PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PERSPEKTIF AL QUR’AN (TELAAH SURAH AL HUJURAT AYAT 9-13) SKRIPSI Diajukan untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam Oleh SITI TAFWIROH NIM : 111 09 031 JURUSAN TARBIYAH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI SALATIGA 2014 KEMENTERIAN AGAMA RI SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Phone (0298) 323706 Salatiga 50721 Wibsite : www.stainsalatiga.ac.id Email : [email protected] M. Gufron, M.Ag DOSEN STAIN SALATIGA NOTA PEMBIMBING Lamp : 4 eksemplar Hal : Naskah skripsi Saudari Siti Tafwiroh Kepada: Yth. Ketua STAIN Salatiga Di Salatiga Assalamualaikum. Wr. Wb. Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudari : Nama : SITI TAFWIROH NIM : 11109031 Jurusan/ Progdi : Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam Judul : PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PERSPEKTIF AL QUR‟AN (Telaah Surah al Hujurat Ayat 9-13) Dengan ini kami mohon skripsi saudari tersebut diatas supaya segera dimunaqosahkan. Demikian agar menjadi perhatian. Wassalamualaikum. Wr. Wb. Salatiga, 09 Januari 2014 Pembimbing M. Gufron, M. Ag. NIP. 19720814 200312 1 001 KEMENTERIAN AGAMA SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA Jl. Stadion 03 Phone (0298) 323706 Salatiga 50721 Wibsite : www.stainsalatiga.ac.id Email : [email protected] PENGESAHAN PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PERSPEKTIF AL QUR’AN (TELAAH SURAH AL HUJURAT AYAT 9-13) Disusun oleh : SITI TAFWIROH NIM : 11109031 Telah dipertahankan didepan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan Tarbiya h PAI, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada tanggal 2 Maret 2014, dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana S1 kependidikan Islam. Susuanan Panitia Ujian Ketua penguji : Dr. Imam Sutomo, M. Ag ……………………… Sekretaris penguji : Wahidin, S. Pd. I., M. Pd ……………………… Penguji I : Drs. A. Bahrudin, M. Ag ……………………… Penguji II : Muna Erawati, S. Psi., M. Si ……………………… Penguji III : Dra. Siti Asdiqoh, M. Si ……………………… Salatiga, 17 Maret 2014 Ketua STAIN Salatiga Dr.Imam Sutomo, M.Ag NIP: 19580827 198303 1 002 DEKLARASI Saya yang bertanda tangan dibawah ini: Nama : Siti Tafwiroh NIM : 11109031 Jurusan : Tarbiyah Program Studi : Pendidikan Agama Islam Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan jiplakan atau karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang lain yang terdapat dalam dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode etik ilmiah. Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi. Salatiga, 9 Januari 2014 Penulis SITI TAFWIROH NIM: 11109031 MOTTO Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang. (Q.S. Maryam: 96) PERSEMBAHAN Alhamdulillah „ala kulli hal wa ni‟mah, dengan izin Allah skripsi ini selesai. Skripsi ini penulis persembahkan kepada: 1. Ibu dan Bapakku beserta seluruh keluarga yang telah mendukung penulis sepenuhnya untuk belajar di STAIN Salatiga. 2. Dosen STAIN Salatiga yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu. Semoga ilmu beliau menjadi ilmu yang bermanfaat. 3. Bapak KH. Masduq Chariri dan Abah Mansur Azizi beserta keluarga besar yang senantiasa penulis nantikan berkah doa dan ilmunya. 4. Ibu Nyai Hj. Zulaicho beserta keluarga besar yang senantiasa penulis nantikan fatwa dan barakahnya. 5. Teman-teman RUQ dan al Azhar yang tak pernah lelah memotivasi penulis untuk tetap sabar dan tersenyum. 6. Sahabat-sahabatku, mb Pink, mb Retna, mb Accan, mb Bad, mb Bar, dan mb Eny, terimakasih untuk kasih sayang dan semuanya. 7. Teman-teman se-bantal, mb Aida, de Nani, mb Ella, mb Ila, Nisa, mb Uliq, mb Shofi, mb Hida, terimakasih atas tawa yang selalu kalian ciptakan. 8. Teman-teman seperjuangan di kelas PAI A, FataSmart, khususnya angkatan 2009, merekalah orang-orang luar biasa yang senantiasa ada di sampingku. 9. Ade‟ KATA PENGANTAR Asslamu‟alaikum Wr. Wb Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kehadirat Allah SWT. Atas segala limpahan cinta dan kasih-Nya serta ni‟mat yang tak pernah henti dari-Nya, sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada : 1. Bapak Dr. Imam Sutomo M. Ag. selaku ketua STAIN Salatiga. 2. Ibu Dra. Siti Asdiqoh M. Si. selaku Ketua Program Studi PAI. 3. Bapak Dr. Sumarno Widjadipa selaku dosen pembimbing akademik. 4. Bapak M. Gufron, M. Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah dengan ikhlas mencurahkan pikiran, tenaganya, dan waktunya untuk membimbing penulis menyusun karya ini. 5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini. 6. Bapak dan ibu serta saudara-sadaraku di rumah yang telah mendoakan dan mendukung penulis. Semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan mendapatkan ridho Allah SWT. Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca umumnya. Wassalamu‟alaikum Wr. Wb Salatiga, 09 Januari 2014 Penulis SITI TAFWIROH ABSTRAK Siti Tafwiroh (NIM. 11109031). Pendidikan Multikultural Perspektif Al Qur‟an (Telaah Surah al Hujurat Ayat 9-13) Program Strata I Jurusan Pendidikan Agama Islam (STAIN) Salatiga, 2014. Kata kunci: Pendidikan Multikultural, Al Qur’an Penelitian ini merupakan upaya untuk menemukan solusi mengenai konflik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Solusi yang tidak terlepas dari Al Qur‟an sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia. Pendidikan multicultural dirasa relevan dengan al Qur‟an yang mengandung nilai-nilai universal. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk; 1) Mengetahui nilai-nilai pendidikan multikultural yang terkandung dalam Al Qur‟an Surah Al Hujurat ayat 9-13, 2) mengetahui implementasi pendidikan multicultural dalam pendidikan Islam. Penelitian ini adalah library research, yaitu penelitian dimana objek penelitiannya digali lewat berbagai sumber kepustakaan. Untuk membahas permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan kajian tafsir maudlu‟i. Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis ayat- ayat yang membicarakan tema yang sama, yang kemudian penulis kaitkan dengan paparan mengenai pendidikan multikultral. Sehingga dapat ditemukan titik temu, bahwa al Qur‟an pun telah menjelaskan nilai-nilai multikulturalisme yang terkristal di dalamnya. Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa pendidikan multikultural merupakan pndidikan yang berbasis keanekaragaman. Perbedaan suku, ras, agama, sampai kepada perbedaan kelas ekonomi dan sosial, semuanya berhak mendapatkan hak-haknya sebagai menusia, makhluk Allah paling sempurna. Semuanya berhak mendapatkan penghormatan dan penghargaam yang sama. Karena al Qur‟an telah menjelaskan bahwa hanya orang-orang yang bertakwalah yang paling mulia di sisi-Nya. Allah senantiasa memerintahkan untuk selalu menghimpun persatuan, karena semua manuisa merupakan saudara, oleh sebab itu manusia dilarang untuk melakukan hal-hal buruk yang mengakibatkan perpecahan. Kemudian Allah menjelaskan prinsip dasar hubungan bersosial kepada seluruh manusia. Nilai-nilai multikulturalisme yang terkandung dalam lima ayat tersebut adalah; Memupuk Persaudaraan dalam Perbedaan, Saling Menghargai dan Saling Menghormati, Menjauhkan Diri dari Prasangka, Bersikap Terbuka, Menumbuhkembangkan Sikap Inklusif, Membangun Sikap Toleransi, Meningkatkan Ketakwaan Terhadap Allah SWT. Dalam perwujudannya, Pendidikan multikultural dapat disajikan dalam bentuk materi pembelajaran. Diintegrasikan dengan pendidikan agama Islam dan pendidikan kewarganegaraan. DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL........................................................................................ i HALAMAN BERLOGO ................................................................................ ii PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iv DEKLARASI ................................................................................................... v MOTTO ........................................................................................................... vi PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii ABSTRAK ....................................................................................................... x DAFTAR ISI .................................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1 B. Rumusan Masalah ................................................................. 5 C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6 D. Kegunaan Penelitian.............................................................. 6 E. Metode Penelitian.................................................................. 6 F. Penegasan Istilah ................................................................... 8 G. Sistematika Pembahasan ....................................................... 10 BAB II KOMPILASI AYAT-AYAT MULTIKULTURALISME …... 11 BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT-AYAT MULTIKULTURALISME ………………………………… 18 A. Asbabun Nuzul …………………………………………… 18 B. Munasabah………………………………………………. 26 BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................ 32 A. Pendidikan Multikultural ………………………………….. 32 B. Analisis Pendidikan Multikultural dalam Qur‟an Surah al Hujurat Ayat 9-13………………………………………………….. 62 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ………………………………………………… 71 B. Saran ……………………………………………………….. 72 DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 74 BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Wacana tentang pendidikan multikultural saat ini memang sering diperbincangkan disetiap kalangan, baik dari kalangan politik, agama, sosial, budaya, dan khususnya dikalangan para pemikir pendidikan. Fenomena konflik etnis, sosial, budaya, yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat yang berwajah plural menyebabkan limpungnya arah pendidikan dimasa depan. Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia. Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosial-kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar tiga belas ribu pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari dua ratus juta jiwa, terdiri dari tiga ratus suku yang menggunakan hampir dua ratus bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu, Budha, Konghucu, serta berbagai macam aliran kepercayaan. (Yaqin, 2005:34). Dari kasus di atas, sangat diperlukan sikap terbuka dan menerima setiap perbedaan yang ada. Setiap manusia berkewajiban menumbuh kembangkan sikap multikultural. Sikap multikultural merupakan sikap yang terbuka pada perbedaan. Mereka yang memiliki sikap multikultural berkeyakinan: perbedaan bila tidak dikelola dengan baik memang bisa menimbulkan konflik, namun bila kita mampu mengelolanya dengan baik maka perbedaan justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat agar sikap mutikultural efektif adalah bila kita mau menerima kenyataan hakiki bahwa manusia bukan makhluk sempurna, manusia adalah makhluk yang selalu menjadi. Padahal agar dapat menjadi, manusia membutuhkan sesamanya. Dengan perkataan lain, sikap yang seharusnya mendasari masyarakat multikultural adalah sikap rendah hati (=mau menerima kenyataan), bahwa tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran absolut, karena kebenaran absolut melampaui ruang dan waktu, padahal manusia adalah makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Kita merupakan makhluk yang berjalan bersama menuju kebenaran absolut tersebut. Untuk itu kita perlu mengembangkan sikap hormat akan keunikan masing-masing pribadi atau kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas dasar gender, agama dan etnis. (Molan, Putranto, dkk, 2009:16-17). Allah SWT menganjurkan kepada manusia untuk berbuat kebajikan dan mencegah tindakan keji dalam Qur‟an Surah Ali Imran ayat 104: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada kebajikan, menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar; merekalah orang yang beruntung. (Tafsir al Misbah, Vol. 2). Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang tindak dan wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial, budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal lainnya, tak dapat dipungkiri, mereka mempunyai pandangan yang beragam. Contohnya, masyarakat kita dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda seperti pendidikan, etnis, agama, kelas sosial dan ekonomi –mempunyai tindakan dan pandangan yang berbeda-beda pula tentang berbagai macam fenomena sosial seperti kesetaraan gender, demokrasi, hak asasi manusia dan terhadap hal-hal lainnya. Ada anggota masyarakat yang kurang mendukung adanya proses demokrasi di negara ini, namun di sisi lain tidak sedikit masyarakat yang menginginkan adanya demokrasi. Ada anggota masyarakat yang sangat peduli dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, namun di sisi lain tidak sedikit masyarakat yang tidak peduli terhadap masalah tersebut. Bahkan mereka dengan sengaja menggilas hak-hak asasi orang lain. Ada anggota masyarakat yang merespon baik dan bahkan mendukung adanya kesetaraan gender, namun tidak sedikit masyarakat yang menentangnya. (Yaqin, 2005:34). Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Premanisme, perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan dan hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu meghormati hak-hak orang lain, hal tersebut adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu. Maka, menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat. Minimal, pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness) kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk dibudayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu memberikan tawarantawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesign materi, metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras, etnis dan budaya masyarakat indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan mutikulturalisme. (Mahfud, 2006:4-5). Problem perbedaan tidak hanya dialami pada tataran kehidupan antar umat beragama saja, namun juga terdapat dalam masing-masing agama. Karena persoalan keberagamaan sebenarnya tidak lepas dari interpretasi manusia akan teks suci atau divine text yang dipercaya sebagai ungkapan langsung dari Tuhan kepada manusia. Sementara dalam kerangka kerja (frame work)-nya, tidak ada tafsir yang seragam terhadap suatu hal, pastilah akan ada perbedaan yang disebabkan oleh banyak hal. Bisa jadi karena faktor budaya, ekonomi, politik, pendidikan atau perbedaan tingkat peradaban. Contohnya, perbedaan pendapat yang muncul antara masyarakat sunni dan syi‟I, katolik dan Kristen, dan realitas terdekat adalah antara dua organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam terbesar di Indonesia; NU dan Muhammadiyah. (Yaqin, 2005: xiv-xvii). Oleh sebab itu, wacana multikulturalisme sangat dibutuhkan guna internalisasi nilai-nilai multikultural pada diri setiap manusia. Dengan memahami perbedaan tafsir setiap teks yang ada, diharapkan akan menghasilkan pemahaman keberagamaan yang inklusif, toleran, dan terbuka kepada siapapun. Tidak ada yang merasa menjadi makhluk pilihan yang selalu menganggap dirinya paling benar dan menyalahkan yang lain. Dalam skripsi ini, penulis akan mengkaji isi kandungan al Qur‟an surah al Hujurat ayat 9-13 yang menjelaskan mengenai hakikat manusia diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tak lain agar mereka saling mengenal dan dan saling menghargai antar sesama. Islam melalui Al Qur‟an mengajarkan hormat menghormati antara manusia satu dengan yang lain, tidak ada perselisihan di antara manusia, Islam adalah agama yang mengajarkan nilai-nilai yang universal dengan tujuan untuk memberikan rahmat bagi semesta alam, (rahmatan lil‟alamin) sehingga terdapat ayat-ayat al Qur‟an yang mengajarkan tentang perdamaian, kasih sayang, meghormati perbedaan, dan lain sebagainya. B. Rumusan Masalah Dari latar belakang di atas , pokok permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan multikultural dalam al Qur‟an Surah Al Hujurat ayat 9-13? 2. Bagaimana implementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengetahui nilai-nilai pendidikan multikultural yang terkandung dalam Al Qur‟an Surah Al Hujurat ayat 9-13. 2. Mengetahui implementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan Islam. D. Kegunaan Penelitian 1. Menambah khasanah pengetahuan tentang pendidikan yang berbasis multikultural bagi bangsa Indonesia. 2. Sebagai sumbangan fikiran dalam rangka peningkatan pendidikan agama Islam. E. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara kerja meneliti, mengkaji dan menganalisis objek sasaran penelitian untuk mencari hasil atau kesimpulan tertentu. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Jenis Penelitian Dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian pustaka (library research) dengan bahan pustaka yang berkaitan pembahasannya dalam penelitian ini, baik bahan primer maupun skunder. a. Bahan Primer Bahan primer merupakan bahan pokok yang diperoleh melalui bukubuku seperti tafsir al Misbah dan tafsir ibnu katsir. b. Bahan sekunder Sumber penunjang yang dijadikan alat bantu dalam menganalisa masalah-masalah yang muncul, yakni dengan buku-buku kependidikan seperti pendidikan multicultural oleh Choirul Mahfud, pendidikan multicultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan oleh M. Ainul Yaqin, Pendidikan Multikultural Konsep dan Aplikasi oleh Ngainun Naim dan Ahmad Sauqi. 2. Pendekatan Dalam pencapaian hasil yang maksimal, maka metodologi penelitian ini menggunakan pendekatan kajian tafsir maudlu‟i, yaitu menafsirkan ayat-ayat al Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat al Qur‟an yang mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama membicarakan satu topic dan menyusunnya berdasarkan kronologi dan sebab turunnya ayat tersebut. (Budiharjo, 2012: 150-151). Dengan maksud untuk menghimmpun ayat-ayat Al Qur‟an dari berbagai surah yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan. Kemudian peneliti membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh. F. Penegasan Istilah Untuk menghindari Adanya kemungkinan penafsiran yang salah tentang istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian , maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara lain : 1. Pendidikan Multikultural Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga , masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah, dan luar sekolah, yang berlansung seumur hidup yang bertujuan optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat. (Mudyahardjo, 2010:11). Sedangkan yang dimaksud dengan multikultural adalah gejala pada seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan menggunakan lebih dari satu kebudayaan. (http://www.artikata.com/arti341549-multikulturalisme.html). Dengan kata lain, multikultural adalah beberapa kebudayaan. Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak), kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik. (Mahfud, 2006:75). Baidhawy (2005) menyimpulkan mengenai pengertian pendidikan multikultural. Menurutnya, ada dua istilah penting yang berdekatan secara makna dan merupakan suatu perkembangan yang sinambung, yakni pendidikan multietnik dan pendidikan multikultural. “pendidikan multietnik” sering dipergunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha sistematik dan berjenjang dalam rangka menjembatani kelompokkelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan memiliki potensi untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara itu istilah “ pendidikan multikultural” memperluas payung pendidikan multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti relasi gender, hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan subkultur, serta bentuk-bentuk lain dari keragaman. Kata “kebudayaan” lebih diadopsi dalam hal ini daripada kata “rasisme” sehingga audiens dari pendidikan multikultural semacam ini akan lebih mudah menerima dan mendengarkan. (Baidhawy, 2005:6-7). G. Sistematika Penulisan Untuk memudahkan dalam memahami isi dan kajian skripsi ini, maka penulis memaparkan sistematika yang terbagi menjadi lima bab beserta penjelasan secara garis besar isi per babnya. Bab pertama merupakan bab pendahuluan. Dalam bab ini dikemukakan mengenai latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika penulisan skripsi. Bab kedua berisi kompilasi ayat-ayat yang berkenaan dengan multikulturalisme. Bab ketiga merupakan asbabun nuzul dan munasabah dari ayat-ayat multikulturalisme. Bab keempat berisi pembahasan mengenai pengertian pendidikan multikultural, pendidikan multikultural dalam Islam, urgensi pendidikan multikultural, tujuan pendidikan multikultural dan analisis tentang pendidikan multikultural dalam Qur‟an Surah al Hujurat ayat 9-13. Bab kelima, merupakan bab penutup yang merefleksikan kembali ringkasan skripsi dalam bentuk kesimpulan dan saran BAB II KOMPILASI AYAT-AYAT MULTIKULTURALISME 1. Surah al Hujurat ayat 9 Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 243) 2. Al-Hujurat Ayat 10 “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 246-247) 3. Al-Hujurat Ayat 11 Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolokolok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolokolokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan jagnlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka iutlah orang-orang yang zalim. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 250) 4. Al-Hujurat Ayat 12 “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 253) Allah menganjurkan untuk mengonfirmasi kabar yang diterima. Mengenai hal ini Allah menegaskan dalam surah Al Hujurat ayat 6: Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Tafsir al Misbah, Vol. 13, Hal 236) Al Qur‟an Surah An-Nuur Ayat 11: Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar. (Dahlan, Al Farisi, 2009: 372) 5. Al-Hujurat Ayat 13 “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 260) Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan makhluk-Nya, laki-laki dan perempuan, dan menciptakan manusia berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan yang baik. Kata ta‟arafu pada ayat ini maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi berinteraksi positif. Jadi dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersukusuku adalah dengan harapan bahwa satu dengan yang lainnya dapat berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan …inna akramakum „ndallahi atqaakum.. maksudnya, bahwa interaksi positif itu sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian di bumi ini. Namun, yang dinilai terbaik di sisi Allah adlah mereka itu yang betul-betul dekat kepada Allah. (Wahyunianto, Muslim, 2010: 69-70). Allah SWT sengaja menciptakan manusia dalam keadaan yang berbeda. Dalam Qur‟an Surah al Maidah ayat 48 Allah berfirman: Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu beritahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu. (Shihab, 1999: 491) Kemudian dalam Qur‟an Surah Yunus ayat 99: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ?. (Shihab, 1999: 99) Qur‟an surah Ar-Ruum ayat 22: Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu. Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Shihab, 1999: 289) Qur‟an Surah Al Maidah ayat 69: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benarbenar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Tafsir Al Misbah, Vol. 3, hal. 154) Qur‟an Surah al Baqarah ayat 62: Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Tafsir Al Misbah, Vol. 1, Hal. 213) Selanjutnya, untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk agama Al Qur‟an memperkenalkan ajaran: Bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (Shihab, 1999: 493) Islam tidak diperkenankan memaksakan kehendak terhadap orang lain. Tetapi, melalui Al Qur‟an Allah menganjurkan agar mencari titik singgung dan titik temu antarpemeluk agama. Al Qur‟an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan. Allah SWT berfirman dalam AlQur‟an Surah Ali Imran ayat 64: Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah, bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)". (Shihab, 1999: 493). BAB III ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT-AYAT MULTIKULTURALISME A. Asbabun Nuzul 1. Al-Hujurat Ayat 9-10 Riwayat yang menyebutkan bahwa ayat 9 turun berkaitan dengan pertengkaran yang mengakibatkan perkelahian dengan menggunakan alas kaki, antara kelompok Aus dan Khazraj. Itu dimulai ketika Rasul SAW. yang mengendarai Keledai melalui jalan di mana Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul sedang duduk dan berkumpul dengan rekan-rekannya. Saat itu Keledai Rasulullah SAW buang air, lalu Abdullah yang merupakan tokoh kaum munafikin itu berkata: “Lepaskan keledaimu karena baunya menggangu kami”. Sahabat Nabi SAW., Abdullah Ibn Rawahah ra. menegur Abdullah sambil berkata: “Demi Allah, bau air seni Keledai Rasulullah SAW lebih wangi dari minyak wangimu”. Dan terjadilah pertengkaran yang mengundang kehadiran kaum masingmasing. (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Malik). (Shihab, 2007:246). Dalam riwayat lain, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari as-Suddi, dikemukakan bahwa seorang laki-laki anshar yang bernama „Imran, beristrikan Ummu Zaid. Ummu Zaid bermaksud ziarah ke rumah keluarganya, akan tetapi dilarang oleh suaminya, bahkan dikurung di atas loteng. Ummu Zaid mengirim utusan kepada keluarganya. Maka datanglah kaumnya menurunkannya dari loteng untuk dibawa ke rumah keluarganya. Kemudian suaminya („Imran) meminta tolong kepada keluarganya. Maka datanglah anak-anak pamannya mengambil kembali istrinya dari keluarganya. Dengan demikian terjadilah perkelahian, pukul-memukul dengan menggunakan sandal untuk memperebutkan Ummu Zaid. Maka turunlah ayat ini. Berkenaan dengan peristiwa tersebut Rasulullah saw mengirimkan utusan kepada mereka untuk mendamaikan perselisihan mereka. (Dahlan, Alfarisi, 2009: 515) 2. Al-Hujurat Ayat 11 Sekian banyak riwayat yang dikemukakan oleh para mufasir menyangkut sebab nuzul-nya ayat ini. Misalnya ejekan yang dilakukan oleh Bani Tamim terhdap Bilal, Shuhaib dan „Ammar yang merupakan orang-orang tidak punya. Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ejekan yang dilontarkan oleh Tsabit Ibn Qais, seorang sahabat Nabi saw yang tuli. Tsabit melangkahi sekian orang untuk dapat duduk di dekat Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seorang menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan menyatakan bahwa dia yakni sipenegur adalah anak si anu (seorang wanita yang pada masa jahiliyah yang dikenal memiliki aib). Orang yang diejek ini merasa dipermalukan, maka turunlah ayat ini. Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ejekan ejekan yang dilontarkan kepada Ummu Salamah yang merupakan istri Nabi Muhammad saw. Ummu Salamah mereka ejek sebagai wanita pendek. (Shihab, 2007:253). Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Jubair bin adl-Dlahhak dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Bani Salamah. Nabi saw tiba di Madinah pada saat orangorang biasanya mempunyai dua atau tiga nama. Pada suatu saat Rasulullah memanggil seseorang dengan salah satu namanya, tetapi ada orang yang berkata: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ia marah dengan panggilan itu. Ayat ini turun sebagai larangan memanggil orang dengan sebutan yang tidak disukainya. (Dahlan, Afarisi, 2009: 516-517) 3. Al-Hujurat Ayat 12 Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu Juraij, dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Salman al Farisi yang bila selesai makan, ia suka tidur dan mendengkur. Pada waktu itu ada yang mempergunjingkan perbuatannya. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang mengumpat dan menceritakan keaiban orang lain. (Dahlan, Alfarisi, 2009: 517). Al Hafizh Abu Ya‟la meriwayatkan dalam kisahnya yang menceritakan perajaman Ma‟iz r.a., sampai dia mengatakan, “Nabi saw mendengar dua orang yang satu berkata kepada yang lainnya, “tidakkah kamu melihat, sesungguhnya seseorang yang aibnya telah ditutupi oleh Allah ini, akan tetapi dia tidak membiarkannya tertutup sehingga dia dirajam seperti anjing?” kemudian Nabi melanjutkan perjalanan sehingga tatkala melewati bangkai keledai, beliau mengatakan, „di manakha si fulan dan si fulan itu. Turunlah dan makanlah bangkai keledai ini‟. Mereka berdua mengatakan, „semoga Allah mengampuni engkau, ya Rosulullah. Mana mungkin hewan ini dimakan? „ Rasulullah saw., “kalau begitu, apa yang telah kalian peroleh dari saudaramu yang dipercakapkan tadi adalah lebih buruk untuk dimakan daripada bangkai ini. Demi jiwaku yag berada dala genggaman-Nya, sesungguhnya saudaramu itu sekarang berada di sungai-sungai surga. Dia berenang di sana.” 4. Al Hujurat Ayat 6 Diriwayatkan oleh Ahmad dn lain-lain dengan sanad yang baik, yang bersumber dari Al-Harits bin Dlirar Al-Khuza‟i. Dan pula diriwayatkan oleh At-Thobrani yang bersumberdari Jabir „Al Qomah bin Najiah, dan Ummu Salamah dan diriwayatkan pula ole Ibnu Jarir al „Aufi yang bersumber dari Ibnu „Abbas bahwa al Harits menghadap Rasululah saw. Beliau mengajaknya untuk masuk Islam. Ia pun berikrar menyatakan diri masuk Islam. Rosulullah mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun menyanggupi kewajiban itu, dan berkata: “ ya Rosulullah, aku akan pulang ke kaumku untuk mengajak merekamasuk Islam dan menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajaran ku akan aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu”. Ketika al Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan waktu yang sudah ditetapka pun telah tiba, tak seorang pun utusan yang menemuinya. Al Harits mengira telah terjadi sesuatu yang menyebabkan Rosulullah marak kepadanya. Ia pun memanggil para haratawan kaumnya dan berkata: “sesungguhnya Rosulullah telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tak pernah menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari kita berangkat menghadap Rosulullah saw”. Rosulullah saw. Sesuai dengan waktu yang telah ditetapkan, mengutus al Walid Bin „Uqbah untuk mengambil dan menerima zakat yang ada pada al Harits. Ketika al Walid berangkat, diperjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia un pulang sebelum sampai ke tempat yang dituju. Ia melaporkan (laporan palsu) kepada Rosulullah bahwa al Harits tidak mau menyerahkan zakat kepadanya, bahkan mngancam akan membununya”. Kemudian Rosulullah mengirim utudna berikutnya kepada al Harits. Di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan al Harits dan sahabat-sahabatanya yang tengah menuju ketempat Rosulullah saw. Setelah berhadap-hadapan Al Harits menanyai utusan itu: “kepada siapa engkau diutus?” utusan itu menjawab: “kami diutus kepadamu”. Dia bertanya: “mengapa?” mereka menjawab: “sesungguhnya Rosulullah saw. Telah mengutus al Walid bin „Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya”. Al Harits menjawab: “demi Allah yang telah mengutus Muhammad dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang datang kepadaku”. Ketika mereka sampai dihadapan Rosulullah saw,. Bertanyalah beliau: “mengapa engkau menahan zakat dan akan membunu utusanku?” al Harits menjawab: “demi Allah yang telah mengutus engkau dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat demikian.” Maka, turunlah ayat ini (Q. S. Al Hjujurat: 6) sebagai peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima keterangan dari sebelah pihak saja. (Dahlan, Al Farisi, 2009: 512514) 5. An-Nuur Ayat 11 Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah r.a. Ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq bulan Sya'ban 5 H. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik, dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan mereka kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat. 'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian kembali. tiba-tiba Dia merasa kalungnya hilang, lalu Dia pergi lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah 'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang sedang tidur sendirian dan Dia terkejut seraya mengucapkan: "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah terbangun. lalu Dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya menurut Pendapat masing-masing. mulailah timbul desas-desus. kemudian kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnahan atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum muslimin. 6. Al-Hujurat Ayat 13 Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah pembekam. Nabi meminta kepada Bani Bayadhah agar menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas budak mereka. Dan ada juga riwayat yang menyatakan bahwa Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar ketika mendengar Bilal mengumandangkan azan di Ka‟bah bahwa: “Alhamdulillah ayahku wafat sebelum melihat kejadian ini”. Ada lagi yang berkomentar: “ apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini untuk berazan?”. (Shihab, 2007:261). Diriwayatkan oleh Ibnu „Asakir yang bersumber dari Abu Bakr bin Abi Dawud, dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata: “Wahai Rasulullah, pantaskah kalau kami mengawinkan putri-putri kami kepada bekas budak-budak kami?”. Ayat ini turun sebagai penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas budak dan orang merdeka (Dahlan, Alfarisi, 2009: 518) 7. Al Baqarah Ayat 62 Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dan al „Adni di dalam musnadnya dari Ibnu Abi Najih bahwa Salman bertanya kepada Nabi saw tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama mereka. Kemudian ia menerangkan cara shalat dan ibadahnya. Maka turunlah ayat ini (Q. S. Al Baqarah: 62) sebagai penegasan bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan berbuat saleh akan mendapat pahala dari Allah SWT. (Dahlan, Alfarisi, 2009: 17) B. Munasabah 1. Surah al-Hujurat Ayat 9 “Jika dua golongan dari dua orang-orang yang beriman itu berperang (berbunuh-bunuhan), maka hendaklah kamu berusaha mendamaikan diantara keduanya. Jika salah satu dari keduanya (menzalimi) orang lain, maka perangilah golongan yang menganiaya itu, samapi mereka kembali kepada perintah Allah. Karenanya, jika golongan yang menganiaya itu telah kembali kepada perintah Allah, damaikanlah keduanya dengan cara yang adil serta berlaku jujurlah kamu; sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku jujur.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 426-427) Ayat di atas memerintahkan untuk melakukan ishlah sebanyak dua kali. Yang pertama ( )فاًصلحىابينهماfaashlihuu bainahumaa tanpa diikuti dengan kata ( )بالعدلbi al „adl/ dengan adil. Hal ini tidak berarti bahwa ishlah yang pertama tidak harus dilakukan dengan adil, hanya saja yang kedua lebih ditekankan atau lebih keras lagi diperintahkan untuk berlaku adil. ( واًقسطىا ) فًاصلحىابينهمابالعدلfaashlihuu bainahumaa bi al „adli wa aqsithuu, hal ini dikarenakan yang kedua telah didahului oleh tindakan terhadap kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama. Menurut Quraish Shihab (2007), kata al muqsithiin terambil dari kata qisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara para ulama mempersamakan makna dasar qisth dan „adl, dan ada juga yang membedakannya dengan berkata bahwa al qisth adalah keadilalan yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang menjadikan mereka semua senang. Sedang „adl adalah menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak menyenangkan satu pihak. (Shihab, 2007:245) Oleh sebab itu, Allah meletakkan qisth sebelum „adl, hal itu dapat diartikan bahwa Allah tetap mememerintahkan untuk bertindak adil meskipun menyakitkan atau membuat tidak senang pada salah satu pihak. Namun jikalau bisa, Allah memerintahkan untuk bertindak adil yang dapat menjadikan semuanya baik-baik saja atau bahkan lebih baik. 2. Surah al Hujurat ayat 10 “Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 427) Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan perdamaian antara dua kelompok orang-orang beriman, ayat di atas menjelaskan mengapa hal itu perlu dilakukan. Hal tersebut perlu dilakukan dan ishlah perlu ditegakkan bagi orang-orang yang beriman meskipun tidak seketurunan. Karena hubungan setiap manusia merupakan saudara. 3. Surah al Hujurat ayat 11 Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolokolok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolokolokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka iutlah orang-orang yang zalim. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 429430) Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan ishlah akibat pertikaian yang muncul, ayat di atas member petunjuk tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah timbulnya pertikaian. 4. Surah al-Hujurat ayat 12 “Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 431) Ayat di atas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang lalu. Hanya di sini hal-hal buruk yang sifatnya tersembunyi. 5. Surah Al Hujurat Ayat 6 Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Tafsir al Misbah, Vol 13, Hal: 236) Kelompok ayat-ayat yang lalu merupakan tuntunan bagaimana seharusnya bertata karma dengan nabi saw. Kelompok ayat-ayat ini menguraikan bagamana bersikap dengan sesama manusia. Yang pertama diuraikan adalah sikap terhadap kaum fasik. 6. Surah al-Hujurat ayat 13 “Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 437) Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan sesama muslim, ayat di atas beralih kepada uraian tentang prinsip dasar hubungan antar manusia. 7. Al Baqarah Ayat 62 Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Tafsir Al Misbah, Vol. 1, Hal. 62-63) Pada ayat-ayat yang lalu Allah telah mengecam bahkan mengancam orang-orang Yahudi yang durhaka. Tentu saja ancaman dapat menimbulkan rasa takut. Melalui ayat ini Allah memberikan jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang insaf. Kepada mereka disampaikan bahwa jalan guna meraih ridha Allah bagi mereka serta bagi umat-umat lain, tidak lain kecuali iman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh. BAB IV PEMBAHASAN A. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL a. Pengertian Pendidikan Multikultural Hingga saat ini wacana pendidikan multikultural di Indonesia belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para pakar dan pemerhati pendidikan sekalipun. Pendidikan multikultural merupakan gabungan dari dua kata; pendidikan dan multicultural. Menurut Koentjaraningrat, Pendidikan bisa diartikan sebagai usaha untuk mengalihkan adat istiadat dan seluruh kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru. (Naim, Sauqi, 2010:30) Sedangkan multikultural sendiri berasal dari dua kata; multi (banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami bukanlah budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan menimbulkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal, bahasa, dan lain-lain. Dengan demikian, multikultural berarti beraneka ragam kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Ali Maksum, akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia. Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikuturalisme menekankan keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta tingkat dan mutu produktivitas. (Maksum, 2011:143). Keragaman budaya tidaklah terbatas atas unsur-unsur budaya seperti yang biasa didengar oleh masyarakat, yaitu hanya terbatas mengenai perbedaan suku, agama, ras, dan perbedaan yang ada antar golongan. Mengenai hal ini, Maksum (2011) berpendapat bahwa keberagaman budaya dalam konteks realitas keseharian justru hadir berlapis-lapis dalam lingkup antar pribadi, keluarga, kelompok, negara, regional, dan mondial. Dalam kenyataannya, keragaman budaya justru mencakup hal yang tak terbatas, mulai dari latar belakang pendidikan, kemampuan ekonomi, jenis kelamin, daya nalar, profesi, hobi, gaya hidup, selera, akses informasi, dan lain-lain. (Maksum, 2011:145). Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas. Elisabeth B. Taylor memberikan definisi yang cukup lengkap, yaitu komplikasi (jalinan) dalam keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain lain-lain kenyataan dan kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat. Pada umumnya, orang mengartikan kebudayaan dengan kesenian, seperti seni tari, seni suara, seni lukis, dan sebagainya. Dalam pandangan sosiologi, kebudayaan tidak hanya berarti kesenian, namun mempunyai arti yang lebih luas lagi. Kebudayaan meliputi semua hasil cipta, rasa, karsa, dan karya manusia, baik material maupun non-material. (Naim, sauqi, 2010:194-195). Dengan berdasarkan kepada pengertian kebudayaan yang sedemikian luas dan mengingat signifikansinya dalam konteks pendidikan, aspek kebudayaan seharusnya bisa menjadi tolak ukur dalam pengembangan kualitas pendidikan di negara yang multikultural secara budaya dan plural secara agama ini. Dalam hal ini, aspek kebudayaan menjadi penting dalam rangka membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung hanya oleh komunitas agama-agama saja, melainkan oleh keseluruhan etnis yang terdapat dalam sebuah bangsa. Negara-negara yang menganut system demokrasi, pada umumnya mempunyai kesadaran yang tinggi perihal pentingnya mutikulturalisme untuk membangun toleransi, asimilasi, dan persamaan hak di antara warga negara. (Misrawi, 2007:217) Sebagaimana dikutip oleh Chairil Mahfud meminjam pendapat Andersen Cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat diartikan sebagai pendidikan mengenai keragaman kebudayaan. Kemudian, James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multicultural sebagai pendidikan untuk kaum berwarna/minoritas (people of color). Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah). Kemudian, bagaimana kita mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat egaliter. (Mahfud, 2006:167-168). Menurut Ainurrafiq Dawam yang dikutip Ngainun Na‟im dan Ahmad Sauqi pendidikan multikultural adalah proses pengembangan seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama). Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia. Harapannya adalah terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa rekayasa. (Naim, Sauqi, 2010: 50-51). Pendidikan multikultural mengandaikan adanya kesederajatan dalam setiap perbedaan. Perbedaan suku, ras, etnis, budaya, tidak menjadi masalah untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai. Penulis menyimpulkan, pendidikan multikultural merupakan sarana untuk memecahkan masalah berkaitan dengan tindakan membeda-bedakan dan sikap deskriminasi terhadap salah satu pihak tertentu. Pendidikan merupakan jalan yang paling efektif untuk menyampaikan nilai-nilai multikulturalisme kepada masyarakat. Pendidikan dirasa merupakan jalan yang paling efektif karena, hampir setiap individu merasakan yang namanya pendidikan, baik formal maupun non formal. Harapannya, internalisasi nilai-nilai tersebut tidak hanya akan menjadi angan-angan belaka. Hal ini tentu tidak terlepas dari kerjasama yang bersifat komprehensif dari pihak-pihak terkait antara lain, tenaga pengajar yang professional, masyarakat, dan objek pendidikan itu sendiri yaitu peserta didik. Al Qur‟an sebagai landasan utama bagi umat Islam sesungguhnya mengandung nilai-nilai universal dan bersifat fleksibelitas dalam menjawab tuntutan zaman yang terus berkembang. Al Qur‟an berlaku untuk semua manusia, agar mereka dapat mengarungi kehidupan ini (di dunia) hingga di akhirat kelak. Sedangkan manusia diciptakan dalam keadaan yang berbeda-beda, sangat bermacam-macam bentuk dan latar belakangnya. Oleh sebab itu, Al Qur‟an tidak hanya untuk umat Islam saja, namun seluruh umat di muka bumi ini. Al Qur‟an mengatur segala tata cara hidup umat manusia, termasuk di dalamya bagaimana cara memuliakan manusia sebagaimana ciptaan Allah yang paling sempurna. b. Pendidikan Multikultural Dalam Islam Seperti yang dikatakan Said Agil Husin (2002) bahwa Islam merupakan puncak kesempurnaan dari agama Allah. Penyempurna agamaagama sebelumnya. Islam sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan sebab, melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri adalah bagian horizontal dari pengaplikasian nilai-nilai keislaman. Dalam Islam tidak hanya bukan hanya membahas mengenai norma-norma dan kaidah-kaidah Ilahiyah, tetapi juga nilai-nilai yang berhubungan dengan dasar-dasar kemanusiaan. (Al Munawar, 2002: 404). Termasuk di dalamnya pemberian penghormatan setinggi-tingginya terhadap hak-hak yang dimiliki setiap manusia. Dari nilai-nilai pendidikan multikultural tentang penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Islam berprinsip egalitarianisme atau dipertahankannya penghormatan pada hak-hak non muslim dan segi hakhak perempuan (yang terkadang dianggap sebagai kaum lemah). Al Qur‟an sebagai sumber hukum utama Islam menyetujui adanya beberapa karakter pendidikan multikultural yang ada. Al Qur‟an hadir bersamaan dengan prinsip yang menjadikan dasar bagi kaidah-kaidah atau sumber-sumber umum yang berlaku, dan ia tidak memuat prinsip atau dasar-dasar yang saling kontradiktif. Al Qur‟an senantiasa sejalan dengan perkembangan waktu dan tempat. (Ghazali, 2008: 162). Hal ini termasuk di dalamnya telah disampaikan mengenai karakter-karakter yang mengisyaratkan tentang multikultikulturalisme. Dalam konteks ini, Zakiyuddin Baidhawy berpendapat terdapat tujuh karakteristik pendidikan agama berwawasan multikultural yaitu; 1. Belajar hidup dalam perbedaan Pendidikan selama ini lebih diorientasikan pada tiga pilar pendidikan, yaitu menambah pengetahuan, pembekalan keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi “orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik. Realitasnya dalam kehidupan yang terus berkembang, ketiga pilar tersebut kurang berhasil menjawab kondisi masyarakat yang semakin mengglobal. Maka dari itu diperlukan satu pilar strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan, sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat ayat 13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta interprestasi yang berbeda-beda. Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal. (Tafsir al Misbah, Vol. 13, Hal. 260) 3. Membangun Saling Percaya (mutual trust) dan saling pengertian (mutual understanding). Merupakan konsekuensi logis akan kemajemukan dan kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis, serta kesetaraan hak. Implementasi menghargai perbedaan dimulai dengan sikap saling menghargai dan menghormati dengan tetap menjunjung tinggi rasa persatuan dan persaudaraan. Hal tersebut dalam Islam lazim disebut tasamuh (toleransi). Ayat-ayat al-Qur‟an yang menekankan akan pentingnya saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain, diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk sangka dan mencari kesalahan orang lain yaitu Qur‟an Surat al-Hujurat ayat 12: Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, Hal. 253) Tidak mudah menjatuhkan vonis dan selalu mengedepankan klarifikasi (tabayyun) dalam Q.S. al-Hujurat ayat 6 : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, Hal. 236) 4. Menjunjung tinggi saling menghargai (mutual respect) Islam selalu mengajarkan untuk selalu menghormati, menghargai, dan berkasih sayang terhadap siapapun. Bahkan terhadap non muslim pun, Allah mengajari manusia melalui Al Qur‟an yang mulia. Hal ini dapat kita lihat dalam potongan ayat Allah dalam Al Qur‟an Surat al An‟am ayat 108: Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q. S. Al An‟am: 108) Selain itu, Allah juga memberikan penegasan bahwa setiap manusia diperbolehkan memilih agama yang mereka yakini dan mereka anggap benar menurut hati mereka. Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam Al Qur‟an surah al Baqarah ayat 256: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) (Islam)..(Tafsir al Misbah, Vol. 1, Hal. 551) agama Menurut Roem Rowi, tidak dipaksakannya manusia untuk kembali bersatu dalam agama yang satu yakni Islam dikarenakan dua hal, yaitu: pertama, karena agama adalah keyakinan yang akan memberikan ketenangan dan kepuasan batin dan bahkan sebaliknya akan melahirkan sifat kemunafikan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Kedua, karena telah nyata jalan menuju kebenaran, sebagaimana jalan menuju kesesatan, sementara manusia telah dilengkapi dengan perangkat akal. (Muslim, Wahyuninto, 2010: 68). Firman Allah Qur‟an Surat Ali Imran: 85: Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. (Q. S. Al Imran: 85 ) 5. Terbuka dalam berpikir Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif. Peserta didik didorong untuk mengembangkan kemampuan berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan dalam berfikir. Penghargaan al-Qur‟an terhadap mereka yang mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa konsep ajaran Islam pun sangat responsif terhadap konsep berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan betapa tingginya derajat orang yang berilmu yaitu Qur‟an Surat Al Mujaadillah ayat 11 : Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Tafsir Al Misbah, Vol 14, Hal. 77) Ayat yang menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal kejumudan dan dogmatisme, hal ini dijelaskan dalam Qur‟an Surat al-Baqarah ayat 170 yang berbunyi : Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?". (Tafsir al Misbah, Vol. 1, Hal. 381) 6. Apresiasi dan Interdependensi Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan, kohesi, dan keterkaitan sosial yang rekat, karena bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan sosial yang dinamis. Konsep seperti ini banyak termaktub dalam al-Qur‟an, salah satunya Q.S. al-Maidah (5): 2 yang menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial (takwa), dengan menghindari tolong menolong dalam kejahatan. Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya. (Tafsir al Misbah, Vol. 3, Hal. 9) Redaksi ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tolong menolong yang dapat mengantarkan manusia, baik sebagai individu atau kelompok, kepada sebuah tatanan masyarakat yang kokoh dalam bingkai persatuan dan kebersamaan adalah tolong menolong dalam hal kebaikan, kejujuran dan ketaatan. 7. Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa rekonsiliasi, yakni upaya perdamaian melalui sarana pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai dan rasa aman bagi seluruh makhluk. Juga secara tegas alQur‟an menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk satu meja dengan prinsip kasih sayang. (Baidhawy, 2005: 84) Hal tersebut terdapat dalam Qur‟an Surat asy-Syuura ayat 40 yang berbunyi : Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Dahlan, al Farisi, 2009) Apabila terjadi perselisihan, maka Islam menawarkan jalur perdamaian melalui dialog untuk mencapai mufakat. Hal ini tidak membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan bahkan agama. Kesadaran terhadap kehidupan yang multikultural pada akhirnya akan menjelma menjadi suatu kesatuan yang harmonis yang memberi corak persamaan dalam spirit dan mental. Untuk memperoleh keberhasilan bagi terealisasinya tujuan mulia yaitu perdamaian dan persaudaraan abadi di antara orang-orang yang pada realitasnya memang memiliki agama dan iman berbeda, perlulah kiranya adanya keberanian mengajak pihak-pihak yang berkompenten melakukan pendidikan terutama sekali perubahan-perubahan melalui kurikulumnya di bidang yang berbasis keanekaragaman. Pada awal memulai kehidupan di Madinah, langkah pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyatukan masyarakat Madinah dan sekitarnya yang terdiri dari beberapa suku dan agama. Langkah strategis ini telah melahirkan beberapa kesepakatan atau perjanjian yang biasa disebut “piagam madinah” yang meletakkan dasardasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat majemuk. Dalam piagam madinah tersebut diatur hubungan antara sesama manusia atau pun sesama anggota komunitas Islam, dan antar anggota komunitas Islam satu dengan yang lainnya. Piagam madinah tersebut berisi; pertama, masyarakat Muslim dan Yahudi hidup berdampingan dan bebas menjalankan agamanya masingmasing, kedua, Apabila salah satu diperangi musuh yang lainnya membantu, dan ketiga, Apabila terjadi perselisihan penyelesaiannya diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi. (As‟ad, Nursahad, 2009: 26). Nabi Muhammad selalu mengajarkan untuk selalu menghormati dan menghargai orang lain, baik dari golongan yang berbeda atau bahkan agama yang sama sekali berbeda. Terlihat pada isi piagam di atas, bahwa Islam mengajarkan kebaikan kepada setiap manusia. Islam sangat menjunjung dan menghargai setiap Hak Asasi Manusia (HAM). Dalam pandangan Islam yang berperan sebagai wahyu, ajaran, serta nilai, tidak dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang begitu toleran dan merupakan rahmat bagi semesta alam. Ajaran-ajaran Islam menuntun manusia untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Menghormati setiap hak asasi manusia, berjalan bersama, dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Kini saatnya para pemeluk semua agama mengembangkan tafsir baru atas wahyu yang mereka yakini yang termaktub dalam kitab suci masing-masing, yaitu suatu tafsir fungsional bagi proyk kemanusiaan dan keadilan bagi semua orang di luar batas kepemelukan dan paham keagamaan. Perolehan janji surgawi tak hanya dilihat dari ketaatan ritual, tetapi juga dari kepedulian terhadap si tertindas, miskin, dan menderita. Ukuran utama keagamaan dilihat dari keikhlasan dan kejujuran membela mereka yang tertindas, miskin, dan menderita tanpa melihat kepemelukan dan paham keagamaan. (Mulkhan, 2007:319) Oleh karena itu, misi suci dari semua agama perlu dikembangkan bagi sebuah proyek kemanusiaan, bukan penundukan semua manusia hanya pada agama yang dipeluknya sendiri. Dari sini, peradaban dunia bisa berharap pada keagamaan dan menempatkannya sebagai pelindung. Keagamaan baru di atas akan menampilkan Tuhan dan agama-Nya di dalam wajah yang lebih ramah dan manusiawi. Ketinggian keagamaan dan perolehan atas janji surgawi Tuhan bagi seseorang tidak semata-mata dilihat dari ketaaatan formal atas kontruksi ajaran konservatif. Janji Tuhan akan diberikan kepada mereka yang dengan penuh keikhlasan dan kesungguhan membebaskan seluruh umat manusia dengan segala bentuk kepercayaan keagamaan dari segala macam penderitaan. (Mulkhan, 2007: 319-320). Pendidikan multikultural memegang peranan penting dalam mewujudkan cita-cita mengenai kehidupan damai yang diimpikan bangsa yang plural ini. Kehidupan yang bernuansa keimanan dan ketakwaan terhadapa Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan multicultural bertugas mensosialisasikan dan menanamkan nilai-nilai kemajemukan sebagai suatu kazanah keilmuan yang harus diterima dan dipelajari oleh setiap peserta didik. Paradigma tentang pendidikan multikultural dan upaya-upaya untuk penerapannya di Indonesia kini mendapat perhatian yang semakin besar karena relevansi dan urgensinya yang tinggi. Pengembangan pendidikan multikultural tersebut diharapkan dapat mewujudkan masyarakat multikultural, yaitu suatu masyarakat yang majemuk dari latar belakang etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai tekad dan cita-cita yang sama dalam membangun bangsa dan negara. 3. Urgensi Pendidikan Multikultural Untuk mewujudkan multikultualisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multicultural, serta upaya-upaya lain yang dilakukan guna mewujudkannya. Choirul Mahfud (2006) berpendapat ada beberapa urgensi pendidikan multicultural jika melihat keberagaman yang ada di Indonesia, antara lain: 1. Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik Penyelenggaraan pendidikan multicultural di dunia pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan kata lain, pendidikan multicultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan konflik sosial budaya. (Mahfud, 2006: 208) Pendidikan merupakan alat yang strategis dalam mengembangkan visi dan misi pendidikan multikultural. Melalui pendidikan berbasis multikultural, diharapkan para pendidik dapat membantu internalisasi nilai-nilai multikulturalisme dalam diri masing-masing anak didik. Ketika peserta didik telah sampai kepada pemahaman dan penghayatan mengenai nilai-nilai multiculturalisme, peserta didik diharapkan mampu mengubah sikap (bagi yang menafikkan adanya setiap perbedaan), sebagai wujud pengimplementasian nilai-nilai multikulturalisme yang sudah disampaikan oleh masing-masing pendidik. Sebab, pendidikan tetap masih akan dikatakan gagal apabila ia belum mampu membawa perubahan. Pendidikan harus mampu mengubah terma-terma yang mendoktrin peserta didik, sehingga diharapkan peserta didik dapat merubah perilaku mereka menjadi lebih baik. Tugas seorang pendidikan tidak hanya sebatas menyampaikan materi saja, namun harus memenuhi lingkup ketiganya, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. 2. Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik, pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala dia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era globalisasi. (Mahfud, 2006: 210) Melalui pendidikan multikultural, peserta didik tidak akan mudah terpengaruh dengan arus global yang terkadang membawa budaya baru yang akan berdampak pada perkembangan setiap peserta didik. Dengan maksud, peserta didik mampu mengelola budaya-budaya “asing” agar tidak menjadi dampak yang negative bagi dirinya maupun lingkungannya. Beragamnya budaya yang beradu, tidak menjadikan limpung. Peserta didik akan dapat memilah-memilah budaya yang masuk setelah mereka memahaminya. 3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat penting. (Mahfud, 2006:214) 4. Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural Dalam masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika ini bukan hanya dimaksudakan pada keanekaragaman suku bangsa saja, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keberagaman kebudayaan tersebut selalu dijaga/terjaga yang bisa tampak dalam sikap saling menghargai, menghormati, toleransi antar satu kebudayaan dengan kebudayan lainnya. Dalam konteks ini ditegaskan, bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang untuk bersatu padu meraih tujuan dan mewujudkan cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. (Mahfud, 2006:227). Keragaman merupakan hasil penciptaan Tuhan yang disengaja, DIA menghendaki setiap perbedaan yang ada (lihat Q.S. al Maidah ayat 48). Keragaman sosial, baik dalam kelompok budaya maupun pemikiran (perbedaan pendapat) merupakan sunnatullah yang wajib kita syukuri. Selanjutnya, tinggal bagaimana caranya mengembangkan langkah yang bijak dalam menyikapi perbedaan tersebut secara arif. Menurut Nizar (2005), wacana membangun pemahaman multikultural dalam bingkai pendidikan yang dikembangkan merupakan suatu yang urgen, bukan saja terhadap umat antar agama, tetapi juga terhadap sesama intern umat (lintas budaya) dalam suatu agama. Dalam hal ini, ada baiknya dipikirkan alternatif yang dapat ditawarkan dan perlu dikembangkan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dalam upaya membangun kerangka pendidikan multikultural, yaitu: (1) Menjamin keselamatan fisik dari tindakan di luar hukum. (2) Memberikan kesempatan kepada komunitas untuk membangun pola budaya yang heterogen, tanpa melakukan intimidasi dan pemaksaan budaya. (3) Menjamin kebebasan berkarya, dan berprestasi. (4) Menjamin terbangunnya harmonisasi antar kultur untuk hidup berdampingan, tanpa perlu merasa yang paling benar dan menganggap kultur lainnya tidak benar. (5) Menjamin terpeliharanya keutuhan dan hak hidup dalam interaksi kemanusiaan. Dari wacana di atas, terlihat jelas demikian urgennya pendidikan multikultural bagi umat manusia. Dalam hal ini, pemahaman positif terhadap wacana pendidikan multikultural merupakan suatu keharusan, bukan saja karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern, karena wacana pluralisme budaya merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari ajaran agama Islam sebagai pembawa nilai-nilai rahmatan lil„alamin. Hanya saja, dalam konteks ini pendidikan multikultural perlu dibatasi hanya menyangkut persoalan peradaban umat manusia dan kehidupan sosial (human relation) antar umat beragama yang tidak bertentangan dengan “titah” Allah (akidah). (Nizar, 2005: 227-228). Setiap individu tidak berhak mengatur, mencampuri, atau bahkan memaksa orang lain untuk mengikuti sebuah ajaran atau agama yang dianggapnya paling benar. Karena, setiap individu atau kelompok mempunyai ritus-ritus suci tersendiri dalam mengekspresikan keberagamaannya dalam mencapai kesalehan individu terhadap Tuhannya. Untuk mencapai kepada kehidupan yang damai, manusia dituntut mampu menjadikan dirinya sebagai manusia yang saleh, tidak hanya individu (dengan Tuhannya) tetapi juga saleh secara sosial. Dasar ini dapat dilihat dengan tegas pada QS. Al-Kafirun ayat 6: ...untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Tafsir Ibnu Katsir, Vol. 4, Hal. 1062) Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al Qur‟an menjelaskan bahwa al Qur‟an menganjurkan manusia agar mencari titik temu lebih-lebih antar pemeluk agama. Al Qur‟an menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masingmasing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling menyalahkan (al Imran ayat 64). (Shihab, 1999: 357) Membiarkan yang lain hidup dengan nafas masing-masing. Saling mengakui dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Memberikan ruang kebabasan terhadap siapa saja yang membutuhkannya. 4. Tujuan Pendidikan Multikultural Berdasarkan setiap uraian yang disampaikan oleh para pakar mengenai pendidikan multikultural, dapat dirumuskan beberapa tujuan diusulkannya pendidikan yang berbasis multikulturalisme. Pendidikan mutikultural mempunyai tujuan sebagai berikut: a. Menanamkan kesadaran akan keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), dan nilai- nilai demokrasi (demokration values) yang dibutuhkan oleh setiap individu maupun kelompok masyarakat. Peserta didik diharapkan mampu menerima setiap perbedaan yang ada, memahami, dan menyikapinya secara arif. Minimal peserta didik dapat menyikapi perbedaan yang sederhana seperti yang sering mereka temui di bangku sekolah. Seperti kelas ekonomi, kelas sosial, perbedaan warna kulit, bahasa, atau bahkan bagi penyandang disabilitas yang kadang dimasukkan ke dalam kaum minoritas. Setelah itu, peserta didik akan dapat menjunjung tinggi hak-hak kemanusiaan. Memuliakan manusia sebagai ciptaan Tuhan yang paling sempurna. Menjadikan semuanya berkedudukan sama, sederajat, dan berlaku adil terhadap semua golongan. Hal-hal tersebut sudah termasuk kedalam nilai-nilai demokrasi. Ditegaskan oleh Haqqul Yaqin (2009) bahwa esensi yang diajarkan dalam berdemokrasi adalah asas kedaulatan rakyat, penghormatan hak-hak asasi manusia, serta keadilan sosial. (Yaqin, 2009:76). b. Membangun Paradigma keberagamaan Inklusif Paradigma keberagamaan yang inklusif berarti lebih mementingkan dan menerapkan nilai-nilai agama daripada hanya melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Paradigma pemahaman keagamaan aktif sosial berarti agama tidak hanya menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja. Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia. (yaqin, 2005: 31). Melalui Al Qur‟an, Allah mengajarkan kepada hambahambaNya untuk selalu menghargai setiap hak manusia, termasuk hak dalam beragama. Al Qur‟an mengajarkan sikap inklusif dalam beragama, yakni Islam melarang adanya paksaan terhadap keberagamaan seseorang. Seseorang bebas memilih agama ini (Islam) atau agama lain. Allah SWT berfirman: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (Tafsir Ibnu Katsir, Vol 2, Hal. 276) Munculnya sekelompok umat Islam yang menolak adanya sikap pluralism, multikulturalisme, toleransi disebabkan karena kurangnya pengetahuan dan wawasan tentang tujuan, semangat, dan esensi din (ajaran Islam). Lebih-lebih sikap ekstrimisme, kekakuan, dan kebekuan dalam ber-Islam, menunjukkan kedangkalan pengetahuan dan wawasan agama dan sosialnya. Indikasi ekstrimisme adalah fanatisme dan sikap tidak toleran. (Maksum, 2011:218) Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al Qur‟an Kitab Toleransi (2007) menegaskan bahwa, Tuhan tidak menghendaki kejahatan dan kekerasan. Sebab keduanya hanya akan meninggalkan luka dan duka. Manusia diciptakan Tuhan bukan untuk menebarkan kekerasan dan kejahatan, melainkan untuk menebarkan kebahagiaan dan kedamaian. Karena itu, tidak ada jalan lain kecuali berusaha menjadikan iman dan amal saleh sebagai basis toleransi. Iman dan amal saleh harus mampu membangun kesadaran kolektif, bahwa untuk hidup rukun landasan paradigmatiknya adalah iman dan amal saleh. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu dengan yang lain. iman dan amal saleh pada akhirnya harus mampu menerjemahkan ajaran toleransi di antara sesama makhluk Tuhan. Artinya, iman seseorang tidak bermakna apa-apa bilamana tidak membangun kepekaan sosial, terutama dalam rangka mengatasi konflik yang pada umumnya mengatasnamakan iman. Spiritualitas agama yang sering dieksplorasi orang, serigkali hanya berbicara dalam tema-tema individual, padahal spiritualitas (keberagamaan) yang matang dan sejati juga tidak lepas dari sifat sosialnya. Karena itu, mengfungsikan kembali aspek sosial agama, menuntut penafsiran baru yang sesuai dengan masalah sosial yang kekinian: yaitu melalui suatu penafsiran teologi transformatif, yang berangkat dari kondisi-kondisi psikologis menuju ke arah analisis sosial- transformatif dalam rangka memperjuangkan tegaknya keadilan (sebagai iman yang adil). (Rachman, 2001:331) Oleh sebab itu, untuk sampai kepada masyarakat yang rukun dan damai, seseorang dituntut untuk mempelajari agamanya melalui esensi yang terkandung dalam setiap agama yang dipeluknya. Karena sejatinya, setiap agama mengajarkan kebaikan dan kebijaksanaan dalam menjalani kehidupan yang penuh perbedaan ini. Sikap tidak menerima akan perbedaan akan berakibat menimbulkan sikap kekakuan dalam beragama atau sikap “ekstrim”. Ektrimisme sering tampak pada orang yang selalu menolak untuk mengubah atau mempertimbangkan pendapat orang lain. Berpegang teguh pada prasangka-prasangka dan kekakuan dalam beragama. Hal ini akan menjadi lebih berbahaya ketika ada ungkapan bahwa dirinyalah satu-satunya yang berada dalam kebenaran. 5. Membangun Sikap Sensitif Gender Dalam kehidupan sosial, baik pria maupun wanita mempunyai hak yang sama. Perannyalah yang berbeda sesuai kodrat yang dimiliki masingmasing. Maksum (2011) berpendapat, persepsi masyarakat tentang peran laki-laki dan perempuan terbangun melalui proses internalisasi budaya laki-laki. Oleh karena itu, pandangan tentang gender tidak terlepas dari dominasi budaya laki-laki. Bahkan budaya dominasi laki-laki tidak hanya memengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi penafsiran terhadap teksteks agama pun (Al Qur‟an dan Hadits khususnya yang berkaitan dengan gender) juga tidak luput dari dominasi budaya laki-laki. Sehingga hal itu mengakibatkan, sering kali dalil-dalil agama dijadikan dalih untuk menolak kesetaraan gender. Bahkan dalil-dalil agama dijadikan referensi untuk melanggengkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Seolaholah kaum lelaki ditakdirkan berkiprah di wilayah public dan perempuan di wilayah domestic. Pemahaman agama yang demikian, mengendap di alam bawah sadar perempuan yang berlangsung sedemikian lama, sehingga melahirkan kesan seolah-olah perempuan memang tidak pantas sejajar dengan laki-laki. Padahal salah satu tema pokok dalam ajaran Islam adalah persamaan antara manusia, baik laki-laki dan perempuan, maupun antar bangsa suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan menentukan tinggi rendahnya kedudukan manusia hanyalah nilai pengabdian dan ketakwaannya di sisi Allah SWT. Demikian juga kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana yang diduga dan dipraktikkan oleh masyarakat. Al Qur‟an sangat memberikan perhatian dan penghormatan yang besar kepada perempuan. (Maksum, 2011:258). Mengenai asal kejadian perempuan, Islam melalui Al Qur‟an begitu tegas menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari satu hal yang sama. Allah berfirman dalam surah an-Nisa‟: …. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak… (Dahlan, Al Farisi, 2009: 127) Demikianlah al Qur‟an menolak pandangan-pandangan yang membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan menegaskan bahwa keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik lakilaki maupun perempuan. Dalam literatur lain, Achmaduddin merumuskan konsep dan tujuan pendidikan multikultural dalam ranah yang lebih sempit. Yaitu pendidikan dalam lingkup keagamaan saja. Menurutnya, konsep pendidikan agama berwawasan multikultural mencakup: (1) pendidikan agama berwawasan multikultural bertujuan untuk memperkuat keyakinan agama masingmasing dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan. Pada saat yang sama menekankan penghayatan nilai-nilai sosial yang bersumber dari agama dan mendorong sikap toleransi dan saling menghargai antar pemeluk agama yang berbeda, serta kerjasama dalam menyelesaikan persoalan diberbagai aspek kehidupan sebagai bentuk pengamalan ajaran agama. (2) pendidikan agama berwawasan multikultural menghargai keragaman agama, budaya, etnis, dan bahasa dengan tetap berprinsip pada agama masing-masing. (3) pendidikan agama berwawasan multikultural merupakan upaya penyampaian pesan-pesan nilai-nilai multikultural melalui kurikulum pendidikan agama yang sudah ada. (4) pendidikan agama berwawasan multikultural pada hakekatnya upaya penafsiran ulang terhadap teks-teks suci yang ada sebagai perwujudan kepedulian agama terhadap realitas sosial. Masih menurut Achmaduddin, ia bependapat bahwa pendidikan agama berwawasan multicultural mempunyai beberapa tujuan, antara lain: (1) menanamkan keyakinan yang kokoh peserta didik dalam mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan; (2) menekankan penghayatan nilai-nilai sosial yang bersumber dari ajaran agama dan pada saat yang bersamaan mendorong sikap toleransi, empati, simpati dan saling menghargai antar pemeluk agama yang berbeda, serta kerjasama dalam menyelesaikan persoalan di berbagai aspek kehidupan sebagai wujud pengamalan ajaran agama; (3) menghargai keragaman agama, budaya, etnis dan bahasa dengan tetap berprinsip pada ajaran agama masing-masing; dan (4) menyampaikan pesan-pesan nilai multikultural melalui kurikulum pendidikan agama. (Achmaduddin, 2006:42-51). Pendidikan multikultural menyimpan potensi besar dalam upaya mewujudkan kehidupan masyarakat yang ideal. Masyarakat yang sarat dengan nilai-nilai Al Qur‟an sebagai rahmat bagi semua umat manusia. Ali Nurdin (2006), menyimpulkan mengenai ciri-ciri khusus masyarakat ideal yang tersirat dalam Al Qur‟an, yaitu; Musyawarah, Keadilan, Persaudaraan, dan Toleransi. (Nurdin, 2006: 225-294). Dalam hal menyatukan segala sesuatu yang berbeda diperlukan musyawarah atau dialog antara satu dengan yang lain, bersikap adil serta saling menghormati. Karena semua manusia hakikatnya merupakan saudara, memupuk “rasa saling” yang dapat mempererat persaudaraan individu, golongan, seagama, serta antar agama. B. Analisis Pendidikan Multikultural dalam QS al Hujurat Ayat 9-13 Islam sebagai agama rahmatan li al‟alamin memberikan penyelesaian mengenai perbedaan melalui al Qur‟an yang mulia. Perbedaan di sini tidak sekedar dalam perbedaan budaya yang bermakna sempit. Budaya dalam arti luas telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya. Banyak budaya yang berbeda di negara kita tercinta ini. Namun, dapat diperluas mengenai perbedaan yang ada pada setiap individu. Suku, ras, bahasa, agama, dan sampai kepada pengkelasan bagianbagian tertentu. Seperti perbedaan kelas sosial dan kelas ekonomi yang menyebabkan perpecahan. Padahal Allah SWT tidak pernah memandang sejauh itu mengenai kedudukan seluruh umat manusia di bumi. Orang-orang yang paling mulia di sisi Allah hanyalah mereka yang bertakwa. Dengan menggunakan sekaligus mengimplementasikan strategi pendidikan yang memiliki visi dan misi di dalamya yaitu, selalu menegakkan keadilan dan selalu menghargai pluralisme, demokrasi, dan humanisme, diharapkan siswa dapat menjadi generasi yang menjunjung tinggi moralitas dan mempunyai kepedulian terhadap kelimpungan sosial dalam masyarakat. Selain itu, para peserta didik diharapkan mampu mengemban amanah sebagai kholifah fil ardl, tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain dan bersikap adil terhadap semua manusia. Dalam QS. Al Hujurat ayat 9, Allah menyuruh manusia untuk melerai kemudian mendamaikan apabila ditemukan dua golongan orang-orang yang beriman melakukan peperangan. Mendamaikan antara keduanya dengan keadilan dan kejujuran, tanpa memihak kepada salah satu pihak. Memerangi mereka yang memerangi terlebih dahulu, berarti harus menyelesaikan masalah berdasarkan pemahaman duduk permasalahannya, sehingga tahu mana yang harus dihukumi dan mana yang harus dibela (tidak dihukumi). Tidak langsung men-judgement sepihak, menghakimi, menuding, bahkan membunuh. Allah mengajarkan untuk selalu bersikap jujur dan adil terhadap siapapun. Kemudian, ayat ini diakhiri dengan kalimat sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku jujur. Dalam Qur‟an Surah al Maidah ayat 8 Allah berfirman: Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Tafsir al Misbah, Vol. 3, Hal. 41) Pada ayat 10 dijelaskan bahwa, semua orang yang mempunyai iman adalah bersaudara. Allah mengulangi kalimat-Nya untuk mendamaikan antar saudara dan menyuruh manusia untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya agar senantiasa mendapat curahan rahmat dari-Nya. Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang dianggap saudara tidak hanya karena agama saja (saudara seagama), melainkan persaudaraan bisa juga terjadi antara pemeluk agama yang berbeda. Allah memperjelas persaudaraan seagama dalam Al Qur‟an jika memang yang dimaksud demikian. Misal pada ayat berikut: jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (Dahlan, Al Farisi, 2009: 255) Jelaslah bahwa ayat tersebut di atas ditujukan kepada semua manusia. Muslim maupun non Muslim, esensinya mereka adalah bersaudara. Ayat 11 menjelaskan, karena semua yang beriman merupakan saudara, Allah melarang untuk saling menghina antara satu dengan yang lain. Baik lakilaki atau pun perempuan, tidak ada dasar yang membedakan antar keduanya selain takwa. Belum tentu yang menghina atau yang mengolok-olok lebih baik dari yang diolok-olok. Melalui al Qur‟an, Allah melarang manusia memberi gelar atau sekedar memanggil dengan panggilan yang buruk terhadap manusia lainnya. Pada ayat 12, Allah menyuruh manusia untuk menjauhi prasangkaprasangka terhadap sesama dan agar tidak mencari-cari keburukan orang lain. Selain itu, Allah juga melarang sebagian manusia dalam mempergunjingkan sebagian yang lain. Hal tersebut diumpamakan seperti memakan bangkai saudaranya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha Menerima taubat dan Maha Kekal rahmat-Nya. Pada ayat yang terakhir, ayat 13, Allah menegaskan bahwa laki-laki dan perempuan merupakan makhluk yang sama. Allah meletakkan sejajar dengan berurutan. Kemudian menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dengan tujuan agar mereka saling mengenal (dengan baik) satu sama lain. Tidak ada perbedaan derajat di muka bumi di sini. Hanyalah orang yang bertakwa yang paling mulia di sisi-Nya. Ayat di atas menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Seseorang tidak pantas merasa diri lebih tinggi dari yang lain, tidak hanya antar satu bangsa, suku, atau warna kulit dengan selainnya, tetapi termasuk di dalamnya antar jenis kelamin. Penjelasan lebih luas telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya. Melalui Al Qur‟an, Allah SWT mengajarkan kepada manusia untuk selalu berbuat baik terhadap sesama. Memupuk persatuan dalam perbedaan. Menyikapi perbedaan dengan sikap kearifan, memaknainya sebagai sunnatullah. Karena, perbedaan setiap individu yang tidak dikemas dengan rapih akan berpotensi menimbulkan banyak konflik. Nilai-nilai multikulturalisme yang terdapat dalam QS Al Hujurat ayat 913 adalah: a. Memupuk Persaudaraan dalam Perbedaan Tiap-tiap manusia yang beriman merupakan saudara. Baik antar pemeluk agama yang sama maupun antar pemeluk agama yang berbeda. Masing-masing individu memiliki semangat (spirit) tersendiri dan juga memiliki jalan tersendiri dalam mengekspresikan spirit-nya tersebut. Namun, semuanya bermuara pada satu tujuan, yaitu kedamaian yang bersifat absolute. b. Saling Menghargai dan Saling Menghormati Salah satu alasan diciptakannya manusia dalam keadaan yang berbeda-beda, bisa jadi karena Allah ingin menguji setiap hamba-Nya. Apakah manusia tersebut bersikap acuh terhadap sesamanya ataukah sebaliknya. c. Menjauhkan Diri dari Prasangka Islam menuntun manusia untuk senantiasa menjaga kebersihan hati dan lisan dari prasangka-prasangka buruk dan kebiasaan manusia mencerca, mengumbar aib orang lain di depan umum. Allah secara tegas melarang manusia untuk saling menggunjing antara satu dengan yang lain, ataupun antar golongan satu dengan golongan yang lain. Selain diumpamakan seperti memakan daging saudaranya yang sudah meninggal, menurut syeikh Muhammad Nawawi, dalam kitab bidayatu hidayah menggunjing juga dikatakan lebih hina daripada tiga puluh kali berzina. d. Bersikap Terbuka Dengan adanya perbedaan disetiap individu maupun golongan tertentu, peluang untuk fastabiqul khoirot (berlombalomba dalam kebaikan) semakin terbuka lebar. Saling mengingatkan dan saling tolong menolong dalam kebaikan. Menjelaskan apabila ada kesalahpahaman, mengkonfirmasi untuk menghindari prasangka-prasangka yang mungkin akan memancing timbulnya permusuhan. e. Menumbuhkembangkan Sikap Inklusif Sikap menerima, menghargai, atau menghormati terhadap sesama harus ditancapkan dalam hati setiap peserta didik. Melalui hal ini, diharapkan peserta didik akan mampu menyampaikan pesan-pesan damai melalui tingkah laku mereka sehari-hari. f. Membangun Sikap Toleransi Sikap toleransi sangatlah penting dalam kehidupan bermasyarakat. Sikap toleransi mengakui perbedaan dan sikap siap menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Sehingga, dapat membuka peluang untuk hidup berdampingan, saling memberi peluang untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia lainnya. Naim dan Sauqi (2010) memberikan pengertian, toleransin adalah kemampuan untuk menghormati sifat dasar, keyakinan, dan perilaku yang dimiliki oleh orang lain. Dalam literatur agama Islam, toleransi disebut dengan tasamuh yang dipahami sebagai sifat atau sikap menghargai, membiarkan, atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain yang bertentangan dengan pandangan kita. g. Meningkatkan Ketakwaan Terhadap Allah SWT Takwa di sini meliputi tiga aspek yaitu, hablun min Allah, hablun min annas, dan hablun min al‟alam. Implementasi dari takwa itu sendiri sangatlah luas, tataran vertical menyangkut peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan tataran horizontalnya yaitu bagaimana manusia bersikap arif terhadap kemajemukan sosial dan melestarikan karunia Allah yaitu alam semesta. Allah menjanjikan “piala” menjadi manusia paling mulia di sisi-Nya bagi mereka yang benar-benar mengamalkan nilai takwa, baik secara vertical maupun horizontal. Hal ini menjadikan manusia berlomba-lomba untuk menjadikan dirinya layak menjadi manusia paling mulia. Pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam, masih dinilai gagal dalam melaksanakan tugasnya. Mengenai pengertian pendidikan Islam, Achmadi (1987) berpendapat, pendidikan Islam adalah segala usaha untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insan menuju terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam. Yang dimaksud insan kamil ialah muttaqin yang terefleksikan dalam perilaku baik, dalam hubungannya dengan Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. (Achmadi, 1987:10). Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia) dan berjalan dengan nafas demokrasi serta menghargai setiap perbedaan yang ada. Sistem pendidikan yang menghargai setiap perbedaan, bersikap adil terhadap semua golongan. Penulis menyimpulkan bahwa “spirit” untuk mewujudkan pendidikan multikultural, paling tidak ada tiga pilar yang harus dilalui. Pertama adalah dialog (dalam Islam bisa disebut musyawarah). Dalam pendidikan multikultural, semuanya dianggap sama. Tidak ada yang lebih unggul antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Dialog dapat dijadikan jalan bagi masing-masing budaya untuk menyumbangkan pikiran yang ada pada setiap kebudayaan. Melalui dialog pula akan ditemukan titik temu (kalimatun sawa‟) antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda. Karena sesungguhnya, kebudayaan manusia memiliki nilai-nilai yang sama. Dialog diharapkan dapat menemukan titik perbedaan dan persamaan yang ada. Kedua yaitu menjunjung tinggi HAM. Bahwasannya, setiap menusia memiliki hak-hak yang harus terpenuhi. Apabila titik temu tidak ditemukan atau berarti berseberangan, maka jangan memaksakan kehendak sendiri. Pendidikan multikultural menghormati setiap hak yang harus diterima oleh semua manusia. Terakhir yaitu toleransi. Toleransi merupakan sikap menerima bahwa orang lain berbeda denga kita. Pendidikan multikultural mengharapkan kehidupan yang damai, berjalan bersama meskipun terdapat banyak perbedaan. Saling memberikan kebebasan untuk mengekspresikan kebudayaan masingmasing. Namun, pendidikan multikultural pada saat ini masih menjadi cita-cita bersama. Mengingat pentingnya pendidikan multikultural pada saat ini, penulis beranggapan bahwa pendidikan multikultural tidak harus disajikan melalui semua mata pelajaran yang disampaikan dan tidak harus merubah seluruh kurikulum pendidikan yang sudah ada. Pendidikan multikultural bisa dimasukkan kedalam mata pelajaran tertentu, seperti mata pelajaran kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam. Al Qur‟an yang mulia pun mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme melalui kalimat-kalimatnya. Bukankah Allah sendiri yang menghendaki adanya perbedaan, kemudian Allah pula yang menciptakan manusia dengan sebaik-baik ciptaan (QS. At-Tiin: 4). Maka dari itu, manusia harus saling mengerti dan memuliakan, tidak boleh saling merendahkan antara satu dengan yang lain. Bukankah bisa jadi mereka yang kita rendahkan lebih baik dari kita (QS al Hujurat: 11)?. Penulis berharap hal ini akan segera menjadi renungan bersama pada umumnya dan para pemikir pendidikan pada khususnya. BAB V PENUTUP A. Kesimpulan 1. Al Qur‟an sebagai kitab yang mengandung nilai-nilai universal, penyempurna kitab-kitab sebelumnya, dan penuntun bagi semua umat manusia juga telah menjelaskan mengenai keanekaragaman yang memang dikehendaki oleh Allah. Allah menciptakan manusia berjenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikannya berbangsa-bangsa, dan bersuku-suku, supaya mereka saling mengenal dengan baik antara satu dengan yang lain (QS. Al Hujurat 13). Orang yang beriman akan selalu berbuat baik terhadap sesama. Oleh sebab itu, Allah melarang mereka saling mengolok-olok dan saling mencela (QS Al Hujurat 11), Allah melarang manusia berprasangka buruk dan mempergunjingkan orang lain (QS al Hujurat 12). Allah menyuruh manusia untuk selalu bersikap adil, memperlakukan sama semua manusia, menghormati menghargainya, mengakui eksistensinya, dan menerima setiap perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya, seluruh umat manusia adalah bersaudara. Hal tersebut merupakan isyarat multikulturalisme dalam al Qur‟an, yang kemudian dikristalkan dalam satu misi atau jalan, yaitu pendidikan berbasis multikultural. 2. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia. Dalam pendidikan multikultural, tidak ada individu atau golongan yang paling baik atau paling unggul. Lebih jauh lagi, pendidikan multikultural tidak membenarkan adanya anggapan bahwa salah satu golongan manusia merasa paling benar, dan bahkan menganggap selainnya sama sekali salah. Perbedaan pemikiran atau pendapat, perbedaan kelas ekonomi atau kelas sosial, dan sampai kepada perbedaan suku, ras, budaya, dan lain sebagainya akan selalu menjadi pemicu konflik berkepanjangan jika tidak dikemas secara rapih. Pemikiran berparadigma eksklusif seperti di atas harus dirubah menjadi paradigma inklusif. Menjadikan toleransi sebagai pedoman dalam bersosial. Sikap menerima, bahwa orang lain berbeda dengan kita. Pendidikan multikultural dapat disampaikan kepada peserta didik dengan penambahan materi pengajaran dalam mata pelajaran, seperti mata pelajaran pendidikan agama Islam dan pendidikan kewarganegaraan. B. Saran Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas, selanjutnya penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut: 1. Hendaknya pendidikan Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari banyak kultur budaya, ras, agama yang sangat beragam, serta terciptanya suatu keadaan masyarakat yang dinamis, yang menjunjung tinggi akan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta kearifan dalam bermasyarakat, mempertimbangkan pendidikan multikultural sebagai solusi untuk dijadikan bahan pijakan dalam rangka menata pendidikan Indonesia menjadi lebih baik kaitannya dengan keberagaman masyarakat Indonesia. 2. Perbedaan yang sangat beragam ini seharusnya menjadi kekuatan bagi kita, bukan untuk dinodai dengan kekerasan dan kriminalitas dalam bermasyarakat yang akan menghambat pembangunan dan kemajuan bangsa. Lebih-lebih ketika kekerasan tersebut dilakukan atas nama Tuhan dan agama mereka, hal tersebut dampaknya jauh lebih buruk. Allah SWT telah menjelaskan melalui ayat-ayatnya, manusia diciptakan untuk saling mengenal, tolong menolong, dan hidup berdampingan dengan keharmonisan. Keberagaman dalam mendapatkan hak pendidikan dan kesejahteraan dalam masyarakat harus menjadi prioritas dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan. Hal ini penting dalam rangka menjadikan bangsa ini menjadi bangsa yang menjunjung tinggi akan nilai-nilai kearifan bermasyarakat yang adil, damai, aman, dan nyaman. DAFTAR PUSTAKA Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam. IAIN Walisongo Salatiga Achmaduddin. 2006. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural: Konsep, Karakteristik, dan Pendekatan. Dalam Jurnal Edukasi. Vol, 4, no.1. Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Al Farisi, Zaka, dkk. 2009. Asbabun Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro Ar-Rifa‟I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Vol. 4.Cet. 11. Jakarta: Gema Insani As‟ad, Mahrus, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga Ata Ujan, Andre, dkk. 2009. Multikulturalisme: belajar hidup bersama dalam perbedaan. Jakarta: PT Indeks Baidhawy, Zakiyyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural. Jakarta: Penerbit Erlangga Budiharjo. 2012. Ilmu-ilmu Al Qur‟an. Yogyakarta: Lokus Ghazali, Syaikh Muhammad Al-. 2008. Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita: Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini. Bandung: PT Mizan Pustaka Mahfud, M. Choirul. 2006. Pendidikan Multikultural Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Cet. 2. Yogyakarta: Pustaka Belajar Maksum, Ali. 2011. Plural dan Multikulturalisne Paradigma Baru Pendidikan Agama Islam di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media Misrawi, Zuhairi. 2007. Al Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Manusia Al Qur‟an: Jalan Ketiga Religiositas di Indonesia. Yogyakarta: Impulse Munawar, Said Agil Husin Al-. 2002. Al Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan Hakiki. Cet II. Jakarta: Ciputat Press Nawawi, Muhammad. Marooqil „Ubuudiyyah. Semarang: Pustaka al „Alawiyyah Na‟im, Ngainun, dkk. 2010. Pedidikan Multikultural konsep dan aplikasi. Cet II. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media Nizar, Samsul. 2005. Sejarah pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat: Quantum Teaching Rachman, Budhy Munawar. 2001. Islam Puralis. Jakarta: Paramadina Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Al Qur‟an: Tafsir Maudlu‟I atas Pelbagai Persoalan Umat. Cet IX. Bandung: Penerbit Mizan Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al Qur‟an. Volume 13. Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati Wahyunianto, Lyza. 2010. Memburu Akar Pluralisme. Malang: UIIN Maliki Press Yaqin, Haqqul. 2009. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di Indonesia. Yogyakarta: Elsaq Press Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media http://www.artikata.com/arti-341549-multikulturalisme.html//, september 2013 diakses 10 LAPORAN SKK Nama : Siti Tafwiroh NIM : 11109031 Jurusan / Progdi : Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam No 1 Jenis Kegiatan OPAK 2009 Keterangan Peserta Pelaksanaan 18-20 Agustus Nilai 3 2009 2 Pelatihan ESIQ Peserta 21 Agustus 2009 3 3 User Education Peserta 25-29 Agustus 3 2009 4 Pra DM KAMMI peserta 7 September 3 2009 5 Masa Penerimaan Anggota Peserta Baru (MAPABA) PMII 22 Nopember 3 2009 Salatiga 6 Festival Bahasa Peserta 20 April 2010 3 Peserta 23 April 2010 3 peserta 24 April 2010 2 peserta 24 Mei 2010 3 Peserta 28 Agustus 2010 3 Internasional CEC dan ITTAQO 7 Diskusi Interaktif Korps Perempuan PMII 8 Bedah Buku LDK STAIN Salatiga 9 Musabaqah Tilawatil Qur‟an II JQH STAIN Salatiga 10 Workshop Jurnalistik 2010 HMJ STAIN Salatiga 11 Praktikum Baca Tulis Al peserta Qur‟an (BTA) 12 Seminar Nasional 2 Nopember 2 2010 Panitia Pendidikan HMJ Tarbiyah 6 Nopember 6 2010 STAIN Salatiga 13 Penerimaan Anggota Baru Peserta (PAB) JQH STAIN 13 Nopember 3 2010 Salatiga 14 Masa Penerimaan Anggota Panitia Baru (MAPABA) PMII 12-14 Nopember 3 2010 Salatiga 15 Praktikum Etika Profesi peserta Keguruan 16 SK Pengangkatan Pengurus 25 Nopember 3 2010 Pengurus 11 Januari 2011 3 HMJ TArbiyah STAIN Salatiga 2010-2011 17 Seminar Keperempuanan peserta 17 Mei 2011 3 18 Lomba Cerpen Islami Peserta 21 Mei 2011 3 Peserta 1 Juni 2011 3 Panitia 20 Juni 2011 6 Peserta 22 Juli 2011 3 Milad LDK Darul Amal STAIN Salatiga 19 Seminar : “Radikalisme Keagamaan di Indonesia” STAIN Salatiga 20 Seminar Nasional Pendidikan HMJ Tarbiyah STAIN Salatiga 21 Praktikum Kepramukaan Jurusan Tarbiyah STAIN Salatiga 22 Praktikum Metodologi Peserta Pendidikan Agama Islam 23 3 2011 IBTIDA‟ LDK Darul Amal Peserta STAIN Salatiga 24 23 September 8-9 Oktober 2 2011 Workshop Pendidikan Peserta Anak Usia Dini Yayasan 19 Nopember 3 2011 Tunas Harapan Salatiga 25 SK Pengangkatan Pengurus Pengurus 3 Januari 2012 3 Panitia 6 April 2012 3 Peserta 17 Mei 2012 2 Pengurus 4 Juni 2012 3 Peserta 3 Oktober 2012 3 Peserta 1 Desember 2012 3 Dewan Mahasiswa (DEMA) STAIN Salatiga 26 Workshop Leadership Dewan Mahasiswa (DEMA) STAIN Salatiga 27 Lomba Cerpen Islami Milad LDK Daru Amal STAIN Salatiga 28 SK Pengangkatan Pengurus PonPes Al Azhar Salatiga 39 MTQ Umum Mahasiswa, Pesantren, SMA sederajat se-Salatiga JQH STAIN Salatiga 30 Tabligh Akbar “Tafsir Tematik” JQH STAIN Salatiga Jumlah 92 Salatiga, 4 Februari 2014 Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan H. Agus Waluyo, M.Ag Nip. 19750211 2000 03 1 001