TINJAUAN PUSTAKA Taksonomi Ulat Sutera Liar

advertisement
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi Ulat Sutera Liar (Attacus Atlas)
Ulat sutera liar Attacus atlas adalah serangga yang memiliki ukuran tubuh
besar dan banyak ditemukan di hutan-hutan tropis dan subtropis seperti di Asia
Tenggara, Asia bagian Selatan, Asia Timur daerah selatan China, Malaysia, Thailand
dan Indonesia (Peigler, 1989). Indonesia memiliki delapan spesies Attacus yang
dominan dan terdapat hampir di seluruh wilayah Indonesia antara lain di Pulau Jawa,
Sumatera, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua (Awan
2007). Ulat sutera ini mengalami metamorfosis sempurna dan termasuk hewan
polivoltin yang artinya dapat hidup lebih dari dua generasi dalam satu tahun.
Klasifikasi Attacus atlas menurut Peigler (1989) sebagai berikut :
Kingdom
: Animalia
Filum
: Arthopoda
Kelas
: Insekta
Ordo
: Lepidoptera
Famili
: Saturniidae
Genus
: Attacus (Linnaeus)
Spesies
: Attacus atlas (Linnaeus)
Morfologi
Imago
Attacus atlas (Lepidoptera : Saturniidae) adalah salah satu serangga yang
memiliki ukuran imago sangat besar dan atraktif. Masyarakat sering menyebut imago
A. atlas sebagai kupu-kupu gajah. Imago aktif di malam hari (nocturnal). Tubuh
imago ditutupi oleh sisik. Warna dasar sayap ngengat berwarna coklat kemerahan
hingga orange (Kalshoven, 1981). Perbedaan antara imago jantan dan betina dapat
dibedakan dari ukuran tubuh, bentang sayap dan tipe antena. Tubuh imago jantan
lebih kecil dari betina dengan warna lebih coklat kekuningan. Bentangan sayap
imago jantan 15-22 cm sedangkan sayap imago betina 16,5-24 cm (Awan, 2007).
Antena jantan lebih besar dibandingkan betina dan memiliki warna coklat
kekuningan. Panjang dari antena jantan 25-30 mm dan lebar 10-13 mm dan betina
17-21 mm dan 3 mm. Imago memiliki sepasang antena berbentuk bipectinate
(Peigler,1989). Fungsi antena pada imago jantan antara lain untuk mendeteksi
feromon yang dikeluarkan imago betina sebagai isyarat kimia untuk melakukan
kopulasi. Ngengat betina akan mengeluarkan feromon dari ujung abdomen untuk
menarik jantan yang selanjutnya akan melakukan perkawinan. Perkawinan akan
berlangsung selama sehari penuh (Peigler, 1989).
(b) Antena jantan**
(a) Imago*
(c) Antena betina **
Gambar 1. (a) Imago Attacus atlas (b) Antena A. atlas Jantan
(c) Antena A. atlas Betina
Sumber: * Foto : www.itfnet.org ** Foto : Dewi, 2009
Tubuh ngengat terbagi menjadi tiga bagian yaitu kepala, toraks dan abdomen
(Peigler, 1989). Bagian toraks terdiri atas segmen protoraks, mesotoraks dan
metathoraks. Bagian abdomen terdiri atas delapan segmen pada jantan dan tujuh
segmen pada betina. Imago tidak memerlukan makanan dan fase hidupnya relatif
singkat, yakni sekitar 3-8 hari pada larva yang diberikan pakan daun sirsak (Mulyani,
2008). Imago keluar melalui lubang dari ujung anterior kokon yang terbentuk pada
saat pengokonan. Awan (2007) menyatakan bahwa imago yang baru keluar dari
kokon biasanya masih basah oleh cairan yang berwarna putih keruh dan sayapnya
belum
mengembang
sempurna.
Penyempurnaan
sayap
dilakukan
dengan
menggantungkan diri ke ranting dengan posisi abdomen mengarah ke bawah. Sayap
yang telah mengembang sempurna dalam beberapa jam akan mengalami pengerasan
dan kuat digunakan untuk terbang.
Telur
Telur dihasilkan imago betina yang kawin maupun tidak kawin. Telur yang
dihasilkan dari imago betina yang kawin berupa telur fertil yang akan menetas
menjadi larva, sedangkan imago betina yang tidak kawin akan menghasilkan telur
4
infertil yang tidak dapat menetas menjadi larva. Ciri-ciri telur A. atlas bentuk bulat
pipih, memiliki ukuran lebar 2,4 mm, panjang 2,8 mm dan tebal 1,9 mm. Telur
berwarna putih kekuningan hingga kuning muda (Peigler, 1989). Imago betina A.
atlas yang fertil akan menghasilkan telur berkisar 126-380 butir, sedangkan betina
infertil menghasilkan telur berkisar 80-348 butir (Mulyani, 2008). Telur A. atlas di
alam diletakkan berkelompok di bawah permukaan daun atau cabang-cabang pohon
tanaman inang (Kalshoven, 1981).
Gambar 2 Telur Attacus atlas
Sumber : Mulyani (2008)
Ketika imago betina mengeluarkan telur, secara bersamaan juga dikeluarkan
cairan yang bersifat lengket berwarna kemerahan hingga cokelat yang disebut cairan
gum. Cairan ini berfungsi sebagai pelekat telur pada substrat (Awan, 2007). Induk
betina memerlukan waktu selama 2-6 hari untuk menghasilkan telur setelah kawin
(Mulyani, 2008). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Awan (2007), biasanya
telur menetas pada pagi hari. Faktor suhu dan genetik indukan menjadi faktor penting
dalam yang menentukan waktu inkubasi telur.
Larva
Telur akan menetas menjadi larva dalam 6-10 hari. Bentuk larva dari A. atlas
erusiform dengan satu kepala dan memiliki tubuh yang silindris. Tubuh dari larva
berbentuk ruas-ruas terdiri atas 13 ruas dengan tiga ruas pada bagian toraks dan 10
ruas pada bagian abdomen (Triplehorn dan Johnson, 2005).
Larva A. atlas
dilengkapi skoli yang mirip dengan duri-duri sebagai tonjolan dari otot dan tuberkel
yaitu tonjolan kutikula yang membentuk seta/rambut. Pada abdomen segmen ke 3- 6
5
dan segmen ke 10 terdapat kaki palsu (proleg) yang dilengkapi dengan kait. Tubuh
larva dilindungi kutikula, yang dibentuk epidermis. Kutikula akan mengalami
pengerasan sehingga dalam pertumbuhan larva akan dilepaskan (Peigler, 1989).
Tahap larva A. atlas terdiri atas enam tahapan instar. Instar merupakan
tahapan perkembangan serangga pradewasa antara dua ekdisis yang terjadi
berurutan. Setiap instar memiliki ciri-ciri ukuran dan perilaku larva yang berbeda
dalam pertumbuhan dan perkembangan. Pergantian masa instar ditandai dengan
pergantian kulit (molting). Pergantian kulit terjadi pada seluruh lapisan kutikula
dinding tubuh, kepala dan lapisan-lapisan kutikula trakea, usus depan dan usus
belakang. Kulit yang baru terbentuk tidak tertutupi serbuk putih. Bertambahnya umur
instar ditandai dengan semakin menebal serbuk putih dan meningkatnya aktivitas
makan (Peigler, 1989).
Larva instar I memiliki ciri-ciri panjang tubuh rata-rata 0,5 cm, warna kepala
coklat kehitaman dan warna tubuh kuning kecoklatan (Zebua et al., 1997). Larva
yang baru menetas akan memakan sebagian sisa kulit telurnya sebelum memakan
daun muda. Larva akan memakan bagian tepi daun. Pemeliharaan pada instar awal
membutuhkan perhatian lebih terutama terhadap predator, pengaruh lingkungan fisik,
cuaca, dan pakan. Hal ini dikarenakan instar awal sangat rentan terhadap perubahan
lingkungan yang tidak sesuai. Larva yang akan melakukan molting menjadi kurang
aktif bergerak (Awan, 2007).
Instar II ditandai dengan terjadinya molting untuk pertama kali berupa
pengelupasan kulit luar dan pelindung kepala. Pada tahap instar ini larva memiliki
panjang tubuh 1-1,5 cm (Awan, 2007). Bagian kepala berwarna coklat agak terang
sedangkan pada bagian belakang abdomen terdapat bercak merah. Permukaan tubuh
dilindungi serbuk putih (Peigler, 1989). Selain itu bertambahnya aktivitas makan
pada larva yang telah mengalami molting dan akan beristirahat menjelang melakukan
pergantian kulit.
Instar III terjadi perubahan ukuran tubuh yang terlihat sangat jelas. Rata-rata
panjang tubuh mencapai 2-2,5 cm. Bagian kepala berwarna coklat agak terang dan
terdapat bercak merah pada bagian belakang tubuh. Serbuk putih dan bercak merah
mendominasi warna larva pada instar ketiga (Awan, 2007). Skoli yang mirip dengan
duri-duri mulai muncul dan berwarna hitam (Peigler,1989).
6
Larva instar IV mempunyai berukuran tubuh 2,5-3 cm. Kepala berwarna
putih kehijauan cerah, bercak merah yang terdapat pada tubuh mulai pudar berganti
bercak berwarna coklat tua yang merata di seluruh tubuh. Selain itu seluruh
permukaan tubuh ditutupi serbuk putih yang semakin menebal (Awan, 2007). Larva
yang telah mencapai instar ini lebih aktif dan mengkonsumsi pakan lebih banyak.
Larva dapat memakan daun-daun tua dan juga seluruh bagian daun hingga habis.
Pada akhir instar IV terjadi perubahan ukuran tubuh yang mencolok.
Instar V terlihat pertambahan yang sangat terlihat nyata karena pada instar ini
aktivitas makan semakin meningkat. Panjang tubuh larva dapat mencapai 6,5-8 cm.
bagian kepala ikut mengalami perubahan ukuran dan berwarna hijau muda. Skoli
atau tonjolan pada dorsal segmen toraks menjadi tumpul. Tubuh ditutupi dengan
serbuk putih. Pengaruh lingkungan pada instar ini relatif kecil karena larva telah
mampu beradaptasi. Pemberian pakan sering kali disertakan bagian ranting sehingga
larva dapat hinggap pada ranting-ranting (Awan, 2007).
Instar terakhir yaitu pada instar VI. Pada akhir instar VI, larva tidak lagi aktif
dan cenderung memposisikan diri pada cabang-cabang pohon dengan mengangkat
bagian tubuh depan. Ukuran tubuhnya mencapai 8-10 cm, berwarna hijau tua hingga
hijau kehitaman. Tubuh larva terlihat sangat besar, gemuk dan kokoh serta serbuk
putih mulai menghilang. Larva akan mengeluarkan cairan sutera yang digunakan
untuk membentuk serat-serat sutera kokon (Awan, 2007).
Pupa
Setelah tahapan larva, akan terbentuk pupa. Pupa merupakan perkembangan
antara larva dan imago. Pupa memiliki warna kecoklatan dan licin. Pada stadium ini
terjadi organogenesis yaitu pembentukan organ-organ imago yang terdiri atas sayap,
kaki, kepala dan struktur reproduksi. Tahapan pupa merupakan stadium yang lemah
sehingga pupa terlindung dalam kokon. Kokon sangat diperlukan untuk menjaga
pupa dari pengaruh lingkungan yang buruk yang akan mengganggu perkembangan
pupa. Kokon yang terbentuk sempurna seperti elips (silindris), ujungnya membulat
dan pada ujung anteriornya terdapat celah.
Kulit kokon merupakan materi lapisan serat sutera yang terdiri atas serisin
dan fibroin (Triplehorn dan Johnson, 2005). Kokon berfungsi untuk menjaga kondisi
dalam kokon tetap sesuai dan menjaga pengaruh lingkungan yang buruk sehingga
7
tidak menggganggu perkembangan pupa. Umumnya kokon berbentuk oval dengan
serat sutera yang menggantung pada tangkai pohon atau helai daun. Ukuran kokon
bervariasi antara 5-9 cm dan memiliki warna yang bervariasi pula. Warna kokon
antara krem sampai coklat tua atau lebih umum berwarna coklat muda. Tekstur
permukaan luarnya kasar dan terkadang keriput (Peigler, 1989).
(b)
(a)
Gambar 3. Kokon A.atlas (a), Pupa A.atlas (b)
Sumber : Indrawan (2007)
Cairan sutera dihasilkan sepasang kelenjar sutera (silk gland). Kelenjar
tersebut merupakan perbesaran dari kelenjar air liur yang bermuara pada labium.
Bagian belakang dari kelenjar sutera menghasilkan protein yang disebut fibroin,
sedangkan bagian tengah menghasilkan protein yang menyerupai lem yang disebut
serisin. Serisin merupakan perekat yang digunakan untuk menempelkan lembaranlembaran serat yang menjadi satu yang nantinya akan membentuk lapisan luar serat
sutera. Fibroin merupakan bagian serat yang mengandung asam amino utama
penyusun rantai pigmen sutera yaitu glisin, serin, tirosin dan alanin (Raharjo et al.,
1998).
Siklus Hidup
Attacus atlas adalah serangga holometabola yang mengalami metamorfosa
sempurna yaitu melewati stadium telur, larva, pupa dan imago. Stadia telur ngengat
A. atlas berlangsung selama satu minggu, sedangkan stadia larva mencapai waktu
satu bulan dan stadia pupa berlangsung selama 24 hari (Mulyani, 2008). Gambar 4,
memperlihatkan siklus hidup A. atlas menurut Awan (2007). Lama periode larva
yang dipelihara di laboratorium dengan pemberian pakan daun dadap (Erythrina
lithosperma Miq.) berkisar antara 26-50 hari dengan rataan 34,57± 8,81 hari pada
8
betina dan 22-54 hari dengan rataan 34,08± 9,15 hari pada jantan (Zebua et al.,
1997). Hasil penelitian yang dilakukan Mulyani (2008), periode larva terpanjang
pada larva yang diberi pakan daun sirsak yaitu 36 hari dan yang paling singkat larva
yang diberi pakan daun kaliki yaitu 31 hari, sedangkan masa pupa berlangsung
sekitar 8-58 hari.
Telur (10-12 Hari)
Instar V (6-8 Hari)
Instar VI (10-12 Hari)
Instar I (5-8 Hari)
Instar IV(4-6 Hari)
Pupa (20-29 Hari)
Instar II (5-7 Hari)
Instar III (4-6 Hari)
Imago (2-7 Hari)
Gambar 4. Daur Hidup A.atlas
Sumber : www.agrix.com dan www.wormspit.com/atlas.htm
Diapause dapat terjadi baik pada stadium telur, larva maupun pupa. Diapause
merupakan tertundanya perkembangan atau sering disebut periode diam yang muncul
sebagai respon terhadap kondisi lingkungan yang tidak sesuai (Triplehorn dan
Johnson, 2005). Diapause pupa ditandai dengan menurunnya metabolisme,
penghentian diferensiasi menuju ke kedewasaan dan resistensi terhadap kehilangan
air melalui transpirasi. Proses diapause atau pengaturan voltinisme tidak terganggu
dengan pemeliharan di dalam ruangan (Peigler, 1989).
9
Pengaruh Faktor Lingkungan terhadap Pertumbuhan Larva
Faktor Abiotik
Lingkungan abiotik di sekitar tempat hidup A. atlas merupakan hal sangat
penting yang harus diperhatikan. Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh adalah
suhu, kelembaban, intensitas cahaya, sirkulasi udara dan kebersihan lingkungan.
Ngengat A. atlas dapat hidup pada suhu 25 oC dengan kelembaban relatif 75%-80%
(Common,1990).
Faktor
lingkungan
tersebut
sangat
berpengaruh
terhadap
pertumbuhan ulat sutera, karena ulat sutera bersifat poikiloterm.
Attacus atlas memiliki kisaran suhu tertentu untuk dapat hidup. Suhu
lingkungan yang optimal untuk perkembangan ulat sutera A. atlas dalam ruangan
untuk masa inkubasi telur 22-24 oC, stadium larva 22-29 oC, pembentukan kokon,
masa pupasi dan perkawinan imago 26-20 oC (Awan, 2007). Faktor kelembaban
pada larva instar I – III berbeda dengan larva instar IV – VI. Faktor kelembaban
sangat berpengaruh terhadap aktivitas makan dari larva. Kelembaban lingkungan
untuk perkembangan ulat kecil B. mori 80%-90%, ulat besar 65%-75% sedangkan
kokon 60%-75% (Atmosoedarjo et al., 2000). Faktor kelembaban sangat
berpengaruh terhadap kehidupan A. atlas terutama stadia larva. Mulyani (2008)
menyatakan bahwa suhu dan kelembaban yang tidak sesuai dapat mengakibatkan
stres pada larva sehingga tidak mau makan, energi banyak dikeluarkan dan kecepatan
respirasi akan bertambah. Pakan yang dicerna semakin sedikit sedangkan
metabolisme meningkat pada akhirnya proses pertumbuhan dan perkembangan larva
menjadi terganggu. Intensitas cahaya yang ideal untuk Bombyx berkisar 15-30 lux.
Intensitas cahaya kurang berpengaruh penting dalam pemeliharaan A. atlas di daerah
tropis (Awan, 2007).
Faktor Biotik
Setiap fase dalam kehidupan A. atlas tidak luput dari serangan parasit
maupun predator. Telur A. atlas sebagian besar diserang parasit dari famili
Chalcidoidea (Hymenoptera) yaitu Anastasus colemani, Agiommatus attaci,
Tetrastichus dan Xanthopimpla sp. Parasit pada larva A. atlas diantaranya adalah
Famili Tachinidae (Diptera) Exorista sorbillans Wiedeman, Falimi Braconidae
10
(Hymenoptera)
misalnya
Apanteles.
Exorista
sorbillans
(Tachinidae)
dan
Sarcophagidae (Diptera) dapat mematikan pupa (Piegler, 1989).
Predator yang sering menyerang larva A. atlas adalah belalang sembah,
capung, lalat, burung, tikus, laba-laba, tawon, semut, cicak dan kadal. Aktivitas
predator merupakan faktor biotik yang berpengaruh terhadap populasi dan kehidupan
serangga. Pada alam liar persaingan antar larva dalam memperoleh makanan,
perlindungan dan tempat pada saat pupasi dapat menjadikan kegagalan dalam
pembentukan pupa dan menyebabkan kematian (Piegler, 1989).
Pakan ulat sutera A. atlas tercatat paling banyak jenisnya. Peigler (1989)
menyebutkan bahwa terdapat lebih dari 90 jenis tumbuhan yang dapat dimakan
daunnya oleh larva ulat sutera ini. Pakan sangat mempengaruhi keberhasilan dalam
pemeliharaan ulat sutera ini. Pakan dapat mempengaruhi kondisi fisiologis, lama
siklus perkembangan, kualitas kokon serta produktivitas telur (Awan,2007).
Tingkah Laku Makan Serangga
Perilaku makan serangga diatur dan dipengaruhi oleh konsentrasi nutrien
tertentu dalam darahnya terutama konsentrasi asam-asam amino dan gula. Perilaku
makan meliputi rangkaian perilaku menentukan pakan, menerima atau menolak dan
menelan pakan. Menentukan pakan dipengaruhi defisiensi nutrien di dalam hemolim.
Defisiensi nutrien akan menggerakkan hewan untuk mencari pakan dan menentukan
pakannya. Setelah hewan mendekati pakan, hewan tersebut akan menggunakan
reseptor-reseptor organ sensorinya dan reseptor kimiawi untuk mengenali pakan.
Rangsangan akan diterima oleh susunan saraf pusat dan selanjutnya ditanggapi
dengan keputusan makan atau tidak makan. Makanan selanjutnya akan mengalami
proses pencernaan, dalam saluran pencernaan dan pakan diabsorpsi. Absorpsi
makanan akan menyebabkan perubahan osmolitas dari nutrien, terjadi perubahan ini
akan ditanggapi dengan berhentinya aktivitas makan. Penggunaan nutrien dalam
proses metabolisme yang terjadi di jaringan akan mempengaruhi osmolitas nutrien
dan seterusnya mempengaruhi perilaku makan. Perilaku makan pada serangga
merupakan proses fisiologis yang kompleks yang melibatkan pengaturan hormon dan
saraf yang dipengaruhi osmolitas nutrien di hemolim (Chapman, 1998).
11
Sirsak (Annona muricata L)
Tanaman sirsak atau disebut juga nangka belanda merupakan tanaman yang
banyak terdapat di Indonesia. Tanaman sirsak berasal dari daerah tropik yaitu daerah
di sekitar Ekuador dan Peru. Sirsak yang terdapat di Indonesia dikenal dua jenis yaitu
sirsak manis dan sirsak asam. Tanaman yang termasuk famili Annonaceae, misalnya
sirsak memiliki ciri-ciri bau daun yang tidak sedap (Radi, 1997). Taksonomi tanaman
sirsak adalah :
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Ranales
Famili
: Annonaceae
Genus
: Annona
Spesies
: Annona muricata L.
Gambar 5. Daun Sirsak
Sumber : http://indonetwork.co.id
Tanaman ini tumbuh tegak dengan ketinggian pohon mencapai 8-10 m. Daun
sirsak termasuk daun tunggal. Daun sirsak berbentuk bulat panjang dengan ujung
runcing dan tepi rata. Warna daun bagian atas berwarna hijau tua, sedangkan bagian
bawah berwarna hijau kekuningan. Daun sirsak tebal dan agak kaku dengan urat
daun tegak pada urat daun utama. Panjang daun antara 6–18 cm dan lebar daun
antara 2–6 cm. Tanaman ini mempunyai kandungan bahan aktif berupa alkaloid,
minyak atsiri, senyawa aromatik, karbohidrat, lemak, asam amino dan polifenol.
Dasar bunga berbentuk cekung dan memilki benang sari berjumlah banyak. Buahnya
merupakan buah majemuk tidak beraturan yang memiliki daging buah berwarna
putih dan berbiji hitam (Steenis, 2006).
12
Nangka (Artocarpus heterophyllus)
Nangka merupakan tanaman buah berupa pohon yang berasal dari India dan
menyebar ke daerah tropis termasuk Indonesia. Di Indonesia sendiri tanaman ini
memiliki nama yang berbeda ditiap daerah antara lain nongko/nangka (Jawa,
Gorontalo), anane (Ambon), lumasa/malasa (Lampung), nanal (Irian Jaya).
Taksonomi tanaman nangka adalah :
Divisi
: Magnoliophyta
Kelas
: Magnoliopsida
Ordo
: Urticales
Famili
: Moraceae
Genus
: Artocarpus
Spesies
: Artocarpus heterophyllus
Gambar 6. Daun Nangka
Sumber : http://jiwang.org
Tanaman nangka cocok tumbuh di daerah dengan curah hujan tahunan ratarata 1.500-2.500 mm dan daerah kering. Nangka termasuk tanaman hutan bercabang
banyak, pohonnya dapat mencapai tinggi 25 m. Seluruh bagian tanaman ini
mengandung banyak getah. Daun nangka berbentuk tunggal, lonjong, lebar dengan
permukaan daun kasar, mengkilap dan kaku. Daun nangka berwarna hijau tua dan
daun muda berwarna hijau kekuningan biasanya berlekuk. Ciri-ciri lainnya yaitu
memiliki tulang daun menyirip dengan tepi rata, ujung runcing, panjang 5-15 cm dan
lebar 5 cm. Masyarakat memanfaatkan daun nangka sebagai pakan ternak atau
sebagai obat tradisional untuk mengobati penyakit kulit (Steenis, 2006).
Nangka merupakan buah majemuk (sinkarpik) yang memiliki bunga banyak
tersusun tegak lurus pada tangkai buah. Buahnya berbentuk lonjong dan sangat besar
13
yang seluruh permukaannya ditutupi duri lunak. Buah dapat mencapai ukuran
panjang 30-40 cm. Kulit buah berwarna hijau sampai kuning kemerahan (Sunarjono,
1998). Daging buah nangka berwarna kuning apabila masak, berbau harum yang
keras dan berisi cairan (nectar) yang manis. Biji berbentuk bulat lonjong dengan
panjang 2-4 cm dan berdiameter 1-1,5 cm tertutup oleh kulit biji yang tipis berwarna
coklat. Biji yang terdapat dalam tiap buah dapat mencapai 500 biji. Tanaman nangka
merupakan tanaman yang potensial untuk dikembangkan. Ekstrak metanol dari akar,
kulit kayu, daun, buah dan biji nangka dapat digunakan sebagai antibakteri (Prakash
et al., 2010). Banyak manfaat yang dapat diambil dari tanaman ini, karena hampir
semua bagian tanaman ini dapat dimanfaatkan.
Kenari (Canarium commune L.)
Pohon kenari (Canarium commune L.) adalah tanaman asli Indonesia yang
berasal dari Maluku, kemudian menyebar luas ke beberapa Negara Asia tropis lain.
Tanaman ini sering digunakan sebagai tanaman peneduh yang ditanam di sepanjang
kanan kiri jalan serta sering digunakan sebagai tanaman dalam penghijauan (Endah,
2003). Taksonomi tanaman kenari adalah :
Divisi
: Spermatophyta
Kelas
: Dicotyledoneae
Ordo
: Geraniales
Famili
: Burseraceae
Genus
: Canarium
Spesies
: Canarium commune (Linnaeus).
Gambar 7. Daun Kenari
Sumber : Thomson dan Evans (2006)
14
Pohon kenari tergolong famili Burseraceae. Tinggi pohon kenari dapat
mencapai 30 m dengan kulit batang berwarna keabu-abuan. Pohon ini terlihat rimbun
dengan daun yang mudah sekali rontok. Daun kenari merupakan daun majemuk,
menyirip ganjil, menyusun suatu mahkota dengan anak daun terdiri dari 5-11 buah,
berwarna hijau (Endah, 2003). Selain itu daun kenari dicirikan berbentuk oval
dengan ujung meruncing, tepi daun rata. Berdasarkan letak stomata, daun kenari
termasuk tipe hipostomatik karena stomata hanya dijumpai pada sisi bawah
(abaksial). Kelopak pada bunga jantan berbentuk lonceng, sedangkan bunga betina
berbentuk periuk. Bunga jantan memiliki benang sari berjumlah enam buah dan
bunga betina enam buah staminodia (Steenis, 2006).
15
Download