TINJAUAN PUSTAKA Potensi dan Peranan Pod Kakao bagi Ruminansia Coklat atau kakao (Theobromu cucuo, L) merupakan salah satu komoditas perkebunan yang diusahakan secara besar-besaran di Indonesia, baik yang dikelola oleh perkebunan rakyat, negara maupun swasta. Luas areal tanaman kakao secara keseluruhan maupun produksinya dari tahun 1986 sampai tahun 1995 mengalami peningkatan secara pesat (Gambar 1) (Statistik Indonesia, 1996). Luas area tanaman kakao pada tahun 1986 baru mencapai 93.2 Ha, pada tahun 1995 sudah mencapai 5.8 kali lipat dengan produksi pada tahun 1986 sebesar 33,7 ribu dan pada tahun 1995 meningkat 7.5 kali. Akibatnya muncul masalah baru yaitu terjadinya peningkatan lirnbah ikutan yang dihasilkan baik sebelum maupun sesudah proses produksi. 1906 1980 1987 1990 1989 1992 1991 1994 1993 1995 Tahun Kulerangiul: A: Data luas area l a i ~ a n wkakao; ~ 13: Data pruduLi kakao Gambar I. Luas Area dan Produksi Kakao dari Tahun 1986 sampai 1995 Pod kakao adalah bagian mesokarp atau bagian dinding buah yang mencakup kulit terluar sampai daging buah sebelum kumpulan biji. Pod kakao tersebut merupakan bagian terbesar dari limbah perkebunan yang berasal dari tanaman kakao dan proporsinya diperkirakan 70% berat segar seluruh buah (Wong et al., 1986). Peneliti lain menyatakan bahwa bagian pod kakao proporsinya 75.67%, kulit biji 2.53%, biji dan pulp 2 1.74% (Darwis et a]., 1988). Berarti dengan semakin luas area tanaman kakao di Indonesia, pod kakao yang dihasilkan juga akan semakin banyak. Berdasarkan an8ka perkiraan sampai tahun 1996, luas area tanaman kakao sudah mencapai 546,O ribu ha dengan produksi 249,l ribu ton. tahun-' (Statistik Indonesia, 1996), diperkirakan jurnlah pod kakao yang dihasilkan adalah 6 669,5 ribu ton.tahun-'. Dipandang dari segi kuantitas dan kontinuitas produksi, pod kakao cukup potensial digunakan sebagai sumber pakan serat bagi ruminansia. Akan tetapi karena kualitasnya rendah, tercerrnin dari rendahnya kandungan protein dan serat kasar yang tiiggi, masing-masing antara 6.61 dan 8.75% dan 30.7 dan 33.15% (Darwis et al. 1988; Amirroenas, 1990; Zainuddin dan Zahari, 199l), serta tingginya kandungan lignin yaitu antara 20.11 dan 27.95% (Darwis et al., 1988; Amirroenas, 1990), menyebabkan kecernaan menurun sejalan dengan kenaikan penggunaan pod kakao dalam ransum. Penurunan kecernaan tersebut mungkin disebabkan oleh peningkatan kandungan lignin. Pernyataan ini didukung oleh Van Soest (1982) bahwa ratio lilylin/selulosa mempengaruhi kecernaan bahan organik. Selanjutnya dinyatakan bahwa makin rendah ratio lignin/selulosa, kecernaan bahan organik semakin tinggi atau sebaliknya. Berdasarkan hasil penelitian Arnirroenas (1990) diperoleh bahwa penggunaan pod kakao yang difermentasi dengan kapang lrichderma viriclae dalam ransum pelet yang mengandung 30% biomasa pod kakao tanpa ekstraksi enzim selulase lebih baik dibandingkan ransum biasa yang mengandung 30% rumput gajah dalam peningkatan berat badan dan konsumsi, namun kurang baik dalam peningkatan kecernaan ransum. Selain itu juga dikemukakan bahwa pemberian pod kakao bersama sama dengan konsentrat pada level 0, 20, 30, 40 dan 60%, terjadi penurunan kecernaan protein dan serat kasar serta bobot badan yang terus meningkat sejalan dengan kenaikan pemberian pod kakao. Oleh sebab itu perlu dilakukan pengolahan dalam usaha memaksimalkan pemanfaatan pod kakao sebagai pakan serat bagi ruminansia. Teknologi pengolahan yang sudah dikenal selain amoniasi menggunakan urea adalah pembuatan silase. Namun, mengingat tujuan pembuatan silase adalah untuk mengawetkan bahan pakan dan bukan untuk meningkatkan kualitas pakan, maka dalarn pemberiannya pada ternak perlu penarnb&an urea sebagai sumber nitrogen karena kandungan protein dalam pod kakao rendah. Proses Pencemaan Pakan pada Ruminansia Pakan ruminansia umumnya dikelompokkan menjadi dua yaitu pakan serat (roughage) dan konsentrat. Roughage adalah jenis bahan pakan yang berciri amba (bulky) dan relatif mengandung sejurnlah besar bahan-bahan dengan kecernaan rendah. Selain hijauan baik dalam bentuk segar dengan kadar air 60-70%, maupun kering dengan kadar air 10-15% dan kandungan serat kasar >IS%, limbah pertanian dan perkebunan seperti jerami dan pod kakao juga dapat digolongkan ke dalam roughage. Konsentrat adalah jenis bahan pakan yang mengandung serat kasar <18% dan lebih kaya fiaksi isi sel (Banerjee, 1978). Selanjutnya dinyatakan bahwa konsentrat dibagi dua kelompok masing-masing adalah konsentrat sumber energi yaitu yang mengandung BETN >60% (pakan biji-bijian dan limbah pengolahannya) dan konsentrat sumber protein dengan kandungan protein >20% (limbah pengolahan ternak maupun ikan). Seperti sudah diketahui bahwa ruminansia dapat mengkonsumsi pakan hijauan jauh lebih besar dibandingkan dengan konsentrat. Hal ini tidak terlepas dari keterlibatan rnikroorganisme dalam proses pencemaan atau fermentasi dalam lambung, sehingga pakan berkualitas rendah lebih bermanfaat bagi ternak induk semangnya. Adanya mikroorganisme dalarn larnbung ruminansia menjadikan ternak tersebut lebih istimewa dalam pemanfaatan bahan pakan yang ada di dam semesta ini dan tidak bersaing dengan kebutuhan manusia. Proses pencernaan adalah suatu proses perubahan seluruh bahan pakan yang masuk ke dalam saluran pencernaan menjadi zat-zat yang lebih sederhana yang dipersiapkan untuk diabsorpsi dan digunakan oleh ternak. Proses pencernaan pada ruminansia lebih kompleks dibandingkan dengan proses pencernaan pada jenis ternak lainnya yaitu meliputi interaksi antara pakan, populasi mikroba dan ternak itu sendiri. Sutardi (1980) menyatakan bahwa proses pencernaan pada ruminansia tejadi secara mekanis (di mulut), fermentasi (oleh enzim-enzirn yang berasal dari rnikroorganisrne rumen) dan hidrolisis (oleh enzim-enzim hewan induk semang). Oleh sebab itu ruminansia mempunyai kemampuan yang lebih menonjol dibandingkan dengan jenis ternak lain dalam mencerna semua zat-zat makanan yang berasal dari bahan makanan kasar. Keunggulan proses pencernaan rurninansia tersebut tidak terlepas dari sistem saluran pencernaan yang lebih istimewa dibandingkan dengan ternak lain. Sistem saluran pencernaan pada umumnya terdiri atas 4 bagian penting yaitu mulut, perut, usus halus dan organ pencernaan bagian belakang. Ruminansia mempunyai keistimewaan di mana organ perut terdiri atas 4 bagian yaitu rumen, retikulum, omasum dan abomasum (Church dan Pond, 1988; Russell dan Bruckner, 1991; Forbes dan France, 1993) yang menempati tiga per empat bagian rongga perut (abdomen) (Church, 1979). Pada tiga bagian utama yaitu rumen, retikulum dan omasum tidak terdapat mukus, enzim pencernaan atau asam, akan tetapi pencernaan bisa tejadi karena adanya aktivitas rnikroorganisme di dalarn rumen dan retikulum (Annison, 1965). Rumen dan retikulum merupakan organ terbesar yang volumenya 10-15% dari massa tubuh ternak (Annison, 1965), bahkan Sutardi (1980) menyatakan bahwa ukuran volume rumen retikulum sangat besar yaitu dapat mencapai 15-22% dari bobot ternak atau sekitar 75% dari seluruh volume organ pencernaan (Van Soest, 1982). Organ tersebut merupakan tempat utama terjadinya proses fermentasi dan di dalamnya terdapat 10'' - 10" bakteri dan lebih dari 10' protozoa per g isi rumen (Annison, 1965 dan Banejee, 1978). Populasi mikroba yang jumlahnya cukup besar itu sangat esensial dalam proses pencernaan pakan mminansia dalam pemanfaatan serat (Church, 1979). Selain bakteri dan protozoa dilaporkan bahwa hngi juga penting dalam proses pencernaan dalam rumen, dan sering dianggap sebagai pionir dalam aktivitas pencernaan . fraksi serat. Hal ini terjadi karena hngi dapat membentuk koloni pada jaringan lignoselulosa partikel pakan dan adanya rhizoid yang tumbuh jauh menembus dinding sel serat tanaman, sehingga sangat membantu rnikroba rumen (bakteri) dan enzim pencernaan untuk mencerna pakan (Fonty et al., 1990). Rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal yang disebut retikulorumen. Di dalam organ tersebut mikroorganisme yang berperan dalam proses pencernaan atau fermentasi akan menempel pada partikel pakan. Adanya aktivitas mikroorganisme dalam retikulorumen memberikan kemampuan yang istimewa pada ruminansia untuk memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Bila ditinjau dari aspek - pencemaan zat-zat makanan, rumen mempunyai peranan cukup besar yaitu 40-70% dari angka kecemaan bahan organik ransum (Madsen dan Hvelplund, 1985). Kapasitas dan proses pencernaan secara fermentatif sebelum usus halus pada ruminansia memberikan keuntungan dan sekaligus juga menyebabkan kerugian bagi ternak yang bersangkutan. Keuntungannya adalah dapat mencerna pakan berkadar serat kasar tinggi, dapat menampung makanan dalam jurnlah besar, kebutuhan asam amino tidak banyak tergantung pada kualitas protein pakan, dapat mengubah non protein nitrogen (NPN) sebagai urea menjadi protein berkualitas tinggi dan produk fermentasi dalam rumen dapat disalurkan ke dalam usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna (Sutardi, 1980). Sebaliknya kerugian yang dialami adalah banyak energi yang terbuang dalam bentuk gas metan (CH4) dan panas fermentasi, protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi NH3. Hasil produk akhir pencernaan dalam retikulorumen selanjutnya disalurkan ke omasum. Peran omasum sampai sekarang belum dapat diterangkan secara jelas, akan tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, VFA dan elektrolit serta sel serat tanaman, sehingga sangat membantu rnikroba rumen (bakteri) dan enzim pencernaan untuk mencerna pakan (Fonty et al., 1990). Rumen dan retikulum sering dipandang sebagai organ tunggal yang disebut retikulorumen. Di dalam organ tersebut mikroorganisme yang berperan dalam proses pencernaan atau fermentasi akan menempel pada partikel pakan. Adanya aktivitas mikroorganisme dalam retikulorumen memberikan kemampuan yang istimewa pada ruminansia untuk memanfaatkan pakan berkualitas rendah. Bila ditinjau dari aspek - pencemaan zat-zat makanan, rumen mempunyai peranan cukup besar yaitu 40-70% dari angka kecemaan bahan organik ransum (Madsen dan Hvelplund, 1985). Kapasitas dan proses pencernaan secara fermentatif sebelum usus halus pada ruminansia memberikan keuntungan dan sekaligus juga menyebabkan kerugian bagi ternak yang bersangkutan. Keuntungannya adalah dapat mencerna pakan berkadar serat kasar tinggi, dapat menampung makanan dalam jurnlah besar, kebutuhan asam amino tidak banyak tergantung pada kualitas protein pakan, dapat mengubah non protein nitrogen (NPN) sebagai urea menjadi protein berkualitas tinggi dan produk fermentasi dalam rumen dapat disalurkan ke dalam usus halus dalam bentuk yang mudah dicerna (Sutardi, 1980). Sebaliknya kerugian yang dialami adalah banyak energi yang terbuang dalam bentuk gas metan (CH4) dan panas fermentasi, protein bernilai hayati tinggi mengalami degradasi menjadi NH3. Hasil produk akhir pencernaan dalam retikulorumen selanjutnya disalurkan ke omasum. Peran omasum sampai sekarang belum dapat diterangkan secara jelas, akan tetapi pada organ tersebut terjadi penyerapan air, amonia, VFA dan elektrolit serta produksi amonia dan mungkin VFA. Sedangkan organ pencemaan bagian belakang seperti sekum, kolon dan rektum juga tejadi aktivitas fermentasi, tapi informasi mengenai hal tersebut belum banyak terungkap (Forbes dan France, 1993) Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat pada Ruminansia Karbohidrat merupakan komponen yang dominan dalam pakan ruminansia yang dapat digunakan sebagai sumber energi untuk proses faali tubuhnya, di samping menyediakan bahan yang bersifat amba yang berguna untuk memelihara kelancaran kej a saluran pencemaan. Pada ruminansia pemberian karbohidrat dapat mencapai 60-75% dari bahan kering ransum yang bersal dari isi sel (gula dan pati) dan dinding sel (selulosa dan hemiselulosa) (Sutardi, 1980). Menurut Church dan Pond (1988), komponen karbohidrat terdiri atas monosakarida, disakarida, oligosakarida, polisakarida non struktural yaitu fiaksi yang mudah tersedia (dekstrin, pati, pektin) dan polisakarida struktural yaitu fraksi serat (selulosa, hemiselulosa dan xylan). Selulosa adalah zat penyusun tanaman yang tersusun dalam rantai lurus, panjang dan banyak mengandung unit beta glukosa berikatan dengan ikatan 1,4 dan biasanya dalam bentuk kristal. Hemiselulosa merupakan karbohidrat rantai lurus yang terdiri atas silosa, arabinosa, asam uronat dan galaktosa (Tillman et al., 1983). Selulosa dan hemiselulosa merupakan dua komponen utama fiaksi serat dan keduanya mempunyai keterkaitan yang erat, dan tinggi kegunaannya bila bahan tersebut dicerna oleh rnikroorganisme dalam rumen. Akan tetapi selulosa dan hemiselulosa juga berkaitan dengan lignin mernbent.uk lignoselulosa yang sulit dicerna oleh mikroorganisme dalam rumen (Van Soest, 1982; Tillman et al., 1983; Arora, 1989). Dengan dernikian untuk dapat merontokkan ikatan lignoselulosa dan selanjutnya dapat meningkatkan fermentabilitas pakan yang banyak mengandung lignoselulosa diperlukan pengolahan terlebih dahulu. Seperti sudah dinyatakan sebelumnya bahwa retikulorumen adalah tempat berlangsungnya proses pencernaan atau fermentasi anaerob oleh mikroorganisme dalam rumen dan metabolisme karbohidrat. Di dalam retikulorumen, fraksi serat mengalami perombakan menjadi produk yang dapat diabsorpsi dan dicerna dalam usus halus. Selulosa yang mempunyai konfigurasi 1,4-beta glikosida dapat dicerna oleh selulase yang diproduksi oleh mikroorganisme dalarn rumen. Aktivitas selulase ini akan membantu proses pencernaan dan membebaskan sejumlah energi pakan (Tillman et al., 1983; Church dan Pond, 1988). Energi yang dibebaskan itu akan merupakan sumber zat makanan esensial bagi ternak untuk mempertahankan dan melangsungkan proses faali tubuh ternak. Walaupun demikian hanya 80% dari energi pakan yang dapat dimanfaatkan dan sisanya 20 % hilang dalarn bentuk panas fermentasi dan metan (Leng, 1991; France dan Siddons, 1993). Selama proses fermentasi, dari sejumlah energi yang terbentuk sekitar 6.2% dimanfaatkan oleh mikroorganisme rumen sebagai sumber energi dalam bentuk adenosine triphosphate (ATP) untuk kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan mikroorganisme (Clark dan Davis, 1983). Hal ini sebagai bukti bahwa bakteri rumen menghasilkan VFA bukan karena butuh, akan tetapi karena terpaksa memakainya sebagai "electron sink" dalam menjaga potensial redoks agar tetap dalam kondisi yang layak bagi pertumbuhan bakteri rumen (Sutardi et al., 1995). Efisiensi fermentasi dan sintesis protein mikroba dalam rumen dapat ditingkatkan apabila dalarn ransum tersedia sernua prekursor yang dibutuhkan (Huber dan Kung, 1981). Ketersediaan karbohidrat yang cukup sangat diperlukan karena, selain sebagai sumber energi dalam bentuk ATP, karbohidrat juga dapat digunakan sebagai kerangka karbon (C) untuk sintesis protein mikroba (Huber dan Kung, 1981; Forbes dan France, 1993). Pertumbuhan mikroba rumen sebanding dengan jurnlah ATP yang dihasilkan dan katabolisme sumber energi. Untuk menyatakan gram bahan kering biomasa sel yang terbentuk per mol ATP (MAP) yang digunakan disebut Y 1960). Nilai Y ATP A~ (Bauchop dan Elsden, mencapai 29-30 gram untuk mikroba yang dikultur pada substrat berupa monomer (Hespell dan Bryant, 1979). Akan tetapi bila mikroba dikultur pada media sederhana dengan substrat karbohidrat dan garam organik, nilai YAP mencapai - 20-29 gram. Proses kecernaan dan metabolisme karbohidrat yang berlangsung dalam retikulorumen sangat kompleks. Partikel pakan terutama karbohidrat seperti selulosa, hemiselulosa, pektin, pati dan gula-gula yang mudah larut, sebagai substrat akan mengalami degradasi (hidrolisis) yang sangat intensif dan menghasilkan sakarida sederhana seperti heksosan, pentosan, maltosa, sukrosa, selobiosa. Sakarida sederhana yang terbentuk itu berubah menjadi piruvat melalui lintasan glikolitik Embden-Meyerhof (Russell dan Hespell, 1981; Tillman et al., 1983; France dan Siddons, 1993). Selanjutnya diiyatakan bahwa piruvat akan segera diubah oleh mikroorganisme secara intraseluler menjadi asam lemak terbang (volatile fatty acid = VFA). Komponen asam lemak terbang atau VFA yang merupakan produk akhir pencemaan karbohidrat dalam retikulorumen 14 terdiri atas asam asetat, propionat, butirat dan sejumlah kecil valerat serta asam lemak rantai cabang yaitu isobutirat, isovalerat dan 2-metilbutirat (Sutardi, 1977; Church dan Pond, 1988; Czerkawski, 1986). Perubahan piruvat menjadi produk akhir VFA tejadi meldui beberapa lintasan yaitu asam asetat dan butirat terbentuk melalui asetil KO-A, sedangkan asam propionat melalui fintasan suksinat dan alternatif lain dapat melalui lintasan laktat atau akrilat (Gambar 2) (Russell dan Hespell, 1981; Tillman et ul., 1983; - France dan Siddons, 1993). Cellulose Peclrn Starch Soluble sugars Pcnloses Embden-Meyerhoff palhway For - Pyruvate , ,, Acetyl CoA ethane Acetate Butyrale \ <\ ' Propionate Gambar 2. Skema Lintasan Utama pada Fermentasi Karbohidrat Mcnjadi VFA dalam Rumen (France dan Siddons, 1993) Selain produk utama tersebut di atas, juga dihasilkan C02, hidrogen dan metan. Gas-gas tersebut dikeluarkan dari rumen melalui proses eruktasi (Sutardi, 1977; Banerjee, 1978; Church dan Pond, 1988; Orskov dan Ryle, 1990). Lebih lanjut Orskov 15 dan Ryle (1990) menggambarkan stokiometri reaksi fermentasi karbohidrat menjadi tiga produksi ferrnentasi utama dalam rumen sebagai berikut: c6H1~0.5 4H2 + CQ -------> -> CH3 (CH 2) COOH + 2C02 + 2H 2 C& + 2H20 Berdasarkan reaksi fermentasi di atas, nampak bahwa pada proses sintesis asetat dan butirat banyak dihasilkan gas hidrogen. Gas hidrogen dengan COa akan membentuk gas metan yang sesungguhnya tidak bermanfaat bagi ternak induk semang. Sebaliknya pada sintesis propionat banyak menggunakan gas hidrogen dan keadaan ini jelas lebih menguntungkan dari segi efisiensi penggunaan energi pakan, karena akan menyebabkan produksi gas metan menjadi berkurang. Oleh sebab itu pola fermentasi dalam rumen yang mengarah ke sintesis propionat akan lebih menguntungkan. Konsentrasi VFA total dalam cairan rumen secara normal adalah antara 70 dan 130 mM, dan konsentrasi VFA individual yang terbentuk selalu berbeda sesuai pola produk VFA cairan rumen yang sangat dipengaruhi oleh jenis karbohidrat yang dikonsumsi. Tingginya konsentrasi asetat dalam cairan rumen berkaitan erat dengan tingginya hijauan atau pakan serat (roughage) yang dikonsumsi, sebaliknya tingginya konsentrasi propionat dalam cairan rumen berkaitan erat dengan tingginya konsentrat dalam pakan (Banerjee, 1978; Tillman et al., 1983; Arora, 1989; Forbes dan France, 1993). Lebih lanjut Forbes dan France (1993) menyatakan bahwa nisbah asetat, propionat dan butirat pada pakan basal dengan kandungan hijauan serat tinggi adalah 70:20: 10, sebaliknya untuk yang mengandung konsentrat tinggi dapat meningkatkan proporsi propionat, meskipun proporsi asetat hampir selalu lebih banyak. Dengan kata lain dinyatakan bahwa ransum berbahan dasar hijauan atau pakan serat tinggi akan memberikan nisbah asetatlpropionat lebih tinggi dibandingkan dengan ransum dengan kandungan konsentrat tinggi. Produk akhir pencemaan karbohidrat dalam bentuk VFA selanjutnya diabsorpsi dan masuk ke dalam jaringan tubuh ternak untuk digunakan sebagai sumber energi dan bahan untuk sintesis lemak. Asam propionat diabsorpsi melalui epitel rumen dan masuk ke sirkulasi darah, dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi glukosa dan menjadi bagian dari cadangan glukosa hati. Asam butirat sebelum masuk ke sirkulasi darah untuk dibawa ke hati bersama-sama asetat, terlebih dahulu dikonversi menjadi asam beta hidroksi butirat (beta hidroxy butyric acid = BHBA) di dalam epitel rumen (Banejee, 1978; Crampton et al., 1978). Asetat dan BHBA dari hati disalurkan ke sistim sirkulasi dan dipakai oleh jaringan terutama sebagai sumber energi melalui siklus asam sitrat (Tillman et a]., 1983, Forbes dan France, 1993). Lebih lanjut Forbes dan France (1993) menyatakan bahwa asetat dan propionat yang diabsorpsi masing-masing digunakan sebagai sumber energi dan bahan untuk sintesis glukosa. Di samping itu asetat juga digunakan sebagai substrat untuk lipogenesis dan propionat untuk glukoneogenesis. Oleh sebab itu asam propionat dikatakan juga bersifat glukogenik karena asam tersebut dapat dikatabolisme menjadi glukosa dan juga sebagai prekursor glukosa, sedangkan asam asetat dan butirat bersifat ketogenik (Orskov, 1977). Selanjutnya diungkapkan bahwa asarn lemak glukogenik dapat dipakai sebagai suatu konstanta yang dinamakan non glukogenik ratio (NGR)dengan rumus sebagai berikut: NGR = (Asetat + Butirat + Valerat)/(Propionat + Valerat) Nilai NGR mempunyai korelasi positif dengan produksi metan, sehingga dapat dipakai untuk memprediksi produksi gas metan dalam rumen. Dengan kata lain, semakin kecil nilai NGR dari suatu ransum berarti memberikan indikasi bahwa produk gas metan semakin kecil dan dapat dikatakan bahwa proses fermentasi lebih mengarah ke sintesis propionat. Produksi metan dihitung dengan rumus: Metan = 0.5a - 0.25 p - 0.5 b; a, p dan b adalah mol asetat, propionat dan butirat (Orskov dan Ryle, 1990) . Pencernaan dan Absorpsi Protein pada Ruminansia Proses pencernaan dan absorpsi protein pada ruminansia termasuk unik karena ternak tersebut memiliki lambung majemuk. Tidak seperti temak yang memiliki lambung sederhana, ruminansia yang di dalam rumennya terdapat mikroorganisme yang dapat membebaskan enzim proteolitik yang sangat berperan dalam pencernaan protein. Dari berbagai hasil penelitian dilaporkan bahwa semua senyawa protein atau non protein nitrogen (NPN) yang masuk ke dalam rumen akan mengalami hidrolisis oleh enzim proteolitik menjadi oligopeptida dan asam-asam amino. Oligopeptida dan asam-asam amino tersebut merupakan produk intermediate yang selanjutnya akan dikatabolisme (dideaminasi) dan menghasilkan VFA, C02, C& dan NH3 (amonia) (Sutardi, 1976; Leng et al., 1977). Leng (199 1) juga menyatakan bahwa protein yang masuk ke dalam rumen mengalami degradasi membentuk amonia dan VFA. Menurut Sutardi et al. (1995), produk fermentasi berupa VFA dan amonia erat kaitannya dengan sintesis protein mikroba yang kemudian mengalir ke organ pasca rumen menjadi sumber asarn amino bagi ternak induk semangnya. Sebagian besar, yaitu lebih kurang 75%, VFA diserap dan dimanfaatkan oleh ternak sebagai sumber energi utama. Arnonia yang dibebaskan dalam rumen, sebagian akan dimanfaatkan sebagai sumber nitrogen utarna untuk sintesis protein mikroba, dan sisanya akan diabsorpsi - masuk ke sirkulasi portal dan dibawa ke hati untuk selanjutnya diubah menjadi urea dan masuk ke sirMasi darah (Tillman et al., 1983). Urea tersebut sebagian keluar via urin dan sebagian lagi masuk kembali ke rumen via saliva. Dari berbagai penelitian dinyatakan bahwa protein yang dikonsumsi ruminansia tidak seluruhnya didegradasi dalam rumen, akan tetapi sebagian ada yang 1010s dari degradasi masuk ke abomasum dan terus mengalir masuk ke usus halus. Di sepanjang alat pencernaan tersebut bersama-sama dengan protein mikroba dari rumen dihidrolisis L t oleh enzim pencernaan menghasilkan asam-asam amino untuk kemudian diabsorpsi dan dimanfaatkan oleh jaringan tubuh (Leng et a]., 1977; Sutardi, 1979). Selanjutnya dinyatakan bahwa protein yang tidak tercerna akan mengalir ke organ bagian belakang (sekum dan kolon) dan selanjutnya akan difermentasi oleh rnikroorganisme yang ada di dalamnya membentuk VFA dan NH3 untuk selanjutnya diabsorpsi. Namun protein mikroba yang terbentuk tidak tersedia sebagai sumber asam amino bagi ternak induk semangnya dan akan keluar via feses (Gambar 3). Dari Garnbar tersebut juga nampak bahwa sumbangan protein mikroba dalam penyediaan asarn-asam amino bagi inangnya cukup besar. Sumbangan protein asal mikroba rumen untuk kebutuhan asam asam amino inangnya mencapai 40 sarnpai 80% (CAN, 1985; Sniffen dan Robinson, 1987). Nitrogen asam amino total (total amino Fermentasi dalam Rulllen Protein Pakan Asam amino - Protein Endogenus NH3 J * diabsorpsi \ 1 Protein nukroba v Pencernaan di Usus V Prolein endogenus P Prolein @an Prolein nlikroh 1 --> h n anullo -------6- diabsorpsi Prolcin lidak dicer~la Fescs Gambar 3. Degradasi dan Pencernaan Protein pada Ruminansia (Leng acid nitrogen = el al., 1977) TAAN) yang masuk ke dalam usus halus sebagian besar berasal dari protein mikroba. Clark et al. (1992) menyatakan bahwa nitrogen bukan amonia (non amonia nitrogen = NAN)yang lewat duodenum sapi perah berasal dari mikroba rumen. Komposisi asam amino digesta di duodenum sama seperti asam amino protein mikroba. Hal ini menunjukkan bahwa keberhasilan memacu sintesis dan pertumbuhan mikroorganisme rumen sangat berpengaruh pada parameter kebutuhan asam amino tcrnak induk semangnya. Untuk sintesis protein mikroba, kebutuhan energi berkorelasi positif dengan pemakaian N non protein. Jumlah protein mikroba (PM) yang terbentuk tergantung pada energi yang di bebaskan. Biasanya per molekul VFA yang dihasilkan, protein mikroba . yang terbentuk berkisar antara 14-36 mg (Satter dan Slyter, 1974; Walker et al., 1975). Peneliti lain megemukakan bahwa setiap kg protein yang dikonsumsi hanya menghasilkan 30 sampai 60 g protein mikroba untuk siap dicerna oleh ternak (Leng, 1991). Agar diperoleh pertumbuhan mikroorganisme yang maksimal, kecukupan suplai nitrogen dalam rumen merupakan syarat utama. Mayoritas bakteri rumen dapat menggunakan arnonia sebagai sumber nitrogen untuk sintesis protein mikroba (Banejee, 1978) dan merupakan pengguna amonia yang paling efisien (Schaefer el al., 1980). Satter dan Slyter (1974) menyarankan bahwa untuk pertumbuhan mikroorganisme yang maksimal diperlukan 5-8 mM M-J~-N.L' cairan mmen. Oleh sebab itu apabila digunakan pakan kualitas rendah, untuk memaksimalkan sintesis protein mikroba rumen perlu suplementasi NPN seperti urea yang memadai yang disertai dengan karbohidrat siap pakai sebagai sumber energi dan karbon (C). Dalam penelitian yang telah dilakukan, karena sumber serat yang digunakan adalah pod kakao yang memiliki kualitas rendah, sumber N dalarn ransum basal sapi yang digunakan adalah urea. Untuk mengetahui besarnya suplementasi urea untuk mengoptimalkan kecernaan pod kakao, terlebih dahulu dilakukan percobaan secara in- Pencernaan dan Absorpsi Lemak pada Ruminansia Pakan ternak ruminansia pada umurnnya mengandung kadar lemak rendah yaitu kurang dari 3% yang diperoleh dari hijauan dan biji-bijian (Palmquist dan Jenkins, 1980). Selanjutnya dinyatakan oleh Palmquist dan Jenkins (980) dan hasil penelusuran pustaka oleh Moir (1991) bahwa kandungan lemak dalam hijauan dan biji-bijian terutama dalam bentuk monogliserida, digliserida atau trigliserida sederhana yang banyak mengandung asam lemak tidak jenuh C 18 seperti asam linolenat dan asam linoleat. Berbeda dengan ternak non ruminansia, pencernaan pada ternak ruminansia dewasa pertama kali dimulai dalam retikulo-rumen. Nasib asarn lemak selama asam lemak pakan mengalir ke dalam rumen akan mengalami dua peristiwa penting yaitu lipolisis dan biohidrogenasi (Jenkins, 1993; Scott dan Ashes, 1993). Lipolisis akan menyebabkan pelepasan asam lemak bebas (free fatty acid = FFA) - dari hasil esterifikasi lipid tanaman yang dikonsumsi ternak ruminansia. Dalam proses lipolisis, lipase mikroba berperan menghidrolisis acylglyserol hasil esterifikasi lemak menjadi FFA, gliserol dan galaktosa (Palmquist dan Jenkins, 1980; Scott dan Ashes, 1993). Selanjutnya FFA yang terbentuk secara cepat dihidrogenasi oleh sejurnlah mikroba rumen menjadi produk akhir berupa asarn lemak jenuh. Pada proses hidrogenasi itu terjadi pengurangan asam lemak tidak jenuh dan berubah menjadi asam lemak jenuh melalui beberapa aksi yaitu isomerase, kemudian hidrogenasi ikatan rangkap sis pada C 18: 2 terjadi reduktase, dan selanjutnya dengan trans pada C 18:1 dihidrogenasi menjadi C 18:0 (Gambar 4). Hasil penelusuran pustaka oleh Moir (199 1) dinyatakan bahwa dalam peristiwa hidrogenasi tersebut, selain tejadi perubahan asam linolenat, linoleat dan oleat menjadi asam stearat, juga terdapat sejurnlah kecil asam lemak tidak jenuh ikatan rangkap trans, di mana asam lemak tersebut resisten Lemak P h J 4' Gdaktosil asil gliserol Triasil gliscrol J \ Lipolisis Asam Leniak VFA + Galaktosa 18:2 (Cis. Cis) 18:3 (Cis. Cis. Cis) 18:l (Cis. 9) 9 12 9 12 15 1 t 18: 3 (Cis. Trans. Cis) 9 11 15 I 18:2 (Cis. Trans) 18: (Trans 11) Stearat 18:O Gambar 4. Lipolisis dan Biohidrogenasi Lemak Pakan oleh Mikroorganisme dalam Rumen (Scott dan Ashes, 1993). L terhadap rnikroba yang berperan dalam hidrogenasi dan menambah karotinoid kemudian dapat mensuplai beta-karotin yang dapat dimanfaatkan oleh ternak. Pada Gambar 4 tersebut juga terlihat adanya fermentasi gliserol dan galaktosa masing-masing menjadi VFA (Scott dan Ashes, 1993). Pernyataan tersebut sesuai dengan yang dikemukakan oleh Banerjee (1978) bahwa di samping hidrogenasi asam lemak tidak jenuh dan sintesis asam lemak "de-novo" juga galaktosa yang masing-masing menjadi volatile . terjadi fermentasi gliserol dan htty acid (VFA) yaitu asam propionat, asarn asetat dan asam butirat. Berdasarkan hasil penelusuran pustaka, Jenkins (1993) melaporkan bahwa produk akhir terbanyak hasil fermentasi tersebut adalah asam propionat. Produk akhir dari lemak pakan yang sudah mengalami lipolisis dan biohidrogenasi, sebagian ada yang diserap melalui diding rumen. Seperti yang dinyatakan Banejee (1978) bahwa seluruh asam lemak rantai pendek dan VFA hasil hidrolisis dan fermentasi lipid, diserap melalui diiding rumen, sedangkan asam lemak rantai panjang terus mengalir ke abomasum. Di dalam abomasum digesta lipid pasca rumen yang sebagian besar (70%) terdiri atas asam lemak jenuh pakan dan dari sintesis lemak "de-novo" serta sedikit (10%) fosfolipid mikroorganisme akan bergabung dengan benda padat l a i ~ y a(Bauchart, 1993). Selanjutnya setdah dari abomasum, campuran digesta tersebut mengalir ke usus halus. Di dalam usus halus garam-garam empedu akan mengemulsi lemak dan diikuti dengan gerakan peristaltik, maka lemak terdispersi menjadi butir-butir kecil dan diikuti . dengan masuknya lipase (Linder, 1992) Pernyataan tersebut sesuai dengan yang dinyatakan oleh Parakkasi (1983) bahwa segera setelah lemak sampai di usus halus garam empedu dan lipase datang membawa zat-zat yang diperlukan untuk mencerna lemak. Lemak yang sebagian sudah tercerna, terutama dalam bentuk yang larut dalam air membentuk misel-misel yang stabil (asam lemak rantai panjang, monogliserol dan asamasam empedu) yang berdifirsi ke permukaan sel mukosa usus halus dan melepaskan materi untuk siap diserap (linder, 1992). Asam-asam lemak, monogliserida, monogliserida fosfat dan kholesterol bebas yang terbentuk dari proses pencernaan lemak, diserap secara difbsi pasif ke dalam sel mukosa usus. Selanjutnya di dalam sel mukosa usus senyawa ini akan dirakit kembali membentuk trigliserida dan dengan penambahan protein membentuk kilomikron (Linder, 1992). Selanjutnya dilaporkan bahwa kilomikron yang terbentuk disekresikan ke mang ekstraseluler memasuki sistem limfe, akhimya masuk ke aliran darah. Asam-asam lemak bebas yang dibebaskan akan masuk ke dalam jaringan lemak dan urat daging untuk digunakan sebagai sumber energi atau disimpan kembdi dalam bentuk trigliserida untuk digunakan kemudian. Lebih lanjut dikemukakan bahwa kilomikron yang tersisa akan masuk ke hati dan bersama-sama dengan trigliserida yang dibentuk dari kelebihan karbohidrat yang tidak dibutuhkan untuk energi, akan dipakai untuk membentuk VLDL hati. Kemudian VLDL hati akan dibebaskan ke aliran darah dan masuk ke jaringan lemak untuk disimpan dalam bentuk trigliserida sebagai cadangan energi. Metabolisme Asam Lemak dan Asam Lemak Tak Jenuh Asam-asarn lemak yang masuk ke dalam jaringan akan teroksidasi menjadi Asetil-KoA melalui oksidasi beta atau mengalami esterifikasi menjadi asil gliserol dan triasilgliserol (Kartari, 1988; Mayes et al., 1987). Selanjutnya asetil-KoA yang terbentuk akan mengalami oksidasi sempurna menjadi C 0 2 dan H20 melalui siklus asam sitrat. Dalam peristiwa ini asarn lemak akan menghasilkan sejumlah energi baik dalam beta oksidasi maupun dalam siklus asam sitrat, sehingga dapat digunakan sebagai sumber energi jaringan yang sangat efektif Di samping itu selain dapat digunakan sebagai sumber atom karbon dalam pembentukan kolesterol dan senyawa steroid lain, Asetil-KoA di dalam hati dapat membentuk asetoasetat yang merupakan senyawa induk Triasil gliserol (lemak) Lipogcnesis ( B I L Oksidasi ~ Koleslcrol as an^ amino Gambar 5. Metabolisme Asam Lemak dengan Produk Akhir Badan Keton 26 badan keton. Badan keton tersebut selanjutnya merupakan sumber energi yang penting dalam keadaan lapar (Gambar 5). Metabolisme asam lemak tak jenuh pada dasarnya tidak berbeda dengan metabolisme asam lemak lainnya. Asarn lemak tak jenuh juga akan dioksidasi dengan jalur yang sama seperti asam lemak jenuh. Akan tetapi, pada umurnnya konfigurasi ikatan rangkap asam lemak alami adalah sis, sedangkan hasil antara fatty acyl-KoA tak jenuh dalam oksidasi asam lemak jenuh adalah bentuk trans. Oleh karena itu asam lemak jenuh tersebut hams dioksidasi menjadi bentuk trans. Hal tersebut dapat tejadi karena adanya enzim enoil-KoA isomerase yang dapat mengkatalisis perubahan letak ikatan rangkap yang dapat dibalik dari sis menjadi trans (Mayes et al., 1992). Selanjutnya ikatan rangkap trans-KoA dihidrasi oleh enoil hidratase menjadi D(-)-betahidroksiasil-KoA dan kemudian menjadi L(+)-beta-hid~oksiasil-KoAoleh enzim @)-3hidroksiasil-KoA epimerase yang akhirnya menjadi asetil-KoA melalui beta oksidase. Proses selanjutnya sama seperti yang terjadi pada asarn lemak jenuh yaitu asetil-KoA dapat dioksidasi menjadi C02 dan H20 melalui siklus asam sitrat. I Fungsi dan Peranan Lemak dan Asam Lemak dalam Tubuh Ternak Lemak dan rninyak adalah ester asam-asam lemak dengan gliserol yang relatif tidak larut dalam air, tetapi larut dalam eter, khioroform dan benzena. Lehninger (1993) menyatakan bahwa lemak merupakan senyawa organik berminyak yang tidak larut dalam air, dapat diekstrak dari sel dan jaringan oleh pelarut nonpolar. Selanjutnya dinyatakan bahwa komponen lemak yang paling banyak adalah triasil gliserol yang merupakan bahan bakar utama bagi semua organisme hidup dan juga merupakan komponen utama membrane sel. Membran sel adalah tempat tejadinya reaksi metabolik dan perannya sangat penting dalam pengaturan keluar masuknya nutrient. Pada ruminansia, lemak akan mengalami lipolisis dan biohidrogenasi di dalam rumen. Proses lipolisis oleh enzim yang dihasilkan oleh mikroorganisme dalam rumen akan menghasilkan asam-asam Iemak bebas yang siap ~absorpsidalam usus halus, dan proses biohidrogenasi dapat mereduksi emisi metan. Fungsi lemak dalam tubuh adalah sebagai sumber energi yang efisien, karier vitamin yang larut dalam lemak, prekursor prostaglandin dan juga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan makanan (Tillman et al., 1983). Fungsi lemak lainnya adalah menambah palatabilitas dan akseptabilitas, memperbaiki fisik ransum, mempengaruhi penyerapan vitamin A dan meningkatkan efisiensi penggunaan energi. Pada ruminansia, peningkatan efisiensi penggunaan energi karena pengaruh penambahan lemak dapat mengurangi gas metan, sehingga lebih banyak energi yang dimanfaatkan untuk produksi. Selain itu minyak dapat mengurangi jumlah sel protozoa pemangsa bakteri. Asam lemak terdiri atas asam lemak jenuh dan asam lemak tidak jenuh. Asam lemak tidak jenuh mempunyai jumlah atom hidrogen (H) yang lebih sedikit melekat pada atom-atom karbon (C), sehingga asam lemak tersebut siap menerima hidrogen menjadi asam lemak jenuh (Anggorodi, 1979). Asam lemak tidak jenuh seperti asam linoleat (n-6),asam linolenat (n-3) dan asam arakhidonat tidak disintesis dalam tubuh hewan, sehingga hams tersedia dalarn ransum. Oleh sebab itu asam-asam lemak tersebut dikenal sebagai asam lemak esensial yang hngsinya antara lain adalah sebagai prekursor dalam pembentukan prostaglandin (Mayes et al., 1987). Palmquist dan Conrad (1978) menyatakan bahwa defisiensi asam lemak essensial akan memperlihatkan gangguan perturnbuhan, dermatitis, kemampuan reproduksi menurun, daya tahan terhadap stres menurun dan gangguan transpor lipid. Kandungan lemak sebesar 63% dalam ransum tidak berpengaruh pada kecernaan ADF. Akan tetapi apabila kandungan lemak dalam pakan terlalu tinggi yaitu > 10% dari bahan kering ransum dapat mengganggu fermentasi dalam rumen dan akan menurunkan kecernaan serat, rasio acetat:propionat serta penyerapan asam lemak (Palmquist dan Jenkins, 1980; Jenkins dan Palmquist, 1984). Erwanto (1995) dalam penelitiannya melaporkan bahwa pengaruh negatif penarnbahan rninyak ikan dan minyak kelapa yang menyebabkan tingginya kadar lemak ransum adalah penurunan kecernaan ADF. Gangguan kecernaan tersebut menyebabkan pasokan nutrien untuk ternak berkurang, sehingga tidak dapat mendukung peningkatan produksi. Pengaruh positifnya adalah peningkatan kecernaan lemak. Hasil yang serupa juga dilaporkan oleh Palrnquist dan Conrad (1 978). Kegunaan lemak tergantung pada kecernaan asam-asam lemaknya. Faktor yang sangat berpengaruh pada kecernaan dan penyerapan lemak dalam usus, adalah panjang rantai asam lemak, selain jumlah asam lemak dalam ransum, derajat kejenuhan, laju hidrolisis gliserida dan hidrogenasi asam lemak (Palmquist dan Jenkins, 1980; Grumrner, 1991). Hal ini terbukti bahwa pada pemberian minyak jagung yang sebagian besar berantai C18 tidak berpengaruh pada kecernaan zat-zat makanan, karena diduga sebagian besar asam lemak tersebut mengalami hidrogenasi membentuk asam lemak jenuh dan asam lernak tak jenuh yang dibebaskan berkurang (Batubara, 1988). Akibat hidrogenasi dalam rumen adalah penurunan kandungan asam linolenat (C18:3) yang berubah menjadi asam oleat (Church, 1979). Pernyataan ini didukung oleh Mc Leod et al. (1972) bahwa asam lemak tak jenuh berantai C 18:3 hampir tidak ditemukan di dalam rumen dan sangat sedikit ditemukan asam lemak tak jenuh berantai C 18:2. Berdasarkan informasi terakhir, asam lemak tidak jenuh berantai C20:5 dan C22:6 yang banyak terkandung dalarn, minyak ikan tidak mudah dihidrogenasi, karena masih banyak ditemukan dalam plasma darah (Ashes et al., 1992). Dengan dernikian, untuk meningkatkan d a a t pakan serat seperti lirnbah perkebunan yang kandungan lemaknya relatif rendah diperlukan suplementasi asam lemak berantai karbon panjang ( 0 1 8) yang banyak terkandung dalam minyak ikan. Minyak Lemuru dan Perannya sebagai Sumber Asam Lemak Tak Jenuh Omega-3 Ikan lemuru (Sardinella longiceps) terrnasuk jenis ikan yang kurang d i d a a t k a n , nilai ekonomisnya rendah terutama pada puncak musirn yang biasanya jatuh antara bulan Oktober dan Desember. Pada umumnya, jenis ikan ini terkonsentrasi di perairan Selat Bali, walaupun secara sporadis ada di perairan lain (Supari, 1989). Ditinjau dari segi produksi, ikan lemuru cukup potensial sebagai sumber minyak ikan. Produksi total ikan laut (1985-1995) berkisar antara 1 82 1,7 - 3 292,9 ribu ton (Statistik Indonesia, 1996), dan 15.84 % dari produksi ikan laut itu adalah ikan lemuru (Bandie, 1982). Dari jumlah ikan lemuru tersebut, 20% nya akan dihasilkan minyak lemuru yang diperoleh dari hasil ekstraksi secara mekanis dari lemak ikan lemuru. Minyak tersebut selain digunakan untuk tujuan industri pangan yaitu sebagai minyak goreng, minyak salad, margarine dan medium untuk pengalengan, bahan mentah industri non pangan seperti bahan pembuat sabun, penyamak kulit, campuran obat-obatan pestisida, juga dimanfaatkan sebagai campuran pakan (Mulyanto, 1982). Dilihat dari kandungan asam lemaknya, Lubis (1993) melaporkan hasil penelusuran pustakanya bahwa secara umum minyak ikan hampir sama dengan minyak sayur dan minyak hewan lainnya yaitu terdiri atas campuran trigliserida dengan panjang rantai yang bervariasi dengan sejurnlah kecil mono dan digliserida. Namun, secara prinsip terdapat perbedaan dalam proporsi asam lemak tak jenuhnya lebih tinggi dengan 5 atau 6 ikatan rangkap dengan posisi ikatan rangkap mulai dari posisi atom C nomor 3 dari pusat grup metil yang disebut asam lemak omega-3 (n-3). Lebih lanjut juga dilaporkan bahwa minyak ikan mengandung 25% asam lemak jenuh dan 75% asam lemak tak jenuh. Asam lemak tak jenuh bervariasi dalam rantai yang panjang seperti C16, C20 dan C22 dalam bentuk trigliserida yang mengandung komponen-komponen yang tidak berlemak seperti vitamin, pigmen, sterol dan hidrokarbon. Binatang laut juga sebagian besar mengandung asam lemak tak jenuh sekitar 70-80% dari total asam lemak dan sisanya 20-30% dalarn bentuk asam lemak jenuh. Pada urnumnya lemak binatang laut terdapat pada posisi n-3, sedangkan lemak sayur pada posisi n-6. Asam lemak yang dikonsumsi pada umumnya mengandung asam lemak jenuh dan asam lemak tak jenuh yang terbagi menjadi dua yaitu mono unsaturated fatty acid (MUFA) dan poly unsaturated fatty acid (PUFA). Selanjutnya dinyatakan bahwa ada dua jenis PUFA yang penting yaitu asam lemak omega-6 (n-6) seperti asam linoleat (C18:2n-6) dan asam arahidonat (C20:2n-6) yang dapat disintesis dari asam linoleat, dan asam lemak omega-3 (n-3). Sumber asam lemak n-3 yang utama berasal dari ikan dan kerang laut dan juga dari minyak nabati. Asam linolenat (C 18:3-n-3) diperoleh dari tanaman, sedangkan asam lemak eikosa pentaenoat (eicosa pentaenoic acid = EPA) dan dokosa heksaenoat (docosa hexaenoic acid = DHA) diperoleh dari ikan laut dan kerang Tabel 1. Komposisi Asarn Lemak dalam Minyak Ikan Lemuru Asarn Lemak Komposisi g. 1 OOg ~ o n t o h - ' laut. EPA dan DHA termasuk famili linolenat (C18:3). Berdasarkan jumlah kandungan asam lemak tak jenuhnya, (Lubis, 1993) menyatakan bahwa kandungan asam lemak n-3 tertinggi pada minyak lemuru adalah C20:5n3 (EPA) dan C22:6n3 (DHA) masingmasing sebesar 34.7 dan 21.7% (Tabel 1). Apabiia dibandingkan dengan jenis ikan lainnya, kandungan EPA dan DHA tertinggi terdapat pada ikan lemuru (Tabel 2). Tabel 2. Komposisi Eiwsa Pentaenoic Acid (EPA) clan Docosa Heksaenoic Acid (DHA) dari Berbagai Jenis Ikan Laut Jenis Lkan Laut EPA (%) DHA (%) Tuna (Bleufin) Tuna (Albawre) Anchovy Herring Mackerel Flounder Haddock Lemuru (Sardinella longiceps)* * Lubis (1993) Bila ditinjau dari peranannya, asam lemak tak jenuh n-3 yang banyak dihasilkan oleh ikan lemuru merupakan asarn lemak yang sangat vital memberikan kekuatan pada membran seluler sebagai prekursor pembentuk prostaglandin. Akan tetapi karena asam lemak tak jenuh n-3 tidak dapat disintesis dalam tubuh ternak, maka hams tersedia dalam pakan. Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan Needleman (1982) bahwa perlu penarnbahan minyak ikan ke dalam pakan, sehingga memungkinkan pembentukan asam arakhidonat sebagai prekursor prostaglandin. Pernyataan ini didukung oleh Goodnight (1988) bahwa minyak ikan dalam pakan akan segera bergabung dengan sel-sel endotel trombosit untuk mensintesis prostaglandin. Selanjutnya prostaglandin E2 (PGE2) di dalam usus dapat meningkatkan absorpsi seng yang sangat penting dalam berbagai aktivitas enzim. Mekanisme yang ditempuh minyak ikan dalam pakan sampai terbentuk PGEz dapat dilihat pada Gambar 6 (Kinsella et al., 1990). Lemak plasma (TG) --------,. Konsumsi n-3 PUFA's .t I Sinlesisi apoprolein nienibran fosfo lipids - Eikosanoal - Platelets - Monosil Tekanan darah Mengatur kekenlalan cairan membran + Enzim rescplor - Makrofag EPA-DHA Membrane fosfo lipids Sintesis Eikosanoat - Tromboksan (Ta), ProstasikIin (PGIz), Prostaglandin-2 (PGE2) Leucolrin (LT&), Platelets, Macrophages Gambar 6. Diagram Mekanisme Pembentukan PGEz dari Omega3 Minyak Ikan (Kinsella et al., 1990). Distribusi, Fungsi d a n P e r a n a n Seng dalam Tubuh Ternak Seng adalah salah satu mikronutrien yang tidak beracun yang tersebar cukup merata dalam jaringan tubuh. Walaupun dernikian konsentrasi tertinggi terdapat pada jaringan tulang, hati, kulit dan rambut (Georgievskii et al., 1982). Pernyataan ini sesuai dengan yang dikemukakan Church (1979) bahwa konsentrasi seng tertinggi selain terdapat pada jaringan lunak seperti pankreas, hati, ginjal, kelenjar adrenal, kelenjar pituitari dan mukosa usus, juga terdapat pada tulang dan gigi. Pada darah, 75% seng terdapat dalam butir darah merah, 22% dalam serum dan 3% dalam leukosit. Georgievskii et al. (1982) menyatakan bahwa konsentrasi seng dalam organ tidak konstan, namun betvariasi tergantung pada umur, jenis kelamin dan level mineral pakan yang dikonsumsi ternak. Selanjutnya dinyatakan bahwa organ yang sangat responsif terhadap level mineral dalam pakan adalah darah, hati, tulang pankreas dan gonad. Rata-rata konsentrasi seng dalam darah ternak antara 0.25-0.60 mg.lOO ml-', sedangkan dalam plasma antara 0.1-0.2 mg. 100 ml". Dalam plasma seng ditemukan dalam dua bentuk yaitu yang berikatan dengan globulin dan dengan albumin dengan - proporsi 1:2 dan masing-masing terlibat dalam fbngsi enzim dan sebagai agen transportasi. Seng mempunyai banyak fbngsi dalarn tubuh dan sangat penting bagi semua jenis hewan, karena terlibat dalam hngsi berbagai enzim yang ada hubungannya dengan metabolisme karbohidrat, energi, degradasi, dan sintesis protein dan asam nuMeat (Tillman et al., 1983; Linder, 1992). Di samping itu juga terlibat dalam enzim yang behngsi untuk transpor COz (karbonik anhidrase) dan juga karboksi peptidase (NAS, 1980) yang ada hubungan dengan sekresi protease maupun peptidase pada pankreas yang dibutuhkan untuk pencernaan protein dalam usus. Keseluruhan enzim yang sangat berperan dalam proses metabolisme baik metabolisme energi, protein maupun asam nukleat akan sangat terganggu aktivitasnya apabila terjadi defisiensi seng terutama dalam fase pertumbuhan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa seng berperan sebagai aktivator berbagai enzim (Tabel 3) dan bertindak sebagai komponen yang esensial pada sejurnlah besar metaloenzim yang penting seperti alkalin fosfatase, karboksi peptidase A dan B, karbonat anhidrase dan yang lainnya (Tabel 4) (NAS, 1980; Tabel 3. Kompleks Enzim-mineral yang Diaktifkan oleh Seng Enzin~ - Mineral yang mengaktifkan - Dipeptidase glisilglisin Zn Arginase Z n , M n , F e , C o , N i , Cd Dipeptidase alanin dan leusilglisin Zn,l%,Cu,Mn,Sn,Cd,Hg Tripeptidase Zn ,Co Dipcptidase glisil-leusin Zn ,M n Karnosinase Zn ,Mn Aminopeptidase Zn,Co,Mo Deaminase histidin Zn,Hg,Cd Dekarboksilase oksaloasetat Zn ,Mn, Co ,Cd, Ni ,Fe, Mg ,Ba Dihidroorotase Zn Sumbcr: Gcorgicvskii (1982) Georgievskii el a]., 1982). Berdasarkan penelusuran pustaka oleh Larvor (1 993) dilaporkan bahwa umurnnya bila terjadi defisiensi seng akan menurunkan aktivitas enzim-enzim tersebut di atas, akan tetapi tidak nyata kccuali enzim DNA polimerase yaitu akan menusunkan sintesis protein dan mengharnbat pertumbuhan. Anhidrase karbonat terutama terdapat dalam sel darah merah dan juga pada sel Tabel 4. Metaloenzim Seng Enzim Kofaktor enzim Beral molekul GramalomZn/mol Sumbcr Peptidase dan Esterase Karboksi peptidase A Tidak ada Palkcas sapi Karboksipeptidase B Ti& ada Pankrcas babi Karbonat anlidrase Tidak a& Erilrosil sapi Alkalin fosfatase Ti& ada fiherichi coli Protease bebas Tidak ada Bacillus ~vblilis Dipeptidase ginjal Tidak a& Ginjal babi Alkohol dehidrogenase NAD Ragi Glutamat dehidrogenase NAD Hati sapi Asarn Maleat dehidrogenase NAD Janlung sapi Dehidrogenase Sitokrom D-Laktat dehidrogenase NAD hgi Sunber: Georgievskii et al. (1982). parietal usus. Enzim ini berperan penting dalam mekanisme pernafasan yaitu dalam pengaturan CO2 tubuh. Dengan kata lain berperan dalam pembuangan COz dari tubuh (Maynard dan Loosli, 1979). Anhidrase karbonat mengkatalisis reaksi sebagai berikut: Anhidrase karbonat Alkalin fosfatase merupakan enzim yang non hngsional dalam serum dat-ah. Enzim ini tersebar luas dalam tubuh dengan konsentrasi tinggi pada tulang, mukosa usus, sel darah merah dan tubulus renal. Alkalin fosfatase memegang peranan penting dalam proses fosforilasi. Dalam ha1 ini ATP bertindak sebagai substrat enzim dalam proses fosforilasi membentuk ADP (Messer et al., 1975). Aktivitasnya sangat dipengaruhi oleh status seng, sehingga penurunan aktivitas alkalin fosfatase dalam darah menunjukkan gejala kekurangan seng (Tillman et al., 1983) dan hal ini akan mengakibatkan gangguan metabolisme energi. Selain berperan dalam proses fosforilasi, alkalin fosfatase berperan dalam proses hidrolasi dan fosfotransferasi. Dalam proses hidrolasi, enzim ini menghidrolisis fosfomonoester menjadi alkohol dan fosfor anorganik pada pH 8- 1 1 dan dalarn proses fosfotransferasi dapat mentransfer fosfat radikal pada pH 9 seperti gambar di bawah ini. Alkalin fosfatase ,pH 8 R, p 0 4 + ----------------->RI-OH H20 (Fosfo~nonwster) + Po4 (alkohol) (fosfal anorganik) Alkalin fosfhse, pH 9 R1-P04 (donor) + R20H .......................... .( ~ P W > R ,-OH + (fosfonlonocstcr) Aktivitas karboksi peptidase pada pankreas menjadi lebih rendah pada tikus yang defisiensi seng dan kembali normal apabila diberi seng dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Penurunan aktivitas karboksi peptidase menyebabkan pencernaan dan penyerapan protein terbatas (Huber dan Gershoff, 1973). Pernyataan tersebut mendukung pendapat Miller et al. (1966) yang menyatakan bahwa gejala dcfisiensi scng pada ruminansia telah terbukti tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering, akan tetapi justru menyebabkan pemanfaatan pakan tercerna menjadi rendah. Absorpsi dan Metabolisme Seng pada Ruminansia Absorbsi seng yang utama terjadi pada bagian atas usus kecil. Pada ruminansia sepertiga pemberian seng per oral diabsorpsi di abomasum, tetapi daerah absorpsi yang utama adalah usus kecil dan yang paling aktif pada duodenum (Underwood, 1977). Peneliti lain menyatakan bahwa ruminansia dapat mengabsorpsi 20-40% seng dari yang terkandung dalam pakan, narnun pada ternak muda absorpsinya relatif lebih tinggi (Georgievskii et al., 1982). Absorpsi seng dipengaruhi oleh jurnlah dan imbangan mineral lain serta kandungan seng dalam ransum dan bentuk seng yang diserap (Underwood, 1977). Tingginya level kalsium dapat menghambat absorpsi seng pada monogastrik (Georgievskii et al., 1982), tetapi pada ruminansia asam pitat tidak mempengaruhi absorpsi seng, karena kehadiran enzim pitase dalam rumen. Absorpsi seng lebih merupakan refleksi perrnintaan fisiologis tubuh akan seng baik pada anak maupun induk sapi. Hewan yang kekurangan seng akan mengabsorpsi sebagian besar seng yang diberikan dalam pakan. Anak sapi yang kekurangan seng akan mengabsorpsi 80% seng yang diberikan per oral (Miller et al., 1970). Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila ruminansia muda mendapat ransum dengan kandungan seng rendah, nlaka kadar seng dalam beberapa jaringan akan turun, sedangkan di tcmpat lain sedikit berubah atau tetap. Tetapi bila kekurangan seng nya demikian besar, maka akan mengakibatkan turunnya kandungan seng pada rarnbut, tulang, hati, paxu-paru, ginjal pankreas dan plasma darah. Seng yang terdapat dalam tubuh hewan disebabkan karena diangkut bersamasama bahan organik. Dari penelusuran pustaka, Church dan Pond (1988) melaporkan bahwa urutan absorpsi yaitu setelah pankreas mengeluarkan ligan pengikat seng ke dalam lumen usus, di dalam lumen seng berikatan dengan ligan. Dalam ikatannya dengan ligan, seng diangkut menembus mikrovili usus masuk ke dalam sel epitel dan kemudian ikatan seng dibawa ke membran bas0 lateral plasma. Selanjutnya albumin bebas ligan bergabung dengan membran plasma membawa seng dari sisi reseptor. Miller et al. (1970) dalam penelitiannya tentang pengaruh berbagai taraf seng terhadap absorpsi Zn menyatakan bahwa ruminansia mempunyai mekanisme kontrol homeostatis yang mengatur absorpsi seng dan reekskresi endogen ke dalam saluran pencernaannya. Pengaturan tapak jalan seng makanan oleh sel usus dapat dilihat pada Gambar 7. Pada peristiwa absorpsi dan transfer, seng akan lewat dari satu ikatan protein ke protein lainnya dan mungkin juga dalam suatu ikatan metal kompleks dengan asam amino atau EDTA sebagai ikatan non protein. Metabolisme setelah absorpsi dipengaruhi oleh ikatan yang terbentuk. Selain itu juga dipengaxuhi oleh interaksinya dengan mineral Ca, P, Cu, Cd pembentuk khelat (EDTA) dan vitamin D (Georgievskii et al., 1982). Konsumsi Ca dan P anorganik yang tinggi akan mempermudah timbulnya kekurangan seng dan mempengaruhi pemanfaatan seng pada ternak (Underwood, 1977). LUMEN INTESTINAL CELL PLASMA P DIETARY ZlNC CREE ZlNC IllrC METALLOPROTEINS t O H MOLECULAR WEIGHT ZlNC CHELATES EXCRETED Z I N C Gambar 7. Pengaturan Tapak Jalan Seng Makanan oleh Usus (Church and Pond, 1988) Pengaruh Defisiensi dan Kelebihan Seng pada Ruminansia Defisiensi seng pada rurninansia tidak akan terjadi apabila kandungan seng dalam hijauan alami cukup tersedia. Dari berbagai penelitian telah dilaporkan bahwa seng berperan sebagai aktivator berbagai enzim dan merupakah komponen esensial berbagai metaloenzim. Oleh karenanya bila ternak mengalami defisiensi seng, aktivitas enzim yang terlibat seperti alkalin fosfatase, karboksi peptidase dan lain-lain akan turun dan selanjutnya akan mempengaruhi performans ternak. Defisiensi seng dapat menyebabkan penurunan aktivitas alkalin fosfatase pada ginjal, perut, serum (Williams, 1972; Huber dan GershoK, 1973), usus dan hati tikus (Williams, 1972; Huber dan GershoK, 1973; Taneja dan Arya, 1992) dan pada serum anak sapi (Miller et al., 1966; Luecke et at., 1968). Berdasarkan penelitian Girindra (1987) dilaporkan bahwa aktivitas alkalin fosfatase pada serum domba dan sapi yang normal mempunyai kisaran yang luas (Tabel 5) dan akan turun dengan cepat dengan semakin bertambahnya umur sampai mencapai dewasa tubuh. Aktivitas karboksi peptidase pada pankreas menjadi lebih rendah pada tikus yang defisien seng dan akan kembali normal apabila disuplementasi dengan seng dalam jumlah yang cukup sesuai kebutuhan. Huber dan Gershoff (1973) menyatakan bahwa penurunan aktivitas karboksi peptidase menyebabkan pencernaan dan penyerapan protein terbatas. Pernyataan tersebut mendukung pendapat Miller et al. (1966) yang menyatakan bahwa Tabel 5. Aktivitas Alkalin Fosfatase Serum Rurninansia dalam Keadaan Normal Jenis Ternak Aktivitas Alkalin Fosfatase (IuIL) ....................................................................................................... - Kambing 45.0 125.0 Domba 69.5 - 125.0 Sapi 94.0 170.0 - Sunlber: Girindra (1987), Iu/L = Inlernalional Unil per Liler. gejala defisiensi seng pada ruminansia telah terbukti tidak mempengaruhi kecernaan bahan kering, akan tetapi justru menyebabkan penurunan pemanfaatan pakan tercerna. Dari berbagai penelitian pada ternak lainnya juga dilaporkan bahwa defisiensi seng mengakibatkan penurunan aktivitas berbagai enzim dan keadaan tersebut dapat menimbulkan berbagai gejala klinis maupun fisiologis pada ternak. Gejala klinis yang tampak adalah alopesia, dermatitis, parakeratosis dan rambut atau bulu, wol, kaki dan kulit tidak normal (NAS, 1980). Selain hal tersebut di atas, defisiensi seng akan menghambat perpanjangan rantai karbon oleh omega-6 desaturase (Bettger et al., 1979). Selanjutnya dikemukakan bahwa gejala defisiensi seng dapat terlihat pada pertumbuhan lambat, selera makan tertekan, konsumsi turun dan kesehatan menunm. Hasil penelitian tersebut sesuai dengan yang dilaporkan oleh Miller et a/. (1966) bahwa defisiensi seng pada ruminansia (sapi dan domba) tidak berpengaruh pada kecernaan bahan kering, tetapi laju pertumbuhan lebih lambat dibanding kontrol. Hal ini kemungkinan disebabkan pemanfaatan pakan tercerna pada ransum yang defisien seng kurang efisien. Benade et al. (1995) dalam penelusuran pustakanya menyatakan bahwa defisiensi seng dapat menimbulkan defisiensi nutrisi esensial lain seperti vitamin dan asam lemak yang besar peranannya dalam proses penyerapan zat-zat nutrisi pakan. Selain itu defisiensi seng juga menunjukkan dewasa kelamin lambat dan mengganggu reproduksi, gangguan saluran usus halus dan anemia (NAS, 1980). Di sarnping defisiensi seng yang berakibat buruk pada ternak, pemberian seng berlebihanpun akan mengakibatkan keadaan yang kurang baik. Apabila diberikan dalam jumlah yang berlebihan, kandungan seng pada pankreas, hati, ginjal dan tulang tinggi. Menurut Ott et al. (1966 a;b) pemberian seng berlebihan pada domba maupun pada sapi dapat menyebabkan keracunan yang diperliiatkan pada penurunan berat badan, konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum. Penurunan konsumsi ransum kemungkinan sebagai bagian dari penurunan palatabilitas ransum. Selain itu pe~riberianseng yang berlebihan dapat mengganggu metabolisme dalam rumen, tejadi akumulasi dalam darah dan jaringan lain (hati, pankreas, ginjal dan tulang), sehingga menggangu metabolisme Co dan Fe yang mengakibatkan kandungan Co hati menurun dan Fe meningkat (Ott et al., 1966~). Ott el a1 (1 966 b ) melaporkan bahwa pemberian Z n 0 900 rng.kg" ransum pada sapi sudah menunjukkan gejala keracunan yang diperlihatkan pada penurunan berat badan, konsumsi dan efisiensi penggunaan ransum, kandungan seng jaringan meningkat dan Cu di hati turun. Pada level yang lebih tinggi tanda-tanda keracunan semakin nyata. Pada memberian 500 mg 2n0.k~-I ransum hanya meningkatkan kandungan seng jaringan, tetapi tidak terjadi penurunan berat badan, sedangkan pemberian 100 mg 2n0.kg-' ransum, baik secara biokimia maupun secara klinis baik. Peneliti lain melaporkan bahwa anak sapi umur 120 hari dengan berat badan mendekati 100 kg yang diberi 600 ppm ZnO dalam pakan, dalam waktu 14 hari dapat mengkonsumsi ransum secara optimal tanpa efek keracunan (Kincaid et al., 1976). Kemun&nan hal ini disebabkan kandungan kalsium dalam ransum tinggi yang dapat diketahui dari jenis bahan pakan yang diberikan. Pendapat di atas membenarkan pendapat Miller et al. (1970). Akan tetapi mekanisme homeostatik kontrol metabolisme seng kurang efektif dan meyebabkan efek fisiologis yang sangat merugikan apabila ransum mengandung 600 ppm ZnO dibandingkan dengan yang mengandung 200 ppm ZnO di mana belum sampai pada taraf keracunan. Berdasarkan berbagai penemuan para peneliti tersebut nampaknya belum ada kesepakatan berapa batas optimal pemberian seng yang memberikan efek terbaik pada sapi. Namun dapat diperkirakan kandungan seng dalam ransum sebaiknya tidak lebih dari 100 ppm dengan asumsi kandungan kalsium dan fosfor dalam ransum cukup sesuai standar kebutuhan. Hubungan antara Asam Lemak dan Seng Penggunaan . asam lemak tidak jenuh diharapkan dapat meningkatkan penyerapan seng dengan alasan bahwa asam lemak esensial diduga mempunyai hubungan fisiologis dengan seng antara lain berfbngsi sebagai prekursor prostaglandin. Prostaglandin merupakan hormon jaringan yang tidak disimpan di dalam jaringan dan biosintesisnya berlangsung secara enzimatis menggunakan asam arakhidonat (Djojosoebagio, 1990). Lebih lanjut dikemukakan bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan FZ (PGF2) banyak ditemukan pada saluran pencemaan dan masing-masing berpengaruh pada proses absorpsi dan sekresi oleh usus. Menurut Cunnane et al. (1981) selama defisiensi seng, metabolisme asam linolenat diduga tidak efektif, sehingga menyebabkan biosintesis prostaglandin turun. Akan tetapi dengan penambahan seng ternyata memberikan pengaruh yang menguntungkan. Hasil penelitian suplementasi minyak nabati yang mengandung asam linoleat tinggi (80%) pada tikus yang mengalami defisiensi seng menunjukkan adanya kenaikan asam linoleat pada hati dan kulit sampai 50% karena tidak mampu memetabolisme asam linoleat yang ditambahkan. Namun setelah ditambahkan seng, kandungan asam linoleat yang terakumulasi dalam hati dan kulit berkurang. Berarti seng sangat berperan dalam desaturasi asam linoleat yang terakumulasi dalam jaringan, sehingga dapat digunakan sebagai prekursor asam dehomo garna linoleat prostaglandin E2 dan asam arakhidonat yang selanjutnya membentuk dan F2. Menurut Song dan Adham (1979), prostaglandin E2 akan merangsang transpor seng dari mukosa ke serosa pada usus (absorpsi) dan sebaliknya prostaglandin F2 merangsang transpor seng dari serosa ke mukosa (sekresi). Dari hasil penelitian in vitro ternyata bahwa penambahan PGE2 meningkatkan transpor " ~ n dari mukosa ke serosa sampai 54%, sedangkan penambahan PGF2 menurunkan sampai 40% dibanding kontrol. Peneliti lain melaporkan bahwa apabila ternak mengalami defisiensi asam lemak esensial, juga tejadi penurunan asam linoleat dan arakhidonat pada pool metabolit (Willis et a]., 198 1). Hal ini terjadi karena asarn arakhidonat secara refleks akan dilepaskan dari membran fosfolipid oleh fosfolipase dalam memproduksi PGE2. Selanjutnya dinyatakan bahwa apabila defisiensi tersebut berlanjut, maka PGE2 turun dan setelah disuplementasi dengan seng ternyata kandungan asarn oleat dan linoleat tinggi, namun pengaruhnya pada perbaikan pertumbuhan tidak nyata. Hasil penelitiarl tersebut memberi kesan bahwa ketidakcukupan asam lemak esensial dalam ransum tidak akan memperbaiki pertumbuhan walaupun disuplementasi dengan seng. Hai ini mungkin ada kaitannya dengan rendahnya absorpsi seng yang pada gilirannya akan menurunkan aktivitas enzim yang berperan dalam metabolisme energi maupun sintcsis protein. Dari hasil penelitian pada tikus yang mengkonsumsi ransum yang defisien seng tetapi cukup lemak ternyata konsumsi dan pertambahan bobot badan turun serta aktivitas alkalin fosfatase rendah (Williams, 1972; Adeniyi dan Heaton, 1980; Taneja dan Arya, 1992). Setelah disuplementasi dengan seng dan mengurangi kadar lemak ransum dari 9% menjadi 3% diperoleh konsumsi, pertambahan bobot badan dan aktivitas alkalin fosfatase melebihi perlakuan lainnya ('Faneja dan Arya, 1992). Penelitian tersebut membuktikan bahwa aktivitas alkalii fosfatase dipengaruhi selain oleh konsentrasi seng juga oleh kandungan lemak ransum.