antara alam manusia dengan alam ketuhanan.
Ibnu Rusyd tidak menyetujui pendapat Mu‟tazilah tentang persamaan zat Tuhan
dengan sifat-sifatnya, tidak dapat diterima orang awam, sebab bukan dalil axioma atau
bukan dalil syara‟.
Menurut Ibn Rusyd, sifat adalah kesempurnaan bagi yang ada. Sifat Tuhan adalah ciri
bagi kesempurnaan-Nya. Al-Qur‟an juga menegaskan bahwa Tuhan adalah „alim (maha
mengetahui), Bashir (maha melihat), sami‟ (maha mendengar), Qadir (maha kuas), murid
(maha menghendaki), Hayya (maha hidup), Mutakallim (maha berfirman). Semua itu
menunjukkan kesempurnaan Tuhan.
Ibnu Rusyd berpendapat bahwa Mu‟tazilah tidak mengingkari semua sifat Tuhan.
Yang mereka ingkari adalah sifat-sifat yang membawa kesamaan manusia dengan Tuhan
yang diesbut sifat Ijabiyyah. Sebaliknya, mereka tetap mengakui sifat salbiyyah (yang
menghilangkan kesamaan manusia dengan Tuhan).
Bagi asy‟ariyyah, hal ini tidak menjadi persoalan karena keberadaan sifat-sifat itu
tidak membawa pada berbilangnya yang kadim dan orang yang berpaham akan adanya
sifat Tuhan tidak membawa kepada syirik. Namun demikian, Mu‟tazilah dan asy‟ariysh
telah membawa perpecahan dikalangan umat muslim. Sebenarnya penetapan atau
peniadaan sifat Tuhan tidak ada dasarnya dalam al-Qur‟an. Oleh sebab itu pembahasan
ini termasuk bid‟ah dan telah membawa keraguan dikalangan umat islam.
Didalam al-Qur‟an terdapat banyak sekali ayat yang menjelaskan tentang sifat Tuhan.
Oleh sebab itu Ibn Rusyd banyak mempergunakan ayat al-Qur‟an sebagai dasar
pemikiran mengenai sifat-sifat Tuhan. Menurut Ibn Rusyd, Al-Qur‟an mengehendaki
agar manusia meyakini bahwa Tuhan maha sempurna. Dia mengetahui segala sesuatu
sebelum ada, mengetahui sedang ada, dan menegetahuinya untuk masa yang akan datang.
Dia maha sempurna, maha melihat, maha mendengar, dan sebagainya. Dalam maslah
ini Ibn Rusyd mengutamakan kepentinganmasyarakat umum. Masyarakat hanya tau
sesuatu yang tidak berbelit. Ibnu Rusyd tidak sejalan dengan mutakallimin yang berlarutlarut membicarakan masalah sifat Tuhan karena, baginya, membahasnya merupakan
perkara bid‟ah. Namun secara filosofis juga mengulasnya dalam Tahafut al Tahafut.
Jadi tampaknya Ibn Rusyd tidak menolak sifat pada Tuhan, tetapi mengakui
keberadaan sifat itu sebagai sesuatu yang tidak merusak keesaan Tuhan. Hanya saja, Ibn
Rusyd mengakui bahwa pemikiran asy‟ariyah tentang sifat Tuhan sulit dipahami.
Pemikiran asy‟ariyyah yang mengatakan sifat Tuhan dan bukan pula lain dari Tuhan
tidak bisa dicerna. Jadi Ibn Rusyd hanya mengkritik pemikiran asy‟ariyah dari segi
metode dalam menjelaskan persoalan sifat itu, Ibn Rusyd mengakui keberadaan sifat
Tuhan.
Golongan-golongan sesat seperti Jahmiyah, Mu‟tazilah dan Asy‟ariyah menyalahi AhlusSunnah wal Jama‟ah dalam hal sifat-sifat Allah. Mereka menafsirkan sifat-sifat Allah atau
menafikan banyak sekali dari sifat-sifat itu atau men-ta‟wil-kan nash-nash yang
menetapkannya dengan ta‟wil yang batil. Syubhat (keraguan, kerancuan) mereka dalam hal
ini adalah mereka mengira bahwa penetapan dalam sifat-sifat ini menimbulkan adanya
tasybih (penyerupaan Allah dengan lainNya). Oleh karena sifat-sifat ini juga terdapat pada
makhluk maka penetapannya untuk Allah pun menimbulkan penyerupaanNya dengan
makhluk. Karena itu harus dinafikan menurut mereka atau harus di ta’wil-kan dari dzahirnya, atau tafwidh (menyerahkan) makna-makna-nya kepada Allah SWT. Demikianlah
madzhab mereka dalam sifat-sifat Allah, dan inilah syubhat dan sikap mereka terhadap nashnash yang ada.
Allah SWT berfirman:
‫اتَّبِعُُا َما أُ ْو ِز َل إِنَ ْٕ ُك ْم ِم ْه َربِّ ُك ْم ََال تَتَّبِعُُا ِم ْه دَُوِ ًِ أََْ نَِٕا َء قَهِٕال َما تَ َذ َّكزَُن‬
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu..” (Q.S Al- A‟raf:3)
Rasulullah SAW bersabda:
“Ikutilah Sunnahku dan sunnah para Khulafa‟ Rasyidin sesudahku.” (HR. Abu Daud
dan At-Tirmidzi, ia berkata hadits ini hasan shahih)
Dan Allah SWT berfirman:
َّ ‫َّما أَفَآ َء‬
َ‫ٕم َك ْٓ ال‬
ِ ِ‫ٕه ََاب ِْه ان َّسب‬
ِ ‫َّللاُ َعهَّ َرسُُنِ ًِ ِم ْه أَ ٌْ ِم ْانقُ َزِ فَهِهَّ ًِ ََنِه َّزس‬
ِ ‫ُُل ََنِ ِذْ ْانقُزْ بَّ ََ ْانَٕتَا َمّ ََ ْان َم َسا ِك‬
َّ ‫َّللاَ إِ َّن‬
َّ ‫َٔ ُكُنَ ُدَنَةً بَ ْٕهَ ْاْلَ ْغىَِٕآ ِء ِمى ُك ْم ََ َمآ َءآتَا ُك ُم ان َّزسُُ ُل فَ ُخ ُذَيُ ََ َما وٍََا ُك ْم َع ْىًُ فَاوتٍَُُا ََاتَّقُُا‬
ِ
ِ ‫َّللاَ ََ ِذٔ ُذ ْان ِعقَا‬
“... Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkanlah;...” (Al-Hasyr:7)
BAB III
KESIMPULAN
Pada masa sahabat dan tabi‟in, persoalan zat dan sifat Allah tidak pernah menjadi
pembicaraan kaum muslimin. Sifat-sifat Allah terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama
adalah sifat dzattiyah, yakni sifat yang senantiasa melekat dengan-Nya. Sifat ini tidak terlepas
dari DzatNya. Seperti ilmu, kekuasaan, mendengar, melihat, kemuliaan, hikmah, ketinggian,
keagungan, wajah, dua tangan, dua mata.
Bagian kedua adalah sifat fi’liyah. Yaitu sifat yang Dia perbuat jika berkehendak. Seperti
bersemayam di atas „Arsy, turun ke langit dunia ketika tinggal sepertiga akhir di malam, dan
datang pada hari Kiamat.
a. Aliran Musyabbihah
Aliran Musyabbihah atau karamiyah berpegang pada lahir-lahir nash-nash ayat atau
hadits mutasybihat berpendapat Allah mempunyai muka, dua tangan atau dua mata bahkan
lebih dari itu, Tuhan adalah tubuh lain daritubuh biasa.
b. Aliran Mu‟tazilah
Aliran ini mensifati Tuhan dengan esa, kodim, dan berbeda dari makhluk, sifat-sifat
ini adalah sifat salaby (negatif) karena tidak menambahkan sesuatu kepada zat Tuhan.
Dikatakan esa, karena tidak ada sekutu, kodim tidak ada permulaannya dan berbeda dari
makhluk, karena tidak ada yang menyamainya
c. Filosof-Filosof Islam
Tuhan adalah wujud pertama yang ada dengan sendirinya dan sebab pertama. Sifatsifat yang disebutkan Al-Quran tidak bisa diingkari tetapi harus diartikan, sifat-sifat itu
adalah gambaran pikiran yang diperlukan manusia untuk mempunyai gambaran tentang
Tuhan.
d. Al Asy‟ariyah
Al Asy‟ary mengadakan pemisahan antara sifat negatif dan positif. Pendapat tentang
sifat negatif sama dengan aliran Mu‟tazilah, tetapi dalam sifat-sifat positif berbeda
pendapatnya. Mereka berpendapat, sifat positif berbeda dengan dzat Tuhan dan antara sifatsifat itu sendiri berlainan satu sama lain.
e. Al Maturidi
Al Maturidi menegaskan sifat-sifat itu sifat Allah tidak lebih dari itu, sehingga Ia tidak dapat
menyelesaikan pertentangan yang ada sebelumnya. Sikap Al Maturi terhadap Mu‟tazilah
lebih lunak, penetapan sifat untuk Allah tidak berarti tasybih dan aliran yang mengingkari
sifat-sifat dengan alasan mensucikan Allah tidak perlu disebut Mu‟tazilah dan tidak pula
kafir. Walaupun pengingkaran sifat lebih berbahaya daripada melepaskannya, sebab dapat
menjadikan Allah suatu gambaran fikiran yang kosong.
f. Ibnu-Rusyd
Ibn Rusyd tidak menolak sifat pada Tuhan, tetapi mengakui keberadaan sifat itu
sebagai sesuatu yang tidak merusak keesaan Tuhan. Hanya saja, Ibn Rusyd mengakui bahwa
pemikiran asy‟ariyah tentang sifat Tuhan sulit dipahami. Pemikiran asy‟ariyyah yang
mengatakan sifat Tuhan dan bukan pula lain dari Tuhan tidak bisa dicerna. Jadi Ibn Rusyd
hanya mengkritik pemikiran asy‟ariyah dari segi metode dalam menjelaskan persoalan sifat
itu, Ibn Rusyd mengakui keberadaan sifat Tuhan.
Download