TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas) Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur daerah selatan China, Malaysia, Thailand dan Indonesia (Peigler, 1989). Indonesia memiliki delapan spesies Attacus yang dominan dan terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia antara lain di Pulau Jawa, Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan 2007). Ulat sutera ini mengalami metamorfosis sempurna dan termasuk hewan polivoltin yang artinya dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun. Klasifikasi Attacus atlas menurut Peigler (1989) sebagai berikut : Kingdom : Animalia Filum : Arthopoda Kelas : Insekta Ordo : Lepidoptera Famili : Saturniidae Genus : Attacus (Linnaeus) Spesies : Attacus atlas (Linnaeus) Morfologi Imago Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu serangga yang memiliki ukuran imago sangat besar dan atraktif. Masyarakat sering menyebut imago A. atlas sebagai kupu-kupu gajah. Imago aktif di malam hari (nocturnal). Tubuh imago ditutupi oleh sisik. Warna dasar sayap ngengat berwarna coklat kemerahan hingga orange (Kalshoven, 1981). Perbedaan antara imago jantan dan betina dapat dibedakan dari ukuran tubuh, bentang sayap dan tipe antena. Tubuh imago jantan lebih kecil dari betina dengan warna lebih coklat kekuningan. Bentangan sayap imago jantan 15-22 cm sedangkan sayap imago betina 16,5-24 cm (Awan, 2007). Antena jantan lebih besar dibandingkan betina dan memiliki warna coklat kekuningan. Panjang dari antena jantan 25-30 mm dan lebar 10-13 mm dan betina 17-21 mm dan 3 mm. Imago memiliki sepasang antena berbentuk bipectinate (Peigler,1989). Fungsi antena pada imago jantan antara lain untuk mendeteksi feromon yang dikeluarkan imago betina sebagai isyarat kimia untuk melakukan kopulasi. Ngengat betina akan mengeluarkan feromon dari ujung abdomen untuk menarik jantan yang selanjutnya akan melakukan perkawinan. Perkawinan akan berlangsung selama sehari penuh (Peigler, 1989). (b) Antena jantan** (a) Imago* (c) Antena betina ** Gambar 1. (a) Imago Attacus atlas (b) Antena A. atlas Jantan (c) Antena A. atlas Betina Sumber: * Foto : www.itfnet.org ** Foto : Dewi, 2009 Tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen (Peigler, 1989). Bagian toraks terdiri atas segmen protoraks, mesotoraks dan metathoraks. Bagian abdomen terdiri atas delapan segmen pada jantan dan tujuh segmen pada betina. Imago tidak memerlukan makanan dan fase hidupnya relatif singkat, yakni sekitar 3-8 hari pada larva yang diberikan pakan daun sirsak (Mulyani, 2008). Imago keluar melalui lubang dari ujung anterior kokon yang terbentuk pada saat pengokonan. Awan (2007) menyatakan bahwa imago yang baru keluar dari kokon biasanya masih basah oleh cairan yang berwarna putih keruh dan sayapnya belum mengembang sempurna. Penyempurnaan sayap dilakukan dengan menggantungkan diri ke ranting dengan posisi abdomen mengarah ke bawah. Sayap yang telah mengembang sempurna dalam beberapa jam akan mengalami pengerasan dan kuat digunakan untuk terbang. Telur Telur dihasilkan imago betina yang kawin maupun tidak kawin. Telur yang dihasilkan dari imago betina yang kawin berupa telur fertil yang akan menetas menjadi larva, sedangkan imago betina yang tidak kawin akan menghasilkan telur 4 infertil yang tidak dapat menetas menjadi larva. Ciri-ciri telur A. atlas bentuk bulat pipih, memiliki ukuran lebar 2,4 mm, panjang 2,8 mm dan tebal 1,9 mm. Telur berwarna putih kekuningan hingga kuning muda (Peigler, 1989). Imago betina A. atlas yang fertil akan menghasilkan telur berkisar 126-380 butir, sedangkan betina infertil menghasilkan telur berkisar 80-348 butir (Mulyani, 2008). Telur A. atlas di alam diletakkan berkelompok di bawah permukaan daun atau cabang-cabang pohon tanaman inang (Kalshoven, 1981). Gambar 2 Telur Attacus atlas Sumber : Mulyani (2008) Ketika imago betina mengeluarkan telur, secara bersamaan juga dikeluarkan cairan yang bersifat lengket berwarna kemerahan hingga cokelat yang disebut cairan gum. Cairan ini berfungsi sebagai pelekat telur pada substrat (Awan, 2007). Induk betina memerlukan waktu selama 2-6 hari untuk menghasilkan telur setelah kawin (Mulyani, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Awan (2007), biasanya telur menetas pada pagi hari. Faktor suhu dan genetik indukan menjadi faktor penting dalam yang menentukan waktu inkubasi telur. Larva Telur akan menetas menjadi larva dalam 6-10 hari. Bentuk larva dari A. atlas erusiform dengan satu kepala dan memiliki tubuh yang silindris. Tubuh dari larva berbentuk ruas-ruas terdiri atas 13 ruas dengan tiga ruas pada bagian toraks dan 10 ruas pada bagian abdomen (Triplehorn dan Johnson, 2005). Larva A. atlas dilengkapi skoli yang mirip dengan duri-duri sebagai tonjolan dari otot dan tuberkel yaitu tonjolan kutikula yang membentuk seta/rambut. Pada abdomen segmen ke 3- 6 5 dan segmen ke 10 terdapat kaki palsu (proleg) yang dilengkapi dengan kait. Tubuh larva dilindungi kutikula, yang dibentuk epidermis. Kutikula akan mengalami pengerasan sehingga dalam pertumbuhan larva akan dilepaskan (Peigler, 1989). Tahap larva A. atlas terdiri atas enam tahapan instar. Instar merupakan tahapan perkembangan serangga pradewasa antara dua ekdisis yang terjadi berurutan. Setiap instar memiliki ciri-ciri ukuran dan perilaku larva yang berbeda dalam pertumbuhan dan perkembangan. Pergantian masa instar ditandai dengan pergantian kulit (molting). Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula dinding tubuh, kepala dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus depan dan usus belakang. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutupi serbuk putih. Bertambahnya umur instar ditandai dengan semakin menebal serbuk putih dan meningkatnya aktivitas makan (Peigler, 1989). Larva instar I memiliki ciri-ciri panjang tubuh rata-rata 0,5 cm, warna kepala coklat kehitaman dan warna tubuh kuning kecoklatan (Zebua et al., 1997). Larva yang baru menetas akan memakan sebagian sisa kulit telurnya sebelum memakan daun muda. Larva akan memakan bagian tepi daun. Pemeliharaan pada instar awal membutuhkan perhatian lebih terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik, cuaca, dan pakan. Hal ini dikarenakan instar awal sangat rentan terhadap perubahan lingkungan yang tidak sesuai. Larva yang akan melakukan molting menjadi kurang aktif bergerak (Awan, 2007). Instar II ditandai dengan terjadinya molting untuk pertama kali berupa pengelupasan kulit luar dan pelindung kepala. Pada tahap instar ini larva memiliki panjang tubuh 1-1,5 cm (Awan, 2007). Bagian kepala berwarna coklat agak terang sedangkan pada bagian belakang abdomen terdapat bercak merah. Permukaan tubuh dilindungi serbuk putih (Peigler, 1989). Selain itu bertambahnya aktivitas makan pada larva yang telah mengalami molting dan akan beristirahat menjelang melakukan pergantian kulit. Instar III terjadi perubahan ukuran tubuh yang terlihat sangat jelas. Rata-rata panjang tubuh mencapai 2-2,5 cm. Bagian kepala berwarna coklat agak terang dan terdapat bercak merah pada bagian belakang tubuh. Serbuk putih dan bercak merah mendominasi warna larva pada instar ketiga (Awan, 2007). Skoli yang mirip dengan duri-duri mulai muncul dan berwarna hitam (Peigler,1989). 6 Larva instar IV mempunyai berukuran tubuh 2,5-3 cm. Kepala berwarna putih kehijauan cerah, bercak merah yang terdapat pada tubuh mulai pudar berganti bercak berwarna coklat tua yang merata di seluruh tubuh. Selain itu seluruh permukaan tubuh ditutupi serbuk putih yang semakin menebal (Awan, 2007). Larva yang telah mencapai instar ini lebih aktif dan mengkonsumsi pakan lebih banyak. Larva dapat memakan daun-daun tua dan juga seluruh bagian daun hingga habis. Pada akhir instar IV terjadi perubahan ukuran tubuh yang mencolok. Instar V terlihat pertambahan yang sangat terlihat nyata karena pada instar ini aktivitas makan semakin meningkat. Panjang tubuh larva dapat mencapai 6,5-8 cm. bagian kepala ikut mengalami perubahan ukuran dan berwarna hijau muda. Skoli atau tonjolan pada dorsal segmen toraks menjadi tumpul. Tubuh ditutupi dengan serbuk putih. Pengaruh lingkungan pada instar ini relatif kecil karena larva telah mampu beradaptasi. Pemberian pakan sering kali disertakan bagian ranting sehingga larva dapat hinggap pada ranting-ranting (Awan, 2007). Instar terakhir yaitu pada instar VI. Pada akhir instar VI, larva tidak lagi aktif dan cenderung memposisikan diri pada cabang-cabang pohon dengan mengangkat bagian tubuh depan. Ukuran tubuhnya mencapai 8-10 cm, berwarna hijau tua hingga hijau kehitaman. Tubuh larva terlihat sangat besar, gemuk dan kokoh serta serbuk putih mulai menghilang. Larva akan mengeluarkan cairan sutera yang digunakan untuk membentuk serat-serat sutera kokon (Awan, 2007). Pupa Setelah tahapan larva, akan terbentuk pupa. Pupa merupakan perkembangan antara larva dan imago. Pupa memiliki warna kecoklatan dan licin. Pada stadium ini terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago yang terdiri atas sayap, kaki, kepala dan struktur reproduksi. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah sehingga pupa terlindung dalam kokon. Kokon sangat diperlukan untuk menjaga pupa dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan pupa. Kokon yang terbentuk sempurna seperti elips (silindris), ujungnya membulat dan pada ujung anteriornya terdapat celah. Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri atas serisin dan fibroin (Triplehorn dan Johnson, 2005). Kokon berfungsi untuk menjaga kondisi dalam kokon tetap sesuai dan menjaga pengaruh lingkungan yang buruk sehingga 7 tidak menggganggu perkembangan pupa. Umumnya kokon berbentuk oval dengan serat sutera yang menggantung pada tangkai pohon atau helai daun. Ukuran kokon bervariasi antara 5-9 cm dan memiliki warna yang bervariasi pula. Warna kokon antara krem sampai coklat tua atau lebih umum berwarna coklat muda. Tekstur permukaan luarnya kasar dan terkadang keriput (Peigler, 1989). (b) (a) Gambar 3. Kokon A.atlas (a), Pupa A.atlas (b) Sumber : Indrawan (2007) Cairan sutera dihasilkan sepasang kelenjar sutera (silk gland). Kelenjar tersebut merupakan perbesaran dari kelenjar air liur yang bermuara pada labium. Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut fibroin, sedangkan bagian tengah menghasilkan protein yang menyerupai lem yang disebut serisin. Serisin merupakan perekat yang digunakan untuk menempelkan lembaranlembaran serat yang menjadi satu yang nantinya akan membentuk lapisan luar serat sutera. Fibroin merupakan bagian serat yang mengandung asam amino utama penyusun rantai pigmen sutera yaitu glisin, serin, tirosin dan alanin (Raharjo et al., 1998). Siklus Hidup Attacus atlas adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa sempurna yaitu melewati stadium telur, larva, pupa dan imago. Stadia telur ngengat A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larva mencapai waktu satu bulan dan stadia pupa berlangsung selama 24 hari (Mulyani, 2008). Gambar 4, memperlihatkan siklus hidup A. atlas menurut Awan (2007). Lama periode larva yang dipelihara di laboratorium dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina lithosperma Miq.) berkisar antara 26-50 hari dengan rataan 34,57± 8,81 hari pada 8 betina dan 22-54 hari dengan rataan 34,08± 9,15 hari pada jantan (Zebua et al., 1997). Hasil penelitian yang dilakukan Mulyani (2008), periode larva terpanjang pada larva yang diberi pakan daun sirsak yaitu 36 hari dan yang paling singkat larva yang diberi pakan daun kaliki yaitu 31 hari, sedangkan masa pupa berlangsung sekitar 8-58 hari. Telur (10-12 Hari) Instar V (6-8 Hari) Instar VI (10-12 Hari) Instar I (5-8 Hari) Instar IV(4-6 Hari) Pupa (20-29 Hari) Instar II (5-7 Hari) Instar III (4-6 Hari) Imago (2-7 Hari) Gambar 4. Daur Hidup A.atlas Sumber : www.agrix.com dan www.wormspit.com/atlas.htm Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva maupun pupa. Diapause merupakan tertundanya perkembangan atau sering disebut periode diam yang muncul sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Triplehorn dan Johnson, 2005). Diapause pupa ditandai dengan menurunnya metabolisme, penghentian diferensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan air melalui transpirasi. Proses diapause atau pengaturan voltinisme tidak terganggu dengan pemeliharan di dalam ruangan (Peigler, 1989). 9 Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Larva Faktor Abiotik Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup A. atlas merupakan hal sangat penting yang harus diperhatikan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah suhu, kelembaban, intensitas cahaya, sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan. Ngengat A. atlas dapat hidup pada suhu 25 oC dengan kelembaban relatif 75%-80% (Common,1990). Faktor lingkungan tersebut sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan ulat sutera, karena ulat sutera bersifat poikiloterm. Attacus atlas memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat hidup. Suhu lingkungan yang optimal untuk perkembangan ulat sutera A. atlas dalam ruangan untuk masa inkubasi telur 22-24 oC, stadium larva 22-29 oC, pembentukan kokon, masa pupasi dan perkawinan imago 26-20 oC (Awan, 2007). Faktor kelembaban pada larva instar I – III berbeda dengan larva instar IV – VI. Faktor kelembaban sangat berpengaruh terhadap aktivitas makan dari larva. Kelembaban lingkungan untuk perkembangan ulat kecil B. mori 80%-90%, ulat besar 65%-75% sedangkan kokon 60%-75% (Atmosoedarjo et al., 2000). Faktor kelembaban sangat berpengaruh terhadap kehidupan A. atlas terutama stadia larva. Mulyani (2008) menyatakan bahwa suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan stres pada larva sehingga tidak mau makan, energi banyak dikeluarkan dan kecepatan respirasi akan bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan metabolisme meningkat pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva menjadi terganggu. Intensitas cahaya yang ideal untuk Bombyx berkisar 15-30 lux. Intensitas cahaya kurang berpengaruh penting dalam pemeliharaan A. atlas di daerah tropis (Awan, 2007). Faktor Biotik Setiap fase dalam kehidupan A. atlas tidak luput dari serangan parasit maupun predator. Telur A. atlas sebagian besar diserang parasit dari famili Chalcidoidea (Hymenoptera) yaitu Anastasus colemani, Agiommatus attaci, Tetrastichus dan Xanthopimpla sp. Parasit pada larva A. atlas diantaranya adalah Famili Tachinidae (Diptera) Exorista sorbillans Wiedeman, Falimi Braconidae 10 (Hymenoptera) misalnya Apanteles. Exorista sorbillans (Tachinidae) dan Sarcophagidae (Diptera) dapat mematikan pupa (Piegler, 1989). Predator yang sering menyerang larva A. atlas adalah belalang sembah, capung, lalat, burung, tikus, laba-laba, tawon, semut, cicak dan kadal. Aktivitas predator merupakan faktor biotik yang berpengaruh terhadap populasi dan kehidupan serangga. Pada alam liar persaingan antar larva dalam memperoleh makanan, perlindungan dan tempat pada saat pupasi dapat menjadikan kegagalan dalam pembentukan pupa dan menyebabkan kematian (Piegler, 1989). Pakan ulat sutera A. atlas tercatat paling banyak jenisnya. Peigler (1989) menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang dapat dimakan daunnya oleh larva ulat sutera ini. Pakan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam pemeliharaan ulat sutera ini. Pakan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis, lama siklus perkembangan, kualitas kokon serta produktivitas telur (Awan,2007). Tingkah Laku Makan Serangga Perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien tertentu dalam darahnya terutama konsentrasi asam-asam amino dan gula. Perilaku makan meliputi rangkaian perilaku menentukan pakan, menerima atau menolak dan menelan pakan. Menentukan pakan dipengaruhi defisiensi nutrien di dalam hemolim. Defisiensi nutrien akan menggerakkan hewan untuk mencari pakan dan menentukan pakannya. Setelah hewan mendekati pakan, hewan tersebut akan menggunakan reseptor-reseptor organ sensorinya dan reseptor kimiawi untuk mengenali pakan. Rangsangan akan diterima oleh susunan saraf pusat dan selanjutnya ditanggapi dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya akan mengalami proses pencernaan, dalam saluran pencernaan dan pakan diabsorpsi. Absorpsi makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, terjadi perubahan ini akan ditanggapi dengan berhentinya aktivitas makan. Penggunaan nutrien dalam proses metabolisme yang terjadi di jaringan akan mempengaruhi osmolitas nutrien dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan. Perilaku makan pada serangga merupakan proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan saraf yang dipengaruhi osmolitas nutrien di hemolim (Chapman, 1998). 11 Sirsak (Annona muricata L) Tanaman sirsak atau disebut juga nangka belanda merupakan tanaman yang banyak terdapat di Indonesia. Tanaman sirsak berasal dari daerah tropik yaitu daerah di sekitar Ekuador dan Peru. Sirsak yang terdapat di Indonesia dikenal dua jenis yaitu sirsak manis dan sirsak asam. Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, misalnya sirsak memiliki ciri-ciri bau daun yang tidak sedap (Radi, 1997). Taksonomi tanaman sirsak adalah : Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Ranales Famili : Annonaceae Genus : Annona Spesies : Annona muricata L. Gambar 5. Daun Sirsak Sumber : http://indonetwork.co.id Tanaman ini tumbuh tegak dengan ketinggian pohon mencapai 8-10 m. Daun sirsak termasuk daun tunggal. Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung runcing dan tepi rata. Warna daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian bawah berwarna hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat daun tegak pada urat daun utama. Panjang daun antara 6–18 cm dan lebar daun antara 2–6 cm. Tanaman ini mempunyai kandungan bahan aktif berupa alkaloid, minyak atsiri, senyawa aromatik, karbohidrat, lemak, asam amino dan polifenol. Dasar bunga berbentuk cekung dan memilki benang sari berjumlah banyak. Buahnya merupakan buah majemuk tidak beraturan yang memiliki daging buah berwarna putih dan berbiji hitam (Steenis, 2006). 12 Nangka (Artocarpus heterophyllus) Nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri tanaman ini memiliki nama yang berbeda ditiap daerah antara lain nongko/nangka (Jawa, Gorontalo), anane (Ambon), lumasa/malasa (Lampung), nanal (Irian Jaya). Taksonomi tanaman nangka adalah : Divisi : Magnoliophyta Kelas : Magnoliopsida Ordo : Urticales Famili : Moraceae Genus : Artocarpus Spesies : Artocarpus heterophyllus Gambar 6. Daun Nangka Sumber : http://jiwang.org Tanaman nangka cocok tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan ratarata 1.500-2.500 mm dan daerah kering. Nangka termasuk tanaman hutan bercabang banyak, pohonnya dapat mencapai tinggi 25 m. Seluruh bagian tanaman ini mengandung banyak getah. Daun nangka berbentuk tunggal, lonjong, lebar dengan permukaan daun kasar, mengkilap dan kaku. Daun nangka berwarna hijau tua dan daun muda berwarna hijau kekuningan biasanya berlekuk. Ciri-ciri lainnya yaitu memiliki tulang daun menyirip dengan tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm dan lebar 5 cm. Masyarakat memanfaatkan daun nangka sebagai pakan ternak atau sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit kulit (Steenis, 2006). Nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik) yang memiliki bunga banyak tersusun tegak lurus pada tangkai buah. Buahnya berbentuk lonjong dan sangat besar 13 yang seluruh permukaannya ditutupi duri lunak. Buah dapat mencapai ukuran panjang 30-40 cm. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan (Sunarjono, 1998). Daging buah nangka berwarna kuning apabila masak, berbau harum yang keras dan berisi cairan (nectar) yang manis. Biji berbentuk bulat lonjong dengan panjang 2-4 cm dan berdiameter 1-1,5 cm tertutup oleh kulit biji yang tipis berwarna coklat. Biji yang terdapat dalam tiap buah dapat mencapai 500 biji. Tanaman nangka merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Ekstrak metanol dari akar, kulit kayu, daun, buah dan biji nangka dapat digunakan sebagai antibakteri (Prakash et al., 2010). Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini, karena hampir semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan. Kenari (Canarium commune L.) Pohon kenari (Canarium commune L.) adalah tanaman asli Indonesia yang berasal dari Maluku, kemudian menyebar luas ke beberapa Negara Asia tropis lain. Tanaman ini sering digunakan sebagai tanaman peneduh yang ditanam di sepanjang kanan kiri jalan serta sering digunakan sebagai tanaman dalam penghijauan (Endah, 2003). Taksonomi tanaman kenari adalah : Divisi : Spermatophyta Kelas : Dicotyledoneae Ordo : Geraniales Famili : Burseraceae Genus : Canarium Spesies : Canarium commune (Linnaeus). Gambar 7. Daun Kenari Sumber : Thomson dan Evans (2006) 14 Pohon kenari tergolong famili Burseraceae. Tinggi pohon kenari dapat mencapai 30 m dengan kulit batang berwarna keabu-abuan. Pohon ini terlihat rimbun dengan daun yang mudah sekali rontok. Daun kenari merupakan daun majemuk, menyirip ganjil, menyusun suatu mahkota dengan anak daun terdiri dari 5-11 buah, berwarna hijau (Endah, 2003). Selain itu daun kenari dicirikan berbentuk oval dengan ujung meruncing, tepi daun rata. Berdasarkan letak stomata, daun kenari termasuk tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi bawah (abaksial). Kelopak pada bunga jantan berbentuk lonceng, sedangkan bunga betina berbentuk periuk. Bunga jantan memiliki benang sari berjumlah enam buah dan bunga betina enam buah staminodia (Steenis, 2006). 15