Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 UJI KEPEKAAN ANTIBIOTIKA VEROTOKSIGENIK E. coli (VTEC) YANG DIISOLASI DARI BEBERAPA PETERNAKAN SAPI PERAH DI JAWA BARAT (Antibiotic Susceptibility Test of Verotoxigenic E. coli (VTEC) Isolated From Some Dairy Farm in West Java) WIDODO SUWITO1 dan R. SETYADJI2 1 Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta Jl. Stadion Baru Maguwoharjo No 22,Karang Sari, Wedomartani, Ngemplak Sleman, Yogyakarta 2) Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor, Jl. RE. Martadinata no 30 Bogor ABSTRACT Verotoxigenic Escherichia coli (VTEC) is one of the strains that are responsible for serious human illnesses. These strain is one of bacteria contaminants in milk. Recently, many antibiotics are used freely in dairy cattle and impact of the use of antibiotic causing resistance. The aim of study is to investigate effectiveness of some antibiotics against VTEC collected from dairy farm in Bogor, Sukabumi dan Cianjur west java using standard national committee for clinical laboratory (NCCLS) disk diffusion. Antibiotic susceptibility test was determined for 2 isolates VTEC O157:H7, 11 isolates VTEC non O157:H7 and 4 isolates hemolytic E. coli. The results demonstrated that one isolate of VTEC O157:H7 from Sukabumi was resistant to Chloramphenicol, Sulfamethoxazole and Tetracycline, while from Bogor only Tetracycline. Three isolates of VTEC non O157:H7 from Sukabumi were resistant to Tetracycline and six isolates VTEC non O157:H7 respectively from Bogor two, Sukabumi three, Cianjur one to Erythromycin. All of isolates were resistant to Bacitracin. Key Words: E. Coli, VTEC O157: H7, Susceptibility, Antibiotic ABSTRAK Verotoksigenik Escherichia coli (VTEC) merupakan salah satu strain yang dapat menimbulkan penyaki serius pada manusia. Strain tersebut merupakan salah satu bakteri cemaran pada susu. Saat ini banyak antibiotika yang digunakan secara bebas pada peternakan sapi perah yang berdampak menimbulkan resistensi. Tujuan penelitian ini adalah untuk menguji kepekaan (VTEC) yang berasal dari peternakan sapi perah di Bogor, Sukabumi dan Cianjur Jawa Barat terhadap beberapa antibiotika dengan metode difusi cakram menurut National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS). Uji kepekaan tersebut dilakukan terhadap dua isolat VTEC O157:H7, 11 isolat VTEC non O157:H7 dan empat isolat E. coli hemolitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa satu isolat VTEC O157:H7 dari Sukabumi resisten terhadap Kloramfenikol, Sulfametoksasol dan Tetrasiklin, sedangkan dari Bogor hanya Tetrasiklin. Tiga isolat VTEC non O157:H7 dari Sukabumi resisten terhadapTetrasiklin dan 6 isolat VTEC non O157:H7 masing-masing dua dari Bogor, Tiga dari Sukabumi dan Satu dari Cianjur resisten terhadap Eritromisin. Semua isolat resisten terhadap Basitrasin. Kata Kunci: E. Coli, VTEC O157:H7, Kepekaan, Antibiotika PENDAHULUAN Antibiotika di kalangan peternak sering digunakan secara bebas tanpa mengetahui indikasi maupun dosis yang tepat untuk pengobatan penyakit ternak. Hal tersebut disebabkan antibiotika mudah diperoleh di 376 poultry shop atau toko obat hewan. Penggunaannya yang tidak terkontrol dapat membahayakan konsumen. Kadang-kadang peternak tidak mengetahui waktu paruh obat serta dosis yang tepat, sehingga menimbulkan residu dalam daging, susu dan telur. Salah satu contoh tindakan peternak yang dapat Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 membahayakan konsumen adalah mencampur susu dari sapi yang sedang mendapatkan pengobatan antibiotika dengan susu dari sapi yang sehat.Akibatnya susu menjadi tidak aman untuk dikonsumsi karena terkontaminasi oleh bakteri dan mengandung residu antibiotika (MURDIATI, 2004). Verotoksigenik Escherichia coli (VTEC) merupakan bakteri yang diisolasi dari saluran pencernaan sapi dan bersifat patogenik. Bakteri ini mempunyai beberapa strain antara lain E. coli O157:H7, E. coli non O157:H7 dan E. coli hemolitik (NATARO dan KAPER, 1998). Infeksi VTEC pada ternak khususnya sapi ada dua bentuk yaitu yang menimbulkan diare pada anak sapi terutama umur dua minggu sampai dua bulan dan sebagai karier terutama pada sapi yang dewasa (NATARO dan KAPER, 1998). Bakteri E. coli hemolitik yang diisolasi dari anak sapi penderita diare dan E. coli K88 dari anak babi termasuk dalam kelompok VTEC (KUSMIYATI dan SUPAR, 1998). Manusia yang terinfeksi VTEC akan mengalami gangguan kesehatan seperti Hemorrhagic Colitis (HC), Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dan Thrombocytopenia Purpura (TPP) (AAPHV, 2000; CHINYU dan BRANDT, 1995). Di Indonesia terdapat kasus Hemolytic Uremic Syndrome (HUS) dan empat dari 9 kasus tersebut meninggal dunia (TAMBUNAN et al., 2001). Kejadian VTEC O157:H7 pada manusia dapat ditularkan melalui makanan, susu, daging dan air. Meskipun di Indonesia belum ada laporan kasus infeksi VTEC O157:H7 melalui makanan namun bakteri tersebut telah berhasil diisolasi dari limbah cair di rumah potong ayam di Tangerang dan Parung (LUSIASTUTI, 1994), daging (PRAMONO, 2000) dan susu (SUWITO, 2009). Pengobatan terhadap infeksi VTEC tidak spesifik, kecuali pengobatan suportif dan manajemen perilaku konsumsi makanan sehingga kasus anemia karena Hemorrhagic Colitis (HC) dan gagal ginjal dapat dihindari. Antibiotik yang dapat digunakan pada infeksi VTEC umumnya sensitif antara lain: Ampisillin, Karbenisillin, Sepalotin, Kloramfenikol, Gentamisin, Kanamisin, Nalidix acid, Norfloksasin, Tetrasiklin, Tikarsilin, Tobramisin, Trimetoprim dan Sulfametoksasol (MCKEE et al., 2003). Pada manusia resistensi antibiotika muncul setelah mengkonsumsi susu atau makanan lain yang mengandung antibiotika dalam jangka waktu tertentu. Resistensi antibiotika pada manusia mengakibatkan tidak efektifnya pemberian antibiotika tersebut oleh dokter apabila terjadi infeksi. Oleh karena itu, perlu dilakukan uji kepekaan terhadap beberapa antibiotika sebagai salah satu aspek yang mempengaruhi kesehatan masyarakat veteriner. MATERI DAN METODE Sampel bakteri Bakteri standar yang digunakan dalam uji kepekaan terhadap antibiotika adalah E. coli ATCC 25922 (NCCLS, 2002). Sampel bakteri yang diisolasi dari peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur diuji kepekaannya terhadap beberapa antibiotika terlihat dalam Tabel 1. Media Bakteri E. coli ditumbuhkan dalam media Tryptic Soy Broth (Difco) dan diinkubasikan Tabel 1. Sampel bakteri yang diisolasi dari peternakan sapi perah di Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur Asal daerah (kabupaten) Strain Total VTEC O157:H7 VTEC non O157:H7 E.coli Hemolitik Bogor 1 4 2 7 Sukabumi 1 6 2 9 Cianjur 0 1 0 1 Total 2 11 4 17 377 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 pada suhu 37C selama 24 jam. Kemudian subkultur pada Nutrien Agar Plate dan diinkubasikan pada suhu 37C selama 24 jam. Koloni yang terpisah diambil dengan alat Ose dimasukkan dalam larutan NaCl Fisiologis, selanjutnya dibuat suspensi sel dengan kekeruhan setara dengan larutan Mac (MC) Farland no 5. Larutan standar MC Farland no 5 dibuat dengan cara mencampurkan larutan BaCl2 1% sebanyak 0,5 ml dengan 9,5 ml larutan H2SO41%. Konsentrasi larutan MC Farland no 5 setara dengan kandungan bakteri 2x109cfu/ml (NCCLS, 2002). Uji kepekaan Uji kepekaan terhadap antibiotika dilakukan dengan cara agar difusi mengunakan kertas cakram (disc) antibiotika yang sudah diketahui konsentrasinya dan hasilnya dibaca menurut standar National Committee for Clinical Laboratory Standards (NCCLS) (NCCLS, 2002). Masing-masing sebanyak 1 ml dari suspensai VTEC O157:H7, VTEC non O157:H7 dan E. coli hemolitik diteteskan pada permukaan media MÜeller Hinton Agar selanjutnya diratakan dan dikeringkan di dalam inkubator selama 10 menit. MÜeller Hinton Agar yang sudah diinokulasi bakteri tersebut selanjutnya ditempeli kertas disc cakram antibiotika, kemudian diinkubasi pada suhu 37°C selama 24 jam. Interpretasi hasil uji kepekaan antibiotika dilakukan menurut petunjuk dari NCCLS (NCCLS, 2002). HASIL DAN PEMBAHASAN Uji kepekaan VTEC O157:H7 dari kabupaten Sukabumi dan Bogor terhadap beberapa antibiotika terlihat pada Tabel 2 dan Gambar 1. Dari Tabel 2 terlihat bahwa isolat VTEC O157:H7 dari kabupaten Bogor resisten terhadap Basitrasin dan Tetrasiklin, sedangkan dari kabupaten Sukabumi resisten terhadap Basitrasin, Kloramfenikol, Sulfametoksasol dan Tertrasiklin. Resistensi Tetrasiklin pada isolat VTEC O157:H7 dari Sukabumi dan Bogor diduga disebabkan karena peternak sering menggunakan antibiotika tersebut untuk mengobati ternaknya tanpa memperhatikan aturan pakai atau dosis yang tepat. Hal ini akan menyebabkan bakteri beradaptasi dengan keberadaan antibiotika tersebut, akibatnya apabila ternak yang sakit dilakukan pengobatan dengan antibiotika tersebut bakteri akan kebal atau resisten. Saat ini antibiotika golongan Tetrasiklin dapat diperoleh dengan mudah di pasaran. Berdasarkan penelitian MENG et al. (1998) VTEC O157:H7 dari peternakan sapi perah di Amerika masih sensitif terhadap Tetrasiklin, sedangkan dari ternak dan manusia diare serta kasus waterborne di Missouri resisten terhadap Tetrasiklin, Streptomisin dan Tabel 2. Uji kepekaan VTEC O157:H7 yang diisolasi dari Kabupaten Bogor dan Sukabumi terhadap beberapa antibiotika Asal isolat Jenis antibiotik Bogor (1 isolat) Sukabumi (1 isolat) Resisten Sensitif Resisten Sensistif Amoksisilin (30 ug) - Basitrasin (10 units) + + - + - + - Ciprofloksasin (1ug) Eritromisin (30 ug) - + - + - + - + Enrofloksasin (5 ug) - + - + Kloramfenikol (30 ug) - + + - Nalidix acid (30 ug) - + - + Sulfametoksasol (100 ug) - + + - Tetrasiklin (30 ug) + - + - Trimetoprim (25 ug) - + - + 378 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Gambar 1. Isolat VTEC O157:H7 dalam media MÜeller Hinton Agar terlihat ada zona bening atau peka terhadap Ciprofloksasin, Enrofloksasin, Amoksisilin dan resisten terhadap Basitrasin (tidak ada zona) Sulfametoksasol. Pada manusia resistensi kelompok Tetrasiklin dapat terjadi karena mengkonsumsi produk ternak yang mengandung residu Tetrasiklin dalam waktu yang lama, disamping itu karena mendapatkan pengobatan Tetrasiklin secara terus menerus. Resistensi antibiotika pada manusia dapat menjadi masalah yang penting karena antibiotika tersebut tidak dapat digunakan lagi untuk pengobatan, sehingga harus dicari antibiotika penggantinya. Resistensi Penisilin, Tetrasiklin, Kloramfenikol dan Streptomisin pada VTEC O157:H7 dari domba dan kambing terjadi apabila memiliki gen verotoksin (VT1) dan (VT2), sedangkan pada babi resisten terhadap Penisilin, Streptomisin dan Kloramfenikol (AZIZAH et al., 2002). Resistensi VTEC O157:H7 dari jus apel pernah dilaporkan oleh (SENKEL et al., 2003) yang menyebutkan bahwa sebanyak 64% isolat resisten terhadap Tetrasiklin dan 57% isolat resisten tehadap Streptomisin. Resistensi merupakan suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel bakteri oleh antibiotika (BRANDER et al., 1991). Tetrasiklin termasuk antibiotika yang bersepektrum luas dengan mekanisme kerja menghambat sintesis protein pada ribosom sub unit 50s dengan jalan menghambat pemasukan aminoasil t-RNA pada fase perpanjangan atau elongasi (BRANDER et al., 1991). Resistensi Kloramfenikol terjadi pada isolat VTEC O157:H7 dari kabupaten Sukabumi Tabel 2. Penyebab risistensi Kloramfenikol pada VTEC O157:H7 diduga penggunaan antibiotika untuk pengobatan ternak dan adanya mutasi genetik. Penggunaan antibiotika dengan dosis yang tidak terkontrol dalam waktu yang lama merupakan salah satu penyebab terjadinya resistensi. Penelitian yang dilakukan oleh MENG et al. (1998) menunjukkan bahwa resistensi Kloramfenikol pada VTEC O157:H7 disebabkan adanya mutasi genetik. Kloramfenikol merupakan antibiotika pilihan untuk penyakit Tifus pada manusia, sehingga antibiotika tersebut tidak dianjurkan untuk ternak (BRANDER et al., 1991). Penyakit Tifus pada manusia tidak mampu lagi diobati dengan Kloramfenikol apabila telah terjadi resisten, sehingga hal ini yang sangat dikhawatirkan. Faktor lain penyebab terjadinya resistensi Kloramfenikol pada VTEC O157:H7 karena bakteri tersebut mampu mengasetilasi antimikroba. Asetilasi antimikroba disebabkan oleh faktor R dalam plasmid (BRANDER et al., 1991). Mutasi genetik pada kasus resistensi dapat diatasi apabila mutasi tersebut bersifat perolehan yaitu 379 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 dengan cara meningkatkan Minimum Inhibitor Concentration (MIC). Resistensi antibiotik dibagi menjadi resistensi alamiah (natural resistance) dan resistensi perolehan. Resistensi alamiah merupakan keadaan dimana antibiotika tidak mampu bekerja dalam spektrum dosis yang biasa maupun yang lebih tinggi. Bakteri yang sebelumnya sensitif terhadap antibiotika tertentu kemudian menjadi resisten, hal ini disebut resistensi perolehan (ABIDIN, 2004). Resistesi perolehan dapat bersifat relatif maupun absolut. Resistensi perolehan yang bersifat relatif ditujukan pada keadaan saat terdapat peningkatan MIC dari suatu bakteri terhadap antibiotika tertentu secara bertahap dari waktu ke waktu. Resistensi perolehan yang bersifat absolut terjadi apabila terdapat mutasi pada bakteri selama dan sesudah pengobatan (ABIDIN, 2004). Resistensi alamiah tidak dapat diatasi dengan meningkatkan dosis antibiotika. Demikian juga dengan resistensi perolehan yang bersifat absolut. Sebaliknya resistensi perolehan yang relatif dapat diatasi dengan meningkatkan dosis antibiotika 2 – 4 kali dosis atau lebih dari MIC bakteri yang resisten. Bakteri VTEC O157:H7 dari Sukabumi resisten terhadap Sulfametoksasol Tabel 2. Resistensi Sulfametoksasol pada VTEC O157:H7 dari kabupaten Sukabumi diduga karena golongan antibiotika tersebut sudah sering digunakan untuk pengobatan ternak atau adanya mutasi genetik. Sifat resistensi antibiotika Sulfametoksasol terdapat dalam plasmid atau DNA ekstra kromosom bakteri (BRANDER et al., 1991). Sifat resistensi dapat dipindahkan ke bakteri lain melalui konjugasi antara bakteri yang resisten kepada bakteri yang belum resisten. Sulfametoksasol merupakan antibiotika golongan sulfa yang bersifat bakteriostatik. Sulfametoksasol bekerja dengan cara menghambat Para amino benzoate acid (PABA), sehingga asam folat tidak terbentuk (BRANDER et al.,1991). Asam folat pada bakteri sangat penting dalam proses metabolisme. Eritromisin merupakan antibiotika golongan makrolide yang bekerja dengan cara menghambat sintesis protein pada ribosom sub unit 50s yaitu menghambat translokasi kompleks tRNA peptida dari lokasi asam amino ke lokasi peptida, akibatnya rantai polipeptida tidak dapat diperpanjang karena lokasi asam amino tidak dapat menerima kompleks tRNA asam amino yang baru (GAN et al., 1987). Uji kepekaan VTEC non O157:H7 dari Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur terhadap beberapa antibiotika terlihat pada Tabel 3. Dari Tabel 3 terlihat bahwa isolat VTEC non O157:H7 dari kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur semuanya resisten terhadap Basitrasin dan sebagian ada yang resisten terhadap Eritromisin. Tabel 3. Uji kepekaan VTEC non O157:H7 yang diisolasi dari Kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur terhadap beberapa antibiotika Asal dan jumlah isolat yang diuji Bogor Sukabumi Cianjur 4 6 1 Jenis antibiotika Hasil uji Resisten Sensitif Resisten Sensitif Resisten Sensitif Amoksisilin (30 ug) Basitrasin (10 units) Ciprofloksasin (1 ug) Eritromisin (30 ug) Enrofloksasin (5 ug) 4 2 - 4 4 2 4 6 3 - 6 6 3 6 1 1 - 1 1 1 Kloramfenikol (30 ug) Nalidix acid (30 ug) Sulfametoksasol (100 ug) - 4 4 4 - 6 6 6 - 1 1 1 Tetrasiklin (30 ug) Trimetoprim (25 ug) - 4 4 3 - 3 6 - 1 1 380 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Resistensi Eritromisin disebabkan karena peternak sering menggunakan antibiotika sebagai campuran dalam pakan ternak atau feed additive dan campuran vitamin dalam air minum ternak. Pemberian pakan dan minum yang dicampur dengan Eritromisin bertujuan untuk memacu pertumbuhan ternak, meningkatkan efisiensi pakan dan mengurangi kejadian infeksi. Selain hal tersebut, resistensi Eritromisin juga disebabkan karena VTEC non O157:H7 dapat juga mengalami mutasi genetik karena pengaruh lingkungan, sehingga resistensinya bersifat perolehan. Resistensi perolehan dapat diatasi dengan cara meningkatkan Minimum Inhibitor Concentration (MIC) sehingga antibiotika tersebut masih dapat digunakan. Bakteri VTEC non O157:H7 memperoleh faktor resistensi melalui tiga jalur yaitu transformasi, tranduksi dan konjugasi (MENG et al., 1998). Transformasi yaitu dengan jalan bakteri memasukkan faktor resistensi langsung dari media dilingkungan sekitarnya. Transduksi terjadi karena faktor resistensi dipindahkan dari bakteri yang resisten ke bakteri yang peka melalui perantara bakteriofage (BRANDER et al.,1991). Konjugasi merupakan perpindahan faktor resisten langsung dari bakteri yang resisten ke bakteri yang masih sensitif sehingga bakteri yang tadinya sensitif menjadi resisten. Faktor yang menentukan sifat resistensi bakteri terhadap antibiotika terdapat pada material genetik (ABIDIN, 2004). Berdasarkan lokasi material genetik resistensi dikenal dua macam yaitu resistensi dalam kromosom dan ekstrakromosom (BRANDER et al.,1991). Bakteri yang semula peka terhadap antibiotika tertentu dapat berubah sifat genetiknya menjadi resisten atau memerlukan kadar hambat minimal yang lebih tinggi. Perubahan sifat genetik terjadi karena bakteri memperoleh material genetik yang membawa sifat resistensi disebut resistensi perolehan. Material resistensi dapat diperoleh dari lingkungan sekitar yang akan berpengaruh terhadap DNA ektra kromosom atau plasmid dan mutasi genetik yang spontan akibat rangsangan dari luar. Faktor resistensi yang dipindahkan terdapat dalam dua bentuk yaitu plasmid dan episom. Plasmid merupakan DNA ekstrakromosom, sedangkan episom merupakan plasmid yang terikat pada DNA kromosom. Plasmid yang berperan dalam resistensi adalah plasmid faktor R. Plasmid ini terdiri dari 2 unit, yaitu segmen RTF (Resistance Transfer Factor) dan determinan-r (unit-r). Segmen RTF berperan dalam perindahan faktor R, sedangkan unit-r berfungsi membawa sifat resistensi terhadap antibiotika tertentu (ABIDIN, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh GAN et al. (1987) mekanisme resistensi antimikroba ada enam yaitu: (1) mikroba mensintesis suatu enzim inaktivator atau penghancur antibiotika, misalnya enzim ßlaktamase (penisilinase) yang bekerja dengan memecahkan cincin ß-laktam penisilin; (2) mikroba mensintesis enzim yang baru untuk menggantikan enzim inaktivator atau penghancur antibiotika yang dihambat kerjanya contohnya golongan Eritromisin; (3) mikroba meningkatkan sintesis metabolit yang bersifat antagonis kompetitif terhadap antibiotika, misalnya peningkatan sintesis PABA oleh mikroba untuk melawan efek sulfonamid; (4) mikroba membentuk jalan metabolisme baru dengan menghindari reaksi metabolisme yang dihambat oleh antibiotika; (5) permeabilitas dinding atau membran sel mikroba menurun; dan (6) perubahan struktur atau komposisi ribosom sel mikroba. Uji kepekaan E. coli hemolitik dari kabupaten Bogor dan Sukabumi terhadap beberapa antibiotika terlihat pada Tabel 4. Dari Tabel 4 terlihat bahwa isolat E. coli hemolitik dari kabupaten Bogor dan Sukabumi semuanya sensitif terhadap beberapa antibiotika kecuali Basitrasin. Hal ini dapat disebabkan karena Basitrasin merupakan antibiotika yang ditambahkan dalam pakan sebagai feed additive yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan atau growth promotor. Dari pengamatan di lapang menunjukkan bahwa konsentrat dari peternakan di Bogor, Sukabumi dan Cianjur mengandung Basitrasin walaupun dalam konsentrasi yang kecil atau sekitar 1 – 10 g/100 kg pakan sebagai feed aditif. Basitrasin merupakan antimikroba yang sering ditambahkan dalam pakan ternak sebagai pemacu pertumbuhan (INFOVET, 1999). Konsumsi pakan yang mengadung Basitrasin dalam jangka waktu yang lama menyebabkan terjadinya resistensi disamping itu akan menimbulkan masalah adanya residu dalam produk ternak. 381 Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 Tabel 4. Uji kepekaan VTEC E. coli hemolitik yang diisolasi dari Kabupaten Bogor dan Sukabumi terhadap beberapa antibiotika Asal dan jumlah isolat yang diuji Bogor Jenis antibiotika Sukabumi 2 2 Hasil uji Resisten Sensitif Resisten Sensitif Amoksisilin (30 ug) - Basitrasin (10 units) 2 2 - 2 - 2 - Ciprofloksasin (1ug) - 2 - 2 Eritromisin (30 ug) - 2 - 2 Enrofloksasin (5 ug) - 2 - 2 Kloramfenikol (30 ug) - 2 - 2 Nalidix acid (30 ug) - 2 - 2 Sulfametoksasol (100 ug) - 2 - 2 Tetrasiklin (30 ug) - 2 - 2 Trimetoprim (25 ug) - 2 - 2 Negara-negara Eropa pada tahun 1999 telah melarang 4 jenis antibiotika untuk dipergunakan sebagai pemacu pertumbuhan yaitu Basitrasin, Virginiamisin, Tilosin dan Spiramisin (INFOVET, 1994). Pemerintah Indonesia belum mengeluarkan peraturan untuk melarang pemakaian keempat antibiotika tersebut dalam bidang peternakan karena akan berdampak terhadap residu antibiotika dalam produk peternakan (INFOVET, 1999). Basitrasin saat ini masih banyak dijumpai dalam pakan ternak, sehingga antibiotika tersebut menimbulkan resisten pada ke tiga jenis isolat yang berasal dari kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Basitrasin merupakan antibiotika yang tidak broad spectrum atau tidak spektrus luas dan hanya sesnsitif untuk bakteri kelompok Gram positif. Resistensi Basitrasin disebabkan karena organ targetnya tidak sesuai, karena Basitrasin hanya bekerja efektif pada bakteri Gram positif. Berdasarkan jenis resistensi, maka resistensi Basitrasin pada ke tiga jenis isolat dari Bogor, Sukabumi dan Cianjur termasuk resistensi alamiah. Resistensi alamiah tidak dapat diatasi dengan meningkatkan dosis dari antibiotika tersebut, sehingga pengobatan 382 menggunakan antibiotika tersebut tidak efektif lagi. KESIMPULAN Isolat VTEC O157:H7 dari Sukabumi resisten terhadap Sulfametoksasol, Kloramfenikol dan Tetrasiklin, sedangkan dari Bogor resisten terhadap Tetrasiklin. Bakteri VTEC non O157:H7 dari kabupaten Bogor, Sukabumi dan Cianjur resisten terhadap Eritromisin, sedangkan resistensi terhadap Tertasiklin hanya dari kabupaten Sukabumi. Semua isolat VTEC O157:H7, VTEC non O157:H7 dan E.coli hemolitik resisten terhadap Basitrasin. Pemakaian antibiotika harus sesuai dengan dosis dan penjualan antibiotika secara bebas harus dicegah sehingga kasus resistensi dapat diminimalisir. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terima kasih disampaikan kepada teknisi Bagian Bakteriologi di Balai Besar Penelitian Veteriner Bogor yang telah membantu selama penelitian berlangsung. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011 DAFTAR PUSTAKA AMERICAN ASSOCIATION OF PUBLIC HEALTH VETERINARIANS [AAPHV]. 2000. Position statement on raw (unpasteurized) milk produk. Public Health Veterinarian Coalition Committee. http://www.avma.org/aaphv/year 2000.htm (27 Juni 2000). ABIDIN, A.N. 2004. Memahami resistensi untuk mengatasi infeksi bakteri. Medika 3(30): 197 – 199. AZIZAH, N., M.K. ASTUTI., D. YUDHABUNTARA dan BUDIHARTA. 2002. Resistensi isolat lokal pembawa gena VT1 dan VT2 asal babi dan domba/kambing terhadap 6 antibiotik. J. Sain. Vet. 20(2): 46 – 51. BRANDER, G.C., D.M. PUGH., R.J. BYWATER and W.L. JENKINS. 1991. Veterinary Applied Pharmacology & Therapeutics. Bailliere Tindall. CHINYU, S.U. and L.J. BRANDT. 1995. Review E. coli O157:H7 Infection in Humans. Ann. Int. Med. 123(9): 698 – 707. GAN, S., R. SETIABUDHY., U. SJAMSUDIN dan S.Z. BUSTAMI. 1987. Farmakologi dan terapi. Bagian Farmakologi Universitas Indonesia, Jakarta. INFOVET. 1994. Kronologi ketentuan penggunaan feed additive di Indonesia. 014: 12. INFOVET. 1999. Mempertanyakan dasar ilmiah pelarangan AGP. 063: 30 – 32. KUSMIYATI dan SUPAR. 1998. E. coli verotoksigenik dari anak sapi perah penderita diare. Pros. Seminar Hasil-Hasil Penelitian Veteriner. Bogor, 18 – 19 Pebruari 1998. hlm. 103 – 108. LUSIASTUTI, A.M. 1994. Pengaruh Klorin Terhadap Daya Hidup dan Profil Resistensi Antibiotika Bakteri Fekal Koliform dan Escherichia coli O157:H7 dari Limbah Cair Rumah Potong Ayam. Tesis. Institut Pertanian Bogor. MENG, J.S., M.P. ZHAO, DOYLE and JOSEPH. 1998. Antibiotic resistance of Escherichia coli O157:H7 and O157:NM isolated from animals, food and human. J. Food. Prot. 61(11): 1511 – 1514. MCKEE, R., R.H. MADEN and A. GILMOUR. 2003. Occurrence of verocytotoxin producing Escherichia coli in dairy and meat processing environment. J. Food. Prot. 66(9): 1576 – 1580. MURDIATI, T.B. 2004. Advanced and Management of Chemical Use in Farm Practices. Proc. of the 4th Asian Conference on the Food, and Nutrition Safety Organized by ILSI, FAO and Bogor Agricultural University. pp. 86 – 96. NATARO, J.P. and J.B. KAPER. 1998. Diarrhegenic Escherichia coli. Clin. Microbiol. Rev. Januari 1(11): 15 – 38. NCCLS (NATIONAL COMMITTEE FOR CLINICAL LABORATORY STANDARDS). 2002. Performance standards for antimicrobial disk susceptibility tests. National Committee for Clinical Laboratory Standards. Villanova. Pa. PRAMONO, F. 2000. Evaluasi Media Pengkayaan Selektif Untuk Mendeteksi Escherichia coli O157:H7 Dalam Daging Giling Lokal. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor, Bogor. SENKEL, I.A., J.R.B. JOLBITADO, Y. ZHANG, D.G. WHITE, S. AYERS and J. MENG. 2003. Isolation and characterization of escherichia coli recovered from Maryland Apple Cider and The Cider Production Environment. J. Food. Prot. 66(12): 2237 – 2244. SUWITO, W. 2009. Escherichia coli verotoksigenik (VTEC) yang diisolasi dari susu sapi. JITV 14(13): 237 – 243. TAMBUNAN, T.P.P. TRIHONO dan S.O. PARADEDE. 2001. Sindrom hemolitik di bagian ilmu kesehatan anak FKUI-RSCM Jakarta. Bull. Penelitian Kesehatan. 29(2): 68 – 75. 383