bab i pendahuluan

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Postingan Kompasianer di Kompasiana pada 15 September 2012 dengan nama
akun Mcdamas menarik untuk dicermati1, pasalnya Mcdamas menulis isu kampanye
putaran kedua Pilkada DKI Jakarta 2012.
“Isu” ini dihembuskan dan coba dipopulerkan oleh Foke. Saat dia berkampanye
dihadapan warga Jati Pulo, Palmerah, Jakarta Barat, hari ini, Foke mengatakan
bahwa Kartu Sehat dan Kartu Pintar yang selalu dibawa Jokowi saat kampanye adalah
“Pepesan Kosong”.
“Ada yang kemana-mana bawa kartu, ternyata kartunya pepesan kosong,” kata
Foke.“Doyan pepesan kosong apa kagak?” tanya Foke ke warga yang langsung
menjawab, “Tidak!“
Rupanya “emosi” Foke belum mereda sejak Debat Kandidat di JakTV tadi malam. Saat itu
Jokowi “meledek” Foke: “Kalau sejak lima tahun kemarin pak Foke sudah menerapkan
Kartu Sehat dan Kartu Pintar, di putaran 1 kemarin pak Foke bisa menang 90%” kata
Jokowi.
Karena tidak punya kesempatan untuk merespon ledekan tersebut saat acara debat, Foke
melampiaskan “dendam”nya di hadapan warga. “Jadi kalau ada yang bawa pepesan
kosong, bilangin jangan bawa kesini,” tegas Foke.
Realitasnya, selama 5 tahun Foke memimpin Jakarta, selama itu pula warga disuguhi
pepesan kosong sesungguhnya oleh Foke. Kartu Jamkesda, program pengobatan gratis a la
Foke, dan sekolah gratis 12 tahun justru baru gencar dibagikan kepada warga saat Foke
maju di putaran 2 pilkada DKI tahun ini. Itupun karena dia merasa “terdesak” oleh
kepopuleran Jokowi dengan 2 Kartu Saktinya tersebut.”
Apa yang diungkapkan Mcdamas menunjukkan bahwa warga Jakarta menerima
secara kritis segala bentuk kampanye yang dilakukan oleh kandidat. Tidak berhenti sampai
di situ, dengan penuh kesadaran Mcdamas mencoba mengungkapkannya kepada warga
lain lewat tulisan di Kompasiana. Kebetulan Mcdamas merupakan Kompasianer, yakni
anggota komunitas Kompasiana2. Mcdamas mengkritisi gubernur petahana, Foke. Sebagai
warga Jakarta, Mcdamas mengetahui bahwa program Foke di bidang kesehatan belum
berjalan maksimal. Sehingga ketika Foke mencerca materi kampanye Jokowi soal Kartu
1
Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/isu-menarik-di-kampanye-hari-kedua-493176.html
Kompasiana adalah blog para jurnalis dan publik yang beralamat di http://kompasiana.com, diluncurkan
pada 22 Oktober 2008. Saat acara berlangsung tercatat lebih dari 1.800 posting atau tulisan, baik dari para
jurnalis Kompas atau jurnalis di lingkungan Kelompok Gramedia, blogger tamu, maupun blogger publik
dengan lebih dari 12.000 komentar (Nugraha, 2013: 70). Keterangan lebih lengkap soal Kompasiana akan
dipaparkan dalam keterangan objek penelitian.
2
Sehat, Mcdamas angkat bicara. Pilihan Mcdamas untuk bicara dan melemparkan informasi
politik semacam ini tentu tidak lepas dari latar belakang sosialnya sebagai guru, tepatnya
guru bahasa Inggris di suatu lembaga kursus ternama di Jakarta. Praktis posisi ini juga
menempatkannya di level kelas menengah3. Kelas ini cenderung memberi tingkat perhatian
yang tinggi terhadap masalah kesehatan, termasuk jaminan kesehatan untuk warganya4.
Lain lagi dengan tulisan Kompasianer bernama Febrian Arham yang diposting pada
tanggal 15 September 20125. Lewat tulisannya Arham mengkritik Ahok yang tidak
memiliki kejelasan sistem transparansi anggaran:
“Di berbagai pernyataan baik media cetak maupun elektronik Basuki Tjahaja
Purnama alias Ahok selalu mengkampanyekan mengenai transparansi anggaran sebagai
janji yang akan ditepatinya jika ia terpilih menjadi Wakil Gubernur DKI Jakarta nanti.
Pernyataannya diperkuat dengan pernyataan lainnya mengenai pengalamannya sebagai
Bupati Belitung Timur yang telah pernah melaksanakan model janji tersebut, Dan
kemudian menjadi pejabat Negara yakni sebagai anggota DPR … Ahok lupa menceritakan
mengenai Transparansi Anggaran dan disiplin administrasi yang mengikutinya yang
diterapkan di Kabupaten Belitung Timur, yang sesungguhnya lebih relevan dengan
Pengelolaan Keuangan Daerah Provinsi DKI.
Inilah yang memperjelas bahwa, ide Ahok mengenai Transparansi Anggaran adalah tidak
jelas.
Pengelolaan Keuangan atau pengelolaan anggaran sector public dibedakan menjadi
Pengelolaan Keuangan Negara dan Pengelolaan Keuangan Daerah, yang keduanya secara
sederhana meliputi Perencanaan, pelaksanaan dan pertanggunjawaban dalam satu tahun
anggaran.
Dari „Pengalamannya” yang hanya berlangsung dalam satu tahun dari 2005-2006 dapat
dipastikan bahwa Ahok pernah, belum mengalami, salah satu proses dari pengelolaan
anggaran yang disebutkan di atas.
Ahok belum cukup menguasai mengenai Pengelolaan Keuangan Daerah.”
Lebih lanjut Arham justru memuji Foke. Nampaknya Arham merupakan pendukung Foke.
Secara terbuka Arham mengungkapkan bahwa Fokelah yang justru memiliki kejelasan
konsep mengenai transparansi anggaran. Tidak hanya itu, selama menjabat sebagai
petahana, menurut Arham Foke sudah melaksanakan transparansi anggaran dengan sangat
baik.
3
Asia Development Bank (ADB, 2010) mendefinisikan kelas menengah sebagai warga yang memiliki
pengeluaran $2-20 sehari, atau sekitar 20-200 ribu sehari, dan tersebar di kota-kota besar Indonesia
teristimewa Jakarta. Kelas menengah ditandai dengan profesi-profesi yang erat dengan dunia pendidikan,
memiliki tingkat pengetahuan yang baik dan berani mengemukakan pendapat (CMCS, 2013)
4
Ketika bicara soal kesehatan, kelas menengah memiliki orientasi preventif ketimbang kuratif. Dengan
demikian mereka (baca: kelas menengah) memiliki pengetahuan dan wawasan yang luas serta makin banyak
informasi yang membuatnya kritis dan tidak gampang percaya, termasuk kepada tenaga kesehatan. Mereka
cenderung menempuh jalan sehat yang makin personal namun sarat tuntutan fasilitas kepada pemerintah. Hal
ini sebagai konsekuensi kesadaran hak-hak politik yang sedemikian tinggi dimiliki oleh kelas menengah.
5
Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/15/transparansi-anggaran%E2%80%93nya-ahok-vseducating-the-stakeholdersnya-foke-493166.html
2
“Lebih besar dari ketololan itu, rasanya ide Foke mengenai Educating the
Stakeholdersnya pada debat di atas adalah nyata lebih baik dan sejalan dengan ide utama
dari tulisan ini.
Dokumen Perencanaan maupun Dokumen Pelaksanaan Anggaran yang merupakan
Dokumen lebih rinci dari Peraturan Presiden tentang APBN dan Peraturan Kepala Daerah
tentang APBD adalah Dokumen yang dapat terdiri dari Ribuan Halaman yang dikompilasi
sejalan dengan APBD/APBN.
Kita dapat melihat bahwa misalnya APBN adalah sekian atau APBD adalah sekian.
Namun, masalahnya, masyarakat pada dasarnya emoh untuk mengetahui lebih lanjut
bentuk rincian anggaran yang termuat dalam dokumen pelaksanaan Anggaran diatas.
Ada juga rincian yang lebih rinci dari Dokumen Pelaksanaan Anggaran yaitu Term of
Reference (TOR) yang memuat Rincian Anggaran Belanja yang membentuk suatu Dokumen
Pelaksanaan Anggaran, namun pada hakikatnya lebih dekat dengan Dokumen
Perencanaan Anggaran.
Kata Kunci Educating the stakeholders seperti yang disebutkan Foke dalam Debat
semalam adalah lebih penting agar para stakeholders Pemerintah DKI Jakarta.”
Sama seperti Mcdamas, Arham bagian dari warga kelas menengah Jakarta yang juga
anggota Kompasiana. Arham merupakan alumni DIII STAN' 04, yang kini bekerja sebagai
analis pajak. Arham menyukai Foke dan cenderung meragukan Jokowi-Ahok.
Pendapat berbeda ditunjukkan oleh Usman Kusmana6. Usman tidak dalam posisi
mendukung salah satu kandidat, baik Foke-Nara maupun Jokowi-Ahok, namun melihat
dari sudut pandang yang lebih kritis mengenai proses kampanye putaran kedua yang
sedang berlangsung.
“Membaca berbagai informasi dan artikel di media seputar Pilkada DKI Jakarta
sungguh membuat merinding bulu kuduk. Terakhir saya membaca tulisannya Bung Daniel
Ht tentang Deklarasi Pilkada Damai Yang hanya jadi olok-olok bagi Ahok. Informasi dan
deskripsi seputar suasana acara tersebut sungguh membuat kita miris dan prihatin.
Judulnya deklarasi damai, tapi justru malah mencerminkan deklarasi perang dan
permusuhan.
Ketidakhadiran Cagub Jokowi dalam acara tersebut karena belum mendapatkan izin cuti
daru Gubernur Jateng menjadi bahan sindiran dari lawannya Fauzi Bowo dan juga Ketua
DPR RI Marzuki Ali. Saat Ahok berpidato massa meneriakan hal-hal yang sungguh
mengerikan. Menyangkutpautkan dengan peristiwa Mei „98, mengejek dan mengolok-olok
Ahok, dan berbagai teriakan massa lainnya yang tidak etis dalam judul acara yang
bernama deklarasi Pilkada damai.
Saya sampai berfikir, pada akhirnya proses pilkada DKI Jakarta akan penuh dengan teror
dan intimidasi. Ormas keagamaan tertentu menduduki daerah-daerah yang menjadi korban
kebakaran dengan membuat posko disana, beberapa ormas kesukuan yang notabene jelas
menjadi pendukung Cagub/Cawagub tertentu juga diduga keluar masuk kampung dengan
gaya jagoan dan intimidatif.
Saya menduga, pada akhirnya model penekanan politik dengan teror dan intimidasi akan
terus dijalankan sampai menjelang hari-H pencoblosan. Etnis tertentu yang pada putaran
pertama begitu antusias menggunakan hak pilihnya boleh jadi akan menjadi sasaran
pertama model ini. Agar mereka memilih Foke atau tidak menggunakan hak pilihnya, yang
penting tidak memilih Jokowi-Ahok.
6
Lihat http://politik.kompasiana.com/2012/09/14/memilih-dalam-bayang-bayang-teror-dan-intimidasi493004.html
3
Semua potensi dan kekuatan calon incumbent, baik dari unsur parpol, kekuatan rezim
pemerintahan, ormas keagamaan tertentu, ormas kedaerahan akan terus di push untuk
memperkecil ruang gerak konsolidasi Jokowi dan tim relawannya. Mereka akan
menggunakan berbagai cara agar Foke yang didukung oleh kekuatan mayoritas parpol
bisa memenangkan pertarungan. Karena kalahnya Calon petahana akan mempermalukan
eksistensi parpol-parpol yang menjadi pengusungnya.
Masyarakat Jakarta sepertinya akan memilih dalam bayang-bayang teror dan intimidasi.
Tentu kita berharap, masyarakat Jakarta tak lagi bisa ditekan dengan pola-pola seperti itu.
Jakarta sebagai pusat segala-galanya sangatlah tidak beradab jika mempertontonkan
politik demokrasi ala barbar yang tak berbudaya seperti itu.”
Usman justru melihat bahwa proses perebutan kekuasaan sudah sampai pada hal yang
mengkhawatirkan. Masing-masing pihak mulai menggunakan cara yang tidak beretika,
saling menjatuhkan, bahkan saling serang satu sama lain. Kesadaran politik Usman
menuntunnya menulis di Kompasiana, memberikan warna informasi yang berbeda, tidak
sekadar mendukung salah satu kandidat namun juga mengkritisi bagaimana dukungmendukung itu dilangsungkan di ruang publik Jakarta.
Mcdamas, Arham, dan Usman merupakan potret warga kelas menengah Jakarta
yang memiliki kesadaran politik untuk menuliskan apa yang mereka pikirkan tentang
Pilkada DKI Jakarta, khususnya seputar karakter kandidat dan program-program yang
ditawarkan. Mcdamas, Arham, dan Kusmana mengawali perbincangan panjang mengenai
kelas menengah dan bagaimana pertukaran informasi dilangsungkan di Kompasiana,
khususnya dalam peristiwa Pilkada DKI Jakarta. Kehadiran mereka menunjukkan bahwa
terjadi perubahan mendasar di masyarakat dimana aktor demokrasi tidak hanya negara
namun juga masyarakat sipil, termasuk kelas menengah.
Tahun 2011 IMF menetapkan bahwa GDP per kapita Indonesia sebesar $2,963 dan
tahun 2011 mencapai $3,270. Kondisi tersebut istimewa bagi Indonesia sebab Indonesia
memiliki modal ekonomi yang cukup untuk tumbuh dan besar seperti negara maju; Cina,
India, Brasil, atau Rusia. Indonesia memiliki kesempatan memperbesar konsumsi dalam
negeri yang mampu menarik pertumbuhan ekonomi. Satu hal yang menarik dari fakta
tersebut adalah tumbuhnya kelas menengah di Indonesia. Tercatat oleh Susenas Tahun
2011, kelas menengah Indonesia telah mencapai 134 juta atau hampir 60% dari jumlah
penduduk Indonesia dan bertambah 8-9 juta setiap tahun. Mcdamas, Arham, dan Kusmana
masuk dalam kategori ini.
Kelas
menengah
memiliki
keunikan
dalam
menyalurkan
aspirasi
dan
kepentingannya. Dengan daya kritis dan pengetahuannya, mereka mengakrabi saluran-
4
saluran baru dalam menyampaikan kepentingannya, yakni new media, khususnya social
media. Media berbasis teknologi ini mampu membuat urusan politik “turun gunung” jadi
urusan personal. Mengkritik, menyampaikan ide, mencerca pemerintah, atau sebaliknya
memuji kebijakan pemerintah, kini dilakukan dengan mudah dan cepat dengan bantuan
social media. Pada titik inilah Indonesia memasuki gerbang demokrasi digital, ketika
segala sesuatu hal yang berkaitan dengan pemenuhan kepentingan bersama sebagian besar
disampaikan lewat media baru (berbasis teknologi) 7. Sampai di sini terlihat bahwa dalam
kelas menengah demokrasi yang terjadi adalah demokrasi horizontal, semua pihak
memiliki kesempatan dan ruang yang sama untuk mengemukakan pendapat.
Sebagaimana dilaporkan oleh Majalah Tempo (Edisi Liputan Khusus: Kelas
Konsumen Baru, 20-26 Februari 2012, hal 100-101), bahwa terdapat jutaan orang dari
kelas konsumen baru Indonesia di dunia maya. Lewat berbagai situs media sosial -blog,
Facebook, dan Twitter- sumpah serapah, keluhan, dan protes digelontorkan tanpa henti.
Macet, banjir, sampah, apapun, semua ditumpahkan lewat internet. Ketidakpuasan
terhadap layanan pemerintah dicurahkan lewat media sosial. Kasus yang disebut-sebut
menggambarkan kekuatan kelas menengah Indonesia via media sosial adalah Gerakan Satu
Juta Facebookers Dukung Chandra dan Bibit pada Oktober 2009 serta Koin Keadilan
untuk Prita pada akhir 2009. Kedua gerakan itu sama-sama dibangun dari media sosial,
yang kemudian direspon secara masif oleh publik. Jakarta menjadi kota penting dalam
gerakan ini, tidak hanya karena inisiatornya berasal dari Jakarta, namun tercatat oleh
Socialbaker.com (2012), pengguna Facebook di Jakarta pada tahun 2012 saja sudah
mencapai 11,658,760 orang (23.21% dari total pengguna Facebook di Indonesia).
Sedangkan Alexa.com memberikan informasi lain mengenai jumlah pengguna Facebook di
Indonesia. Dikatakan bahwa Indonesia adalah negara terbanyak ke-10 yang penduduknya
7
Perbincangan ini mengingatkan kita pada pemikiran Samuel P. Huntington yang menyatakan bahwa di
banyak negara berkembang masyarakat justru semakin banyak kehilangan kekuatannya ketika demokratisasi
itu dijalankan dengan serampangan. Bahkan lembaga-lembaga pendukung suatu pemerintahan, yang dalam
hal ini berarti kekuatan-kekuatan masyarakat sendiri, tidak mampu memaksa pemerintahannya untuk tunduk
terhadap kepentingan warga masyarakat. (Journal World Politics, Political Development and Political Decay;
1965: 386-430 dalam Agustino, 2007). Akhirnya warga mengambil jalan pintas, yakni berpolitik,
berdemokrasi, lewat saluran yang mereka ciptakan sendiri. New media mewadahi ini. Seiring dengan
kemajuan teknologi komunikasi, proses penyampaian pesan/informasi politik tidak lagi lewat jalur formal
tetapi personal. Hacker & Van Dijk menyebut kondisi ini sebagai suatu pelengkap demokrasi dimana
aktivitas warga berdemokrasi dapat disampaikan melalui media-media baru. We define digital democracy as
a collection of attemps to practise democracy without the limits of time, space and other physical conditions,
using ICT or CMS instead, as an addition, not a replacement for traditional „analoque‟ political practices
(Hacker & Van Dijk, 2000: 1-2).
5
mengunjungi laman Facebook. Walau demikian, laman Facebook menjadi favorit ke-2
situs yang dikunjungi orang Indonesia setelah Google.com.
Jakarta merupakan lokomotif pertumbuhan kelas menengah di Indonesia. Selain
sebagai ibukota negara (pusat pemerintahan), Jakarta merupakan kota bisnis terbesar di
Indonesia. Semuanya berawal dari Jakarta. Termasuk tumbuhnya kelas konsumen baru
(kelas menengah) sekaligus gaya hidupnya yang memikat8. Hal ini tentu berpengaruh juga
pada dinamika kehidupan masyakatnya termasuk di bidang politik. Sebagaimana pernah
dilakukan survei oleh Pew Research Center (The Pew Global Attitude Project, 2009) di 13
negara
berpendapatan
menengah
menunjukkan
bahwa
kelas
menengah
sangat
mementingkan institusi dan praktek demokrasi yang bebas dan jujur, kebebasan
berpendapat, serta sistem peradilan yang adil. Dalam konteks kelas menengah di Jakarta,
apakah hal tersebut juga nampak muncul di daerah yang dulunya bernama Batavia?
Fenomena pemilihan kepala daerah DKI Jakarta tahun 2012 menunjukkan hal tersebut.
Kembali kepada perbincangan awal, fenomena Mcdamas, Arham, dan Kusmana
menarik untuk diteliti lebih lanjut dengan beberapa latar belakang berikut:
Pertama, jika terjadi pertukaran informasi di Kompasiana pada masa kampanye
Pilkada DKI Jakarta 2012, maka perlu diketahui lebih lanjut informasi apa yang
dipertukarkan oleh para Kompasianer tersebut.
Kedua, bagaimana pertukaran informasi Kompasianer pada masa kampanye
Pilkada DKI Jakarta 2012 tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.
Hal-hal di atas sekiranya dapat memberikan latar permasalahan penelitian ini.
Fenomena pertukaran informasi Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DKI Jakarta
2012 hendaknya diteliti, untuk mengetahui lebih lanjut informasi apa saja yang
dipertukarkan dan sejauh mana informasi tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.
B. RUMUSAN MASALAH
Fenomena yang telah terjabarkan dalam latar belakang ini mendorong peneliti untuk
menjawab pertanyaan berikut: informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom
"PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012?
8
Majalah Tempo (edisi 20-26 Februari 2012, hal 64-65) memaparkan bagaimana pergeseran perilaku
konsumsi kelas menengah terekam paling awal di Jakarta. Mulai dari menjamurnya pusat belanja, klinik
kecantikan, restoran makanan organic, butik-butik mancanegara, hingga konsumsi gadget yang menggila.
6
Kemudian pertanyaan pengembangan sebagai berikut: bagaimana pertukaran informasi
tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif?
C. TUJUAN PENELITIAN
Paparan latar belakang dan rumusan masalah penelitian di atas memberikan
gambaran mengenai tujuan penelitian ini, sebagai berikut:
1. Mengetahui informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom
"PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta
2012.
2. Mengetahui sejauh mana informasi yang dipertukarkan Kompasianer memenuhi
indikator kondisi deliberatif.
D. MANFAAT PENELITIAN
Paparan tujuan penelitian di atas memberikan gambaran mengenai manfaat
penelitian ini, sebagai berikut:
1. Penelitian dapat menggambarkan informasi apa saja yang dipertukarkan
Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1
dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012.
2. Penelitian dapat memperlihatkan sejauh mana informasi yang dipertukarkan
Kompasianer pada kolom "PILKADAJAKARTA" saat masa kampanye putaran 1
dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012 memenuhi indikator kondisi deliberatif.
E. OBJEK PENELITIAN
1. Kompasiana
Sebagaimana diungkapkan Pepih Nugraha9, Kompasiana adalah sebuah media
warga (citizen media). Lewat Kompasiana, setiap orang yang menjadi anggotanya dapat
mewartakan peristiwa, menyampaikan pendapat dan gagasan serta menyalurkan aspirasi
dalam bentuk tulisan, gambar ataupun rekaman audio dan video. Pepih Nugraha
mengungkapkan jati diri Kompasiana dengan menyebutkan bahwa:
9
Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan
Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 1-8.
Pepih Nugraha merupakan pendiri Kompasiana, berprofesi sebagai wartawan surat kabar harian Kompas.
7
“Kompasiana adalah etalase. Kalau saat pertama kata etalase ditemukan punya
pengertian tempat memajangkan barang dagangan atau benda-benda seni, saya
menggunakan etalase Kompasiana sebagai tempat untuk menampilkan berbagai jenis
tulisan warga biasa; baik berupa berita warga, opini warga, catatan harian warga, dan
bahkan fisik warga. Di dalam etalase ini, warga biasa bisa menampilkan kemampuannya
dalam menulis yang diharapkan kualitasnya tidak kalah dengan karya tulis para penulis
atau jurnalis professional.”10
Kompasiana menampung beragam tulisan yang menarik, bermanfaat dan dapat
dipertanggungjawabkan dari semua lapisan masyarakat dengan beragam latar belakang
budaya, hobi, profesi dan kompetensi. Walau demikian, Kompasiana sejak awal
keberadaannya memang pertama-tama diperuntukkan bagi pembaca Kompas. Keterlibatan
warga secara masif ini diharapkan dapat mempercepat arus informasi dan memperkuat
pondasi demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Kompasiana juga
melibatkan kalangan jurnalis Kompas Gramedia dan para tokoh masyarakat, pengamat
serta pakar dari berbagai bidang, keahlian dan disiplin ilmu untuk ikut berbagi informasi,
pendapat dan gagasan.
Lewat Kompasiana, setiap anggota didorong untuk menulis tentang peristiwa yang
terjadi di sekitarnya, pendapatnya tentang peristiwa tersebut, serta mengomentari pendapat
orang lain mengenai peristiwa tersebut. Kompasianer (sebutan orang-orang yang menjadi
anggota Kompasiana) juga diberi kebebasan menyampaikan gagasan, pendapat, ulasan
maupun tanggapan sepanjang tidak melanggar ketentuan yang berlaku. Setiap konten yang
tayang di Kompasiana menjadi tanggungjawab Kompasianer yang menempatkannya.
Apakah dengan demikian Kompasiana merupakan citizen journalism?
Harry Surjadi, mantan wartawan harian Kompas, pemenang kategori individu
Penghargaan Komunikasi bagi Perubahan Sosial (Communications for Social Change
Award) yang diberikan oleh Universitas Queensland di Brisbane akhir Maret 2013,
mengkritik Kompasiana bukan media citizen journalism sebab minim berita warga yang
melaporkan kejadian/peristiwa yang terjadi di sekeliling mereka.11 Sebagaimana konsep
citizen journalism, media ditujukan semata-mata untuk menghasilkan ruang yang mampu
memfasilitasi warganya melaporkan segala kejadian/peristiwa yang terjadi di sekitar
mereka secara independent dan merdeka.
Terhadap kritik di atas Pepih Nugraha berdiplomasi:
10
Ibid., hlm. xi
Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan
Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 205-206.
11
8
“Tentu saja saya harus mendengar kritik rekan saya itu … Saya harus tetap
membuka lebar-lebar telinga untuk menerima kritik itu. Di newsroom Kompas apa yang
dikemukakan Harry menjadi kajian serius. Saya punya jawaban pasti untuk kritik ini.
Tidak keliru memang kalah Kompasiana dikatakan bukan media citizen journalism,
meski tidak seluruhnya benar. Saya ingin sejak awal platform Kompasiana adalah
menulis. Ya, menulis pada media sosial yang memungkinkan para penulisnya tersambung
satu dengan yang lainnya … Dalam hal ini, melaporkan peristiwa dalam bentuk berita
warga juga termasuk kegiatan menulis, bukan? Walaupun minim namun tulisan
Kompasianer yang mengangkat kejadian atau peristiwa di sekitar mereka tetap ada.”12
Jadi Kompasiana bukan media citizen journalism, melainkan media partisipasi
warga. Titik tekan Kompasiana adalah menyediakan ruang interaksi dan komunikasi antaranggota. Setiap Kompasianer bisa menjalin pertemanan dengan Kompasianer lain. Mereka
juga dapat berkomunikasi lewat email, komentar dan fitur interaktif lainnya. Fasilitas dan
fitur Kompasiana hanya bisa digunakan oleh pengguna internet yang telah melakukan
registrasi di www.kompasiana.com/registrasi. Begitu proses registrasi selesai, pengguna
akan mendapatkan blog pribadi dengan alamat http://kompasiana.com/namapengguna.
Tanpa registrasi, pengguna hanya bisa membaca konten Kompasiana. Dengan beragam
fitur dan fasilitas interaktif tersebut, Kompasiana yang mengusung semangat berbagi dan
saling terhubung (sharing. connecting.) telah berwujud menjadi sebuah media sosial yang
informatif, interaktif, komunikatif dan mencerahkan bagi setiap orang.
Jati diri Kompasiana tersebut dikuatkan oleh Rikard Bagun. Dalam suatu
kesempatan Rikard, demikian ditulis Pepih Nugraha dalam bukunya, menjelaskan bahwa
media sosial seperti Kompasiana adalah suatu keniscayaan dalam atmosfer media
kontemporer, khususnya di tengah perkembangan media digital dan online yang semakin
pesat, dibarengi dengan kecepatan internet yang makin bertambah. Ada “keresahan” warga
berupa opini dan gagasan yang tidak tertampung oleh media-media di arus utama.
Kompasiana menurut Rikard menjadi pelarian bagi netizen, supaya tetap bisa mencurahkan
ide dan gagasannya 13.
Nama Kompasiana diusulkan oleh Budiarto Shambazy, wartawan senior Kompas
yang biasa menulis kolom "Politika". Nama ini pernah digunakan untuk kolom khusus
yang dibuat pendiri Harian Kompas, PK Ojong, berisi tulisan tajam mengenai situasi
mutahir pada masanya. Kumpulan rubrik Kompasiana yang ditulis PK Ojong itu sendiri
sudah dibukukan.
12
Ibid., hlm. 206.
Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan
Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 3.
13
9
Ide pendirian Kompasiana awalnya berangkat dari dari fakta tidak semua jurnalis
akrab dengan blog. Jangankan punya, membaca blog orang barangkali belum pernah. Jadi,
merupakan langkah maju dan terobosan tak terduga manakala sejumlah jurnalis Kompas
menyatakan diri ingin menjadi bagian dari Kompasiana dan bahkan sudah langsung
mencurahkan pandangan dan gagasannya. Pada tanggal 1 September 2008, Kompasiana
mulai online sebagai blog jurnalis. Pada perjalanannya, Kompasiana berkembang
menjadi social blog atau blog terbuka bersama para jurnalis harian Kompas dan Kompas
Gramedia (KG) serta beberapa orang penulis tamu dan artis. Tercatat nama-nama jurnalis
Kompas seperti Ninok Leksono, Budiarto Shambazy, James Luhulima, Myrna Ratna, Agus
Hermawan, Rakaryan Sukarjaputra, Mohammad Nasir, Imam Priyadiyoko, Ichwan
Susanto, Janes Eudes Wawa, Dahono Fitrianto, Joice, Sonya Helen Sinombor, Didit Putra,
Ingki Rinaldi, Kris Razianto Mada, Robert Adhi KSP, Syamsul Hadi, Ambrosius Harto,
dan lain-lain. Karena para jurnalis Kompas itu biasanya “sukar disentuh” dan sulit diajak
bicara di dunia nyata, maka warga pembaca Kompasiana pun tak kalah antusias menyapa
dan menyambut mereka14. Antusiasme para blogger dan netizen untuk ikut membuat blog
di Kompasiana sangat besar sehingga dibuatkan satu menu khusus bernama Public. Pada
22 Oktober 2008, Kompasiana sebagai social blog resmi diluncurkan.
2. Kompasianer
Sebagaimana dijelaskan pada sub-bab sebelumnya, Kompasianer adalah sebutan
bagi anggota Kompasiana. Tercatat pada September 2013, jumlah anggota Kompasiana
(Kompasianer) sudah di atas 200.000 orang. Jumlah yang fantastis untuk sebuah media
sosial lokal yang umurnya baru 5 tahun. Akun pertama tercatat si pembuat mesin
Kompasiana, yakni Kandar dari teknologi informasi Kompas.com. Ia beralamat di
http://kompasiana.com/k4. Sedang akun Pepih Nugraha selaku founder Kompasiana
tercatat
sebagai
akun
kedua
Kompasiana,
dengan
alamat
http://kompasiana.com/pepihnugraha15. Dalam rentang waktu 5 tahun, setidaknya dari
Oktober 2008 sampai September 2013, telah lahir dan tayang 866.767 tulisan dengan
jumlah komentar nyaris mencapai 9 juta atau persisnya 8.951.395. Meski tidak ada batasan
14
Ibid., hlm. 18-19.
Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan
Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013), hlm. 251.
15
10
usia namun Kompasiana terisi oleh orang-orang dengan rentang usia yang cukup lebar,
antara
yang
termuda
sekitar
17
http://kompasiana.com/ammarmahardika
tahun
sampai
seperti
yang
Ammar
paling
Mahardika
senior
Sutardi
di
di
http://kompasiana.com/sutardi yang berusia 73 tahun. Kompasianer pemecah rekor dengan
tulisan
terbanyak
dipegang
oleh
Katedra
Rajawen
di
http://kompasiana.com/katedrarajawen dengan jumlah 7.349 tulisan, sedang pemegang
rekor
satu
tulisan
paling
banyak
dibaca
masih
dipegang
Seand
Munir
di
http://kompasiana.com/seand_munir di mana satu postingnya berjudul “Ternyata Para
Penumpang Sukhoi itu Mengaktifkan Hpnya di Pesawat” dibaca oleh satu juta lebih
pembaca, tepatnya 1.052.55216.
Masing-masing Kompasianer ada yang fokus menulis pada satu bidang, tetapi tidak
sedikit pula yang menulis sesuai kata hati, atau sesuai hobi yang beragam dengan satu
fokus bahasan utama yang sangat mereka kuasai. Dalam konteks kampanye Pilkada DKI
Jakarta 2012, Kompasianer yang menulis rata-rata berdomisili di Jakarta, atau setidaknya
berasal dari Jakarta sehingga tulisan maupun komentar yang dibuat mewakili ide dan
aspirasi politiknya 17.
Salah satu hal yang menghubungkan antara Kompasianer dengan kategori kelas
menengah adalah profesinya, yakni pekerjaan sehari-hari yang dijalani oleh Kompasianer.
Setiap Kompasianer wajib memberikan keterangan kepada admin, dalam hal ini Pepih
Nugraha, profesi yang sedang digelutinya. Terhadap hal ini Pepih memberikan keterangan:
“Keterangan profesi diperlukan untuk memperjelas identitas Kompasianer, siapa
dia dan untuk apa tujuannya ikut di Kompasiana. Selain itu juga untuk mengidentifikasi
fokus tulisan. Kira-kira dengan profesi tersebut jenis tulisan apa yang bisa dihasilkan oleh
Kompasianer yang bersangkutan.”18
Profesi Kompasianer memang beragam, namun jika ditilik lebih lanjut maka profesinya
masuk dalam kategori profesi kelas menengah yang setiap harinya mengeluarkan uang
16
Ibid., hlm. 252.
Mengenai ide dan gagasan Kompasianer di bidang lain bisa dilihat di buku kolaborasi yang dihasilkan oleh
Kompasianer, admin Kompasiana, dan pihak penerbit mainstream. Setidaknya terdapat dua buku yang masuk
dalam kategori ini yakni berjudul Jokowi (bukan) untuk Presiden berkerja sama dengan Penerbit Elex Media
dan Mencintai Indonesia Setengah Hati berkolaborasi dengan Penerbit Bentang Pustaka. Terbitnya kedua
buku ini semakin memperjelas posisi Kompasiana dan Kompasianer, yakni berada di level tengah
masyarakat Indonesia, atau dalam teks penelitian ini disebut sebagai kelas menengah.
18
Lihat Pepih Nugraha, Kompasiana: Etalase Warga Biasa, Pergulatan Membangun dan Mengembangkan
Kompasiana sebagai Media Sosial Khas Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2013) hlm. 34.
17
11
sejumlah $2-2019. Jika dibuat daftarnya maka bentangan profesi kelas menengah yang
masuk menjadi Kompasianer adalah sebagai berikut: penyair, karyawan teknologi
informasi, wartawan, karyawan/karyawati, penulis, blogger, pengamat HAKI, fotografer,
insinyur, pekerja buku, mahasiswa, dosen, swasta, novelis, dokter, peneliti, pustakawan,
diplomat, wiraswasta, arsitek, praktisi periklanan, analis ekonomi, guru, pengusaha, LSM,
hingga purnakarya Polri.
3. Kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012
Pemilihan
Umum
Gubernur
dan
Wakil
Gubernur
DKI
Jakarta
2012 diselenggarakan pada Rabu, 11 Juli 2012 dan Kamis, 20 September 2012 untuk
memilih Gubernur Jakarta untuk jangka waktu lima tahun berikutnya. Hasil Pilkada DKI
Jakarta putaran 1 diumumkan oleh Komisi Pemilihan Umum DKI Jakarta pada tanggal 20
Juli 2012. Memasuki putaran kedua, Partai Golongan Karya dan Partai Persatuan
Pembangunan memberikan dukungan kepada pasangan Fauzi Bowo dan Nachrowi Ramli.
Sementara, hasil pemilukada DKI Jakarta putaran 2 diumumkan pada Sabtu, 29 September
2012. Penetapan dilakukan sesuai dengan hasil rekapitulasi penghitungan suara di tingkat
provinsi sehari sebelumnya. Pasangan Jokowi-Ahok meraih 2.472.130 (53,82%) suara,
sedang Foke-Nara mendapatkan 2.120.815 (46,18%) suara. Dengan selisih 351.315
(7,65%) suara, Ketua KPUD DKI Jakarta Dahliah Umar menyatakan, "Pasangan nomor
urut 3 meraih suara terbanyak dalam putaran kedua"
Hal yang menarik dari Pilkada DKI Jakarta adalah munculnya pasangan JokowiAhok. Sebagai pasangan yang relatif baru bagi warga Jakarta, Jokowi-Ahok mampu
merangsek naik dalam waktu singkat, menciptakan persepsi positif, dan memenangkan
pertarungan. Keberadaan pasangan ini juga mampu memicu perbincangan politik secara
lebih intensif di kalangan warga Jakarta, tak terkecuali via media sosial. Perbincangan
yang sedemikian masif dan menarik di sosial media inilah yang dalam banyak kesempatan
dijadikan ukuran majunya iklim demokrasi Jakarta, termasuk salah satunya di Kompasiana.
19
Lihat definisi kelas menengah menurut ADB di Yuswohady, Consumer 3000: Revolusi Konsumen Kelas
Menengah Indonesia (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2012) hlm. 23.
12
F. PENELITIAN TERDAHULU
Penelitian mengenai praktek demokrasi di media sosial pernah dilakukan oleh
Anthony G. Wilhelm pada Oktober 199620. Wilhelm meneliti pengiriman pesan-pesan
politik warga Amerika khususnya mengenai berbagai aspek karakter dari para kandidat,
posisi pada permasalahan, dan sebagainya dalam konteks pemilihan umum Amerika tahun
1996.. Karena informasi yang dicari terutama pada penyatuan pesan-pesan, pengiriman
pesan tunggal adalah unit analisis. Dengan demikian, jumlah yang cukup dari pesan-pesan
tersebut
dimasukkan dalam
sampel
untuk
menggeneralisirisasikan
karakteristik-
karakteristiknya (N=500). Sebagai tambahan pada pengiriman pesan individu, hubunganhubungan pesan diteliti, seperti hubungan antar pesan, homogenitas newsgroup, dan
jumlah urutannya. Dengan demikian, newsgroup menjadi unit analisa yang tepat 21.
Untuk mengukur informasi itu, sebuah sampel mengenai newsgroup-newsgroup
politik diseleksi. Total ada 57 newsgroup yang dideskripsikan sebagai newsgroup yang
politis, dan 14 kelompok-kelompok diskusi pada Washington Connection. Untuk lebih
spesifiknya, prosedur berikut dijalankan untuk sampai pada sampel acak dari pesan-pesan
yang dianalisis:
(1) Jumlah yang seimbang dari pesan-pesan terpilih di-download dari 10
newsgroup (6 dari newsgroup Usenet dan 4 dari AOL).
(2) Sebuah sampel dari 500 pesan dibutuhkan untuk meyakinkan sebuah interval
kepercayaan diri yang memuaskan (± 4,4%).
(3) Karenanya, 50 pesan diseleksi secara acak dari 10 kelompok untuk jumlah
keseluruhan dari 500 pesan.
(4) Periode waktu diseleksi supaya menghasilkan kontinuitas dalam tema-tema
yang ada di daftar.
Setelah keempat prosedur dijalankan, maka penelitian tersebut bergerak ke
kategori-kategori kamus isi dari pesan politik yang dianalisis. Wilhelm menyebut kategori
tersebut terdiri dari: menyediakan, mencari, menyebarkan benih, menggabungkan,
membalas, homogenitas, valid, tidak valid, pengarang, panjang, pesan, waktu, dan
rangkaian22.
20
Lihat Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 146-147.
Ibid., hlm. 151.
22
Ibid., hlm. 155-157.
21
13
Sementara dari hasil penelitiannya Anthony Wilhelm membuat suatu pernyataan
sebagai berikut:
“… individu-individu cenderung bergerak ke kelompok-kelompok yang
menyetujui sudut pandang mereka sendiri. Dan mereka yang terlibat dalam aktivitas
politik di newsgroup adalah mereka yang kelihatannya memang sudah berpartisipasi
dalam kehidupan sipil dan politik yang non virtual.”23
Tampak bahwa hasil dari penelitian ini masih sebatas mendeskripsikan bagaimana
pertukaran informasi dilakukan di media sosial oleh warga, dan belum menghubungkannya
dengan fenomena apapun, misalnya bagaimana peran kelas menengah Amerika dalam
peristiwa tersebut. Walau demikian penelitian Wilhelm penting sebagai referensi karena
menunjukkan bahwa perbincangan warga mengenai proses pemilihan umum mulai
dilakukan lewat dunia maya/media sosial24, warga memperbincangkan karakter kandidat,
posisi terhadap program yang ditawarkan, dan sebagainya.
Sementara itu penelitian yang dipaparkan dalam proposal ini tidak hanya
membahas bagaimana pertukaran informasi dilakukan, namun juga membahas siapa yang
melakukan dan bagaimana pengaruhnya terhadap keberadaan kelas menengah. Penelitian
ini menghubungkan antara praktek berdemokrasi di media sosial (bertukar informasi
sosial-politik) dengan kelas menengah.
Mengenai kelas menengah, khususnya yang ada di Jakarta dan umumnya
Indonesia, pernah dilakukan penelitian yang komprehensif oleh Center for Middle-Class
Consumer Studies (CMCS) pada November 201225. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kelas menengah Indonesia berada pada angka 135 juta jiwa, atau sekitar 56% dari total
penduduk Indonesia26. Dari total jumlah kelas menengah tersebut, hampir 40% posisinya
ada di Jakarta. Kelas ini menjadi kelas yang paling berpengaruh dalam menumbuhkan
konsumsi domestik, juga dalam meningkatkan taraf pengetahuan dan pendidikan. Oleh
karena itu, kehadiran kelas menengah ditandai dengan kesadaran politik yang baik dengan
cara mementingkan institusi dan praktek demokrasi yang bebas dan jujur, kebebasan
berpendapat, serta sistem peradilan yang adil.
Penelitian yang dilakukan CMCS bersumber pada sebuah model yang tersusun atas
tiga parameter psikografis/perilaku konsumen kelas menengah Indonesia, yaitu
23
Lihat Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003). Hlm., 170-171.
Khususnya dalam konteks ini berlangsung di Amerika pada 1996.
25
Penelitian ini dijadikan referensi karena menunjukkan data secara riil kondisi existing kelas menengah
Jakarta pada masa terjadinya peristiwa yang diteliti, yakni Pilkada DKI Jakarta tahun 2012.
26
Lihat Majalah Swa 02, no. XXIX, edisi 23 Januari-6 Februari 2013
24
14
kepemilikan
sumber
daya
(ownership
of
resources),
tingkat
pengetahuan
(knowledgeability), dan tingkat koneksi sosial (social connection). Tiga parameter ini
kemudian diturunkan menjadi model proposisi nilai kelas menengah Indonesia dan model
segmentasi yang menghasilkan delapan segmen pasar kelas menengah Indonesia yakni
expert, aspirator, settler, trendsetter, climber, performer, flow-er, dan follower27.
Hal yang menarik adalah penemuan karakteristik dari 8 segmen kelas menengah
Indonesia. Terdapat beberapa karakteristik khas di bidang politik, khususnya bagaimana
mereka berelasi sosial. Ada yang aktif dan terlibat dengan isu-isu publik dan bersifat
modern, namun ada yang cenderung mengelompok dan feodal. Berikut tabel karakteristik
relasi sosial28:
Segmen
The Aspirator
The Performer
The Expert
The Climber
The Trendsetter
The follower
The Settler
The Flow-er
Karakteristik Relasi Sosial
Terhubung dengan isu universal, terlibat
dan aktif dalam isu-isu publik
Bergabung dalam suatu komunitas, dalam
rangka aktualisasi diri
Cenderung menjalin jaringan profesional
untuk mempertajam keahlian
Menjaga keharmonisan dalam keluarga
Berusaha menjadi pusat perhatian
Menjaga agar tetap relevan di tengah-tengah
teman dan komunitas sosialnya, termasuk
afiliasi dalam politik
Bergabung dalam kegiatan adat,
keagamaan, dan kemasyarakatan
Menjaga kebersamaan keluarga besar dan
kerabat
Tabel 1. Tabel Karakteristik Relasi Sosial 8 Segmen Kelas Menengah Indonesia
Temuan menarik lain yang muncul dalam penelitian ini adalah dalam alokasi
pengeluaran per bulan, rata-rata keluarga kelas menengah mengeluarkan anggaran sebesar
11,1% dari total pengeluaran untuk kebutuhan telekomunikasi, 6,3% untuk telepon dan
4,8% untuk internet. Jumlah yang signifikan mengingat jumlah ini lebih besar daripada
yang mereka keluarkan untuk investasi, asuransi, cicilan hutang, zakat, atau hiburan.
Pengeluaran di bidang telekomunikasi menduduki peringkat ke-3 setelah kebutuhan
27
28
Ibid., hlm. 44.
Ibid., hlm. 32.
15
keluarga dan tabungan29. Hal ini menunjukkan bahwa kelas menengah Jakarta melek
informasi. Bagi mereka informasi penting dalam hidupnya, termasuk dalam hal politik.
Kelas menengah menganggap informasi seputar politik berguna sebab rata-rata dari
mereka melek politik, sadar akan haknya sebagai warga negara dan menyuarakannya
dalam media sosial. Hal inilah yang menyambungkan antara kelas menengah dengan
media sosial. Bahwa media sosial menjadi sarana komunikasi yang paling efektif bagi
kelas menengah untuk bertukar informasi, termasuk informasi politik.
Melek politik ala kelas menengah dalam penelitian ini dikuatkan dengan beberapa
pertanyaan seputar politik, yakni tokoh-tokoh pilihan di masa kini dan di masa lalu. ketika
responden disuguhi pertanyaan “Tokoh politik nasional yang dianggap bisa membawa
perubahan”, jawabannya Jokowi (37,9%), Prabowo Subianto (25,1%), Megawati (16,9%),
Jusuf Kalla (16,4%), Dahlan Iskan (16,0%), Amien Rais (13,3%), Aburizal bakrie (10,9%,
Surya Paloh (7,5%), dan Wiranto (6,0%). Naiknya pamor Jokowi diyakini sebagai hasil
penetrasi media terhadap benak audiens, terutama ketika berbicara mengenai langkah
positif Jokowi mengelola Jakarta30.
Lalu, bagaimana dengan Pilkada DKI Jakarta 2012 sendiri? Penelitian yang pernah
dilakukan oleh Prisma Resources Center dan Media Nusantara Citra (MNC) tbk pada
bulan Juli 2012 berjudul “Suara Kelas Menengah dalam Pemilihan Gubernur DKI
Jakarta 201: Beberapa Catatan Hasil Survei” menunjukkan bahwa Pilkada DKI Jakarta
merupakan pilkada yang memiliki tingkat perbincangan politik yang tinggi diantara
warganya. Hasil penelitian dirujuk untuk menunjukkan bahwa warga kelas menengah
Jakarta memiliki kepedulian terhadap isu-isu kebijakan dalam kaitannya dengan Pilkada
DKI Jakarta, seperti akses terhadap sumber daya produktif, kenyamanan serta keamanan.
Lebih lanjut terungkap dengan detail bahwa informasi-informasi politik yang
dipertukarkan oleh responden mengerucut menjadi beberapa tema saja yakni biaya
pendidikan dasar, biaya berobat, kemacetan, kenyamanan sarana umum, penanganan
banjir, dan pelayanan administrasi Pemda (KTP, IMB, izin kegiatan) 31.
Hal menarik dari penelitian Prisma ini justru terletak di tarikan kesimpulan atas
data yang ada, dikatakan bahwa:
29
Lihat Majalah Swa 02, no. XXIX, edisi 23 Januari-6 Februari 2013, hlm. 34.
Ibid., hlm. 43.
31
Lihat Prisma Vol. 31, No. 1, 2012, hlm 77.
30
16
“…kebawelan dan kerewelan kelas menengah semacam itu justru terasa sebagai
gagasan transformatif bagi kota Jakarta. Keluh-kesah kelas menengah yang telah
mengkristal menjadi kejengkelan mereka terhadap kondisi Jakarta saat ini bisa dikatakan
mewakili, setidaknya untuk sebagian, apa yang selama ini juga menjadi persoalan warga
Jakarta secara keseluruhan. Memang tidak semua persoalan warga Jakarta identik dengan
persoalan kelas menengah Jakarta. Begitu pula sebaliknya. Bagaimanapun juga,
sebagaian persoalan kelas menenga Jakarta sudah menjadi “irisan” dari persoalan yang
dihadapi semua warga Jakarta.”32
Lebih lanjut diungkapkan bahwa dilihat dari jumlahnya, penghuni Jakarta yang
masuk dalam kategori kelas menengah tentu tidak sebanyak kelas yang ada di bawahnya.
Kelas bawah tidak punya akses informasi dan komunikasi yang memadai untuk
menyampaikan keluh kesahnya. Lebih jauh, kemampuan mereka mempengaruhi proses
politik yang sedang berjalan juga kecil. Apalagi di Jakarta, kesenjangan kelas yang
sedemikian besar membuat kelas bawah hanya menjadi sarana legitimasi politik sesaat
saja, tidak pernah benar-benar diperjuangkan oleh komponen politik yang ada di Jakarta.
Lain halnya dengan kelas menengah, kemampuan mereka mempengaruhi proses politik
tidak bisa diremehkan. Tidak hanya karena mereka mampu mengakses berbagai informasi
publik tanpa batas, tetapi juga mampu “menguasai” saluran dan isi informasi publik dan
mempergunakannya sebagai sarana artikulasi kebawelan dan kerewelan kelas mengenah
untuk memengaruhi berbagai segmen sosial lainnya dalam rangka mengubah wajah kota
Jakarta melalui momentum Pilkada.
Kembali pada penelitian “Kelas Menengah & Kondisi Deliberatif”, bahwa belum
pernah dilakukan penelitian yang secara khusus menghubungkan perbincangan kelas
menengah seputar kebijakan di media sosial dengan kualitas demokrasi. Bahwa terdapat
hubungan di antara keduanya dan saling mempengaruhi. Penelitian “Kelas Menengah &
Kondisi Deliberatif”, ingin menjelaskan posisi kelas menengah di Jakarta saat kampanye
Pilkada DKI Jakarta. Apa hal yang didiskusikan, dan bagaimana diskusi tersebut mampu
menunjukkan kondisi-kondisi tertentu dalam konteks demokrasi33. Pilkada DKI Jakarta
2012 dipakai sebagai objek penelitian, sebab diyakini dalam pilkada ini peran dan
pengaruh kelas menengah sangat signifikan, khususnya dalam tukar-menukar informasi
politik yang nantinya menjadi referensi warga dalam menentukan pilihan politik. Dalam
konteks ini, Kompasianer dipilih untuk mewakili kelas menengah Jakarta, yang
menuangkan segala ide dan gagasan politiknya mengenai Pilkada Jakarta lewat tulisan di
32
Ibid., hlm. 79.
Kondisi-kondisi inilah yang kemudia dijabarkan lebih lanjut lewat teori kondisi deliberatif James S.
Fishkin.
33
17
blog sosial Kompasiana. Hasil-hasil penelitian terdahulu akan dijadikan referensi dalam
mengolah dan menganalisis data.
G. KERANGKA PEMIKIRAN
Kerangka pemikiran ini berisi teori-teori yang dipilih oleh peneliti untuk
memperjelas pokok permasalahan yang diangkat, yakni demokrasi di era digital, demokrasi
deliberatif, partisipasi demokrasi, dan demokrasi kelas menengah. Teori yang muncul di
sini akan dipilih oleh peneliti untuk dijabarkan menjadi unit analisis yang selanjutnya
digunakan untuk meneliti informasi apa yang dipertukarkan Kompasianer pada kolom
"PILKADAJAKARTA" saat masa kampanye putaran 1 dan 2 Pilkada DKI Jakarta 2012
serta sejauh mana pertukaran tersebut memenuhi indikator kondisi deliberatif.
1. Kelas Menengah dan Demokrasi
Sebagaimana diungkapkan oleh Max Weber tentang terminologi kelas 34, bahwa
membicarakan kelas bukan semata-mata membicarakan sebuah komunitas tetapi
setidaknya ada tiga hal berikut: pertama, adanya bagian dari masyarakat yang memiliki
spesifikasi kesadaran yang khas, yang mempengaruhi pola kehidupan mereka sehari-hari.
Kedua, adanya unsur kepemilikan terhadap modal dan barang, serta pengaruhnya terhadap
pendapatan sehari-hari. Ketiga, adanya pekerjaan/profesi yang dimunculkan di sana.
Penjelasan Weber mengenai terminologi “kelas” di atas memperjelas apa dan siapa
kelas menengah. Artinya pembagian kelas menjadi kelas atas, tengah/menengah, dan
bawah tidak semata-mata berdasarkan komunitas yang memiliki ciri pendapatan tertentu,
namun juga pola pikir, serta profesi yang dilaksanakannya. Lebih lanjut Weber
berpendapat mengenai kelas menengah. Menurutnya kelas menengah atau middle classes
dapat disebut juga sebagai commercial classes35. Commercial classes ini dibagi dalam dua
bagian besar yakni entrepreneurs dan laborers. Mereka yang disebut sebagai
entrepreneurs adalah yang bekerja sebagai merchants, shipowners, industrial, bankers,
financiers, lawyer, physicians, artists, dan sebagainya. Sedangkan mereka yang disebut
34
Lihat Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic History
dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of
California Press, 1982), hlm. 61.
35
Lihat Max Weber, Selections from Economy and Society, vols. 1 and 2; and General Economic History
dalam Classes, Power, and Conflict: Classical and ConTemporery Debates (California: University of
California Press, 1982), hlm. 70.
18
sebagai laborers adalah mereka yang bekerja dengan pendapatan tetap dengan kategori
skilled, semi-skilled, dan unskilled36. Hal yang menarik adalah tarikan Weber terhadap
kesadaran politik yang dimiliki kelas tipe ini. Dikatakan bahwa kelas menengah cenderung
memiliki kesadaran politik yang baik. Pertanyaannya kemudian mengapa? Karena kelas
menengah membutuhkan kondisi politik yang ideal untuk melangsungkan pekerjaan/bisnis
mereka. Dengan kata lain Weber memberi pondasi relasi antara kelas menengah dengan
demokrasi, bahwa dengan segala pekerjaan/bisnisnya, kelas menengah akan selalu
mengusahakan situasi yang demokratis demi kelangsungan hidup mereka.
Hal ini dipertegas dengan penelitian yang dilakukan oleh Michael Mann terhadap
literatur sosiologi klasik yang berbicara mengenai kelas sosial37. Disimpulkannya bahwa
stabilitas politik dan sosial merupakan suatu kondisi pra-politik yang diinginkan oleh kelas
menengah. Mereka memerlukan kondisi yang stabil demi tercapainya cita-cita hidup
mereka masing-masing.
Lalu apakah dalil-dalil di atas bisa juga diterapkan di Indonesia? Sebelum
melangkah lebih jauh ada baiknya kita melihat sejarah kelas menengah di Asia. Richard
Robison38 & David S.G. Goodman 39, bersama lembaga The Asia Research Centre on
Social, Political, and Economic Change yang didirikan di Murdoch University, melakukan
penelitian mengenai kemunculan kelas baru di Asia. Kelas ini unik karena memiliki
kemampuan finansial cukup kuat dan menjadi faktor penting dalam proses pembangunan
di asia. Hasil penelitian dituangkan dalam buku berjudul The New Rich in Asia, terbit pada
1996.
Tumbuhnya kelas baru di asia, sebagaimana dinyatakan oleh Robison & Goodman,
telah menumbuhkan ekspektasi besar bangsa barat terhadap Asia. Kelas ini memberikan
kepastian bahwa asia perlahan-lahan akan tumbuh menyerupai Eropa, yang mengagungkan
rasionalitas, modernitas, dan demokrasi:
“For western liberals, there is an expectation that the rise of the “new rich” in
Asia will be, in cultural terms, a process of convergence. The burgeoning middle classes
and entrepreneurs are seen as embodying universal interest which will create an Asia
36
Ibid., hlm. 71.
Lihat Michael Mann, The Social Cohesion of Liberal Democracy dalam Classes, Power, and Conflict:
Classical and ConTemporery Debates (California: University of California Press, 1982), hlm. 387.
38
Professor of Southeast Asian Studies and Director of the Asia Research Centre, Murdoch University.
39
Director of the Institute of International Studies at University of Technology, Sydney.
37
19
more like the liberal stereotypes: more rational, individualistic, democratic, secular, and
concernedwith human rights, the environment and the law.”40
Robison & Goodman mengingatkan bahwa kelas baru ini -sebagian besar kelas
menengah- memiliki pengaruh yang signifikan bersekutu dengan pemodal besar dan
mampu membawa gerbong kapitalisme ke daerahnya. Kelas ini juga bisa tentara yang
bersekutu dengan pemodal besar untuk memunculkan investasi besar di negaranya.
Implikasinya praktek-praktek otoritarianisme harus dihilangkan dari muka asia, khususnya
negara-negara yang bertumbuh ekonominya. Seperti yang terjadi di Indonesia pada 1966,
Thailand pada 1973, dan Filipina pada 1986. Pemerintahan otoriter digulingkan lewat
persekutuan tentara, kelas borjuis-menengah, dan pemodal besar. Di saat bersamaan,
kapitalisme masuk dan tumbuh berkembang di negara-negara tersebut41.
Masuknya kelas menengah dalam usaha penggulingan otoritarianime tidak lepas
dari kepentingan ekonomi. Artinya kelas ini membutuhkan situasi dan kondisi yang
kondusif agar usaha yang dijalankannya berhasil. Kelas menengah bergerak selama
kepentingan ekonomi mereka terganggu 42. Kelas menengah menghindari terlibat langsung
dalam gerakan politik, seperti diungkapkan dalam keterangan Robison & Goodman berikut
ini:
“The lessons for the political role of the middle class are far from clear. it may
signify that the middle class is congenitally unable to hold real power in its own right,
and is forced to rely on alliances or coincidences of interest with other social groups.
alternatively, it may be that the middle class, in situations where it still fears mass radical
movements or social chaos, is interested only in reforming authoritarianism.” 43
Maka keterkaitan antara kelas menengah dengan tumbuhnya kapitalisme sangat
erat. Namun perlu dicatat bahwa kapitalisme yang menumbuhkan kelas menengah bukan
kapitalisme wirausaha, melainkan kapitalisme berbasis korporasi. Walau akhirnya para
entrepreneurship juga bisa masuk kategori kelas menengah, namun pertama-tama kelas
menengah bertumbuh secara signifikan di Asia pada periode 1990-an karena derasnya
kapitalisme korporasi, sehingga muncul jenis-jenis profesi baru berbasis keahlian.
40
Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and
Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 2.
41
Ibid., hlm. 2-4.
42
Sepintas asumsi ini mirip dengan pemikiran yang diusung oleh Max Weber dan Michael Mann tentang
kelas menengah. Bahwa mereka membutuhkan jaminan kondisi yang stabil guna melangsungkan usaha
ekonominya.
43
Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and
Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 8.
20
Keahlian ini didapat dari pendidikan dan pelatihan profesional. Dalam hal ini Robison &
Goodman menyatakan:
“The new middle class is the result of the demise of entrepreneurial capitalism
and the rise of corporate capitalism with its army of managers, technocrats, marketers,
and financiers. The middle class is therefore the skilled workforce of capitalism and
expands with it. Giddens differentiates the middle class from the bourgeoisie on the basis
of market capacity: ownership of property versus possession of qualifications.” 44
Kelas menengah orientasinya berbeda dengan kaum borjuis. Kaum borjuis
cenderung memupuk modal untuk pengembangan usaha yang tidak terbatas (khas kaum
kapitalis), sedangkan kelas menengah cenderung menginginkan suatu kondisi yang ideal
dalam hidupnya terutama dari sisi ekonomi: karir cemerlang, finansial kuat, tingkat
konsumsi tinggi, keluarga sejahtera, dan terdapat kepastian hukum bagi hidupnya. Soal ini
Robison & Goodman menambahkan:
“Clearly the middle classes represent a new set of social interests that regimes
must take into account. what now becomes critical for these new social interest are living
standards that include high levels of consumption and a greater emphasis on leisure; a
greater concern for education as a central mechanism for securing position and wealth; a
desire for predictability and certainty of laws; and access to information and analysis. As
the skills and, indeed, the purchasing power of the new middle classes become more
essential to industrial capitalism, the state and capital are increasingly driven to
accommodate this social force, whether it be within a conservatism that offers stability
and protection, or a liberalism that offers more direct participation in the process of
government.”45
Pada titik inilah singgungan antara kelas menengah dengan negara berlangsung.
Dan pilihan yang paling rasional, sebagaimana nampak dalam kecenderungan negaranegara Asia di masa kini (termasuk Indonesia) adalah memilih jalan demokrasi untuk
mewujudkan kondisi yang menawarkan “stabilitas dan perlindungan” tersebut.
Otoritarianisme tidak lagi jadi pilihan bagi kelas menengah.
Demokrasi menyuburkan perilaku kelas menengah dalam mengonsumsi gaya
hidup. Demokrasi memberikan ruang yang sangat lebar bagi kelas menengah untuk bekerja
sekaligus bersenang-senang. Work hard play hard. Ariel Heryanto ketika menyoroti soal
tumbangnya otoritarianisme di Asia, khususnya Asia Tenggara, menyinggung soal kelas
menengah. Baginya kelas menengah adalah kelas yang unik sebab bukan kelas atas namun
memiliki kekuatan konsumsi yang signifikan, sekaligus pengaruh sosial-kultural yang
besar:
44
Lihat Richard Robison & David S.G. Goodman, The New Rich in Asia: Mobile Phones, McDonalds and
Middle-class Revolution (London & New York: Routledge, 1996), hlm. 8-9.
45
Ibid., hlm. 11.
21
“What all variants of the middle class share common (without which they cannot
be designated as middle classes at all) are their orientation towards any combination of
these: urban residence; modern occupation dan education; and cultural tastes, which
manifest most vividly, but not exclusively, in consumer lifestyle. Economically, these
people occupy positions distinct from those that roughly fit the general conception of the
working classes, as well as those who extract the greatest advantage in the existing social
order by virtue of their enormous economic or bureaucratic power. The majority of
journalist, university students and lecturers, artist, lawyers, non governmental
organization (NGO) activists, and many others in conTemporary Indonesia-Malaysia
have been frequently identified as middle classes.” 46
Disebut sebagai kelas tengah karena kelas ini bukan kelas pekerja, bukan pula kelas
borjuis. Tingkat pendidikan dan ketrampilannya menyerupai kelas borjuis, namun
kepemilikan modalnya minim seperti kelas bawah. Tingkat konsumsi yang besar hanya
untuk barang-barang yang mendukung gaya hidupnya. Kelas ini menyukai demokrasi,
karena baginya demokrasi memberi kepastikan hukum. Rata-rata dari komponen kelas ini
juga melek politik. Sebab itulah mereka berada di balik usaha reformasi Indonesia 1998
(dalam konteks negara Indonesia). Segera setelah pemerintah orde baru membredel
Majalah TEMPO, Editor, dan Detik, maka saat itu pula genderang perang kelas menengah
terhadap kekuasaan otoriter dimulai47.
Secara lebih detail Ariel masuk dalam konsepsi kelas menengah yang berbeda
dengan yang didefinisikan Robison & Goodman, dan juga kelak William Liddle. Robison
& Goodman cenderung memposisikan kelas menengah, di Asia umumnya dan Indonesia
khususnya, sebagai kelas menengah yang bergantung pada negara. Kelas ini umumnya
oportunis dan egois. Kalaupun kelas ini menghendaki demokrasi, maka demokrasi yang
dimaksud adalah demokrasi yang disokong penuh oleh negara yang kecenderungannya
militeristik. Dengan demikian kelas menengah Indonesia secara politis tidak bisa
diharapkan berbuat lebih karena kelahiran mereka disokong pemerintah orde baru. Selain
itu, cukup banyak masyarakat yang masuk kelas ini beretnis Cina yang kurang tertarik atau
kurang terlatih pemahamannya tentang politik48. Ariel pun sempat memperbincangkan ini
konteks budaya popular di Indonesia, Ariel menulis demikian:
It is useful to begin the question of what being “Chinese” meant under the New
Order (1966-98).Most writing on the subject emphasize the series of discriminations
against this minority group. Althought most observers have commented on their
46
Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing
Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 27.
47
Ibid., hlm. 33.
48
Lihat Ariel Heryanto (ed.), Popular Culture in Indonesia: Fluid Identities in Post-Authoritarian Politics
(London & New York: Routledge Media, 2008), hlm. 53.
22
economic prominence, few has taken seriously the seeming contradictory phenomena
(political and cultural repression versus economic favouritism) 49.
Pendapat Robison & Goodman ini dikuatkan oleh pemikiran R. William Liddle
mengenai kelas menengah di Indonesia. Liddle berpendapat bahwa kelas menengah di
Indonesia berkembang pesat saat orde baru50. Walau akhirnya ikut menumbangkan namun
kelas menengah di Indonesia kelahirannya banyak dibantuk oleh orde baru. Dijelaskan
oleh Liddle bahwa ideologi pembangunan di era orde baru telah memunculkan kelas baru,
yakni kelas menengah, yang pada era Soekarno masih sangat abu-abu. Namun di era orde
baru kelas ini menyeruak ke permukaan. Apa hubungannya dengan pembangunan?
Pembangunan menciptakan birokrasi, dan birokrasi menciptakan birokrat. Birokrat inilah
yang pertama-tama mengisi tampuk kelas menengah Indonesia, antara lain adalah pegawai
negeri sipil di berbagai tingkatan. Kelas ini menyukai stabilitas sosial-politik, sebab
dengan demikian kehidupan mereka tidak terganggu.
Walau demikian Liddle memberi catatan kecil, bahwa kelas menengah juga tumbuh
seiring masuknya kapitalisme global ke Indonesia. Gelombang ini menciptakan ribuan
pekerjaan baru yang tingkat kesejahteraan sosial-ekonominya setara, atau bahkan lebih,
dibandingkan dengan pegawai negeri sipil. Dalam perkembangannya justru kelompok
inilah yang mendorong terbukanya era politik baru di Indonesia, dimana demokrasi
semakin kuat dan dijunjung. Puncaknya adalah tahun 1998 ketika rezim orde baru &
Soeharto tumbang.
Kembali pada pernyataan di depan bahwa Ariel memiliki konsepsi yang berbeda
mengenai kelas menengah (di Indonesia). Ariel sependapat bahwa kelas menengah pada
umumnya memiliki unsur-unsur berikut: tinggal di perkotaan, memiliki pekerjaan dan
pendidikan modern, serta selera budaya. Secara ekonomi kelas ini menduduki posisi yang
jelas berbeda dengan mereka yang lazim disebut sebagai kelas pekerja, namun tidak
seluruh bagian dari kelas menengah dapat diseragamkan. Artinya ada unsur kelas
menengah yang cenderung apolitis dan oportunis, seperti pejabat negara peringkat tengah
da perwira menengah, dan ada kelas menengah yang cenderung politis dan kritis, seperti
49
Ibid., hlm., 73.
Lihat R. William Liddle, The Middle Class and New Order Legitimacy dalam The Politics of Middle Class
Indonesia (Victoria: Monash University Press, 1992), hlm., 50-52.
50
23
jurnalis, akademisi, dan seniman51. Secara kultural dan politik dinamika diantara dua unsur
ini berbeda. Ariel cenderung meyakini kelas menengah yang memainkan peran penting
dalam peta politik Indonesia dewasa ini adalah kelas menengah golongan kedua, yakni
kaum cerdik pandai, jurnalis, dan seniman. Mereka bekerja dengan otonomi, inovasi,
integritas, dan kreativitas, serta terkadang subversi. Mereka berbeda, dan membedakan
diri, dari sosok pejabat militer, pejabat negara, atau kaum profesional dalam dunia usaha.
Jadi kelas menengah Ariel adalah kelas menengah yang menguasai produksi karyakarya intelektual dan kultural, dan menguasai posisi sebagai intelektual publik. Dengan
demikian bahasan kelas menengah dan intelektual dalam bahasannya Ariel memiliki posisi
yang sama, yakni berwujud konsep-konsep diskursif, ideologis, dan mitis ketimbang
sebagai deskripsi yang murni empiris dari sejumlah individu yang secara biologis ada
dengan nama, profesi, pola-pola konsumsi atau afiliasi kelembagaan yang spesifik52.
Konsepsi Ariel ini sejalan dengan Gerry van Klinken yang meneliti kelas menengah di
provinsi/kota non-Jawa di Indonesia:
“The natural setting for the middle classes who provided the political steam
pressure for both democracy and decentralization was not the globalized metropolis, but
the provincial town – a place that foreign researchers rarely visit. The selfemployed
medium scale entrepeneurs, the private and public sector clerks, the Golkar apparatchiks,
the teachers – and the youth aspiring to these positions – who populate this book, belong
to a world of their own. They are only partly assimilated with the national bourgeoisie.
They may share elite global consumerist aspirations, but their economic interests differ.
Their incomes are less secure, their networks of relations more local (where they may be
more intense than in the big city), their religion more conservative – in short, their
horizon is more parochial. Yet their control of the towns gives them a national clout that
belies their relative lack of affluence 53.”
Dalam desain penelitian ini, nampaknya pendekatan kelas menengah versi Ariel
lebih tepat dipilih ketimbang sarjana-sarjana lainnya, sebab dalam paparan selanjutnya
kelas inilah yang ingin diuji kualitas demokrasinya, dengan cara menguji bagaimana
mereka mempertukarkan/bertukar informasi politik di media sosial, dalam hal ini
Kompasiana.
51
Lihat Ariel Heryanto & Sumit K. Mandal, Challenging Authoritarianism in Southeast Asia: Comparing
Indonesia and Malaysia (New York: Routledge, 2003), hlm. 54-55.
52
Ibid., hlm., 56-57.
53
Lihat Gerry van Klinken & Ward Berenschot (ed.), In Search of Middle Indonesia: Middle Classes in
Provincial Towns (Leiden-Boston: KITLV-Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean
Studies, 2014), hlm. 6.
24
2. Media Sosial dan Demokrasi
Hakikat politik adalah penciptaan kehidupan bersama yang lebih baik (Aristoteles).
Lewat politik kekuasaan diabdikan bagi kepentingan masyarakat. Politik adalah
hakikatnya, teknologi adalah sarananya, dan social media adalah salah satu aplikasinya.
Rogers (1986: 238) menyatakan bahwa internet memampukan seorang kandidat
mengirimkan pesan personal kepada konstituennya dengan cepat, tepat, dan efisien lewat
surat elektronik. Internet mengubah “lapangan” politik dari bersifat nyata menjadi maya.
Sebagai perwujudan dari demokratisasi di internet, media sosial menjadi kunci penting
bertumbuhnya mutu demokrasi di suatu negara. Media sosial mampu memfasilitasi diskusi
antarawarga negara, terutama soal politik. Hal ini sekaligus menandai karakteristik new
media, atau media-media baru dalam kaitannya dengan demokrasi. Rogers menegaskan hal
ini sebagai berikut:
“Interactive media can also facilitate citizen-to citizen communication about
political issue; these new can help individuals locate others with whom they exchange
information and opinions.”54
Selain tingkatan warga, new media juga dapat menghubungkan para politikus,
membuat jejaring komunikasi dan menciptakan ruang diskusi mengenai isu-isu politik.
Tidak hanya itu, jejaring juga dimanfaatkan untuk menggalang dukungan dalam
menggolkan suatu rancangan undang-undang. Sebagaimana penelitian yang diadakan di
Amerika Serikat, para politikus/legislator saling terhubung, beberapa diantara bahkan
masuk kategori politisi terkenal seperti Tom Delay, Bob Dole, Jesse Helms, John Kerry,
dan Ted Kennedy. Mereka berjejaring satu sama lain dan memiliki pengaruh kuat dalam
proses legislasi di AS. Artinya mereka bisa menggerakkan jaringan mereka untuk menekan
legislator lain menyetujui suatu rancangan undang-undang yang diusung partainya (Partai
Republik atau Partai Demokrat). Beberapa nama lain adalah Hillary Clinton, Ron Paul,
Tom Tancredo, Dennis Kunichi, dan John McCain55.
Dengan demikian media sosial memfasilitasi negara dan masyarakat sipil untuk
saling terhubung dan berdiskusi, bahkan menciptakan pergerakan politik. Soal ini Timothy
W. Luke menambahkan sebagai berikut:
54
Everett M. Rogers, Communication Technology: The New Media in Society (New York: The Free Press,
1986), hlm., 237-238).
55
Christakis M.D. & James H. Fowler, Connected: Dahsyatnya Kekuatan Jejaring Sosial Mengubah Hidup
Kita (Jakarta: Gramedia, 2010), hlm., 239.
25
“The Net also provides modes of action and types of artifacts to organize their
cultural interactions, institutionalize political movements, and advance economic
demands on a derritorialized metanational basis in 24/7 time frames. The networks are
operational venues whose assignment, sale and use generate a new governance challenge;
how to create, border, police and use virtual spaces.”56
Hill dan Sen, akademikus yang memberikan perhatian luas pada kajian internet dan
demokrasi di Indonesia, juga menegaskan hal ini, pernyataannya menguatkan pemikiran
bahwa internet telah memproduksi satu saluran komunikasi baru yang lebih egaliter,
dengan demikian informasi dapat dipertukarkan dengan bebas, dua arah, dan kritis,
termasuk informasi politik:
“The internet shifted the terms of the media-democracy debate in a number of
ways. The new medium of communication had obliterated the distinction between
producer and consumer, a dichotomy that was at the heart of the leftist and politicaleconomy critique of the old media‟s anti democracy design. If every individual consumer
could also produce and distribute information, ideas and later images, then the question
of “who owned what” mattered little or not at all.” 57
Sebagai bagian dari internet, media sosial memiliki semua karakteristik media yang
berpengaruh positif bagi internet. Dan Indonesia memiliki kasus-kasus yang sangat riil
mengenai social media dan pengaruhnya terhadap demokrasi politik. David T. Hill dan
Krishna Sen (2005: 11) mencatat bahwa internet memungkinkan terjadinya penggulingan
kekuasaan Soeharto serta pemerdekaan Timor-Timur. Di sisi lain Hill dan Sen
mengungkapkan pula bahwa media sosial memungkinkan terjadinya kampanye virtual,
lewat perang website dan pesan-pesan politik di dunia maya (2005: 79).
3. Informasi Politik
Studi perilaku memilih yang dilakukan oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan
Kuskridho Ambardi (2012) telah memberikan perspektif baru dalam melihat fenomena
pemilihan umum. Studi ini pertama-tama mencoba menguak partisipasi politik, dengan
beberapa pertanyaan utama: Seberapa banyak warga negara yang berpartisipasi? Mengapa
seseorang memutuskan ikut serta atau absen dalam pemilu? Partisipasi politik menjadi hal
penting untuk dijelaskan di sini. Partisipasi politik: (1) tindakan, (2) oleh orang biasa, (3)
dilakukan secara sukarela, (4) untuk mempengaruhi kebijakan publik (Brady 1999;
56
Timothy W. Luke, Power and Political Culture dalam Leah A. Lievrouw & Sonia Livingstone, Handbook
of New Media: Social Shaping and Social Consequences of ICTs (London: Sage Publications, 2006), hlm.,
164.
57
David T Hill & Krishna Sen, The Internet in Indonesia‟s New Democracy (New York: Routledge, 2005)
hlm. 10.
26
Conway 2000 dalam Mujani dkk, 2012). Jadi partisipasi politik merupakan suatu tindakan
yang dilakukan oleh orang biasa, dilakukan secara sukarela, dan bertujuan untuk
mempengaruhi kebijakan publik. Ketika publik berpartisipasi, maka hal riil yang muncul
adalah keikutsertaannya untuk memilih dalam suatu pemilihan umum.
Dari studi ini pula ditemukan 3 model perilaku memilih, yakni model sosiologis,
model psikologis, dan model pilihan rasional/ekonomi-politik. Dalam model sosiologis
perilaku memilih ditentukan oleh karakteristik sosiologis para pemilih, terutama kelas
sosial, agama, dan kelompok etnik/kedaerahan/bahasa. Sedangkan dalam model psikologis,
seorang warga berpartisipasi dalam pemilu atau pilpres bukan saja karena kondisinya lebih
baik secara sosial-ekonomi, atau karena berada dalam jaringan sosial, akan tetapi, karena ia
tertarik dengan politik, punya perasaan dekat dengan partai tertentu (identitas partai),
punya informasi yang cukup untuk menentukan pilihan, merasa suaranya berarti, serta
percaya bahwa pilihannya dapat ikut memperbaiki keadaan (political efficacy). Model ini
memperkenalkan budaya demokrasi atau civic culture. Terakhir model pilihan rasional,
Orang memilih partai atau calon tertentu apabila partai atau calon tersebut dipandang dapat
membantu pemilih memenuhi kepentingan dasarnya: kehidupan ekonomi. Pemilih
mempersepsikan keadaan ekonomi dirinya (egosentrik) di bawah sebuah pemerintahan
(partai atau calon) tertentu sekarang ini dibanding sebelumnya (retrospektif), dan yang
akan datang dibanding sekarang (prospektif); dan evaluasi umum seorang pemilih atas
keadaan ekonomi nasional (sosiotropik) di bawah pemerintahan sekarang dibanding tahun
sebelumnya (retrospektif), dan keadaan ekonomi nasional di bawah pemerintahan sekarang
di banding tahun-tahun yang akan datang (prospektif) (Dawns 1956; Wheaterford dan
Kiewiet, 1980; Fiorina, 1981; Lewis-Beck, 1998 dalam Mujani, dkk, 2012)
Dalam ketiga model tersebut, informasi politik atau pengetahuan politik menduduki
tempat yang penting. Mengapa? Sebab semakin mempunyai informasi lebih banyak
tentang masalah publik, maka dirinya cenderung lebih mampu menentukan sikap dan
melakukan tindakan politik (political interest). Lalu, apa itu informasi politik? Informasi
yang dimiliki seseorang tentang hal-hal yang berkaitan dengan politik atau yang berkaitan
dengan kepentingan umum. Demokrasi menuntut keterbukaan informasi58.
58
Saiful Mujani, R. William Liddle, Kuskridho Ambardi. Kuasa Rakyat : Analisis tentang Perilaku Memilih
dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Order Baru (Jakarta: Mizan, 2012), hlm. 13-14.
27
Dalam keterkaitannya dengan kelas menengah dan media sosial, informasi politik
inilah yang diusahakan oleh kelas menengah bisa dipertukarkan dengan bebas dengan
bantuan media sosial. Pada sub-bab terdahulu telah dipaparkan dengan detail keterkaitan
diantara ketiganya, bahwa kelas menengah menggunakan media sosial sebagai sarana
untuk melakukan pertukaran informasi politik. Terhadap hal ini, jika ditelusuri lebih jauh,
terlihat bahwa internet dan media sosial tidak selalu menjadi ruang yang positif bagi
pertukaran informasi. Artinya banyak literatur yang menunjukkan soal pertukaran
informasi di internet dan media sosial sungguh problematik.
Gary D. Rawnsley misalnya, mengungkapkan bahwa informasi yang dibagi oleh
para blogger59 merupakan informasi yang tidak termediasi dan terkontrol. Artinya apa yang
ditulis sebagai informasi di sana oleh para blogger merupakan informasi yang keluar dari
seseorang tanpa melewati mekanisme verifikasi60. Namun di sisi lain justru karena tidak
ada kontrol maka blogger mampu memunculkan sebuah propadanda yang memberikan
alternatif lain dalam memandang persoalan sosial politik. Lebih lanjut Rawnsley
mengungkapkannya demikian:
“This is realized most dramatically in the rapid emergence of the blogger
culture, the posting by anyone with access to the internet of on-line diaries that allow
readers a glimpse into the lives of their authors. Bloggers can undermine tives of events
from those provided by other media following their own news agendas and reporting
stories according to particular framing devices … Hence, the most attractive about
blogging is that it represent a genuine bottom up process of unmediated and unfiltered
communication.”61
Alternatif lain yang ditawarkan oleh blogger menjadi dasar suatu komunikasi yang
demokratis. Artinya masyarakat tidak hanya menerima begitu saja segala hal yang
disuguhkan oleh negara, atau bahkan pasar, lewat media konvensional, namun mampu
mengkritisinya secara konstruktif. Secara lebih jelas Rawnsley menyatakannya sebagai
fenomena psikologi berpendapat, bahwa ada kecenderungan bagi seseorang untuk mencari
pembanding informasi dari sumber lain, termasuk sumber-sumber yang sifatnya personal:
59
Sebutan bagi orang yang memiliki akun di situs blooger.com, yakni situs web yang dibuat oleh Pyra Labs
dan diakuisisi oleh Google pada 2013. Situs ini sangat popular karena menyediakan sarana web gratis untuk
menciptakan ruang tulis-menulis pribadi.
60
Verifikasi merupakan salah satu disiplin kerja dalam jurnalisme yang mensyaratkan adanya cek ulang
informasi/data yang diperoleh dari narasumber. Jadi wartawan tidak menulis begitu saja informasi/data yang
didapat tetapi melakukan cek-ricek kebenarannya lewat pengamatan langsung, konfirmasi narasumber lain,
dan membandingkan dengan data tertulis lain.
61
Lihat Gary D. Rawnsley, Political Communication and Democracy (New York: Palgrave Macmillan,
2005), hlm. 179.
28
“In psychology-speak, ICTs are increasing „selective avoidance‟ and thus
undermining the need to consider alternative views (and reconsider one‟s own) to achieve
consonance (see Chapter 3 this volume). The liberal educative function of
communication via interaction with alternative ideas, information and sources breaks
down, and we can no longer claim that the more one participates, the more
knowledgeable one becomes about political issues. Rather, the filtration mechanisms that
allow users to choose the information they receive and the sources from which they
receive it, means that even citizens of democracies are no longer forced to confront
challenging ideas, thus limiting our knowledge and understanding of politics, and
undermining the principles of free speech. From Athens on, democratic political
communication is based on open dialogue between citizens allowing the competition of
ideas.”62
Dengan kata lain jelaslah bahwa internet dalam hal ini memberdayakan dan
mendemokratisasi masyarakat, sebab internet mampu menampung keinginan warga untuk
berpartisipasi dalam proses politik (partisipasi politik)63. Walau demikian soal kredibilitas
informasi yang dibagikan di internet atau media sosial dipertanyakan. Apakah informasi
yang dibagikan akurat dan kredibel? Rawnsley menuliskan:
“Let us begin with the idea that everyone can be publisher and recipient. If this
the case, we are confronted not only with an explosion in the amount of information we
must confront, sift and process (Neumann, 1986) but with a fundamental question that
defines the democratic approach to political communication: whose truth are we
receiving? How can we check and guarantee the accuracy of the information? Does this
mean that the responsibility for determining the truth falls to the consumers rather than
producers? If we are already concerned with how the traditional media have the capacity
to distort the truth and present a one-dimensional, biased or superficial picture of political
issues, processes and institutions, won‟t we become more anxious with information that
is unmediated, unedited and unverifiable? The Internet provides more information, but it
does not guarantee the quality of information. Perhaps this really is a case of better the
devil you know…?”64
Ahli lain, John C. Tedesco dari Virginia Tech. berpendapat sama kurang
lebih dengan Rawnsley, bahwa informasi yang ada di internet haruslah dicek
ulang sebab banyak yang isinya hanya propaganda tidak berdasar dan cenderung
berbahaya bagi demokrasi. Tedesco mensyaratkan bahwa informasi yang
dibagikan oleh warga biasa, politisi, atau partai politik harulah informasi yang
kredibel dan berkualitas, sehingga sungguh-sungguh menjadi referensi warga lain
dalam berdemokrasi:
“Credibility of on-line information is at the source of much academic
controversy and inquiry (Whillock, 1997). Whillock argues that verifying the validity of
on-line information is very difficult to do without searching multiple sources for
confirmation and support of claims posted by candidates or other politically interested
62
Lihat Gary D. Rawnsley, Political Communication and Democracy (New York: Palgrave Macmillan,
2005), hlm. 185.
63
Ibid., hlm., 183.
64
Ibid., hlm., 183
29
parties or groups. As Glass (1996) acknowledges, the “Internet offers far fewer clues to
its users to help them discern the good from the ugly” (p. 140).” 65
Klaim kebenaran menjadi persoalan penting di sini, manakala internet atau media
sosial hanya menjadi ajang klaim, maka akan jauh dari fungsi sebagai jembatan informasi
yang menghubungkan satu warga dengan warga lain, antara warga dengan politisi, dan
warga dengan partai politik.
4. Demokrasi Deliberatif
Telaah mengenai informasi politik yang ada di internet akan membawa diskusi pada
demokrasi. Sebagaimana dinyatakan dalam suatu studi perilaku memilih yang dilakukan
oleh Saiful Mujani, R. William Liddle, dan Kuskridho Ambardi (2012: 13-14), informasi
politik yang benar mendorong warga untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum. Dengan
demikian adanya arena/ruang bagi warga untuk bertukar informasi politik menjadi penting,
lalu mendiskusikan dan akhirnya menentukan pilihan. Ruang dimana warga berada dalam
posisi yang setara dan dapat mendiskusikan pandangan-pandangannya mengenai masalah
sosial politik yang ada di sekitar mereka. Ruang ini oleh James S. Fishkin, seorang
professor komunikasi dan ilmu politik dari Stanford University, disebut sebagai kondisi
deliberatif. Informasi yang ada di kondisi deliberatif merupakan informasi yang dapat
dipertanggungjawabkan karena bermuara pada nalar yang rasional dan tidak menyesatkan.
“In a deliberative democracy everyone‟s views are considered equally under
good conditions for the participans to arrive at their views. The process is deliberative in
that it provides informative and mutually respectful discussion in which people consider
the issue on its merits. The process is democratic in that it requires the equal counting of
everyone‟s views as we will see below.”66
Proses pertukaran informasi dalam kondisi deliberatif menjadi penting, sebab dalam
proses inilah ide atau pemikiran orang mengenai kondisi ideal masyarakat dapat muncul.
Tidak hanya itu, Fishkin menegaskan bahwa orang harus berada dalam sebuah kondisi
yang setara. Dalam konteks ini orang sama-sama menjadi warga negara yang memiliki hak
berpendapat. Maka suatu komunitas warga dapat berfungsi menjadi ruang bagi proses
tersebut, yakni proses pertukaran informasi. Dan sebagaimana dinyatakan di atas bahwa
65
Lihat John C. Tedesco, Changing the Channel: Use of the Internet for Communicating About Politics
dalam Lynda Lee Kaid, Handbook of Political Communication Research (New Jersey: Lawrence Erlbaum
Associates Publisher, 2004) Hlm., 522.
66
James S. Fishkin, When The People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation (New York:
Oxford University Press, 2009) hlm. 11
30
dari proses tersebut akan muncul referensi otentik yang bisa digunakan orang untuk
mengambil keputusan politik. Tentu saja deliberasi yang terjadi dalam suatu komunitas
harus dipastikan dalam kondisi baik, dengan kata lain berkualitas.
Masih tentang kriteria sebuah proses pembuatan keputusan dalam suatu komunitas
dapat dikategorikan ke dalam kondisi yang deliberatif apabila terdapat lima hal berikut
(Fishkin 2009):
“By deliberation we mean the process by which individuals sincerely weigh the
merits of competing arguments in discussions together. We can talk about the quality of a
deliberative process in terms of five conditions: (a) Information: The extent to which
participants are given access to reasonably accurate information that they believe to be
relevant to the issue; (b) Substantive balance: The extent to which arguments offered by
one side or from one perspective are answered by considerations offered by those who
hold other perspectives; (c) Diversity: The extent to which the major positions in the
public are represented by participants in the discussion; (d) Conscientiousness: The
extent to which participants sincerely weigh the merits of the arguments; (e) Equal
consideration: The extent to which arguments offered by all participants are considered
on the merits regardless of which participants offer them.”67
Lima kondisi di atas bisa dijadikan ukuran bagi suatu pertukaran informasi, mulai
dari apakah informasinya berkualitas sampai tingkat mempengaruhi pemilih. Maka kembali
pada diskusi awal mengenai kredibilitas informasi politik di internet, dalam hal ini
informasi politik yang dipertukarkan Kompasianer pada masa kampanye Pilkada DI Jakarta
2012. Sebagaimana diungkapkan James S. Fishkin, jika ingin dinyatakan sebagai sebuah
informasi yang berkualitas maka setidak-tidaknya informasi di internet, khususnya
informasi politik68, harus mengandung lima hal yakni information, substantive balance,
diversity, conscientiousness, dan equal consideration. Desain penelitian ini menetapkan
bahwa setidaknya kedelapan hal ini yang akan digunakan sebagai alat ukur untuk melihat
informasi-informasi dalam yang ditulis oleh Kompasianer pada masa Pemilukada DKI
Jakarta 2012.
H. UNIT ANALISIS
Unit analisis merupakan bagian tersendiri yang diberi kode dan kemudian dihitung.
Pada proses ini unit analisis menyediakan cara yang standar untuk menjabarkan teks
menjadi elemen-elemen yang hendak dianalisis. Berger (1998), sebagaimana dikutip oleh
67
James S. Fishkin, When The People Speak: Deliberative Democracy & Public Consultation (New York:
Oxford University Press, 2009) hlm. 33-34, 126, 160.
68
Disebut sebagai informasi politik karena hal yang dimuat dalam informasi tersebut merupakan hal yang
berhubungan dengan politik, baik dari sisi warga, negara, maupun partai politik.
31
Keyton (2006: 236) menyebutkan pentingnya membuat unit analisis. Tanpa unit analisis
yang standar atau seragam, analisis data tidak akan valid dan teks-teks yang dianalisis
kemudian tidak bisa diperbandingkan.
Berdasarkan teori-teori yang dimunculkan dalam kerangka pemikiran, khususnya
mengenai informasi politik, peneliti menyusun unit analisis. Unit analisis ini disusun
berdasarkan indikator kondisi deliberatif yang diungkapkan oleh Fishkin yakni
information, substantive balance, diversity, conscientiousness, dan equal consideration.
Unit Analisis
Information
Kategori
Sub-Kategorisasi
Keakuratan informasi; apakah
 Akurat
informasi disertai dengan data,
 Tidak akurat
undang-undang, atau detail peristiwa
yang relevan dan terkait dengan isu
yang dibicarakan yakni Pilkada DKI
Jakarta 2012
Substantive balance
Sejauh mana argumen yang
ditawarkan oleh seseorang dari satu
perspektif dijawab oleh mereka yang
 Ada dialog yang
bersifat substantif
 Tidak ada dialog
memegang perspektif lain hingga
yang bersifat
memunculkan kesempatan untuk
substantif
berdialog diantara Kompasianer
Diversity
Sejauh mana Kompasianer
 Informasi mewakili
merepresentasikan pilihan politiknya
representasi politik
(Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnana
Kompasianer
atau Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli)
 Informasi tidak
dalam berdiskusi di masa kampanye
mewakili
Pilkada DKI Jakarta 2012
representasi politik
Kompasianer
Conscientiousness
Sejauh mana Kompasianer tulus
 Informasi jadi
mempertimbangkan manfaat dari
referensi untuk
argumen-argumen yang muncul dalam
memilih
32
diskusi
 Informasi tidak jadi
referensi untuk
memilih
Equal consideration
Sejauh mana informasi ditanggapi satu
 Informasi ditanggapi
sama lain
 Informasi diabaikan
I. DEFINISI OPERASIONAL
Pada bagian definisi oprasional peneliti hendak menjelaskan masing-masing bagian
dari unit analisis dan kategori yang dibuat. Singarimbun dan Effendi (ed.) (1989:46)
menjelaskan:
“Definisi operasional adalah suatu informasi ilmiah yang amat membantu
peneliti lain yang ingin menggunakan variabel yang sama.”
Maka selain digunakan sebagai pedoman peneliti untuk tahap analisis, definisi
operasional ini dibuat sebagai referensi penelitian-penelitian dengan tema serupa.
Berikut penjelasan mengenai masing-masing bagian dari unit analisis dan kategori
yang digunakan dalam penelitian:
a. Information
Keakuratan informasi; apakah informasi disertai dengan data, undang-undang, atau
detail peristiwa yang relevan dan terkait dengan isu yang dibicarakan yakni Pilkada
DKI Jakarta 2012.
b. Substantive balance
Sejauh mana argumen yang ditawarkan oleh seseorang dari satu perspektif dijawab
oleh mereka yang memegang perspektif lain hingga memunculkan kesempatan untuk
berdialog diantara Kompasianer.
c. Diversity
Sejauh mana Kompasianer merepresentasikan pilihan politiknya (Joko Widodo-Basuki
Tjahaja Purnana atau Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli) dalam berdiskusi di masa
kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012.
d. Conscientiousness
Sejauh mana Kompasianer tulus mempertimbangkan manfaat dari argument-argumen
yang muncul dalam diskusi
33
e. Equal consideration
Sejauh mana informasi ditanggapi satu sama lain.
J. METODOLOGI PENELITIAN
Ketika penelitian berfokus pada pesan-pesan politik, maka metode penelitian yang
digunakan adalah analisis isi kualitatif. Pilihan seperti ini dapat pula diterapkan untuk
semua jenis isi pesan, termasuk yang ditulis atau dicetak dalam bentuk dokumen, pesan,
film, dan kaset audio yang direkam. Pesan bahkan mungkin dianalisis seketika jika peneliti
hadir pada saat pesan tersebut diproduksi. Menggunakan coders manusia yang terlatih
untuk mengidentifikasi elemen tekstual masih merupakan langkah paling umum dalam
pendekatan analisis isi.
1. Metode Penelitian
Analisis isi dipakai sebagai metode utama untuk mengungkap makna yang
terkandung dalam tiap tulisan politik yang dibuat oleh Kompasianer pada masa kampanye
Pilkada DKI Jakarta 2012, yang terbagi dalam dua putaran yakni putaran pertama (24 Juni
-7 Juli 2012) dan putaran kedua (14-16 September 2012). Makna yang ingin diungkap
dengan kata lain merupakan komponen-komponen substansif dari pesan-pesan politik69.
Dari komponen substantif tersebut dapat dilihat lebih lanjut perilaku tukar-menukar
informasi yang ada apakah sudah mengandung unsur-unsur demokrasi atau tidak,
khususnya dalam tulisan/perbincangan yang ada. Selain itu, metode ini dipilih oleh penulis
sebab analisis isi mampu memberikan gambaran yang sederhana terhadap makna tanpa
narasumber (baca: Kompasianer) tahu bahwa tulisan mereka sedang dianalisis. Sehingga
penelitian analisis isi mampu menekan bias yang mungkin muncul dalam proses penelitian.
Jika para responden diminta penulis untuk mengisi survei, dari perspektif analisis isi, hal
ini adalah penciptaan teks-teks baru yang kemungkinan besar bias oleh kepentingankepentingan peneliti dan tekanan-tekanan yang muncul dalam proses penelitian tersebut 70.
Selanjutnya pendekatan analisis isi yang dipilih oleh penulis adalah analisis isi
deskriptif, yakni analisis isi yang dimaksudkan untuk memberikan gambaran detail suatu
pesan, atau suatu teks tertentu. Dari aspek-aspek yang ditampilkan detail tersebut, sesuai
69
70
Anthony G. Wilhelm, Demokrasi di Era Digital (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 148.
Idem., hlm. 150.
34
dengan tema yang dipilih, akan didapatkan data yang mampu dianalisis lebih lanjut untuk
memunculkan makna71. Makna inilah yang kemudian diinterpretasikan hingga kemudian
memperlihatkan ukuran untuk melihat mutu demokrasi, khususnya dalam melihat perilaku
Kompasianer bertukar informasi politik.
2. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini utamanya dilakukan melalui metode
analisis isi, selain juga wawancara mendalam yang dilakukan untuk menajamkan analisis
yang dilakukan terhadap teks yang ada 72. Analisis isi akan dilakukan pada tulisan-tulisan
yang diposting oleh Kompasianer antara tanggal 24 Juni -7 Juli 2012 dan 14-16 September
2012, khususnya yang bertema politik dalam rangka kampanye Pilkada DKI Jakarta 2012
baik putaran pertama maupun kedua. Analisis ini diterapkan untuk mengetahui sejauh
mana subtansi demokrasi muncul dalam tiap tulisan Kompasianer, baik dalam frekuensi
maupun pola penyampaikan informasi, juga sifat dari informasi politik yang dipertukarkan:
apakah memberi, mencari, menegaskan, atau mencaci informasi seputar kandidat.
3. Analisis dan Interpretasi
Teknik analisis dalam penelitian komunikasi kualitatif pada dasarnya terdiri dari
tiga komponen: reduksi data, penyajian data, dan penarikan serta pengujian kesimpulan.
Ketiganya akan dilakukan dalam penelitian ini dalam konteks metode analisis isi kualitatif.
Oleh karena itu mengawali proses reduksi dan penyajian data akan dilakukan proses
coding (koding) dan categorization (kategorisasi) terlebih dulu terhadap data yang masuk
ke peneliti.
Koding akan dilakukan terhadap postingan masing-masing Kompasianer yang
muncul dalam kolom "PILKADAJAKARTA" pada masa kampanye putaran 1 dan 2
Pilkada DKI Jakarta 2012, berdasarkan lima kriteria kualitas pertukaran informasi yang
disampaikan oleh James S. Fishkin, yakni information, substantive balance, diversity,
conscientiousness, dan equal consideration. Peneliti akan mengidentifikasi tiap tulisan dan
diskusi yang muncul apakah memuat lima kriteria kualitas proses deliberasi (pertukaran
informasi) dari James S. Fishkin. Tulisan yang tidak memuat hal-hal tersebut akan
71
Eriyanto, Analisis Isi: Pengantar Metodologi untuk Penelitian Ilmu Komunikasi dan Ilmu-ilmu Sosial
Lainnya (Jakarta: Kencana, 2011), hlm. 47.
72
Arthur Asa Berger, Media and Communication Research Methods: An Intriduction to Qualitative and
Quantitatives Approaches 2nd Edition (California: Sage Publications, 2011), hlm. 216-217.
35
diabaikan, sedangkan yang memuat akan dilihat lebih lanjut menggunakan kategorisasi
yang ada (lihat tabel unit analisis di atas).
Selanjutnya pada tahap analisis dan interpretasi, peneliti akan menulis hasil analisis
terkait data yang sudah dikoding dan dikategorisasi. Data akan dibandingkan dengan
konsep dan teori yang sudah dipilih dalam penelitian ini, sebagaimana termuat dalam
kerangka pemikiran yang berisi teori-teori yang dipilih oleh peneliti untuk memperjelas
pokok permasalahan yang diangkat, yakni tentang kondisi deliberatif.
36
Download