Studi Embriogenesis dan Perkembangan Larva Lola

advertisement
STUDI EMBRIOGENESIS DAN PERKEMBANGAN LARVA
LOLA (Trochus niloticus L.)
STUDY ON EMBRYONIC STAGE AND LARVAL DEVELOPMENT OF THE TOP
SHELL (TROCHUS NILOTICUS L.)
Oleh
Teddy Triandiza dan Agus Kusnadi*
UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual-LIPI Maluku Tenggara
Email:[email protected]
ABSTRAK
Penelitian studi embriogenesis dan perkembangan larva lola bertujuan untuk mendeskripsikan
perkembangan embrio dan larva T. niloticus secara mengamati langsung telur hasil pemijahan di UPT
0
Loka Konservasi Biota Laut Tual. Embriogenesis pada suhu 28 C berlangsung selama 9 sampai 10.
Larva trokhofor berkembang menjadi larva veliger yang dilengkapi statosis setelah 36-72 jam. larva
bermetamorfosa menjadi juvenil lola setelah 5 hari dan terlihat dengan mata telanjang pada umur 22
hari. Benih muda berukuran (1 mm) didapatkan pada umur 30 hari.
Kata kunci : Lola, embriogenesis, larva, metamorfosa, anakan
ABSTRACT
This research is aimed to describe studi on embryogenesis and larva development of top shell by
direct observation spawning eggs at UPT Loka Konservasi Biota Laut, Tual. Embryogenesis lasted 9
o
to 10 hours at 28 C. Trochophore was developed to veliger with statocyst after 36-72 hour. Larvae
metamorphosed to juvenile 5 days after fertilization and can be seen by naked eyes on day 22.
Juvenil trochus of 1 mm were obtained at day 30.
Key words: Top Shell, Embryogenesis, larvae, metamorphosis, juvenile.
PENDAHULUAN
Siput lola merupakan sumber daya perikanan yang memiliki kontribusi penting
dalam perekonomian dan merupakan salah satu mata pencaharian bagi nelayan
pesisir di Kepulauan Kei, Maluku Tenggara. Selain dagingnya yang dapat
dimanfatkan sebagai sumber protein, cangkang lola digunakan sebagai bahan baku
pembuatan kancing baju, perhiasan, dan cat. Sebagai komoditi niaga, cangkang lola
memiliki harga jual tinggi. Dalam beberapa tahun terakhir, permintaan pasar
terhadap cangkang lola untuk industri garmen terus mengalami peningkatan
terutama negara Perancis, Jerman, Hongkong, Italia, Jepang, Singapura, dan
Spanyol (DA SILVA, 2001).
Di Maluku, produksi cangkang lola masih mengandalkan dari habitat alaminya
melalui sistem sasi yang mengatur waktu pengambilan dan diameter cangkang yang
dapat diambil (LEIMENA, 2004). Sistem ini sangat baik bagi kelangsungan
sumberdaya lola dan jenis-jenis invertebrata yang terbatas pola migrasinya.
Walupun demikian jumlah siput lola yang di ambil dari waktu ke waktu semakin
berkurang. Penurunan hasil ini dapat disebabkan oleh penangkapan lola yang terus
meningkat setiap tahun, selain itu juga penerapan sasi yang hanya didasarkan
pengetahuan tradisional, pengalaman penduduk setempat dan batas waktu sasi dan
ukuran lola yang diambil kadang hanya berdasarkan permintaan konsumen (ARIFIN,
1993).
Dengan pertimbangan tersebut maka teknologi budidaya perlu dipersiapkan
untuk memproduksi lola dalam jumlah besar. Hasil budidaya tersebut dapat
digunakan untuk memenuhi permintaan pasar, sehingga tidak tergantung dari alam.
Selain itu, anakan hasil budidaya juga berguna untuk kegiatan ”restocking”,
sehingga populasi lola di alam makin bertambah (PURCELL & LEE, 2001). FALLU
(1991) menyatakan bahwa keberhasilan ekonomi dalam kegiatan budidaya adalah
cepat lambatnya suatu spesies tumbuh mencapai ukuran komersil, bukan ukuran
maksimum yang dapat dicapai spesies tersebut. Budidaya lola memberikan peluang
keberhasilan jika ditemukan teknologi yang dapat mempercepat laju pertumbuhan.
Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan embriogenesis dan perkembangan
larva lola, sehingga didapat informasi berapa lama fase embrio dan larva pada lola.
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Penelitian ini dilakukan pada bulan Oktober - November 2009 di Laboratorium
Budidaya, UPT Loka Konservasi Biota Laut Tual, Maluku Tenggara. Bahan yang
digunakan sebagai subjek penelitian adalah telur dan larva lola hasil pemijahan.
Alat-alat yang digunakan antara lain mikroskop, kamera digital, beker gelas, pipet,
kaca objek cekung, kaca objek datar, dan wadah larva.
Metode Penelitian
Individu-individu lola yang dipilih sebagai induk dibersihkan dan disikat
cangkangnya, kemudian setiap kelompok induk di beri perlakuan secara buatan
melalui induksi atau rangsangan yang dilakukan dengan metode kombinasi dan
oksigenasi mengikuti metode DWIONO et al.,(1997). Pada pukul enam malam, induk
ditempatkan pada wadah pemijahan berupa bak fiberglass bervolume 2.000-3.000
liter dan aquarium bervolume 80 liter air laut yang disaring melalui net plankton (63
mikron).
Pemijahan lola jantan mulai terjadi pada pukul 20.00 WIT dan diikuti pemijahan
lola betina dengan selang waktu 30 menit. Induk jantan mengeluarkan sperma yang
berwarna putih krem, menyembur secara berlahan seperti kabut tipis. Proses
pengeluaran sperma oleh induk jantan berlangsung 2-5 menit dan dikeluarkan
dengan beberapa kontraksi, di mana 16 induk jantan memijah secara serentak.
Sedangkan telur yang dikeluarkan oleh betina berwarna hijau tua dengan ukuran
diameter sekitar 176 ± 4 µm, yang dibungkus dengan lapisan transparan (chorion).
Pengukuran diameter telur menggunakan mikrometer okuler yang diletakkan pada
mikroskop. Proses pengeluaran telur oleh induk betina terjadi pada dasar bak
dengan dengan cara kontraksi selama beberapa menit.
Telur yang dihasilkan pada pemijahan ini digunakan sebagai subjek
pengamatan sampai berkembang menjadi larva berumur 45 hari. Metode yang
digunakan adalah pengamatan terhadap sekelompok telur yang diambil secara
acak, kemudian diletakkan pada preparat cekung untuk diamati di bawah mikroskop
dari waktu ke waktu. Dengan cara ini terlihat bahwa perkembangan telur beragam.
Analisis Data
Data disajikan secara deskriptif, semua data berupa dokumentasi dan hasil
pengamatan dideskripsikan dengan pembanding dari literatur. Deskripsi ini disajikan
berurutan mulai dari perkembangan embrio sampai perkembangan larva 45 hari.
Data disusun urutannya sesuai dengan urutan waktu, dengan perkiraan waktu yang
dibutuhkan untuk pembelahan sel, yaitu telur diamati setiap 30 menit dan larva
sampai umur 36 jam diamati setiap dua jam. Setelah larva berumur 36 jam,
pengamatan perkembangannya dilakukan setiap hari.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengamatan mikroskopis pembuahan telur dan perkembangan larva disajikan
dalam bentuk tabel (Tabel 1). Perkembangan embrio lola pada suhu 280C
berlangsung selama 9-10 jam yang menghasilkan larva trokhofor. Proses ini
digambarkan pada Gambar 1a - 1h. Pembelahan pertama terjadi 30 menit setelah
fertilisasi (Gambar 1a dan 1b). Pembelahan empat sel terjadi 75 menit setelah
fertilisasi (Gambar 1c), kemudian membelah menjadi delapan sel setelah 2 jam 30
menit sejak telur dibuahi (Gambar 1d) dan membelah menjadi multi setelah sel 4
jam 30 menit sejak fertilisasi (Gambar 1e). Fase morula terjadi 7 jam setelah
fertilisasi (Gambar 1f). Pada akhir perkembangan, embryo membentuk trokhofor
yang sudah memiliki bulu-bulu getar (cilia) (Gambar 1g dan 1 h) dalam telur. Bulubulu getar ini merupakan alat gerak pada stadium awal. Embrio yang memiliki silia
dapat beputar di dalam telur.
Tabel 1. Data perkembangan telur, larva dan juvenil lola
Stadia Perkembangan
Umur
Telur di buahi
Pembelahan 2 sel
Pembelahan 4 sel
Pembelahan 8 sel
Pembelahan multisel
Fase morula
Larva trokhofor sebelum
menetas
0 menit
30 menit
75 menit
2 jam 30 menit
4 jam 30 menit
7 jam
9 jam
Larva trokhofor
12 jam
Trokhofor
Larva veliger awal
Veliger
14 jam
16 jam
21 jam
Pediveliger
Post-larva
36 jam
5-6 hari
Post-larva
Juvenil
Juvenil
Juvenil
14 hari
22 hari
30 hari
45 hari
Keterangan
Telur matang
Pembelahan mitosis
Pembelahan mitosis
Pembelahan mitosis
Pembelahan mitosis
Kumpulan blastomer
Fase awal trokhofor, dengan ciri berputar lambat
berlawanan jarum jam, terbungkus selaput telur,
dan terdapat cilia
Berputar dengan cepat berlawanan jarum jam,
dengan bulu-bulu getar berusaha melapaskan
diri dari lapisan telur
bergerak bebas, dengan cilia sebagai alat gerak
Larva membentuk cangkang dan velum
Cangkang lengkap dengan operkulum, dan
mulai tumbuh kaki
Organ kaki seperti hurup T
Larva kehilangan organ renang velum dan
manjalani putaran (torsi) pertama
Post-larva mengalami putaran (torsi) kedua
Juvenil sudah terlihat secara visual;
Juvenil berukuran rata-rata 1 mm
Juvenil sudah memiliki cangkang sempurna
Proses telur menetas menjadi trokhofor terjadi setelah 9 jam sejak
pembuahan. Fase trokhofor berlangsung selama beberapa jam. Pada fase awal
perkembangan larva, secara mikroskopis terlihat larva trokhofor yang masih berada
dalam telur bergerak berlawanan arah dengan jarum jam, gerakan masih lambat
dengan bulu-bulu getar disekitar tubuhnya. Pada umur 12 jam, larva trokhofor
bergerak semakin cepat, berusaha lepas dari lapisan telur yang melindunginya. Silia
disekitar tubuh larva semikin jelas bergerak seiring dengan berputarnya larva. Pada
stadia ini terlihat ciri adanya gelembung-gelembung bening di dalam telur yang
merupakan tanda telur akan menetas. Gelembung-gelembung bening tersebut
berasal dari volume membran telur yang meningkat. Tidak lama kemudian, secara
mikroskopis telihat bahwa larva trokhofor berperan secara fisik dengan bergerak
sangat aktif sehingga membran telur kemudian robek, dan larva trochofor telah
keluar dan berenang bebas sebagai larva planktonis. KIKUTANI & YAMAKAWA
(1999) menunjukkan angka 10-12 jam sebagai waktu yang dibutuhkan oleh telur
untuk menetas menjadi larva trokhofor, sedangkan NASH (1993) menyatakan telur
menetas menjadi larva trokhofor yang berenang bebas 11-13 jam setelah fertilisasi.
Larva trokhofor Trochus nilotius sangat sederhana, mudah dikenali bentuknya
seperti lonceng dan terdapat banyak silia yang selalu bergerak (Gambar 2a dan 2b).
Ukuran sangat kecil sekitar 650 µm, secara visual larva trokhofor lola tampak titiktitik kecil berwarna hitam dan berenang berputar-putar dalam kolom air. Kemudian
pada umur 16 jam, larva trokhofor berkembang menjadi larva veliger yang ditandai
dengan mulai terbentuknya organ renang baru berupa velum dan sudah mulai
terbentuk cangkang (Gambar 2c). Cangkang nampak seperti lapisan kaku dan
transparan di bagian posterior tubuh larva. Pada umur 21 jam, larva veliger mulai
membentuk organ baru yaitu ”kaki” dan cangkang sudah dilengkapi operkulum
(Gambar 2d). Pada fase ini, larva masih bersifat planktonis. Kaki seperti huruf ”T”
terbentuk pada larva berumur 36 jam (Gambar 2e).
Statosis atau organ pengatur keseimbangan terbentuk saat larva mencapai
tahap pediveliger. Organ ini berbentuk seperti bintik hitam (black dot) seperti mata
pada bagian anterior di tengah-tengah lempeng apikal. Keberadaan statosis
menunjukkan bahwa larva siap untuk menempel di dasar (settle) (PILLAY, 1990).
Pada saat tersebut larva lola mulai melakukan aktivitas antara berenang dan
menempel di dasar atau di dinding bak pemeliharaan. Selama masa ini, larva veliger
tidak makan dan mulai mencari substrat yang sesuai untuk menempel dan
melanjutkan hidup sebagai binatang merayap (KIKUTANI & YAMAKAWA, 1999).
Setelah umur 3-4 hari, pediveliger mulai menempati substrat yang sesuai, mulai
bermetamorfosa dan kehilangan organ velum.
Proses metamorfosa merupakan fase kritis dalam kehidupan larva, karena
pada fase ini terjadi perubahan besar, dimana terjadi perpindahan dari kehidupan
melayang ke kehidupan merayap. Lola bersifat lecithotrophic, yaitu moluska yang
memiliki cadangan makanan (NASH, 1993), maka pada fase ini dimulainya
pencarian makanan dari luar tubuhnya sebagai sumber energi (exogonus feeding).
Dalam mempersiapkan proses metamorfosa dan mengurangi tingkat mortalitas yang
tinggi, maka perlu dijaga kualitas air dalam bak pemeliharaan larva.
Pada umur 5-6 hari terlihat organ dua antenula dan larva lola sudah hidup
sepenuhnya sebagai binatang merayap (Gambar 2f). Post-larva bergerak dengan
menjulurkan bagian anterior kaki lalu menarik bagian posterior kaki beserta seluruh
tubuhnya. Perubahan lain yang terjadi saat metamorfosa adalah bentuk cangkang.
Sebelum metamorfosa cangkang baru mengalami putaran pertama dan kemudian
mengalami putaran kedua sehingga tampak seperti mengulir pada bagian apeksnya
(spinning top) (2g). Proses perubahan ini berakhir saat anakan lola berumur 14 hari
dan juvenil lola sudah menyerupai bentuk lola dewasa (Gambar 2h). Setelah
berumur 22 hari, cangkang anakan lola mulai membentuk kerucut meskipun pada
bagian apeks belum terlalu merucing. Pada periode ini, juvenil lola sudah dapat
dilihat dengan mata telanjang (Gambar 2i).
Sejak anakan lola berumur 22 hari, kebutuhan pakan
dan luasan areal
semakin meningkat, di mana banyak anakan lola yang merayap melewati
permukaan air dalam usaha mencari makan. Anakan lola yang berada di luar air laut
dalam waktu lama akan menjadi lemah dan mengalami kematian jika tidak segera
dikembalikan dalam air laut. Oleh karenanya pada setiap tingkat perkembangan
larva harus dilakukan pengaturan kepadatan dan penambahan pakan dan substrat.
Pengukuran pertumbuhan diameter cangkang mulai dilakukan saat juvenil berumur
22 hari menggunakan kaliper digital dua minggu sekali sampai mencapai 2 cm yang
siap untuk ditebar di alam. Hasil pengamatan pertumbuhan anakan lola disajikan
dalam tabel 2.
Tabel 2. Pertumbuhan diameter cangkang lola (Trochus niloticus). Pengukuran dilakukan
terhadap 50 individu yang disampel secara acak
Umur
22 hari
4 minggu
6 minggu
8 minggu
Stadia
Post-larva
Juvenil
Juvenil
Juvenil
Min
0,52
1,16
2,39
3,32
Maks
1,08
1,93
3,49
5,00
Ukuran (mm)
Rerata
Simpangan-Baku
0,89
0,28
1,43
0,16
2,90
0,23
4,04
0,38
Ukuran rata-rata anakan lola yang dipelihara menunjukkan peningkatan
setiap dua minggunya. Pada minggu ke empat anakan lola memiliki ukuran diameter
cangkang lrata-rata 1,43 mm meningkat menjadi 4,04 mm setelah di pelihara selama
empat minggu (6,52 %). Bila dibandingkan dengan di tempat-tempat lain,
pertumbuhan rata-rata anakan lola ini cukup baik. Di ambon, DWIONO et al. (1995)
memperoleh ukuran rata-rata anakan lola 1,98 mm setelah di pelihara selama
delapan minggu. HESLINGA & HILLMAN (1981) mendapatkan lola dengan ukuran
2,1 mm setelah dipelihara di bak beton selama 9 minggu.
Padat penebaran diduga berpengaruh cukup besar terhadap kecepatan
tumbuh anakan lola. Pada penelitiaan ini, anakan lola yang dipelihara dalam bak
beton dan bak fiber dengan kepadatan 1000 ekor/m2 memiliki ukuran pertumbuhan
yang sangat lambat, yaitu 1-1,5 mm setelah dipelihara delapan minggu. Sangat jauh
berbeda dengan anakan lola yang dipelihara di akuarium dengan kepadatan 60
ekor/m2 yang mencapai ukuran 5 mm setelah dipelihara delapan minggu.
Kepadatan diduga berperan dalam kompetisi pakan antar individu lola sehingga
anakan lola yang tidak mendapat cukup makanan mengalami keterlambatan
pertumbuhan.
Dari penelitian ini tergambar bahwa dalam proses embrionik dan larva terbagi
dalam tiga tahapan yaitu tahap embrio (pembelahan sampai trokhofor); tahap larva
(trokhofor sampai pediveliger); dan tahap metamorfosa. Fase embriogenesis lola
berlangsung selama 9-10 jam. Perkembangan trokhofor menjadi pediveliger yang
dilengkapi kaki dan statosis berlangsung 36-72 jam. Fase metamorfosis spat lola
sampai terlihat mata berlangsung 5-22 hari. Juvenil lola dengan bentuk cangkang
seperti lola dewasa mulai terlihat setelah 14 hari. Benih yang relatif mudah ditangani
(1 mm) didapat setelah umur 30 hari.
DAFTAR PUSTAKA
ARIFIN, Z. 1993. Sebaran geografis, habitat, dan perikanan siput lola (Trochus
niloticus) di Maluku. Perairan Maluku dan Sekitarnya. Hal. 93-101Da Silva,
Dallas. 2001. The Torres Strait trochus fishery. SPC Trochus Information
Bulletin : 2-3.
DA SILVA, Dallas. 2001. The Torres Strait trochus fishery. SPC Trochus Information
Bulletin : 2-3.
DWIONO, S. A. P., EDWARD. D., PRADINA, dan P.C. MAKATIPU. 1995.
Pembenihan lola (Trochus niloticus) di laboratorium. Seminar Biologi XI,
kampus UI Depok, 23-27 juli 1995. 11 hal.
DWIONO, S. A. P., PRADINA, dan P.C. MAKATIPU. 1997. Teknologi Produksi
Benih Lola (Trochus niloticus L.) Suatu Alternatif Pemulihan Sedian Alami Di
Kepulauan Banda dan Lease. Laporan Akhir Riset Unggulan Terpadu. Balai
Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Laut. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Oseanologi-LIPI. 127 hal.
FALLU, R. 1991. Abalone farming. Blacwell Science, Inc. Cambridge, USA. 208 pp.
HESLINGA, G.A. and A. HILMAN. 1981. Hatcery Culture of the Commercial Top
Snail Trochus niloticus in Palau. Caroline Island. Aquaculture 22 : 35-43
KIKUTANI, H and H. YAMAKAWA. 1999. Marine Snails Seed Production Towards
Restocking Enhancement Basic Manual. JICA and FAO, 59 pp.
LEIMENA, H.E.P., T.S.S. SUBAHAR, dan ADIANTO. 2005. Estimasi daya dukung
dan pola pertumbuhan populasi keong laut (Trochus niloticus) di Pulau
Saparua, Kabupaten Maluku Tengah. Jurnal Matematika dan Sains 10 (3) : 7580.
NASH, J. W. 1993. Trochus. In: A. Wright and L. Hill (eds) Nearshore Marine
Resources Of The South Pacific. Forum Fisheries Agencies and Institute of
Pacific Studies. 451 – 496.
PILLAY, TVR. 1990. Aquaculture : Principles and Practice. Blcwell Science, Inc.
Malden, USA. 640 pp.
PURCELL1, S. W and C.L. LEE. 2001. Testing the efficacy of restocking trochus
using broodstock transplantation and juvenile seeding – an ACIAR-funded
project. SPC Trochus Information Bulletin : 3 – 8.
1.a
1.b
1.c
1.d
1.e
1.f
1.g
1.h
Gambar 1. Embriogenesis telur Trochus niloticus
1.a: telur terbuahi lengkap dengan lapisan chorion di bagian luar; 1.b: pembelahan 2 sel (30 menit);
1.c: pembelahan 4 sel (75 menit); 1.d: pembelahan 8 sel (2 jam 30 menit); 1.e: pembelahan multi sel
(4 jam); 1.f: stadia morula; 1.g: telur yang berkembang menjadi larva trokhofor sebelum menetas; 1.h:
larva trokhofor yang berusaha keluar dari telur
2.a
2.b
2.e
2.c
2.f
2.h
2.d
2.g
2.i
Gambar 2. Perkembangan larva Trochus niloticus
2.a: larva trokhofor baru menetas (14 jam); 2.b: larva veliger dengan cangkang yang baru terbentuk;
2.c: larva veliger dengan cangkang penuh; 2.d: larva veliger lengkap dengan oprculum; 2.e: larva
pediveliger; 2.f: post-larva yang mencapai tahap putaran (torsion) pertama umur 5 hari; 2.g: Postlarva yang melampaui tahap putaran (torsion) kedua umur 14 hari; 2.h: juvenil lola 22 hari; 2.i: juvenil
lola 45 hari.
Download