2 tinjauan pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Oseanografi
2.1.1 Arah dan Kecepatan Angin
Pada kondisi normal wilayah Asia Tenggara dipengaruhi oleh empat angin
muson utama yaitu 1) Angin muson barat laut pada bulan Desember, Januari dan
Februari; 2) Transisi dari angin muson barat laut ke angin muson tenggara pada
bulan Maret, April dan Mei; 3) Angin muson tenggara pada bulan Juni, Juli dan
Agustus, dan 4) Transisi dari angin muson tenggara ke angin muson barat laut
pada bulan September, Oktober dan November (Wyrtki 1961).
Wilayah perairan Indonesia yang terletak di antara benua Asia dan
Australia merupakan wilayah yang ideal untuk terjadinya angin muson. Pada
musim barat di belahan bumi utara (daratan Asia) terjadi musim dingin sementara
di belahan bumi selatan (daratan Australia) terjadi musim panas. Pada saat
tersebut pusat tekanan tinggi berada di daratan Asia dan pusat tekanan rendah
berada di daratan Australia yang menyebabkan angin bertiup dari daratan Asia
menuju daratan Australia, serta hal yang sebaliknya terjadi pada musim timur.
Pada bulan Maret-Mei dan September-November arah angin tidak menentu
(Wyrtki 1961). Hasil observasi Susanto et al. (2005) menunjukkan bahwa waktu
transisi atau musim peralihan lebih pendek. Angin muson barat laut bertiup dari
November-Maret, sementara angin muson tenggara bertiup dari Mei-September.
Musim transisi hanya terjadi pada bulan April dan Oktober.
Perubahan arah dan kecepatan angin yang bertiup di atas perairan
mengakibatkan terjadinya perubahan dinamika perairan. Menurut Susanto et al.
(2001), terjadinya upwelling di sepanjang pantai Jawa-Sumatera merupakan
respon terhadap bertiupnya angin muson tenggara. Upwelling di daerah ini
berlangsung dari bulan Juni hingga pertengahan Oktober dan pusat upwelling
dengan suhu permukaan laut yang rendah dimulai dari perairan selatan Jawa
Timur dan kemudian berpindah ke arah barat.
2.1.2 Suhu Permukaan Laut
Karena posisi geografisnya di antara benua Asia dan Australia dan
Samudera Hindia dan Pasifik, suhu permukaan laut (SPL) perairan Indonesia
12
sangat dipengaruhi oleh topografi daratan dan atau fluks atmosfer-lautan (Aldrian
& Susanto 2003). Variabilitas SPL sangat dipengaruhi oleh muson Asia-Australia
dan interaksi kompleks antara atmosfer dan lautan, seperti ENSO di katulistiwa
Pasifik Barat dan IODM di katulistiwa Samudera Hindia (Susanto et al. 2005),
serta percampuran yang diakibatkan oleh pasut dan Arus Lintas Indonesia (Qu et
al. 2005).
Variabilitas suhu permukaan laut mempengaruhi karakteristik biologis di
laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebaran SPL merupakan salah
satu indikator terjadinya proses upwelling di suatu perairan (Farita et al. 2006).
Fakta bahwa SPL rata-rata bulanan di daerah perbatasan antara selatan Jawa
Tengah dan Jawa Timur merupakan suhu terendah dibanding wilayah lain di
Selatan Jawa-Sumbawa selama bulan Juli-September, mengindikasikan adanya
penguatan upwelling di daerah tersebut (Farita et al. 2009).
Menurut Bearman (2004) sebaran menegak suhu dibagi menjadi tiga
lapisan, yaitu: (1) lapisan permukaan tercampur (mixed surface layer), (2) lapisan
termoklin permanen pada kedalaman 300 -1.000 m dimana terjadi penurunan suhu
yang tajam, dan (3) lapisan di bawah 1.000 m sampai dasar laut dengan suhu yang
dingin dan relatif konstan. Gradien suhu pada lapisan homogen (tercampur) tidak
lebih dari 0,03 0C/m. Ketebalan lapisan ini sangat tergantung pada kecepatan dan
lamanya angin bertiup (Wyrtki 1961).
Purba (1995) menyatakan bahwa di perairan selatan Jawa ketebalan
lapisan tercampur berkisar antara 40–75 m. Ketebalan lapisan termoklin ini
dipengaruhi oleh pertukaran bahang, percampuran oleh gelombang, pergerakan
massa air secara mendatar dan gelombang dalam. Gradien perubahan suhu pada
lapisan termoklin sekitar 0,05 0C/m (Hela & Laevastu 1970). Ross (1995)
menyatakan bahwa gradien perubahan suhu lapisan termoklin sekitar 0,1 0C/m. Di
perairan selatan Jawa batas lapisan termoklin sebelah atas adalah 45-70 m dan
batas bawahnya adalah 150-200 m (Purba 1995). Lapisan dalam terdapat di bawah
lapisan termoklin, dimana penurunan suhu terhadap kedalaman pada lapisan ini
sangat kecil (Nybakken 1992).
Keberadaan
lapisan
termoklin
sangat
mendukung tingginya
laju
produktifitas primer di laut. Bagian bawah dari lapisan tercampur atau lapisan
13
atas lapisan termoklin merupakan daerah yang memiliki konsentrasi nutrien yang
cukup tinggi sehingga dapat merangsang meningkatnya produktifitas primer.
Lapisan termoklin yang dangkal dapat lebih berperan dalam menunjang
produktifitas perairan daripada lapisan termoklin yang dalam. Ini disebabkan
karena pada saat terjadi proses percampuran vertikal, nutrien pada lapisan
termoklin yang dangkal lebih mudah mencapai lapisan permukaan daripada
lapisan termoklin yang lebih dalam. Kedalaman dimana konsentrasi klorofil-a
maksimum adalah pada batas atas lapisan termoklin (Tubalawony 2008).
Hela dan Laevastu (1970) mengemukakan bahwa ikan pelagis akan
bergerak menghindari suhu yang lebih tinggi atau mencari daerah yang kondisi
suhunya lebih rendah. Suhu juga menyebabkan perbedaan penyebaran ikan
dewasa dan anak ikan karena mereka cenderung memilih suhu yang cocok bagi
masing-masing umur. Perbedaan suhu perairan juga merupakan faktor penting
yang mempengaruhi migrasi dan besarnya gerombolan ikan. Beberapa jenis ikan
pelagis akan berenang lebih dalam apabila suhu perairan di permukaan lebih
tinggi. Kedalaman gerombolan ikan sangat tergantung luasnya lapisan tercampur
di permukaan pada malam hari.
2.1.3 Klorofil-a
Salah satu parameter yang sangat berpengaruh terhadap keberadaan ikan di
suatu perairan adalah ada tidaknya sumber makanan yang dibutuhkan. Sumber
makanan ikan terkonsentrasi di wilayah perairan yang subur. Daerah perairan
yang subur memiliki kandungan nutrien yang tinggi, seperti ortoposfat, nitrat,
nitrit dan unsur hara lainnya. Daerah ini biasanya diindikasikan dengan
kelimpahan fitoplankton yang tinggi dan konsentrasi klorofil-a yang tinggi pula
(Realino et al. 2007).
Klorofil-a merupakan salah satu pigmen fotosintesis dominan yang
terdapat dalam kloroplast alga dan jenis fitoplankton lainnya. Klorofil diperlukan
dalam konversi energi radiasi sinar matahari menjadi energi kimia dalam proses
fotosintesis. Kelimpahan fitoplankton tertinggi terdapat pada daerah upwelling
dan zona divergensi. Di wilayah tropis, konsentrasi klorofil maksimum ditemukan
pada kedalaman sekitar 20-100 m (Lalli & Parsons 2004). Nontji (1993)
mengatakan bahwa rata-rata konsentrasi klorofil-a di perairan Indonesia sekitar
14
0,19 - 0,16 mg/m3/hari selama musim barat dan 0,21 mg/m3/hari selama musim
timur. Karakteristik dan dinamika kolom air antara lapisan tercampur dan lapisan
termoklin sangat mempengaruhi proses-proses biologis yang terjadi di dalamnya.
Sebagian besar produktifitas primer dihasilkan pada lapisan tersebut. Dalam
proses fotosintesis dibutuhkan kehadiran beberapa komponen, seperti cahaya,
karbon dioksida, pigmen klorofil dan nutrien (Lalli & Parsons 2004).
Pada wilayah tropis dari Samudera Hindia, air yang jernih memungkinkan
sinar matahari dapat menembus hingga kedalaman perairan. Hal ini sejalan
dengan Matsuura et al. (1997) yang menyatakan bahwa sebaran konsentrasi
klorofil-a pada bagian atas lapisan tercampur sangat sedikit dan mulai meningkat
menuju bagian bawah dari lapisan permukaan tercampur dan menurun secara
drastik pada lapisan termoklin hingga tidak ditemukan pada lapisan di bawah
termoklin.
Upwelling adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan keadaan
dimana air dingin dan kaya unsur hara dari lapisan yang lebih dalam, naik menuju
ke permukaan perairan. Gerakan naik ini membawa serta air yang bersuhu dingin,
salinitas yang tinggi dan unsur-unsur hara yang kaya fhosfat dan nitrat ke
permukaan (Nontji 1993). Umumnya diketahui bahwa upwelling di perairan akan
meningkatkan produktivitas primer yang memainkan peran penting dalam
transpor materi organik ke perairan oligotrof di sekitarnya (Zalewsky et al. 2005).
2.2 Aspek Biologi Cakalang
2.2.1 Tingkah Laku
Cakalang (Katsuwonus pelamis) atau skipjack merupakan salah satu jenis
ikan tuna dalam famili Scombridae yang berbentuk fusiform, memanjang, agak
bulat dan tidak bersisik. Punggung berwarna biru kehitaman. Sisi bawah perut
keperakan dengan 4-6 buah garis hitam memanjang pada bagian samping badan
(Collette & Nauen 1983).
Jones dan Silas (1962) menyatakan cakalang hidup pada suhu antara 160C
– 300C dengan suhu optimum 28 0C. Cakalang termasuk ikan kosmopolit yang
epipelagik, yaitu ditemukan hampir di seluruh permukaan perairan laut tropis
maupun sub tropis. Cakalang hidup pada perairan dengan suhu antara 14,7°
15
hingga 30°C, sedangkan larvanya ditemukan terbatas pada suhu minimal 25°C
(Collette & Nauen 1983, Matsumoto et al.1984).
Gambar 2 Ikan cakalang (Katsuwonus pelamis Linnaeus 1758).
(Sumber: Collette dan Nauen 1983)
Cakalang memiliki tendensi untuk bergerombol di permukaan perairan
yang biasanya berasosiasi dengan keberadaan burung, obyek terapung, hiu, paus
atau spesies tuna lainnya. Ikan ini termasuk perenang cepat yang senang melawan
arus, memiliki sifat makan yang rakus dan mencari makanan berdasarkan
penglihatan. Cakalang bermigrasi di sekitar pulau maupun dalam jarak jauh. Pada
siang hari ditemukan mulai dari permukaan perairan hingga kedalaman 260 m,
dan terbatas dekat permukaan perairan pada malam hari (Matsumoto et al. 1984).
Migrasi adalah setiap jenis pergerakan yang sistematik dari individuindividu yang termasuk dalam suatu stok (Sparre & Venema 1998). Cakalang
termasuk spesies yang melakukan migrasi yang jauh (highly migratory species).
Pergerakan lokal cakalang berukuran panjang kurang dari 45 cm pada malam hari
berkisar 25 hingga 106 km dari posisi awal dan kembali ke tempat semula di pagi
hari. Pergerakan dalam jarak yang besar dapat dilihat dari hasil tagging cakalang
di Samudera Pasifik yang tertangkap kembali 30 hari setelah dilepaskan dan
sebagian besar yaitu 95% tertangkap di perairan yang berjarak 1.350 mil dari
posisi pelepasannya (Sibert & Hampton 2003). Selanjutnya IOTC (2008b)
melaporkan hasil tangging cakalang di Samudera Hindia yang menunjukkan
bahwa spesies ini memiliki mobilitas tinggi dengan rataan jarak migrasi yang
sangat jauh yaitu 640 mil.
16
2.2.2 Pendugaan Stok Cakalang
Charles (2001) menyatakan bahwa dalam dinamika populasi yang disebut
biomas untuk tahun sekarang adalah kombinasi dari 1) jumlah ikan yang bertahan
hidup dari tahun sebelumnya setelah dikalikan dengan laju pertumbuhan individu,
beserta 2) jumlah ikan hasil rekruitmen pada tahun ini yang berasal dari proses
reproduksi tahun sebelumnya setelah dikurangi laju kematian. Selanjutnya
disebutkan bahwa untuk keperluan pengelolaan perikanan, stok adalah suatu sub
kelompok dari satu spesies yang dapat diperlakukan sebagai suatu stok jika
perbedaan-perbedaan dalam kelompok tersebut dan pencampuran dengan
kelompok lain mungkin dapat diabaikan tanpa membuat kesimpulan yang salah
(Gulland 1983 in Sparre & Venema 1998).
Pengkajian stok harus dilakukan secara terpisah untuk setiap stok ikan
kemudian hasilnya dapat digabung ke dalam suatu pengkajian perikanan multispesies (Sparre & Venema 1998). Hasil tagging cakalang di Samudera Hindia
menunjukkan bukti pergerakan yang cepat dalam skala sangat luas yang
mendukung dugaan terkini bahwa cakalang di samudera ini merupakan stok
tunggal (IOTC 2009a; Huntington et al. 2010). Selanjutnya dikatakan bahwa stok
ikan yang bermigrasi dimanfaatkan oleh berbagai negara, sehingga pengkajian
stoknya tidak boleh terikat oleh batas geografi yang dibuat manusia. Pengkajian
stoknya akan lebih baik bila dilakukan melalui kerjasama antar negara (Sparre &
Venema, 1998).
Cakalang adalah spesies tuna terkecil yang dieksploitasi secara komersial,
namun memiliki pertumbuhan paling cepat dan dapat mencapai umur dewasa
dalam waktu kurang dari setahun. Estimasi panjang berdasarkan data tagging
menunjukkan panjang total antara 45-85 cm untuk ikan berumur 1 tahun
(Hampton 2000). Kisaran ukuran panjang cakalang maksimum adalah 80 cm
dengan berat berat 8-10 kg hingga ukuran 108 cm dengan berat 34,5 kg (Collette
& Nauen 1983). Fekunditas cakalang betina yang berukuran panjang total 41 cm
hingga 87 cm berkisar antara 80.000 hingga 2 juta telur (Matsumoto et al. 1984).
Estimasi mortalitas menunjukkan bahwa mortalitas alami pada cakalang
berukuran 21–30 cm lebih tinggi dari cakalang berukuran 51–70 cm (Kirby et al.
2003).
17
Catch per unit effort (CPUE) adalah cara sederhana untuk memprediksi
kondisi biomas ikan di perairan dengan cara melihat perbandingan antara hasil
tangkapan dengan jumlah upaya yang dilakukan. Biomas stok ikan yang baik
akan menunjukkan nilai CPUE yang terus meningkat dengan pertambahan upaya
tangkap. IOTC (2008a) melaporkan bahwa tren CPUE perikanan cakalang dengan
purse seine tahun 2008 di Samudera Hindia (Somalia dan Sisilia) menunjukkan
data yang bervariasi tetapi menunjukkan hasil tangkapan yang cenderung
meningkat setiap tahun.
Beragamnya ukuran tangkapan pada data yang diperoleh selama bertahuntahun menunjukkan laju pertumbuhan cakalang yang bervariasi (IOTC 2009c).
Dengan menggunakan pembacaan otolith didapatkan hasil bahwa cakalang di
bagian timur Samudera Hindia bisa mencapai ukuran panjang total 45 cm dalam
waktu satu tahun, dan panjang total 50 hingga 55 cm dalam waktu satu setengah
tahun. Kematangan seksual cakalang dicapai pada umur satu tahun dan dapat
hidup 8 - 12 tahun (Huntington et al. 2010), dengan rataan siklus hidup yang
relatif pendek yaitu 4 tahun (Sibert & Hampton 2003).
Dinamika stok cakalang sangat bergantung kepada rekruitmen (recruitment
driven) yang disebabkan siklus hidupnya yang pendek serta kemampuannya untuk
bereproduksi sepanjang tahun sehingga proses rekruitmen juga terjadi sepanjang
tahun. Produktifitas yang tinggi serta siklus hidup yang relatif pendek
menyebabkan cakalang memiliki ketahanan terhadap overfishing (IOTC 2009a;
IOTC 2011).
Hasil analisis terhadap data tagging tahun 2008 menunjukkan
rekruitmen cakalang
yang masih besar di Samudera Hindia sebelah barat
walaupun tingkat eksploitasinya tinggi (IOTC 2010). Mayoritas cakalang yang
tertangkap di Samudera Hindia berasal dari ikan berukuran > 40 cm sehingga
kemungkinannya telah melakukan pemijahan sebelum tertangkap (IOTC 2011).
Prosedur pengkajian stok terdiri dari elemen input (data perikanan dan
berbagai asumsi menyangkut data dan metodologi), proses (analisis data), dan
output (perkiraaan parameter populasi atau sistem). Output yang dihasilkan berisi
prediksi dan berbagai alternatif yang merupakan input bagi proses berikutnya.
Pengulangan proses akan menghasilkan output akhir yang berisi strategi
pengelolaan berupa optimalisasi hasil atau tujuan-tujuan lainnya (Saila & Galucci
18
1996 in Charles 2001). Salah satu metode yang paling banyak digunakan dalam
pengkajian stok adalah analisis statistik data deret waktu antara hasil dan upaya
tangkap yang menghasilkan indeks hasil tangkap per upaya tangkap atau catch per
unit effort (CPUE). Metode ini sangat berguna dalam memberikan indikator
kelimpahan stok bila tidak tersedia data lengkap mengenai ukuran, berat dan umur
ikan. Metode ini didasarkan pada asumsi bahwa kelimpahan stok berkorelasi
positif dengan dengan laju penangkapan (Charles 2001).
IOTC (2009c) melaporkan bahwa hasil pengkajian secara menyeluruh
terhadap stok cakalang di Samudera Hindia belum tersedia hingga saat ini, namun
diperkiran masih jauh dari maximum sustainable yield (MSY) atau belum
mencapai over fishing, namun demikian dibutuhkan upaya monitoring yang
cermat. Selanjutnya dikatakan bahwa beberapa indikator populasi yang tersedia
belum menunjukkan tanda terjadinya masalah dalam populasi cakalang, seperti
berikut:
1. Tren peningkatan kegiatan penangkapan
dalam
jumlah besar sejak
pertengahan era 80-an sebagai akibat dari ekspansi perikanan tangkap yang
menggunakan fish aggregating devices di Samudera Hindia.
2. Tren catch per unit effort (CPUE) atau hasil tangkapan per satuan upaya
penangkapan untuk alat purse seine dari tiga wilayah utama penangkapan
cakalang di Samudera Hindia, yaitu Somalia timur, barat daya Sesilia, dan
terusan Mozambiq menunjukkan nilai yang bervariasi tetapi umumnya
memperlihatkan jumlah tangkapan yang meningkat dengan pertambahan
upaya tangkap.
3. Rataan ukuran tangkapan dengan berbagai alat tangkap menunjukkan kondisi
populasi yang stabil. Purse seine serta pole and line terbanyak menangkap
ikan yang berukuran 40-65 cm sementara gillnet terbanyak menangkap ikan
yang berukuran 70-80 cm.
2.3 Perikanan Cakalang Samudera Hindia
Menurut Matsumoto et al. (1984) daerah penangkapan cakalang biasanya
tersebar di perairan sekitar benua atau pulau-pulau besar dimana seringkali terjadi
upwelling atau fenomena oseanografi yang menyebabkan terjadinya konsentrasi
ikan cakalang di bagian permukaan perairan. Penyebaran cakalang di Samudra
19
Hindia meliputi wilayah bagian barat yaitu Teluk Aden, Somalia, pantai timur dan
selatan Afrika, serta wilayah bagian timur yaitu barat Australia, sebelah selatan
Kepulauan Nusa Tenggara, sebelah selatan Pulau Jawa, sebelah barat Sumatra,
Laut Andaman, Bombay, dan Ceylon, (Jones & Silas 1962). Menurut Uktolseja et
al. (1991) penyebaran cakalang di Samudra Hindia dalam wilayah Indonesia
meliputi perairan barat Sumatra, selatan Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.
Perikanan tuna di Samudera Hindia didominasi oleh hasil tangkapan
cakalang (Katsuwonus pelamis) (Miyake et al. 2010). Selanjutnya Lewis dan
Williams (2001) menyatakan bahwa secara umum produksi tangkap cakalang
Samudera Hindia menunjukkan nilai yang terus meningkat sejak tahun 1970,
meningkat dua kali lipat pada era 80-an dan cenderung stabil mulai tahun 1990.
Produksi cakalang di Samudera Hindia bagian barat mencapai hampir setengah
dari tangkapan tuna dari wilayah ini. Spesies ini merupakan target dari perikanan
pelagis yang menggunakan alat tangkap purse seine, gillnet dan pole and line.
Perikanan tangkap cakalang di Samudera Hindia secara umum
menunjukkan nilai yang terus meningkat sejak tahun 50-an dan mencapai
produksi 50.000 ton pada akhir tahun 70-an mengggunakan alat tangkap pole and
line. Selanjutnya terjadi peningkatan tajam pada awal era 80-an dengan
diperkenalkannya alat tangkap purse seine. Saat tersebut cakalang menjadi
kegiatan perikanan utama di samudera ini. Nilai produksinya terus meningkat di
tahun 90-an dengan total produksi melebihi 400.000 ton, dan mencapai puncaknya
pada tahun 2006 yaitu 622.600 ton. Nilai produksi ini menurun menjadi 440.600
ton pada tahun 2009 (IOTC 2011). Penangkapan cakalang di Samudera Hindia
menunjukkan hasil yang terus meningkat walaupun upaya tangkap bertambah.
Penurunan hasil tangkap tahun 2007-2009 diduga dipengaruhi oleh penurunan
upaya di perairan Somalia akibat banyaknya perompak (IOTC 2009b).
Hasil tangkapan cakalang dapat dibagi antara yang tertangkap sebagai
gerombolan bebas, dan yang tertangkap di sekitar fish aggregating device. Data
hasil penelitian penangkapan cakalang di Samudera Hindia menunjukkan nilai
yang lebih besar tertangkap di sekitar rumpon yaitu sebesar 6.110 ton dan hanya
1.195 ton tertangkap dari gerombolan bebas (Duery & Oliver 2007).
20
Indonesia merupakan negara yang berperan penting dalam perikanan tuna
di Samudera Hindia.
Namun demikian, apabila dibandingkan dengan negara
lainnya, secara umum kinerja perikanan cakalang Indonesia masih rendah apabila
melihat luasnya perairan ZEEI yang dimiliki di Samudera Hindia yang memiliki
potensi cakalang besar (Proctor et al. 2007).
Pengertian umum berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2004
tentang Perikanan adalah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah jalur
di luar dan berbatasan dengan laut teritorial Indonesia sebagaimana ditetapkan
berdasarkan undang-undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang
meliputi dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluar 200
mil laut yang diukur dari garis pangkal laut teritorial Indonesia. Laut lepas adalah
bagian dari laut yang tidak termasuk dalam ZEEI, laut teritorial Indonesia,
perairan kepulauan Indonesia, dan perairan pedalaman Indonesia.
Pada tahun 2008 total produksi nelayan dari ZEEI Samudera Hindia
selatan Jawa Timur yang di daratkan di Pelabuhan Perikanan Pantai (PPP)
Pondokdadap sekitar 4.163,227 ton dengan nilai Rp.47.840.711.085. Dari total
produksi ikan tersebut sebagian besar di dominasi oleh cakalang dan tuna yaitu
sebesar 3.690,634 ton (89%) dengan nilai Rp.44.689.781,465 dan sisanya ikan
pelagis lainnya. Untuk jenis tuna besar komposisi yang dominan tertangkap
berturut-turut adalah madidihang (Thunnus albacares) sekitar 92%, tuna
matabesar (Thunnus obesus) sekitar 7 % dan albakora (Thunnus allalunga) sekitar
3%.
Total tangkapan tuna besar mencapai
47% (1.732,515 ton), sementara
cakalang (Katsuwonus pelamis) sebesar 39% (1.444,1 ton), dan sisanya dari jenis
tongkol sebesar 14% (514,019 ton) (PPP Pondokdadap 2008).
2.4 Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Berkelanjutan
Pengelolaan aspek ekologi lingkungan dan sumberdaya alam pada
dasarnya adalah kegiatan pengelolaan perilaku manusia, sebagaimana perikanan
tangkap yang merupakan sebuah kegiatan multidimensi yang berhubungan dengan
alat tangkap, armada, pasar, aspek biologi dan ekonomi, pengelolaan dan alokasi
sumberdaya, serta
perbaikan stok yang sudah mengalami kelebihan tangkap
(Pitcher (1999). Pengelolaan perikanan secara berkelanjutan adalah sebuah konsep
21
multidimensi yang mengintegrasikan dimensi ekonomi, sosial, dan ekologi
(Murillas et al. 2008 in Allahyari 2010).
Keberlanjutan perikanan secara keseluruhan merupakan pencapaian
simultan dalam empat komponen keberlanjutan yaitu ekologi, sosio-ekonomi,
komunitas, dan kelembagaan. Dengan demikian sebuah kegiatan perikanan tidak
boleh menyebabkan dampak yang negatif terhadap komponen lainnya (Charles
2001). Selanjutnya dikatakan bahwa hubungan berbagai komponen keberlanjutan
dapat digambarkan dalam bentuk segitiga keberlanjutan yang meliputi
keberlanjutan ekologi, sosio-ekonomi, dan komunitas sebagai komponen dasar,
dan komponen kelembagaan yang berinteraksi dengan ketiganya serta menopang
tingkat keberlanjutan ketiga komponen dasar tersebut.
Keberlanjutan
Ekologi
Keberlanjutan
Kelembagaan
Keberlanjutan
Sosio-Ekonomi
Keberlanjutan
Komunitas
Gambar 3 Hubungan antar komponen dalam segitiga keberlanjutan.
(Sumber: Charles 2001)
Pembangunan perikanan secara berkelanjutan akan terwujud jika
pengelolaan dilakukan secara terpadu (integrated). Pembangunan berkelanjutan di
sektor perikanan memiliki empat dimensi yakni: ekologis, sosial ekonomi budaya,
sosial politik serta hukum dan kelembagaan (Dahuri et al. 1996).
Pendekatan dalam pengkajian keberlanjutan terdiri atas 4 (empat) tahapan,
yaitu: 1) Penentuan komponen-komponen keberlanjutan yang relevan untuk
sistem perikanan sehingga secara bersama dapat merefleksikan keberlanjutan
sistem secara keseluruhan, 2) Menyusun seperangkat kriteria konkrit yang akan
dievaluasi dalam pengkajian keberlanjutan setiap komponen, 3) Menentukan
22
indikator keberlanjutan yang sesuai dan dapat dikuantifikasi sehingga status dari
setiap kriteria dapat terukur dan dapat dibandingkan, dan 4) Formulasi indeks
keberlanjutan dari agregat status indikator pada setiap komponen keberlanjutan
(Charles 2001).
2.4.1 Aspek Ekologi
Keberlanjutan ekologis adalah suatu kondisi dimana kualitas dan
kesehatan ekosistem perairan terpelihara dengan baik agar sumber daya ikan yang
hidup di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang biak secara optimal, dan tingkat
penangkapan sumber daya ikan tidak melampaui kemampuan pulihnya
(renewable capacity) sehingga hasil tangkapan secara keseluruhan pada berbagai
tingkatan pemerintahan dan negara dapat berlangsung secara berkelanjutan
(Dahuri 2007).
Ketersediaan stok ikan dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain
kelahiran, pertumbuhan, kematian, emigrasi dan imigrasi ikan. Pertumbuhan pada
tingkat individu dapat dirumuskan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat
dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan populasi, diartikan sebagai
pertambahan jumlah dalam populasi. Faktor dalam dan luar yang mempengaruhi
pertumbuhan diantaranya ialah jumlah dan ukuran makanan yang tersedia, jumlah
individu yang menggunakan makanan yang tersedia, suhu, oksigen terlarut, faktor
kualitas air, umur dan ukuran ikan serta kematangan gonad (Effendie 1979).
Menurut Charles et al. (2002), atribut dalam dimensi ekologi merupakan
perpaduan antara (a) jaminan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dalam arti
mencegah terjadinya pengurasan stok, (b) perhatian yang lebih luas terhadap
upaya memelihara basis sumberdaya, spesies non komersil dan biodiversitas
secara keseluruhan sebagai pilihan masa depan, dan (c) tugas mendasar untuk
memelihara resiliensi dan kesehatan ekosistem. Selanjutnya dikatakan bahwa
upaya untuk mengukur kemajuan masyarakat dalam kegiatan perikanan tangkap
harus secara jelas memasukkan atribut yang menjelaskan kondisi sumberdaya
perikanan dan ekosistem perairannya, walaupun merupakan hal yang rumit
mengingat lingkungan perairan laut merupakan salah satu lingkungan yang paling
kompleks dan belum dipahami secara menyeluruh.
23
2.4.2 Aspek Ekonomi
Sektor perikanan dan kelautan memegang peranan penting dalam
pembangunan ekonomi negara berkembang seperti Indonesia.
Selain sebagai
sumber protein utama bagi kurang lebih 230 juta penduduk Indonesia, sektor
perikanan dan kelautan juga merupakan sumber penghasilan dan lapangan
pekerjaan bagi sebagian besar masyarakat. Sektor perikanan dan kelautan juga
berperan penting dalam penerimaan devisa melalui perdagangan internasional.
Keberlanjutan sosial-ekonomi yaitu suatu kondisi dimana sistem usaha perikanan
tangkap mampu memelihara atau meningkatkan kontribusinya terhadap
pertumbuhan ekonomi nasional dan meningkatkan kesejahteraan pelaku usaha,
yaitu (nelayan dan mereka yang terlibat dalam kegiatan industri hulu serta industri
hilir perikanan tangkap, secara adil dan berkelanjutan (Dahuri 2007).
Atribut dalam dimensi ekonomi merupakan ukuran seberapa baik
kesejahteraan ekonomi dipelihara dan ditingkatkan berdasarkan perpaduan
indikator sosial dan ekonomi yang relevan, yang meliputi aspek keuntungan yang
berkelanjutan, distribusi benefit yang rasional, dan memelihara viabilitas ekonomi
di tingkat lokal dan global. Dalam dimensi ini setiap atribut biasanya diukur pada
tingkat individu yang kemudian diagregatkan dalam sistem perikanan (Charles et
al. 2002).
2.4.3 Aspek Teknologi
Pengelolaan perikanan khususnya kegiatan produksi perikanan pada suatu
wilayah perairan dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain ketersediaan stok,
tingkat upaya penangkapan, serta faktor lain termasuk mortalitas yang bersifat
alamiah. Faktor-faktor produksi (tingkat upaya) yang telah ada merupakan faktor
yang pengaruhnya paling besar (Monintja & Zulkarnain 1995).
Pembangunan perikanan merupakan suatu proses atau kegiatan manusia
untuk meningkatkan produksi di bidang perikanan dan sekaligus meningkatkan
pendapatan nelayan melalui penerapan teknologi yang lebih baik. Pengembangan
jenis teknologi penangkapan ikan perlu diarahkan agar dapat menunjang tujuan
pembangunan
perikanan.
Adapun
syarat-syarat
pengembangan
teknologi
penangkapan ikan haruslah dapat menyediakan kesempatan kerja yang banyak,
menjamin pendapatan yang memadai bagi para tenaga kerja atau nelayan,
24
menjamin jumlah produksi yang tinggi untuk menyediakan protein, mendapatkan
jenis ikan komoditi ekspor atau jenis ikan yang biasa di ekspor serta tidak
merusak kelestarian ikan (Dahuri 2007).
Charles (2001) menjelaskan bahwa ada empat hal yang menentukan upaya
penangkapan yaitu 1) jumlah armada penangkapan; 2) rataan daya tangkap sebuah
armada berdasarkan ukuran, alat tangkap, dan tenaga kerja; 3) rataan intensitas
operasi armada per unit waktu; dan 4) rataan waktu yang dihabiskan di laut untuk
operasi.
Operasi penangkapan ikan dapat berjalan dengan baik apabila teknologi
penangkapan ikan yang digunakan ramah terhadap lingkungan. Monintja (2001)
menjelaskan sembilan (9) kriteria teknologi penangkapan ikan, yaitu: 1)
Selektifitas tinggi; 2) Tidak destruktif terhadap habitat; 3) Tidak membahayakan
nelayan; 4) Produksinya berkualitas; 5) Produknya tidak membahayakan
konsumen; 6) Bycatch dan discard minimum, 7) Tidak menangkap spesies yang
dilindungi atau terancam punah, (8) Dampak minimum terhadap keanekaragaman
hayati, dan 9) Dapat diterima secara sosial.
2.4.4 Aspek Sosial
Menurut Gordon (1954) in Fauzi (2004) sumberdaya ikan pada umumnya
bersifat open access. Tidak seperti sumberdaya alam lainnya, sumberdaya ikan
relatif bersifat terbuka. Gordon selanjutnya menyatakan bahwa tangkap lebih
secara ekonomi (economic overfishing) akan terjadi pada sistem yang tidak
terkontrol seperti ini.
Keberlanjutan sosial (masyarakat) adalah terpeliharanya atau semakin
membaiknya kualitas kehidupan masyarakat pelaku usaha perikanan tangkap
beserta segenap sistem nilai keutamaan individu (seperti budaya kerja keras,
kreatif, budaya menabung, jujur, dan disiplin) serta sistem nilai keutaman
kelompok seperti semangat toleransi, saling menghormati, kerja sama, dan
pengorbanan untuk kepentingan bersama (Dahuri 2007).
Atribut sosial menyangkut upaya untuk menjamin keberlanjutan
komunitas, baik dalam kontribusinya terhadap keberlanjutan lingkungan perairan
dan sumberdaya perikanan, serta dalam hak individu dan komunitasnya. Atribut
ini berfokus kepada pemeliharaan atau peningkatan kesejahteraan ekonomi dan
25
sosial budaya dari masyarakat serta kohesi antara lingkungan laut dan masyarakat
yang memanfaatkannya. Dimensi ini berhubungan dengan konsep resiliensi yaitu
kemampuan sebuah komunitas untuk pulih kembali setelah adanya goncangan dan
kemampuan menjaga integritasnya (Charles et al. 2002).
2.4.5 Aspek Kelembagaan
Atribut kelembagan merupakan ukuran seberapa tepat kebutuhan finansial
teralokasikan, serta seberapa baik kapasitas administrasi dan organisasi dalam
jangka waktu yang panjang.
Kedua hal tersebut merupakan prasyarat bagi
terwujudnya keberlanjutan pada dimensi lainnya, dimana atribut ini diarahkan
untuk mengukur kemampuan manajemen dan kemampuan penegakan aturan
(Charles 2001).
Keberlanjutan kelembagaan adalah suatu kondisi dimana semua pranata
kelembagaan (institutional arrangements) yang terkait dengan sistem perikanan
tangkap (seperti pelabuhan perikanan, pemasok sarana produksi, pengolah dan
pemasar hasil tangkapan, dan lembaga keuangan) dapat berfungsi secara baik dan
benar serta berkelanjutan. Pengambilan kebijakan terhadap pengelolaan
sumberdaya, dengan prinsip keberpihakan terhadap masyarakat (nelayan) adalah
hal yang utama. Pengaturan dan pengalokasian sumber daya secara efisien dan
merata akan sangat menentukan keberhasilan program (Dahuri 2007).
Upaya untuk meningkatkan status keberlanjutan secara keseluruhan tidak
akan dicapai tanpa memberi perhatian pada pemeliharaan dan peningkatan
kebutuhan finansial, serta kapasitas administrasi dan organisasi dalam jangka
panjang. Namun demikian aspek ini seringkali diabaikan dan lebih berfokus pada
aspek biologi, sosial dan ekonomi (Charles et al. 2002).
2.5 Penentuan Status Keberlanjutan
Alder et al. (2000) menyatakan bahwa keberlanjutan telah menjadi
kebijakan kunci yang dibutuhkan dalam seluruh kegiatan perikanan. Namun
demikian evaluasi terhadap keberlanjutan yang membutuhkan integrasi aspek
ekologi dengan aspek sosial dan ekonomi masih sulit dilakukan. Rapfish
merupakan teknik multidisiplin untuk menentukan keberlanjutan secara cepat
dalam rangka mengevaluasi keberlanjutan suatu kegiatan perikanan berdasarkan
26
sejumlah atribut yang mudah diberikan nilai skor. Ordinasi sejumlah atribut
dilakukan dengan menggunakan multi-dimensional scaling (MDS) yang diikuti
dengan scaling dan rotasi.
Teknik Rapfish berguna untuk membandingkan status perikanan dan
mengevaluasi potensi dampak dari kebijakan. Teknik ini melingkupi dan
mensistematisasi cakupan evaluasi yang lebih luas dibandingkan dengan
pengkajian stok secara konvensional. Teknik ini dapat merefleksikan pilihan
kebijakan yang realistis beserta trade off yang harus dilakukan bagi tuntutan
kondisi ekonomi, sosial, etika, dan ekologi yang ada. Konsekuensi dari adopsi
kebijakan yang dapat menaikkan skor dibuat secara eksplisit. Keseluruhan proses
pemberian skor dilakukan secara transparan dan bergantung pada asumsi yang
sudah jelas tentang apa yang dianggap baik atau buruk, dimana asumsi tentang
baik atau buruk dapat dimodifikasi bila dianggap tidak sesuai dengan kasus yang
dikaji serta anomali pada skor dapat diperbaiki bila terdapat informasi baru yang
lebih akurat (Pitcher & Preikshot 2001).
Rapfish
adalah
sebuah teknik multidisiplin berdasarkan statistik
multivariat untuk menganalisis keberlanjutan perikanan (Alder et al. 2000). Status
keberlanjutan merupakan alat untuk membantu manajer, ilmuwan, nelayan dan
masyarakat memvisualisasikan kondisi lingkungan perairan dan perikanan saat ini
serta membantu untuk mendiskusikan isu–isu pengelolaan yang berkembang
(Charles et al. 2002).
Status ini memiliki peran penting dalam monitoring,
pengkajian serta pemahaman kondisi ekosistem, dampak kegiatan manusia, serta
efektifitas kebijakan mencapai tujuan pengelolaan (Rice & Rochet 2005).
Penyusunan indikator keberlanjutan saat ini lebih berfokus pada tingkatan
makro (macro-indicator) yaitu nasional dan internasional sehingga diperlukan
pengembangan yang intensif pada tingkatan mikro (micro-indicator) yaitu
regional, lokal, komunitas dimana sebuah kegiatan berlangsung dengan ciri khas
masing-masing. Hal ini mengimplikasikan perlunya perpaduan antara analisis
kondisi lokal-spesifik dengan analisis kondisi yang berlaku umum dalam sistem
perikanan (Charles 2001).
Download