DILEMA WANITA PEKERJA DALAM ANALISIS GENDER Hadriana Marhaeni Munthe Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara DILEMA WANlTA PEKERJA DALAM ANALISIS GENDER PENDAHULUAN Opini publik tentang wanita dalam sejarah masyarakat, kapan dan dimanapun selalu terdapat kelas yang bersifat meremehkan martabat wanita dan memandangnya sebagai hamba kelas dua setelah kaum pria. Program peningkatan peranan wanita di Indonesia merupakan refleksi dan perwujudan dari proses emansipasi wanita tertuang dalam surat-surat Kartini melalaui bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang” dalam menuju kesetaraan antara wanita dan pria (M.Mansyhur Amin, 1992). Jalan menuju kemitraan antara wanita dan pria merupakan jalan panjang yang sejak jaman RA Kartini sampai jaman Perdana Menteri Benazir Buttho memimpin suatu negara, masih merupakan panjang yang tidak mudah ditempuh. Pada konferensi Wanita IV yang dilaksanakan di Beijing China pada September 1995, banyak harapan disuarakan oleh tokoh-tokoh wanita dunia agar dunia makin menyadari pentingnya kesetaraan antara wanita dan pria. Pesan penting dari konferensi wanita seperti yang dikatakan oleh tokoh-tokoh wanita negara-negara PBB, seperti ibu negara dari Amerika Serikat Hillary Rodham Clinton dan perdana menteri Pakistan Benazir Buttho, bahwa inilah saatnya bagi wanita untuk bersuara, mematahkan kebisuan, wanita akan hak-haknya yang berlangsung berabad-abad Inilah kesempatan bagi wanita untuk didengar (Kompas, September 1995). Di Indonesia wanita mulai dilihat perannya dalam hubungan interaksi dengan keluarga bahkan lingkungan pembangunan yang lebih luas. Dalam GBHN sebagai acuan pembangunan telah mengamanatkan peningkatkan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan ini sejak tahun 1978. Dalam GBHN 1993 program peningkatan kedudukan dan peran wanita dalam pembangunan jangka panjang tahap II (PJPT II) diarahkan pada sasaran umum yaitu meningkatkan kualitas wanita dan terciptanya iklim sosial budaya yang mendukung bagi wanita untuk mengembangkan diri dan meningkatkan perannya dalam berbagai dimensi kehidupan berkeluarga, berbangsa dan bernegara. Kita menyadari bahwa setiap kebijaksanaan dan strategi yang diterapkan dalam pelaksanaan pembangunan tidak selalu memiliki dampak , manfaat akibat yang sama terhadap pria dan wanita. Kesenjangan antara wanita dan pria dalam berbagai bidang pembangunan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Wanita sebagai tenaga kerja memperoleh lapangan kerja yang terbatas dari pada pria, juga dari segi upah atau gaji yq diterima lebih rendah daripada pria. Dalam hal ini yang ingin dikaji adalah dilema wanita pekerja dari tingkat upah yang lebih rendah antara pria dan wanita. Dilema Wanita Pekerja Dalam Analisa Gender Peningkatan peranan wanita sebagai mitra yang sejajar dengan pria dalam pembangunan berarti meningkatkan tanggung jawab wanita sebagai pribadi yang mandiri dalam lingkungan keluarga dan masyarakat. Dengan demikian bersama pria, wanita bertanggung jawab atas kesejahteraan dan kebahagian keluarga. Untuk dapat mewujudkan hal tersebut diperlukan kerja keras disertai peningkatan kualitas © 2003 Digited by USU Digital Library 1 dan produktivitas tenaga kerja wanita sebagai insan pembangunan yang tangguh diberbagai sektor. Masyarakat Indonesia sedang mengalami perkembangan dari masyarakat yang agraris kemasyarakatan industri. Dalam proses tersebut pengintegrasian wanita dalam pembangunan, terutama wanita dari golongan ekonomi lemah, yang berpenghasilan rendah perlu di galakkan, melalui peningkatan kemampuan dan ketrampilan untuk melakukan kegiatan-kegiatan ekonomi produktif, dalam rangka memperluas kesempatan kerja dan menciptakan usaha bagi diri sendiri. Hal ini sangat perlu sebab wanita dari golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah, umumnya melakukan peran ganda karena tuntutan kebutuhan untuk mempertahankan kelangsunga hidup bangsa (M.Mansyur Amin, 1992). Nasikun berpendapat bahwa wanita sebagai tenaga kerja ternyata memperoleh lapangan kerja yang lebih terbatas dari pria. Walaupun di negara maju terdapat 70 persen wanita yang bekerja dilapangan kerja yang terorganisasi ternyata hanya terkosentrasi pada 25 lapangan kerja, yang hanya dapat dimasuki oleh jumlah sedikit wanita. Jenis pekerjaan wanita sangat ditentukan oleh seks, sedangkan laki-laki tidak. Pekerjaan wanita selalu dihubungkan dengan sektor domestik, jika ia bekerja maka tidak jauh dari kepanjangan pekerjaan-pekerjaan rumah tangga seperti: Bidan, perawat, guru dan sekretaris yang lebih banyak memerlukan keahlian manual saja. (M.Mansyur Amin, 1992). Jenis neo klasik tentang pembagian kerja seksual menerangkan bahwa, ada perbedaan seksual yang mempengaruhi produktivitas dan keahlian tenaga kerja. Teori tersebut menggunakan dua asumsi yaitu : a) Pada kondisi persaingan pekerjaan akan memperoleh upah besar margina produk yang dihasilkan b) Keluarga akan mengalokasikan sumber daya (waktu dan uang/diantara para anggota secara rasional yang mengakibatkan wanita memperoleb human kapital yang lebih sedikit dari poda pria pendidikan, ketrampilan,kesempatan lain). (M. Mansyur Amin, 1992). Keadaan tersebut akan menyebabkan wanita memperoleh penghasilan yang rendah. Secara umum upah atau gaji yang diterima lebih rendah dari poda pria, di daerah perkotaan dan pedesaan. Adanya perbedaan tingkat upah menurut Masri Singarimbun (Kedaulatan Rakyat, 5 Juli 1982) belum ada keseimbangan antara pendapatan dengan tenaga yang dikeluarkan oleh wanita pada umumnya bahwa standard upah wanita dibawah kewajaran. Secara umum terdapat faktor penentu tingkat upah yaitu : 1. Faktor Internal. Meliputi jam kerja dan lamanya bekerja. 2. Faktor Ekstemal. Meliputi jenis kelamin, tingkat pendidikan. Menurut analisis Gender, perbedaan tingkat upah antara pria dan wanita disebabkan oleh peran ganda itu sendiri yang menimbulkan masalah ketidakadilan dari peran dan perbedaan gender tersebut. Berbagai manivestasi ketidakadilan yang ditimbulkan dengan adanya asumsi gender, seperti : 1.) Terjadinya Marganalisasi ( Pemikiran ekonomi terhadap kaum wanita) Meskipun tidak setiap marginalisasi disebabkan oleh kertidakadilan gender namun yang dipersoalkan oleh analisis gender adalah marganalisasi yang disebabkan oleh perbedaan gender. 2) Terjadinya subordinasi pada salah satu jenis seks yang umumnya pada kaum wanita. Bentuk dan mekanisme dari proses subordinasi tersebut dari waktu ke waktu berbeda. Seperti anggapan bahwa wanita hanya mengandalkan ketrampilan alami (sifat alamiah wanita : kepatuhan, kesetiaan, ketelitian dan ketekunan serta tangan yang terampil, menyebabkan perempunn dilihat sebagai © 2003 Digited by USU Digital Library 2 pekerja yang kurang terampil, sehingga mendapatkan upah yang lebih rendah dibanding pekerja lakii-laki yang dianggap berketerampilan atau berpendidikan. 3) Pe-lebelan negatif (strereotype) terhadap jenis kelamin tertentu, terutama terhadap kaum perempuan. Dalam masyarakat banyak sekaJi stereotype yang dilebelkan pada kaum perempuan dan berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan, dan merugikan kaum perempuan. Anggapan Patrilineal menyatakan bahwa laki-laki adalah pencari nafkah utama dalam keluarga, sedangkan hanya sebagai pencari nafkah yang sifafnya skunder. Akibatnya dalam pasar tenaga kerja perempuan berstatus sekunder. 4) Terjadinya kekerasan (violence) terhadap jenis kelamin tertentu. Umumnya perempuan karena gender. Perbedaan gender dengan sosialisasi. Gender yang amat lama, mengakibatkan kaum perempuan secara fisik lemah dan kaum lelaki umumnya lebih kuat. Masyarakat juga lebih mendukung perempuan yang lebih bersikap malu-malu dan tunduk kepada superioritas, takut terhadap pengalaman dan orang-orang yang baru dijumpai (sikap kepatuhan yang menyebabkan mereka berani menuntut upah yang lebih tinggi yang telah ditetapkan perusahaan dan bersikap tidak mau keributan). Adanya sosialisasi peran gender dalam masyarakat menjadikan rasa bersalah bagi perempuan jika tidak melakukan yang bersifat demokratis. Sementara bagi kaum laki-laki, tidak merasa tanggung jawabnya, bahkan banyak tradisi yang melarang secara adat berpartisipasi. Beban kerja tersebut menjadi dua kali lipat bagi kaum perempuan yang juga bekerja. di luar rumah dan harus bertanggung jawab untuk keseluruhan pekerjaan domestik (Mansour Fakih, 1996). Wanita Indonesia sedanq menghadapi dilema dalam pekerjaan dimana dilema antara karier dalam hal ini tingkat upah dan keluarga tetap menghendaki wanita. PENUTUP Jalan menuju kemitraan antara pria dan wanita merupakan jalan panjang mulai dari jaman R.A Kartini sampai sekarang masih merupakan proses yang harus ditempuh. Wanita sebagai insan pembangunan diharapkan dapat mengembangkan diri dan meningkatkan peranannya dalam berbagai dimensi kehidupan, berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Peningkatan peranan dan kedudukan wanita seperti yang tercantum dalam GBHN, dalam kenyataan selalu mendapat tantangan, dimana terlihat dengan adanya kesenjangan antara wanita dan pria baik dari jenis pekerjaan maupun upah yang diterima. Perbedaan ini disebabkan oleh faktor sosiial baik yang bersifat internal maupun eksternal. Menurut analisis gender bahwa dilema wanita pekerja timbul karena adanya perbedaan gender dan proses sosialisasi peran gender tersebut. DAFTAR BACAAN Mansyhur Amin M, Wanita dalam Percakapan Antara Agama Aktualisasi Dalam Pembangunan, LKPSM NU DIY, Yogyakarta, 1992. Ihromi T 0, Kajian Wanita dalam Pembangunan, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1995. Fakih Mansour ,Analisis Gender dan Transformasi Sosial, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996 Ollenburger, Jane dan Helen A Moore, Sosiologi Wanita, Rhineka Cipta, Jakarta, 1996 Harian Kompas, 5 September 1995. Biro Pusa Statistik, Sakarnas 1994. Harian Kedaulatan Rakyat. © 2003 Digited by USU Digital Library 3