bab 2 tinjauan pustaka

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Celebrity Worship
2.1.1
Celebrity (Idola)
Celebrity adalah seseorang yang memiliki pengakuan publik dan sering
memiliki ciri khas seperti daya tarik dan kepercayaan (McCracken, 1989;
Silvera & Austad, 2004).Menurut Friedman (1979, dalam Doss, 2011), istilah
“selebriti” mengacu pada individu yang dikenal masyarakat, seperti aktor, tokoh
olahraga, musisi, idola pop penghibur, dan lain-lain untuk pencapaian mereka di
bidang masing-masing selain produk dan merchandise yang didukung oleh
mereka.Salah satu bentuk selebriti adalah idola pop, yaitu figur publik yang
dipromosikan melalui media (media-promoted personalities) yang pekerjaannya
adalah menyanyi, menari, dan berakting di teater atau panggung, muncul di
acara televisi, iklan dan berpose di majalah atau internet. Idola pop juga muncul
di berbagai media, seperti majalah, poster, billboard, iklan, internet, drama TV
dan film. Informasi detil seperti tempat dan tanggal lahir, golongan darah, hobi
dan pemikiran idola juga dapat ditemukan dalam media popular seperti majalah
dan televisi (Aoyagi, dalam Darfiyanti & Putra, 2012).
Dari uraian di atas, didapat kesimpulan bahwa celebrity merupakan
individu yang memiliki popularitas dan telah dikenal oleh masyarakat umum
atas apapun yang telah ia lakukan.
2.1.2 Definisi Celebrity Worship
Celebrity worship menurut Maltby et. Al, (2005) adalah gangguan
obsesif-adiktif saat seseorang terlalu melibatkan diri di setiap detil kehidupan
selebriti idolanya, dimana semakin seseorang memuja, merasa kagum atau
terlibat dengan sosok selebriti tertentu, semakin besar pula keintiman (intimacy)
yang diimajinasikan terhadap sosok selebriti yang diidolakan, semakin tinggi
tingkat pemujaan seseorang terhadap idolanya, maka semakin tinggi pula tingkat
keterlibatannya dengan sosok idola. Seiring dengan meningkatnya intensitas
keterlibatan seseorang dengan selebriti idolanya, maka ia mulai melihat sosok
9
10
selebriti idolanya adalah orang yang dianggap dekat dan ia mulai
mengembangkan hubungan parasosial. Hubungan parasosial adalah hubungan
yang diimajinasikan seseorang dengan sosok yang diidolakan yang bersifat satu
arah, dari fans kepada selebriti idolanya (Maltby, 2004).Celebrity worship
dipengaruhi oleh kebiasaaan seperti melihat, mendengar, membaca dan
mempelajari tentang kehidupan selebriti secara berlebihan. (McCutcheon et al.,
2005)
Secara garis besar, dapat disimpulkan bahwa celebrity worship
merupakan segala bentuk perilaku atau perasaan yang timbul dari dalam diri
individu untuk memuja sosok idola sebagai suatu hiburan atau pemuasan diri.
2.1.3 Dimensi Celebrity Worship
Keterlibatan dengan celebrity oleh Maltby et.al, (2006) dibagi menjadi
tiga dimensi yang disebut sebagai Celebrity Attitude Scale (CAS), yang bisa
digambarkan sebagai tingkatan, yaitu:
a).Entertainment-social
Pada level ini individu biasanya dikaitkan dengan penggunaan media sebagai
sarana untuk mencari informasi mengenai idolanya dan senang membicarakan
hal-hal yang berhubungan dengan idola dengan sesama teman yang
mengidolakan idola yang sama. Fans menganggap bahwa apa yang dilakukan
oleh idolanya adalah menarik dan menjadi hiburan bagi fans tersebut.Salah satu
contoh tipikal perilaku dalam aspek entertainment-social adalah ketika individu
gemar membicarakan tentang idolanya kepada sesama teman yang mempunyai
idola yang sama.
b).Intense-personal
Dimensi ini merefleksikan perasaan intensif dan empati terhadap idola, hampir
sama dengan tendesi obsesif pada fans. Hal ini menyebabkan individu menjadi
memiliki kebutuhan untuk mengetahui apapun tentang celebrity tersebut, mulai
dari berita terbaru hingga informasi mengenai pribadi celebrity.
Contoh perilaku yang menggambarkan tipikal Intense-personal, misalnya saat
individu merasa idolanya bisa menjadi pasangan hidupnya.
11
c).Borderline-pathological
Dimensi ini adalah yang paling tinggi dari hubungan parasosial dengan
celebrity. Hal ini digambarkan dalam sikap seperti kesediaan untuk melakukan
apapun demi celebrity tersebut meskipun hal tersebut melanggar hukum. Fans
yang seperti ini tampak memiliki pemikiran yang tidak terkontrol dan menjadi
irasional. Salah satu contoh perilaku yang menggambarkan tahapan borderlinepathological misalnya seorang individu rela memberikan uang sebanyak sepuluh
juta demi bisa membeli seprei yang pernah dipakai tidur oleh idolanya.
2.2 Compulsive Buying
2.2.1. Definisi Compulsive Buying
Menurut O’Guinn dan Faber (1992, dalam Moore 2009) compulsive
buying adalah pembelian yang kronis, dilakukan berulang-ulang yang menjadi
respon utama dari suatu kejadian atau perasaan yang negatif. Sehingga
compulsive buying adalah satu bentuk konsumsi yang dianggap sebagai sisi
gelap konsumsi, karena ketidakmampuan konsumen dalam mengendalikan
dorongan hati yang kuat untuk selalu melakukan pembelian(Shiffman & Kanuk,
2000 dalam Park & Burn, 2005).
Konsumen yang kompulsif adalah konsumen yang merasa ketagihan,
dalam beberapa kondisi mereka berlaku diluar kontrol dan sikap mereka dapat
berdampak buruk bagi diri sendiri maupun orang lain (Schiffman & Kanuk,
2007). Compulsive buying bisa terjadi pada setiap individu yang memiliki
kondisi jiwa yang normal (D’Astous, Maltais, & Roberge, 1990; dalam Naomi
& Mayangsari, 2009). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa compulsive
buying merupakan salah satu karakteristik konsumen yang merupakan sisi
negatif dari sebuah perilaku konsumsi, dimana individu dengan perilaku
compulsive buying akan menunjukkan perilaku membeli yang kronis, berulangulang, ketagihan.
2.2.2 Dimensi Compulsive Buying
Berdasarkan teori yang dilansirkan oleh Edwards (1992; dalam Moore,
2009), perilaku compulsive buying adalah suatu tindakan seseorang dalam
12
mengambil keputusan untuk membeli barang bukan hanya karena kebutuhannya,
melainkan juga demi pemuasan keinginannya yang dilakukan secara berlebihan,
kronis, dan berulang-ulang sebagai representatif perasaan negatif atau untuk
mengurangi perasaan negatif. Compulsive buying memiliki lima dimensi utama,
yaitu:
1.Tendency to Spend.
Keadaan dimana seseorang membeli barang secara berlebihan, menghabiskan
uang dengan sering.
2.Drive to Spend.
Saat individu merasa tergoda untuk berbelanja preokupasi (pemusatan pikiran
pada satu hal tertentu), kompulsif (dilakukan secara berulang-ulang) dan adanya
perilaku impulsif dalam berbelanja atau membeli barang.
3.Feelings about shopping.
Keadaan mengenai seberapa besar individu menikmati aktivitas berbelanja dan
menghabiskan waktunya untuk berbelanja
4.Dysfunctional spending.
Menjelaskan bahwa pengaruh lingkungan dapat menyebabkan atau menggiring
seseorang untuk melakukan aktivitas berbelanja dan menghabiskan waktunya
untuk berbelanja.
5.Post-purchase guilt.
Keadaan dimana seseorang
merasa menyesal setelah melakukan aktivitas
berbelanja.
2.2.3 Tiga Fitur Inti Compulsive Buying
Dittmar (2005) menyatakan bahwa terdapat tiga fitur inti dari compulsive
buying; yaitu:
1.Compulsive buyer memiliki hasrat yang tidak dapat ditahan untuk membeli
atau mendapatkan sesuatu
2.Individu tersebut tidak mampu mengontrol perilaku compulsive buying-nya.
13
3.Individu tersebut akan terus melakukan kebiasaan utuk membeli sesuatu secara
berlebihan tanpa menghiraukan dampak yang mungkin timbul dalam kehidupan
pribadi, sosial, ataupun pekerjaan dan kesulitan dalam hal keuangan.
2.2.4 Karakteristik Compulsive Buying
Compulsive buying memiliki beberapa karakteristik seperti yang
dilansirkan oleh(Krueger, 1988; Magee, 1994; dalam Iin & Prima, 2006), yaitu:
1.Pembelian produk ditujukan bukan karena nilai guna produk
2.Konsumen
yang
membeli
produk
secara
terus-menerus
tidak
mempertimbangkan dampak negatif pembelian
3.Pembelian produk yang tidak bertujuan memenuhi kebutuhan utama dalam
frekuensi tinggi dapat mempengaruhi harmonisasi dalam keluarga dan
lingkungan sosial
4.Perilaku ini merupakan perilaku pembelian yang tidak dapat dikontrol oleh
individu
5.Ada dorongan yang kuat untuk mempengaruhi konsumen segara membeli
produk tanpa memperhitungakan risiko, misalnya keuangan
6.Pembelian dilakukan secara tiba-tiba tanpa mencari informasi terlebih dahulu
7.Pembelian dilakukan untuk menghilangkan kekhawatiran atau ketakutan
dalam diri
8.Perilaku yang ditujukan untuk melakukan kompensasi, misalnya kurangnya
perhatian keluarga
2.2.5 Faktor Compulsive Buying
Gwin et al. (2004) juga mengatakan bahwa compulsive buying dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor, baik pengaruh dari dalam diri individu itu
sendiri (psikologis), sociological, maupun dari keluarga. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perilaku compulsive buying bukan merupakan kondisi yang
muncul begitu saja, tetapi perilaku ini sudah berakar mulai dari seseorang hidup.
Pengaruh psikologis dapat berupa rasa percaya diri yang rendah akan membuat
para compulsive buyer untuk membeli barang untuk mendapatkan kepuasan dari
proses pembelian tersebut, mendapatkan status sosial yang lebih baik dengan
14
membeli produk-produk yang dapat meningkatkan identitasnya, dan dapat
berfantasi dengan membayangkan bahwa dengan membeli suatu produk akan
membawa kepuasan pada diri mereka. Sementara itu dari sisi sosiologikal, dapat
muncul dari televisi, ajakan teman, frekuensi berbelanja, dan kemudahan
penggunaan kartu kredit. Dengan kata lain, munculnya perilaku compulsive
buying dapat disebabkan oleh faktor-faktor yang merupakan kombinasi dari sisi
psikologis dan sosiopsikologikal (Faber dan O’Guinn,1992).
2.3 Dewasa Awal
2.3.1 Definisi Dewasa Awal
Dewasa atau adult berasal dari kata kerja Latin yang berasal dari kata
kerja adultus yang berarti telah tumbuh menjadi kekuatan dan ukuran dewasa
atau telah menjadi dewasa. Oleh karena itu, orang dewasa adalah individu yang
telah menyelesaikan pertumbuhannya dan siap menerima kedudukan dalam
masyarakat bersama dengan orang dewasa lainnya (Hurlock, 2004). Santrock
(2012), juga menyatakan bahwa masa dewasa awal dimulai pada umur 20 tahun
sampai kira-kira 40 tahun, saat perubahan fisik dan psikologis berkembang
secara matang hingga mulai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Ia juga mengatakan bahwa masa dewasa awal merupakan periode penyesuaian
diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapan-harapan sosial baru.
Individu dewasa awal diharapkan memainkan peranan baru seperti peran suami
atau isteri, orang tua dan pencari nafkah dan mengembangkan sikap-sikap baru,
keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru ini.
2.3.2 Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Masa dewasa awal merupakan masa adaptasi dengan kehidupan dimana
individu mulai membangun apa yang ada pada dirinya, mencapai kemandirian,
menikah, mempunyai keturunan & membangun hubungan yang erat (Papalia,
Olds & Feldman, 2008). Havighurst (dalam Dariyo 2008), menjelaskan beberapa
tugas perkembangan individu dewasa awal, yaitu :
a). Mencari dan menemukan pasangan hidup
15
Individu dewasa awal memiliki kematangan fisiologis (seksual) sehingga mereka
siap melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan hubungan seksual
dengan lawan jenisnya, asalkan memenuhi persyaratan yang sah (pernikahan
resmi). Individu dewasa awal akan berupaya mencari calon teman hidup yang
cocok untuk dijadikan pasangan dalam pernikahan ataupun untuk membentuk
kehidupan berumah tangga. Individu dewasa awal akan menentukan kriteria usia,
pendidikan, pekerjaan, atau suku bangsa tertentu sebagai prasyarat pasangan
hidupnya.
b). Membina Kehidupan rumah tangga
Individu dewasa awal umumnya tengah menempuh pendidikan atau telah
menyelesaikan pendidikannya atau telah memasuki dunia kerja guna meraih karir
tertinggi. Dari sini, individu dewasa awal akan mempersiapkan dan
membuktikan diri bahwa mereka sudah mandiri.
c). Meniti karir dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumah tangga.
Individu dewasa awal akan berupaya menekuni karir sesuai dengan minat dan
bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan keuangan yang baik.
Masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi. Dengan mencapai prestasi dalam dunia kerja, mereka akan mampu memberi kehidupan yang
sejahtera bagi keluarganya kelak.
d). Menjadi warga negara yang bertanggung jawab.
Warga negara yang baik adalah warga negara yang mematuhi perundangundangan yang berlaku. Individu dewasa awal akan menunjukkan perilaku sebagai warga negara yang baik dengan cara membayar pajak, mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan (KTP, akta kelahiran, dll), menjaga ketertiban
dan keamanan, serta mampu menyesuaikan diri dan terlibat dalam kegiatan
masyarakat.
Kesimpulannya adalah masa dewasa awal merupakan masa peralihan
dari masa remaja menuju masa dewasa. Pada masa dewasa awal ini, individu
telah dianggap mampu bertanggung jawab serta memikirkan hal-hal penting
dalam hidup demi masa depan, seperti mulai meniti karir di pekerjaan atau mulai
memilih pasangan untuk menjalani jenjang hubungan yang lebih serius dan
mulai mengalami perkembangan kognitif, dimana akan terjadi peralihan dari
16
pendalaman informasi dan keterampilan (apa yang perlu diketahui) ke integrasi
praktis pengetahuan dan keterampilan ( bagaimana menerapkan apa yang saya
tahu), hingga pencarian makna dan tujuan (mengapa saya harus tahu).
2.3.3 Masa Transisi Dewasa Awal
Menurut Santrock (2012), masa dewasa awal merupakan masa transisi,
baik transisi secara fisik (physically transition), transisi secara intelektual
(cognitive transition), serta transisi peran sosial (social role transition).
a). Physical transition
Diketahui bahwa dewasa muda sedang mengalami peralihan dari masa remaja
untuk memasuki masa dewasa. Pada masa ini, seorang individu tidak lagi
disebut sebagai masa tanggung (akil balik), tetapi sudah tergolong sebagai
seorang pribadi yang benar-benar dewasa (maturity). la tidak lagi diperlakukan
sebagai seorang anak atau remaja, tetapi sebagaimana layaknya seperti orang
dewasa lainnya.
b). Cognitive Intelektual
Dewasa awal mampu memecahkan masalah yang kompleks dengan kapasitas
berpikir abstrak, logis, dan rasional. Dari sisi intelektual, sebagian besar dari
mereka
telah
lulus
dari
SMU
dan
masuk
ke
perguruan
tinggi
(universitas/akademi). Kemudian, setelah lulus tingkat universitas, mereka
mengembangkan karier untuk meraih puncak prestasi dalam pekerjaannya.
c). Social role transition
Individu akan menindaklanjuti hubungan dengan pacarnya (dating), untuk
segera menikah agar dapat membentuk dan memelihara kehidupan rumah
tangga, yakni terpisah dari kedua orang tuanya.
17
2.4
Kerangka Berpikir
Berikut ini merupakan kerangka berpikir yang digunakan dalam penelitian :
Fenomena
Perilaku celebrity worship masih banyak ditemukan pada usia
dewasa awal pada fans JKT48. Sifat adiktif terhadap idol
menyebabkan individu dengan sukarela mengeluarkan uang
untuk membeli barang-barang terkait selebriti idolanya, salah
satunya adalah membeli merchandise idola yang dilakukan
secara berulang menimbulkan perilaku konsumtif. Dari perilaku
komtif dalam pembelian merchandise idola yang berulangulang menimbulkan perilaku compulsive buying
Subjek Penelitian
Fans JKT48 dewasa awal yang berdomisili di Jabodetabek
Variabel 1
Celebrity Worship
Variable 2
Compulsive Buying
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
Penelitian
ini
akan
mengembangkan
sebuah
kerangka
berpikir
berdasarkan fenomena, fakta, teori serta wawancara yang dilakukan oleh peneliti
bahwa individu fans JKT48 di usia dewasa awal masih memiliki sindrom
celebrity worship. Dewasa awal merupakan masa transisi dari seorang remaja
untuk memasuki usia dewasa dimana salah satu transisi penting yang dialami
oleh individu dewasa awal adalah transisi sosial yang melibatkan tanggung
jawab terhadap diri sendiri untuk membangun kehidupannya di masa depan.
Namun, saat ini banyak ditemui dewasa awal yang masih memiliki perilaku
celebrity worship (Darfiyanti & Putra, 2012), dalam penelitian ini adalah fans
JKT48 di usia dewasa awal. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang
menunjukkan intensitas pengidolaan menurun seiring dengan bertambahnya usia
(Raviv dkk., 1996; McCutcheon, 2002). Perilaku celebrity worship yang
18
ditimbulkan, sesuai dengan dimensi celebity worship dari Maltby et al., (2006)
bahwa fans rela melakukan suatu hal demi idolanya, mulai dari hal sederhana
yaitu membicarakan idola bersama teman-teman, mendapatkan segala informasi
dan merasa memiliki ikatan dan empati terhadap idola sampai melakukan hal
yang melanggar norma sosial.
Menurut Chapman (2003), individu dengan celebrity worship adiktif
terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan idolanya termasuk membeli
merchandise seperti t-shirt, poster, gantungan kunci dan lain sebagainya.
Pembelian atribut idola dalam bentuk merchandise yang mana menunjukkan
suatu dukungan terhadap idolanya, melibatkan suatu perilaku konsumtif (Fung,
2004). Perilaku konsumtif adalah tindakan membeli barang-barang yang kurang
diperhitungkan sehingga sifatnya menjadi berlebihan (Anggasari, dalam
Sumartono, 2002). Jika perilaku konsumtif dilakukan dalam frekuensi yang
sangat sering dan berulang-ulang seperti yang dipaparkan peneliti di dalam
fenomena, pembelian tersebut menjadi pembelian kompulsif (compulsive
buying), seperti yang dilansirkan oleh Solomon (2002, dalam Shoham &
Brencic, 2003). Menurut Hirschman (1992) dalam Naomi dan Mayangsari
(2009) individu yang memiliki kontrol diri yang rendah, cenderung tidak mampu
mengalihkan perhatian untuk memiliki produk baru. Dawson et la (1990)
menjelaskan bahwa konsumen yang mendapat motivasi secara kuat, cenderung
akan mengarah ke perilaku compulsive buying. Ketika konsumen termotivasi
melakukan pembelian barang, konsumen tidak hanya menekankan utilitas suatu
produk, tetapi juga pada kesenangan intrinsik atau emosi.
Perilaku compulsive buying timbul karena perasaan negatif yang dimiliki
oleh individu, yang timbul dari masalah kehidupan individu. Pada penelitian ini,
compulsive buying dalam pembelian merchandise idola dilakukan oleh fans
JKT48 dengan perilaku celebrity worship terhadap idolanya di JKT48, dimana
perilaku celebrity worship itu sendiri merupakan pengalihan dari perasaan
negatif. Menurut Roberts (1998; dalam Titin, 2009), dampak positif dari
compulsive buying dalam jangka pendek adalah kepuasan dan kesenangan yang
langsung dapat dirasakan dari aktivitas pembelian tersebut. Dengan kata lain,
fans JKT48 yang melakukan compulsive buying dalam membeli merchandise
19
idola akan merasakan kepuasan dan kesenangan dari pembelian merchandise
tersebut, dimana rasa senang yang didapat merupakan pengalihan dari masalah
atau kesedihan yang ia alami. Karena pada umumnya, alasan individu celebrity
worship menggemari idola adalah untuk lari dari realita (Maltby, 2005).
. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Reeves, dkk (2012) juga
memberikan hasil bahwa ada hubungan antara celebrity worship
dengan
compulsive buying. Hal ini yang membuat peneliti ingin mengetahui apakah ada
hubungan yang signifikan antara celebrity worship dan compulsive buying dalam
membeli merchandise idola pada fans JKT48 dewasa awal.
2.5
Hipotesis
Berdasarkan penelitian yang menunjukkan adanya hubungan celebrity
worship dengan compulsive buying dalam membeli merchandise artis idola pada
fans JKT48 dewasa awal, teori, fenomena, fakta, dan wawancara yang dilakukan
peneliti, hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan di antara
celebrity worship dan compulsive buying. Pada penelitian ini, celebrity worship
tediri dari tiga dimensi yang bisa digambarkan dalam tingkatan, sehingga
hipotesis sementara penelitian ini adalah adanya hubungan celebrity worship
dimensi entertainment-personal dengan compulsive buying dalam membeli
merchandise idola pada individu dewasa awal fans JKT48, terlihat adanya
hubungan di antara celebrity worship dimensi intense-personal dengan
compulsive buying dalam membeli merchandise idola pada individu dewasa
awal fans JKT48, dan terlihat adanya hubungan di antara celebrity worship
dimensi borderline-pathological dengan compulsive buying dalam membeli
merchandise idola pada individu dewasa awal fans JKT48.
20
Download