BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2. 1. Self-Control 2. 1. 1

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2. 1. Self-Control
2. 1. 1. Definisi Self-Control
Self-control adalah tenaga kontrol atas diri, oleh dirinya sendiri. Delisi dan Berg
(2006) mengungkapkan bahwa self-control berkaitan dengan tindakan seseorang untuk
mengendalikan atau menghambat secara otomatis kebiasaan, dorongan, emosi, atau
keinginan dengan tujuan untuk mengarahkan perilakunya. Self-control merupakan
kenderungan individu untuk mempertimbangkan berbagai konsekuensi untuk perilaku
tertentu (Wolfe, Higgins & Marcuum, 2008). Menurut Berk (dalam Gunarsa, 2009),
self-control adalah kemampuan individu untuk menahan keinginan atau dorongan sesaat
yang bertentangan dengan tingkah laku yang tidak sesuai dengan norma sosial. Selfcontrol terjadi ketika seseorang atau organisme mencoba untuk mengubah cara
bagaimana seharusnya individu tersebut berpikir, merasa, atau berperilaku (Muraven &
Baumeister, 2000).
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa self-control berkaitan dengan
bagaimana individu mengendalikan emosi serta dorongan dari dalam dirinya sehingga
mampu membuat keputusan dan mengambil tindakan yang efektif sesuai dengan
standar ideal, nilai-nilai moral dan harapan sosial.
2.1.2. Faktor Self-Control
Tangney, Baumeister, dan Boone (2004), mengatakan self controlmerupakan
kemampuan seseorang untuk menahan suatu respon yang dianggap negatif dan
mengarahkannya kepada respon lain yang lebih baik dalam 5 faktor yaitu
self
discipline, deliberate/nonimpulsive, healthy habits, work ethic, dan reliability. SelfDiscipline adalah kemampuan diri untuk melakukan apa yang dipikirnya sebagai
sesuatu yang benar. Deliberate/Non-impulsive berkaitan dengan kecenderungan
terhadap tindakan yang bukan hanya tiba-tiba tetapi juga gegabah. Healthy Habits
merupakan tingkat disiplin yang tinggidan pengendalian diri, berkaitan dengan
perilakuyang bermanfaat bagikesehatan fisik dan mentalseseorang. Work Ethic
merupakan pengendalian diri yang berkaitan dengan seperangkat nilai-nilai berdasarkan
7
8
kerja keras dan ketekunan, juga merupakan keyakinan akan manfaat moral kerja.
Reliabilityadalah
kemampuan
seseorang
atau
sistem
untuk
melakukan
dan
mempertahankan fungsinya dalam keadaan rutin.
Kelima aspek ini yang digunakan untuk menyusun alat ukur self-control yang
disebut dengan self-control scale oleh Tangney, Baumeister, dan Boone (2004) yang
akan diadaptasi untuk mengukur self-control di dalam penelitian ini.
2.1.3
Perkembangan Self-Control
Logue (dalam Sriyanti, 2011) mengatakan bahwa salah satu faktor
pembentukan self control adalah faktor genetik. Anak-anak keturunan orang yang
impulsif akan mempunyai kecenderungan berperilaku impulsif. Sriyanti (2011) juga
mempertegas bahwapembentukan self control sudah diawali sejak masa kanak-kanak,
ketika anak masih dalam buaian orang tuanya. Dalam hal ini orang tua menjadi
pembentuk pertama self control. Cara orang tua menegakkan disiplin, cara orang tua
merespon kegagalan anak, gaya berkomunikasi, cara orang tua mengekspresikan
kemarahan (penuh emosi atau mampu menahan diri) merupakan awal anak belajar
tentang kontrol diri. Sejalan dengan bertambahnya usia individu, bertambah luas pula
komunitas
sosial
yang
mempengaruhi
individu
sehingga
bertambah
banyak
pengalaman-pengalaman sosial yang dialami. Individu belajar dari lingkungan
bagaimana cara orang merespon terhadap suatu keadaan, belajar bagaimana merespon
ketidaksukaan atau kekecewaan, bagaimana merespon kegagalan, bagaimana orangorang mengekspresikan keinginan atau pandangannya yang menuntut kemampuan
kontrol diri.
Dari berbagai kejadian, ada orang yang dapat mengendalikan diri secara baik,
ada pula orang yang pengendalian dirinya rendah, setiap perilaku akan memberikan efek
tertentu dan individu bisa belajar dari semua itu termasuk dari efek yang ditimbulkan
dari suatu perilaku. Sebagaimana Bandura (dalam Sriyanti, 2011) nyatakan bahwa
seseorang tidak hanya belajar dari mengamati perilaku orang lain, tetapi juga belajar
dari efek yang ditimbulkan oleh suatu perilaku.
2.1.4
Fungsi dan Peran Self-Control
Messina dan Messina (dalam Gunarsa, 2009), menyatakan bahwa pengendalian
diri memiliki beberapa fungsi:
9
a) Mengatasi perhatian individu kepada orang lain.
Dengan adanya self-control, individu akan memberikan perhatian pada kebutuhan
pribadinya, tidak sekedar berfokus pada kebutuhan, kepentingan atau keinginan orang
lain dilingkungannya. Perhatian yang terlalu banyak pada kebutuhan, kepentingan dan
keinginan orang lain akan menyebabkan individu mengabaikan bahkan melupakan
kebutuhan pribadinya.
b) Membatasi individu untuk bertingkah laku negatif.
Individu yang memiliki self-control akan terhindar dari berbagai tingkah laku negatif.
Self-control memiliki arti sebagai kemampuan individu untuk menahan dorongan atau
keinginan untuk bertingkah laku (negative) yang tidak sesuai dengan norma sosial.
c) Membantu individu untuk memenuhi kebutuhan hidup secara seimbang.
Individu yang memiliki self-control yang baik, akan berusaha memenuhi kebutuhan
hidupnya dalam takaran yang sesuai dengan kebutuhan yang ingin dipenuhi. Dalam hal
ini, self-control membantu individu untuk menyeimbangkan pemenuhan kebutuhan
hidup.
d) Membatasi keinginan individu untuk mengendalikan orang lain dilingkungannya.
Dengan adanya self-control, individu akan membatasi ruang bagi aspirasinya dan
memberikan ruang bagi aspirasi orang lain.
Self control memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia, terdapat dua
alasan mengapa self control penting (Calhoun dan Acocclla dalam Zulkarnain, 2002),
yaitu :
a) Faktor sosial
Karena manusia hidup berkelompok dalam suatu masyarakat, maka setiap orang harus
dapat mengontrol tingkah laku yang bertentangan dengan norma masyarakat. Setiap
manusia menpunyai dorongan-dorongan dalam diri yang menuntut pemuasan, misalnya
saja dorongan-dorongan seksual dan agresif. Oleh karena harus memuaskan kebutuhan
dari dorongan-dorongan tersebut, maka manusia tersebut harus dapat mengontrol
dorongan yang dimilikinya agar tidak muncul menjadi tampilan tingkah laku yang tidak
dapat diterima oleh masyarakat disekelilingnya, sehingga tidak mengganggu
kenyamanan dan keamanan orang lain.
10
b) Faktor personal
Setiap manusia memperoleh pencapaian tujuannya melalui keiginan. Dalam mencapai
tujuan tersebut diperlukan self control. Seseorang akan membuat standar-standar untuk
mencapai tujuan, dan ketika pencapaiannya diperlukan proses belajar mengontrol
dorongan untuk memuaskan kebutuhan dengan segera demi tercapainya tujuan jangka
panjang yang diharapkan.
2.2
Celebrity Worship
2.2.1
Definisi Celebrity
Celebrity adalah individu yang memiliki profil yang menonjol, daya tarik dan
pengaruh dalam sehari-hari media. Istilah ini identik dengan kekayaan (umumnya
dilambangkan sebagai orang dengan ketenaran dan kekayaan), tersirat dengan daya tarik
populer besar menonjol dalam bidang tertentu, dan dapat dengan mudah dikenali oleh
masyarakat umum. Berbagai karir dalam bidang olahraga dan hiburan sering dikaitkan
dengan status celebrity (Brockes, 2010).
Dari penjelasan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa celebrity merupakan
individu yang memiliki ketenaran atau dikenal oleh masyarakat umum atas pekerjaan
atau perilaku apa yang sudah dilakukan oleh individu tersebut.
2.2.2
Definisi Celebrity Worship
Celebrity worship menurut Maltby et al., (2006) adalahidentitas struktur yang
terdapat di dalam diri individu yang membantu penyerapan psikologis terhadap
celebrity idola dalam upaya untuk membangun sebuah identitas diri dan rasa
pemenuhan dalam diri individu tersebut. McCutcheon et al., (dalam Sheridan, 2007)
berspekulasi bahwa sifat yang dimiliki celebrity worshipper (fans) mirip dengan sifat
kecanduan. Semakin tinggi kecanduan terhadap celebrity idolanya, maka semakin tinggi
pula tingkat keterlibatannya dengan sosok idola tersebut (celebrity involvement).
Dijelaskan oleh (Darfiyanti & Putra, 2012), bahwa bila intensitas keterlibatan dengan
celebrity meningkat, fans akan menggangap bahwa celebrity idolanya adalah orang
yang dekat dan fans akan terus mengembangkan hubungan parasosial. Hubungan
parasosial adalah hubungan yang diimajinasikan antara fans dengan sosok yang
diidolakan yang bersifat satu arah, dari fans kepada idola (celebrity)
11
Dari penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa celebrity worship adalah segala
bentuk perilaku atau perasaan yang timbul dari dalam diri untuk memuja sosok idola
sebagai suatu pemuasan, hiburan ataupun mengisi kekosongan.
2.2.2.1 Teori Celebrity Worship
Menurut Maltby et al, (2006) celebrity worship dibagi menjadi tiga aspek yang bisa
digambarkan sebagai tingkatan, yaitu:
a) Entertainment-social
Aspek ini digambarkan dengan motivasi yang mendasari pencarian aktif fans terhadap
celebrity. Keterlibatan fans dengan celebrity idola yang bertujuan untuk hiburan atau
menghabiskan waktu, yang didasari oleh ketertarikan fans terhadap bakat, sikap,
perilaku dan hal yang telah dilakukan oleh celebrity tersebut, contohnya fans
mengidolakan seorang penyanyi karena memiliki suara yang indah ataupun seorang
pemain sepak bola yang memiliki bakat dalam bermain sepak bola dan sebagainya.
Biasanya kegiatan pencarian aktif fans dilakukan dengan penggunaan media sebagai
sarana untuk mencari informasi mengenai celebrity idola. Pada aspek ini fans juga
merasa bahwa penting atau senang membicarakan celebrity idolanya dengan orang
banyak dan juga senang membicarakan dengan fans lain yang juga mengidolakan
celebrity yang sama. Umumnya, alasan individu mencari informasi mengenai celebrity
idolanya adalah untuk menyesuaikan diri terhadap norma sosial dan lari dari realita
(fancasy-escape from reality).
b) Intense-personal
Aspek ini menggambarkan perasaan yang intensif dan kompulsif terhadap celebrity, dan
hampir mendekati perasaan obsesif fans terhadap celebrity idolanya. Fans memiliki
kebutuhan untuk mengetahui apapun tentang celebrity idolanya, mulai dari berita
terbaru hingga informasi mengenai pribadi celebrity. Rasa empati yang tinggi yang
dirasakan fans terhadap idolanya membuat fans merasa memiliki ikatan khusus dengan
celebrity idolanya bahkan ikut merasakan apa yang terjadi dengan celebrity tersebut.
Contohnya fans merasa sedih jika celebrity idolanya mengalami kegagalan dan fans
sangat perduli terhadap apapun yang terjadi pada idolanya.
12
c) Borderline-pathological
Merupakan tingkatan paling tinggi atau mendalam dari hubungan keterlibatan fans
dengan celebrity. Hal ini digambarkan dalam sikap seperti, kesediaan untuk melakukan
apapun demi celebrity tersebut meskipun hal tersebut melanggar hukum, fans mulai
berfantasi dan berkhayal memiliki kedekatan khusus dengan celebrity idolanya, fans
memiliki keyakinan idolanya akan menolong saat fans tersebut membutuhkan bantuan.
Fans yang seperti ini tampak memiliki pemikiran yang tidak terkontrol dan menjadi
irasional.
Tingkat tersebut menunjukan bahwa semakin seseorang memuja dan terlibat
dengan sosok celebrity tertentu, maka hubungan parasosial yang terjalin akan semakin
kuat. Ketiga dimensi atau tingkatan ini merupakan alat ukur celebrity worship yang
disebut dengan celebrity attitude scale (CAS) oleh Maltby et al., (2006) yang akan
diadaptasi untuk mengukur celebrity worship di dalam penelitian ini.
2.2.3
Dampak-Dampak Celebrity Worship
2.2.3.1 Dampak Positif
Sebuah studi di Kanada, oleh Boon dan Lomore (dalam Sheridan, et al., 2006)
mensurvei kepada 75 mahasiswa. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa 58.7% dari
mahasiswa tersebut percaya bahwa celebrity idola mereka telah mempengaruhi sikap
dan keyakinan mereka atau telah mengilhami mereka untuk mengejar kegiatan tertentu.
2.2.3.2 Dampak Negatif
Melalui telepon, Cheung dan Yue (dalam Sheridan, et al., 2007) mewawancarai
833 sample di Cina, yang memuja celebrity (terutama idola pop musik dan atlit),
menemukan bahwa celebrity worship diperkirakan membuat sample rendah dalam
kinerja kerja maupun kinerja belajar, memiliki self-esteem yang cenderung rendah dan
kesulitan dalam menemukan identitas diri. Kemudian diperkuat oleh Sheridan, et al.
(2007) dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa celebrity worship memiliki elemen
adiktif dan bahwa celebrity worship memiliki hubungan dengan kriminalitas. Meskipun
korelasi tidak kuat dalam penelitian ini, namun berdasarkan penelitian sebelumnya
mereka tetap konsisten bahwa hubungan tersebut signifikan.
13
2.3
Dewasa Awal
2.3.1
Definisi Dewasa Awal
Vaillant (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) mengatakan bahwa individu
dewasa awal berusia sekitar usia 20 sampai 30 tahun. Masa dewasa awal merupakan
masa adaptasi dengan kehidupan, dimana individu mulai membangun apa yang ada
pada dirinya, mencapai kemandirian, menikah, mempunyai anak, dan membangun
persahabatan yang erat. Hurlock (2004), juga menyatakan bahwa masa dewasa awal
merupakan saat fisik dan psikologis berkembang secara matang hingga mulai
berkurangnya kemampuan reproduktif. Ia juga mengatakan bahwa masa dewasa awal
merupakan periode penyesuaian diri terhadap pola-pola kehidupan baru dan harapanharapan sosial baru. Individu dewasa awal diharapkan memainkan peranan baru seperti
peran suami atau isteri, orang tua dan pencari nafkah dan mengembangkan sikap-sikap
baru, keinginan-keinginan dan nilai-nilai baru sesuai dengan tugas baru ini.
Dapat disimpulkan bahwa dewasa awal merupakan masa peralihan dari masa
remaja menuju masa dewasa yang sesungguhnya, dimana individu telah dianggap
mampu untuk bertanggung jawab dan memikirkan hal-hal penting lain dalam hidupnya.
Bentuk tanggung jawab seperti mulai serius belajar demi karir di masa yang akan
datang, atau memilih pasangan yang lebih serius telah mulai ditekuni oleh individu
dewasa.
2.3.2
Masa Transisi Dewasa Awal
Menurut Santrock (dalam Dariyo, 2008), masa dewasa awal merupakan masa
transisi, baik transisi secara fisik (physically transition), transisi secara intelektual
(cognitive transition), serta transisi peran sosial (social role transition).
a) Physical transition
Pada masa ini, individu dewsa awal mengalami peralihan dari masa remaja untuk
memasuki masa tua. Penampilan fisiknya telah benar-benar matang sehingga siap
melakukan tugas-tugas individu dewasa lainnya seperti bekerja, menikah, memiliki anak
dan bertindak serta bertanggung jawab untuk dirinya ataupun orang lain. Keadaan fisik
yang prima ini akan terus berkurang seiring dengan bertambahnya usia pada individu
dewasa awal.
14
b) Cognitive Intelektual
Pada masa ini, perkembangan kognitif individu dewasa awal telah memasuki tahap
operasional formal, bahkan kadang-kadang mencapai tahap post-operasi formal. Taraf
ini menyebabkan individu dewasa awal mampu memecahkan masalah yang kompleks
dengan kapasitas berpikir abstrak, logis, dan rasional.
c) Social role transition
Pada masa ini, individu dewasa awal akan segera menikah dan membina keluarga dan
berpisah dari orangtua. Di dalam kehidupan berkeluarga, individu dewasa
bertanggungjawab untuk melaksanakan peran dan kewajibannya masing-masing dengan
baik, mulai dari karir, mengurus anak dan membina keluarga.
2.3.3
Perkembangan Kognitif Dewasa Awal
Piaget (dalam Papalia, Old & Feldman, 2008) menjelaskan bahwa pada masa
dewasa awal telah memasuki tahap operasional formal dimana perubahan-perubahan
kognitif mulai terjadi. Ada 2 cara berpikir baru yang mulai terjadi pada masa dewasa
awal, yaitu :
a) Berpikir reflektif
Berpikir reflektif (reflective thinking) merupakan jenis berpikir yang logis yang muncul
pada masa dewasa, melibatkan evaluasi terhadap informasi dan keyakinan secara
berkesinambungan dan aktif dengan pertimbangan bukti dan implikasi. Pemikiran
reflektif dapat menciptakan sistem intektualyang rumit mempertemukan ide-ide atau
pertimbangan yang saling berseberanga.
b) Pemikiran Pascaformal
Pemikiran pascaformal (postformal thought) merupakan jenis berpikir jenis berpikir
matang yang bergantung pada pengalaman subjektif dan intuisi serta logika, berguna
dalam
menghadapi
ambiguitas,
ketidakpastian,
inkonsistensi,
kontradiksi,
ketidaksempurnaan dan kompromi.
2.3.4
Tugas Perkembangan Dewasa Awal
Individu dewasa awal mulai membentuk kehidupan keluarga dengan pasangan
hidupnya, yang telah dibina sejak masa remaja. Havighurst (dalam Dariyo, 2008)
menjelaskan tugas-tugas perkembangan dewasa, di antaranya :
15
a) Mencari dan menemukan calon pasangan hidup
Setelah masa remaja, golongan dewasa awal semakin memiliki kematangan fisiologis
(seksual) sehingga mereka siap melakukan tugas reproduksi, yaitu mampu melakukan
hubungan seksual dengan lawan jenisnya.
b)
Membina kehidupan rumah tangga
Individu dewasa awal mulai mempersiapkan diri untuk menjadi mandiri tanpa
bergantung pada orang tua lagi. Sikap mandiri itulah yang merupakan langkah positif,
karena sekaligus dijadikan sebagai persiapan untuk memasuki kehidupan rumah tangga
yang baru. Selain itu, juga harus dapat menyesuaikan diri dan bekerja sama dengan
pasangan hidup masing-masing dan menjalin hubungan baik dengan kedua orang tua.
c)
Meniti karier dalam rangka memantapkan kehidupan ekonomi rumahtangga
Setelah menyelesaikan pendidikan formal, pada umumnya dewasa awal memasuki
dunia kerja untuk menerapkan ilmu dan keahlian. Individu berupaya menekuni karier
sesuai dengan minat dan bakat yang dimiliki, serta memberi jaminan masa depan
keuangan yang baik. Masa dewasa awal adalah masa untuk mencapai puncak prestasi.
Dengan penuh idealisme, individu dewasa awal bekerja keras dan bersaing dengan
teman sebaya (atau kelompok yang lebih tua) untuk menunjukkan prestasi kerja.
Dengan mencapai prestasi kerja yang terbaik, mereka akan mampu memberi kehidupan
yang makmur-sejahtera bagi keluarganya.
d)
Menjadi warga negara yang bertanggung jawab
Warga negara yang baik adalah warga negara yang taat dan patuh pada tata aturan
perundang-undangan yang berlaku. Hal tersebut dapat diwujudkan dengan cara-cara,
seperti mengurus dan memiliki surat-surat kewarganegaraan (KTP, akta kelahiran, surat
paspor/visa), Membayar pajak (pajak televisi, telepon, listrik, air, pajak kendaraan
bermotor, pajak penghasilan), menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat dengan
mengendalikan diri agar tidak tercela di mata masyarakat, dan mampu menyesuaikan
diri dalam pergaulan sosial di masyarakat (ikut terlibat dalam kegiatan gotong royong,
kerja bakti membersihkan selokan, memperbaiki jalan, dan sebagainya).
2.4
Kerangka Berpikir
Penelitian ini mengembangkan sebuah kerangka berpikir berdasarkan fenomena
banyaknya individu usia dewasa, terutama di Jakarta, yang memiliki celebrity worship.
16
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada hubungan antara self-control
dengan celebrity worship pada dewasa awal. Berikut ini merupakan kerangka berpikir
yang digunakan dalam penelitian :
Fenomena
Perilaku celebrity worship masih banyak ditemukan pada usia dewasa,
sedangkan salah satu tugas dalam perkembangan individu pada usia
dewasayang dimulai pada tahap dewasa awal, diharapkan individu
sudah dapat memikirkan bagaimana masa depannya, dan tidak
bertindak hanya dengan menurutin kepuasan saja.
Variable 1
Self-control
Variable 2
Celebrity worship
Gambar 2.1 kerangka berpikir
Dewasa awal merupakan masa transisi pada seorang remaja untuk memasuki
usia dewasa. Salah satu transisi penting yang dialami oleh individu dewasa awal adalah
transisi sosial, dimana tanggung jawab terhadap diri sendiri dan lingkungan telah
menjadi tugas dari individu dewasa awal yang akan berguna untuk membangun
kehidupannya kehidupannya dimasa depan. Namun saat ini banyak ditemui dewasa
awal yang masih memiliki perilaku celebrity worship, Seperti yang jelaskan oleh
Darfiyanti & Putra (2012), yang merupakan perilaku celebrity worship adalah fans rela
meluangkan waktu, tenaga dan uang demi bertemu dengan idola pop atau mendapatkan
hal-hal yang berhubungan dengan idola yang disukai.
Perilaku celebrity worship yang ditimbulkan, sesuai dengan dimensi celebrity
worship dari Maltby et al,. (2006), bahwa fans rela melakukan suatu hal demi idola nya.
Mulai dari hal yang sederhana yaitu membicarakan celebrity idola, mendapatkan hal
yang berhubungan dengan celebrity, merasakan empati terhadap celebrity, sampai
melakukan hal yang melanggar normal sosial. Hal ini diperkuat Sheridan, et al. (2006)
dalam penelitiannya, menyimpulkan bahwa celebrity worship memiliki hubungan
dengan kriminalitas atau pelanggaran norma sosial.
17
Sedangkan penelitian lain mengenai pelanggaran norma sosial yang dilakukan
oleh Gailiot, Gitter, Baker, dan Baumeister (2012) secara langsung menguji apakah selfcontrol yang rendah akan menyebabkan orang melanggar norma-norma sosial dan
aturan lain di dalam sebuah konflik antara keinginan pribadi dan tuntutan eksternal.
Kesimpulan secara umum yang didapat dari penelitian yang dilakukan oleh Gailiot,
Gitter, Baker, dan Baumeister (2012), dikatakan bahwa self-control yang rendah
meningkatkan berbagai pelanggaran aturan sosial. Yang lebih penting, ditemukan
bahwa self-control yang rendah berkontribusi terhadap pelanggaran aturan termasuk
terlibat dalam perilaku berisiko yang termasuk pelanggaran serius terhadap aturan etika,
menggunakan kata-kata yang tidak senonoh dan mengabaikan norma yang paling dasar
dan umum. Hal ini sesuai dengan faktor-faktor self-control dari Tangney, Baumeister,
dan Boone (2004), yaitu self discipline, deliberate/nonimpulsive, healthy habits, work
ethic, dan reliability
Dengan kata lain, perilaku celebrity worship dapat menimbulkan pelanggaran
norma sosial, dan pelanggaran norma sosial juga diakibatkan oleh self-control yang
rendah. Hal ini membuat peneliti ingin meneliti, adakah hubungan yang signifikan
antara celebrity worship dan self-control.
2.5
Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara terhadap suatu permasalahan yang dihadapi
dalam penelitian, dimana jawaban sementara akan diuji lagi kebenerannya. Hipotesis
berarti pendapat yang kebenarannya masih rendah atau kadar kebenarannya masih
belum meyakinkan (Sugiyono, 2007 : 93).
Hipotesis dalam penelitian ini adalah adanya hubungan negatif yang signifikan
antara self-control dengan celebrity worship pada dewasa awal. Artinya semakin tinggi
self-control pada dewasa awal maka akan semakin rendah atau kurangnya perilaku
celebrity worship pada individu tersebut. Tinggi atau rendahnya self-control
menentukan tahap dari celebrity worship yang diukur berdasarkan tiga aspek yang ada
di dalam Celebrity Attitude Scale (CAS). Adanya hubungan negatif yang signifikan
antara self-control dengan entertainment social, adanya hubungan negatif yang
signifikan antara self-control dengan intense-personal, dan adanya hubungan negatif
yang signifikan antara self-control dengan Borderline-pathological.
18
Download