Pengalaman Rohani Sejati , Sebuah ikhtisar yang ditulis ulang bagi pembaca masa kini, berdasarkan karya klasik “Sebuah Risalah Mengenai Afeksi Religius” (“A Treatise Concerning Religious Affections”) oleh Jonathan Edwards, A.M. (1703-1758) , Karya lengkap ada pada The Banner of Truth Trust, Edinburgh, EH 12 6El. Disusun oleh Dr. N.R. Needham, B.D., Ph.D. Grace Publications Trust Editor Bersama J.P. Arthur, M.A. H.J. Appleby Penerbit Momentum 2003 Copyright © momentum.or.id Pengalaman Rohani Sejati (The Experience that Counts) Oleh: Jonathan Edwards Penerjemah: The Boen Giok dan Stephen CT. Soemampouw Editor: Solomon Yo Tata Letak: Djeffry Desain Sampul: Ricky Setiawan Editor Umum: Solomon Yo Copyright © 1991 by Grace Publications Originally published in English under the title, The Experience that Counts Grace Publications Trust 175 Tower Bridge Road LONDON SE1 2AH England All rights reserved The Original work of this simplified version (A Treatise Concerning Religious Affections) is available from: The Banner Of Truth Trust, The Grey House, 3 Murrayfield Road, Edinburgh, EH12 6EL, Scotland. All rights reserved Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature) Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia. Copyright © 2000 Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275 e-mail: [email protected] Perpustakaan LRII: Katalog dalam Terbitan (KDT) Edwards, Jonathan, Pengalaman Rohani Sejati/Jonathan Edwards, terj. The Boen Giok dan Stephen Soemampouw – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2003. xviii + 144 hlm.; 14 cm. ISBN 979-8131-20-7 1. Pengalaman Agama – Kristen 2. Teologi (Kekristenan) 3. Kebangunan Rohani – Kristen 4. Soteriologi (Kekristenan) 2003 230 (dc20) Cetakan pertama: November 2003 Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab. Copyright © momentum.or.id • Daftar Isi • Prakata Penerbit Pendahuluan Kata Pengantar Bagian Pertama Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan ix xi xv 1 1. Kata Pembuka mengenai Emosi 2. Apakah Emosi Itu? 3. Iman yang Sejati Terutama Bersangkut Paut dengan Emosi 4. Berbagai Macam Emosi 5. Kerohanian yang Sejati Terangkum di dalam Kasih 6. Daud, Paulus, Yohanes, dan Kristus Selaku Teladan dalam Hal Emosi yang Kudus 7. Emosi di dalam Sorga 8. Emosi dan Kewajiban Rohani Kita 9. Emosi dan Kekerasan Hati 10. Pelajaran Apakah yang Dapat Kita Petik dari Semua Ini? 14 18 19 20 21 Bagian Kedua Hal-hal yang BUKAN Merupakan Bukti Bahwa Emosi Kita Timbul dari Suatu Pengalaman Keselamatan Sejati 25 1. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Intensitas dan Dinamikanya 27 Copyright © momentum.or.id 3 5 7 10 13 vi Pengalaman Rohani Sejati 2. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Dampak Fisik yang Ditimbulkan 3. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Kesiapan dan Kesigapan untuk Berbicara tentang Kekristenan 4. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Kenyataan Bahwa Itu Muncul Tanpa Usaha Kita 5. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Adanya Ayat Alkitab yang Mendasari Kemunculannya 6. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Adanya Kasih yang Terdapat di dalamnya 7. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan ditentukan oleh Beragam Emosi yang Kita Alami 8. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Adanya Penghiburan dan Sukacita yang Tampak Menyertainya 9. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Banyaknya Waktu yang Kita Pakai dalam Ibadah Kristen 10. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Kemampuannya Menggerakkan Mulut Kita untuk Memuji Allah 11. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh Kepastian akan Keselamatan yang Ditimbulkannya 12. Rohani Tidaknya Emosi Seseorang Bukan Ditentukan oleh Perubahan Besar yang Terjadi dalam Dirinya Bagian Ketiga Tanda-tanda dari Emosi Rohani Sejati 30 32 34 37 39 41 44 49 51 53 61 65 Kata Pembuka 67 1. Emosi Rohani Sejati Timbul dari Pengaruh Spiritual, Supranatural, dan Ilahi di dalam Hati 68 2. Objek Emosi Rohani Adalah Kecintaan pada Hal-hal Spiritual, Bukan pada Kepentingan Diri Sendiri 79 3. Emosi Rohani Itu Didasarkan pada Kualitas Moral dari Hal-hal Rohani 86 Copyright © momentum.or.id Daftar Isi 4. Emosi Rohani Timbul dari Pemahaman Rohani 5. Emosi Rohani Menghasilkan Keyakinan tentang Realitas Hal-hal Ilahi 6. Emosi Rohani Selalu Hadir Bersamaan dengan Kerendahan Hati yang Rohani 7. Emosi Rohani Selalu Hadir Bersamaan dengan Suatu Perubahan Natur 8. Emosi Rohani Sejati Berbeda dengan yang Palsu dalam Hal Menumbuhkan Keserupaan dengan Kristus dalam Kasih, Kerendahan Hati, Damai Sejahtera, Pengampunan dan Kemurahan Hati 9. Emosi Rohani Sejati Melembutkan Hati dan Tumbuh Bersamaan dengan Roh Lemah Lembut Kristen 10. Emosi Rohani Sejati, Tidak Seperti yang Palsu, Memiliki Keselarasan dan Keseimbangan yang Indah 11. Emosi Rohani Sejati Menumbuhkan Kerinduan untuk Hidup Lebih Kudus, Sebaliknya Emosi yang Palsu Merasa Puas dengan Dirinya Sendiri 12. Buah Emosi Rohani Sejati Adalah Praktik Hidup Kristen 13. Praktik Kehidupan Kristen Merupakan Tanda Utama dari Kesungguhan Suatu Pertobatan yang Dapat Dilihat oleh Orang Lain 14. Praktik Kehidupan Kristen Merupakan Tanda Pertobatan yang Meyakinkan bagi Hati Nurani Orang Tersebut 15. Konklusi Copyright © momentum.or.id vii 90 94 100 105 107 113 115 118 121 129 133 144 • P Kata Pengantar • ERTANYAAN PALING KRUSIAL BAGI MANUSIA, – dan bagi setiap individu personal adalah: Apakah yang menjadi ciri-ciri orang-orang yang diperkenan Allah – orangorang yang sedang menuju ke sorga itu? Ini adalah cara lain untuk bertanya: Apakah natur agama yang sejati itu? Iman seperti apakah yang diterima oleh Allah? Sulit untuk dapat memberikan jawaban yang objektif bagi pertanyaan yang sedemikian kontroversial. Dan lebih sulit untuk dapat menuliskannya secara objektif. Tetapi yang paling sulit adalah untuk dapat membacanya dengan objektif! Mungkin banyak pembaca akan tersinggung melihat saya mengkritik berbagai emosi dan pengalaman religius dalam buku ini. Sementara itu, sebagian pembaca lainnya mungkin akan marah terhadap sejumlah pernyataan dan argumentasi saya. Saya telah berusaha untuk bersikap adil. Adalah tidak mudah untuk mendukung apa yang baik dalam suatu kebangunan rohani, sekaligus mengenali dan menolak apa yang buruk di dalamnya. Meskipun demikian, kita harus melakukan keduanya jika kita ingin menegakkan kerajaan Kristus. Saya harus mengakui bahwa ada sesuatu yang sangat misterius tentang hal ini. Hal terbaik dan terburuk bercampur menjadi satu di dalam Gereja! Sama misteriusnya dengan bercampurnya hal-hal terbaik dan terburuk dalam diri seorang Kristen. Sekalipun Copyright © momentum.or.id xvi Pengalaman Rohani Sejati demikian, tak satu misteri pun yang baru. Bukan hal yang baru bila terdapat iman yang palsu di tengah suatu kebangunan, atau terdapat orang-orang munafik di antara orang-orang beriman sejati. Ini terjadi dalam kebangunan besar pada masa Yosia, seperti yang tercatat dalam Yeremia 3:10 dan 4:3-4. Demikian pula pada masa Yohanes Pembaptis. Yohanes membangunkan segenap umat Israel lewat khotbahnya, namun mayoritas segera terhilang sesudahnya. Yohanes 5:35 menyatakan, “Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika saja cahayanya itu.” Hal serupa terjadi ketika Kristus sendiri berkhotbah. Banyak yang percaya kepada Kristus untuk sesaat lamanya, tetapi hanya sedikit yang setia sampai akhir. Demikian pula halnya ketika para rasul berkhotbah; seperti yang tersirat dalam masalah perpecahan dan ajaran sesat yang timbul dalam gereja pada masa para rasul. Percampuran antara yang sejati dan yang sesat merupakan senjata utama Iblis untuk menyerang kepentingan Kristus. Itulah sebabnya kita harus belajar membedakan antara iman yang sejati dan yang palsu – antara emosi dan pengalaman yang berasal dari keselamatan, dengan tiruannya yang tampak atraktif dan logis, namun menyesatkan. Kegagalan untuk membedakan antara yang sejati dan yang sesat menghasilkan berbagai konsekuensi yang fatal. Sebagai contoh: (i) Banyak orang mempersembahkan ibadah yang penuh kepalsuan ke hadirat Allah dan menganggap itu berkenan kepadaNya, padahal itu justru dibenci-Nya. (ii) Iblis menyebarkan kebohongan kepada banyak orang tentang keberadaan jiwa mereka. Dengan cara demikian, ia menghancurkan mereka selamanya. Dalam sejumlah kasus, Iblis menyesat- Copyright © momentum.or.id Kata Pengantar xvii kan orang dengan membuat mereka menganggap diri mereka kudus, padahal mereka justru paling munafik. (iii) Iblis merusak iman orang-orang percaya sejati. Ia menyemaikan benih kecurangan dan penyimpangan ke dalam hati mereka, sehingga menjadi tawar hati. Ia juga menyesatkan mereka dengan berbagai pencobaan dan kesulitan besar. (iv) Para musuh kekristenan akan makin bersemangat melihat maraknya kecurangan dan kesesatan yang terjadi di dalam Gereja. (v) Orang berbuat dosa sambil membayangkan bahwa mereka sedang melayani Allah. Maka mereka pun mengumbar perbuatan dosa mereka. (vi) Ajaran sesat bahkan menipu para penganut kekristenan dengan secara tidak sengaja melakukan perbuatan para penentang kekristenan. Mereka menghancurkan kekristenan secara jauh lebih efektif dibandingkan para penentang kekristenan, dan menganggap mereka sedang memajukan kekristenan. (vii) Iblis memecah belah umat Kristen dan menebar benih permusuhan di antara mereka. Umat Kristen bertengkar dengan hebatnya, seakan-akan ini sesuai dengan semangat Kristen. Kekristenan terjebak dalam pertengkaran yang sia-sia. Pihak-pihak yang bertikai telah menjadi sedemikian apatis, sehingga jalan tengah hampir-hampir mustahil untuk diupayakan. Tatkala umat Kristen melihat konsekuensi buruk dari penyamaran iman yang palsu sebagai iman yang sejati, mereka menjadi resah. Mereka tidak tahu kemana harus berpihak atau apa yang harus dipikirkan. Orang bahkan mulai mempertanyakan adanya kesejatian dalam kekristenan. Ajaran sesat, kemurtadan, dan ateisme mulai merajalela. Mengingat sejumlah alasan ini, penting bagi kita untuk berupaya keras memahami natur iman yang sejati. Jika tidak, kita ti- Copyright © momentum.or.id xviii Pengalaman Rohani Sejati dak dapat mengharapkan kebangunan dapat terus berlangsung, dan hanya ada sedikit berkat dari debat dan diskusi rohani yang dapat kita harapkan, karena kita bahkan tidak memahami apa yang kita perdebatkan. Melalui buku ini, saya rindu untuk berkontribusi dalam pemahaman mengenai iman yang sejati. Saya ingin menunjukkan natur dan ciri karya Roh Kudus dalam mempertobatkan orang berdosa. Saya juga akan berusaha menunjukkan bagaimana kita dapat membedakan karya Roh Kudus dari semua hal lain yang bukan merupakan pengalaman keselamatan sejati. Jika saya berhasil, saya berharap buku ini dapat menolong dalam mempertumbuhkan kesadaran mengenai kekristenan yang sejati. Kiranya Allah berkenan atas ketulusan usaha saya ini, dan kiranya para pengikut yang setia dari Sang Domba Allah yang lemah lembut dan rendah hati itu menerima persembahan saya dengan pikiran yang terbuka dan doa! Jonathan Edwards Copyright © momentum.or.id • J Pendahuluan • EDWARDS (1703-1758) – teolog terbesar Amerika – menuliskan Risalah mengenai Afeksi Religius-nya dilatarbelakangi oleh peristiwa Kebangunan Besar Pertama (First Great Awakening) sebutan orang Amerika bagi peristiwa yang oleh orang Inggris disebut sebagai Kebangunan Injili (Evangelical Revival). Edwards sendiri memainkan peranan penting dalam peristiwa Kebangunan tersebut selaku pendeta dari sebuah gereja Congregational di Northampton, Massachusetts. Hasrat Edwards untuk membedakan pengalaman religius yang sejati dari yang palsu bersumber dari kepedulian pastoralnya terhadap masalah kebangunan. Ia menyampaikan serial khotbah berdasarkan 1 Petrus 1:8 yang bertemakan hal ini pada tahun 17421743. Risalah ini mulanya merupakan naskah dari serangkaian khotbah itu, yang kemudian direvisi untuk dipublikasikan pada tahun 1746. Edwards menyerang dua kubu. Pertama, ia menyampaikan bantahannya terhadap asumsi bahwa seluruh kebangunan tersebut merupakan sebuah histeria belaka. Kedua, ia memberikan sanggahan terhadap asumsi bahwa seluruh kebangunan tersebut adalah “dari Allah,” betapapun aneh, liar atau tidak proporsionalnya hal itu. Apakah dua reaksi yang bertentangan ini lazim terjadi? ONATHAN Copyright © momentum.or.id xii Pengalaman Rohani Sejati Dalam upaya membuat jalan tengah di antara dua ekstrem yang setara namun berlawanan ini, Edwards menyodorkan sejumlah pertanyaan mendasar: Apa makna menjadi orang Kristen itu? Apakah kekristenan merupakan masalah intelektualitas belaka? Bagaimana halnya dengan kehendak, perasaan, dan pengalaman? Apakah pertobatan itu? Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang sudah bertobat? Bagaimana kita dapat menguji sejati tidaknya sebuah pertobatan? Di manakah peranan kepastian keselamatan dalam pengalaman hidup kekristenan? Pengalaman religius manakah yang layak kita terima dan manakah yang harus kita tolak? Bagaimana kita dapat menguji ketulusan dan realitas iman kita sendiri? Apakah ciri-ciri kemunafikan dan kesesatan religius itu? Kita mungkin tidak hidup pada masa terjadinya kebangunan, namun pertanyaan di atas dan jawaban yang diberikan Edwards atas pertanyaan itu sangat relevan bagi kita saat ini. Perasaan dan pengalaman tampaknya telah terlalu banyak diburu dan didewakan oleh orang Kristen generasi kita ini, seperti belum pernah terjadi sebelumnya. Akibatnya, kerap terjadi bahaya rohani yang tidak proporsional dan tidak rasional. Sebagai respons terhadap hal ini, sebagian orang memilih kembali pada sikap ortodoks yang keras, kaku, dan monoton, mencurigai segala hal yang berbau “emosional.” Di dalam karya Edwards ini kita akan menemukan “sebuah penuntun bagi yang tersesat,” sebuah ekspresi logika spiritual dan alkitabiah yang menuntun kita untuk dengan selamat melewati jerat kesesatan kontemporer dalam hal yang krusial ini. Copyright © momentum.or.id Pendahuluan xiii Suatu Catatan mengenai “Afeksi” dan “Emosi” Kata “afeksi” terdapat dalam judul asli maupun isi buku Edwards. Pada zaman kita sekarang, “afeksi” lebih merujuk pada sejenis kasih. Sementara itu, pada zaman Edwards, istilah ini bermakna lebih luas. Jadi, saya memutuskan untuk menggantinya dengan istilah “emosi,” sebagai sebuah kata modern yang bermakna paling dekat dengan istilah “afeksi.” The Oxford English Dictionary memberikan tiga belas definisi bagi istilah “afeksi.” Definisi ke-2 dan ke-5 menunjukkan bahwa asumsi Edwards ketika menggunakan kata “afeksi” adalah: suatu “emosi” atau “perasaan;” “keadaan pikiran terhadap sesuatu; ‘disposisi’ terhadap suatu hal.” Bagi Edwards, “emosi” lebih menunjuk pada dorongan kehendak. Pada Bagian Pertama, bab 2, Edwards dengan jelas mendefinisikan emosi sebagai dorongan kehendak yang lebih intens, kuat dan aktif. Dengan intelek atau rasio, kita “melihat” sesuatu; sedangkan dengan kehendak, kita menyukai atau tidak menyukai apa yang kita lihat itu. Jadi, “emosi” selalu melibatkan baik intelek maupun kehendak kita. Bagi Edwards, “emosi” semata-mata berarti sebuah respons kuat dari hati terhadap apa yang dilihat oleh intelek kita – baik yang berupa hasrat, harapan, sukacita, kasih, antusiasme, belas kasihan, dukacita, ketakutan, kemarahan, ataupun kebencian. Edwards menyebut respons kuat dari hati ini sebagai “afeksi.” Saya menyebutnya sebagai “emosi.” Sepanjang kita mengingat asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan Edwards, perbedaan sebutan ini tidak akan banyak berpengaruh. Tetapi mengingat kecenderungan menyempitnya makna kata “afeksi” dewasa ini, penggunaan kata “emosi” untuk menggantikannya diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya salah penafsiran. Semen- Copyright © momentum.or.id xiv Pengalaman Rohani Sejati tara itu, kata “afeksi” dalam ikhtisar ini lebih mengacu pada pengertian modernnya, yaitu “kasih.” N.R.N. Edinburgh 1991 Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 3 , 1. Kata Pembuka mengenai Emosi S antara orang-orang Kristen dan Kristus, Rasul Petrus menyatakan: “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan” (1 Petrus 1:8). Seperti dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya, orang-orang percaya yang menerima surat kiriman Rasul Petrus ini sedang menderita aniaya. Di sini, Petrus menjelaskan bagaimana kekristenan mempengaruhi mereka selama mereka menderita aniaya. Ia menyebutkan dua ciri utama kesejatian mereka sebagai orang Kristen: (i) Kasih terhadap Kristus. “Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya.” Orang-orang nonKristen takjub melihat kesiapan orang-orang Kristen dalam menghadapi penderitaan dan mengabaikan kesenangan serta kenikmatan dunia ini. Dalam pandangan orang-orang yang belum percaya, orang Kristen tampak seperti tidak waras. Mereka seperti membenci diri mereka sendiri. Orang-orang yang belum percaya tidak melihat alasan yang dapat memotivasi mereka untuk menanggung penderitaan. Sesungguhnya, orang-orang Kristen bukan melihat dengan mata jasmaniah mereka. Mereka mengasihi pribadi yang tidak mereka lihat! Mereka mengasihi Yesus Kristus, karena mereka melihat-Nya secara rohaniah, dan bukan secara jasmaniah. EHUBUNGAN DENGAN RELASI Copyright © momentum.or.id 4 Pengalaman Rohani Sejati (ii) Sukacita dalam Kristus. Meskipun penderitaan jasmaniah mereka luar biasa berat, sukacita rohaniah mereka lebih besar daripada penderitaan mereka. Sukacita ini meneguhkan mereka dan memampukan mereka untuk menanggung derita dengan penuh sukacita. Petrus mencatat dua hal berkenaan dengan sukacita ini. Pertama, ia memberitahukan sumbernya kepada kita, yakni: dari iman. “Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak terkatakan.” Kedua, ia mengungkapkan natur dari sukacita ini: “yang mulia dan yang tidak terkatakan.” Ini adalah sukacita yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena begitu berbeda dengan sukacita dari dunia ini. Sukacita ini murni dan sorgawi. Tidak ada kata-kata yang dapat mengungkapkan kesempurnaan dan keindahannya. Sukacita ini juga tidak terkatakan limpahnya, karena Allah dengan penuh kemurahan melimpahkannya kepada umatNya yang sedang menderita. Kemudian Petrus menyatakan sukacita ini sebagai sesuatu “yang mulia.” Sukacita ini memenuhi pikiran orang-orang Kristen, bagaikan cahaya kemuliaan. Sukacita ini bukanlah sukacita yang merusak akal budi – seperti kebanyakan sukacita duniawi – tetapi sukacita yang memberikan pada akal budi kita kemuliaan dan kehormatan. Orang-orang Kristen yang mengalami penderitaan saling berbagi dalam sukacita sorgawi. Sukacita ini memenuhi pikiran mereka dengan cahaya kemuliaan Allah dan menjadikan mereka bercahaya oleh kemuliaan itu. Doktrin yang sedang diajarkan Petrus kepada kita itu berbunyi: iman yang sejati itu terutama terdapat dalam emosi yang kudus (lihat catatan khusus mengenai emosi dalam bagian Pendahuluan – N.R.N.) Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 5 Petrus menyebutkan emosi rohani kasih dan sukacita, ketika ia mendeskripsikan pengalaman orang-orang Kristen ini. Ingatlah, ia berbicara tentang orang-orang percaya yang menderita aniaya. Penderitaan mereka memurnikan iman mereka, sehingga “memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1 Petrus 1:7). Jadi, mereka berada dalam kondisi rohani yang sehat dan Petrus menekankan kasih dan sukacita mereka sebagai bukti dari kesehatan rohani mereka. , 2. Apakah Emosi Itu? Sehubungan dengan hal ini, mungkin akan ditanyakan: “Apa sebenarnya yang Anda maksud dengan emosi?” Saya akan menjawabnya demikian: “Emosi adalah suatu gerakan yang lebih hidup dan intens dari kecenderungan hati dan kehendak.” Allah telah memberikan dua kekuatan utama dalam jiwa manusia. Kekuatan yang pertama adalah pengertian (understanding), yang dengannya kita menguji dan menilai sesuatu. Sementara itu, kekuatan yang kedua memampukan kita untuk melihat sesuatu, bukan dengan mengamatinya secara apatis, melainkan dengan menyukai atau tidak menyukainya, puas atau tidak puas terhadapnya, menerima atau menolaknya. Kita kadangkala menyebut kekuatan kedua ini sebagai kecenderungan (inclination) hati. Terkait dengan pengambilan keputusan, kita lazim menyebutnya sebagai kehendak (will). Ketika kemudian, pikiran Copyright © momentum.or.id 6 Pengalaman Rohani Sejati menjalankan kehendak atau kecenderungan hatinya, kita biasa menyebutnya hati. Manusia bertindak berdasarkan kehendaknya dalam dua cara: (i) Kita dapat bergerak mendekati hal-hal yang kita lihat, dengan cara menyukai dan menyetujuinya. (ii) Kita dapat menjauhi hal-hal yang kita lihat dan menolaknya. Manifestasi kehendak ini, tentu bervariasi tingkatannya. Ada beberapa kecenderungan menyukai ataupun tidak menyukai yang menggerakkan kita hanya sedikit melampaui batas apatis total. Ada beberapa tingkatan lain dimana kecenderungan menyukai atau tidak menyukai terasa lebih kuat, sedemikian kuat hingga membuat kita bergerak secara energik dan efektif. Gerakan yang lebih energik dan intens dari kehendak inilah yang kita sebut sebagai emosi. Kehendak dan emosi kita bukanlah dua hal yang berbeda. Perbedaan antara emosi pengambilan keputusan secara spontan itu hanyalah dalam hal energi dan intensitasnya. Meskipun demikian, saya akui bahwa bahasa tidak mampu mengungkapkan perbedaan kedua hal ini dengan sempurna. Di satu pihak, emosi hati itu sama dengan kehendak hati, dan kehendak tidak akan pernah berubah dari apatis menjadi bersemangat, kecuali perasaannya tergugah. Meskipun demikian ada banyak manifestasi kehendak yang tidak kita sebut sebagai emosi. Perbedaannya bukan terletak pada hakikatnya, tetapi pada intensitas dan cara kehendak itu dimanifestasikan. Dalam setiap manifestasi kehendak, kita dapat menyukai atau tidak menyukai apa yang kita lihat. Kesukaan kita pada sesuatu, jika bersifat energik dan intens adalah identik dengan emosi kasih, sedangkan ketidaksukaan kita pada sesuatu adalah identik dengan benci. Dalam setiap manifestasi kehendak terhadap sesuatu, dalam derajat tertentu, kita memiliki kecenderungan Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 7 (inclination) terhadap hal itu; dan jika kecenderungan tersebut kuat, kita menyebutnya sebagai hasrat (desire). Dalam setiap manifestasi kehendak dimana kita menyetujui sesuatu, berlaku suatu tingkatan kesukaan; jika kesukaan ini besar, kita menyebutnya sukacita (joy) atau kesukaan (delight). Dan ketika kehendak kita tidak menyukai sesuatu, kita akan mengalami ketidaksukaan; jika ketidaksukaan ini besar, kita menyebutnya kesedihan (grief) atau dukacita (sorrow). Setiap manifestasi kehendak berkaitan dengan menyetujui dan menyukai, atau tidak menyetujui dan menolak. Jadi, emosi kita itu ada dua macam. Ada emosi yang membawa kita mendekati apa yang kita lihat, berpaut padanya atau mencarinya. Emosi ini meliputi kasih, hasrat, pengharapan, sukacita, ucapan syukur, dan kesenangan. Selain itu, ada emosi yang membuat kita menjauhi apa yang kita lihat dan melawannya; ini meliputi kebencian, ketakutan, kemarahan, dan dukacita. , 3. Iman yang Sejati Terutama Bersangkut Paut dengan Emosi Siapa dapat menyangkal bahwa iman yang sejati itu terutama terdapat di dalam emosi – suatu dorongan hati yang lebih bersemangat dan energik? Kerohanian yang dituntut Allah bukanlah sejenis kerohanian yang terdiri dari kehendak yang lemah, mandul, dan pasif, yang membawa kita hanya sedikit melampaui batas apatis total. Dalam firman-Nya, Allah terus-menerus mengingatkan agar kita memiliki kerajinan serta kesungguhan rohani, dan hati yang berkobar bagi Kristus. Hendaklah “rohmu menyala- Copyright © momentum.or.id 8 Pengalaman Rohani Sejati nyala dan layanilah Tuhan” (Roma 12:11). “Maka sekarang, hai orang Israel, apakah yang dimintakan daripadamu oleh Tuhan, Allahmu, selain dari takut akan Tuhan, Allahmu, hidup menurut segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (Ulangan 10:12). “Dengarlah, hai orang Israel: Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5). Kerohanian sejati yang memiliki hati yang sungguh dan bersemangat merupakan hasil dari sunat rohani, atau kelahiran baru, yang bersamanya tersedia janji-janji kehidupan. “Dan Tuhan Allahmu akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga engkau mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup” (Ulangan 30:6). Jika kita tidak bersungguh-sungguh dengan kekristenan kita, dan kehendak kita tidak aktif ataupun energik, maka kita ini bukanlah apa-apa. Realitas rohani adalah sedemikian besar, hingga hanya respons yang energik dan kuat dari hati kita saja yang layak baginya. Sedemikian pentingnya manifestasi kehendak dalam hal-hal rohani, hingga melebihi hal-hal yang lain. Kerohanian yang sejati itu kekuatannya sangat besar, dan kekuatannya pertama-tama muncul dalam hati. Itulah sebabnya Kitab Suci menyebut kerohanian yang sejati sebagai “kekuatan ibadah,” yang sama sekali berbeda dengan penampakan yang hanyalah bentuk luarnya – “secara lahiriah mereka menjalankan ibadah mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya” (2 Timotius 3:5). Roh Kudus adalah Roh yang penuh kuasa dari emosi kudus yang terdapat dalam diri orang-orang Kristen sejati. Itulah sebabnya Kitab Suci menyatakan bahwa Allah telah memberikan kepada kita roh “yang membangkitkan kekuatan, Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 9 kasih, dan ketertiban” (2 Timotius 1:7). Tatkala kita menerima Roh Kudus, Kitab Suci menyatakan bahwa kita dibaptis “dengan Roh Kudus dan dengan api” (Matius 3:11). “Api” ini melambangkan emosi kudus yang dikaruniakan Roh di dalam diri kita, sehingga hati kita “berkobar-kobar” (Lukas 24:32). Kitab Suci beberapa kali membandingkan relasi kita dalam hal-hal rohani dengan aktivitas-aktivitas sekuler yang dilakukan orang dengan giat. Misalnya berlari (1 Korintus 9:24), bergulat (Efesus 6:12), bertekun untuk meraih hadiah (Wahyu 2:10), melawan musuh yang kuat (1 Petrus 5:8-9) dan berjuang dalam peperangan total (1 Timotius 1:18). Anugerah, tentu saja, mempunyai tingkatannya sendiri, dan ada orang-orang Kristen yang lemah, yang manifestasi kehendaknya terhadap hal-hal rohani pun cenderung lemah. Walaupun demikian, setiap emosi Kristen yang sejati terhadap Allah akan lebih kuat dibandingkan emosi berdosa atau alamiahnya. Setiap murid Kristus yang sejati akan mengasihi-Nya lebih dari “bapanya, ibunya, isterinya, anakanaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri” (Lukas 14:26). Allah Sang Pencipta bukan hanya memberikan emosi kepada kita, tetapi juga telah menjadikan emosi kita sebagai pendorong utama berbagai tindakan kita. Kita tidak membuat suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan, kecuali dipengaruhi oleh kasih, kebencian, hasrat, pengharapan, ketakutan, ataupun emosi lainnya. Ini berlaku untuk hal-hal sekuler maupun rohani. Itulah sebabnya banyak orang yang mendengar firman Allah mengajarkan hal-hal yang mutlak penting kepada mereka – mengenai Allah dan Kristus, dosa dan keselamatan, sorga dan neraka – namun tetap tidak berubah dalam sikap dan perilaku mereka. Alasannya sederhana: apa yang mereka dengar tidak mempengaruhi mereka. Itu tidak menyentuh emosi mereka. Sungguh, saya Copyright © momentum.or.id 10 Pengalaman Rohani Sejati berani menyatakan bahwa tidak akan ada kebenaran rohani yang dapat mengubah sikap atau perilaku seseorang, kecuali hal tersebut menyentuh emosinya. Tidak seorang pendosa pun yang akan merindukan keselamatan, tidak seorang Kristen pun akan bangun dari kebekuan spiritual, kecuali kebenaran mempengaruhi hatinya. Demikianlah signifikansi emosi! , 4. Berbagai Macam Emosi Seluruh Kitab Suci menempatkan kerohanian yang sejati terutama di dalam emosi kita – dalam rasa takut, pengharapan, kasih, kebencian, hasrat, sukacita, dukacita, ucapan syukur, belas kasihan, dan kerajinan. Mari kita memperhatikan hal-hal ini sejenak. Takut. Kitab Suci menyatakan bahwa takut akan Allah merupakan intisari kerohanian yang sejati. Sebutan yang kerap diberikan Kitab Suci kepada orang percaya ialah “orang yang takut akan Allah”, atau kaum “yang takut akan Tuhan.” Itulah sebabnya, kesalehan sejati lazim disebut sebagai “takut akan Allah.” Pengharapan. Berharap kepada Allah dan janji-Nya, menurut Kitab Suci, adalah bagian yang penting dari kerohanian yang sejati. Rasul Paulus menyebut pengharapan sebagai salah satu dari ketiga unsur pembentuk kerohanian yang sejati (1 Korintus 13:13). Pengharapan merupakan ketopong prajurit Kristus: “Dan berketopongkan pengharapan keselamatan” (1 Tesalonika 5:8). Pengharapan juga adalah sauh bagi jiwa: “Pengharapan ini adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa” (Ibrani 6:19). Dan adakalanya perpaduan dari takut dan pengharapan kepada Allah mengindikasikan karakter orang percaya sejati: “Sesungguhnya, Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 11 mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada mereka yang berharap akan kasih setia-Nya” (Mazmur 33:18). Kasih. Kitab Suci menempatkan kerohanian yang sejati terutama di dalam emosi kasih: mengasihi Allah, mengasihi Yesus Kristus, mengasihi umat Allah, dan mengasihi seluruh umat manusia. Ayat-ayat yang mengajarkan hal ini tak terhitung jumlahnya dan saya akan membahas hal ini dalam bagian selanjutnya. Sekalipun demikian, kita juga harus memperhatikan bahwa Kitab Suci berbicara mengenai emosi kebencian yang menjadi lawan dari emosi kasih – membenci dosa – sebagai bagian penting dari kerohanian yang sejati. “Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan” (Amsal 8:13). Sesuai dengan itu Kitab Suci mengajak orang-orang percaya untuk membuktikan ketulusan mereka melalui ini: “Hai orang-orang yang mengasihi Tuhan, bencilah kejahatan!” (Mazmur 97:10). Hasrat (desire). Kitab Suci sering menyebut hasrat yang kudus sebagai bagian penting dari kerohanian yang sejati. Hasrat ini dimanifestasikan dalam kerinduan, rasa lapar dan haus akan Allah dan kekudusan. “Kesukaan kami ialah menyebut namaMu” (Yesaya 26:8). “Jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair” (Mazmur 63:2). “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Matius 5:6). Sukacita. Kitab Suci berbicara tentang sukacita sebagai bagian penting dari kerohanian yang sejati. “Bersukacitalah karena Tuhan, hai orang-orang benar” (Mazmur 97:12). “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4). “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, ....” (Galatia 5:22). Dukacita. Kitab Suci menyatakan bahwa dukacita rohani, penyesalan dosa, dan kehancuran hati, merupakan bagian penting Copyright © momentum.or.id 12 Pengalaman Rohani Sejati dari kerohanian yang sejati. “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Matius 5:4). “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mazmur 51:19). “Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia, yang bersemayam untuk selamanya dan Mahakudus nama-Nya: ‘Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk menghidupkan hati orang-orang yang remuk’” (Yesaya 57:15). Ucapan syukur (gratitude). Emosi rohani lain yang sering disebutkan dalam Kitab Suci adalah ucapan syukur, khususnya yang dinyatakan melalui pujian kepada Allah. Emosi ini sedemikian sering muncul – terutama di dalam Mazmur – hingga saya tidak perlu lagi memberikan kutipan teksnya. Belas kasihan (mercy). Kitab Suci sering kali menyatakan bahwa belas kasihan atau kemurahan hati merupakan bagian penting dari kerohanian yang sejati. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pengampunan adalah salah satu tuntutan terpenting dalam perintah Allah: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka sakan beroleh kemurahan” (Matius 5:7). “Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan” (Matius 23:23). Meneladani Yesus Kristus, Rasul Paulus juga menekankan pentingnya hal ini: “Karena itu, sebagai orangorang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan ...” (Kolose 3:12). Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 13 Kerajinan (zeal). Kitab Suci menyatakan bahwa kerajinan rohani merupakan bagian penting dari kerohanian yang sejati. Melalui kematian-Nya di atas kayu salib, Kristus telah mengisyaratkan hal ini: “yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Titus 2:14). Saya hanya mengutip sedikit dari begitu banyak teks yang mengaitkan kerohanian yang sejati dengan emosi kita. Jika ingin menyangkali kenyataan ini, orang harus membuang Kitab Suci dan mencari standar lain yang dapat digunakan untuk menilai natur kerohanian yang sejati. , 5. Kerohanian yang Sejati Terangkum di dalam Kasih Kasih adalah yang terutama dari semua emosi. Inilah yang diajarkan Tuhan Yesus ketika Ia ditanya mengenai hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 22:37-40). Rasul Paulus mengajarkan hal yang sama: “kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10). “Tujuan nasihat itu ialah kasih yang timbul dari hati yang suci” (1 Timotius 1:5). Dalam 1 Korintus 13, Paulus berbicara mengenai kasih sebagai hal yang Copyright © momentum.or.id 14 Pengalaman Rohani Sejati terutama dalam kekristenan – jiwa dan roh dari kekristenan – yang tanpanya, segala pengetahuan dan karunia dan mujizat menjadi tidak berguna. Ini membuktikan bahwa kerohanian yang sejati terutama terletak di dalam emosi kita. Sebab kasih bukanlah sekadar salah satu emosi, melainkan emosi yang terutama dari semuanya dan (bisa dikatakan) sumber dari emosi-emosi lainnya. Dari kasihlah timbulnya kebencian – kebencian terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang kita kasihi. Dari kasih yang aktif, hangat, dan berkobar-kobar kepada Allah, akan timbul emosi rohani lainnya: kebencian terhadap dosa; takut tidak diperkenan Allah; syukur kepada Allah atas kebaikan-Nya; sukacita di dalam Allah ketika kita merasakan kehadiran-Nya; dukacita ketika kita merasakan ketidakhadiran-Nya; pengharapan akan kesukaan di dalam Allah di masa yang akan datang; kerajinan demi kemuliaan Allah. Demikian pula, kasih kepada sesama manusia akan memunculkannya perasaan-perasaan positif lainnya terhadap mereka. , 6. Daud, Paulus, Yohanes, dan Kristus Selaku Teladan dalam Hal Emosi yang Kudus Kerohanian dari orang-orang kudus yang paling terkemuka dalam Kitab Suci adalah kerohanian yang ditandai dengan emosi yang kudus. Secara khusus saya akan menyoroti tiga orang kudus, dan juga Tuhan mereka, untuk menunjukkan kebenaran ini. Pertama, kita akan memperhatikan Raja Daud – orang yang diperkenan Allah – yang telah memberikan kepada kita gambar- Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 15 an yang hidup tentang kerohaniannya dalam kitab Mazmur. Nyanyian-nyanyian kudus di dalam kitab tersebut semata-mata merupakan ungkapan emosi yang kudus dan tulus. Di dalamnya kita melihat kasih akan Allah yang tulus dan setia, penghargaan terhadap kesempurnaan-Nya mulia dan karya-Nya yang ajaib, serta hasrat dan haus akan Allah. Kita melihat kesukaan dan kebahagiaan di dalam Allah, ucapan syukur yang tulus dan sungguhsungguh atas kebaikan-Nya, sukacita yang kudus atas pertolongan, kesempurnaan, dan kesetiaan-Nya. Kita melihat kasih dan sukacita umat Allah, kesukaan di dalam firman dan ketetapan Allah, dukacita atas dosa Daud mau pun dosa orang-orang lain, serta kesungguhan bagi Allah dan melawan musuh Allah. Ekspresi emosi yang kudus dalam kitab Mazmur ini sangat relevan bagi kita. Mazmur bukan sekadar mengungkapkan kerohanian seorang yang saleh yang bernama Daud, tetapi Roh Kudus juga menginspirasikannya bagi setiap orang percaya untuk menyanyikannya dalam ibadah, baik pada zaman Raja Daud maupun sesudahnya. Selanjutnya, mari kita memperhatikan Rasul Paulus. Kitab Suci menggambarkannya sebagai seorang pria dengan kehidupan emosi yang telah sangat bertumbuh terutama berkenaan dengan emosi kasih. Ini dengan jelas tercermin dalam surat-surat yang ditulisnya. Sejenis kasih yang tulus kepada Kristus seakan-akan membakar, bahkan menghanguskannya. Ia menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang yang telah dikuasai oleh emosi yang kudus ini, didorong olehnya untuk terus melayani tanpa memedulikan segala kesulitan dan penderitaan (2 Korintus 5:14-15). Dan surat-suratnya pun penuh dengan curahan kasih kepada jemaat Tuhan. Ia menyebut mereka “saudara-saudaraku yang kekasih” (2 Korintus 12:19, Filipi 4:1, 2 Timotius 1:2), dan menyatakan kasih sayang serta kepeduliannya terhadap mereka (1 Copyright © momentum.or.id 16 Pengalaman Rohani Sejati Tesalonika 2:7-8). Ia berulang kali mengungkapkan hasrat kasih dan kerinduannya kepada mereka. (Roma 1:11, Filipi 1:8, 1 Tesalonika 2:8, 2 Timotius 1:4). Rasul Paulus sering kali mengungkapkan emosi sukacita. Ia menyatakan kegembiraannya dengan sangat bersukacita (Filipi 4:10, Filemon 7), menyatakan perasaan terhiburnya dengan lebih bersukacita (2 Korintus 7:13), dan senantiasa bersukacita (2 Korintus 6:10). Bacalah juga 2 Korintus 1:12; 7:7,9,16, Filipi 1:4; 2:1-2; 3:3, Kolose 1:24, 1 Tesalonika 3:9. Ia juga berbicara tentang harapannya (Filipi 1:20), cemburu ilahinya (2 Korintus 11:2-3), dan air mata kesedihannya (Kisah Para Rasul 20:19,31 dan 2 Korintus 2:4). Ia menuliskan dukacitanya yang mendalam dan kesedihan hatinya yang terus-menerus atas ketidakpercayaan orang Yahudi (Roma 9:2). Dan saya tidak perlu menyebut komitmen spiritualnya, yang telah dengan jelas terlihat dalam seluruh kehidupannya sebagai rasul dari Kristus. Jika orang mampu memahami penjelasan mengenai Rasul Paulus ini, namun tidak melihat bahwa kerohanian Paulus adalah kerohanian yang terdiri dari emosi, maka ia pasti memiliki kemampuan aneh untuk memejamkan matanya rapat-rapat melawan cahaya menyilaukan yang disorotkan ke wajahnya! Rasul Yohanes juga serupa dengan Rasul Paulus. Dalam berbagai surat yang ditulisnya, jelas terlihat bahwa ia memiliki kehidupan emosi yang sangat istimewa. Melalui suratnya, ia menyapa jemaat Tuhan dengan cara yang sangat lembut dan mesra. Surat-suratnya memancarkan kasih yang begitu hangat, seolaholah menegaskan keberadaan sang penulis sebagai pribadi yang penuh dengan kasih yang manis dan kudus. Saya tidak dapat membuktikan hal ini, kecuali saya mengutip seluruh isi suratnya! Dan Pribadi yang lebih besar dari semuanya adalah Yesus Kristus sendiri, yang benar-benar lembut dan pengasih itu. Ia Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 17 mengekspresikan “kebenaran – keadilan-Nya” di dalam emosi yang kudus. Ia memiliki kasih yang paling sungguh, dinamis, dan intens – seperti yang belum pernah ada sebelumnya – baik kepada Allah maupun manusia. Kasih yang kudus inilah yang menang di Getsemani, tatkala Ia bergumul dalam kegentaran dan penderitaan, dan tatkala hati-Nya “sangat sedih, seperti mau mati rasanya” (Matius 26:38). Kita melihat bahwa Yesus memiliki kehidupan emosi yang kuat dan mendalam semasa hidup-Nya di bumi. Kita membaca tentang komitmen-Nya terhadap Allah: “Cinta untuk rumah-Mu menghanguskan Aku” (Yohanes 2:17). Kita membaca tentang kepedihan hati-Nya melihat dosa manusia: “Ia berdukacita karena kedegilan mereka” (Markus 3:5). Ia bahkan menangis tatkala memikirkan dosa dan penderitaan orang-orang kafir di Yerusalem, “Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu, Ia menangisinya, kata-Nya: ‘Wahai betapa baiknya jika pada hari ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu!’” (Lukas 19:41-2). Kita sering kali membaca mengenai rasa iba dan belas kasihan yang dirasakan Tuhan Yesus; lihat Matius 9:36; 14:14; 15:32, Markus 6:34, Lukas 7:13. Betapa tersentuhnya hati Yesus tatkala Lazarus meninggal! Betapa penuh kasih kata-kata perpisahan yang Ia ucapkan kepada murid-murid-Nya pada malam sebelum Ia disalibkan! Di antara seluruh perkataan manusia, perkataan Kristus yang diucapkan-Nya dalam Injil Yohanes 13-16 adalah yang paling menyentuh dan penuh kasih. Copyright © momentum.or.id 18 Pengalaman Rohani Sejati , 7. Emosi di dalam Sorga Tidak diragukan lagi, ada kerohanian yang sejati di dalam sorga. Kerohanian sorgawi itu benar-benar murni dan mutlak sempurna. Menurut gambaran mengenai sorga yang diberikan Kitab Suci kepada kita, kerohanian sorgawi terutama bersangkut paut dengan kasih dan sukacita, yang diungkapkan dalam pujian yang paling tulus dan mulia. Jadi, kerohanian orang-orang kudus di sorga pada dasarnya merupakan penyempurnaan kerohanian orang-orang kudus di dunia. Anugerah masa kini merupakan fajar kemuliaan masa yang akan datang. Firman dalam 1 Korintus 13 menyatakan hal ini. Jadi jika kerohanian sorgawi adalah sebuah kerohanian emosi, maka setiap kerohanian yang sejati juga harus merupakan sebuah kerohanian emosi. Cara memahami hakikat dari suatu hal adalah dengan mencari tahu hal itu di dalam keadaannya yang paling murni/sempurna. Ini berarti, kita harus mengarahkan pikiran kita ke sorga, jika bermaksud memahami hakikat dari kerohanian yang sejati. Ini dikarenakan semua orang yang benar-benar rohani itu bukan berasal dari dunia ini. Mereka adalah kaum pendatang di dunia ini, yang berasal dari sorga. Mereka datang dari atas dan sorga adalah tempat mereka berasal. Natur yang mereka peroleh dari kelahiran sorgawi mereka adalah sebuah natur sorgawi. Kehidupan rohani yang sejati di dalam hati orang percaya merupakan sebuah bibit kerohanian sorgawi, dan Allah mempersiapkan kita menuju sorga melalui suatu bentuk penyesuaian diri dengan hal tersebut. Jadi jika kerohanian sorgawi adalah sebuah kerohanian emosi, maka kerohanian kita di dunia ini pun haruslah demikian. Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 19 , 8. Emosi dan Kewajiban Rohani Kita Kita dapat melihat signifikansi emosi rohani dari sejumlah kewajiban yang telah ditetapkan Allah sebagai ungkapan-ungkapan ibadah. Doa. Melalui doa, kita menyatakan kesempurnaan, kemuliaan, kekudusan, kebaikan, dan kecukupan-diri (all-sufficiency) Allah, sekaligus juga kehampaan dan ketidaklayakan kita, serta keinginan dan kebutuhan kita. Tetapi untuk apa kita berdoa? Bukan untuk memberitahukan semua hal ini kepada Allah, karena Ia sudah mengetahuinya, dan pasti bukan untuk mengubah rencanaNya dan membujuk-Nya agar memberkati kita. Kita menyatakan hal-hal tersebut demi menggerakkan dan mempengaruhi hati kita sendiri dengan apa yang kita nyatakan, dan dengan cara demikian, mempersiapkan diri kita sendiri untuk menerima berkatberkat yang kita mintakan kepada-Nya. Pujian. Kewajiban untuk menyanyikan puji-pujian kepada Allah tampaknya tidak ada tujuan lain kecuali untuk membangkitkan dan mengungkapkan emosi rohani. Satu-satunya alasan Allah memerintahkan kita untuk mengungkapkan diri kita kepada-Nya melalui puisi dan prosa ataupun lagu dan kata-kata adalah karena ketika kebenaran ilahi diungkapkan melalui puisi dan lagu, ada suatu kecenderungan yang dimaksudkan untuk mempengaruhi kita dan menggerakkan emosi kita. Baptisan dan Perjamuan Kudus. Hal yang sama berlaku untuk baptisan dan Perjamuan Kudus. Secara alamiah, hal-hal yang bersifat fisik dan visibel itu sangat mempengaruhi kita. Oleh karena itu, Allah bukan sekadar menetapkan agar kita mendengar Copyright © momentum.or.id 20 Pengalaman Rohani Sejati Injil melalui firman-Nya, tetapi juga memerintahkan kita untuk melihat Injil yang dimanifestasikan di depan mata kita melalui berbagai simbol yang kelihatan, agar hal tersebut dapat lebih mempengaruhi kita. Manifestasi visibel dari Injil ini adalah baptisan dan Perjamuan Kudus. Khotbah. Alasan utama Allah menetapkan adanya khotbah di Gereja adalah untuk menanamkan kebenaran ilahi ke dalam hati dan emosi kita. Tidaklah cukup bagi kita untuk sekadar memiliki berbagai buku teologi dan tafsiran yang baik. Semua itu memang membawa pencerahan bagi pemahaman kita, namun mereka tidak memiliki kuasa yang sama seperti halnya khotbah dalam menggerakkan kehendak kita. Allah memakai kekuatan bahasa lisan untuk menanamkan kebenaran-Nya ke dalam hati kita dengan cara yang lebih spesifik dan hidup. , 9. Emosi dan Kekerasan Hati Hal lain yang membuktikan bahwa kerohanian yang sejati itu terutama terletak di dalam emosi adalah bahwa Kitab Suci sering menyebut dosa sebagai “kekerasan hati.” Mari kita memperhatikan kutipan-kutipan di bawah ini: “Ia berdukacita karena kedegilan mereka, dan dengan marah Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka” (Markus 3:5). “Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku. Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 21 Empat puluh tahun Aku jemu kepada angkatan itu, maka kataKu: ‘Mereka suatu bangsa yang sesat hati’” (Mazmur 95:7-10). “Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalanMu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak takut kepada-Mu?” (Yesaya 63:17a). “Ia menegarkan tengkuknya dan mengeraskan hatinya dan tidak berbalik kepada TUHAN, Allah Israel” (2 Tawarikh 36:13b). Selain kutipan-kutipan tersebut, perhatikan pula bahwa Kitab Suci mendefinisikan pertobatan sebagai “menjauhkan dari tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang taat” (Yehezkiel 11:19; 36:26). Jadi, hati yang keras ialah hati yang tidak mudah disentuh atau digerakkan oleh emosi rohani. Hati itu telah membatu – dingin, tidak peka, tidak memedulikan Allah maupun kekudusan. Ini berbeda dengan hati yang lembut, yang memiliki perasaan dan mudah tersentuh atau tergerak. Kesimpulannya adalah, kekudusan hati itu terutama terdiri dari emosi rohani. , 10. Pelajaran Apakah yang Dapat Kita Petik dari Semua Ini? (i) Dari hal ini, kita belajar betapa besar kekeliruan mengabaikan semua emosi rohani dengan asumsi bahwa itu hal yang remeh. Kekeliruan ini dapat timbul setelah terjadinya suatu kebangunan rohani. Karena berbagai emosi dinamis yang dialami banyak orang itu begitu cepat hilang, orang mulai mengecilkan arti segala bentuk emosi rohani, seolah-olah kekristenan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan semua itu. Copyright © momentum.or.id 22 Pengalaman Rohani Sejati Ekstrem yang lain adalah menganggap semua emosi religius yang dinamis sebagai tanda dari suatu pertobatan sejati, tanpa memeriksa natur dan asal-usul emosi-emosi tersebut. Jika seseorang terlihat antusias dan fasih dalam membicarakan hal-hal rohani, orang akan menyimpulkan dia sebagai seorang Kristen sejati. Iblis berupaya keras mendorong kita dari satu ekstrem ke ekstrem lainnya. Ketika melihat emosi sedang menggejala, Iblis pun segera menaburkan benih lalang di antara gandum. Ia mencampuradukkan emosi palsu dengan karya sejati Roh Allah. Dengan cara ini, Iblis menipu dan terus-menerus menghancurkan banyak orang, membingungkan orang percaya sejati, dan merusak kekristenan. Dan ketika efek berdosa dari emosi palsu itu terungkap, Iblis pun mengubah srateginya. Sekarang, ia mencoba membujuk banyak orang agar meyakini bahwa semua emosi rohani itu sama sekali tidak berarti. Dengan cara demikian, ia mencoba menyingkirkan segala hal yang berbau spiritual dari hati kita, dan menjadikan kekristenan sebuah formalitas yang mati. Sikap yang benar adalah tidak menolak semua emosi, demikian juga tidak menerima semuanya, melainkan memilah-milahnya. Kita hendaknya menerima yang baik, dan menolak yang buruk. Kita harus memisahkan gandum dari lalang, sanga dari emas, yang berharga dari yang tidak berharga. (ii) Jika kerohanian yang sejati terletak di dalam emosi kita, maka kita harus menghargai hal-hal yang memunculkan emosi di dalam diri kita. Kita selayaknya menginginkan buku dan khotbah dan doa dan lagu pujian yang dapat mengubahkan hati kita. Jangan salah mengerti. Maksud saya, hal-hal seperti ini adakalanya dapat menggerakkan emosi orang-orang yang tidak beriman dan tidak berhikmat, tanpa membawa kebaikan apa pun bagi jiwa mereka. Ini disebabkan karena hal-hal seperti ini sangat Copyright © momentum.or.id Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan 23 mungkin untuk membangkitkan emosi-emosi yang tidak spiritual ataupun kudus. Dengan demikian, harus ada penjelasan yang tuntas dan pemahaman yang akurat mengenai kebenaran spiritual di dalam buku rohani, khotbah, doa, maupun lagu pujian kita. Setelah itu, kita baru dapat meyakini bahwa semakin baik hal-hal tersebut menggerakkan emosi kita, semakin baik pula semua hal tersebut. (iii) Jika kerohanian yang sejati terletak di dalam emosi kita, maka kita mempunyai alasan kuat untuk merasa malu bila realitas spiritual ternyata tidak mempengaruhi kita dengan lebih baik. Allah telah memberi kita emosi, untuk maksud yang serupa dengan potensi kita yang lain – untuk menggenapi tujuan utama manusia, dan relasinya dengan Allah. Tetapi betapa mudah emosi manusia dipengaruhi oleh hal-hal yang lain, kecuali oleh realitas spiritual! Berkenaan dengan hal-hal lahiriah, kesenangan duniawi, reputasi, dan relasi alamiah mereka – dalam hal-hal ini, hasrat mereka berkobar-kobar, kasih mereka hangat, dan kerajinan mereka bergelora. Namun betapa tidak peka dan tidak antusiasnya kebanyakan orang terhadap hal-hal spiritual! Dalam hal demikian, kasih mereka dingin, hasrat mereka padam, dan ucapan syukur mereka sedikit sekali. Mereka dapat duduk dan mendengar tentang kasih Allah yang tak terbatas di dalam Yesus Kristus, tentang penderitaan dan kematian Kristus bagi orang-orang berdosa, dan keselamatan oleh darah-Nya dari hukuman kekal di neraka menuju sukacita kekal di sorga – dengan tetap dingin dan apatis! Tetapi apalagi yang dapat menggerakkan emosi kita, kalau bukan kebenaran-kebenaran ini? Mungkinkah ada hal lain yang lebih penting, lebih ajaib, atau lebih relevan? Bolehkah orang Kristen berpikir bahwa Injil Yesus Kristus yang mulia tidak lagi menggerakkan dan membangkitkan emosi manusia? Copyright © momentum.or.id 24 Pengalaman Rohani Sejati Allah telah merencanakan penebusan kita sedemikian rupa sehingga peristiwa itu mampu menyingkapkan semua kebenaran paling agung dengan penuh kuasa dan keajaiban. Kepribadian dan kehidupan manusia Yesus Kristus menyingkapkan kemuliaan dan keindahan Allah dalam cara yang paling menyentuh, melampaui yang dapat dipikirkan manusia. Sebagaimana halnya salib menunjukkan kasih Yesus bagi orang berdosa dengan cara yang paling menggetarkan, demikian pula salib membukakan kebusukan natur dosa kita dengan cara yang paling menggentarkan. Sebab, kita melihat efek mematikan dari dosa-dosa kita yang ditanggungkan atas Yesus, melalui pengorbanan-Nya di atas kayu salib. Di salib jugalah, kita melihat penyataan paling menggentarkan dari kebencian Allah terhadap dosa, serta keadilan dan murka-Nya dalam penghukuman-Nya. Meski Putra Tunggal-Nya yang sangat dikasihi-Nya itu sendiri yang menanggung dosa ganti kita, Allah tetap membinasakan-Nya. Betapa hebatnya keadilan Allah, dan betapa dahsyatnya murka kudus-Nya! Dan betapa dalam rasa malu kita seharusnya, bila ternyata hal-hal semacam itu tidak banyak mempengaruhi kita! Copyright © momentum.or.id