Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain POLEMIK ALIRAN ISLAM KLASIK TENTANG IMAN, KUFUR, AKAL DAN WAHYU Ahmadi Husain STIT Syamsul Maarif, Bontang Bontang, Samarinda Kalimantan Timur Email: [email protected] Abstract; This article discusses the polemic streams in the classical Islamic concept of faith, kufr, reason and revelation. The authors conclude that flow Khawarij said that people who receive tahkim are infidels, while the most extreme flow said anyone who did not emigrate into place, then he infidels and must be killed. While Flow Murji'ah said that people who receive tahkim not a pagan, but a believer, because he justified God in his heart and diiqrarkan with oral. Another with the flow Mu'tazilah, they say people who commit major sins is not a believer nor infidel, but fasiq. Flow Asha'ira said that anyone who sins is a big believer fasiq, and punishment in the hereafter, it is up to the will of God. Flow Maturidiyyah say that the great sin, not eternal hell. While the problem of reason and revelation, the authors came to the conclusion that the flow Mu'tazila give a great sense role rather than revelation. While Flow Asha'ira provide reasonable role that small and more emphasis on revelation. Maturidiyyah flow Samarkand say that knowing Allah, the obligation to know God, and knowing good and bad, all of which can be known by reason. While revelation can only know the obligation to do good and bad. Maturidiyyah flow Bukhara argued that reason and revelation gets the same portion. Intellect can know God and knows to do good and bad. While revelation can know the obligation to know God and the obligation to do good and bad. Keywords; Faith – Kufr – Reason - Revelation Abstrak; Artikel ini membahas polemik aliran-aliran klasik dalam Islam tentang konsep iman, kufur, akal dan wahyu. Penulis menyimpulkan bahwa aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim adalah kafir, sedangkan aliran yang paling ekstrem mengatakan barang siapa yang tidak berhijrah ke tempatnya, maka ia kafir dan wajib di bunuh. Sementara Aliran Murji’ah mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim bukanlah kafir, tetapi mukmin, karena ia membenarkan Allah dalam hatinya dan diiqrarkan dengan lisan. Lain lagi dengan Aliran Mu’tazilah, mereka mengatakan orang yang berbuat dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasiq. Aliran Asy’ariyyah mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, dan hukumannya di akhirat kelak, terserah kepada AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 37 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu kehendak Allah. Aliran Maturidiyyah mengatakan bahwa orang berbuat dosa besar, tidaklah kekal dalam neraka. Sementara persoalan akal dan wahyu, penulis sampai pada kesimpulan bahwa aliran Mu’tazilah memberikan peranan akal yang besar daripada wahyu. Sementara Aliran Asy’ariyyah memberikan peranan akal yang kecil dan lebih menitik-beratkan pada wahyu. Aliran Maturidiyyah Samarkand mengatakan bahwa mengetahui Allah, kewajiban mengetahui Allah, dan mengetahui baik dan buruk, kesemuanya ini dapat diketahui oleh akal. Sedangkan wahyu hanya dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan buruk. Aliran Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwasanya akal dan wahyu mendapat porsi yang sama. Akal dapat mengetahui Allah dan mengetahui berbuat baik dan buruk. Sedangkan wahyu dapat mengetahui kewajiban mengetahui Allah dan kewajiban berbuat baik dan buruk. Kata Kunci; Iman – Kafir – Akal - Wahyu I. PENDAHULUAN unculnya aliran-aliran teologi dalam Islam tidaklah dapat dilepaskan dari pertikaian politik. Ini dapat kita lacak ketika terbunuhnya Khalifah Usman bin Affan r. a., banyak kalangan yang tidak menerima kematian beliau. Olehnya itu, kebanyakan para sahabat menuntut kepada pemerintahan Ali bin Abi Thalib untuk segera menghukum pelaku pembunuhan Usman bin Affan. Puncaknya, terjadinya perang Jamal (tahun 35 H/656 M) antara pasukan Ali dengan pasukan ‘Aisyah, Thalhah, dan Zubair, kemudian di susul dengan perang Shiffin (tahun 36 H/657 M) antara pihak Ali dan Muawiyah1. Dari peristiwa inilah, maka mulai munculnya kelompok Khawarij yang tidak sepakat dengan arbitrase tersebut. Kelompok ini mengatakan bahwa tidak beriman orang yang menerima keputusan arbitrase, karena siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang telah di turunkan Allah adalah kafir. Dari pernyataan kelompok Khawarij inilah, menimbulkan reaksi dari berbagai kelompok yang tidak setuju dengan pendapat tersebut, seperti Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara. Saling kafir-mengkafirkan pun menjadi sebuah realitas yang tak dapat di sangkal pada masa ini, bahkan banyak nyawa kaum muslimin melayang dalam mempertahankan konsep dan pendirian tersebut. Di dalam sejarah tercatat kaum Khawarij melakukan tindak kekerasan kepada siapapun yang tidak bersama mereka, baik dalam konsep dan tindakannya. Secara akal manusiawi, tindakan yang dilakukan oleh kelompok Islam terhadap sesama muslim adalah hal yang di luar batas. Yang berlalu, biarlah berlalu. Kita tidak bisa menyalahkan, mana kelompok yang benar dan mana yang salah. Yang penting bagi kita sekalian adalah bagaimana kita dapat memahami sejarah masa lalu, M 38 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain agar dikemudian hari tidak lagi terjadi kafir-mengkafirkan, menghakimi kelompok lain dengan istilah “murtad” dan lain sebagainya. Begitu pula dengan pemakaian akal dan wahyu dalam pemahaman ke-Islam, banyak ummat Islam yang menerima dan menolak tentang pentingnya peranan akal dan wahyu. Perdebatan antara akal dan naqal dalam tradisi Islam berlangsung hingga kini yang mewujud pada perdebatan tentang tradisionalisme (alashâlah) dan modernitas (al-hadatsah, al-mu'asharah). Perdebatan ini lalu mengerucut pada fundamentalisme dan liberalisme dalam Islam. Yang pertama mewarisi tradisi naqal, yang kedua tradisi penalaran. Hemat penulis, perdebatan dan perbedaan dalam Islam adalah hal yang sangat lumrah. Semuanya punya pendapat yang relatif di mata Tuhan, karena sama-sama berpangkal pada interpretasi, pemahaman terhadap agamanya. Keduanya sama-sama ingin menjadi yang "terbaik". Di sinilah, kedewasaan masingmasing kubu diuji. Tradisi carut marut politik yang membawa-bawa suatu paham pemikiran untuk mendukung status quo politik tertentu harus kita hindari, lucuti. Sebab, intervensi negara atas pemahaman keagamaan justru berpotensi memecah umat dan memburamkan Islam yang rahmatan lil 'alamin. Gagasan atau pemikiran adalah refleksi terhadap pemahaman terhadap Al-Qur’an, hadist, fenomena alam, sosial, ekonomi, politik dan budaya yang dikeluarkan oleh seorang intelektual. Olehnya itu, adalah memang benar, jikalau gagasan atau pemikiran akan terus ada dan eksis, walaupun aliran dan tokoh pencetusnya telah tiada atau terpinggirkan ke jurang kemanusiaan yang paling jauh. Begitu juga halnya dengan gagasan yang dicetuskan oleh aliran Khawarij, Syi’ah, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara, akan terus ada dan langgeng sepanjang dunia ini masih berputar dan manusia menjalani hidup dan kehidupan ini. Sederhananya, gagasan atau pemikiran tak lekang diterpa terik matahari dan tak luntur dibasahi air hujan, ia akan terus muncul selama ia diperbincangkan atau diperdebatkan. Menulis atau membaca ulang sejarah pemikiran Islam serta terusmenerus melakukan pengkajian terhadapnya adalah sebuah keniscayaan yang harus ditempuh, agar di kemudian hari dapat memberi pelajaran dan hikmah dalam menyongsong hidup yang aman, makmur, damai dan tentram, sebagaimana cita-cita agama Islam, yakni menciptakan masyarakat yang adil, tentram, sejahtera dan makmur. Meminjam bahasa Wahid Hasyim, kita harus memahami masa lalu, melihat masa kini untuk merancang masa depan. Artikel ini akan mengurai bagaimana polemik pemikiran kaum Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariyyah, Maturidiyyah Samarkand dan Maturidiyyah Bukhara tentang konsep iman dan kufur serta akal dan wahyu. II. PEMBAHASAN AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 39 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu A. Iman dan Kufur dalam Teologi Islam Persoalan iman dan kufur adalah persoalan esensial bagi seorang muslim, karena berkaitan dengan pertanggungjawabannya di akhirat kelak. Olehnya itu, perdebatan siapa yang mukmin dan siapa pula yang kafir serta apa yang menjadi parameternya menjadi inti dari permasalahan ini. Mempertahankan identitas diri adalah sesuatu yang harus, mereka tidak mau di cap kafir hanya gara-gara sesuatu hal, dan tak segan-segan pula mencari dalil-dalil untuk menguatkan bahwasanya mereka tidak kafir, tetapi mukmin. 1. Aliran Khawarij Aliran ini lahir akibat dari ketidaksetujuan atas tahkim yang dilakukan oleh Ali terhadap penyelesaian persengketaan khalifah dengan Muawiyah Ibn Abi Sufyan, sehingga mereka memisahkan diri dari kelompok Ali dan menganggap orang-orang yang terlibat dari peristiwa tersebut adalah orang-orang yang memutuskan perkara tidak dengan hukum Allah. Olehnya itu, mereka termasuk orang-orang yang berbuat salah dan berdosa besar. Maka kaum Khawarij memandang bahwa ‘Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-‘Ash, Abu Musa alAsy’ari dan lain-lain yang menerima arbitrase adalah kafir2, ini sesuai dengan firman Allah Swt dalam Surah al-Ma’idah ayat 44: “Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayatayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”3. Dengan ayat inilah, mereka mengambil simbol la hukma illa lillah, maka orang-orang yang tidak mengambil hukum dari Allah Swt, termasuk orang yang berdosa besar dan kafir. Atas peristiwa arbitrase inilah, aliran Khawarij mulai memunculkan persoalan teologi yakni berkaitan dengan pelaku dosa besar dan stigma yang diperolehnya. 40 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain Dalam perkembangan selanjutnya, Aliran Khawarij ini menggiring persoalan ke arah konsep kufr, yakni berusaha menentukan dengan pasti siapakah orang-orang kafir itu? Dan siapa pulalah mereka yang termasuk masyarakat muslim ideal?4. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang menyangkut pemikiran teologi Khawarij dalam perkembangan selanjutnya. Di dalam aliran Khawarij berkembang beberapa sekte dengan pelbagai corak pemikirannya tersendiri. Diantaranya, sekte Muhakkimah berpendapat bahwa siapapun yang melakukan dosa atau ketidaktaatan terhadap perintah Allah, harus dikecam sebagai orang yang sungguh-sungguh kafir. Sedangkan sekte Azariqah5 berpendapat bahwa orang-orang yang berdosa besar, bukanlah kafir tetapi musyrik-politeis. Sedangkan sekte Najdiyyah6 berpendapat bahwa orang berdosa besar yang menjadi kafir dan kekal dalam neraka hanyalah orang Islam yang tak sefaham dengan golongannya, sedangkan pengikutnya jika mengerjakan dosa besar, betul akan mendapat siksaan, tetapi bukan dalam neraka kemudian akan masuk surga. Di dalam sejarah Islam, golongan Khawarij adalah golongan yang kuat ibadahnya, akan tetapi dalam perbedaan pendapat, sangat berbanding terbalik. Berikut ini adalah suatu kisah yang ditulis Imam Muhammad Abu Zahrah dalam bukunya yang berjudul “Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah” yang dikutip dari kitab al-kamil karya al-Mubarrad tentang kontroversialnya sikap kaum Khawarij. Di antara perangai mereka yang sangat kontroversial ialah mereka menangkap seorang Muslim dan seorang Nasrani. Orang Muslim mereka bunuh, sedangkan orang Nasrani mereka nasihati secara baik, dengan mengatakan: “Peliharalah janji nabi kamu”. Mereka kemudian bertemu dengan ‘Abdullah ibn Khabbab yang sedang membawa al-Qur’an bersama istrinya yang sedang hamil. Mereka bertanya kepada ‘Abdullah: “Yang sedang engkau bawa itu memerintahkan kami untuk membunuhmu”. Kemudian pertanyaannya dilanjutkan: “Apa pendapatmu tentang Abu Bakar dan ‘Umar?”, Abdullah memuji keduanya. Mereka bertanya lagi: “Bagaimana pendapatmu tentang ‘Ali sebelum peristiwa tahkim dan tentang ‘Utsman selama 6 tahun pertama masa pemerintahannya?”, Ia juga memuji keduanya. Mereka terus bertanya: “Bagaimana pendapatmu tentang tahkim itu?. Abdullah menjawab: “Menurut pendapat saya ‘Ali lebih paham tentang al-Qur’an, lebih bertakwa, dan lebih jauh pandangannya di banding kamu”. Kemudian mereka berkata: “Engkau tidak perlu mengikuti orang atas dasar nama-nama mereka”. Selanjutnya mereka membawa ‘Abdullah ibn Khabbab ke tepi sungai, lalu menyembelihnya. Dalam peristiwa lain, mereka menawar kurma seorang pria Nasrani. Karena merasa takut, pria Nasrani ini berkata: “Ambillah untuk kamu”. Namun, mereka berkata: “Demi Allah, kami tidak akan mengambilnya kecuali jika kami bayar”. Pria Nasrani itu berkomentar: “Alangkah anehnya, mengapa kalian membunuh orang seperti ‘Abdullah ibn Khabbab, tetapi kamu tidak mau menerima kurma dari kami tanpa membayar?” AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 41 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu 2. Aliran Murji’ah ستكؤن فتن القاعد فيها خير من الماشي و الماشي فيها خير من ا لساعي االفا ذا نزلت او وقت فمن كان له يارسول هللا من لم:ابل فليلحق بابله ومن كان له غنم فليلحق بنغنمه ومن كان له ارض فليلحق بارضه – فقال رجل يعمد الى سيفه فيدق علي حده بحجر ثم لينج ان اسطاع: قال عليه الصالة والسالم- تكن له ابل والغنم والارض؟ النجاة (Nanti akan timbul berbagai fitnah, dimana orang yang duduk lebih baik daripada yang berjalan; yang berjalan lebih baik daripada yang berlari. Jika peristiwa itu tiba, maka orang yang memiliki unta hendaklah memegang untanya; yang memiliki kambing hendaklah memegang kambingnya, dan yang memiliki tanah hendaklah bertahan di tanahnya. Seorang laki-laki bertanya: “Ya Rasulullah, bagaimana orang yang tidak memiliki unta, kambing, ataupun tanah?” Jawab Nabi, “Hendaklah ia mengambil pedangnya dan meletakkannya ke batu, kemudian hendaklah ia menyelamatkan diri, jika mampu untuk itu)7 Dengan dalil inilah, kaum Murji’ah mengambil sikap tidak mau menetapkan hukum kelompok mana yang paling benar di antara dua kelompok yang saling bertikai. Karena tidak mempunyai sikap dalam pertikaian politik tersebut, maka di dalam sejarah Islam diberi predikat sebagai aliran teologi yang menjadi pendukung dari khalifah Umayyah ibn Abi Sufyan8. Sebagai pendukung dinasti yang berkuasa, maka tidaklah heran jikalau pelbagai corak pemikirannya “meng-counter” pemikiran Khawarij dan Syi’ah yang getol mengkritisi dan “mengguncang” tampuk kekuasaan Khalifah Umayyah. Ini dapat kita lihat, bagaimana corak pemikiran Murji’ah yang lebih berorientasi kepada konsep iman. Aliran ini mengatakan bahwa seorang mukmin (pemimpin) tidaklah kafir, selama ia masih membenarkan eksistensi Allah Swt, di dalam hatinya. Mereka sepakat bahwasanya iman adalah mengetahui Allah dan membenarkan-Nya tanpa melalui perbuatan. Secara eksplisit, kita dapat mengatakan bahwa khalifah Muawiyah bukanlah pelaku dosa besar dan kafir, akan tetapi termasuk seorang mukmin dan wilayah kekuasaannya berada dalam dar al-iman Terlepas dari wacana di atas, Murji’ah tidak menjadikan perbuatan sebagai tolak ukur iman. Mereka berpendapat bahwa Iman adalah tasdhiq keberadaan Allah Swt, di dalam hati sedangkan kufur adalah mendustakan keberadaannya9, soal dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah Swt, untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Menurut aliran ini, iman dan kufur adalah urusan di dalam hati, tidak nampak dalam perbuatan kehidupan sehari-hari. Apabila seseorang telah percaya dan yakin akan adanya Allah Swt, maka orang itu telah dinyatakan beriman, walaupun tindak dan perilakunya tidak mencermin seseorang itu beriman. Bagi orang Islam yang melakukan dosa besar bukanlah kafir tetapi mukmin dan tidak akan kekal dalam neraka. 42 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain Dalam perkembangannya, Aliran Murji’ah terbagi dua, yakni Murji’ah ekstrim dan Murji’ah moderat. Aliran Murji’ah ekstrem, seperti al-Jahmiah berpendapat bahwa orang Islam yang percaya pada Allah dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati, bukan bagian dari tubuh manusia 10. AlSalihiah berpendapat bahwa iman adalah mengetahui Allah dan kufr adalah tidak tahu pada Allah. Olehnya itu, Shalat, zakat, puasa, dan haji bukanlah ibadah kepada Allah melainkan hanya kepada Allah. Di sisi lain, aliran Murji’ah moderat berpendapat bahwa iman adalah pengakuan dalam hati tentang ke-Esaan Allah dan tentang kebenaran Rasulrasul Allah serta segala apa yang mereka bawa. Mengucapkannya dengan lisan dan mengerjakan rukun-rukun Islam merupakan cabang dari iman. Orang yang berdosa besar, jika meninggalkan dunia tanpa taubat, nasibnya terletak di tangan Allah. Ada kemungkinan Allah akan mengampuni dosa-dosanya, tetapi ada pula kemungkinan Allah tidak akan mengampuni dosa-dosanya dan akan menyiksanya sesuai dengan dosa-dosa yang dibuatnya dan kemudian baru ia dimasukkan ke dalam surga, karena ia tak mungkin akan kekal tinggal dalam neraka. Pendapat ini diakui sendiri oleh al-Bazdawi dengan mengatakan: “Kaum Murji’ah pada umumnya sependapat dengan ahli sunnah wal jama’ah” 3. Aliran Mu’tazilah Aliran ini muncul pada masa pemerintahan Bani Umayyah, tetapi baru pada masa pemerintahan ‘Abbasiyyah, khususnya pada masa Khalifah alMa’mun, menghebohkan pemikiran Islam. Tetapi pada umumnya, ulama berpendapat bahwa tokoh Washil ibn ‘Atha’ (lahir di Madinah, 81 H dan wafat pada tahun 131 H) sebagai pencetus aliran ini. Beliau menolak pendapat Khawarij yang menetapkan hukum terhadap pelaku dosa besar sebagai kafir, dan tidak sepakat dengan pendapat Murji’ah yang menyatakan orang tersebut sebagai mukmin, dan juga keluar dari majelis gurunya Hasan al-Basri11 yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar sebagai orang munafik. Ia pun mengambil tempat dan mengeluarkan pendapat bahwasanya pelaku dosar itu adalah fasiq (Manzilah bain al-Manzilatain). Washil ibn ‘Atha’ berpendapat bahwa kata mukmin merupakan sifat baik dan nama pujian yang tak dapat diberikan kepada fasiq (orang mukmin, tetapi sudah jauh dalam agama), dengan dosa besarnya. Begitu pula dengan predikat kafir tidaklah dapat disandangkan kepadanya, karena ia masih mengucapkan syahadat dan mengerjakan perbuatan-perbuatan baik12. Orang serupa ini, kalau meninggal dunia tanpa taubat, akan kekal dalam neraka, hanya saja siksaannya lebih ringan dari siksaan yang diterima orang kafir. 4. Aliran Asy’ariah Peletak dasar aliran ini adalah Abu Hasan al-Asy’ari (Lahir di Basrah, 260 H/873 M, dan wafat di Bagdad, 324 H/935 M), setelah melakukan diskusi dengan gurunya dari kalangan Mu’tazilah, Abu ‘Ali al-Jubba’I yang berkaitan AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 43 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu dengan kewajiban berbuat terbaik bagi Allah. Setelah melakukan diskusi dengan gurunya, ia pun berdiam di rumahnya dan mencoba membandingkan dalil-dalil kedua kelompok tersebut. Dan akhirnya, imam al-Asy’ari keluar menemui masyarakat dan naik ke mimbar pada hari Jum’at di Masjid Jami’ Bashrah dan beliau pun berkata: “Barangsiapa yang telah mengenalku, maka sebenarnya ia memang telah mengenalku, dan barangsiapa yang belum mengenalku, maka kini saya memperkenalkan diri. Saya adalah Fulan ibn Fulan. Saya pernah mengatakan bahwa al-Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah tidak terlihat oleh Indera penglihatan kelak pada hari kiamat, dan bahwa perbuatanperbuatan saya tidak baik, maka saya sendirilah yang melakukannya. Kini saya bertaubat dari pendapat seperti itu serta siap untuk menolak pendapat Mu’tazilah dan mengungkap kelemahan mereka (Cetakan tebal dari pemakalah) Selama ini saya telah menghilang dari hadapanmu karena saya sedang berpikir. Menurut pendapat saya, dalil-dalil kedua kelompok itu seimbang. Tidak satupun dalil yang lebih unggul atas dalil yang lain. Kemudian saya memohon petunjuk kepada Allah maka Allah memberikan petunjuk kepada saya untuk meyakini apa yang tertera di dalam kitab saya. Saya akan melepaskan apa yang pernah saya percayai sebagaimana saya akan menanggalkan baju saya ini”13. Aliran ini lahir sebagai reaksi cepat melawan Mu’tazilah dan lebih luas melawan Syi’ah14. Di dalam ajaran-ajarannya Abu Hasan al-Asy’ari banyak mengikuti jejak Imam Ahmad ibn Hanbal, beliau mengatakan: “Pendapat dan keyakinan yang kami percayai ialah berpegang kepada Kitab Allah dan sunnah Nabi serta apa saja yang diriwayatkan dari para sahabat, tabi’in dan para imam hadits. Kami berpegang kepada itu semua dan pendapat yang dipedomani oleh Imam Ahmad ibn Hanbal, serta menjauhi orang-orang yang menentang pendapatnya. Ibn Hanbal adalah seorang imam yang mulia dan pemimpin yang paripurna (Cetakan tebal dari pemakalah). Melalui dirinya Allah menerangkan kebenaran di saat kesesatan sedang merajalela, menunjukkan jalan-Nya, memalingkan para pembuat bid’ah, serta memalingkan kesesatan orangorang yang sesat dan keraguan orang-orang skeptis. Semoga Allah memberikan rahmat kepadanya sebagai seorang imam yang terkemuka dan tokoh yang arif serta kepada seluruh pemimpin kaum muslimin”15 Dari kutipan ini, kita dapat melihat bahwasanya posisi Imam al-Asy’ari mengikuti jejak tradisi yang dikembangkan oleh Imam Ahmad ibn Hanbal dan kembali menghidupkan metode berpikirnya. Tetapi KH. Said Aqil Sirajd 44 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain mengatakan bahwa lahirnya aliran ini sebagai jalan tengah antara pemikiran Mu’tazilah yang sangat liberal dan paham ahlul hadits yang terlalu tekstual16. Adapun pendapat Imam al-Asy’ari berkaitan dengan iman dan kufur adalah bahwa orang Mukmin yang mengesakan Allah tetapi ia fasik, maka pahala atau siksanya tergantung kepada kehendak Allah. Jika Allah menghendaki, maka ia diampuni dan dimasukkan ke dalam surga; dan jika Allah menghendaki, maka ia disiksa karena kefasikannya, kemudian dimasukkan ke dalam neraka. Dan Rasulullah Saw, mempunyai syafa’at yang dikabulkan oleh Allah berkaitan dengan orang-orang Mukmin yang mendapat siksaan. Rasulullah Saw, akan memberikan syafa’at kepada mereka atas perintah dan izin Allah. Beliau tidak akan memberikannya kecuali kepada orang-orang yang diridhai-Nya sebagaimana para Rasul lainnya. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. Hadist Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dan at-Turmudzi sebagai berikut: ال يبقي في النار من كان في قلبه مثقال ذرة من االيمان “Tidak kekal di dalam neraka, orang yang di dalam hatinya ada iman meskipun seberat dzarrah” 5. Aliran Maturidiah Peletak dasar aliran ini adalah Abu Mansur Muhammad ibn Muhammad ibn Mahmud atau yang biasa kita kenal dengan nama Abu Manshur al-Maturidi (lahir + 248 H/862 M dan wafat 333 H/944 M). Di dalam sejarah dicatat bahwa ia banyak menimba ilmu dari ilmu fiqh dari mazhab Hanafi dan ilmu kalam dari Nashr ibn Yahya al-Balkhi (w. 268 H). Karena itulah, ulama menetapkan bahwa pendapat-pendapat Abu Hanifah dalam bidang ‘aqidah merupakan akar yang menjadi landasan pemikiran alMaturidi17 Adapun persoalan iman dan kufr menurut aliran Maturidiah adalah Iman itu tashdiq di dalam hati dan diikrarkan dengan lidah. Barangsiapa yang percaya akan keberadaan Allah Swt, kemudian “kepercayaannya” itu diikrarkan dengan hati, maka orang tersebut telah dinyatakan sebagai orang beriman. Walaupun perbuatan dan tindakannya tidak sejalan dengan apa yang diyakini dan diikrarkannya. Al-Maturidi berpendapat bahwa pelaku dosa besar AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 45 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu tidak akan kekal di dalam neraka, sekalipun ia meninggal dunia tanpa bertaubat. Sebagaimana Allah Swt, menjelaskannya di dalam al-Qur’an: “Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya; dan Barangsiapa yang membawa perbuatan jahat Maka Dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan)”. (QS. Al-An’am: 160) Jikalau Allah mempersamakan pembalasan antara orang Kafir dan orang Mukmin yang durhaka, maka hal itu sangat bertentangan dengan kebijaksanaan dan keadilan Allah, karena Mukmin masih mempunyai iman, dan al-Maturidi mengatakan bahwa iman adalah a’zam al-khair (nilai kebaikan yang paling agung). Selanjutnya al-Maturidi menambahkan bahwasanya orang Mukmin yang berdosa ialah menyerahkan persoalan mereka kepada Allah. Jika Allah menghendaki, maka Dia mengampuni mereka sebagai karunia, kebaikan dan rahmat-Nya. Sebaliknya, jika Allah menghendaki, maka Dia menyiksa mereka sesuai dengan kadar dosa mereka, namun mereka tidak akan kekal dalam neraka. Olehnya itu, syafa’at Rasulullah Saw, perlu bagi orang Mukmin yang berdosa besar. Mereka pantas mendapatkannya, karena di dalam diri orang Mukmin terdapat iman. Dan karena iman inilah, mereka mendapatkan pengampunan dari Allah Swt. Allah Swt, berfirman: “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, Maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”. (QS. Al-Nisa’: 48) B. Akal dan Wahyu dalam Teologi Islam Belumlah dapat diketahui pastinya kapan persoalan akal menjadi persoalan yang diperdebatkan di antara teolog-teolog Islam. Tetapi, ada salah satu sumber yang mengatakan bahwa persoalan akal pertama kali muncul berkaitan dengan konsep perbuatan manusia yang diperdebatkan antara aliran Jabariyyah dan Qadariyyah. Apakah perbuatan manusia itu dilakukan oleh manusia sendiri ataukah ada campur tangan Allah dalam masalah tersebut? Problema ini tak dapatlah dilepaskan dari persoalan politik yang terjadi pada masa “al-fithah al-kubra”, yang ujung-ujungnya terjadi pengambilalihan 46 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain kekuasaan secara paksa oleh Bani Umayyah dari Hasan Ali ibn Abi Thalib. Dan untuk melanggengkan kekuasaannya, maka “dicarilah” alat legalitasdoktrinalnya, seperti dalil-dalil yang berkaitan bahwasanya perbuatan dan tindakan manusia adalah kehendak Allah Swt semata. Oleh karena itu, manusia hanya menjadi wayang yang digerakkan ke kiri dan ke kanan oleh sang dalang. Akhirnya, pemahaman ini terus-menerus berkembang dan menjadi sebuah sikap beragama, walaupan tak sedikit orang menganggapnya sebagai sebuah aliran, yang biasa kita kenal dengan aliran Jabariyyah, dengan tokoh sentralnya al-Ja’d Ibn Dirham (w. 160 H)18. Dalam perkembangan selanjutnya, muncullah aliran Qadariyyah yang pencetusnya Ma’bad al-Juhani (w. 80 H) dan Ghaylan al-Dimasyqi (w. 99 H), yang mengkritik doktrin legalitas Bani Umayyah dengan mengatakan bahwa perbuatan dan tindakan manusia, bukanlah kehendak Allah Swt semata, akan tetapi kehendak manusia sendiri. Olehnya itu, pertanggungjawaban manusia di akhirat kelak, menjadi penting adanya. Sebagai penganut Qadariyyah, Hasan al-Bashri mulai menjadikan akal sebagai sandaran berpikirnya. Dari sinilah kita menemukan Hasan al-Bashri dan Wasil ibn ‘Atha “duduk” dalam satu pengajian, walaupun akhirnya berbeda dalam memberikan posisi terhadap pelaku dosa besar. Dengan statemennya itulah, Hasan al-Bashri memperkenalkan metode pendekatannya dengan mengajukan argument akal, bagaimana mungkin Allah menyuruh hamba-Nya beribadah kepada-Nya namun sekaligus memaksanya untuk melakukan perbuatan kemaksiatan dan pelanggaran? Manusialah yang berbuat dan dia pula yang mempertanggungjawabkan sendiri amal perbuatannya19. Dengan metode pendekatannya inilah mulai merambah ke segala penjuru aspek, seperti Abu Hanifah (w. 150 H) dalam bidang fiqh dan Mu’tazilah dalam bidang kalam. 1. Mu’tazilah Menurut Nashr Hamid Abu Zaid, kaum Mu’tazilah menjadikan akal sebagai posisi sentral dalam mengetahui Allah, Kewajiban mengetahui Allah, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, karena terdorong untuk merombak sistem pemerintahan Bani Umayyah yang penuh dengan nepotisme, kolusi, harta warisan, dan keturunan. Kaum Mu’tazilah menjadikan ilmu pengetahuan sebagai nilai keistemewaan manusia sebanding dengan kehormatan, harta warisan dan keturunan20. Dengan penghargaan akal dan ilmu pengetahuan, maka secara tidak langsung mengurangi kebanggaan atas keturunan, kelompok dan golongan. Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa kebanyakan pengikut kaum Mu’tazilah berasal dari budak21 yang tidak pernah dihargai, bahkan sangat terpinggirkan baik dalam akses sosial, ekonomi maupun politik pada masa dinasti Umayyah. Seperti “Washil bin ‘Atha’ dan ‘Amr ibn ‘Ubaid, pendiri mazhab yang terkenal dengan ketakwaan dan kesalehannya, berasal dari budak. Abu al-Hudzail al-‘Allaf dan Syaikh AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 47 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Mu’tazilah dari Basrah, berasal dari budak. ‘Abd al-Qais, Ibrahim Ibn Sayyar alNizhzam juga budak keluarga Ziyad. Tsumamah ibn Asyras, Syaikh Mu’tazilah dari Basrah, budak Bani Namir, dan al-Jahizh, seorang alim Mu’tazilah yang terkenal mempunyai perdaban dan eksiklopedi, juga budak dari Basrah.” Terlepas dari wacana di atas, Mu’tazilah memberikan proporsi lebih terhadap akal dibandingkan wahyu dalam pemahaman ke-Islaman, khususnya dalam masalah ‘aqidah, seperti akal dapat mengetahui Allah, Kewajiban mengetahui Allah, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat. Abu Huzail al-Allaf menegaskan bahwa seseorang telah wajib mengetahui Allah, sebelum turunnya wahyu dan jika ia tidak berterima kasih kepada Allah, orang yang demikian akan mendapatkan hukuman. Begitu pula dengan perbuatan baik wajib dikerjakan dan perbuatan buruk, wajib dihindari. Tetapi, kelompok ini tidaklah menafikan wahyu, mereka berpendapat bahwa tidak semua hal dapat diketahui oleh akal. Kelompok ini, menjadikan wahyu sebagai alat konfirmasi dan informasi, yakni alat pembuktian dan pembenaran bahwasanya apa yang diketahui oleh akal adalah benar adanya, dan juga menerangkan apa-apa yang belum diketahui akal. Olehnya itu, kelompok ini membagi ( قبائح عقليةperbuatan-perbuatan baik menurut akal) dan (مناكير عقليةperbuatan-perbuatan buruk menurut akal) dan ( قبائح شرعيةperbuatanperbuatan baik menurut syar’iyyah) dan ( مناكيرشرعيةperbuatan-perbuatan buruk menurut syar’iyyah). Dan juga mereka membedakan antara واجبات عقلية (kewajiban-kewajiban yang ditentukan oleh akal) dan ( واجبات شرعيةkewajibankewajiban yang ditentukan oleh syar’iyyah). Dan juga ( تكليف عقليpembebanan secara akal) dan ( تكليف سمعيpembenanan secara wahyu). Qadi Abdul Jabbar, seorang tokoh Mu’tazilah menjelaskan lebih jauh bahwa, jika berkaitan dengan persoalan halal dan haram, maka akal harus tunduk pada naqal, wahyu; jika di luar halal dan haram, akal wajib didahulukan daripada wahyu. Sebab dalam kasus ini, teks mempunyai keterbatasan, sedang akal sebagai anugerah Allah dapat menyelesaikan kasus inderawi serumit apapun. Inilah tempat di mana silogisme, penalaran, dan otoritas akal beraksi 2. Asy’ariyyah Aliran Asy’ariyyah menyanggah pendapat Mu’tazilah tersebut. Asy’ariyyah berpendapat bahwa hanya wahyulah segala kewajiban manusia dapat diketahui, bukan dengan akal. Menurut aliran ini, akal manusia hanya mampu mengetahui Allah, sedangkan kewajiban terhadap Allah, mengetahui baik dan jahat, dan kewajiban mengerjakan perbuatan baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat, diperoleh hanya melalui wahyu. Tentang pemikiran Al-Asy’ari mengenai kedudukan akal dan wahyu, alBagdadi menjelaskannya bahwa akal dapat mengetahui Allah, tetapi tidak dapat mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Allah, karena segala kewajiban dapat diketahui hanya melalui wahyu. Olehnya itu, seseorang tidak wajib menjalankan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan, sebelum 48 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain datang wahyu kepadanya. Jikalau seseorang dapat mengetahui Allah, sifatsifat-Nya dan kemudian percaya-Nya, sebelum datangnya wahyu, maka orang demikian adalah mukmin, tetapi tidak berhak untuk mendapatkan upah dari Allah, jikalau orang itu dimasukkan dalam surga, maka itu adalah atas kemurahan hati Allah. Dan sebaliknya, jikalau orang itu tidak percaya pada Allah, ia adalah kafir dan ateis tetapi tidak mesti mendapat hukuman, kalau sekiranya Allah memasukkannya ke dalam neraka untuk selama-lamanya, maka itu tidak merupakan hukuman22. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya, al-Ghazali (451-505 H) sebagai murid dan pelanjut teologi Asy’ariyyah membuat pembagian tentang obyek pengetahuan terbagi tiga, yakni ada sesuatu yang dapat diketahui dengan akal saja, ada sesuatu yang diketahui dengan wahyu saja, dan ada pula sesuatu yang diketahui dengan akal dan wahyu. Lanjutnya, beliau pun memberikan gambaran yang indah tentang kedudukan akal dan wahyu, dalam kitabnya, alIqtishad fi l-I’tiqad,: “Perumpamaan akal adalah laksana penglihatan yang sehat dan tidak cacat. Sedangkan perumpamaan Al-Qur’an adalah seperti matahari yang cahayanya tersebar merata, hingga memberi kemudahan bagi para pencari petunjuk. Amatlah bodoh jika seseorang mengabaikan salah satunya. Orang yang menolak akal dan merasa cukup dengan petunjuk Al-Qur’an, seperti orang yang mencari cahaya matahari tapi memejamkan matanya. Maka orang ini tidak ada bedanya dengan orang buta. Akal bersama wahyu adalah cahaya di atas cahaya. Sedangkan orang yang memperhatikan pada salah satunya saja dengan mata sebelah (picak), niscaya akan terperdaya23. 3. Maturidiyyah Samarkand Menurut al-Maturidi, akal manusia dapat mengetahui adanya Allah, mengetahui kewajiban berterina kasih kepada Allah, dan mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Sedangkan kewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan yang jahat hanya dapat diketahui lewat wahyu Ilahi. Para pengikutnya, mengatakan bahwa paham al-Maturidi tentang kewajiban mengetahui Allah itu bersumber pada pendapat Abu Hanifah yang mengatakan akal dapat mengetahui Allah meskipun tanpa diberitakan oleh Rasul. Al-Maturidi mengatakan bahwa diulang-ulangnya ayat-ayat yang berkaitan dengan berpikir dalam surah An-Nahl bukanlah tanpa maksud, akan tetapi Allah menginginkan untuk mempergunakan akal kita, agar senantiasa mendapat petunjuk. Allah Swt, berfirman dalam surah An-Nahl: 11-15 … … … …. … AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 49 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Al-Maturidi mengatakan bahwa: “Barang siapa yang yang tidak hati-hati dengan dalil ‘aqli dan tidak bersandar pada dalil naqli dan bermaksud untuk mencapai apa saja yang tertutup bagi akal pikiran serta meliput seluruh hikmah keTuhanan dengan akalnya yang tidak sempurna dan amat terbatas, tanpa berdasarkan petunjuk dari Rasul, maka sebenarnya ia menzalimi akal dan membenaninya dengan suatu beban yang diluar kesanggupannya. 4. Maturidiyyah Bukhara Menurut aliran ini, akal manusia dapat mengetahui adanya Allah dan dapat pula mengetahui apa yang baik dan apa yang jahat. Sedangkan kewajiban untuk mengetahui Allah dan kewajiban berbuat baik dan kewajiban menjauhi perbuatan jahat hanya dapat diketahui melalui wahyu. Sebagaimana firman-Nya dalam surah Al-Isra: 15 dan surah Thaha: 134 Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul. Dan Sekiranya Kami binasakan mereka dengan suatu azab sebelum Al Quran itu (diturunkan), tentulah mereka berkata: "Ya Allah Kami, mengapa tidak Engkau utus seorang Rasul kepada Kami, lalu Kami mengikuti ayat-ayat Engkau sebelum Kami menjadi hina dan rendah?" Dengan demikian, peranan akal dan wahyu mendapat porsi yang sama, akan tetapi banyak dari pemikir teolog Islam menyatakan bahwa Maturidiyyah Bukhara lebih cenderung ke Asy’ariyyah. III. PENUTUP Terkait dengan polemik tentang iman dan kufur, maka dapat disimpulkan bahwa aliran Khawarij mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim adalah kafir, sedangkan aliran yang paling ekstrem mengatakan barang siapa yang tidak berhijrah ke tempatnya, maka ia kafir dan wajib di bunuh. Dari sejarah Khawarij itu kita dapat mengambil pelajaran bahwa persoalan-persoalan sosial politik kalau dibungkus dengan agama bisa mendatangkan bahaya yang lebih 50 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain besar, apalagi kalau dilakukan oleh orang-orang yang pemahaman dan penguasaannya terhadap ajaran Islam sangat terbatas bahkan sangat sempit. Wawasan yang sangat sempit dan tertutup dapat melahirkan ekstremitas tidak hanya pemikiran tapi juga sikap dan tindakan Aliran Murji’ah mengatakan bahwa orang yang menerima tahkim bukanlah kafir, tetapi mukmin, karena ia membenarkan Allah dalam hatinya dan diiqrarkan dengan lisan. Aliran Mu’tazilah mengatakan orang yang berbuat dosa besar bukanlah kafir dan bukan pula mukmin, tetapi fasiq. Kita tidak boleh memberikan predikat kafir terhadapnya karena ia masih mempunyai iman dan juga tidak boleh menisbahkan mukmin terhadapnya, karena ia telah melakukan dosa besar. Aliran Asy’ariyyah mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar adalah mukmin yang fasiq, dan hukumannya di akhirat kelak, terserah kepada kehendak Allah. Aliran Maturidiyyah mengatakan bahwa orang berbuat dosa besar, tidaklah kekal dalam neraka. Di sinilah Allah memberikan rahmat dan kebijaksanaannya dengan memberikan izin kepada Rasulullah Saw, untuk memberi syafa’at kepada orang mukmin yang telah berdosa. Sementara persoalan akal dan wahyu, penulis sampai pada kesimpulan bahwa aliran Mu’tazilah memberikan peranan akal yang besar daripada wahyu dalam mengkaji pemikiran keagamaan, seperti mengetahui Allah, kewajiban mengetahui Allah, berbuat baik dan buruk dan kewajiban berbuat baik dan burukAliran Asy’ariyyah memberikan peranan akal yang kecil dan lebih menitik-beratkan pada wahyu. Akal, menurut Asy’ariyyah hanya mampu mengetahui Allah, sedangkan wahyu dapat mengetahui kewajiban mengetahui Allah, mengetahui berbuat baik dan buruk, dan kewajiban berbuat baik dan buruk. Aliran Maturidiyyah Samarkand mengatakan bahwa mengetahui Allah, kewajiban mengetahui Allah, dan mengetahui baik dan buruk, kesemuanya ini dapat diketahui oleh akal. Sedangkan wahyu hanya dapat mengetahui kewajiban berbuat baik dan buruk. Aliran Maturidiyyah Bukhara berpendapat bahwasanya akal dan wahyu mendapat porsi yang sama. Akal dapat mengetahui Allah dan mengetahui berbuat baik dan buruk. Sedangkan wahyu dapat mengetahui kewajiban mengetahui Allah dan kewajiban berbuat baik dan buruk. Endnotes Harifuddin Cawidu, Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik, (Cet. I, Jakarta: Bulan Bintang, 1991), h. 9 1 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 51 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu 2 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), h. 6 3 Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya. 4 Lih, Toshihiko Izutsu. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman anda Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam,( Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994), h. 12 5 Ibid, h. Sekte ini dikenal sebagai ekstremis khawarij. Kelompok ini mempunyai tiga ciri khas yakni pertama, semua orang muslim yang tidak mengikuti pendapat mereka sampai yang sekecil-kecilnya adalah Musyrik. Kedua, semua orang sekalipun setuju dengan Azariqah secara teori, namun tidak berhijrah ke perkampungan mereka adalah Musyrik. Ketiga, istri-istri dan anak-anak dari orang Musyrik tersebut juga Musyrik. Dan kesemuanya ini secara sah dapat di bunuh dan hartanya di rampas. 6 Harun Nasution, Op. Cit, h. 7 Imam Muhammad Abu Zahrah. Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan’Aqidah dalam Islam, (Jakarta: Logos. 1996), h. 144 8 Nashr Hamid Abu Zaid, Al-Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat Al-Majaz fi AlQur’an ‘inda al-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman Allah: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, (Cet. I; Jakarta: Mizan, 2003), h. 31 9 M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo, 1994), h. 157 Harun Nasution, Op. Cit., h. 26 10 11 Hasan al-Bashri, apabila di runut dari status sosialnya, adalah seorang budak dari keluarga Maisan-golongan budak kaum Anshar. Ibunya bernama Khairah, budak milik Ummu Salamah, Istri Rasulullah Saw. Serangan Umayyah terhadap Irak mencapai puncaknya di era ‘Abd al-Malik ibn Marwan dan Gubernur Irak kala itu adalah Hajjaj ibn Yusuf. Kuatnya tekanan dari Hajjaj ketika berinteraksi dengan Hasan al-Bashri dan para pengikutnya membuat Hasan al-Bashri dan para pengikut-setianya lebih memilih jalan rekonsiliasi dan menyembunyikan sikap (taqiyyah), minimal di hadapan Al-Hajjaj dan pejabat yang lainnya. Meskipun demikian, mereka tetap mendeklarasikan pemikirannya pada para pengikutnya yang lain dengan tegas. Hasan al-Bashri lebih memilih taqiyyah ketika berbicara tentang ‘Ali r. a., walaupun ia bukan orang Syi’ah. Kecintaannya terhadap ‘Ali r. a. menjadi penyebab Bani Umayyah menyiksanya. Lih. Nashr Hamid Abu Zaid, Op. Cit, h. 49-55 12 13 Harun Nasution, Op. Cit, h. 43 Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 190 14 Fazlur Rahman, Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, (Cet. I. Jakarta: Rajawali Press, 2000), h. 45. Dan lihat juga Ahmad Baso, NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta: Erlangga, 2006. 15 . Fazlur Rahman, I b I d, h. 194. Dan Ahmad Baso, I b I d, h. 85 16 Mastuki (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, (Jakarta: Pustaka Ciganjur, 1999), h. 20 17 Imam Muhammad Abu Zahrah, Op. Cit, h. 208 Mengenai Ja’d al-Dirham, Abu Zahrah seakan-akan ragu memastikan mengenai terlibatnya ia dalam paham Jabariyyah. Sedangkan Nashr Hamid Abu Zayd menggolongkan Ja’d al-Dirham sebagiai golongan Qadariyyah, karena ia di bunuh di bawah mimbar setelah shalat ‘id pada masa Dinasti Bani Umayyah, khalifah Khalid ibn ‘Abdullah al-Qasri. 18 52 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Ahmadi Husain 19 Ahmad Baso, Op. Cit, h. 72 20 Nashr Hamid Abu Zaid, Op. Cit, h. 71 22 Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, h. 82-83 Al-Ghazali, al-Iqtishad fi l-I’tiqad, Maktabah Syamilah, h. 1 23 DAFTAR PUSTAKA Abduh, Syekh Muhammad. Risalat’ut Tauhid diterjemahkan oleh Firdaus AN dengan judul Risalah Tauhid, Cet. IX; Jakarta: Bulan Bintang, 1992 Abrahamov, Binyamin. Islamic Theology: Tradisionalism and Rationalism diterjemahkan oleh Nuruddin Hidayat dengan judul Ilmu Kalam: Tradisionalisme dan Rasionalisme dalam Teologi Islam, Jakarta: Serambi, 1998 Abu Zaid, Nashr Hamid. Al-Ittijah Al-‘Aqli fi Al-Tafsir: Dirasah fi Qadhiyyat AlMajaz fi Al-Qur’an ‘inda AL-Mu’tazilah, diterjemahkan oleh Abdurrahman Kasdi dan Hamka Hasan dengan judul Menalar Firman Allah: Wacana Majaz dalam Al-Qur’an Menurut Mu’tazilah, Jakarta: Mizan, 2003 Abu Zahrah, Imam Muhammad. Târîkh al-Madzâhib al-Islâmiyyah, diterjemahkan oleh Abd. Rahman dan Ahmad Qarib dengan judul Aliran Politik dan’Aqidah dalam Islam, Jakarta: Logos. 1996 Ahmad, Amin. Yaumul Islam, diterjemahkan oleh Abu Laila dan Muhammad Tohir dengan judul Islam dari Masa ke Masa, Cet. III; Bandung: Remaja Rosdakarya. 1993 Al-Barsany, Noer Iskandar. Pemikiran Kalam Imam Abu Mansur Al-Maturidi: Perbandingan dengan Kalam Mu’tazilah dan Al-Asy’ari, Jakarta: Srigunting, 2001 Al-Ghazali, al-Iqtishad fi l-I’tiqad, Maktabah Syamilah, tt Asmuni, M. Yusran. Ilmu Tauhid. Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo. 1994 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015 53 Ahmadi Husain Polemik Aliran Islam Klasik tentang Iman, Kufur, Akal dan Wahyu Baso, Ahmad. NU Studies: Pergolakan Pemikiran antara Fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-liberal. Jakarta: Erlangga, 2006 Cawidu, Harifuddin. Konsep Kufr Dalam Al-Qur’an: Suatu Kajian Teologis Dengan Pendekatan Tafsir Tematik. Jakarta: Bulan Bintang. 1991 Departemen Agama, Al-Qur’an dan terjemahannya Habanakah, Abdurrahman. Al-Aqidah al-Islamiyah wa Ususuha, diterjemahkan oleh A. M. Basalamah dengan judul Pokok-pokok Akidah Islam, Cet. VI; Jakarta: Gema Insani Press. 1998 Hanafi, A. Pengantar Theology Islam. Cet. IV; Jakarta: PT. Al-Husna Zikra. 1995 Haq, Hamka. Dialog: Pemikiran Islam, Makassar: Yayasan al-Ahkam. 2000 Hasan, Muhammad Tholhah. Ahlusunnah Wal-Jama’ah Dalam Persepsi dan Tradisi NU, Jakarta: Lantabora Press, 2005 Izutsu, Toshihiko. The Concept of Belief in Islamic Theology: A Semantical Analysis of Iman and Islam, diterjemahkan oleh Agus Fahri Husein dengan judul Konsep Kepercayaan dalam Teologi Islam: Analisis Semantik Iman dan Islam, Cet. I; Yogyakarta: Tiara Wacana. 1994 Nasution, Harun. Teologi Islam: Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan. Cet. V; Jakarta: UI Press. 1986 ______________. Akal dan Wahyu Dalam Islam. Cet. II; Jakarta: UI Press. 1986 Mastuki (ed.), Kiai Menggugat: Mengadili Pemikiran Kang Said, Jakarta: Pustaka Ciganjur. 1999 Rahman, Fazlur. Revival and Reform in Islam, diterjemahkan oleh Aam Fahmia dengan judul Gelombang Perubahan dalam Islam: Studi Fundamentalis Islam, Cet. I; Jakarta: Rajawali Press. 2000 Yusuf, M. Yunan. Corak Pemikiran Kalam Tafsir Al-Azhar: Sebuah Telaah Atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam. Cet. II; Jakarta: Penamadani. 2003 Yatim, Badri. Sejarah Peradaban Islam. Cet. XVI; Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004. 54 AL-FIKR Volume 19 Nomor 1 Tahun 2015