Barbonymus gonionotus

advertisement
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)
2.1.1 Klasifikasi Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)
Menurut Kottelat (1999) ikan tawes dapat diklasifikasikan yaitu:
Kerajaan
: Animalia
Filum
: Chordata
Kelas
: Actinopterygii
Ordo
: Cypriniformes
Famili
: Cyprinidae
Genus
: Barbonymus
Spesies
: Barbonymus gonionotus
2.1.2 Deskripsi Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)
Ikan tawes memiliki ciri-ciri bentuk badan agak panjang dan pipih dengan
punggung meninggi, kepala kecil, moncong meruncing, mulut kecil terletak pada
ujung hidung, sungut sangat kecil. Sisik dengan struktur beberapa jari-jari sejajar
atau melengkung ke ujung. Ada tonjolan sangat kecil, memanjang dari tilang mata
sampai ke moncong dan dari dahi ke antara mata. Sirip dubur mempunyai 6½ jarijari bercabang, 3-3½ sisik antara gurat sisi dan awal sirip perut. Badan berwarna
keperakan agak gelap di bagian punggung. Pada moncong terdapat tonjolantonjolan yang sangat kecil. Sirip punggung dan sirip ekor berwarna abu-abu atau
6
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
7
kekuningan, dan sirip ekor bercagak dalam dengan lobus membulat, sirip dada
berwarna kuning, dan sirip dubur berwarna oranye terang (Kottelat et al., 1993).
2.1.3 Habitat Ikan Tawes (Barbonymus gonionotus)
Ikan tawes menghuni di daerah sungai arus yang memiliki arus deras. Ikan
ini akan tertarik dengan suara gemericik, sehingga akan mendekati dan berkumpul
di sekitarnya, kemudian keluar dari permukaan air. Apabila suara gemericik air ini
berada di dekat pintu pemasukan air maka ikan tawes dapat meloncat mencapai
saluran pemasukan air dan hanyut pada saluran pengairan (Santoso dan Wikatma,
2001). Ikan tawes dapat dipelihara dengan baik di tambak air payau sampai
gunung setinggi 800 meter diatas permukaan laut, dengan suhu air optimum
antara 25-33 0C (Soeseno, 1971).
2.2 Imunostimulan
Suatu materi biologis dan zat sintetis yang dapat meningkatkan pertahanan
non spesifik serta merangsang organ pembentuk antibodi dalam tubuh untuk
bekerja secara maksimal disebut dengan imunostimulan (Fenichel dan Chirigos,
1984 dalam Raa et al., 1992). Menurut Ayuningtyas (2012), imunostimulan
merupakan sekelompok senyawa alami dan sintetis yang dapat meningkatkan
respons imun non spesifik. Selain itu imunostimulan juga diartikan sebagai suatu
substansi yang mempunyai kemampuan untuk meningkatkan perlawanan terhadap
infeksi penyakit terutama oleh sistem fagositik (Ellis, 1988).
Imunostimulan memiliki pola yang sama dengan penggunaan antibiotik
atau bahan kimia, akan tetapi penggunaannya masih membutuhkan penelitian
lebih lanjut untuk mengetahuinya. Pemberian dosis yang rendah pada
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
8
imunostimulan tidaklah efektif. Sebaliknya pada pemberian dosis tinggi dapat
menyebabkan penekanan mekanisme pertahanan. Menurut Anderson (1992),
penyuntikan levamisol dengan dosis tinggi menyebabkan penekanan respons imun
spesifik dan penurunan jumlah leukosit.
Imunostimulan berbeda dengan vaksin, karena imunostimulan tidak
direspons ikan dengan mensintesis antibodi, tetapi dengan peningkatan aktivitas
dan reaktivitas sel pertahanan seluler ataupun humoral (Alifuddin, 2002).
Imunostimulan mampu merangsang sel fagosit serta meningkatkan aktivitas
bakterial dari sel. Beberapa imunostimulan juga dapat menstimulasi cell killer
alami, komplemen, lisosim, dan respons antibodi ikan. Efek biologis penggunaan
imunostimulan tergantung pada reseptor target sel sehingga penting untuk
memahami spesifitas reseptor dan proses inflamatori pada reseptor yang berbeda
(Ayuningtyas, 2012).
Proses pemberian imunostimulan dapat diberikan melalui injeksi,
perendaman, dan bersama pakan (oral). Penggunaan imunostimulan sebagai
suplemen pakan dapat meningkatkan sistem pertahanan ikan terhadap
mikroorganisme pathogen selama masa periode stress seperti saat grading,
reproduksi, pengangkutan, dan vaksinansi (Brickdell dan Dalmo, 2005).
Imunostimulan yang biasa dipakai adalah LPS (lipopolisakarida), β-glucan yang
diperoleh dari S. cerevisiae, dan levamisol. Beberapa vitamin seperti vitamin A,
B, dan vitamin C juga dapat digunakan sebagai imunostimulan (Sohne et al., 2000
dalam Alifuddin, 2002). Salah satu bahan yang dapat dipercaya sebagai
imunostimulan adalah S. cerevisiae. Selain β-glucan, S. cerevisiae diketahui
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
9
mengandung komponen kompleks karbohidrat dan asam nukleat yang berperan
dalam imunostimulan dan pertumbuhan suatu organisme. Bila S. cerevisiae
tersebut dicampurkan dengan pakan maka dapat meningkatkan respons kekebalan
tubuh terhadap infeksi alami.
2.2.1 Respons Imun Spesifik
Respons imun spesifik berperan dalam pertahankan diri terhadap penyakit
tertentu. Untuk dapat menjalankan perannya, respons imun spesifik ini
memerlukan rangsangan terlebih dahulu. Sel yang berperan dalam proses respons
imun spesifik ini adalah limfosit. Limfosit ini dapat mengenal setiap jenis antigen,
baik antigen yang terdapat intraseluler maupun ekstraseluler misalnya dalam
cairan tubuh atau dalam darah. Adapun macam sistem pertahanan imun spesifik
yaitu sistem pertahanan seluler atau cell mediated immunity (CMI) dan sistem
pertahanan humoral (produksi antibodi) (Ellis, 1988; Noble dan Noble, 1989).
Respons imun selular dikendalikan oleh sel limfosit T yang berlangsung
dalam kelenjar timus. Sel-sel T yang mengalami kontak dengan antigen spesifik
akan berdiferensiasi menjadi sel-sel yang mampu mengadakan interaksi langsung
dengan sel atau jaringan asing dan kemudian merusaknya. Sel T yang merusak sel
atau jaringan asing inilah disebut sebagai sel pembunuh. Menurut Noble dan
Noble (1989), fungsi sel T sebagai sel pembunuh akan ditingkatkan melalui
kontak langsung antara sel-sel T efektor dengan membran permukaan sel sasaran,
atau melalui pelepasan mediator yang bersifat larut nonspesifik dan nonantibodi
yang disebut lymphokines.
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
10
Respons imun humoral dikendalikan oleh sel limfosit B. Menurut Noble
dan Noble (1989), Sel B yang diaktivasi oleh pengenalan suatu benda atau
substansi asing akan menjadi sel-sel plasma yang memproduksi antibodi. Antibodi
ini dihasilkan di hati, ginjal, limpha, dan kelenjar timus (Lagler et al., 1977).
Proses masuknya antigen ke dalam tubuh umumnya dapat langsung melalui kulit,
organ pernafasan, saluran pencernaan atau disuntikkan, dan masing-masing cara
tersebut dapat menimbulkan respons imun yang berbeda intensitasnya (Subowo,
1993 dalam Mulia, 2012)
2.2.2 Respons Imun Non Spesifik
Menurut Schaperclaus (1992) sistem pertahanan non spesifik berfungsi
untuk melawan segala jenis patogen, sifatnya permanen, diturunkan kepada
anakannya, dan tidak perlu adanya rangsangan. Respons imun non spesifik ini
berupa pertahanan secara fisik dan kimiawi. Secara fisik, daerah permukaan tubuh
dapat menghambat masuknya patogen ke dalam tubuh ikan (Atlas, 1997) meliputi
mukus, kulit, insang, dan saluran gastrointestinal (Ellis, 1989). Secara kimiawi
meliputi komponen-komponen dalam serum darah seperti komplemen, C-reaktif
protein (CRP), interferon, lisozim, transferin, antiprotease (Ellis, 1988; Ellis,
1989), dan asam (Schaperclaus, 1992; Atlas, 1997) yang berfungsi menghambat
pertumbuhan mikrobia. Fagositosis adalah upaya yang dilakukan tubuh dalam
mempertahankan diri terhadap masuknya antigen (antigen bakteri) yaitu
menghancurkan
bakteri
yang
bersangkutan
secara
fagositosis,
tanpa
memperdulikan adanya perbedaan-perbedaan kecil yang ada diantara substansisubstansi asing itu (Kresno, 2001).
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
11
Respons imun non spesifik yang dimiliki setiap ikan berbeda-beda. Bila
respons imun spesifik ditujukan untuk melawan mikroba tertentu, maka respons
imun non spesifik tidak ditujukan terhadap mikroba tertentu, namun telah ada dan
siap berfungsi sejak lahir. Menurut Baratawidjaja (2004), respons imun non
spesifik terdiri dari tiga aspek yaitu pertahanan fisik/mekanik, pertahanan
humoral, dan pertahanan selular. Sistem tersebut merupakan pertahanan terdepan
dalam menghadapi serangan dari berbagai mikroba dan dapat memberikan
respons secara langsung.
2.3. Imunostimulan Saccharomyces cerevisiae
Sistem pertahanan tubuh atau imunitas terdiri dari substansi, sel-sel dan
organ-organ yang diperlukan untuk membentuk sistem pertahanan. Secara umum
hewan memiliki kombinasi pertahanan tubuh antara kekebalan alamiah dan proses
adaptasi pertahanan tubuh melalui antigen untuk menanggulangi serangan infeksi.
Sistem kekebalan tersebut dikenal dengan istilah imun. Mekanisme kekebalan ini
dapat terjadi secara buatan ataupun alamiah. Di dalam proses pengebalan tubuh
ini dapat pula dibantu dengan imunostimulan (Tizard, 1987). Imunostimulan
adalah sekelompok senyawa alami dan sintetis yang dapat meningkatkan respons
imun non spesifik (Ayuningtyas, 2012). Selain itu imunostimulan juga diartikan
senyawa kimia, obat atau bahan lainnya yang mampu meningkatkan mekanisme
respons imunitas ikan baik seluler maupun humoral (Alifuddin, 2002).
Ada beberapa bahan yang dapat digunakan sebagai imunostimulan. Salah
satunya adalah berasal dari jenis khamir. S. cerevisiae merupakan khamir sejati
tergolong eukariot yang secara morfologi hanya membentuk blastospora
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
12
berbentuk bulat lonjong, silindris, oval atau bulat telur yang dipengaruhi oleh
strainnya. Dapat berkembang biak dengan membelah diri melalui "budding cell".
Reproduksinya dapat dipengaruhi oleh keadaan lingkungan serta jumlah nutrisi
yang tersedia bagi pertumbuhan sel . Penampilan makroskopik mempunyai koloni
berbentuk bulat, warna kuning muda, permukaan berkilau, licin, tekstur lunak dan
memiliki sel bulat dengan askospora 1-8 buah (Nikon, 2004).
Gambar 1. Saccharomyces cerevisiae perbesaran 10 x 40
Sumber : Jean-Michel (2005)
Khamir ini dapat berkembang biak dalam gula sederhana seperti glukosa,
maupun gula kompleks disakarida yaitu sukrosa (Marx, 1991). Selain itu untuk
menunjang kebutuhan hidup diperlukan oksigen, karbohidrat, dan nitrogen.
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
13
Berikut taksonomi Saccharomyces sp. menurut Sanger (2004) :
Kingdom
: Eukaryota
Phylum
: Fungi
Sub phylum
: Ascomycota
Class
: Saccharomycetes
Order
: Saccharomycetales
Family
: Saccharomycetaceae
Genus
: Saccharomyces
Species
: Saccharomyces cerevisiae
Pada dinding S. cerevisiae mengandung komponen Beta-D glukan yang
merupakan salah satu komponen esensial sebagai imunostimulan. Komponen
tersebut mempunyai campuran yang unik yang efektivitas dan intensitasnya dalam
sistem pertahanan tubuh melalui aktivasi sel darah putih yang spesifik seperti
makrofag dan sel Natural Killer (NK). Beta D glukan akan berikatan dengan
permukaan sel makrofag dan sel NK, dan berfungsi sebagai pemicu proses
aktivasi makrofag. Proses ini akan meningkatkan sirkulasi makrofag dalam tubuh
untuk mencari benda-benda asing yang masuk ke dalam tubuh, selain menambah
jumlah sel-sel makrofag (Life Source Basic, 2002). Beta-D glukan dapat
meningkatkan fungsi imun seperti fagositosis (kemampuan untuk menangkap
benda asing, partikel yang dilepaskan sitokin ; hormone interseluter yaitu : IL-1,
IL-6, GM-CSF, interferon) dan pembuatan antigen. Beta-D glukan dapat sebagai
imunomodulator untuk meningkatkan kemampuan set T, set B, dan makrofag di
dalam rangka melawan infeksi penyakit . Selain itu membantu perbaikan jaringan
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
14
yang rusak pada tubuh melalui proses regenerasi dan penyembuhan (Beta Glucan,
2004).
2.4 Kualitas Air
Kualitas air merupakan faktor penting dalam budidaya ikan, karena
diperlukan sebagai media hidup ikan. Air yaitu media yang paling vital bagi
kehidupan ikan, terutama ikan tawes. Di dalam budidaya ikan, kualitas dan
kuantitas air yang memenuhi syarat merupakan salah satu kunci keberhasilan
dalam budidaya ikan. Oleh karena itu, sejak pemilihan lokasi, kuantitas dan
kualitas air merupakan salah satu yang di jadikan ukuran untuk menilai layak atau
tidaknya suatu perairan atau sumber air di gunakan untuk budidaya ikan dengan
wadah tertentu (Ghufran, 2004).
2.4.1 Suhu
Ikan tawes umumnya hidup di lingkungan dengan air yang mengalir,
namun kadang juga bisa hidup di air yang tenang. Suhu adalah faktor yang
mempengaruhi laju metabolisme dan kelarutan gas dalam air. Suhu ideal untuk
habitat ikan tawes berkisar antara 20-33 0C (Santoso dan Wikatma, 2001). Apabila
suhu terlalu rendah maka metabolisme ikan semakin rendah sehingga berdampak
pada rendahnya pertumbuhan ikan (Suyanto, 1995 dalam Puspita, 2010).
Tingginya temperatur air dapat menyebabkan peningkatan aktivitas metabolisme
organisme yang ada. Tingginya aktifitas metabolisme menyebabkan kandungan
gas terlarut akan berkurang.
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
15
2.4.2 pH
Irianto (2005) melaporkan bahwa ikan dapat hidup pada pH yang berkisar
antara 5,0 – 9,5. Namun demikian, pada umumnya pH yang diperlukan untuk
budidaya perikanan berkisar antara 6,7 – 8,3. Kisaran pH air yang ideal untuk
budidaya ikan tawes berkisar antara 6,7 sampai 8,6 (Evi, 2001). Bila pH kurang
terlalu rendah (asam) akan berdampak buruk bagi kehidupan ikan tawes karena
kandungan oksigen terlarut dalam air akan berkurang. Hal ini menyebabkan
konsumsi oksigen menurun sehingga aktivitas pernapasan ikan naik dan
pertumbuhan ikan menurun. Pada pH yang terlalu tinggi juga dapat menyebabkan
pertumbuhan ikan kurang optimal. Tinggi rendahnya pH dalam suatu perairan
dipengaruhi oleh banyaknya kotoran di dalam lingkungan perairan yang berasal
dari sisa pakan dan hasil metabolisme (Sumpeno, 2005).
2.4.3 Oksigen Terlarut
Oksigen sangat diperlukan ikan tawes untuk keperluan pernapasan dan
metabolisme. Perbedaan struktur molekul darah antar jenis ikan mempengaruhi
hubungan antara tekanan parsial oksigen dalam air dan derajat kejenuhan oksigen
dalam darah. Oksigen diperlukan ikan untuk katabolisme yang menghasilkan
energi bagi aktivitas seperti berenang, reproduksi, dan pertumbuhan. Kebutuhan
oksigen bagi ikan berbeda – beda tergantung spesies (Irianto, 2005). Menurut
Ghufran (2010) kisaran DO normal untuk perairan adalah 5 – 7 mg/I atau ppm.
Jika kandungan oksigen rendah dapat menyebabkan ikan kehilangan nafsu makan
sehingga mudah terserang penyakit dan dapat mengakibatkan pertumbuhan
terhambat (Kordi, 2002).
Pengaruh Pemberian Β-Glucan.., Arief Prihandoko, FKIP, UMP, 2016
Download