Uploaded by User66278

makalah akal dan wahyu docx

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Allah menciptakan manusia sebagai makhluk yang penuh dengan kekurangan.
Dalam semua sisi kehidupan, kekurangan yang melekat pada manusia menyebabkan
kemampuan yang dimiliki menjadi sangat terbatas. Islam adalah agama yang sangat
memperhatikan peran dan fungsi akal secara optimal, sehingga akal dijadikan sebagai
standar seseorang diberikan beban taklif atau sebuah hukum. Jika seseorang
kehilangan akal maka hukum-pun tidak berlaku baginya. Saat itu dia dianggap
sebagai orang yang tidak terkena beban apapun.
Islam bahkan menjadikan akal sebagai salah satu diantara lima hal primer yang
diperintahkan oleh syariah untuk dijaga dan dipelihara, dimana kemaslahatan dunia
dan akhirat amat disandarkan pada terjaga dan terpeliharanya kelima unsur tersebut,
yaitu: agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Agama mengajarkan dua jalan untuk mendapatkan pengetahuan. Pertama, melalui
jalan wahyu, yakni melalui komunikasi dari Tuhan kepada/manusia, dan kedua
dengan jalan akal, yakni memakai kesan-kesan yang diperoleh panca indera sebagai
bahan pemikiran untuk sampai kepada kesimpulan. Pengetahuan yang diperoleh
melalui wahyu diyakini sebagai pengetahuan yang absolut, sementara pengetahuan
yang diperoleh melalui akal diyakini sebagai pengetahuan yang bersifat relatif, yang
memerlukan pengujian terus menerus, mungkin benar dan mungkin salah (Harun
Nasution, 1986: 1).
Di
zaman kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, timbul pertanyaan,
pengetahuan mana yang lebih dipercaya, pengetahuan yang diperoleh melalui akal,
pengetahuan melalui wahyu, atau pengetahuan yang diperoleh melalui kedua-duanya.
Karena itu, masalah hubungan akal dan wahyu ini merupakan masalah yang paling
masyhur dan paling mendalam dibicarakan dalam sejarah pemikiran manusia, telah
lebih dua ribu tahun (Harun Nasution, 1986: 1).
1
Akan tetapi, meskipun demikian akal bukanlah penentu segalanya. Ia tetap memiliki
kemampuan dan kapasitas yang terbatas. Oleh karena itulah, Allah SWT menurunkan
wahyu-Nya
untuk
membimbing
manusia
agar
tidak
tersesat.
Di
dalam
keterbatasannya-lah akal manusia menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui
batasnya dan menolak mengikuti bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Makalah ini akan membicarakan tentang (1) pengertian akal, (2) pengertian Wahyu,
(3) Fungsi Dan Kedudukan Akal Dan Wahyu Dalam Pandangan Ahli Kalam, (4)
Akal DanWahyu Dalam Pemikiran Islam
B. Rumusan masalah
1.
Apakah pengertian akal dan wahyu?
2.
Bagimana fungsi dan kedudukan akal dan wahyu?
3.
Bagaimanakah akal dan wahyu dalam pemikiran Islam?
4.
Bagaimanakah fungsi akal dan wahyu kaitanya dengan tugas manusia sebagai
hamba Allah dan khalifah di muka bumi?
C. Tujuan
Tujuan disusunnya makalah ini untuk menjelaskan bahwa akal dan wahyu dalam
kehidupan islam sangat penting akal dan wahyu yang
digunakan
maqasid as-
syari’ah atau maslahah yang menekankan terjaminnya kebutuhan hidup manusia,
dua di antaranya adalah mewujudkan terjaganya al-‘aql (intellect), dan keyakinan
(ad-din) (Fahim Khan, 1992: 73-74). Dalam hal ini wahyu merupakan sumber
pengetahuan yang didasarkan kepada keimanan kepada Allah SWT.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Akal Dan Wahyu
1.
Akal
Akal berasal dari bahasa Arab ‘aqala-ya’qilu’ yang secara lughawi memiliki
banyak makna, sehingga kata al ‘aql sering disebut sebagai lafazh musytarak, yakni
kata yang memiliki banyak makna. Dalam kamus bahasa Arab al-munjid fi al-lughah
wa al a’lam, dijelaskan bahwa ‘aqala memiliki makna adraka (mencapai,
mengetahui), fahima (memahami), tadarabba wa tafakkara (merenung dan berfikir).
Kata al-‘aqlu sebagai mashdar (akar kata) juga memiliki arti nurun nuhaniyyun bihi
tudriku al-nafsu ma la tudrikuhu bi al-hawas, yaitu cahaya ruhani yang dengannya
seseorang dapat mencapai, mengetahui sesuatu yang tidak dapat dicapai oleh indera.
Al-‘aql juga diartikan al-qalb, hati nurani atau hati sanubari.
Menurut pemahaman Izutzu, kata ‘aql di zaman jahiliah digunakan dalam arti
kecerdasan praktis (practical intelligence) yang dalam istilah psikologi modern
disebut
kecakapan memecahkan masalah (problem solving capacity). Dengan
demikian, orang berakal adalah orang yang mempunyai kecakapan untuk
menyelesaikan masalah, memecahkan problem yang dihadapi dan dapat melepaskan
diri dari bahaya yang mengancam. Lebih lanjut menurutnya, kata ‘aql mengalami
perubahan arti setelah masuk ke dalam filsafat Islam. Hal ini terjadi disebabkan
pengaruh filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran Islam, yang mengartikan ‘aql
sama dengan nous yang mengandung arti daya berfikir yang terdapat dalam jiwa
manusia. Pemahaman dan pemikiran tidak lagi melalui al-qalb di dada akan tetapi
melalui al-aql di kepala (Harun Nasution, 1986: 7-8).
Pengaruh filsafat Yunani terhadap filosof-filosof muslim terlihat dalam pendapat
mereka tentang akal yang dipahami sebagai salah satu daya dari jiwa (an-nafs/ arruh) yang terdapat dalam diri manusia. Seperti Al-Kindi (796-873) yang terpengaruh
Plato, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (alquwwah asy-syahwatiyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah al-
3
ghadabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berfikir (al-quwwah an-natiqah) yang
berpusat di kepala.
Sementara itu, di kalangan teolog muslim, mengartikan akal sebagai daya untuk
memperoleh pengetahuan, seperti pendapat Abu al-Huzail, akal adalah daya untuk
memperoleh pengetahuan, daya yang
membuat
seseorang dapat
membedakan
dirinya dengan benda-benda lain, dan mengabstrakkan benda-benda yang ditangkap
oleh panca indera. Di kalangan Mu’tazilah akal memiliki fungsi dan tugas moral,
yakni di samping untuk memperoleh pengetahuan, akal juga memiliki daya untuk
membedakan antara kebaikan dan kejahatan, bahkan akal merupakan petunjuk jalan
bagi manusia dan yang membuat manusia menjadi pencipta perbuatannya sendiri
(Harun Nasution, 1986: 12).
Letak akal Dikatakan di dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj (22) ayat 46, yang
artinya,” Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu bagi mereka
mempunyai al-qolb, yang dengan al-qolb itu mereka dapat memahami (dan
memikirkan) dengannya atau ada bagi mereka telinga (yang dengan telinga itu)
mereka mendengarkan dengannya, maka sesungguhnya tidak buta mata mereka tapi
al-qolb (mereka) yang buta ialah hati yang di dalam dada.”
Dari ayat ini maka kita tahu bahwa al-’aql itu ada di dalam al-qolb, karena,
seperti yang dikatakan dalam ayat tersebut, memahami dan memikirkan (ya’qilu) itu
dengan al-qolb dan kerja memahami dan memikirkan itu dilakukan oleh al-‘aql maka
tentu al-‘aql ada di dalam al-qolb, dan al-qolb ada di dalam dada. Yang dimaksud
dengan al-qolb tentu adalah jantung, bukan hati dalam arti yang sebenarnya karena ia
tidak berada di dalam dada, dan hati dalam arti yang sebenarnya padanan katanya
dalam bahasa Arab adalah al-kabd.
Dengan demikian akal dalam pengertian Islam, bukanlah otak, akan tetapi daya
berfikir yang terdapat dalam jiwa manusia, daya untuk memperoleh pengetahuan
dengan memperhatikan alam sekitarnya. Dalam pengertian inilah akal yang
dikontraskan dengan wahyu yang membawa pengetahuan dari luar diri manusia,
yakni dari Allah SWT.
4
2.
Wahyu
Kata al-wahy yang berarti suara, kecepatan, api, bisikan, isyarat, tulisan dan
kitab adalah kata arab asli, bukan kata pinjaman dari bahasa asing. Selanjutnya alwahy mengandung arti pemberitahuan secara tersebunyi dan dengan cepat. Namun
arti yang paling terkenal adalah “apa yang disampaikan Tuhan kepada nabi-nabi”.
Yakni sabda Tuhan yang disampaikan kepada orang pilihanNya agar diteruskan
kepada manusia untuk dijadikan pegangan hidup (Harun Nasution, 1992: 15)
Firman Allah itu mengandung petunjuk dan pedoman yang memang diperlukan oleh
umat manusia dalam menjani hidup di dunia dan di akhirat kelak. Dalam Islam
wahyu Allah itu disampaikan kepada nabi Muhammad saw yang terkumpul
semuanya dalam al-Qur’an.
Wahyu dalam arrti firman Allah yang disampaikan kepada nabi dan rasul-Nya,
misalnya:
Artinya: “ sesungguhnya kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana
kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang kemudiannya, dan
kami telah memberikan wahyu (pula) kepada ibrahim, ismail, ishaq, ya’qub, dan anak
cucuny, isa, ayyub,Yunus, Harun, dan sulaiman. Dan kami berikan zabur kepada
Dawud”
Adapun cara penyampaian wahyu, atau komunikasi Tuhan dengan nabi-nabi melalui
tiga cara: (1) Melalui jantung hati seseorang dalam bentuk ilham; (2) Dari belakang
tabir, seperti yang terjadi pada Nabi Musa dan (3) Melalui utusan yang dikirimkan
Tuhan dalam bentuk malaikat.
B. Fungsi Dan Kedudukan Akal Dan Wahyu
Al-quran juga memberikan tuntunan tentang penggunaan akal dengan
mengadakan pembagian tugas dan wilayah kerja pikiran dan qalbu. Daya pikir
manusia menjangkau wilayah fisik dari masalah-masalah yang relatif, sedangkan
qalbu memiliki ketajaman untuk menangkap makna-makna yang bersifat metafisik
dan mutlak. Oleh karenanya dalam hubungan dengan upaya memahami islam, akal
memiliki kedudukan dan fungsi yang lain yaitu sebagai berikut:
5
1.
Akal sebagai alat yang strategis untuk mengungkap dan mengetahui kebenaran
yang terkandung dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul, dimana keduanya adalah
sumber utama ajaran islam.
2.
Akal merupakan potensi dan modal yang melekat pada diri manusia untuk
mengetahui maksut-maksut yang tercakup dalam pengertian al-Qur’an dan
Sunnah Rosul.
3.
Akal juga berfungsi sebagai alat yang dapat menangkap pesan dan nsemangat alQur’an dan Sunnah yang dijadikan acuan dalam mengatasi dan memecahkan
persoalan umat manusia dalam bentuk ijtihat.
4.
Akal juga berfungsi untuk menjabarkan pesan-pesan al-Quran dan Sunnah dalam
kaitannya dengan fungsi manusia sebagai khalifah Allah, untuk mengelola dan
memakmurkan bumi seisinya.
Namun demikian, bagaimana pun hasil akhir pencapaian akal tetaplah relatif dan
tentatif. Untuk itu, diperlukan adanya koreksi, perubahan dan penyempurnaan terumenerus.
Adapun wahyu dalam hal ini yang dapat dipahami sebagai wahyu langsunng (alQur’an) ataupun wahyu yang tidak langsung (al-Sunnah), kedua-duanya memiliki
fungsi dan kedudukan yang sama meski tingkat akurasinya berbeda karena
disebabkan oleh proses pembukuan dan pembakuannya. Kalau al-Qur’an langsung
ditulis semasa wahyu itu diturunkan dan dibukukan di masa awal islam, hanya
beberapa waktu setelah Rosul Allah wafat (masa Khalifah Abu Bakar), sedangkan alhadis atau al-Sunnah baru dibukukan pada abat kedua hijrah (masa Khalifah Umar
bin Abdul Aziz), oleh karena itu fungsi dan kedudukan wahyu dalam memahami
Islam adalah:
1.
Wahyu sebagai dasar dan sumber pokok ajaran Islam. Seluruh pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam harus dirujukan kepada al-Qur’an dan Sunnah. Dengan
demikian dapat dipahami bahwa pemahaman dan penngamalan ajaran Islam
tanpa merujuk pada al-quran dan al-sunnah adalah omong kosong.
6
2.
Wahyu sebagai landasan etik. Karena wahyu itu akan difungsikan biala akal
difungsikan untuk memahami, maka akal sebagai alat untuk memahami islam
(wahyu) harus dibimbinng oleh wahyu itu sendiri agar hasil pemahamannya
benar dan pengamalannya pun menjadi benar. Akal tidal boleh menyimpang dari
prinsip etik yang diajarkan oleh wahyu.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera
penglihatan manusia.. Oleh karena itulah, Alloh SWT menurunkan wahyu-Nya untuk
membimbing manusia agar tidak tersesat. Di dalam keterbatasannya-lah akal manusia
menjadi mulia. Sebaliknya, ketika ia melampaui batasnya dan menolak mengikuti
bimbingan wahyu maka ia akan tersesat.
Meletakkan akal dan wahyu secara fungsional akan lebih tepat dibandingkan
struktural, karena bagaimanapun juga akal memiliki
fungsi sebagai alat
untuk
memahami wahyu, dan wahyu untuk dapat dijadikan petunjuk dan pedoman
kehidupan manusia harus melibatkan akal untuk memahami dan menjabarkan secara
praktis. Manusian diciptakan oleh tuhan dengan tujuan ang jelas, yakni sebagai
hamba Allah dan khalifah Allah, dan untuk mencapai tujuan
tersebut manusia
dibekali akal dan wahyu.
c. Konsep Free Will dan Predestination Dalam Perspektif Aliran Teologi
Dalam konteks teologi islam, kebebasan manusia merupakan ideologi yang
dianut oleh paham Qadariyah yang memberikan pandangan hanya manusialah yang
menciptakan perbuatannya sendiri tanpa ada intervensi dari pihak luar termasuk
Tuhan sendiri. Posisi Tuhan hanya terbatas pada penciptaan sifat/daya kebebasan
manusia tersebut.
Hal ini berbanding terbalik dengan Jabariyah, Menurut paham Jabariyah,
perbuatan manusia itu bukan diciptakan oleh manusia. Melainkan oleh Allah
subhanahu wa ta’ala. Bagi kelompok ini, manusia tidak bisa berbuat apa-apa,
manusia tidak memiliki kekuatan untuk melakukan perbuatan. Manusia hanyalah
dikendalikan Allah subhanahu wa ta’ala . Maksudnya bahwa setiap perbuatan yang
7
dikerjakan manusia tidak berdasarkan kehendak manusia, tapi diciptakan oleh Tuhan
dan dengan kehendak-Nya, di sini manusia tidak mempunyai kebebasan dalam
berbuat, karena tidak memiliki kemampuan.
Aliran Mu’tazilah
Kaum Mu’tazilah, karena dalam sistem teologi mereka manusia dipandang
mempunyai daya yang besar lagi bebas, sudah barang tentu manganut paham
qadariah atau free will. Dan memang mereka juga disebut kaum Qadariah. Begitupula
keterangan dan tulisan-tulisan para pemuka Mu’tazilah banyak mengandung paham
kebebasan dan berkuasanya manusia atas perbuatan-perbuatannya.Al Juba’i
umpamanya, menerangkan bahwa manusialah yang menciptakan perbuatanperbuatnnya. manusia berbuat baik dan buruk, patuh dan tidak patuh kepada Tuhan
atas kemauannya sendiri. Dan daya (al istita’ah) untuk mewujudkan kehendak itu
telah terdapat dalam diri manusia sebelum adanya perbuatan. Pendapat yang sama
diberikan pula oleh “abd al-Jabbar. Perbuatan manusia bukanlah diciptakan Tuhan
pada diri manusia. Manusia adalah manusia yang dapat memilih.
Untuk memperkuat paham di atas, kaum Mu’tazilah membawa argumenargumen rasional dan ayat-ayat al-Qur’an.Ringkasan argumen-argumen rasional yang
dimajukan oleh ‘Abd al-Jabbar umpamanya, adalah sebagai berikut. Manusia dalam
berterima kasih atas kebaikan-kebaikan yang diterimanya, menyatakan terima
kasihnya kepada manusia yang berbuat kebaikan itu. Demikian pula dalam
melahirkan perasaan tidak senang atas perbuatan-perbuatan tidak baik yang
diterimanya, manusia menyatakan rasa tidak senangnya kepada orang yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan tidak baik itu. Sekiranya perbuatan-perbuatan baik
atau buruk adalah perbuatan Tuhan dan bukan perbuatan manusia, tentunya rasa
terima kasih dan rasa tidak senang itu akan ditujukan manusia kepada Tuhan dan
bukan kepada manusia.
8
Aliran Asy’ariah
Menurut aliran Asy’ariyah, faham kewajiban Tuhan berbuat baik dan terbaik
bagi manusia (ash-shalah wa al-ashlah), sebagaimana dikatakan aliran Mu’tazilah,
tidak dapat diterima karena bertentangan dengan faham kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan. Hal ini ditegaskan al-Ghazali ketika mengatakan bahwa Tuhan tidak
berkewajiban berbuat dan yang terbaik bagi manusia. Dengan demikian aliran
Asy’ariyah tidak menerima faham Tuhan mempunyai kewajiban. Tuhan dapat bebuat
sekehendak hati-Nya terhadap makhluk. Sebagaimana yang dikatakan al-Ghazali,
perbuatan Tuhan bersifat tidak wajib (Ja’iz) dan tidak satu pun darinya yang
mempunyai sifat wajib.
Karena percaya kepada kekuasaan mutlak Tuhan dan berpendapat bahwa Tuhan
tidak mempunyai kewajiban apa-apa, aliran Asy’ariyah menerima faham pemberian
beban di luar kemampuan manusia, Asya’ari sendiri dengan tegas mengatakan dalam
al-Luma, bahwa Tuhan dapat meletakkan beban yang tidak dapat dipikul pada
manusia. Menurut faham Asy’ariah perbuatan manusia pada hakitkatnya adalah
perrbuatan tuhan dan diwujudkan dengan daya Tuhan bukan dengan daya manusia,
ditinjau dari sudut faham ini, pemberian beban yang tidak dapat dipikul tidaklah
menimbulkan persoalan bagi aliran Asy’ariah, manusia dapat melaksanakan beban
yang tak terpikul karena yang mewujudkan perbuatan manusia bukanlah daya
manusia yang terbatas, tetapi daya Tuhan yang tak terbatas.
Aliran Maturidiyah
Mengenai perbuatan Allah ini, terdapat perbedaan pandangan antara Maturidiyah
Samarkand dan Maturidiyah Bukhara. Aliran Maturidiyah Samarkand, yang juga
memberikan batas pada kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, mereka berpendapat
bahwa perbuatan Tuhan hanyalah menyangkut hal-hal yang baik saja, dengan
demikian Tuhan berkewajiban melakukan yang baik bagi manusia. Demikian halnya
dengan pengiriman Rasul Maturidiyah Samarkand sebagai kewajiban Tuhan.
Adapun Maturidiyah Bukhara memiliki pandangan yang sama dengan Asy’ariyah
mengenai faham bahwa Tuhan tidak mempunyai kewajiban. Namun, sebagaimana
9
dijelaskan oleh al-Bazdawi, bahwa Tuhan pasti menepati janji-Nya, seperti memberi
upah orang yang telah berbuat kebaikan. Adapun pandangan Maturidiyah Bukhara
sesuai dengan faham mereka tentang kekuasaan Tuhan dan kehendak mutlak Tuhan,
tidaklah bersifat wajib dan hanya bersifat mungkin saja.
Aliran Syi’ah
Al-Asy’ari dalam bukunya, Maqaalaat al-Islamiyyiin
wa ikhtilaf al-Mushallin,
menyebutkan beberapa pendapat Syi’ah Rafidhah tentang masalah perbuatan
manusia. Sediktinya ada tiga pendapat yang berbeda-beda. Pertama; Ialah para
pengikut Hisyam bin al-Hakam al-Rafidhi, di mana mereka beranggapan bahwa
perbuatan seorang hamba Allah itu diciptakanNYa. Ja’far bin Harb menceritakan,
bawa Hisyam bin al-Hakam menyatakan: “sebenarnya dari satu segi perbuatan
manusia ini merupakan daya (ikhtiyar) manusia itu sendiri, karena dia itulah yang
menghendaki dan mengusahakannya, tetapi dari segi lain perbuatan manusia ini pun
merupakan sesuatu yang dipaksakan Allah terhadap dirinya, karena perbuatan
manusia itu sebenarnya mustahil terjadi selain dengan adanya sebab yang
menggerakkan ataupun mendorong kearah terjadinya perbuatan manusia tersebut.
Pendapatnya ini mirip dengan aliran Maturidiyah. Karenanya, Fazlur Rahman
menyebut ide Hisyam bin Hakam ini sebanding dengan pandangan Maturidi. Kedua;
kelompok ini beranggapan bahwa manusia itu tidak bebas dan selalu dalam keadaan
terpaksa, sebagaimana anggapan para pengikut aliran jahmiyyah, tetapi manusia itu
pun tidak boleh hanya berserah diri saja, sebagaimana anggapan para pengikut aliran
Mu’tazilah. Ketiga; yang ketiga ini beranggapan bahwa perbuatan hamba Allah itu
bukan diciptakan Allah. Yang beranggapan seperti ini, kata Asy’ari, muncul dari
mereka yang memisahkan diri serta menetapkan adanya kepemimpinan.Yang terakhir
ini memiliki kemiripan dengan teologi Mu’tazilah
D. Pengertian Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan
Aliran yang mengakui kebebasan manusia dan mengakui ketidakmutlakan kekuasaan
dan kehendak Tuhan, biasa disebut kaum Qadariyah mereka yang mengakui adanya
10
freewill dan freeact bagi manusia. Mu’tazilah merupakan salah satu contoh dari
golongan pertama. Mereka berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan dan kehendak-Nya
tidak mutlak lagi, sudahlah terbatas dan ia harus melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang timbul dan peraturan yang dibuat-Nya . Diantara kewajiban-kewajiban yang
harus dilaksanakan Tuhan ialah memberi pahala bagi orang yang manjalankan
perintah-Nya dan menyiksa orang yang melanggar-Nya. Tidaklah adil jika Tuhan
memberikan pahala ataupun siksa kepada hamba-Nya tanpa mengiringinya dengan
memberikan kekuasaan terlebih dahulu. (Anwar dan Rozak, 2007 : 182). Semua
kewajiban Tuhan bisa dirangkum dalam satu kewajiban, yaitu Tuhan wajib berbuat
baik atau dalam istilah Mu’tazilah bisa disebut dengan al-Shalah Wa al-Ashlah
(berbuat baik dan terbaik).
E.
Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan.
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam aliran-aliran teologi
Islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan kebebasan serta kekuasaan
manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula perbedaan paham tentang
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang berpendapat bahwa akal
mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas kehendak dan
perbuatannya, kekuasaan dan kehendak Tuhan pada hakikatnya tidak lagi bersifat
mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat kekuasaan dan kehendak
Tuhan tetap bersifat mutlak dengan demikian bagi kaum Asy’ariah, sedangkan bagi
kaum mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak
semutlak-mutlaknya.[1]
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa kekuasaan Tuhan sebenarnya tidak bersifat
mutlak lagi, selanjutnya kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi oleh keadlian-Nya.
Seperti yang terkandung dalam uraian Nadir, kekuasaan mutlak Tuhan telah dibatasi
oleh kebebasan yang menurut paham Mu’tazilah, telah diberikan kepada manusia
dalam menentukan kemauan dan perbuatan. Seterusnya kekuasaan mutlak itu dibatasi
pula oleh sifat keadilan Tuhan. Tuhan tidak bisa lagi berbuat sekehendak-Nya, Tuhan
telah terikat pada norma-norma keadilan yang kalau dilanggar, membuat Tuhan
11
bersifat tidak adil bahkan zalim. Sifat serupa ini tak dapat diberikan kepada Tuhan.
Selanjutnya, kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan dibatasi oleh kewajibankewajiban Tuhan terhadap manusia yang menurut paham Mu’tazilah memang ada.[2]
Lebih lanjut lagi, kekuasaan mutlak itu dibatasi pula oleh nature of law atau hukum
alam (sunnah Allah) yang tidak mengalami perubahan. Firman Allah dalam QS.AlAhzab : 62
Artinya : “Sebagian Sunnah Allah yang berlaku atas orang-orang yang telah
terdahulu sebelum kamu, dan kamu sekali-kali tidak akan mendapati perubahan pada
sunnah Allah”
Bahwa kaum Mu’tazilah menganut paham bahwa tiap-tiap benda mempunyai
nature of law atau hukum alam sendiri.
Al-Jahiz (Nasution, 2006: 120) mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai
sifat dan natur sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut natur masing-masing.
Lebih tegas Al-Khayyat menerangan bahwa tiap benda mempunyai natur tertentu,
dan tak dapat menghasilkan kecuali efek yang itu-itu juga; api tak dapat
menghasilkan apa-apa kecuali panas dan es tidak dapat menghasilkan apa-apa kecuali
dingin. Efek yang ditimbulkan pada benda, menurut Mu’ammar seperti gerak, diam,
warna, rasa, bau, panas, dingin, basah, dan kering, timbul sesuai dengan hukum dari
masing-masing benda yang bersangkutan. Sebenarnya efek yang ditimbulkan oleh
benda bukan perbuatan Tuhan. Perbuatan Tuhan hanyalah menciptakan benda-benda
yang mempunyai nature of law tertentu.
Dari hal tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa aliran Mu’tazilah percaya pada
hukum alam atau sunnah Allah yang menganut perjalanan kosmos dan dengan
demikian menganut paham determinisme. Dan determinisme ini bagi mereka, sesuai
kata Nader, tidak berubah-ubah sama dengan keadaan Tuhan yang juga tidak
berubah-ubah.
Sebagai penjelasan selanjutnya, bagi paham sunnah Allah yang tak berubah-ubah
dan determinisme ini, ada baiknya dibawa disini uraian Tafsir al-Manar. Segala
sesuatu dialam ini, demikian al-Manar, berjalan menurut sunnah Allah dan sunnah
Allah itu dibuat Tuhan sedemikian rupa sehingga sebab dan musabab didalamnya
12
mempunyai hubungan yang erat. Bagi tiap sesuatu Tuhan menciptakan sunnah
tertentu. Bahwa sunnah Allah tidak mengalami perubahan atas kehendak Tuhan
sendiri dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak
mutlak Tuhan.
Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam paham Mu’tazilah kekuasaan mutlak Tuhan
mempunyai batasan-batasan; dan Tuhan sendiri, sebagai kata al-Manar, tidak
bersikap absolut seperti halnya dengan Raja Absolut yang menjatuhkan hukuman
menurut kehendaknya semata-mata.[3] Keadaan Tuhan, dalam paham ini lebih dekat
menyerupai keadaan Raja Konstitusional, yang kekuasaannya dan kehendaknya
dibatasi oleh konstitusi. Pembatasan atas kekuasaan dan kehendak Tuhan menurut
Mu’tazilah adalah tidak membolehkan adanya pembatalan siksa kepada mereka yang
berdosa besar dan meninggal sebelum sempat bertaubat. Tuhan wajib menyiksa
mereka yang berdosa besar.[4]
13
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan:
1.
Akal merupakan hidayah Allah yang diberikan kepada menusia berfungsi sebagai
alat untuk mencari kebenaran, akal mampu merumuskan yang bersifat kognitif
dan manajerial.
2.
Wahyu merupakan firman Allah yang berfungsi sebagai pedoman hidup
manusia. Wahyu baik yang langsung (al-Qur’an) maupun tidak langsung (alSunnah) sebagi sumber ajaran Islam
3.
Akal dan wahyu dilihat secara fungsional bukan struktural, akal berfungsi untuk
memahami wahyu, dan wahyu berfungsi untuk meluruskan kerja akal.
4.
Dalam ajaran Islam, akal mempunyai kedudukan tinggi dan banyak dipakai,
bukan hanya dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan saja, tetapi
juga dalam perkembangan ajaran-ajaran keagamaan Islam itu sendiri.
5.
Kedudukan wahyu terhadap akal manusia adalah seperti cahaya terhadap indera
penglihatan manusia
6.
Kaum Mu’tazialah berpendapat, bahwa baik dan buruk ditentukan oleh
akal.Mana, yang baik kata akal baiklah dia dan mana yang buruk kata akal
buruklah dia.Kepercayaaan seperti ini tidak dibenarkan oleh kaum Asy’ariah,
karena yang menentukan baik dan buruk adalah Tuhan dan Rasul-Nya, atau
katakanlah Qur’an dan Sunah, bukan Akal.
7.
Dan kaum Mu’tazilah juga bisa dikatakan paham Qadariah karena paham
Mu’tazilah kehendak di tangan manusia dan Qadariyah mempunyai kebebasan
dalam berbuat.Sehinnga kaum Mu;tazilah masuk termasuk Qadariah.Mereka
brpendapat baahwa perbuatan manusia adalah orisinil perbuatan manusia atau
perbuatan manusia yang sebenarnya tidak ada ikut campur perbuatan
Tuhan.Sehingga perbuatan manusia adalah perbuatan manusia itu sendiri dan
bukanlah perbuatan Tuhan.
14
8.
Dan pendapat al-Asy'ariah juga diperkuat oleh Adapun Maturidiah golongan
Bukhara , maka bagi mereka , menurut apa yang dijelaskan al-Bazdawi ,
kehendak berbuat adalah sama dengan kehendak yang terdapat dalam paham
golongan Samarkand . Mereka juga mengikuti Abu Hanifah dalam paham
kehendak dan kerelaan hati Tuhan. Kebebasan kehendak bagi mereka hanyalah
Tuhan. Dalam hubungan ini, al-Maturidi, sebagai pengikut5 Abu Hanifah,
menyebut dua perbuatan, perbuatan Tuhan dan perbuatan manusia. Perbuatan
Tuhan mengambil bentuk penciptaan daya dalam diri manusia dan pemakaian
daya itu sendiri merupakan perbuatan manusia . Daya diciptakan bersama-sama
dengan perbuatan, jadi tidak sebelumnya perbuatan seperti dikatakan kaum
Mu’tazilah. Perbuatan manusia adalah perbuatan manusia dalam arti sebenarnya
dan bukan dalam arti kiasan . Pembuatan upah dan hukum didasarkan atas
pemakaian daya yang diciptakan.
9.
Sehingga dalam hal ini sangat perlu ditegaskan, bahwa salah besar paham yang
dianut kaum Qadariyah atau Mu'tazilah, bahwa manusia sebebas-bebasnya dan
melawan kehendak Tuhan.Dan Hukum alam hakikatnya adalah kehendak Tuhan
yang tidak bis adi tawar. Sehingga hanya Tuhan yang berkuasa.
10. kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan itu memiliki batasan. Batasan tersebut
dikarenakan
dalam
Mu’tazilah
manusia
mempunyai
kebebasan
dalam
menentukan perbuatannya sesuai dengan kehendaknya, karena manusia
sendirilah yang menciptakan perbuatannya. Lebih lanjut lagi kehendak Tuhan
dibatasi oleh keadilan-Nya. Manusia hanya mempunyai kebebasan mengarahkan
daya yang diberikan Tuhan kepadanya sesuai dengan kehendak dan kemauannya.
Manusia tidak menciptakan perbuatannya, sebab pada hakikatnya ia tidak bisa
berbuat apa-apa tanpa adanya daya Tuhan.
11. Mengenai tentang paham kekuasaan, kehendak dan keadilan Tuhan, Pembatasan
atas kekuasaan dan kehendak Tuhan menurut Mu’tazilah ini dapat dikatakan
sangat ketat karena tidak membolehkaan adanya pembatasan siksa bagi orang
mukmin yang berdosa
15
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Harun. 1992. Pembaharuan Dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. 1986. Akal Dan Wahyu Dalam Islam. Jakarta: UI Press
Absori, Sudarno Shobron, Yadi Purwanto dkk. 2009. Studi Islam 3. Surakarta: LPID
UMS
Asy’arie, Musa. 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an.
Yogyakarta: Lembaga studi Filsafat Islam.
16
Download