TANTANGAN PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI Oleh, Syamsu S.** Abstrak: Era globalisasi memberikan ciri-ciri antara lain: penyerbuan komunikasi dan informasi tanpa batas, tingginya laju informasi sosial, terjadinya perubahan gaya hidup, semakin tajamnya gap antara negara industri dengan negara berkembang. Pada era globalisasi kini, perubahan semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan dari negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Produk temuan dan kemajuan iptek telah memengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia yang menjadi ciri era globalisasi. Menyikap tantangan era globalisasi yang telah masuk ke wilayah pendidikan, perlu ditelaah permasalahan pendidikan Islam di Indonesia, mengidentifikasi tantangan pendidikan Islam, dan merumuskan sikap yang perlu ditempuh dalam menghadapi tantangan arus globalisasi itu. A. Pendahuluan Pendidikan Islam pada hakikatnya adalah suatu proses perwujudan nilai-nilai ideal islami yang terbentuk dalam pribadi manusia. Nilai-nilai itu memengaruhi dan mewarnai pola kehidupan manusia, sehingga menggejala dalam perilaku lahiriah. Dengan kata lain, perilaku lahiriah adalah cermin yang memproyeksikan nilai-nilai ideal islami yang telah mengacu di dalam jiwa manusia sebagai produk dari proses kependidikan Islam. Muzayyin Arifin, (2009:109) memandang nilai-nilai islami menekankan keseimbangan dan keselarasan hidup duniawi-ukhrawi menjadi landasan ideal yang hendak dikembangkan atau dibudayakan dalam pribadi manusia melalui pendidikan sebagai alat pembudayaan. Perilaku lahiriah yang mengandung nilai-nilai islami hendaknya diperkuat melalui pendidikan agama di sekolah, bukan hanya dilakukan dalam lingkungan rumah dan masyarakat saja, karena pendidikan agama di sekolah sangat berperan dalam pembinaan dan penyempurnaan pertumbuhan kepribadian seseorang. Pendidikan agama di sekolah dapat * Syamsu S., Dosen Jurusan Tarbiyah STAIN Palopo dalam Bidang Pendidikan dan Keguruan. 64 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 65 menerapkan praktik keagamaan, sehingga diharapkan mampu membentuk kesalehan pribadi dan kesalehan sosial. Ketika kedua bentuk kesalehan ini mengakar dalam jiwa seseorang, tantangan kehidupan di era globalisasi ini dapat tersaring dengan baik. Tantangan pendidikan Islam di era globalisasi kini semakin kuat. Tampak dengan jelas perubahan terjadi begitu cepat. Kemajuan di berbagai bidang terutama teknologi dan komunikasi memacu perubahan gaya hidup yang membuat dunia begitu sempit tanpa batas. Pola kehidupan modern merambah ke setiap pelosok di tanah air. Budaya manusia di pelosok manapun kini terbuka untuk berubah mengikuti budaya global yang mendominasi dunia. Pola kehidupan masyarakat saat ini sebagai ekses dari globalisasi sering dihadapkan pada berbagai masalah yang amat kompleks, merupakan bagian daripada fenomena sosial yang menjadi perhatian berbagai pihak. Salah satu masalah tersebut adalah semakin menurunnya tatakrama kehidupan sosial dan etika moral dalam praktik kehidupan, baik di rumah, sekolah, maupun lingkungan sekitarnya yang mengakibatkan timbulnya sejumlah efek negatif di masyarakat yang semakin merisaukan, misalnya, maraknya penyimpangan di berbagai norma kehidupan agama dan sosial yang terwujud dalam bentuk perilaku antisosial seperti pencurian, korupsi, pembunuhan, penyalahgunaan jabatan, dan perbuatan amoral lainnya. (Aat Syafaat, 2008:2). Dalam kenyataannya semakin hari terus meningkat, dampak negatif di era globalisasi semakin tampak di tengah masyarakat. Era kehidupan global dan kemajuan teknologi yang pesat semakin membuka ruang ke arah yang lebih ekstrim. Pola kehidupan pun semakin bergeser pada pola hidup individualis, materialis, dan liberalis. Pendidikan Islam merupakan alat yang cukup ampuh untuk menangkal dan menyaring segala unsur negatif sebagai dampak globalisasi itu. Upaya penanaman nilai-nilai islami dalam rangka memperkokoh iman dan takwa pada setiap pribadi muslim harus diciptakan. Menegakkan sistem nilai dengan mengaktualisasikan agama sebagai falsafah hidup, diikuti dengan upaya pembinaan dan pendidikan agama dalam berbagai aspek kehidupan, menormalisasikan kehidupan agama dalam lingkungan keluarga, masyarakat atau lembaga keagamaan lainnya. Hal ini sesuai dengan tujuan pendidikan Islam yakni membentuk manusia agamis dengan menanamkan keimanan, amaliah, dan akhlak yang terpuji untuk menjadi manusia yang bertakwa kepada Allah swt. Menyikapi tantangan era globalisasi tersebut, yang telah masuk ke wilayah pendidikan, perlu ditelaah permasalahan pendidikan Islam di 66 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 Indonesia sebagai dampak era globalisasi, mengidentifikasi tantangan pendidikan Islam di era globalisasi, dan merumuskan sikap yang perlu ditempuh dalam menghadapi tantangan arus globalisasi itu. B. Permasalahan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi Temuan ilmu pengetahuan dan teknologi telah menyebarkan hasil yang membawa kemajuan, dan dampaknya terasa bagi kehidupan seluruh umat manusia. Pada era globalisasi kini, perubahan semakin cepat terjadi dengan adanya kemajuan dari negara maju di bidang teknologi informasi dan komunikasi. Produk temuan dan kemajuan iptek itu telah memengaruhi bangunan kebudayaan dan gaya hidup manusia yang menjadi ciri era globalisasi. (Muhaimin, 2002:85). Ainur Rafiq Sophiaan (1993:74), menyebutkan, bahwa era globalisasi memberikan ciri-ciri antara lain yaitu: Pertama, semakin tingginya peradaban yang ditopang oleh keberadaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kedua, penyerbuan komunikasi dan informasi tanpa batas. Ketiga, tingginya laju informasi sosial. Keempat, terjadinya perubahan gaya hidup (lifestyle). Kelima, semakin tajamnya gap antara negara industri dengan negara berkembang. Ciri-ciri tersebut telah tampak di tengah masyarakat Indonesia, tidak mustahil memunculkan dampak pada nilai-nilai dan sikap negatif bersamaan dengan nilai-nilai dan sikap positif. Nilai negatif era globalisasi adalah timbulnya konflik dan krisis sehingga terjadi gap, seperti kuat versus lemah, kaya versus miskin, penindas dan tertindas. Dalam problema sosial terkait kemiskinan, kekerasan, terorisme, kriminalitas, narkoba dan penyalahgunaan jabatan. Sedangkan nilai positifnya adalah terbukanya wawasan keilmuan, kesejahteraan, akulturasi budaya pluralis. (Abd. Majid, 2000:18). Di sinilah letak pentingnya pendidikan Islam dihidupkan, diimplementasikan dalam semua lini kehidupan sebagai upaya mengantisipasi perkembangan iptek di era globalisasi. Dalam arti, mampukah para intelektual muslim menegakkan landasan akhlak alkarίmah di tengah dominasi temuan iptek tersebut. Pendidikan nasional di era globalisasi ini dibalut sejumlah permasalahan yang memerlukan paradigma baru. Demikian halnya pendidikan Islam sebagai subsistem pendidikan nasional dengan sendirinya memerlukan paradigma baru. Paradigma baru pendidikan diarahkan dalam rangka menuju masyarakat Indonesia baru, yaitu: Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 67 demokrasi, menghormati HAM, dan otonomi daerah yang ditujukan kepada tanggung jawab masyarakat di dalam kehidupannya. Tantangan pendidikan Islam di Indonesia sangat kompleks, memunculkan permasalahan tidak ubahnya seperti benang kusut. Tulisan ini hanya dapat merangkum sebagian kecil saja permasalahan yang dapat dilihat secara nyata dalam keseharian. 1. Masalah Kualitas Pendidikan Islam Deskripsi mengenai kualitas pendidikan di Indonesia dapat disimak pada laporan dari beberapa institusi bidang pendidikan, antara lain: Human Development Index (UNDP) tahun 2004 Indonesia menempati peringkat 109 dari 117 negara. Dalam bidang IPTEK perguruan tinggi terbaik di Asia dan Australia, ITB peringkat 21 dari 39 perguruan tinggi. Pada Multi Diciplinary University, tercatat UI urutan 61, UGM urutan 68, UNDIP urutan 73, dan UNAIR urutan 75 dari 77 universitas. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pendidikan di Indonesia masih rendah, apa pula pendidikan Islam tidak satupun PTAIN yang dapat terakomodir dalam indeks prestasi perguruan tinggi terbaik. Selain itu, dukungan dana pendidikan dalam kurun empat tahun terakhir ini pemerintah hanya mengalokasikan sekitar 1,4% dari GNP, dianggap rendah dibanding ratarata negara berkembang mencapai 3,8% dan untuk negara maju 5,1%. (Haidar Putra Daulay , 2004:66). Hal tersebut menujukkan indikasi kualitas pendidikan di Indonesia terutama pendidikan Islam masih tergolong rendah, belum menggembirakan, belum kompetitif di era globalisasi yang memerlukan handalan kompetitif. Banyak faktor yang menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan tersebut, di antaranya raw inputnya sendiri, yaitu manusia yang akan mengalami proses pendidikan, instrumen inputnya, guru, kurikulum, sarana/fasilitas, buku daras, dan lain sebagainya. Selain itu, enviromental inputnya, yaitu lingkungan sosial budayanya, termasuk sikap terhadap pendidikan baik pemerintah maupun masyarakat, dan penganggarannya amat sedikit untuk sektor pendidikan. Kritik terhadap kualitas pendidikan Islam dari berbagai elemen masyarakat Islam semakin menguat. Kritikan tersebut tertuju pada aspek antara lain: Pertama, pendidikan Islam lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoretis keagamaan yang bersifat kognitif, kurang dimaknai dengan nilai yang terinternalisasikan dalam diri peserta didik. Kedua, metodologi pendidikan Islam berjalan secara konvensionaltradisional dan monoton. Ketiga, pendekatan pendidikan cenderung 68 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 normatif tanpa ilustrasi konteks sosial budaya. Keempat, guru PAI terlalu terpaku pada silabus mata pelajaran PAI. Kelima, guru PAI lebih bernuansa guru spritual, kurang diimbangi dengan nuansa intelektual dan profesional. (Muhaimin, et. al, 2002:111). Kualitas output pendidikan Islam tidak hanya diukur dari kemajuan intelektualnya saja, tetapi juga harus ditinjau dari segi mental, misalnya etos kerja guru, disiplin, semangat belajar peserta didik, dan sebagainya. Oleh karena itu, kunci utama di dalam peningkatan kualitas pendidikan Islam adalah kualitas guru PAI. Untuk meningkatkan kualitas guru PAI, banyak aspek yang terkait antara lain tingkat pendidikan guru, kemampuan mengkomunikasikan ilmunya kepada peserta didik, moralitas, dan loyalitas terhadap tugas, yang kesemuanya ini telah dikemas dalam bingkai kompetensi guru, dan tidak kalah pentingnya adalah kesejahteraan guru. 2. Masalah Pemerataan Pendidikan Dalam pembukaan UUD 1945 disebutkan salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah “mencerdaskan kehidupan bangsa”. Dalam batang tubuh UUD 1945 pasal 31 ayat (1) disebutkan bahwa “Tiap-tiap warga negara berhak mendapat pendidikan”. Selanjutnya berkenaan dengan itu, dituangkan pula di dalam Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 5 (1) bahwa “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”.(UURI, 2006:70). Berdasarkan diktum di atas dipahami betapa semangat perundangundangan yang ada menyahuti pemerataan pendidikan, akan tetapi kenyataannya hal itu belum bisa diwujudkan. Ada beberapa faktor penyebabnya antara lain faktor ekonomi, sosial kultur, daya tampung yang terbatas. Masyarakat dari kalangan ekonomi lemah sangat sulit menyekolahkan anaknya karena ketiadaan dana, sekali pun anaknya memiliki intelegensi tinggi. Pemerintah mengucurkan dana ke sekolah dalam bentuk Bantuan Operasional Sekolah (BOS), atau Bantuan Khusus Miskin (BKM) yakni bantuan dana bagi siswa yang kurang mampu segi ekonomi namun memiliki kecerdasan tinggi. Akan tetapi jumlah dana bantuan pemerintah itu belum mencukupi untuk kebutuhan lainnya selain membayar sumbangan pendidikan. Realitas ini menafikkan program pemerataan pendidikan terwujud. Program ini masih butuh waktu dan kemauan tinggi untuk merevisi dan memperbaiki kekurangan sistem pendidikan yang ada agar prestasi pendidikan di negeri ini bisa berada pada baris terdepan. Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 69 3. Masalah Kurikulum Ada beberapa masalah pendidikan Islam di seputar kurikulum. Pertama, terlalu sentralistik, kurang menunjukkan ciri dan spesifik kedaerahan baik dalam bentuk geografis maupun sosial budaya. Kedua, kurikulum terlalu sarat dan padat. Ketiga, relevansi kurikulum dengan pasar kerja kurang menyebabkan terjadi penumpukan pengangguran dari output lembaga pendidikan.(Haidar Putra Daulay, 2004:69). Dalam kurikulum mata pelajaran PAI padat materi dengan muatan teoretis keagamaan diperkeruh lagi dengan pendekatan pembelajaran yang cenderung monoton, orientasi kognitif yang tinggi dan kurang berorientasi pada afektif dan skill, output lembaga pendidikan Islam kurang berkualitas sehingga cenderung dimarginalkan setiap rekrukmen pegawai. Kondisi seperti ini menjadikan lembaga pendidikan Islam kurang diminati peserta didik. Kekurangan pendidikan Islam disebabkan praktik pendidikannya hanya memperhatikan aspek kognitif semata dari pertumbuhan kesadaran nilai-nilai agama, dan mengabaikan pembinaan aspek afektif, yakni kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran agama. Pendidikan agama banyak dipengaruhi oleh trend Barat, yang lebih mengutamakan pengajaran dari pada pendidikan moral, padahal intisari dari pendidikan agama adalah pendidikan moral. Pendidikan Islam selama ini jalan di tempat, perlu dicarikan solusi pemecahannya baik oleh guru PAI itu sendiri maupun para pemerhati dan pengembang pendidikan Islam. C. Tantangan pendidikan Islam dalam Era Globalisasi Abad ke-21 ini atau milenium ketiga terjadi perubahan yang cepat disebabkan kemajuan teknologi informasi, komunikasi, dan transpormasi melahirkan fenomena globalisasi. Segala peristiwa dan perubahan di negara maju dengan cepat sampai ke berbagai negara yang sekaligus akan menerima dampak baik positif maupun dampak negatif. Fenomena globalisasi tersebut membuka peluang dan tantangan terhadap dunia pendidikan. Globalisasi telah mengubah cara hidup manusia sebagai individu, sebagai warga masyarakat, dan sebagai warga bangsa. Tidak seorang pun yang dapat menghindar dari arus globalisasi. Setiap individu dihadapkan pada dua pilihan, yakni menempatkan diri dan berperan sebagai pemain dalam arus perubahan globalisasi, atau menjadi korban dan terseret derasnya arus globalisasi. 70 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 Tantangan yang dihadapi oleh umat Islam pada zaman ini adalah tantangan pengetahuan yang dipahamkan dan disebarkan ke seluruh dunia oleh peradaban Barat. Karena itu, sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia dipandang sebagai inti pendidikan Islam mengalami kondisi serba sulit, tak menentu (malaise) yang menyebabkan penderitaan dialami umat Islam. (Muhaimin, 2004: 90). Muzayyin Arifin (2009:199) melihat fenomena pada era globalisasi, bahwa ada dua event (kejadian, peristiwa) yang hampir bersamaan muncul di Indonesia saat memasuki milenium ketiga. Pertama, globalisasi diakibatkan kemajuan ilmu dan teknologi komunikasi dan transportasi sehingga dunia semakin menjadi tanpa batas, akibatnya muncul budaya global. Dalam bidang ekonomi terbentuknya pasar bebas, dalam bidang politik tumbuh semangat demokratisasi, dalam bidang budaya terjadi pertukaran budaya antar bangsa yang saling memengaruhi, dalam bidang sosial muncul semangat konsumeris yang tinggi. Kedua, reformasi memunculkan wajah baru Indonesia. Wajah baru itu akan memunculkan masyarakat madani, yakni masyarakat berperadaban dengan menekankan kepada demokratisasi dan hak-hak asasi manusia, serta hidup dalam berkeadilan. Setiap orang akan mengalami arus globalisasi yang memang sudah mengglobal dalam semua sektor kehidupan manusia. Arus globalisasi juga masuk dalam wilayah pendidikan dengan berbagai implikasi dan dampaknya, baik positif maupun negatif. Pendidikan Islam bertujuan menciptakan manusia bertakwa dalam arti sebenarnya, yaitu membangun struktur pribadinya sesuai dengan syariah Islam serta melaksanakan segenap aktivitas kesehariannya sebagai wujud ketundukannya pada Allah swt. Pendidikan Islam pada dasarnya adalah suatu proses menanamkan nilai-nilai fundamental Islam kepada setiap muslim terlepas dari disiplin ilmu apapun yang akan dikaji, sehingga diharapkan akan bermunculan “anak-anak muda energik yang berotak Jerman dan berhati Makkah” seperti yang sering dikatakan oleh mantan Presiden B.J. Habibie. Akan tetapi, tujuan pendidkan Islam tersebut masih sebatas harapan. Muzayyin Arifin (2009:40) mengemukakan, bahwa tantangan yang dihadapi pendidikan Islam saat ini meliputi bidang-bidang sebagai berikut ini. Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 71 1. Politik Dalam kehidupan politik berkaitan dengan masalah bagaimana membimbing, mengarahkan, dan mengembangkan kehidupan bangsa dalam jangka panjang. Pengarahan tersebut didasarkan atas falsafah negara yang mengikat semua sektor perkembangan bangsa dalam proses pencapaian tujuan nasional. Lembaga pendidikan merupakan sektor kehidupan budaya bangsa yang pengembangannya terikat dengan tujuan nasional. Oleh karena itu, kehidupan politik akan memberi warna pada perkembangan pendidikan Islam, dalam arti ikut memberi warna pembinaan watak kepribadian, kreativitas, etos kerja penyelenggara pendidikan Islam. 2. Kebudayaan Perkembangan kebudayaan dalam abad modern saat ini tidak dapat terhindar dari pengaruh kebudayaan bangsa lain. Kondisi demikian menyebabkan timbulnya akulturasi. Faktor nilai yang melandasi kebudayaan sangat menentukan proses akulturasi tersebut. Bilamana nilainilai kultur suatu bangsa melemah karena berbagai sebab, kebudayaan bangsa itu akan mudah terperangkap atau tertelan oleh kebudayaan lain yang memasukinya, sehingga identitas kebudayaan bangsa itu sendiri akan lenyap. 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi Teknologi sebagai ilmu pengetahuan terapan adalah hasil kemajuan budaya manusia yang banyak bergantung pada manusia yang menggunakannya. Teknologi sebagai suatu kekuatan kebudayaan yang bersifat netral dalam tugas dan fungsinya, bergantung pada manusianya dalam pengelolaan dan pemanfaatannya. Di sinilah tantangan lembaga pendidikan Islam untuk memberi jawaban terhadap tantangan yang ditimbulkan oleh teknologi. 4. Ekonomi Ekonomi merupakan tulang punggung kehidupan bangsa yang dapat menentukan maju-mundurnya, lemah-kuatnya, lambat-cepatnya proses pembudayaan bangsa. Pengaruh kehidupan ekonomi banyak mewarnai corak perkembangan sistem kependidikan dalam masyarakat terutama pada negara berkembang seperti masyarakat Indonesia. Oleh karena itu, kehidupan ekonomi Indonesia banyak mempengaruhi 72 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 pertumbuhan lembaga pendidikan Islam dan penyelenggaraan pendidikan Islam bahkan mempengaruhi sistem pendidikan secara nasional. 5. Kemasyarakatan Perubahan yang terjadi dalam sistem kemasyarakatan dapat mengalami ketidakpastian tujuan hidup. Hal ini akan menimbulkan problem-problem kemasyarakatan. Oleh karena itu, tantangan dalam hal perubahan masyarakat (social change) menuntut jawaban dari lembaga pendidikan terutama lembaga pendidikan Islam. 6. Sistem nilai Norma-norma yang dipegang oleh masyarakat merupakan nilai hidup dan pedoman dalam hidup bermasyarakat. Namun demikian, sistem nilai akan mengalami perubahan-perubahan apabila berhadapan dengan kemajuan berpikir manusia itu sendiri maupun oleh desakan dari sistem nilai lain yang dianggap maju dan lebih baik. Patut dipahami, bahwa saat ini sedang dilanda perubahan sistem nilai yang lebih cenderung untuk meninggalkan sistem nilai tradisional yang ada sehingga memunculkan pertanyaan, apakah hal ini disebabkan oleh karena naluri manusia yang cenderung untuk menyukai hal-hal yang baru ataukah ada semacam “kekuatan mendesak” (pressure power) dari luar. Hal inilah yang menjadi titik sentral problem yang melahirkan tantangan terhadap lembaga pendidikan Islam. D. Sikap dalam Menghadapi Tantangan Pendidikan Islam dalam Era Globalisasi Menyikapi tantangan pada era globalisasi, pendidikan masa depan perlu sejak dini melatih peserta didik untuk mampu belajar secara mandiri dengan memupuk sikap gemar membaca dan mencari serta memanfaatkan sumber informasi (buku, komputer, intrnet, TV, radio) yang diperlukan untuk dapat menjawab persoalan-persoalan yang dihadapi. Semua teknologi informasi, komputer, teknologi transfortasi, dan lainnya yang memudahkan kehidupan perlu dikuasai. Peran pendidikan Islam sebagai religius nation character building (pembentukan watak bangsa yang agamis) harus tetap diberikan porsi yang cukup agar kesatuan dan persatuan bangsa tetap terpelihara di tengah budaya yang semakin mengglobal. Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 73 Dalam memberikan jawaban terhadap tantangan yang dihadapi pendidikan Islam di era globalisasi di atas, Muzayyin Arifin (2009:46) memberikan alternatif-alternatif yang perlu dipertimbangkan untung ruginya bagi lembaga kependidikan Islam, sebagai berikut: 1. Sikap tak acuh terhadap tantangan Sikap ini adalah yang paling murah dilakukan karena tidak memerlukan konsep pemecahan masalah yang dihadapi, cukup hanya mengamati dan membiarkan segala apa yang terjadi. Sikap ini mempunyai landasan pendirian, yaitu bahwa suatu perubahan pada hakikatnya merupakan sunnah Allah yang memang dikehendaki oleh hukum alam yang telah ditakdirkan oleh Allah. Alasan lain, bahwa perubahan yang terjadi dari globalisasi itu bersifat sementara yang hakikatnya adalah salah satu putaran kehidupan sosial itu sendiri yang pada gilirannya akan kembali kepada posisinya semula. Sikap ini bersifat optimis, agnostis (masa bodoh), serta mengandung nilai-nilai yang kondusif terhadap isolationistis yang tidak menguntungkan bagi dunia pendidikan Islam pada khususnya. 2. Sikap mengakui adanya perubahan, namun menyerahkan pemecahannya pada pihak lain Sikap ini bersifat moderat dengan latar belakang pandangan bahwa segala perubahan yang ada itu bukan untuk dijawab oleh lembaga kependidikan. Sekolah atau lembaga kependidikan tidak perlu menganalisis mengapa dan bagaimana serta kemana perubahan masyarakat itu terjadi dan akan terjadi lagi, cukuplah orang atau lembaga atau pihak lain yang menanganinya. 3. Sikap yang mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam perubahan Sikap ini lebih positif dari sikap-sikap sebelumnya. Sikap ini memandang bahwa fungsi lembaga pendidikan sangat terkait dengan kehidupan masyarakat yang sedang berlangsung. Transisi kebudayaan (culture in transition) sebenarnya sedang berlangsung di dalam realita kehidupan masyarakat. Mencermati sikap ketiga ini maka lembaga pendidikan harus mampu menerjemahkan keadaan masyarakat untuk masyarakat itu sendiri. Bila masyarakat itu mengalami perubahan karena ia berada dalam arus globalisasi maka lembaga pendidikan itu sendiri harus menjadi pengubah masyarakat itu. Karena itu, lembaga pendidikan wajib berpartisipasi dalam 74 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 usaha pengubahan kehidupan masyarakatnya serta sanggup menolong generasi muda belajar mengenai perubahan itu. 4. Sikap melibatkan diri dalam perubahan dan menjadikan dirinya sebagai pusat perubahan Sikap ini lebih militan dan progresif daripada yang sebelumnya, karena ia berpendirian bahwa lembaga kependidikan harus bertanggung jawab terhadap perubahan sosial tersebut. Suatu perubahan adalah suatu realita yang tidak perlu dipersoalkan lagi. Lembaga pendidikan adalah bagian dari masyarakat, karena itu ia harus terlibat dalam perubahan masyarakat. Berdasarkan pandangan ini, patut dipahami kalau lembaga pendidikan yang mengambil sikap seperti ini tampaknya tidak hanya dinamis sepanjang waktu, melainkan pula menyesuaikan mekanisme sosial dengan tuntutan masyarakat teknologis. Empat macam sikap pelaku pendidikan atau lembaga pendidikan termasuk pendidikan Islam sebagai alternatif menghadapi tantangan perubahan sosial akibat globalisasi. Mana di antara sikap tersebut yang lebih baik untuk dipegang atau dipedomani adalah sangat bergantung pada dimensi filosofis dari masing-masing institusi kependidikan itu sendiri. E. Penutup Berdasarkan uraian sebelumnya, pada bagian ini dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut: 1. Pendidikan Islam sebagai sub sistem pendidikan nasional di era globalisasi ini dibalut sejumlah permasalahan. Permasalahan tersebut meliputi: kualitas pendidikan Islam belum dapat berkompetitif, pemerataan pendidikan yang belum menyentuh semua lapisan masyarakat, dan kurikuluam yang sifatnya desentralisasi namun realitas praktiknya masih sentralistik. 2. Tantangan pendidikan Islam di Indonesia dalam era globalisasi adalah sistem pendidikan Islam telah dicetak di dalam sebuah karikatur Barat, sehingga ia dipandang sebagai inti pendidikan Islam mengalami kondisi serba sulit. Tantangan tersebut meliputi: bidang-bidang politik, kebudayaan, ilmu pengetahuan dan teknologi, kemasyarakatan, dan sistem nilai. Volume 14, Nomor 1, Januari 2012 75 3. Sikap dalam menghadapi tantangan pendidikan Islam di Indonesia dalam era globalisasi antara lain yaitu: a. Sikap tak acuh terhadap tantangan. b. Sikap mengakui adanya perubahan, namun menyerahkan pemecahannya pada pihak lain. c. Sikap yang mengidentifikasi dan berpartisipasi dalam perubahan. d. Sikap melibatkan diri dalam perubahan dan menjadikan dirinya sebagai pusat perubahan. Daftar Rujukan Arifin, Muzayyin. 2009. Filsafat Pendidikan Islam. Cet. IV; Jakarta: Bumi Aksara. Daulay, Haidar Putra. 2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Cet. I; Jakarta: Kencana. Majid, Abd. 2000. Tantangan dan Harapan Umat Islam di Era Globalisasi. Cet. I; Bandung: Pustaka Setia. Muhaimin. 2004. Wacana Pengembangan Pendidikan Islam. Cet. II; Surabaya: Pusat Studi Agama, Politik dan Masyarakat (PSAPM). Muhaimin, et. al. 2002. Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Islam di Sekolah. Cet. II; Bandung: Remaja Rosdakarya. Sophiaan, Ainur Rafiq. 1993. Tantangan Media Informasi Islam, Antara Profesionalisme dan Dominasi Zionis. Surabaya: Risalah Gusti. Syafaat, TB. Aat., dkk. 2008. Peranan Pendidikan Islam dalam Mencegah Kenakalan Remaja. Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers. 76 Volume 14, Nomor 1, Januari 2012