Pengalaman Rohani Sejati - Momentum Christian Literature

advertisement
Pengalaman Rohani Sejati
,
Sebuah ikhtisar yang ditulis ulang bagi pembaca masa kini,
berdasarkan karya klasik
“Sebuah Risalah Mengenai Afeksi Religius”
(“A Treatise Concerning Religious Affections”)
oleh Jonathan Edwards, A.M. (1703-1758)
,
Karya lengkap ada pada The Banner of Truth Trust,
Edinburgh, EH 12 6El.
Disusun oleh Dr. N.R. Needham, B.D., Ph.D.
Grace Publications Trust
Editor Bersama J.P. Arthur, M.A.
H.J. Appleby
Penerbit Momentum
2003
Copyright © momentum.or.id
Pengalaman Rohani Sejati
(The Experience that Counts)
Oleh: Jonathan Edwards
Penerjemah: The Boen Giok dan Stephen CT. Soemampouw
Editor: Solomon Yo
Tata Letak: Djeffry
Desain Sampul: Ricky Setiawan
Editor Umum: Solomon Yo
Copyright © 1991 by Grace Publications
Originally published in English under the title,
The Experience that Counts
Grace Publications Trust
175 Tower Bridge Road
LONDON SE1 2AH
England
All rights reserved
The Original work of this simplified version (A Treatise Concerning Religious
Affections) is available from:
The Banner Of Truth Trust,
The Grey House, 3 Murrayfield Road,
Edinburgh, EH12 6EL, Scotland.
All rights reserved
Hak cipta terbitan bahasa Indonesia pada
Penerbit Momentum (Momentum Christian Literature)
Andhika Plaza C/5-7, Jl. Simpang Dukuh 38-40, Surabaya 60275, Indonesia.
Copyright © 2000
Telp.: +62-31-5472422; Faks.: +62-31-5459275
e-mail: [email protected]
Perpustakaan LRII: Katalog dalam Terbitan (KDT)
Edwards, Jonathan,
Pengalaman Rohani Sejati/Jonathan Edwards, terj. The Boen Giok dan
Stephen Soemampouw – cet. 1 – Surabaya: Momentum, 2003.
xviii + 144 hlm.; 14 cm.
ISBN 979-8131-20-7
1. Pengalaman Agama – Kristen 2. Teologi (Kekristenan)
3. Kebangunan Rohani – Kristen 4. Soteriologi (Kekristenan)
2003
230 (dc20)
Cetakan pertama: November 2003
Hak cipta dilindungi oleh Undang-Undang. Dilarang mengutip, menerbitkan kembali, atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apa pun dan dengan cara apa pun untuk tujuan komersial tanpa
izin tertulis dari penerbit, kecuali kutipan untuk keperluan akademis, resensi, publikasi, atau kebutuhan
nonkomersial dengan jumlah tidak sampai satu bab.
Copyright © momentum.or.id
•
Daftar Isi
•
Prakata Penerbit
Pendahuluan
Kata Pengantar
Bagian Pertama
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
ix
xi
xv
1
1. Kata Pembuka mengenai Emosi
2. Apakah Emosi Itu?
3. Iman yang Sejati Terutama Bersangkut Paut
dengan Emosi
4. Berbagai Macam Emosi
5. Kerohanian yang Sejati Terangkum di dalam Kasih
6. Daud, Paulus, Yohanes, dan Kristus Selaku Teladan
dalam Hal Emosi yang Kudus
7. Emosi di dalam Sorga
8. Emosi dan Kewajiban Rohani Kita
9. Emosi dan Kekerasan Hati
10. Pelajaran Apakah yang Dapat Kita Petik dari Semua Ini?
14
18
19
20
21
Bagian Kedua
Hal-hal yang BUKAN Merupakan Bukti Bahwa Emosi Kita
Timbul dari Suatu Pengalaman Keselamatan Sejati
25
1. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Intensitas dan Dinamikanya
27
Copyright © momentum.or.id
3
5
7
10
13
vi
Pengalaman Rohani Sejati
2. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Dampak Fisik yang Ditimbulkan
3. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Kesiapan dan Kesigapan untuk Berbicara
tentang Kekristenan
4. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Kenyataan Bahwa Itu Muncul Tanpa Usaha Kita
5. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Adanya Ayat Alkitab yang Mendasari Kemunculannya
6. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Adanya Kasih yang Terdapat di dalamnya
7. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan ditentukan oleh
Beragam Emosi yang Kita Alami
8. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Adanya Penghiburan dan Sukacita yang
Tampak Menyertainya
9. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Banyaknya Waktu yang Kita Pakai dalam Ibadah Kristen
10. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Kemampuannya Menggerakkan Mulut Kita
untuk Memuji Allah
11. Rohani Tidaknya Emosi Kita Bukan Ditentukan oleh
Kepastian akan Keselamatan yang Ditimbulkannya
12. Rohani Tidaknya Emosi Seseorang Bukan Ditentukan
oleh Perubahan Besar yang Terjadi dalam Dirinya
Bagian Ketiga
Tanda-tanda dari Emosi Rohani Sejati
30
32
34
37
39
41
44
49
51
53
61
65
Kata Pembuka
67
1. Emosi Rohani Sejati Timbul dari Pengaruh Spiritual,
Supranatural, dan Ilahi di dalam Hati
68
2. Objek Emosi Rohani Adalah Kecintaan pada Hal-hal Spiritual,
Bukan pada Kepentingan Diri Sendiri
79
3. Emosi Rohani Itu Didasarkan pada Kualitas Moral dari
Hal-hal Rohani
86
Copyright © momentum.or.id
Daftar Isi
4. Emosi Rohani Timbul dari Pemahaman Rohani
5. Emosi Rohani Menghasilkan Keyakinan tentang Realitas
Hal-hal Ilahi
6. Emosi Rohani Selalu Hadir Bersamaan dengan
Kerendahan Hati yang Rohani
7. Emosi Rohani Selalu Hadir Bersamaan dengan
Suatu Perubahan Natur
8. Emosi Rohani Sejati Berbeda dengan yang Palsu dalam
Hal Menumbuhkan Keserupaan dengan Kristus dalam
Kasih, Kerendahan Hati, Damai Sejahtera,
Pengampunan dan Kemurahan Hati
9. Emosi Rohani Sejati Melembutkan Hati dan Tumbuh
Bersamaan dengan Roh Lemah Lembut Kristen
10. Emosi Rohani Sejati, Tidak Seperti yang Palsu,
Memiliki Keselarasan dan Keseimbangan yang Indah
11. Emosi Rohani Sejati Menumbuhkan Kerinduan
untuk Hidup Lebih Kudus, Sebaliknya Emosi yang Palsu
Merasa Puas dengan Dirinya Sendiri
12. Buah Emosi Rohani Sejati Adalah Praktik Hidup Kristen
13. Praktik Kehidupan Kristen Merupakan Tanda Utama dari
Kesungguhan Suatu Pertobatan yang Dapat Dilihat
oleh Orang Lain
14. Praktik Kehidupan Kristen Merupakan Tanda Pertobatan
yang Meyakinkan bagi Hati Nurani Orang Tersebut
15. Konklusi
Copyright © momentum.or.id
vii
90
94
100
105
107
113
115
118
121
129
133
144
•
P
Kata Pengantar
•
ERTANYAAN PALING KRUSIAL BAGI MANUSIA,
– dan bagi
setiap individu personal adalah: Apakah yang menjadi
ciri-ciri orang-orang yang diperkenan Allah – orangorang yang sedang menuju ke sorga itu? Ini adalah cara lain untuk
bertanya: Apakah natur agama yang sejati itu? Iman seperti apakah yang diterima oleh Allah?
Sulit untuk dapat memberikan jawaban yang objektif bagi
pertanyaan yang sedemikian kontroversial. Dan lebih sulit untuk
dapat menuliskannya secara objektif. Tetapi yang paling sulit adalah untuk dapat membacanya dengan objektif! Mungkin banyak
pembaca akan tersinggung melihat saya mengkritik berbagai emosi dan pengalaman religius dalam buku ini. Sementara itu, sebagian pembaca lainnya mungkin akan marah terhadap sejumlah pernyataan dan argumentasi saya. Saya telah berusaha untuk bersikap
adil. Adalah tidak mudah untuk mendukung apa yang baik dalam
suatu kebangunan rohani, sekaligus mengenali dan menolak apa
yang buruk di dalamnya. Meskipun demikian, kita harus melakukan keduanya jika kita ingin menegakkan kerajaan Kristus.
Saya harus mengakui bahwa ada sesuatu yang sangat misterius tentang hal ini. Hal terbaik dan terburuk bercampur menjadi
satu di dalam Gereja! Sama misteriusnya dengan bercampurnya
hal-hal terbaik dan terburuk dalam diri seorang Kristen. Sekalipun
Copyright © momentum.or.id
xvi
Pengalaman Rohani Sejati
demikian, tak satu misteri pun yang baru. Bukan hal yang baru
bila terdapat iman yang palsu di tengah suatu kebangunan, atau
terdapat orang-orang munafik di antara orang-orang beriman sejati. Ini terjadi dalam kebangunan besar pada masa Yosia, seperti
yang tercatat dalam Yeremia 3:10 dan 4:3-4. Demikian pula pada
masa Yohanes Pembaptis. Yohanes membangunkan segenap umat
Israel lewat khotbahnya, namun mayoritas segera terhilang sesudahnya. Yohanes 5:35 menyatakan, “Ia adalah pelita yang menyala dan yang bercahaya dan kamu hanya mau menikmati seketika
saja cahayanya itu.” Hal serupa terjadi ketika Kristus sendiri berkhotbah. Banyak yang percaya kepada Kristus untuk sesaat lamanya, tetapi hanya sedikit yang setia sampai akhir. Demikian pula
halnya ketika para rasul berkhotbah; seperti yang tersirat dalam
masalah perpecahan dan ajaran sesat yang timbul dalam gereja
pada masa para rasul.
Percampuran antara yang sejati dan yang sesat merupakan
senjata utama Iblis untuk menyerang kepentingan Kristus. Itulah
sebabnya kita harus belajar membedakan antara iman yang sejati
dan yang palsu – antara emosi dan pengalaman yang berasal dari
keselamatan, dengan tiruannya yang tampak atraktif dan logis, namun menyesatkan.
Kegagalan untuk membedakan antara yang sejati dan yang sesat menghasilkan berbagai konsekuensi yang fatal. Sebagai contoh:
(i) Banyak orang mempersembahkan ibadah yang penuh kepalsuan ke hadirat Allah dan menganggap itu berkenan kepadaNya, padahal itu justru dibenci-Nya.
(ii) Iblis menyebarkan kebohongan kepada banyak orang tentang keberadaan jiwa mereka. Dengan cara demikian, ia menghancurkan mereka selamanya. Dalam sejumlah kasus, Iblis menyesat-
Copyright © momentum.or.id
Kata Pengantar
xvii
kan orang dengan membuat mereka menganggap diri mereka
kudus, padahal mereka justru paling munafik.
(iii) Iblis merusak iman orang-orang percaya sejati. Ia menyemaikan benih kecurangan dan penyimpangan ke dalam hati mereka, sehingga menjadi tawar hati. Ia juga menyesatkan mereka dengan berbagai pencobaan dan kesulitan besar.
(iv) Para musuh kekristenan akan makin bersemangat melihat
maraknya kecurangan dan kesesatan yang terjadi di dalam Gereja.
(v) Orang berbuat dosa sambil membayangkan bahwa mereka
sedang melayani Allah. Maka mereka pun mengumbar perbuatan
dosa mereka.
(vi) Ajaran sesat bahkan menipu para penganut kekristenan
dengan secara tidak sengaja melakukan perbuatan para penentang
kekristenan. Mereka menghancurkan kekristenan secara jauh lebih
efektif dibandingkan para penentang kekristenan, dan menganggap
mereka sedang memajukan kekristenan.
(vii) Iblis memecah belah umat Kristen dan menebar benih
permusuhan di antara mereka. Umat Kristen bertengkar dengan
hebatnya, seakan-akan ini sesuai dengan semangat Kristen. Kekristenan terjebak dalam pertengkaran yang sia-sia. Pihak-pihak
yang bertikai telah menjadi sedemikian apatis, sehingga jalan tengah hampir-hampir mustahil untuk diupayakan.
Tatkala umat Kristen melihat konsekuensi buruk dari penyamaran iman yang palsu sebagai iman yang sejati, mereka menjadi
resah. Mereka tidak tahu kemana harus berpihak atau apa yang harus dipikirkan. Orang bahkan mulai mempertanyakan adanya kesejatian dalam kekristenan. Ajaran sesat, kemurtadan, dan ateisme
mulai merajalela.
Mengingat sejumlah alasan ini, penting bagi kita untuk berupaya keras memahami natur iman yang sejati. Jika tidak, kita ti-
Copyright © momentum.or.id
xviii
Pengalaman Rohani Sejati
dak dapat mengharapkan kebangunan dapat terus berlangsung, dan
hanya ada sedikit berkat dari debat dan diskusi rohani yang dapat
kita harapkan, karena kita bahkan tidak memahami apa yang kita
perdebatkan.
Melalui buku ini, saya rindu untuk berkontribusi dalam pemahaman mengenai iman yang sejati. Saya ingin menunjukkan
natur dan ciri karya Roh Kudus dalam mempertobatkan orang berdosa. Saya juga akan berusaha menunjukkan bagaimana kita dapat
membedakan karya Roh Kudus dari semua hal lain yang bukan
merupakan pengalaman keselamatan sejati. Jika saya berhasil,
saya berharap buku ini dapat menolong dalam mempertumbuhkan
kesadaran mengenai kekristenan yang sejati.
Kiranya Allah berkenan atas ketulusan usaha saya ini, dan
kiranya para pengikut yang setia dari Sang Domba Allah yang
lemah lembut dan rendah hati itu menerima persembahan saya
dengan pikiran yang terbuka dan doa!
Jonathan Edwards
Copyright © momentum.or.id
•
J
Pendahuluan
•
EDWARDS (1703-1758) – teolog terbesar
Amerika – menuliskan Risalah mengenai Afeksi Religius-nya dilatarbelakangi oleh peristiwa Kebangunan
Besar Pertama (First Great Awakening) sebutan orang Amerika
bagi peristiwa yang oleh orang Inggris disebut sebagai Kebangunan Injili (Evangelical Revival). Edwards sendiri memainkan
peranan penting dalam peristiwa Kebangunan tersebut selaku
pendeta dari sebuah gereja Congregational di Northampton,
Massachusetts.
Hasrat Edwards untuk membedakan pengalaman religius yang
sejati dari yang palsu bersumber dari kepedulian pastoralnya terhadap masalah kebangunan. Ia menyampaikan serial khotbah berdasarkan 1 Petrus 1:8 yang bertemakan hal ini pada tahun 17421743. Risalah ini mulanya merupakan naskah dari serangkaian
khotbah itu, yang kemudian direvisi untuk dipublikasikan pada
tahun 1746.
Edwards menyerang dua kubu. Pertama, ia menyampaikan
bantahannya terhadap asumsi bahwa seluruh kebangunan tersebut
merupakan sebuah histeria belaka. Kedua, ia memberikan sanggahan terhadap asumsi bahwa seluruh kebangunan tersebut adalah
“dari Allah,” betapapun aneh, liar atau tidak proporsionalnya hal
itu. Apakah dua reaksi yang bertentangan ini lazim terjadi?
ONATHAN
Copyright © momentum.or.id
xii
Pengalaman Rohani Sejati
Dalam upaya membuat jalan tengah di antara dua ekstrem
yang setara namun berlawanan ini, Edwards menyodorkan sejumlah pertanyaan mendasar: Apa makna menjadi orang Kristen itu?
Apakah kekristenan merupakan masalah intelektualitas belaka?
Bagaimana halnya dengan kehendak, perasaan, dan pengalaman?
Apakah pertobatan itu? Bagaimana kita mengetahui bahwa seseorang sudah bertobat? Bagaimana kita dapat menguji sejati tidaknya sebuah pertobatan? Di manakah peranan kepastian keselamatan dalam pengalaman hidup kekristenan? Pengalaman religius manakah yang layak kita terima dan manakah yang harus kita tolak?
Bagaimana kita dapat menguji ketulusan dan realitas iman kita
sendiri? Apakah ciri-ciri kemunafikan dan kesesatan religius itu?
Kita mungkin tidak hidup pada masa terjadinya kebangunan,
namun pertanyaan di atas dan jawaban yang diberikan Edwards
atas pertanyaan itu sangat relevan bagi kita saat ini. Perasaan dan
pengalaman tampaknya telah terlalu banyak diburu dan didewakan
oleh orang Kristen generasi kita ini, seperti belum pernah terjadi
sebelumnya. Akibatnya, kerap terjadi bahaya rohani yang tidak
proporsional dan tidak rasional. Sebagai respons terhadap hal ini,
sebagian orang memilih kembali pada sikap ortodoks yang keras,
kaku, dan monoton, mencurigai segala hal yang berbau “emosional.”
Di dalam karya Edwards ini kita akan menemukan “sebuah
penuntun bagi yang tersesat,” sebuah ekspresi logika spiritual dan
alkitabiah yang menuntun kita untuk dengan selamat melewati
jerat kesesatan kontemporer dalam hal yang krusial ini.
Copyright © momentum.or.id
Pendahuluan
xiii
Suatu Catatan mengenai “Afeksi” dan “Emosi”
Kata “afeksi” terdapat dalam judul asli maupun isi buku Edwards.
Pada zaman kita sekarang, “afeksi” lebih merujuk pada sejenis
kasih. Sementara itu, pada zaman Edwards, istilah ini bermakna
lebih luas. Jadi, saya memutuskan untuk menggantinya dengan
istilah “emosi,” sebagai sebuah kata modern yang bermakna paling dekat dengan istilah “afeksi.”
The Oxford English Dictionary memberikan tiga belas definisi bagi istilah “afeksi.” Definisi ke-2 dan ke-5 menunjukkan
bahwa asumsi Edwards ketika menggunakan kata “afeksi” adalah:
suatu “emosi” atau “perasaan;” “keadaan pikiran terhadap sesuatu;
‘disposisi’ terhadap suatu hal.”
Bagi Edwards, “emosi” lebih menunjuk pada dorongan kehendak. Pada Bagian Pertama, bab 2, Edwards dengan jelas mendefinisikan emosi sebagai dorongan kehendak yang lebih intens,
kuat dan aktif. Dengan intelek atau rasio, kita “melihat” sesuatu;
sedangkan dengan kehendak, kita menyukai atau tidak menyukai
apa yang kita lihat itu. Jadi, “emosi” selalu melibatkan baik intelek
maupun kehendak kita. Bagi Edwards, “emosi” semata-mata berarti sebuah respons kuat dari hati terhadap apa yang dilihat oleh
intelek kita – baik yang berupa hasrat, harapan, sukacita, kasih,
antusiasme, belas kasihan, dukacita, ketakutan, kemarahan, ataupun kebencian.
Edwards menyebut respons kuat dari hati ini sebagai “afeksi.”
Saya menyebutnya sebagai “emosi.” Sepanjang kita mengingat
asumsi yang melatarbelakangi pembicaraan Edwards, perbedaan
sebutan ini tidak akan banyak berpengaruh. Tetapi mengingat kecenderungan menyempitnya makna kata “afeksi” dewasa ini,
penggunaan kata “emosi” untuk menggantikannya diharapkan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya salah penafsiran. Semen-
Copyright © momentum.or.id
xiv
Pengalaman Rohani Sejati
tara itu, kata “afeksi” dalam ikhtisar ini lebih mengacu pada pengertian modernnya, yaitu “kasih.”
N.R.N.
Edinburgh 1991
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
3
,
1. Kata Pembuka mengenai Emosi
S
antara orang-orang Kristen dan Kristus, Rasul Petrus menyatakan: “Sekalipun
kamu belum pernah melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang
tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia
dan yang tidak terkatakan” (1 Petrus 1:8).
Seperti dijelaskan dalam ayat-ayat sebelumnya, orang-orang
percaya yang menerima surat kiriman Rasul Petrus ini sedang
menderita aniaya. Di sini, Petrus menjelaskan bagaimana kekristenan mempengaruhi mereka selama mereka menderita aniaya. Ia
menyebutkan dua ciri utama kesejatian mereka sebagai orang
Kristen:
(i) Kasih terhadap Kristus. “Sekalipun kamu belum pernah
melihat Dia, namun kamu mengasihi-Nya.” Orang-orang nonKristen takjub melihat kesiapan orang-orang Kristen dalam
menghadapi penderitaan dan mengabaikan kesenangan serta kenikmatan dunia ini. Dalam pandangan orang-orang yang belum
percaya, orang Kristen tampak seperti tidak waras. Mereka seperti membenci diri mereka sendiri. Orang-orang yang belum percaya tidak melihat alasan yang dapat memotivasi mereka untuk
menanggung penderitaan. Sesungguhnya, orang-orang Kristen
bukan melihat dengan mata jasmaniah mereka. Mereka mengasihi pribadi yang tidak mereka lihat! Mereka mengasihi Yesus
Kristus, karena mereka melihat-Nya secara rohaniah, dan bukan
secara jasmaniah.
EHUBUNGAN DENGAN RELASI
Copyright © momentum.or.id
4
Pengalaman Rohani Sejati
(ii) Sukacita dalam Kristus. Meskipun penderitaan jasmaniah mereka luar biasa berat, sukacita rohaniah mereka lebih besar daripada penderitaan mereka. Sukacita ini meneguhkan mereka dan memampukan mereka untuk menanggung derita dengan
penuh sukacita.
Petrus mencatat dua hal berkenaan dengan sukacita ini. Pertama, ia memberitahukan sumbernya kepada kita, yakni: dari
iman. “Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang
tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia
dan yang tidak terkatakan.”
Kedua, ia mengungkapkan natur dari sukacita ini: “yang mulia dan yang tidak terkatakan.” Ini adalah sukacita yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, karena begitu berbeda dengan
sukacita dari dunia ini. Sukacita ini murni dan sorgawi. Tidak
ada kata-kata yang dapat mengungkapkan kesempurnaan dan keindahannya. Sukacita ini juga tidak terkatakan limpahnya, karena
Allah dengan penuh kemurahan melimpahkannya kepada umatNya yang sedang menderita.
Kemudian Petrus menyatakan sukacita ini sebagai sesuatu
“yang mulia.” Sukacita ini memenuhi pikiran orang-orang Kristen, bagaikan cahaya kemuliaan. Sukacita ini bukanlah sukacita
yang merusak akal budi – seperti kebanyakan sukacita duniawi –
tetapi sukacita yang memberikan pada akal budi kita kemuliaan
dan kehormatan. Orang-orang Kristen yang mengalami penderitaan saling berbagi dalam sukacita sorgawi. Sukacita ini memenuhi pikiran mereka dengan cahaya kemuliaan Allah dan menjadikan mereka bercahaya oleh kemuliaan itu.
Doktrin yang sedang diajarkan Petrus kepada kita itu berbunyi: iman yang sejati itu terutama terdapat dalam emosi yang
kudus (lihat catatan khusus mengenai emosi dalam bagian Pendahuluan – N.R.N.)
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
5
Petrus menyebutkan emosi rohani kasih dan sukacita, ketika
ia mendeskripsikan pengalaman orang-orang Kristen ini. Ingatlah, ia berbicara tentang orang-orang percaya yang menderita
aniaya. Penderitaan mereka memurnikan iman mereka, sehingga
“memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada
hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya” (1 Petrus 1:7). Jadi,
mereka berada dalam kondisi rohani yang sehat dan Petrus menekankan kasih dan sukacita mereka sebagai bukti dari kesehatan
rohani mereka.
,
2. Apakah Emosi Itu?
Sehubungan dengan hal ini, mungkin akan ditanyakan: “Apa sebenarnya yang Anda maksud dengan emosi?”
Saya akan menjawabnya demikian: “Emosi adalah suatu gerakan yang lebih hidup dan intens dari kecenderungan hati dan
kehendak.”
Allah telah memberikan dua kekuatan utama dalam jiwa
manusia. Kekuatan yang pertama adalah pengertian (understanding), yang dengannya kita menguji dan menilai sesuatu. Sementara itu, kekuatan yang kedua memampukan kita untuk melihat sesuatu, bukan dengan mengamatinya secara apatis, melainkan dengan menyukai atau tidak menyukainya, puas atau tidak
puas terhadapnya, menerima atau menolaknya. Kita kadangkala
menyebut kekuatan kedua ini sebagai kecenderungan (inclination) hati. Terkait dengan pengambilan keputusan, kita lazim menyebutnya sebagai kehendak (will). Ketika kemudian, pikiran
Copyright © momentum.or.id
6
Pengalaman Rohani Sejati
menjalankan kehendak atau kecenderungan hatinya, kita biasa
menyebutnya hati.
Manusia bertindak berdasarkan kehendaknya dalam dua
cara: (i) Kita dapat bergerak mendekati hal-hal yang kita lihat,
dengan cara menyukai dan menyetujuinya. (ii) Kita dapat menjauhi hal-hal yang kita lihat dan menolaknya. Manifestasi kehendak ini, tentu bervariasi tingkatannya. Ada beberapa kecenderungan menyukai ataupun tidak menyukai yang menggerakkan
kita hanya sedikit melampaui batas apatis total. Ada beberapa
tingkatan lain dimana kecenderungan menyukai atau tidak menyukai terasa lebih kuat, sedemikian kuat hingga membuat kita
bergerak secara energik dan efektif.
Gerakan yang lebih energik dan intens dari kehendak inilah
yang kita sebut sebagai emosi.
Kehendak dan emosi kita bukanlah dua hal yang berbeda.
Perbedaan antara emosi pengambilan keputusan secara spontan
itu hanyalah dalam hal energi dan intensitasnya. Meskipun demikian, saya akui bahwa bahasa tidak mampu mengungkapkan perbedaan kedua hal ini dengan sempurna. Di satu pihak, emosi hati
itu sama dengan kehendak hati, dan kehendak tidak akan pernah
berubah dari apatis menjadi bersemangat, kecuali perasaannya
tergugah. Meskipun demikian ada banyak manifestasi kehendak
yang tidak kita sebut sebagai emosi. Perbedaannya bukan terletak
pada hakikatnya, tetapi pada intensitas dan cara kehendak itu
dimanifestasikan.
Dalam setiap manifestasi kehendak, kita dapat menyukai
atau tidak menyukai apa yang kita lihat. Kesukaan kita pada sesuatu, jika bersifat energik dan intens adalah identik dengan
emosi kasih, sedangkan ketidaksukaan kita pada sesuatu adalah
identik dengan benci. Dalam setiap manifestasi kehendak terhadap sesuatu, dalam derajat tertentu, kita memiliki kecenderungan
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
7
(inclination) terhadap hal itu; dan jika kecenderungan tersebut
kuat, kita menyebutnya sebagai hasrat (desire). Dalam setiap
manifestasi kehendak dimana kita menyetujui sesuatu, berlaku
suatu tingkatan kesukaan; jika kesukaan ini besar, kita menyebutnya sukacita (joy) atau kesukaan (delight). Dan ketika kehendak
kita tidak menyukai sesuatu, kita akan mengalami ketidaksukaan;
jika ketidaksukaan ini besar, kita menyebutnya kesedihan (grief)
atau dukacita (sorrow).
Setiap manifestasi kehendak berkaitan dengan menyetujui
dan menyukai, atau tidak menyetujui dan menolak. Jadi, emosi
kita itu ada dua macam. Ada emosi yang membawa kita mendekati apa yang kita lihat, berpaut padanya atau mencarinya. Emosi
ini meliputi kasih, hasrat, pengharapan, sukacita, ucapan
syukur, dan kesenangan. Selain itu, ada emosi yang membuat
kita menjauhi apa yang kita lihat dan melawannya; ini meliputi
kebencian, ketakutan, kemarahan, dan dukacita.
,
3. Iman yang Sejati Terutama
Bersangkut Paut dengan Emosi
Siapa dapat menyangkal bahwa iman yang sejati itu terutama terdapat di dalam emosi – suatu dorongan hati yang lebih bersemangat dan energik? Kerohanian yang dituntut Allah bukanlah sejenis kerohanian yang terdiri dari kehendak yang lemah, mandul,
dan pasif, yang membawa kita hanya sedikit melampaui batas
apatis total. Dalam firman-Nya, Allah terus-menerus mengingatkan agar kita memiliki kerajinan serta kesungguhan rohani, dan
hati yang berkobar bagi Kristus. Hendaklah “rohmu menyala-
Copyright © momentum.or.id
8
Pengalaman Rohani Sejati
nyala dan layanilah Tuhan” (Roma 12:11). “Maka sekarang, hai
orang Israel, apakah yang dimintakan daripadamu oleh Tuhan,
Allahmu, selain dari takut akan Tuhan, Allahmu, hidup menurut
segala jalan yang ditunjukkan-Nya, mengasihi Dia, beribadah kepada Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu” (Ulangan 10:12). “Dengarlah, hai orang Israel:
Tuhan itu Allah kita, Tuhan itu esa! Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap kekuatanmu” (Ulangan 6:4-5).
Kerohanian sejati yang memiliki hati yang sungguh dan bersemangat merupakan hasil dari sunat rohani, atau kelahiran baru,
yang bersamanya tersedia janji-janji kehidupan. “Dan Tuhan
Allahmu akan menyunat hatimu dan hati keturunanmu, sehingga
engkau mengasihi Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu, supaya engkau hidup” (Ulangan 30:6).
Jika kita tidak bersungguh-sungguh dengan kekristenan kita,
dan kehendak kita tidak aktif ataupun energik, maka kita ini bukanlah apa-apa. Realitas rohani adalah sedemikian besar, hingga
hanya respons yang energik dan kuat dari hati kita saja yang
layak baginya. Sedemikian pentingnya manifestasi kehendak dalam hal-hal rohani, hingga melebihi hal-hal yang lain. Kerohanian yang sejati itu kekuatannya sangat besar, dan kekuatannya
pertama-tama muncul dalam hati. Itulah sebabnya Kitab Suci
menyebut kerohanian yang sejati sebagai “kekuatan ibadah,”
yang sama sekali berbeda dengan penampakan yang hanyalah
bentuk luarnya – “secara lahiriah mereka menjalankan ibadah
mereka, tetapi pada hakikatnya mereka memungkiri kekuatannya” (2 Timotius 3:5). Roh Kudus adalah Roh yang penuh kuasa
dari emosi kudus yang terdapat dalam diri orang-orang Kristen
sejati. Itulah sebabnya Kitab Suci menyatakan bahwa Allah telah
memberikan kepada kita roh “yang membangkitkan kekuatan,
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
9
kasih, dan ketertiban” (2 Timotius 1:7). Tatkala kita menerima
Roh Kudus, Kitab Suci menyatakan bahwa kita dibaptis “dengan
Roh Kudus dan dengan api” (Matius 3:11). “Api” ini melambangkan emosi kudus yang dikaruniakan Roh di dalam diri kita,
sehingga hati kita “berkobar-kobar” (Lukas 24:32).
Kitab Suci beberapa kali membandingkan relasi kita dalam
hal-hal rohani dengan aktivitas-aktivitas sekuler yang dilakukan
orang dengan giat. Misalnya berlari (1 Korintus 9:24), bergulat
(Efesus 6:12), bertekun untuk meraih hadiah (Wahyu 2:10), melawan musuh yang kuat (1 Petrus 5:8-9) dan berjuang dalam peperangan total (1 Timotius 1:18). Anugerah, tentu saja, mempunyai tingkatannya sendiri, dan ada orang-orang Kristen yang lemah, yang manifestasi kehendaknya terhadap hal-hal rohani pun
cenderung lemah. Walaupun demikian, setiap emosi Kristen
yang sejati terhadap Allah akan lebih kuat dibandingkan emosi
berdosa atau alamiahnya. Setiap murid Kristus yang sejati akan
mengasihi-Nya lebih dari “bapanya, ibunya, isterinya, anakanaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan
nyawanya sendiri” (Lukas 14:26).
Allah Sang Pencipta bukan hanya memberikan emosi kepada
kita, tetapi juga telah menjadikan emosi kita sebagai pendorong
utama berbagai tindakan kita. Kita tidak membuat suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan, kecuali dipengaruhi oleh kasih, kebencian, hasrat, pengharapan, ketakutan, ataupun emosi
lainnya. Ini berlaku untuk hal-hal sekuler maupun rohani. Itulah
sebabnya banyak orang yang mendengar firman Allah mengajarkan hal-hal yang mutlak penting kepada mereka – mengenai
Allah dan Kristus, dosa dan keselamatan, sorga dan neraka – namun tetap tidak berubah dalam sikap dan perilaku mereka.
Alasannya sederhana: apa yang mereka dengar tidak mempengaruhi mereka. Itu tidak menyentuh emosi mereka. Sungguh, saya
Copyright © momentum.or.id
10
Pengalaman Rohani Sejati
berani menyatakan bahwa tidak akan ada kebenaran rohani yang
dapat mengubah sikap atau perilaku seseorang, kecuali hal tersebut menyentuh emosinya. Tidak seorang pendosa pun yang akan
merindukan keselamatan, tidak seorang Kristen pun akan bangun
dari kebekuan spiritual, kecuali kebenaran mempengaruhi hatinya. Demikianlah signifikansi emosi!
,
4. Berbagai Macam Emosi
Seluruh Kitab Suci menempatkan kerohanian yang sejati terutama di dalam emosi kita – dalam rasa takut, pengharapan, kasih,
kebencian, hasrat, sukacita, dukacita, ucapan syukur, belas kasihan, dan kerajinan. Mari kita memperhatikan hal-hal ini sejenak.
Takut. Kitab Suci menyatakan bahwa takut akan Allah merupakan intisari kerohanian yang sejati. Sebutan yang kerap diberikan Kitab Suci kepada orang percaya ialah “orang yang takut
akan Allah”, atau kaum “yang takut akan Tuhan.” Itulah sebabnya, kesalehan sejati lazim disebut sebagai “takut akan Allah.”
Pengharapan. Berharap kepada Allah dan janji-Nya, menurut Kitab Suci, adalah bagian yang penting dari kerohanian yang
sejati. Rasul Paulus menyebut pengharapan sebagai salah satu
dari ketiga unsur pembentuk kerohanian yang sejati (1 Korintus
13:13). Pengharapan merupakan ketopong prajurit Kristus: “Dan
berketopongkan pengharapan keselamatan” (1 Tesalonika 5:8).
Pengharapan juga adalah sauh bagi jiwa: “Pengharapan ini adalah sauh yang kuat dan aman bagi jiwa” (Ibrani 6:19). Dan adakalanya perpaduan dari takut dan pengharapan kepada Allah
mengindikasikan karakter orang percaya sejati: “Sesungguhnya,
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
11
mata Tuhan tertuju kepada mereka yang takut akan Dia, kepada
mereka yang berharap akan kasih setia-Nya” (Mazmur 33:18).
Kasih. Kitab Suci menempatkan kerohanian yang sejati terutama di dalam emosi kasih: mengasihi Allah, mengasihi Yesus
Kristus, mengasihi umat Allah, dan mengasihi seluruh umat manusia. Ayat-ayat yang mengajarkan hal ini tak terhitung jumlahnya dan saya akan membahas hal ini dalam bagian selanjutnya.
Sekalipun demikian, kita juga harus memperhatikan bahwa Kitab
Suci berbicara mengenai emosi kebencian yang menjadi lawan
dari emosi kasih – membenci dosa – sebagai bagian penting dari
kerohanian yang sejati. “Takut akan Tuhan ialah membenci kejahatan” (Amsal 8:13). Sesuai dengan itu Kitab Suci mengajak
orang-orang percaya untuk membuktikan ketulusan mereka melalui ini: “Hai orang-orang yang mengasihi Tuhan, bencilah kejahatan!” (Mazmur 97:10).
Hasrat (desire). Kitab Suci sering menyebut hasrat yang kudus sebagai bagian penting dari kerohanian yang sejati. Hasrat ini
dimanifestasikan dalam kerinduan, rasa lapar dan haus akan
Allah dan kekudusan. “Kesukaan kami ialah menyebut namaMu” (Yesaya 26:8). “Jiwaku haus kepada-Mu, tubuhku rindu kepada-Mu, seperti tanah yang kering dan tandus, tiada berair”
(Mazmur 63:2). “Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan
kebenaran, karena mereka akan dipuaskan” (Matius 5:6).
Sukacita. Kitab Suci berbicara tentang sukacita sebagai bagian penting dari kerohanian yang sejati. “Bersukacitalah karena
Tuhan, hai orang-orang benar” (Mazmur 97:12). “Bersukacitalah
senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”
(Filipi 4:4). “Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, ....” (Galatia
5:22).
Dukacita. Kitab Suci menyatakan bahwa dukacita rohani,
penyesalan dosa, dan kehancuran hati, merupakan bagian penting
Copyright © momentum.or.id
12
Pengalaman Rohani Sejati
dari kerohanian yang sejati. “Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur” (Matius 5:4). “Korban sembelihan kepada Allah ialah jiwa yang hancur; hati yang patah dan
remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah” (Mazmur 51:19).
“Sebab beginilah firman Yang Mahatinggi dan Yang Mahamulia,
yang bersemayam untuk selamanya dan Mahakudus nama-Nya:
‘Aku bersemayam di tempat tinggi dan di tempat kudus tetapi
juga bersama-sama orang yang remuk dan rendah hati, untuk
menghidupkan semangat orang-orang yang rendah hati dan untuk
menghidupkan hati orang-orang yang remuk’” (Yesaya 57:15).
Ucapan syukur (gratitude). Emosi rohani lain yang sering
disebutkan dalam Kitab Suci adalah ucapan syukur, khususnya
yang dinyatakan melalui pujian kepada Allah. Emosi ini sedemikian sering muncul – terutama di dalam Mazmur – hingga saya
tidak perlu lagi memberikan kutipan teksnya.
Belas kasihan (mercy). Kitab Suci sering kali menyatakan
bahwa belas kasihan atau kemurahan hati merupakan bagian penting dari kerohanian yang sejati. Tuhan Yesus mengajarkan bahwa pengampunan adalah salah satu tuntutan terpenting dalam perintah Allah: “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena
mereka sakan beroleh kemurahan” (Matius 5:7). “Celakalah
kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu
orang-orang munafik, sebab persepuluhan dari selasih, adas manis, dan jintan kamu bayar, tetapi yang terpenting dalam hukum
Taurat kamu abaikan, yaitu: keadilan dan belas kasihan dan kesetiaan. Yang satu harus dilakukan dan yang lain jangan diabaikan”
(Matius 23:23). Meneladani Yesus Kristus, Rasul Paulus juga
menekankan pentingnya hal ini: “Karena itu, sebagai orangorang pilihan Allah yang dikuduskan dan dikasihi-Nya, kenakanlah belas kasihan ...” (Kolose 3:12).
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
13
Kerajinan (zeal). Kitab Suci menyatakan bahwa kerajinan
rohani merupakan bagian penting dari kerohanian yang sejati.
Melalui kematian-Nya di atas kayu salib, Kristus telah mengisyaratkan hal ini: “yang telah menyerahkan diri-Nya bagi kita untuk
membebaskan kita dari segala kejahatan dan untuk menguduskan
bagi diri-Nya suatu umat, kepunyaan-Nya sendiri, yang rajin berbuat baik” (Titus 2:14).
Saya hanya mengutip sedikit dari begitu banyak teks yang
mengaitkan kerohanian yang sejati dengan emosi kita. Jika ingin
menyangkali kenyataan ini, orang harus membuang Kitab Suci
dan mencari standar lain yang dapat digunakan untuk menilai natur kerohanian yang sejati.
,
5. Kerohanian yang Sejati Terangkum
di dalam Kasih
Kasih adalah yang terutama dari semua emosi. Inilah yang diajarkan Tuhan Yesus ketika Ia ditanya mengenai hukum yang terutama: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah
hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi” (Matius 22:37-40).
Rasul Paulus mengajarkan hal yang sama: “kasih adalah kegenapan hukum Taurat” (Roma 13:10). “Tujuan nasihat itu ialah
kasih yang timbul dari hati yang suci” (1 Timotius 1:5). Dalam 1
Korintus 13, Paulus berbicara mengenai kasih sebagai hal yang
Copyright © momentum.or.id
14
Pengalaman Rohani Sejati
terutama dalam kekristenan – jiwa dan roh dari kekristenan –
yang tanpanya, segala pengetahuan dan karunia dan mujizat
menjadi tidak berguna.
Ini membuktikan bahwa kerohanian yang sejati terutama terletak di dalam emosi kita. Sebab kasih bukanlah sekadar salah
satu emosi, melainkan emosi yang terutama dari semuanya dan
(bisa dikatakan) sumber dari emosi-emosi lainnya. Dari kasihlah
timbulnya kebencian – kebencian terhadap hal-hal yang bertentangan dengan hal-hal yang kita kasihi. Dari kasih yang aktif, hangat, dan berkobar-kobar kepada Allah, akan timbul emosi rohani lainnya: kebencian terhadap dosa; takut tidak diperkenan
Allah; syukur kepada Allah atas kebaikan-Nya; sukacita di dalam
Allah ketika kita merasakan kehadiran-Nya; dukacita ketika kita
merasakan ketidakhadiran-Nya; pengharapan akan kesukaan di
dalam Allah di masa yang akan datang; kerajinan demi kemuliaan Allah. Demikian pula, kasih kepada sesama manusia akan
memunculkannya perasaan-perasaan positif lainnya terhadap
mereka.
,
6. Daud, Paulus, Yohanes, dan Kristus
Selaku Teladan dalam Hal Emosi yang Kudus
Kerohanian dari orang-orang kudus yang paling terkemuka dalam Kitab Suci adalah kerohanian yang ditandai dengan emosi
yang kudus. Secara khusus saya akan menyoroti tiga orang kudus, dan juga Tuhan mereka, untuk menunjukkan kebenaran ini.
Pertama, kita akan memperhatikan Raja Daud – orang yang
diperkenan Allah – yang telah memberikan kepada kita gambar-
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
15
an yang hidup tentang kerohaniannya dalam kitab Mazmur. Nyanyian-nyanyian kudus di dalam kitab tersebut semata-mata merupakan ungkapan emosi yang kudus dan tulus. Di dalamnya kita
melihat kasih akan Allah yang tulus dan setia, penghargaan terhadap kesempurnaan-Nya mulia dan karya-Nya yang ajaib, serta
hasrat dan haus akan Allah. Kita melihat kesukaan dan kebahagiaan di dalam Allah, ucapan syukur yang tulus dan sungguhsungguh atas kebaikan-Nya, sukacita yang kudus atas pertolongan, kesempurnaan, dan kesetiaan-Nya. Kita melihat kasih dan
sukacita umat Allah, kesukaan di dalam firman dan ketetapan
Allah, dukacita atas dosa Daud mau pun dosa orang-orang lain,
serta kesungguhan bagi Allah dan melawan musuh Allah.
Ekspresi emosi yang kudus dalam kitab Mazmur ini sangat
relevan bagi kita. Mazmur bukan sekadar mengungkapkan kerohanian seorang yang saleh yang bernama Daud, tetapi Roh
Kudus juga menginspirasikannya bagi setiap orang percaya untuk menyanyikannya dalam ibadah, baik pada zaman Raja Daud
maupun sesudahnya.
Selanjutnya, mari kita memperhatikan Rasul Paulus. Kitab
Suci menggambarkannya sebagai seorang pria dengan kehidupan
emosi yang telah sangat bertumbuh terutama berkenaan dengan
emosi kasih. Ini dengan jelas tercermin dalam surat-surat yang
ditulisnya. Sejenis kasih yang tulus kepada Kristus seakan-akan
membakar, bahkan menghanguskannya. Ia menggambarkan dirinya sendiri sebagai orang yang telah dikuasai oleh emosi yang
kudus ini, didorong olehnya untuk terus melayani tanpa memedulikan segala kesulitan dan penderitaan (2 Korintus 5:14-15).
Dan surat-suratnya pun penuh dengan curahan kasih kepada jemaat Tuhan. Ia menyebut mereka “saudara-saudaraku yang kekasih” (2 Korintus 12:19, Filipi 4:1, 2 Timotius 1:2), dan menyatakan kasih sayang serta kepeduliannya terhadap mereka (1
Copyright © momentum.or.id
16
Pengalaman Rohani Sejati
Tesalonika 2:7-8). Ia berulang kali mengungkapkan hasrat kasih
dan kerinduannya kepada mereka. (Roma 1:11, Filipi 1:8, 1
Tesalonika 2:8, 2 Timotius 1:4).
Rasul Paulus sering kali mengungkapkan emosi sukacita. Ia
menyatakan kegembiraannya dengan sangat bersukacita (Filipi
4:10, Filemon 7), menyatakan perasaan terhiburnya dengan lebih
bersukacita (2 Korintus 7:13), dan senantiasa bersukacita (2
Korintus 6:10). Bacalah juga 2 Korintus 1:12; 7:7,9,16, Filipi
1:4; 2:1-2; 3:3, Kolose 1:24, 1 Tesalonika 3:9. Ia juga berbicara
tentang harapannya (Filipi 1:20), cemburu ilahinya (2 Korintus
11:2-3), dan air mata kesedihannya (Kisah Para Rasul 20:19,31
dan 2 Korintus 2:4). Ia menuliskan dukacitanya yang mendalam
dan kesedihan hatinya yang terus-menerus atas ketidakpercayaan
orang Yahudi (Roma 9:2). Dan saya tidak perlu menyebut komitmen spiritualnya, yang telah dengan jelas terlihat dalam seluruh
kehidupannya sebagai rasul dari Kristus.
Jika orang mampu memahami penjelasan mengenai Rasul
Paulus ini, namun tidak melihat bahwa kerohanian Paulus adalah
kerohanian yang terdiri dari emosi, maka ia pasti memiliki kemampuan aneh untuk memejamkan matanya rapat-rapat melawan cahaya menyilaukan yang disorotkan ke wajahnya!
Rasul Yohanes juga serupa dengan Rasul Paulus. Dalam berbagai surat yang ditulisnya, jelas terlihat bahwa ia memiliki kehidupan emosi yang sangat istimewa. Melalui suratnya, ia menyapa jemaat Tuhan dengan cara yang sangat lembut dan mesra.
Surat-suratnya memancarkan kasih yang begitu hangat, seolaholah menegaskan keberadaan sang penulis sebagai pribadi yang
penuh dengan kasih yang manis dan kudus. Saya tidak dapat
membuktikan hal ini, kecuali saya mengutip seluruh isi suratnya!
Dan Pribadi yang lebih besar dari semuanya adalah Yesus
Kristus sendiri, yang benar-benar lembut dan pengasih itu. Ia
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
17
mengekspresikan “kebenaran – keadilan-Nya” di dalam emosi
yang kudus. Ia memiliki kasih yang paling sungguh, dinamis, dan
intens – seperti yang belum pernah ada sebelumnya – baik kepada Allah maupun manusia. Kasih yang kudus inilah yang menang di Getsemani, tatkala Ia bergumul dalam kegentaran dan
penderitaan, dan tatkala hati-Nya “sangat sedih, seperti mau mati
rasanya” (Matius 26:38).
Kita melihat bahwa Yesus memiliki kehidupan emosi yang
kuat dan mendalam semasa hidup-Nya di bumi. Kita membaca
tentang komitmen-Nya terhadap Allah: “Cinta untuk rumah-Mu
menghanguskan Aku” (Yohanes 2:17). Kita membaca tentang
kepedihan hati-Nya melihat dosa manusia: “Ia berdukacita karena kedegilan mereka” (Markus 3:5). Ia bahkan menangis tatkala memikirkan dosa dan penderitaan orang-orang kafir di
Yerusalem, “Dan ketika Yesus telah dekat dan melihat kota itu,
Ia menangisinya, kata-Nya: ‘Wahai betapa baiknya jika pada hari
ini juga engkau mengerti apa yang perlu untuk damai sejahteramu!’” (Lukas 19:41-2). Kita sering kali membaca mengenai rasa
iba dan belas kasihan yang dirasakan Tuhan Yesus; lihat Matius
9:36; 14:14; 15:32, Markus 6:34, Lukas 7:13. Betapa tersentuhnya hati Yesus tatkala Lazarus meninggal! Betapa penuh kasih
kata-kata perpisahan yang Ia ucapkan kepada murid-murid-Nya
pada malam sebelum Ia disalibkan! Di antara seluruh perkataan
manusia, perkataan Kristus yang diucapkan-Nya dalam Injil
Yohanes 13-16 adalah yang paling menyentuh dan penuh kasih.
Copyright © momentum.or.id
18
Pengalaman Rohani Sejati
,
7. Emosi di dalam Sorga
Tidak diragukan lagi, ada kerohanian yang sejati di dalam sorga.
Kerohanian sorgawi itu benar-benar murni dan mutlak sempurna.
Menurut gambaran mengenai sorga yang diberikan Kitab Suci
kepada kita, kerohanian sorgawi terutama bersangkut paut dengan kasih dan sukacita, yang diungkapkan dalam pujian yang
paling tulus dan mulia. Jadi, kerohanian orang-orang kudus di
sorga pada dasarnya merupakan penyempurnaan kerohanian
orang-orang kudus di dunia. Anugerah masa kini merupakan fajar kemuliaan masa yang akan datang. Firman dalam 1 Korintus
13 menyatakan hal ini. Jadi jika kerohanian sorgawi adalah sebuah kerohanian emosi, maka setiap kerohanian yang sejati juga
harus merupakan sebuah kerohanian emosi.
Cara memahami hakikat dari suatu hal adalah dengan mencari tahu hal itu di dalam keadaannya yang paling murni/sempurna. Ini berarti, kita harus mengarahkan pikiran kita ke sorga, jika
bermaksud memahami hakikat dari kerohanian yang sejati. Ini
dikarenakan semua orang yang benar-benar rohani itu bukan berasal dari dunia ini. Mereka adalah kaum pendatang di dunia ini,
yang berasal dari sorga. Mereka datang dari atas dan sorga adalah tempat mereka berasal. Natur yang mereka peroleh dari kelahiran sorgawi mereka adalah sebuah natur sorgawi. Kehidupan
rohani yang sejati di dalam hati orang percaya merupakan sebuah
bibit kerohanian sorgawi, dan Allah mempersiapkan kita menuju
sorga melalui suatu bentuk penyesuaian diri dengan hal tersebut.
Jadi jika kerohanian sorgawi adalah sebuah kerohanian emosi,
maka kerohanian kita di dunia ini pun haruslah demikian.
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
19
,
8. Emosi dan Kewajiban Rohani Kita
Kita dapat melihat signifikansi emosi rohani dari sejumlah kewajiban yang telah ditetapkan Allah sebagai ungkapan-ungkapan
ibadah.
Doa. Melalui doa, kita menyatakan kesempurnaan, kemuliaan, kekudusan, kebaikan, dan kecukupan-diri (all-sufficiency)
Allah, sekaligus juga kehampaan dan ketidaklayakan kita, serta
keinginan dan kebutuhan kita. Tetapi untuk apa kita berdoa? Bukan untuk memberitahukan semua hal ini kepada Allah, karena Ia
sudah mengetahuinya, dan pasti bukan untuk mengubah rencanaNya dan membujuk-Nya agar memberkati kita. Kita menyatakan
hal-hal tersebut demi menggerakkan dan mempengaruhi hati kita
sendiri dengan apa yang kita nyatakan, dan dengan cara demikian, mempersiapkan diri kita sendiri untuk menerima berkatberkat yang kita mintakan kepada-Nya.
Pujian. Kewajiban untuk menyanyikan puji-pujian kepada
Allah tampaknya tidak ada tujuan lain kecuali untuk membangkitkan dan mengungkapkan emosi rohani. Satu-satunya alasan
Allah memerintahkan kita untuk mengungkapkan diri kita kepada-Nya melalui puisi dan prosa ataupun lagu dan kata-kata
adalah karena ketika kebenaran ilahi diungkapkan melalui puisi
dan lagu, ada suatu kecenderungan yang dimaksudkan untuk
mempengaruhi kita dan menggerakkan emosi kita.
Baptisan dan Perjamuan Kudus. Hal yang sama berlaku untuk baptisan dan Perjamuan Kudus. Secara alamiah, hal-hal yang
bersifat fisik dan visibel itu sangat mempengaruhi kita. Oleh karena itu, Allah bukan sekadar menetapkan agar kita mendengar
Copyright © momentum.or.id
20
Pengalaman Rohani Sejati
Injil melalui firman-Nya, tetapi juga memerintahkan kita untuk
melihat Injil yang dimanifestasikan di depan mata kita melalui
berbagai simbol yang kelihatan, agar hal tersebut dapat lebih
mempengaruhi kita. Manifestasi visibel dari Injil ini adalah baptisan dan Perjamuan Kudus.
Khotbah. Alasan utama Allah menetapkan adanya khotbah
di Gereja adalah untuk menanamkan kebenaran ilahi ke dalam
hati dan emosi kita. Tidaklah cukup bagi kita untuk sekadar memiliki berbagai buku teologi dan tafsiran yang baik. Semua itu
memang membawa pencerahan bagi pemahaman kita, namun
mereka tidak memiliki kuasa yang sama seperti halnya khotbah
dalam menggerakkan kehendak kita. Allah memakai kekuatan
bahasa lisan untuk menanamkan kebenaran-Nya ke dalam hati
kita dengan cara yang lebih spesifik dan hidup.
,
9. Emosi dan Kekerasan Hati
Hal lain yang membuktikan bahwa kerohanian yang sejati itu
terutama terletak di dalam emosi adalah bahwa Kitab Suci sering
menyebut dosa sebagai “kekerasan hati.” Mari kita memperhatikan kutipan-kutipan di bawah ini:
“Ia berdukacita karena kedegilan mereka, dan dengan marah
Ia memandang sekeliling-Nya kepada mereka” (Markus 3:5).
“Pada hari ini, sekiranya kamu mendengar suara-Nya! Janganlah keraskan hatimu seperti di Meriba, seperti pada hari di
Masa di padang gurun, pada waktu nenek moyangmu mencobai
Aku, menguji Aku, padahal mereka melihat perbuatan-Ku.
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
21
Empat puluh tahun Aku jemu kepada angkatan itu, maka kataKu: ‘Mereka suatu bangsa yang sesat hati’” (Mazmur 95:7-10).
“Ya TUHAN, mengapa Engkau biarkan kami sesat dari jalanMu, dan mengapa Engkau tegarkan hati kami, sehingga tidak
takut kepada-Mu?” (Yesaya 63:17a).
“Ia menegarkan tengkuknya dan mengeraskan hatinya dan
tidak berbalik kepada TUHAN, Allah Israel” (2 Tawarikh 36:13b).
Selain kutipan-kutipan tersebut, perhatikan pula bahwa
Kitab Suci mendefinisikan pertobatan sebagai “menjauhkan dari
tubuh mereka hati yang keras dan memberikan mereka hati yang
taat” (Yehezkiel 11:19; 36:26).
Jadi, hati yang keras ialah hati yang tidak mudah disentuh
atau digerakkan oleh emosi rohani. Hati itu telah membatu –
dingin, tidak peka, tidak memedulikan Allah maupun kekudusan.
Ini berbeda dengan hati yang lembut, yang memiliki perasaan
dan mudah tersentuh atau tergerak. Kesimpulannya adalah, kekudusan hati itu terutama terdiri dari emosi rohani.
,
10. Pelajaran Apakah yang Dapat Kita Petik
dari Semua Ini?
(i) Dari hal ini, kita belajar betapa besar kekeliruan mengabaikan semua emosi rohani dengan asumsi bahwa itu hal yang
remeh. Kekeliruan ini dapat timbul setelah terjadinya suatu kebangunan rohani. Karena berbagai emosi dinamis yang dialami banyak orang itu begitu cepat hilang, orang mulai mengecilkan arti
segala bentuk emosi rohani, seolah-olah kekristenan sama sekali
tidak ada sangkut pautnya dengan semua itu.
Copyright © momentum.or.id
22
Pengalaman Rohani Sejati
Ekstrem yang lain adalah menganggap semua emosi religius
yang dinamis sebagai tanda dari suatu pertobatan sejati, tanpa
memeriksa natur dan asal-usul emosi-emosi tersebut. Jika seseorang terlihat antusias dan fasih dalam membicarakan hal-hal
rohani, orang akan menyimpulkan dia sebagai seorang Kristen
sejati.
Iblis berupaya keras mendorong kita dari satu ekstrem ke
ekstrem lainnya. Ketika melihat emosi sedang menggejala, Iblis
pun segera menaburkan benih lalang di antara gandum. Ia mencampuradukkan emosi palsu dengan karya sejati Roh Allah. Dengan cara ini, Iblis menipu dan terus-menerus menghancurkan
banyak orang, membingungkan orang percaya sejati, dan merusak kekristenan. Dan ketika efek berdosa dari emosi palsu itu terungkap, Iblis pun mengubah srateginya. Sekarang, ia mencoba
membujuk banyak orang agar meyakini bahwa semua emosi rohani itu sama sekali tidak berarti. Dengan cara demikian, ia mencoba menyingkirkan segala hal yang berbau spiritual dari hati
kita, dan menjadikan kekristenan sebuah formalitas yang mati.
Sikap yang benar adalah tidak menolak semua emosi, demikian juga tidak menerima semuanya, melainkan memilah-milahnya. Kita hendaknya menerima yang baik, dan menolak yang buruk. Kita harus memisahkan gandum dari lalang, sanga dari
emas, yang berharga dari yang tidak berharga.
(ii) Jika kerohanian yang sejati terletak di dalam emosi kita,
maka kita harus menghargai hal-hal yang memunculkan emosi di
dalam diri kita. Kita selayaknya menginginkan buku dan khotbah
dan doa dan lagu pujian yang dapat mengubahkan hati kita.
Jangan salah mengerti. Maksud saya, hal-hal seperti ini adakalanya dapat menggerakkan emosi orang-orang yang tidak beriman dan tidak berhikmat, tanpa membawa kebaikan apa pun
bagi jiwa mereka. Ini disebabkan karena hal-hal seperti ini sangat
Copyright © momentum.or.id
Natur Emosi dan Signifikansinya dalam Kekristenan
23
mungkin untuk membangkitkan emosi-emosi yang tidak spiritual
ataupun kudus. Dengan demikian, harus ada penjelasan yang tuntas dan pemahaman yang akurat mengenai kebenaran spiritual di
dalam buku rohani, khotbah, doa, maupun lagu pujian kita.
Setelah itu, kita baru dapat meyakini bahwa semakin baik hal-hal
tersebut menggerakkan emosi kita, semakin baik pula semua hal
tersebut.
(iii) Jika kerohanian yang sejati terletak di dalam emosi kita,
maka kita mempunyai alasan kuat untuk merasa malu bila realitas spiritual ternyata tidak mempengaruhi kita dengan lebih baik.
Allah telah memberi kita emosi, untuk maksud yang serupa
dengan potensi kita yang lain – untuk menggenapi tujuan utama
manusia, dan relasinya dengan Allah. Tetapi betapa mudah emosi
manusia dipengaruhi oleh hal-hal yang lain, kecuali oleh realitas
spiritual! Berkenaan dengan hal-hal lahiriah, kesenangan duniawi, reputasi, dan relasi alamiah mereka – dalam hal-hal ini, hasrat mereka berkobar-kobar, kasih mereka hangat, dan kerajinan
mereka bergelora.
Namun betapa tidak peka dan tidak antusiasnya kebanyakan
orang terhadap hal-hal spiritual! Dalam hal demikian, kasih mereka dingin, hasrat mereka padam, dan ucapan syukur mereka
sedikit sekali. Mereka dapat duduk dan mendengar tentang kasih
Allah yang tak terbatas di dalam Yesus Kristus, tentang penderitaan dan kematian Kristus bagi orang-orang berdosa, dan keselamatan oleh darah-Nya dari hukuman kekal di neraka menuju
sukacita kekal di sorga – dengan tetap dingin dan apatis! Tetapi
apalagi yang dapat menggerakkan emosi kita, kalau bukan kebenaran-kebenaran ini? Mungkinkah ada hal lain yang lebih penting, lebih ajaib, atau lebih relevan? Bolehkah orang Kristen berpikir bahwa Injil Yesus Kristus yang mulia tidak lagi menggerakkan dan membangkitkan emosi manusia?
Copyright © momentum.or.id
24
Pengalaman Rohani Sejati
Allah telah merencanakan penebusan kita sedemikian rupa
sehingga peristiwa itu mampu menyingkapkan semua kebenaran
paling agung dengan penuh kuasa dan keajaiban. Kepribadian
dan kehidupan manusia Yesus Kristus menyingkapkan kemuliaan dan keindahan Allah dalam cara yang paling menyentuh, melampaui yang dapat dipikirkan manusia. Sebagaimana halnya
salib menunjukkan kasih Yesus bagi orang berdosa dengan cara
yang paling menggetarkan, demikian pula salib membukakan kebusukan natur dosa kita dengan cara yang paling menggentarkan.
Sebab, kita melihat efek mematikan dari dosa-dosa kita yang ditanggungkan atas Yesus, melalui pengorbanan-Nya di atas kayu
salib. Di salib jugalah, kita melihat penyataan paling menggentarkan dari kebencian Allah terhadap dosa, serta keadilan dan
murka-Nya dalam penghukuman-Nya. Meski Putra Tunggal-Nya
yang sangat dikasihi-Nya itu sendiri yang menanggung dosa ganti kita, Allah tetap membinasakan-Nya. Betapa hebatnya keadilan
Allah, dan betapa dahsyatnya murka kudus-Nya!
Dan betapa dalam rasa malu kita seharusnya, bila ternyata
hal-hal semacam itu tidak banyak mempengaruhi kita!
Copyright © momentum.or.id
Download