Pendidikan Agama Islam Bukan Pengetahuan

advertisement
Pendidikan Agama Islam
Bukan Pengetahuan Agama Islam
(Pendekatan Holistik-Kultural dalam Pembelajaran PAI)
Oleh Budi Santoso *)
Islam merupakan sebuah sistem
nilai. Lebih dari sekedar pengetahuan
kognitif, Islam merupakan jalan hidup
(way of life) bagi setiap muslim. Islam bukan sebuah subjek ilmu pengetahuan untuk dikuasai ataupun
objek pengetahuan untuk dikaji. Islam adalah sebuah jalan yang harus
ditempuh, standar moral bagi setiap
pemeluknya, nilai yang harus diejawantahkan, lebih jauh lagi Islam pada
hakikatnya adalah sebuah pembuktian dari iman. Implikasi logisnya bagi
dunia pendidikan, mengajarkan Islam
berarti mengajari siswa untuk hidup
dan berbuat secara Islami. Bukan mengajari siswa tentang Islam. Teaching students how to be islamic not
what Islam is.
Selama ini Pendidikan Agama
Islam (selanjutnya disingkat PAI) di
lembaga sekolah formal yang ada, MI
sampai MAN, SD sampai SMU, lebih
menekankan aspek kognitif saja. Siswa disuguhi pelbagai informasi dan
data keislaman yang harus mereka
simpan baik-baik dalam otak mereka,
jika ingin meraih nilai yang memuaskan. Keberhasilan mata pelajaran PAI
diukur dengan seberapa banyak siswa menyerap informasi keislaman
serta menjawab pertanyaan seputar
keislaman. Pertanyaan yang muncul
kemudian adalah apakah nilai kognitif
tersebut berbanding lurus dengan
perilaku siswa. Jawabannya dapat kita peroleh dengan mudah dari berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini dimana banyak diberitakan adanya tawuran pelajar, penyalahgunaan narkoba, kenakalan seksual, bahkan kejahatan kelas berat yang dilakukan oleh siswa kita. Dewasa ini telinga kita tidak asing lagi dengan berita
kehamilan siswi di luar pernikahan,
pencurian, pemerkosaan, serta pembunuhan yang dilakukan oleh anak
usia sekolah. Siapa yang harus bertanggung jawab atas ini semua.
40
MPA 320 / Mei 2013
Terlalu banyak pihak yang bisa kita
salahkan. Dari A sampai Z, para pembuat kebijakan dari hulu sampai hilir
punya andil masing-masing atas masalah ini. Tidak terkecuali kita sebagai eksekutor kebijakan pendidikan
di negeri ini.
Tulisan singkat ini (demi menghindari kalimat yang berbelit, dan keterangan yang tidak perlu) mencoba
menawarkan solusi korektif (mungkin
lebih tepat usulan) sebagai bentuk
tanggung jawab penulis sebagai seorang pendidik atas kerusakan moral
pelajar kita dewasa ini. Tesis utama
tulisan ini adalah Pembelajaran PAI
secara holistik-kultural untuk membentuk karakter siswa yang islami. Tidak terlalu ilmiah memang karena ini
sebuah tesis yang belum teruji, serta
lebih merupakan hasil perenungan
kontemplatif daripada penelitian akademik.
Pendidikan Agama Islam
Ada beberapa pendapat tentang definisi Pendidikan Agama Islam, antara lain: Pertama, menurut
Prof. H.M. Arifin, M.Ed., Pendidikan
Agama Islam adalah studi tentang
sistem dan proses kependidikan yang
berdasarkan Islam untuk mencapai
produk atau tujuannya, baik studi secara teoritis maupun praktis. Kedua,
menurut Achmadi, Pendidikan Agama Islam adalah ilmu yang mengkaji
pandangan Islam tentang pendidikan dengan menafsirkan nila-nilai ilahi
dan mengkomunikasikannya secara
timbal balik dengan fenomena dalam
situasi pendidikan. Pendapat lain
adalah definisi yang diberikan oleh
Abdurrahman; Pendidikan Agama
Islam adalah sistem pendidikan untuk
melatih anak didik dengan sedemikian
rupa sehingga dalam sikap hidup, tindakan, dan pendekatannya terhadap
jenis pengetahuan banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai spiritual dan sa-
ngat sadar akan nilai etik islami.
Dari ketiga definisi diatas, penulis lebih condong untuk memakai definisi yang terakhir karena lebih komprehensif dan implementatif. PAI seharusnya berorientasi pada pembiasaan peserta didik dalam kegiatan sehari-hari mereka secara Islami (Baca:
sesuai tuntunan Islam). PAI seharusnya tidak hanya mengisi otak siswa
dengan setumpuk data pengetahuan
tentang Islam; mulai dari fakta historis sampai ajaran-ajaran normatif. Memang pada mulanya siswa dikenalkan
dengan ajaran-ajaran normatif keagamaan, sebab amal tanpa ilmu tidak
akan diterima. Namun proses pembelajaran PAI hendaknya tidak berhenti
sampai disitu. Seperangkat pengetahuan kognitif siswa tadi hendaknya
dijadikan bekal bagi pengembangan
pendidikan ke ranah psikomotorik
siswa melalui kegiatan-kegiatan praktis keagamaan di lingkungan sekolah, sehingga akan tercipta nuansa
yang lebih religius di sekolah.
Efektifitas Pendidikan Agama
Islam
Kenakalan remaja seperti; tawuran, balap liar, penyalahgunaan
narkoba ataupun kejahatan yang mereka lakukan seperti; pencurian, pemerkosaan, sampai pembunuhan adalah bukti bahwa pendidikan agama
yang mereka terima di bangku sekolah tidak efektif untuk mengarahkan
mereka untuk berperilaku positif. Tindakan yang mereka perbuat tidak
mencerminkan nilai pelajaran agama
yang mereka peroleh di sekolah.
Ada beberapa faktor penyebab
yang dapat kita ungkap berkaitan ketidakefektifan pembelajaran PAI di
sekolah. Salah satunya adalah pembelajaran PAI yang bersifat parsial
(tidak holistik), terlalu berkutat pada
ranah kognitif siswa. Setiap hari siswa disuguhi bermacam-macam data
pengetahuan keislaman yang harus
mereka simpan dalam otak mereka.
Penilaian hanya berdasarkan tingkat
pengetahuan siswa akan keislaman,
tanpa mempertimbangkan aspek
tingkah-laku (behavior) siswa. Akibatnya, terjadilah ironi siswa dengan
nilai pelajaran PAI bagus namun berperilaku buruk, tidak islami.
Ada yang memandang bahwa
keberhasilan pendidikan dapat didasarkan pada pengetahuan yang diperoleh anak, dan ada yang memandang hasil pendidikan didasarkan
pada perubahan perilaku anak yang
diperoleh dari proses pendidikan. Penulis condong terhadap pandangan
yang kedua. Tingkat keberhasilan
pendidikan apapun, dari subyek keilmuan yang paling teoritis sampai
yang paling praktis, seharusnya juga
didasarkan pada perilaku peserta didik. Sedikit apapun ilmu yang mereka
peroleh hendaknya berdampak dalam
perilaku mereka.
Apabila kita menggunakan konsep pendidikan menurut UNESCO,
maka hasil pendidikan didasarkan
pada pengalaman belajar anak, yang
berarti, keberhasilan pendidikan diukur dari hasil empat pilar pengalaman belajar anak, yakni (1) belajar mengetahui (“learning how to know”),
(2) belajar berbuat (“learning how
to do”), (3) belajar hidup bersama
(“learning to live together”), dan
(4) belajar menjadi seseorang
(“learning to be”). Konsep inilah
yang lebih sesuai dengan konsep
Pendidikan Agama Islam berbasis
kultur Islami, karena dari pengamalan
dan pengalaman itulah perilaku siswa
dilatih dan dibentuk menjadi islami.
Keseimbangan antara empat pilar pendidikan diatas dapat memberikan wawasan, tindakan, kebersamaan, dan pembentukan pribadi menjadi
seimbang, yang akan membawa siswa ke jalan menuju perkembangan
peradabannya. Keempat pilar pendidikan tersebut yang semula sebagai
latihan, kemudian dapat menghasilkan kebiasaan-kebiasaan yang apabila telah melampaui batas tertentu,
kebiasaan itu akan menjadi milik mereka dan berarti membudaya dalam
diri mereka. Oleh karena cara pembelajaran PAI yang sekarang terjadi hanya dengan satu cara, yakni “delivery system”, system penyampaian,
maka pendidikan PAI sekarang ini hanya dapat mengisi pengetahuan siswa semata, tanpa pernah memperbaiki perilaku siswa. Inilah pokok persoalannya!
Pendekatan Holistik-Kultural
Pendekatan holistik-kultural terhadap pembelajaran PAI merupakan
salah satu solusi alternatif untuk meningkatkan efektifitas pembelajaran
PAI di lembaga formal sekolah. Pembelajaran PAI di sekolah hendaknya
tidak lagi dilakukan secara parsial,
berkubang di ranah kognitif siswa saja, melainkan secara menyeluruh (holistik) dari aspek kognitif, afektik,
hingga psikomotorik siswa.
Dalam buku Paradigma Pendidikan Islam, Ibnu Hadjar menawarkan
beberapa program untuk mewujudkan sebuah sistem pendidikan Islam
yang holistik. Program-program tersebut adalah pertama, melakukan analisis terhadap kebutuhan dan kondisi
siswa, yang diantaranya meliputi latar belakang pengetahuan, motivasi,
kebiasaan belajar, dan lain-lain. Hal
ini akan memberikan ide bagi guru
tentang materi dan pengalaman belajar mana yang sesuai untuk siswa.
Hasil analisis itu juga bermanfaat sebagai bahan pertimbangan bagi guru
untuk memilih teknik dan strategi
belajar-mengajar yang sesuai. Kedua, memadukan materi sub subyek
seperti SKI, fiqh, tauhid, ibadah, dan
akhlak ke dalam satu unit belajar. Pemaduan materi ini akan memungkinkan siswa untuk mempelajari agama
secara komprehensif dan integral. Pemaduan perspektif yang berbeda dalam satu topik ini akan memberikan
pemahaman yang lebih berarti dan
utuh.
Ketiga, mengubungkan materi
yang diajarkan dengan pengalaman
nyata. Pengetahuan tentang ajaran
agama akan lebih berarti bagi siswa
jika berkaitan dengan pengalaman
empiris. Hubungan antara pengetahuan dan pengalaman ini tidak hanya
bermanfaat untuk meningkatkan pengetahuan saja, namun juga sikap keagamaan siswa.
Keempat, memberi siswa kesempatan untuk mengalami sendiri
secara langsung. Beberapa ajaran Islam lebih mudah dipahami bila siswa
mengalaminya secara langsung. Pe-
lajaran tentang sholat akan lebih efektik dilakukan di mushola atau masjid
sekolah daripada di kelas. Kelima,
mempraktikkan bacaan dzikir di kelas.
Hal ini merupakan alat yang sangat
efektif untuk mengembangkan rasa
keagamaan (religiousity) siswa. Siswa akan memiliki kepekaan dan kehalusan budi pekerti.
Daftar di atas dapat ditambah
lagi. Namun, poin tersebut di atas dapat dijadikan landasan pemikiran
yang umum untuk mengembangkan
kurikulum pendidikan agama yang
lebih efektif. Apapun metode pembelajaran yang dikembangkan, guru
agama hendaknya menghindari sistem pendidikan yang parsial, hanya
menyentuh pada satu ranah saja, melainkan secara utuh meliputi ranah
kognitif, afektif, dan psikomotorik
siswa. Bahkan ranah sosial juga. Disamping itu, guru juga harus menghindari adanya fragmentasi, baik materi maupun proses pembelajarannya.
Ia harus mampu mengkaitkan semua
aspek pembelajaran sehingga lebih
berarti bagi siswa.
Kurang efektifnya pendidikan
agama di lembaga formal sekolah
nampaknya terjadi karena tidak sesuainya pendekatan pembelajaran
yang digunakan oleh guru agama
dengan prinsip dasar kehidupan keberagamaan, yang lebih menekankan
kesatuan dan keterpaduan serta keseimbangan seluruh aspek-aspek kehidupan siswa. Pendekatan yang bersifat parsial baik dalam materi maupun
metode akan menghasilkan siswa dengan kualitas yang parsial juga. Pengetahuan agamanya bagus, namun
perilakunya menyimpang.
Untuk mengatasi hal ini, pendekatan holistik-kultural dapat dijadikan alternatif bagi guru agama dalam
mengembangkan kurikulum Pendidikan Agama Islam di kelas. Konsekuensi logisnya, hal ini tentu berdampak pada penambahan jumlah jam
pelajaran PAI. Dengan pendekatan
holistik-kultural kualitas siswa yang
akan dihasilkan akan jauh lebih baik.
Dengan pembiasaan kegiatan yang
islami di sekolah, akan menghasilkan
siswa yang pintar kognitifnya, halus
afektifnya, dan berbudaya psikomotoriknya.z
*) Guru MIN Nanggungan
Prambon Nganjuk
MPA 320 / Mei 2013
41
Download