PENGARUH VOLUME WADAH TERHADAP PERTUMBUHAN LARVA KERAPU BEBEK (C. altivelis) Oleh : Heru Salamet, Rochman Subiyanto, Narulitta Ely dan Hariyano Balai Perikanan Budidaya Laut Ambon [email protected] Abstrak Ukuran volume bak turut berperan dalam kelangsungan hidup larva. Volume bak yang luas akan memberikan ruang gerak yang luas dan juga dapat mempertahankan suhu air lebih lama bila dibandingkan dengan volume wadah yang kecil. Suhu dapat berperan dalam perkembangan embrio, karena suhu dapat mempercepat atau memperlambat proses metabolisme untuk menghasilkan energi yang diperlukan dalam proses perkembangan embrio. perlu dilakukan kegiatan perekayasaan terhadap pengaruh volume bak pemeliharaan dalam menghasilkan sintasan hidup larva yang lebih baik. Kegiatan ini dilakukan di Indoor Hatchery Pembenihan Ikan Kerapu Balai Buiddaya Laut Ambon, dari dari bulan September - Desember 2014. Bak yang digunanak berkapasitas 6 ton dan 20 ton, sebelum diisi larva terlebih dahulu direndam dengan kaporit 50 – 100 ppm selama sehari kemudian dibersihkan, dibilas dengan air tawar dan dibiarkan selama 3 hari hingga kaporitnya hilang dan aman untuk dipelihara larva. Hasil kegiatan selama pemeliharaan diperoleh laju pertumbuhan diperoleh laju pertumbuhan larva yang dipelihara pada bak 6 ton berkisara antara 0.031 – 0.079% dengan rata-rata 0.051% dan laju pertumbuhan larva pada bak 20 ton berkisar antara 0.034 – 0.082% dengan rata-rata 0.053% dan survival rate larva pada bak 20 ton adalah 49%, sedangkan surviva rate pada bak kapasitas 6 ton adalah 39%. Kata Kunci : Volume wadah, pertumbuhan, larva CONTAINER VOLUME EFFECT ON THE GROWTH OF HUMPBACK GROUPER LARVAE (Cromileptes altivelis) by: Heru Salamet, Rochman Subiyanto, Narulitta Ely and Hariyano Ambon Mariculture Development Center, Email :bbl [email protected] Abstract The size of the volume of tanks also played a role in the survival of the larvae. Large volume of tanks will provide a broad space and also can maintain the temperature of the water longer when compared to the volume of container that small. The temperature may play a role in embryonic development, because the temperature can speed up or slow down the metabolism to produce the energy needed in the process of embryonic development. needs to be done to influence the volume of engineering activities like maintenance of producing larvae survival better life. These activities are carried out at the Indoor Hall Grouper Hatchery Hatchery Buiddaya Ambon Sea, from the month of September to December 2014. Bak digunanak capacity of 6 tonnes and 20 tonnes, before being filled larvae are soaked in chlorine 50-100 ppm during the day and then cleaned, rinsed with fresh water and left for 3 days until kaporitnya lost and kept safe for larvae. The results obtained during maintenance activities derived growth rate growth rate of larvae reared on like 6 tons berkisara between 0031-0079% with an average of 0.051% and the growth rate of larvae in the tub 20 ton range between 0034-0082% with an average of 0.053% and the survival rate of larvae in the tub 20 tonnes was 49%, while the rate on tub surviva 6 ton capacity is 39%. Keywords: container volume, growth, larvae I. 1.1. PENDAHULUAN Latar Belakang Ikan kerapu bebek (Cromileptes altivelis) merupakan salah satu komoditas ikan air laut yang saat ini banyak dibudidayakan secara intensif untuk tujuan ekspor. Dalam budidaya intensif kebutuhan benih tidak dapat dipenuhi oleh benih dari alam. Oleh karena itu keberhasilan pembenihan ikan ini berperan penting dalam keberhasilan budidaya ikan kerapu bebek (C. altivelis). Permintaan pasar akan benih ikan kerapu bebek (C. altivelis) dari waktu ke waktu semakin meningkat. Untuk Wilayah Indonesia Timur yang meliputi; Sulawesi, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat diperkirakan sekitar 10 juta ekor benih setiap tahun. Tingginya permintaan ini tidak diimbangi dengan produksi benih yang dihasilkan oleh hatchery-hatchery pembenihan yang ada di kawasan ini, sehingga tuntutan akan ketersediaan benih ini hanya diharapkan pada Balai Budidaya Laut Ambon. Sedangkan produksi benih Balai Budidaya Laut Ambon hanya sekitar 80.000 – 100.000 ekor benih pertahun karena keterbatasan sarana dan prasarana yang ada pada BBL-Ambon. Produksi ini akan menurun bila kondisi hujan yang terus menerus terjadi di Maluku. Pada tahapan pemeliharaan larva, ketersediaan fitoplankton sangat diperlukan bagi kesinambungan hidup larva tersebut. Fitoplankton sebagai jasad pakan alami memiliki peran ganda, selain dapat sebagai pakan kultur zooplanklton ditambahkan secara langsung dalam bak pemeliharaan larva. Umumnya yang ditambahkan dalam bak merupakan alga hijau sehingga dikenal dengan sistem green water. Sistem green water, yaitu teknik penambahan mikroalga kedalam sistem akuakultur yang berperan sebagai perangkat tambahan dalam air media dan bukan sebagai sumber makanan langsung bagi larva ikan. Mikroalga yang umum digunakan adalah dari jenis Chlorella sp sebagai salah satu fitoplankton laut dengan ditambahkan sirkulasi yang cukup dalam proses kulturnya. Pemanfaatan mikroalga Chlorella sp pada akuakultur merupakan metode biologis yang paling ekonomis dalam mempertahankan kualitas air media pemeliharaan larva komoditas budidaya, sehingga penggunaan metode ini dapat juga berperan sebagai biofilter aerob. Selain ketersediaan fitoplankton ukuran volume bak juga turut berperan dalam kelangsungan hidup larva. Volume bak yang luas akan memberikan ruang gerak yang luas dan juga dapat mempertahankan suhu air lebih lama bila dibandingkan dengan volume wadah yang kecil. Melianawati et al (2010) mengatakan bahwa suhu dapat berperan dalam perkembangan embrio, karena suhu dapat mempercepat atau memperlambat proses metabolisme untuk menghasilkan energi yang diperlukan dalam proses perkembangan embrio. Nilai suhu maksimum untuk meningkatkan kecepatan reaksi enzim berada pada kisaran suhu 25-35 0C. Berdasarkan beberapa hal diatas maka perlu dilakukan kegiatan perekayasaan terhadap pengaruh volume bak pemeliharaan dalam menghasilkan sintasan hidup larva yang lebih baik. 1.2. Tujuan dan Sasaran Adapun tujuan kegiatan ini adalah untuk melihat perbedaan kelangsungan hidup larva serta pertumbuhannya dalam volume bak pemeliharaan yang berbeda. Sedangkan sasarannya adalah adanya peningkatan survival rate. II. 2.1. METODE KERJA Waktu dan Tempat Kegiatan ini dilakukan di Indoor Hatchery Pembenihan Ikan Kerapu Balai Buiddaya Laut Ambon, dari dari bulan September - Desember 2014. 2.2. Alat dan Bahan a. Alat Peralatan yang digunakan dalam kegiatan ini antara lain : - Peralatan aerasi (Kran, Batu, pemberat, slang dan instalasinya) - Selang kanvas diameter ¾” - Scop net telur - Peralatan kerja (Ember, gayung, dan lain-lain) - Bak larva (Kapasitas 6 dan 20 m3) - Aquarium (kapasitas 100 liter) b. Bahan Bahan-bahan yang digunakan dalam kegiatan ini adalah : - Telur kerapu bebek - Rotifer Pellet larva Pellet benih Artemia Enrichment (oikoso, HUFA) Vitamin Minyak cumi/ikan 2.3. Prosedur Kerja 2.3.1. Persiapan Bak Bak yang digunanak berkapasitas 6 ton dan 20 ton, sebelum diisi larva terlebih dahulu direndam dengan kaporit 50 – 100 ppm selama sehari kemudian dibersihkan, dibilas dengan air tawar dan dibiarkan selama 3 hari hingga kaporitnya hilang dan aman untuk dipelihara larva. Air laut dimasukkan kedalam bak melalui penyaringan dengan filter bag sebanyak ¾ bagian volume bak. Dalam air media ditambahkan kaporit 10 ppm dan diareasi kuat selama 40 jam atau sampai air laut netral dari bau kaporit. Salinitas media pemeliharaan larva 30 - 33 ppt, sedangkan temperatur air antara 27 - 290C. 2.3.2. Penetasan Telur Telur sebelum ditebar ke dalam bak pemeliharaan, terlebih dulu ditampung dalam wadah penampungan telur untuk diseleksi. Telur yang baik adalah transparan, mengapung, berbentuk bulat, kuning telur berada di tengah. Sementara yang tidak baik (telur jelek) akan mengendap di wadah dan berwarna putih susu. Telur yang jelek dibuang dengan cara disiphon. Setelah penyiponan kemudian langsung ditebar dalam bak pemeliharaan larva. Padat tebar telur berkisar antara 5.000 – 10.000 butir/m3. Pada bak kapasitas 6 ton ditebar sebanyak 200.000 butir telur dan untuk kapasitas 20 ton ditebar 500.000 butir telur kerapu. 2.3.3. Pemberian Pakan Pakan diberikan 2 hari setelah penebaran larva atau sampai kuning telur/yolk habis berupa rotifera dengan kepadatan 5 -20 ekor/ml sampai larva berumur 15 hari, dan setelah benih berumur lebih dari 15 hari pemberian pakan seperti rotifera berkurang 3 – 5 ekor/ml sampai ikan berumur D25 – D30. Rotifera yang diberikan sebelumnya diperkaya dengan oikoso dan HUFA selama 10-20 menit. Kepadatan pakan rotifera pada awal pemeliharaan disesuaikan dengan umur larva dan harus dicek setiap hari sebelum penambahan pakan baru. Kelebihan pakan akan berpengaruh pada oksigen terlarut, utamanya pada malam hari. Hal ini perlu diperhatikan karena pada bak pemeliharaan tidak diinjeksi dengan fitoplankton yang dapat menstabilkan kualitas air. Pada waktu larva berumur D12 – D15 sampai D20 pakan hidup yang diberikan berupa naupli artemia dengan kepadatan 0,5 – 3 ekor/ml dan dapat ditambah dengan kopepoda untuk menamah variasi dan kandungan nutrisi pakan sejak larva berumur 8 – 25 hari. Pakan hidup baik rotifera maupun artemia sebelum diberikan harus diperkaya terlebih dahulu dengan asam lemak esensial tak jenuh (w3 - HUFA) seperti minyak cumi – cumi, minyak ikan hati atau produk komersial yang lainya. Pada benih yang berumur D25 – D35 pakan yang diberikan disamping naupli artemia juga diberikan artemia muda dengan kepadatan 0,5 – 1 ekor/ml. Benih ikan berumur D35 – D45 diberikan pakan artemia dewasa dengan udang jambret. Juvenil ikan kerapu tikus umur 45 hari dan seterusnya diberikan paka udang rebon segar dan daging ikan segar yang digiling dengan frekuensi pemberian pakan 3 – 4 kali/hari. 2.3.4. Pengelolaan Kualitas Air Kualitas air harus dijaga dan dikontrol setiap hari dan disesuaikan dengan parameter kebutuhan larva, karena sangat mempengaruhi terhadap pertumbuhan dan ketahanan larva terhadap penyakit. Pergantian air dilakukan pada larva berumur 4 – 20 hari sebanyak 10% - 20% per hari. Umur 21 – 30 hari, air yang diganti sebanyak 30% - 40% per hari. Umur 31 – 35 hari, air dalam bak diganti sebanyak 50% - 80% per hari. Kemudian lebih dari umur 35 hari air dalam bak pemeliharaan yang diganti sebanyak 80-100% per hari. Penyiponan dilakukan pada larva berumur 4 hari. 2.4. Analisa Data Untuk mengetahui rata-rata laju pertumbuhan harian dianalisa dengan menggunakan rumus : LPH = Wt - W0 X 100% Wt + W0 x h 2 Keterangan : LPH = laju pertumbuhan harian Wo = bobot ikan rata-rata pada awal pemeliharaan Wt = bobot ikan rata-rata per hari ke-h h = lama pemeliharaan Untuk mengetahui Hatching Rate (HR) digunakan rumus : HR Jumlah telur menetas x100% Jumlah telur keseluruhan Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup (survival rate) : SR Jumlah larva akhir x100% Jumlah larva awal Selain itu dilakukan pula pengukuran kualitas air berupa kandungan oksigen terlarut, salinitas, pH, suhu, Ammoniak dan nitrit. III. 3.1. HASIL Pola Pertumbuhan Berdasarkan Gambar 1 dibawah ini terlihat bahwa, pertumbuhan panjang larva kerapu bebek yang dipelihara pada bak 20 ton lebih baik dari ke larva kerapu bebek yang dipeliharan di bak kapasitas 6 ton. Terlihat juga bahwa pertumbuhan diawal hari pertama dan kedua masih sama karena tahap ini masih memanfaatkan makanan dari yolk egg sehingga pengaruh dari luar belum bisa mempengaruhi pertumbuhan larva tersebut. 7 6 Panjang (cm) 5 4 Vol 6 Ton 3 Vol 20 Ton 2 1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Umur (hari) Gambar 1. Pola Pertumbuhan Pada Volume Bak Berbeda 3.2. Laju Pertumbuhan Berdasarkan analisa laju pertumbuhan diperoleh laju pertumbuhan larva yang dipelihara pada bak 6 ton berkisara antara 0.031 – 0.079% dengan rata-rata 0.051% dan laju pertumbuhan larva pada bak 20 ton berkisar antara 0.034 – 0.082% dengan rata-rata 0.053%. Hasil analisa one way ANOVA menunjukan pengaruh volume wadah tidak siginifikan terhadap pertambahan panjang (Fhit = 0.850 < FTabel = 4.196). 3.3. Survival Rate Pada gambar 2 terlihat bahwa survival rate atau kelangsungan hidup larva pada bak kapsitas 20 ton lebih baik dari kelangsungan hidup larva yang dipelihara pada bak kapasitas 6 ton. Pada akhir kegiatan terlihat bahwa survival rate larva pada bak 20 ton adalah 49%, sedangkan surviva rate pada bak kapasitas 6 ton adalah 39%. 90 80 70 SR (%) 60 50 40 Vol 6 Ton 30 Vol 20 Ton 20 10 0 1 2 3 4 5 6 Pengukuran KeGambar 2. Pola Survival Rate pada Volume Bak Berbeda IV. PEMBAHASAN 4.1. Pola Pertumbuhan Pertumbuhan merupakan rangkaian perubahan ukuran suatu organisme yang dapat berupa berat atau panjang dalam satuan waktu tertentu. Dalam budidaya ikan kerapu pertumbuhan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal yang berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah factor yang sulit dikontrol seperti keturunan, sex, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor eksternal yang berpengaruh adalah makanan dan suhu. Dalam hal ini factor eksternal yang berpengaruh adalah volume bak pemeliharaan yang secara tidak langsung berpengaruh pada kualitas air yang berada dalam bak tersebut. Pola pertumbuhan diawal (D1 dan D2) pemeliharaan lambat dan sama pada kedua bak pemeliharaan karena pada hari tersebut larva masih memanfaatkan kandungan yolk eggnya sebagai penyuplai makanannya sehingga factor eksternal mungkin belum berpengaruh terhadapnya.. Kohno et al (1986) melaporkan bahwa cepatnya pertambahan panjang larva pada fase awal tergantung kepada kecepatan penyerapan kuning telur. Terkait lamanya kuning telur, Nugraha, dkk (2012) mengatakan bahwa pada suhu 300C lamanya kuning telur (yolk egg) pada larva 4-5 hari. Selanjutnya Pramono dan Marnani (2007) menyatakan bahwa aktifitas penyerapan kuning telur terjadi dengan cepat hingga pada hari ke-3 seiring dengan perkembangan organogenesis. Hasil analisa one way ANOVA menunjukkan pengaruh volume wadah tidak siginifikan terhadap pertambahan panjang (Fhit = 0.850 < FTabel = 4.196) 4.2. Laju Pertumbuhan Laju pertumbuhan diperoleh laju pertumbuhan larva yang dipelihara pada bak 6 ton berkisara antara 0.031 – 0.079% dengan rata-rata 0.051% dan laju pertumbuhan larva pada bak 20 ton berkisar antara 0.034 – 0.082% dengan rata-rata 0.053%. lebih baiknya laju pertumbuhan pada bak larva 20 ton, salah satunya diduga oleh kemampuan bak ini untuk menahan stabilitas suhu sehingga suhu tidak mudah turun, sedangkan bak larva 6 ton penurunan suhu akan lebih cepat. Salah satu faktor pembatas dalam kegiatan pembenihan adalah suhu. Suhu merupakan faktor yang sangat penting dalam kehidupan organisme. Pada suhu tinggi proses metabolisme berjalan lebih cepat sehingga perkembangan embrio juga lebih cepatyang berakibat lanjut pada pergerakan embrio pada cangkang yang lebih intensif sehingga mempercepat proses penetasan. Effendi (2002) menyatakan bahwa suhu mempengaruhi cepat atau lambatnya waktu yang dibutuhkan dalam laju perkembangan telur hingga menjadi larva tergantung dari suhu lingkungan tersebut. Melianawati et al (2010) mengatakan bahwa suhu dapat berperan dalam perkembangan embrio, karena suhu dapat mempercepat atau memperlambat proses metabolisme untuk menghasilkan energi yang diperlukan dalam proses perkembangan embrio. Nilai suhu maksimum untuk meningkatkan kecepatan reaksi enzim berada pada kisaran suhu 25-35 0C. 4.3. Survival Rate Pada akhir kegiatan terlihat bahwa survival rate larva pada bak 20 ton adalah 49%, sedangkan surviva rate pada bak kapasitas 6 ton adalah 39%. Penurunan SR terjadi pada pengukuran pertama (hari ketiga) dan terus menurun pada pengukuran ke-2 (hari ke-6). Kondisi ini akibat dari factor kritis dari larva dimana ketersediaan yolk egg sebagai sumber makanan akan habis. Budiardi, dkk (2005) menyatakan bahwa kematian larva mulai terjadi saat kuning telur habis. Selanjutnya dikatakan juga bahwa kematian terbanyak pada suhu alami yang dimulai pada hari ke-7 sampai hari ke-15. Selanjutnya Hijriati (2012) menyatakan bahwa penyebab kematian larva pada awal pemeliharaan terjadi karena masa kritis yang terjadi pada saat kuning telur habis dan larva harus mengambil makanan dari luar. Lebih jauh Nagi et al (1981) mengemukakan bahwa fase paling kritis dalam daur hidup larva adalah sampai periode umur 15 hari. Sedangkan Effendie (2004), menyatakan bahwa, kematian larva yang tinggi terjadi pada peralihan pemanfaatan pakan dari luar (exsogenous feeding). V. 5.1. PENUTUP Kesimpulan Adapun kesimpulan pada kegiatan ini adalah: a. laju pertumbuhan diperoleh laju pertumbuhan larva yang dipelihara pada bak 6 ton berkisara antara 0.031 – 0.079% dengan rata-rata 0.051% dan laju pertumbuhan larva pada bak 20 ton berkisar antara 0.034 – 0.082% dengan rata-rata 0.053%. b. survival rate larva pada bak 20 ton adalah 49%, sedangkan surviva rate pada bak kapasitas 6 ton adalah 39%. 5.2. Saran Dalam melaksanakan kegiatan pembenihan disarankan menggunakan wadah pemeliharaan larva dengan volume besar. REFERENSI Effendie, M.I. 2000. Biologi Perikanan. Yayasan Pustaka Nusatama, yogyakarta. Effendie, M.I. 2004. Pengantar Aquacultur. Penerbit Penebar Swadaya, Bogor Hijriyati, K.H, 2012. Kualitas Telur dan Perkembangan Awal Larva Ikan Kerapu Bebek (Cromileptes altivelis) Di Desa Air Saga Tanjung Pandang Belitung. Tesis Program Pascasarjana IPB Bogor. Kohno, H., S. Hara dan Y. Taki. 1986. Early Development of The Sea Bass (Lates calcarifer) With Emphasis On The Transition of Energy. Bulletin Japanese Society Science Fish 52 (10) : 17191725 Melianawati, R., T.I. Philip dan S. Made. 2010. Perencanaan Waktu Tetas Telur Ikan Kerapu Dengan Penggunaan Suhu Inkubasi Yang Berbeda. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Nagi, A. Bercsenyi. M.V Csenyi (1981). Sex reversal in corpcyprinus carpio by oral administration of metthytestosteron. Canadian Journal Of Fisheries an Aquatic Science 38:725-728 Nugraha D, M.N. Supardjo dan Subiynato, 2012. Pengaruh Perbedaan Suhu Terhadap Perkembangan Embrio, Daya Tetas Telur Dan Kecepatan Penyerapan Kuning Telur Ikan Black Ghost (Apteronotus Albifrons) Pada Skala Laboratorium. Universitas Diponegoro, Semarang. Taufik Budhi Pramono dan Sri Marnani , 2007. Pola Penyerapan Kuning Telur Dan Perkembanganorganogenesis Pada Stadia Awal Larva Ikan brek ( Puntius orphoides). Program Sarjana Perikanan dan Kelautan UNSOED T. Budiardi, W. Cahyaningrum dan I. Effendi, 2005. Efisiensi Pemanfaatan Kuning Telur Embrio Dan Larva Ikan Maanvis (Pterophyllum scalare) Pada Suhu Inkubasi Yang Berbeda. Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, Kampus Darmaga, Bogor 16680