pendidikan multikultural perspektif al qur`an skripsi

advertisement
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PERSPEKTIF AL QUR’AN
(TELAAH SURAH AL HUJURAT AYAT 9-13)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan Islam
Oleh
SITI TAFWIROH
NIM : 111 09 031
JURUSAN TARBIYAH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAM ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
SALATIGA
2014
KEMENTERIAN AGAMA RI
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 Phone (0298) 323706 Salatiga 50721
Wibsite : www.stainsalatiga.ac.id Email : [email protected]
M. Gufron, M.Ag
DOSEN STAIN SALATIGA
NOTA PEMBIMBING
Lamp : 4 eksemplar
Hal
: Naskah skripsi
Saudari Siti Tafwiroh
Kepada:
Yth. Ketua STAIN Salatiga
Di Salatiga
Assalamualaikum. Wr. Wb.
Setelah kami meneliti dan mengadakan perbaikan seperlunya, maka
bersama ini, kami kirimkan naskah skripsi saudari :
Nama
: SITI TAFWIROH
NIM
: 11109031
Jurusan/ Progdi
: Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam
Judul
: PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
PERSPEKTIF AL QUR‟AN (Telaah Surah al
Hujurat Ayat 9-13)
Dengan ini kami mohon skripsi saudari tersebut diatas supaya segera
dimunaqosahkan.
Demikian agar menjadi perhatian.
Wassalamualaikum. Wr. Wb.
Salatiga, 09 Januari 2014
Pembimbing
M. Gufron, M. Ag.
NIP. 19720814 200312 1 001
KEMENTERIAN AGAMA
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA
Jl. Stadion 03 Phone (0298) 323706 Salatiga 50721
Wibsite : www.stainsalatiga.ac.id Email : [email protected]
PENGESAHAN
PENDIDIKAN MULTIKULTURAL PERSPEKTIF AL QUR’AN
(TELAAH SURAH AL HUJURAT AYAT 9-13)
Disusun oleh :
SITI TAFWIROH
NIM : 11109031
Telah dipertahankan didepan Panitia Dewan Penguji Skripsi Jurusan
Tarbiya h PAI, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga pada
tanggal 2 Maret 2014, dan telah dinyatakan memenuhi syarat guna memperoleh
gelar sarjana S1 kependidikan Islam.
Susuanan Panitia Ujian
Ketua penguji
: Dr. Imam Sutomo, M. Ag
………………………
Sekretaris penguji
: Wahidin, S. Pd. I., M. Pd
………………………
Penguji I
: Drs. A. Bahrudin, M. Ag
………………………
Penguji II
: Muna Erawati, S. Psi., M. Si
………………………
Penguji III
: Dra. Siti Asdiqoh, M. Si
………………………
Salatiga, 17 Maret 2014
Ketua STAIN Salatiga
Dr.Imam Sutomo, M.Ag
NIP: 19580827 198303 1 002
DEKLARASI
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Siti Tafwiroh
NIM
: 11109031
Jurusan
: Tarbiyah
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Menyatakan bahwa skripsi ini benar-benar merupakan hasil karya saya
sendiri, bukan jiplakan atau karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan orang
lain yang terdapat dalam dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Demikian deklarasi ini dibuat oleh penulis untuk dapat dimaklumi.
Salatiga, 9 Januari 2014
Penulis
SITI TAFWIROH
NIM: 11109031
MOTTO
         
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah yang
Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang.
(Q.S. Maryam: 96)
PERSEMBAHAN
Alhamdulillah „ala kulli hal wa ni‟mah, dengan izin Allah skripsi ini selesai.
Skripsi ini penulis persembahkan kepada:
1. Ibu dan Bapakku beserta seluruh keluarga yang telah mendukung penulis
sepenuhnya untuk belajar di STAIN Salatiga.
2. Dosen STAIN Salatiga yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Semoga ilmu beliau menjadi ilmu yang bermanfaat.
3. Bapak KH. Masduq Chariri dan Abah Mansur Azizi beserta keluarga besar
yang senantiasa penulis nantikan berkah doa dan ilmunya.
4. Ibu Nyai Hj. Zulaicho beserta keluarga besar yang senantiasa penulis
nantikan fatwa dan barakahnya.
5. Teman-teman RUQ dan al Azhar yang tak pernah lelah memotivasi
penulis untuk tetap sabar dan tersenyum.
6. Sahabat-sahabatku, mb Pink, mb Retna, mb Accan, mb Bad, mb Bar, dan
mb Eny, terimakasih untuk kasih sayang dan semuanya.
7. Teman-teman se-bantal, mb Aida, de Nani, mb Ella, mb Ila, Nisa, mb
Uliq, mb Shofi, mb Hida, terimakasih atas tawa yang selalu kalian
ciptakan.
8. Teman-teman seperjuangan di kelas PAI A, FataSmart, khususnya
angkatan 2009, merekalah orang-orang luar biasa yang senantiasa ada di
sampingku.
9. Ade‟
KATA PENGANTAR
Asslamu‟alaikum Wr. Wb
Dengan menyebut asma Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.
Segala puji dan syukur senantiasa penulis haturkan kehadirat Allah SWT. Atas
segala limpahan cinta dan kasih-Nya serta ni‟mat yang tak pernah henti dari-Nya,
sehingga penulis dapat diberikan kemudahan dalam menyelesaikan skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga selalu tercurah kepada Rasulullah SAW, keluarga,
sahabat dan para pengikutnya.
Skripsi ini dibuat untuk memenuhi persyaratan guna memperoleh gelar
kesarjanaan dalam Ilmu Tarbiyah Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN)
Salatiga. Dengan selesainya skripsi ini tidak lupa penulis mengucapkan terima
kasih yang sedalam-dalamnya kepada :
1. Bapak Dr. Imam Sutomo M. Ag. selaku ketua STAIN Salatiga.
2. Ibu Dra. Siti Asdiqoh M. Si. selaku Ketua Program Studi PAI.
3. Bapak Dr. Sumarno Widjadipa selaku dosen pembimbing akademik.
4. Bapak M. Gufron, M. Ag. selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
dengan ikhlas mencurahkan pikiran, tenaganya, dan waktunya untuk
membimbing penulis menyusun karya ini.
5. Bapak dan Ibu Dosen serta karyawan STAIN Salatiga yang telah
membantu dalam penyelesaian skripsi ini.
6. Bapak dan ibu serta saudara-sadaraku di rumah yang telah mendoakan
dan mendukung penulis.
Semoga amal baik dari beliau mendapatkan balasan yang setimpal dan
mendapatkan ridho Allah SWT.
Akhirnya dengan tulisan ini semoga bisa bermanfaat bagi penulis
khususnya dan para pembaca umumnya.
Wassalamu‟alaikum Wr. Wb
Salatiga, 09 Januari 2014
Penulis
SITI TAFWIROH
ABSTRAK
Siti Tafwiroh (NIM. 11109031). Pendidikan Multikultural Perspektif Al
Qur‟an (Telaah Surah al Hujurat Ayat 9-13) Program Strata I Jurusan
Pendidikan Agama Islam (STAIN) Salatiga, 2014.
Kata kunci: Pendidikan Multikultural, Al Qur’an
Penelitian ini merupakan upaya untuk menemukan solusi mengenai
konflik yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini. Solusi yang tidak terlepas dari Al
Qur‟an sebagai pedoman hidup seluruh umat manusia. Pendidikan multicultural
dirasa relevan dengan al Qur‟an yang mengandung nilai-nilai universal. Tujuan
dari penelitian ini adalah untuk; 1) Mengetahui nilai-nilai pendidikan
multikultural yang terkandung dalam Al Qur‟an Surah Al Hujurat ayat 9-13, 2)
mengetahui implementasi pendidikan multicultural dalam pendidikan Islam.
Penelitian ini adalah library research, yaitu penelitian dimana objek
penelitiannya digali lewat berbagai sumber kepustakaan. Untuk membahas
permasalahan-permasalahan dalam penelitian ini, penulis menggunakan
pendekatan kajian tafsir maudlu‟i. Metode ini penulis gunakan untuk
menganalisis ayat- ayat yang membicarakan tema yang sama, yang kemudian
penulis kaitkan dengan paparan mengenai pendidikan multikultral. Sehingga dapat
ditemukan titik temu, bahwa al Qur‟an pun telah menjelaskan nilai-nilai
multikulturalisme yang terkristal di dalamnya.
Hasil penelitian ini menginformasikan bahwa pendidikan multikultural
merupakan pndidikan yang berbasis keanekaragaman. Perbedaan suku, ras,
agama, sampai kepada perbedaan kelas ekonomi dan sosial, semuanya berhak
mendapatkan hak-haknya sebagai menusia, makhluk Allah paling sempurna.
Semuanya berhak mendapatkan penghormatan dan penghargaam yang sama.
Karena al Qur‟an telah menjelaskan bahwa hanya orang-orang yang bertakwalah
yang paling mulia di sisi-Nya. Allah senantiasa memerintahkan untuk selalu
menghimpun persatuan, karena semua manuisa merupakan saudara, oleh sebab itu
manusia dilarang untuk melakukan hal-hal buruk yang mengakibatkan
perpecahan. Kemudian Allah menjelaskan prinsip dasar hubungan bersosial
kepada seluruh manusia. Nilai-nilai multikulturalisme yang terkandung dalam
lima ayat tersebut adalah; Memupuk Persaudaraan dalam Perbedaan, Saling
Menghargai dan Saling Menghormati, Menjauhkan Diri dari Prasangka, Bersikap
Terbuka, Menumbuhkembangkan Sikap Inklusif, Membangun Sikap Toleransi,
Meningkatkan Ketakwaan Terhadap Allah SWT. Dalam perwujudannya,
Pendidikan multikultural dapat disajikan dalam bentuk materi pembelajaran.
Diintegrasikan dengan pendidikan agama Islam dan pendidikan kewarganegaraan.
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
HALAMAN BERLOGO ................................................................................ ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING .................................................................... iii
PENGESAHAN KELULUSAN ...................................................................... iv
DEKLARASI ................................................................................................... v
MOTTO ........................................................................................................... vi
PERSEMBAHAN ............................................................................................ vii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... viii
ABSTRAK ....................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................... xi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ........................................................ 1
B. Rumusan Masalah ................................................................. 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Kegunaan Penelitian.............................................................. 6
E. Metode Penelitian.................................................................. 6
F. Penegasan Istilah ................................................................... 8
G. Sistematika Pembahasan ....................................................... 10
BAB II
KOMPILASI AYAT-AYAT MULTIKULTURALISME …... 11
BAB III
ASBABUN
NUZUL
DAN
MUNASABAH
AYAT-AYAT
MULTIKULTURALISME ………………………………… 18
A. Asbabun Nuzul …………………………………………… 18
B. Munasabah………………………………………………. 26
BAB IV
PEMBAHASAN ................................................................................ 32
A. Pendidikan Multikultural ………………………………….. 32
B. Analisis Pendidikan Multikultural dalam Qur‟an Surah al Hujurat
Ayat 9-13………………………………………………….. 62
BAB
V
PENUTUP
A. Kesimpulan ………………………………………………… 71
B. Saran ……………………………………………………….. 72
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 74
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wacana tentang pendidikan multikultural saat ini memang sering
diperbincangkan disetiap kalangan, baik dari kalangan politik, agama, sosial,
budaya, dan khususnya dikalangan para pemikir pendidikan. Fenomena
konflik etnis, sosial, budaya, yang kerap muncul di tengah-tengah masyarakat
yang berwajah plural menyebabkan limpungnya arah pendidikan dimasa
depan.
Indonesia adalah salah satu negara multikultural terbesar di dunia.
Kebenaran dari pernyataan ini dapat dilihat dari kondisi sosial-kultural
maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Sekarang ini, jumlah pulau
yang ada di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sekitar tiga
belas ribu pulau besar dan kecil. Populasi penduduknya berjumlah lebih dari
dua ratus juta jiwa, terdiri dari tiga ratus suku yang menggunakan hampir dua
ratus bahasa yang berbeda. Selain itu mereka juga menganut agama dan
kepercayaan yang beragam seperti Islam, Katolik, Kristen Protestan, Hindu,
Budha, Konghucu, serta berbagai macam aliran kepercayaan. (Yaqin, 2005:34). Dari kasus di atas, sangat diperlukan sikap terbuka dan menerima setiap
perbedaan yang ada. Setiap manusia berkewajiban menumbuh kembangkan
sikap multikultural. Sikap multikultural merupakan sikap yang terbuka pada
perbedaan. Mereka yang memiliki sikap multikultural berkeyakinan:
perbedaan bila tidak dikelola dengan baik memang bisa menimbulkan
konflik, namun bila kita mampu mengelolanya dengan baik maka perbedaan
justru memperkaya dan bisa sangat produktif. Salah satu syarat agar sikap
mutikultural efektif adalah bila kita mau menerima kenyataan hakiki bahwa
manusia bukan makhluk sempurna, manusia adalah makhluk yang selalu
menjadi. Padahal agar dapat menjadi, manusia membutuhkan sesamanya.
Dengan perkataan lain, sikap yang seharusnya mendasari masyarakat
multikultural adalah sikap rendah hati (=mau menerima kenyataan), bahwa
tidak ada seorang pun yang mampu memiliki kebenaran absolut, karena
kebenaran absolut melampaui ruang dan waktu, padahal manusia adalah
makhluk yang terikat pada ruang dan waktu. Kita merupakan makhluk yang
berjalan bersama menuju kebenaran absolut tersebut. Untuk itu kita perlu
mengembangkan sikap hormat akan keunikan masing-masing pribadi atau
kelompok tanpa membeda-bedakan entah atas dasar gender, agama dan etnis.
(Molan, Putranto, dkk, 2009:16-17). Allah SWT menganjurkan kepada
manusia untuk berbuat kebajikan dan mencegah tindakan keji dalam Qur‟an
Surah Ali Imran ayat 104:
           
   
Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan ummat yang menyeru kepada
kebajikan, menyeru kepada yang ma‟ruf dan mencegah dari yang mungkar;
merekalah orang yang beruntung. (Tafsir al Misbah, Vol. 2).
Lebih khusus lagi, apabila dilihat dari cara pandang tindak dan
wawasan setiap individu yang ada terhadap berbagai macam fenomena sosial,
budaya, ekonomi, politik dan terhadap hal-hal lainnya, tak dapat dipungkiri,
mereka mempunyai pandangan yang beragam. Contohnya, masyarakat kita
dengan berbagai macam latar belakang yang berbeda seperti pendidikan,
etnis, agama, kelas sosial dan ekonomi –mempunyai tindakan dan pandangan
yang berbeda-beda pula tentang berbagai macam fenomena sosial seperti
kesetaraan gender, demokrasi, hak asasi manusia dan terhadap hal-hal
lainnya. Ada anggota masyarakat yang kurang mendukung adanya proses
demokrasi di negara ini, namun di sisi lain tidak sedikit masyarakat yang
menginginkan adanya demokrasi. Ada anggota masyarakat yang sangat
peduli dan selalu memperjuangkan hak-hak asasi manusia, namun di sisi lain
tidak sedikit masyarakat yang tidak peduli terhadap masalah tersebut. Bahkan
mereka dengan sengaja menggilas hak-hak asasi orang lain. Ada anggota
masyarakat yang merespon baik dan bahkan mendukung adanya kesetaraan
gender, namun tidak sedikit masyarakat yang menentangnya. (Yaqin, 2005:34).
Keragaman ini, diakui atau tidak, akan dapat menimbulkan berbagai
persoalan seperti yang sekarang dihadapi bangsa ini. Premanisme,
perseteruan politik, kemiskinan, kekerasan, perusakan lingkungan dan
hilangnya rasa kemanusiaan untuk selalu meghormati hak-hak orang lain, hal
tersebut adalah bentuk nyata sebagai bagian dari multikulturalisme itu.
Maka, menjadi keharusan bagi kita bersama untuk memikirkan upaya
pemecahannya (solution). Termasuk pihak yang harus bertanggung jawab
dalam hal ini adalah kalangan pendidikan. Pendidikan sudah selayaknya
berperan dalam menyelesaikan masalah konflik yang terjadi di masyarakat.
Minimal, pendidikan harus mampu memberikan penyadaran (consciousness)
kepada masyarakat bahwa konflik bukan suatu hal yang baik untuk
dibudayakan. Dan selayaknya pula, pendidikan mampu memberikan tawarantawaran yang mencerdaskan, antara lain dengan cara mendesign materi,
metode, hingga kurikulum yang mampu menyadarkan masyarakat akan
pentingnya sikap saling toleran, menghormati perbedaan suku, agama, ras,
etnis dan budaya masyarakat indonesia yang multikultural. Sudah selayaknya
pendidikan berperan sebagai media transformasi sosial, budaya dan
mutikulturalisme. (Mahfud, 2006:4-5).
Problem perbedaan tidak hanya dialami pada tataran kehidupan antar
umat beragama saja, namun juga terdapat dalam masing-masing agama.
Karena persoalan keberagamaan sebenarnya tidak lepas dari interpretasi
manusia akan teks suci atau divine text yang dipercaya sebagai ungkapan
langsung dari Tuhan kepada manusia. Sementara dalam kerangka kerja
(frame work)-nya, tidak ada tafsir yang seragam terhadap suatu hal, pastilah
akan ada perbedaan yang disebabkan oleh banyak hal. Bisa jadi karena faktor
budaya, ekonomi, politik, pendidikan atau perbedaan tingkat peradaban.
Contohnya, perbedaan pendapat yang muncul antara masyarakat sunni dan
syi‟I, katolik dan Kristen, dan realitas terdekat adalah antara dua organisasi
kemasyarakatan
(ormas)
Islam
terbesar
di
Indonesia;
NU
dan
Muhammadiyah. (Yaqin, 2005: xiv-xvii).
Oleh sebab itu, wacana multikulturalisme sangat dibutuhkan guna
internalisasi nilai-nilai multikultural pada diri setiap manusia. Dengan
memahami perbedaan tafsir setiap teks yang ada, diharapkan akan
menghasilkan pemahaman keberagamaan yang inklusif, toleran, dan terbuka
kepada siapapun. Tidak ada yang merasa menjadi makhluk pilihan yang
selalu menganggap dirinya paling benar dan menyalahkan yang lain.
Dalam skripsi ini, penulis akan mengkaji isi kandungan al Qur‟an
surah al Hujurat ayat 9-13 yang menjelaskan mengenai hakikat manusia
diciptakan laki-laki dan perempuan, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku tak
lain agar mereka saling mengenal dan dan saling menghargai antar sesama.
Islam melalui Al Qur‟an mengajarkan hormat menghormati antara manusia
satu dengan yang lain, tidak ada perselisihan di antara manusia, Islam adalah
agama yang mengajarkan nilai-nilai yang universal dengan tujuan untuk
memberikan rahmat bagi semesta alam, (rahmatan lil‟alamin) sehingga
terdapat ayat-ayat al Qur‟an yang mengajarkan tentang perdamaian, kasih
sayang, meghormati perbedaan, dan lain sebagainya.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas , pokok permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut :
1. Bagaimana nilai-nilai pendidikan multikultural dalam al Qur‟an Surah Al
Hujurat ayat 9-13?
2. Bagaimana implementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan
Islam?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan dari rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian ini
adalah :
1.
Mengetahui nilai-nilai pendidikan multikultural yang terkandung dalam
Al Qur‟an Surah Al Hujurat ayat 9-13.
2.
Mengetahui implementasi pendidikan multikultural dalam pendidikan
Islam.
D. Kegunaan Penelitian
1.
Menambah khasanah pengetahuan tentang pendidikan yang berbasis
multikultural bagi bangsa Indonesia.
2.
Sebagai sumbangan fikiran dalam rangka peningkatan pendidikan agama
Islam.
E. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara kerja meneliti, mengkaji dan
menganalisis objek sasaran penelitian untuk mencari hasil atau kesimpulan
tertentu. Metode penelitian yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Dalam penyusunan skripsi ini adalah penelitian pustaka (library
research) dengan bahan pustaka yang berkaitan pembahasannya dalam
penelitian ini, baik bahan primer maupun skunder.
a. Bahan Primer
Bahan primer merupakan bahan pokok yang diperoleh melalui bukubuku seperti tafsir al Misbah dan tafsir ibnu katsir.
b. Bahan sekunder
Sumber penunjang yang dijadikan alat bantu dalam menganalisa
masalah-masalah
yang
muncul,
yakni
dengan
buku-buku
kependidikan seperti pendidikan multicultural oleh Choirul Mahfud,
pendidikan
multicultural
Cross-Cultural
Understanding
untuk
Demokrasi dan Keadilan oleh M. Ainul Yaqin, Pendidikan
Multikultural Konsep dan Aplikasi oleh Ngainun Naim dan Ahmad
Sauqi.
2. Pendekatan
Dalam pencapaian hasil yang maksimal, maka metodologi
penelitian ini menggunakan pendekatan kajian tafsir maudlu‟i, yaitu
menafsirkan ayat-ayat al Qur‟an dengan menghimpun ayat-ayat al Qur‟an
yang
mempunyai
maksud
yang
sama
dalam
arti
sama-sama
membicarakan satu topic dan menyusunnya berdasarkan kronologi dan
sebab turunnya ayat tersebut. (Budiharjo, 2012: 150-151). Dengan
maksud untuk menghimmpun ayat-ayat Al Qur‟an dari berbagai surah
yang berkaitan dengan persoalan atau topik yang ditetapkan. Kemudian
peneliti membahas dan menganalisis kandungan ayat-ayat tersebut
sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindari Adanya kemungkinan penafsiran yang salah
tentang istilah-istilah yang digunakan dalam judul penelitian , maka penulis
perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam judul ini, antara
lain :
1.
Pendidikan Multikultural
Pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga ,
masyarakat, dan pemerintah, melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
dan latihan, yang berlangsung di sekolah dan di luar sekolah sepanjang
hayat, untuk mempersiapkan peserta didik agar dapat memainkan
peranan dalam berbagai lingkungan hidup secara tepat dimasa yang akan
datang. Pendidikan adalah pengalaman-pengalaman belajar terprogram
dalam bentuk pendidikan formal, non-formal, dan informal di sekolah,
dan luar sekolah, yang berlansung seumur hidup yang bertujuan
optimalisasi pertimbangan kemampuan-kemampuan individu, agar
dikemudian hari dapat memainkan peranan hidup secara tepat.
(Mudyahardjo, 2010:11).
Sedangkan yang dimaksud dengan multikultural adalah gejala pada
seseorang atau suatu masyarakat yang ditandai oleh kebiasaan
menggunakan lebih dari satu kebudayaan. (http://www.artikata.com/arti341549-multikulturalisme.html).
Dengan kata lain, multikultural adalah beberapa kebudayaan.
Secara etimologis, multikulturalisme dibentuk dari kata multi (banyak),
kultur (budaya), dan isme (aliran/paham). Secara hakiki, dalam kata itu
terkandung pengakuan akan martabat manusia yang hidup dalam
komunitasnya dengan kebudayaannya masing-masing yang unik.
(Mahfud, 2006:75).
Baidhawy (2005) menyimpulkan mengenai pengertian pendidikan
multikultural. Menurutnya, ada dua istilah penting yang berdekatan
secara makna dan merupakan suatu perkembangan yang sinambung,
yakni pendidikan multietnik dan pendidikan multikultural. “pendidikan
multietnik” sering dipergunakan di dunia pendidikan sebagai suatu usaha
sistematik dan berjenjang dalam rangka menjembatani kelompokkelompok rasial dan kelompok-kelompok etnik yang berbeda dan
memiliki potensi untuk melahirkan ketegangan dan konflik. Sementara
itu istilah “ pendidikan multikultural” memperluas payung pendidikan
multietnik sehingga memasukkan isu-isu lain seperti relasi gender,
hubungan antar agama, kelompok kepentingan, kebudayaan dan
subkultur, serta bentuk-bentuk lain dari keragaman. Kata “kebudayaan”
lebih diadopsi dalam hal ini daripada kata “rasisme” sehingga audiens
dari pendidikan multikultural semacam ini akan lebih mudah menerima
dan mendengarkan. (Baidhawy, 2005:6-7).
G. Sistematika Penulisan
Untuk memudahkan dalam memahami isi dan kajian skripsi ini, maka
penulis memaparkan sistematika yang terbagi menjadi lima bab beserta
penjelasan secara garis besar isi per babnya.
Bab
pertama
merupakan
bab
pendahuluan.
Dalam
bab
ini
dikemukakan mengenai latar belakang masalah, penegasan istilah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode penelitian dan sistematika
penulisan skripsi.
Bab kedua berisi kompilasi ayat-ayat yang berkenaan dengan
multikulturalisme.
Bab ketiga merupakan asbabun nuzul dan munasabah dari ayat-ayat
multikulturalisme.
Bab keempat berisi pembahasan mengenai
pengertian pendidikan
multikultural, pendidikan multikultural dalam Islam, urgensi pendidikan
multikultural, tujuan pendidikan multikultural dan analisis tentang pendidikan
multikultural dalam Qur‟an Surah al Hujurat ayat 9-13.
Bab kelima, merupakan bab penutup yang merefleksikan kembali
ringkasan skripsi dalam bentuk kesimpulan dan saran
BAB II
KOMPILASI AYAT-AYAT MULTIKULTURALISME
1. Surah al Hujurat ayat 9
         
            
         

Dan kalau ada dua golongan dari mereka yang beriman itu berperang
hendaklah kamu damaikan antara keduanya! tapi kalau yang satu
melanggar Perjanjian terhadap yang lain, hendaklah yang melanggar
Perjanjian itu kamu perangi sampai surut kembali pada perintah
Allah. kalau Dia telah surut, damaikanlah antara keduanya menurut
keadilan, dan hendaklah kamu Berlaku adil; Sesungguhnya Allah
mencintai orang-orang yang Berlaku adil. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13,
hal. 243)
2. Al-Hujurat Ayat 10
           
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu
dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”
(Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 246-247)
3. Al-Hujurat Ayat 11
             
             
            
 
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolokolok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diolokolokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan
pula perempuan-perempuan (mengolok-olok) perempuan lain,
(karena) boleh jadi perempuan (yang diolok-olokkan) lebih baik dari
perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela
satu sama lain, dan jagnlah saling memanggil dengan gelar-gelar
yang buruk.seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk
(fasik) setelah beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka
mereka iutlah orang-orang yang zalim. (Tafsir Al Misbah, Vol. 13,
hal. 250)
4. Al-Hujurat Ayat 12
            
          
           
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (Tafsir Al Misbah, Vol. 13, hal. 253)
Allah menganjurkan untuk mengonfirmasi kabar yang diterima.
Mengenai hal ini Allah menegaskan dalam surah Al Hujurat ayat 6:
          
      
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu. (Tafsir al Misbah, Vol. 13, Hal 236)
Al Qur‟an Surah An-Nuur Ayat 11:
             
            
     
Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu
adalah dari golongan kamu juga. janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi
kamu. tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat Balasan dari
dosa yang dikerjakannya. dan siapa di antara mereka yang
mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar. (Dahlan, Al Farisi, 2009:
372)
5. Al-Hujurat Ayat 13
         
            
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang
laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal.
Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah
ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Tafsir Al Misbah, Vol. 13,
hal. 260)
Ayat di atas menjelaskan bahwa Allah SWT telah menciptakan
makhluk-Nya, laki-laki dan perempuan, dan menciptakan manusia
berbangsa-bangsa, untuk menjalin hubungan yang baik. Kata ta‟arafu
pada ayat ini maksudnya bukan hanya berinteraksi tetapi berinteraksi
positif. Jadi dijadikannya makhluk dengan berbangsa-bangsa dan bersukusuku adalah dengan harapan bahwa satu dengan yang lainnya dapat
berinteraksi secara baik dan positif. Lalu dilanjutkan dengan …inna
akramakum „ndallahi atqaakum.. maksudnya, bahwa interaksi positif itu
sangat diharapkan menjadi prasyarat kedamaian di bumi ini. Namun, yang
dinilai terbaik di sisi Allah adlah mereka itu yang betul-betul dekat kepada
Allah. (Wahyunianto, Muslim, 2010: 69-70).
Allah SWT sengaja menciptakan manusia dalam keadaan yang
berbeda. Dalam Qur‟an Surah al Maidah ayat 48 Allah berfirman:
           
           
      
Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, Kami berikan aturan dan jalan
yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikanNya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat
kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu
beritahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu.
(Shihab, 1999: 491)
Kemudian dalam Qur‟an Surah Yunus ayat 99:
            
   
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang
yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman
semuanya ?. (Shihab, 1999: 99)
Qur‟an surah Ar-Ruum ayat 22:
         
    
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah menciptakan langit
dan bumi dan berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.
Sesungguhnya pada yang demikan itu benar-benar terdapat tandatanda bagi orang-orang yang mengetahui. (Shihab, 1999: 289)
Qur‟an Surah Al Maidah ayat 69:
        
          

Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, Shabiin
dan orang-orang Nasrani, siapa saja (diantara mereka) yang benarbenar saleh, Maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak
(pula) mereka bersedih hati. (Tafsir Al Misbah, Vol. 3, hal. 154)
Qur‟an Surah al Baqarah ayat 62:
        
          
    
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka
yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal
saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
(Tafsir Al Misbah, Vol. 1, Hal. 213)
Selanjutnya, untuk mewujudkan persaudaraan antarpemeluk
agama Al Qur‟an memperkenalkan ajaran:
             
  
Bagi Kami amal-amal Kami dan bagi kamu amal-amal kamu. tidak
ada pertengkaran antara Kami dan kamu, Allah mengumpulkan
antara kita dan kepada-Nyalah kembali (kita)". (Shihab, 1999: 493)
Islam tidak diperkenankan memaksakan kehendak terhadap
orang lain. Tetapi, melalui Al Qur‟an Allah menganjurkan agar
mencari titik singgung dan titik temu antarpemeluk agama. Al Qur‟an
menganjurkan agar dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan
persamaan hendaknya masing-masing mengakui keberadaan pihak
lain, dan tidak perlu saling menyalahkan.
Allah SWT berfirman dalam AlQur‟an Surah Ali Imran ayat 64:
           
              
     
Katakanlah: "Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada suatu
kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara Kami dan
kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita
persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak (pula) sebagian kita
menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah". jika
mereka berpaling Maka Katakanlah kepada mereka: "Saksikanlah,
bahwa Kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)".
(Shihab, 1999: 493).
BAB III
ASBABUN NUZUL DAN MUNASABAH AYAT-AYAT
MULTIKULTURALISME
A. Asbabun Nuzul
1. Al-Hujurat Ayat 9-10
Riwayat yang menyebutkan bahwa ayat 9 turun berkaitan
dengan pertengkaran yang mengakibatkan perkelahian dengan
menggunakan alas kaki, antara kelompok Aus dan Khazraj. Itu
dimulai ketika Rasul SAW. yang mengendarai Keledai melalui
jalan di mana Abdullah Ibn Ubay Ibn Salul sedang duduk dan
berkumpul dengan rekan-rekannya. Saat itu Keledai Rasulullah
SAW buang air, lalu Abdullah yang merupakan tokoh kaum
munafikin itu berkata: “Lepaskan keledaimu karena baunya
menggangu kami”. Sahabat Nabi SAW., Abdullah Ibn Rawahah ra.
menegur Abdullah sambil berkata: “Demi Allah, bau air seni
Keledai Rasulullah SAW lebih wangi dari minyak wangimu”. Dan
terjadilah pertengkaran yang mengundang kehadiran kaum masingmasing. (HR. Bukhari dan Muslim melalui Anas Ibn Malik).
(Shihab, 2007:246).
Dalam riwayat lain, diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu
Abi Hatim yang bersumber dari as-Suddi, dikemukakan bahwa
seorang laki-laki anshar yang bernama „Imran, beristrikan Ummu
Zaid. Ummu Zaid bermaksud ziarah ke rumah keluarganya, akan
tetapi dilarang oleh suaminya, bahkan dikurung di atas loteng.
Ummu Zaid mengirim utusan kepada keluarganya. Maka datanglah
kaumnya menurunkannya dari loteng untuk dibawa ke rumah
keluarganya.
Kemudian suaminya („Imran) meminta tolong kepada
keluarganya. Maka datanglah anak-anak pamannya mengambil
kembali istrinya dari keluarganya. Dengan demikian terjadilah
perkelahian, pukul-memukul dengan menggunakan sandal untuk
memperebutkan Ummu Zaid. Maka turunlah ayat ini. Berkenaan
dengan peristiwa tersebut Rasulullah saw mengirimkan utusan
kepada mereka untuk mendamaikan perselisihan mereka. (Dahlan,
Alfarisi, 2009: 515)
2. Al-Hujurat Ayat 11
Sekian banyak riwayat yang dikemukakan oleh para
mufasir menyangkut sebab nuzul-nya ayat ini. Misalnya ejekan
yang dilakukan oleh Bani Tamim terhdap Bilal, Shuhaib dan
„Ammar yang merupakan orang-orang tidak punya. Ada lagi yang
menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan ejekan yang
dilontarkan oleh Tsabit Ibn Qais, seorang sahabat Nabi saw yang
tuli. Tsabit melangkahi sekian orang untuk dapat duduk di dekat
Rasul agar dapat mendengar wejangan beliau. Salah seorang
menegurnya, tetapi Tsabit marah sambil memakinya dengan
menyatakan bahwa dia yakni sipenegur adalah anak si anu (seorang
wanita yang pada masa jahiliyah yang dikenal memiliki aib).
Orang yang diejek ini merasa dipermalukan, maka turunlah ayat
ini. Ada lagi yang menyatakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan ejekan ejekan yang dilontarkan kepada Ummu Salamah
yang merupakan istri Nabi Muhammad saw. Ummu Salamah
mereka ejek sebagai wanita pendek. (Shihab, 2007:253).
Diriwayatkan oleh Ahmad yang bersumber dari Abu Jubair
bin adl-Dlahhak dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Bani Salamah. Nabi saw tiba di Madinah pada saat orangorang biasanya mempunyai dua atau tiga nama. Pada suatu saat
Rasulullah memanggil seseorang dengan salah satu namanya,
tetapi ada orang yang berkata: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya ia
marah dengan panggilan itu. Ayat ini turun sebagai larangan
memanggil orang dengan sebutan yang tidak disukainya. (Dahlan,
Afarisi, 2009: 516-517)
3. Al-Hujurat Ayat 12
Diriwayatkan oleh Ibnul Mundzir yang bersumber dari Ibnu
Juraij, dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan
Salman al Farisi yang bila selesai makan, ia suka tidur dan
mendengkur. Pada waktu itu ada yang mempergunjingkan
perbuatannya. Maka turunlah ayat ini yang melarang seseorang
mengumpat dan menceritakan keaiban orang lain. (Dahlan,
Alfarisi, 2009: 517).
Al Hafizh Abu Ya‟la meriwayatkan dalam kisahnya yang
menceritakan perajaman Ma‟iz r.a., sampai dia mengatakan, “Nabi
saw mendengar dua orang yang satu berkata kepada yang lainnya,
“tidakkah kamu melihat, sesungguhnya seseorang yang aibnya
telah ditutupi oleh Allah ini, akan tetapi dia tidak membiarkannya
tertutup sehingga dia dirajam seperti anjing?” kemudian Nabi
melanjutkan perjalanan sehingga tatkala melewati bangkai keledai,
beliau mengatakan, „di manakha si fulan dan si fulan itu. Turunlah
dan makanlah bangkai keledai ini‟. Mereka berdua mengatakan,
„semoga Allah mengampuni engkau, ya Rosulullah. Mana
mungkin hewan ini dimakan? „ Rasulullah saw., “kalau begitu, apa
yang telah kalian peroleh dari saudaramu yang dipercakapkan tadi
adalah lebih buruk untuk dimakan daripada bangkai ini. Demi
jiwaku yag berada dala genggaman-Nya, sesungguhnya saudaramu
itu sekarang berada di sungai-sungai surga. Dia berenang di sana.”
4. Al Hujurat Ayat 6
Diriwayatkan oleh Ahmad dn lain-lain dengan sanad yang
baik, yang bersumber dari Al-Harits bin Dlirar Al-Khuza‟i. Dan
pula diriwayatkan oleh At-Thobrani yang bersumberdari Jabir „Al
Qomah bin Najiah, dan Ummu Salamah dan diriwayatkan pula ole
Ibnu Jarir al „Aufi yang bersumber dari Ibnu „Abbas bahwa al
Harits menghadap Rasululah saw. Beliau mengajaknya untuk
masuk Islam. Ia pun berikrar menyatakan diri masuk Islam.
Rosulullah mengajaknya untuk mengeluarkan zakat, ia pun
menyanggupi kewajiban itu, dan berkata: “ ya Rosulullah, aku
akan pulang ke kaumku untuk mengajak merekamasuk Islam dan
menunaikan zakat. Orang-orang yang mengikuti ajaran ku akan
aku kumpulkan zakatnya. Apabila telah tiba waktunya, kirimlah
utusan untuk mengambil zakat yang telah ku kumpulkan itu”.
Ketika al Harits telah banyak mengumpulkan zakat, dan
waktu yang sudah ditetapka pun telah tiba, tak seorang pun utusan
yang menemuinya. Al Harits mengira telah terjadi sesuatu yang
menyebabkan Rosulullah marak kepadanya. Ia pun memanggil
para haratawan kaumnya dan berkata: “sesungguhnya Rosulullah
telah menetapkan waktu untuk mengutus seseorang untuk
mengambil zakat yang telah ada padaku, dan beliau tak pernah
menyalahi janjinya. Akan tetapi saya tidak tahu mengapa beliau
menangguhkan utusannya itu. Mungkinkah beliau marah? Mari
kita berangkat menghadap Rosulullah saw”.
Rosulullah
saw.
Sesuai
dengan
waktu
yang
telah
ditetapkan, mengutus al Walid Bin „Uqbah untuk mengambil dan
menerima zakat yang ada pada al Harits. Ketika al Walid
berangkat, diperjalanan hatinya merasa gentar, lalu ia un pulang
sebelum sampai ke tempat yang dituju. Ia melaporkan (laporan
palsu) kepada Rosulullah bahwa al Harits tidak mau menyerahkan
zakat kepadanya, bahkan mngancam akan membununya”.
Kemudian Rosulullah mengirim utudna berikutnya kepada
al Harits. Di tengah perjalanan, utusan itu berpapasan dengan al
Harits dan sahabat-sahabatanya yang tengah menuju ketempat
Rosulullah saw. Setelah berhadap-hadapan Al Harits menanyai
utusan itu: “kepada siapa engkau diutus?” utusan itu menjawab:
“kami diutus kepadamu”. Dia bertanya: “mengapa?” mereka
menjawab: “sesungguhnya Rosulullah saw. Telah mengutus al
Walid bin „Uqbah. Namun, ia mengatakan bahwa engkau tidak
mau menyerahkan zakat, bahkan bermaksud membunuhnya”. Al
Harits menjawab: “demi Allah yang telah mengutus Muhammad
dengan sebenar-benarnya, aku tidak melihatnya. Tidak ada yang
datang kepadaku”.
Ketika
mereka
sampai
dihadapan
Rosulullah
saw,.
Bertanyalah beliau: “mengapa engkau menahan zakat dan akan
membunu utusanku?” al Harits menjawab: “demi Allah yang telah
mengutus engkau dengan sebenar-benarnya, aku tidak berbuat
demikian.” Maka, turunlah ayat ini (Q. S. Al Hjujurat: 6) sebagai
peringatan kepada kaum mukminin agar tidak hanya menerima
keterangan dari sebelah pihak saja. (Dahlan, Al Farisi, 2009: 512514)
5. An-Nuur Ayat 11
Berita bohong ini mengenai istri Rasulullah s.a.w. 'Aisyah
r.a. Ummul Mu'minin, sehabis perang dengan Bani Mushtaliq
bulan Sya'ban 5 H. Perperangan ini diikuti oleh kaum munafik,
dan turut pula 'Aisyah dengan Nabi berdasarkan undian yang
diadakan antara istri-istri beliau. dalam perjalanan mereka
kembali dari peperangan, mereka berhenti pada suatu tempat.
'Aisyah keluar dari sekedupnya untuk suatu keperluan, kemudian
kembali. tiba-tiba Dia merasa kalungnya hilang, lalu Dia pergi
lagi mencarinya. Sementara itu, rombongan berangkat dengan
persangkaan bahwa 'Aisyah masih ada dalam sekedup. setelah
'Aisyah mengetahui, sekedupnya sudah berangkat Dia duduk di
tempatnya dan mengaharapkan sekedup itu akan kembali
menjemputnya. Kebetulan, lewat ditempat itu seorang sahabat
Nabi, Shafwan Ibnu Mu'aththal, diketemukannya seseorang
sedang tidur sendirian dan Dia terkejut seraya mengucapkan:
"Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un, isteri Rasul!" 'Aisyah
terbangun. lalu Dia dipersilahkan oleh Shafwan mengendarai
untanya. Syafwan berjalan menuntun unta sampai mereka tiba di
Madinah. orang-orang yang melihat mereka membicarakannya
menurut Pendapat masing-masing. mulailah timbul desas-desus.
kemudian kaum munafik membesar- besarkannya, Maka fitnahan
atas 'Aisyah r.a. itupun bertambah luas, sehingga menimbulkan
kegoncangan di kalangan kaum muslimin.
6. Al-Hujurat Ayat 13
Diriwayatkan oleh Abu Daud bahwa ayat ini turun
berkenaan dengan Abu Hind yang pekerjaan sehari-harinya adalah
pembekam.
Nabi
meminta
kepada
Bani
Bayadhah
agar
menikahkan salah seorang putri mereka dengan Abu Hind, tetapi
mereka enggan dengan alasan tidak wajar mereka menikahkan
putri mereka dengannya yang merupakan salah seorang bekas
budak mereka. Dan ada juga riwayat yang menyatakan bahwa
Usaid Ibn Abi al-Ish berkomentar ketika mendengar Bilal
mengumandangkan azan di Ka‟bah bahwa: “Alhamdulillah ayahku
wafat sebelum melihat kejadian ini”. Ada lagi yang berkomentar: “
apakah Muhammad tidak menemukan selain burung gagak ini
untuk berazan?”. (Shihab, 2007:261).
Diriwayatkan oleh Ibnu „Asakir yang bersumber dari Abu
Bakr bin Abi Dawud, dikemukakan bahwa ayat ini turun berkenaan
dengan Abu Hind yang akan dikawinkan oleh Rasulullah kepada
seorang wanita Bani Bayadlah. Bani Bayadlah berkata: “Wahai
Rasulullah, pantaskah kalau kami mengawinkan putri-putri kami
kepada bekas budak-budak kami?”. Ayat ini turun sebagai
penjelasan bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara bekas
budak dan orang merdeka (Dahlan, Alfarisi, 2009: 518)
7. Al Baqarah Ayat 62
Diriwayatkan oleh Ibnu Hatim dan al „Adni di dalam
musnadnya dari Ibnu Abi Najih bahwa Salman bertanya kepada
Nabi saw tentang penganut agama yang pernah ia anut bersama
mereka. Kemudian ia menerangkan cara shalat dan ibadahnya.
Maka turunlah ayat ini (Q. S. Al Baqarah: 62) sebagai penegasan
bahwa orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan
berbuat saleh akan mendapat pahala dari Allah SWT. (Dahlan,
Alfarisi, 2009: 17)
B. Munasabah
1. Surah al-Hujurat Ayat 9
         
           
         
 
“Jika dua golongan dari dua orang-orang yang beriman itu
berperang (berbunuh-bunuhan), maka hendaklah kamu
berusaha mendamaikan diantara keduanya. Jika salah satu dari
keduanya (menzalimi) orang lain, maka perangilah golongan
yang menganiaya itu, samapi mereka kembali kepada perintah
Allah. Karenanya, jika golongan yang menganiaya itu telah
kembali kepada perintah Allah, damaikanlah keduanya dengan
cara yang adil serta berlaku jujurlah kamu; sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang berlaku jujur.” (Tafsir Ibnu Katsir,
Jilid 4, Hal. 426-427)
Ayat di atas memerintahkan untuk melakukan ishlah
sebanyak dua kali. Yang pertama (‫ )فاًصلحىابينهما‬faashlihuu
bainahumaa tanpa diikuti dengan kata (‫ )بالعدل‬bi al „adl/ dengan
adil. Hal ini tidak berarti bahwa ishlah yang pertama tidak harus
dilakukan dengan adil, hanya saja yang kedua lebih ditekankan atau
lebih keras lagi diperintahkan untuk berlaku adil. ( ‫واًقسطىا‬
‫ ) فًاصلحىابينهمابالعدل‬faashlihuu bainahumaa bi al „adli wa aqsithuu,
hal ini dikarenakan yang kedua telah didahului oleh tindakan
terhadap kelompok yang enggan menerima ishlah yang pertama.
Menurut Quraish Shihab (2007), kata al muqsithiin terambil
dari kata qisth yang juga bisa diartikan adil. Sementara para ulama
mempersamakan makna dasar qisth dan „adl, dan ada juga yang
membedakannya dengan berkata bahwa al qisth adalah keadilalan
yang diterapkan atas dua pihak atau lebih, keadilan yang
menjadikan
mereka
semua
senang.
Sedang
„adl
adalah
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya walau tidak
menyenangkan satu pihak. (Shihab, 2007:245)
Oleh sebab itu, Allah meletakkan qisth sebelum „adl, hal itu
dapat diartikan bahwa Allah tetap mememerintahkan untuk
bertindak adil meskipun menyakitkan atau membuat tidak senang
pada salah satu pihak. Namun jikalau bisa, Allah memerintahkan
untuk bertindak adil yang dapat menjadikan semuanya baik-baik
saja atau bahkan lebih baik.
2. Surah al Hujurat ayat 10
           
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara. sebab itu
damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu
itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat
rahmat.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 427)
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan
perdamaian antara dua kelompok orang-orang beriman, ayat di atas
menjelaskan mengapa hal itu perlu dilakukan. Hal tersebut perlu
dilakukan dan ishlah perlu ditegakkan bagi orang-orang yang
beriman meskipun tidak seketurunan.
Karena hubungan setiap
manusia merupakan saudara.
3. Surah al Hujurat ayat 11
           
            
          
      
Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum
mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka
(yang diolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolokolok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olok)
perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diolokolokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok).
Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan janganlah
saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk.seburukburuk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah
beriman. Dan barang siapa tidak bertobat, maka mereka iutlah
orang-orang yang zalim. (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 429430)
Setelah ayat yang lalu memerintahkan untuk melakukan
ishlah akibat pertikaian yang muncul, ayat di atas member petunjuk
tentang beberapa hal yang harus dihindari untuk mencegah
timbulnya pertikaian.
4. Surah al-Hujurat ayat 12
           
         
            

“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purbasangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa.
Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah
menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu
yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka
tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha
Penyayang.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 431)
Ayat di atas masih merupakan lanjutan tuntunan ayat yang lalu.
Hanya di sini hal-hal buruk yang sifatnya tersembunyi.
5. Surah Al Hujurat Ayat 6
          
      
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang
Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah dengan teliti agar
kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa
mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas
perbuatanmu itu. (Tafsir al Misbah, Vol 13, Hal: 236)
Kelompok ayat-ayat yang lalu merupakan tuntunan bagaimana
seharusnya bertata karma dengan nabi saw. Kelompok ayat-ayat ini
menguraikan bagamana bersikap dengan sesama manusia. Yang
pertama diuraikan adalah sikap terhadap kaum fasik.
6. Surah al-Hujurat ayat 13
         
            
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu
berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia
diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa
diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi
Maha Mengenal.” (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 4, Hal. 437)
Setelah memberi petunjuk tata krama pergaulan dengan
sesama muslim, ayat di atas beralih kepada uraian tentang prinsip
dasar hubungan antar manusia.
7. Al Baqarah Ayat 62
       
         
      
Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orangorang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara
mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian
dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan
mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (Tafsir Al Misbah, Vol. 1, Hal. 62-63)
Pada ayat-ayat yang lalu Allah telah mengecam bahkan
mengancam orang-orang Yahudi yang durhaka. Tentu saja
ancaman dapat menimbulkan rasa takut. Melalui ayat ini Allah
memberikan jalan keluar sekaligus ketenangan kepada mereka
yang bermaksud memperbaiki diri. Ini sejalan dengan kemurahan
Allah yang selalu membuka pintu bagi hamba-hamba-Nya yang
insaf. Kepada mereka disampaikan bahwa jalan guna meraih ridha
Allah bagi mereka serta bagi umat-umat lain, tidak lain kecuali
iman kepada Allah dan hari kemudian serta beramal saleh.
BAB IV
PEMBAHASAN
A. PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
a. Pengertian Pendidikan Multikultural
Hingga saat ini wacana pendidikan multikultural di Indonesia
belum tuntas dikaji oleh berbagai kalangan, termasuk oleh para pakar dan
pemerhati pendidikan sekalipun.
Pendidikan multikultural merupakan gabungan dari dua kata;
pendidikan dan multicultural. Menurut Koentjaraningrat, Pendidikan bisa
diartikan
sebagai usaha untuk mengalihkan adat istiadat dan seluruh
kebudayaan dari generasi lama ke generasi baru. (Naim, Sauqi, 2010:30)
Sedangkan multikultural sendiri berasal dari dua kata; multi
(banyak/beragam) dan cultural (budaya atau kebudayaan), yang secara
etimologi berarti keberagaman budaya. Budaya yang mesti dipahami
bukanlah budaya dalam arti sempit, melainkan mesti dipahami sebagai
semua dialektika manusia terhadap kehidupannya. Dialektika ini akan
menimbulkan banyak wajah, seperti sejarah, pemikiran, budaya verbal,
bahasa, dan lain-lain.
Dengan
demikian,
multikultural
berarti
beraneka
ragam
kebudayaan. Menurut Parsudi Suparlan yang dikutip oleh Ali Maksum,
akar kata dari multikulturalisme adalah kebudayaan, yaitu kebudayaan
yang dilihat dari fungsinya sebagai pedoman bagi kehidupan manusia.
Dalam konteks pembangunan bangsa, istilah multikultural ini telah
membentuk suatu ideologi yang disebut multikulturalisme. Konsep
multikulturalisme
tidaklah
dapat
disamakan
dengan
konsep
keanekaragaman secara suku bangsa atau kebudayaan suku bangsa yang
menjadi ciri masyarakat majemuk, karena multikuturalisme menekankan
keanekaragaman kebudayaan dalam kesederajatan. Ulasan mengenai
multikulturalisme mau tidak mau akan mengulas berbagai permasalahan
yang mendukung ideology ini, yaitu politik dan demokrasi, keadilan dan
penegakan hukum, kesempatan kerja dan berusaha, HAM, hak budaya
komuniti dan golongan minoritas, prinsip-prinsip etika dan moral, serta
tingkat dan mutu produktivitas. (Maksum, 2011:143).
Keragaman budaya tidaklah terbatas atas unsur-unsur budaya
seperti yang biasa didengar oleh masyarakat, yaitu hanya terbatas
mengenai perbedaan suku, agama, ras, dan perbedaan yang ada antar
golongan. Mengenai hal ini, Maksum (2011) berpendapat bahwa
keberagaman budaya dalam konteks realitas keseharian justru hadir
berlapis-lapis dalam lingkup antar pribadi, keluarga, kelompok, negara,
regional, dan mondial. Dalam kenyataannya, keragaman budaya justru
mencakup hal yang tak terbatas, mulai dari latar belakang pendidikan,
kemampuan ekonomi, jenis kelamin, daya nalar, profesi, hobi, gaya hidup,
selera, akses informasi, dan lain-lain. (Maksum, 2011:145).
Kebudayaan mempunyai arti yang sangat luas. Elisabeth B. Taylor
memberikan definisi yang cukup lengkap, yaitu komplikasi (jalinan) dalam
keseluruhan yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,
keagamaan, hukum, adat istiadat, serta lain lain-lain kenyataan dan
kebiasaan yang dilakukan manusia sebagai anggota masyarakat.
Pada umumnya, orang mengartikan kebudayaan dengan kesenian,
seperti seni tari, seni suara, seni lukis, dan sebagainya. Dalam pandangan
sosiologi, kebudayaan tidak hanya berarti kesenian, namun mempunyai
arti yang lebih luas lagi. Kebudayaan meliputi semua hasil cipta, rasa,
karsa, dan karya manusia, baik material maupun non-material. (Naim,
sauqi, 2010:194-195).
Dengan
berdasarkan
kepada
pengertian
kebudayaan
yang
sedemikian luas dan mengingat signifikansinya dalam konteks pendidikan,
aspek
kebudayaan
seharusnya
bisa
menjadi
tolak
ukur
dalam
pengembangan kualitas pendidikan di negara yang multikultural secara
budaya dan plural secara agama ini.
Dalam hal ini, aspek kebudayaan menjadi penting dalam rangka
membangun toleransi. Toleransi tidak bisa diusung hanya oleh komunitas
agama-agama saja, melainkan oleh keseluruhan etnis yang terdapat dalam
sebuah bangsa. Negara-negara yang menganut system demokrasi, pada
umumnya mempunyai kesadaran
yang tinggi perihal pentingnya
mutikulturalisme untuk membangun toleransi, asimilasi, dan persamaan
hak di antara warga negara. (Misrawi, 2007:217)
Sebagaimana dikutip oleh Chairil Mahfud meminjam pendapat
Andersen Cusher (1994:320), bahwa pendidikan multikultural dapat
diartikan
sebagai
pendidikan
mengenai
keragaman
kebudayaan.
Kemudian, James Banks (1993:3) mendefinisikan pendidikan multicultural
sebagai pendidikan untuk kaum berwarna/minoritas (people of color).
Artinya, pendidikan multikultural ingin mengeksplorasi perbedaan sebagai
keniscayaan (anugerah Tuhan/sunnatullah). Kemudian, bagaimana kita
mampu menyikapi perbedaan tersebut dengan penuh toleran dan semangat
egaliter. (Mahfud, 2006:167-168).
Menurut Ainurrafiq Dawam yang dikutip Ngainun Na‟im dan
Ahmad Sauqi pendidikan multikultural adalah proses pengembangan
seluruh potensi manusia yang menghargai pluralitas dan heterogenitasnya
sebagai konsekuensi keragaman budaya, etnis, suku, dan aliran (agama).
Pengertian pendidikan multikultural yang demikian tentu mempunyai
implikasi yang sangat luas dalam pendidikan. Karena pendidikan itu
sendiri secara umum dipahami sebagai proses tanpa akhir atau proses
sepanjang hayat. Dengan demikian, pendidikan multikultural menghendaki
penghormatan dan penghargaan setinggi-tingginya terhadap harkat dan
martabat manusia dari mana pun dia datangnya dan berbudaya apa pun dia.
Harapannya adalah terciptanya kedamaian sejati, keamanan yang tidak
dihantui kecemasan, dan kebahagiaan tanpa rekayasa. (Naim, Sauqi, 2010:
50-51).
Pendidikan multikultural mengandaikan adanya kesederajatan
dalam setiap perbedaan. Perbedaan suku, ras, etnis, budaya, tidak menjadi
masalah untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan damai.
Penulis menyimpulkan, pendidikan multikultural merupakan sarana
untuk memecahkan masalah berkaitan dengan tindakan membeda-bedakan
dan sikap deskriminasi terhadap salah satu pihak tertentu. Pendidikan
merupakan jalan yang paling efektif untuk menyampaikan nilai-nilai
multikulturalisme kepada masyarakat. Pendidikan dirasa merupakan jalan
yang paling efektif karena, hampir setiap individu merasakan yang
namanya pendidikan, baik formal maupun non formal. Harapannya,
internalisasi nilai-nilai tersebut tidak hanya akan menjadi angan-angan
belaka. Hal ini tentu tidak terlepas dari kerjasama yang bersifat
komprehensif dari pihak-pihak terkait antara lain, tenaga pengajar yang
professional, masyarakat, dan objek pendidikan itu sendiri yaitu peserta
didik.
Al Qur‟an sebagai landasan utama bagi umat Islam sesungguhnya
mengandung nilai-nilai universal dan bersifat fleksibelitas dalam
menjawab tuntutan zaman yang terus berkembang. Al Qur‟an berlaku
untuk semua manusia, agar mereka dapat mengarungi kehidupan ini (di
dunia) hingga di akhirat kelak. Sedangkan manusia diciptakan dalam
keadaan yang berbeda-beda, sangat bermacam-macam bentuk dan latar
belakangnya. Oleh sebab itu, Al Qur‟an tidak hanya untuk umat Islam saja,
namun seluruh umat di muka bumi ini. Al Qur‟an mengatur segala tata
cara hidup umat manusia, termasuk di dalamya bagaimana cara
memuliakan manusia sebagaimana ciptaan Allah yang paling sempurna.
b. Pendidikan Multikultural Dalam Islam
Seperti yang dikatakan
Said Agil Husin (2002) bahwa Islam
merupakan puncak kesempurnaan dari agama Allah. Penyempurna agamaagama sebelumnya. Islam sangat sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan
sebab, melaksanakan nilai-nilai kemanusiaan itu sendiri adalah bagian
horizontal dari pengaplikasian nilai-nilai keislaman. Dalam Islam tidak
hanya bukan hanya membahas mengenai norma-norma dan kaidah-kaidah
Ilahiyah, tetapi juga nilai-nilai yang berhubungan dengan dasar-dasar
kemanusiaan. (Al Munawar, 2002: 404). Termasuk di dalamnya
pemberian penghormatan setinggi-tingginya terhadap hak-hak yang
dimiliki setiap manusia.
Dari nilai-nilai pendidikan multikultural tentang penghormatan
terhadap hak-hak asasi manusia. Islam berprinsip egalitarianisme atau
dipertahankannya penghormatan pada hak-hak non muslim dan segi hakhak perempuan (yang terkadang dianggap sebagai kaum lemah). Al Qur‟an
sebagai sumber hukum utama Islam menyetujui adanya beberapa karakter
pendidikan multikultural yang ada.
Al Qur‟an hadir bersamaan dengan prinsip yang menjadikan dasar
bagi kaidah-kaidah atau sumber-sumber umum yang berlaku, dan ia tidak
memuat prinsip atau dasar-dasar yang saling kontradiktif. Al Qur‟an
senantiasa sejalan dengan perkembangan waktu dan tempat. (Ghazali,
2008: 162). Hal ini termasuk di dalamnya telah disampaikan mengenai
karakter-karakter yang mengisyaratkan tentang multikultikulturalisme.
Dalam konteks ini, Zakiyuddin Baidhawy berpendapat terdapat
tujuh karakteristik pendidikan agama berwawasan multikultural yaitu;
1.
Belajar hidup dalam perbedaan
Pendidikan selama ini lebih diorientasikan pada tiga pilar
pendidikan,
yaitu
menambah
pengetahuan,
pembekalan
keterampilan hidup (life skill), dan menekankan cara menjadi
“orang” sesuai dengan kerangka berfikir peserta didik.
Realitasnya dalam kehidupan yang terus berkembang, ketiga
pilar tersebut kurang berhasil menjawab kondisi masyarakat
yang semakin mengglobal. Maka dari itu diperlukan satu pilar
strategis yaitu belajar saling menghargai akan perbedaan,
sehingga akan terbangun relasi antara personal dan intra
personal. Dalam terminology Islam, realitas akan perbedaan
tak dapat dipungkiri lagi, sesuai dengan Q.S. Al-Hujurat ayat
13 yang menekankan bahwa Allah SWT menciptakan manusia
yang terdiri dari berbagai jenis kelamin, suku, bangsa, serta
interprestasi yang berbeda-beda.
        
       
     
Hai manusia, Sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan
kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu
saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling
taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal. (Tafsir al Misbah, Vol.
13, Hal. 260)
3.
Membangun Saling Percaya (mutual trust) dan saling
pengertian (mutual understanding).
Merupakan konsekuensi logis akan kemajemukan dan
kehegemonikan, maka diperlukan pendidikan yang berorientasi
kepada kebersamaan dan penanaman sikap toleran, demokratis,
serta kesetaraan hak.
Implementasi menghargai perbedaan dimulai dengan sikap
saling menghargai dan menghormati dengan tetap menjunjung
tinggi rasa persatuan dan persaudaraan. Hal tersebut dalam
Islam lazim disebut tasamuh (toleransi).
Ayat-ayat al-Qur‟an yang menekankan akan pentingnya
saling percaya, pengertian, dan menghargai orang lain,
diantaranya ayat yang menganjurkan untuk menjauhi berburuk
sangka dan mencari kesalahan orang lain yaitu Qur‟an Surat
al-Hujurat ayat 12:
           
          
            
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan buruk
sangka (kecurigaan), karena sebagian dari buruk sangka
itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan
janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang
diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya
yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik
kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (Tafsir
Al Misbah, Vol. 13, Hal. 253)
Tidak mudah menjatuhkan vonis dan selalu mengedepankan
klarifikasi (tabayyun) dalam Q.S. al-Hujurat ayat 6 :
           
     
Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu
orang Fasik membawa suatu berita, Maka periksalah
dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah
kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang
menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (Tafsir
Al Misbah, Vol. 13, Hal. 236)
4.
Menjunjung tinggi saling menghargai (mutual respect)
Islam selalu mengajarkan untuk selalu menghormati,
menghargai, dan berkasih sayang terhadap siapapun. Bahkan
terhadap non muslim pun, Allah mengajari manusia melalui Al
Qur‟an yang mulia. Hal ini dapat kita lihat dalam potongan
ayat Allah dalam Al Qur‟an Surat al An‟am ayat 108:
          
          
    
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang
mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan
memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.
Demikianlah Kami jadikan Setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. kemudian kepada Tuhan merekalah
kembali mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka
apa yang dahulu mereka kerjakan. (Q. S. Al An‟am: 108)
Selain itu, Allah juga memberikan penegasan bahwa
setiap manusia diperbolehkan memilih agama yang mereka
yakini dan mereka anggap benar menurut hati mereka.
Mengenai hal ini, Allah juga berfirman dalam Al Qur‟an surah
al Baqarah ayat 256:
    
Tidak ada paksaan untuk (memasuki)
(Islam)..(Tafsir al Misbah, Vol. 1, Hal. 551)
agama
Menurut Roem Rowi, tidak dipaksakannya manusia
untuk kembali bersatu dalam agama yang satu yakni Islam
dikarenakan dua hal, yaitu: pertama, karena agama adalah
keyakinan yang akan memberikan ketenangan dan kepuasan
batin
dan
bahkan
sebaliknya
akan
melahirkan
sifat
kemunafikan yang sangat dibenci oleh Allah SWT. Kedua,
karena telah nyata jalan menuju kebenaran, sebagaimana jalan
menuju kesesatan, sementara manusia telah dilengkapi dengan
perangkat akal. (Muslim, Wahyuninto, 2010: 68).
Firman Allah Qur‟an Surat Ali Imran: 85:
             
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya,
dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi. (Q. S. Al
Imran: 85 )
5.
Terbuka dalam berpikir
Pendidikan seyogyanya memberi pengetahuan baru tentang
bagaimana berfikir dan bertindak, bahkan mengadopsi dan
beradaptasi terhadap kultur baru yang berbeda, kemudian
direspons dengan fikiran terbuka dan tidak terkesan eksklusif.
Peserta didik didorong untuk mengembangkan kemampuan
berfikir sehingga tidak ada kejumudan dan keterkekangan
dalam berfikir. Penghargaan al-Qur‟an terhadap mereka yang
mempergunakan akal, bisa dijadikan bukti representatif bahwa
konsep ajaran Islam pun sangat responsif terhadap konsep
berfikir secara terbuka. Salah satunya ayat yang menerangkan
betapa tingginya derajat orang yang berilmu yaitu Qur‟an Surat
Al Mujaadillah ayat 11 :
        
          
         
  
Hai orang-orang beriman apabila kamu dikatakan
kepadamu: "Berlapang-lapanglah dalam majlis", Maka
lapangkanlah niscaya Allah akan memberi kelapangan
untukmu. dan apabila dikatakan: "Berdirilah kamu", Maka
berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang
yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi
ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha
mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Tafsir Al Misbah,
Vol 14, Hal. 77)
Ayat yang menjelaskan bahwa Islam tidak mengenal
kejumudan dan dogmatisme, hal ini dijelaskan dalam Qur‟an
Surat al-Baqarah ayat 170 yang berbunyi :
            
         

Dan apabila dikatakan kepada mereka: "Ikutilah apa yang
telah diturunkan Allah," mereka menjawab: "(Tidak), tetapi
Kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami". "(Apakah mereka akan
mengikuti juga), walaupun nenek moyang mereka itu tidak
mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?".
(Tafsir al Misbah, Vol. 1, Hal. 381)
6.
Apresiasi dan Interdependensi
Karakteristik ini mengedepankan tatanan sosial yang
care (peduli), dimana semua anggota masyarakat dapat saling
menunjukan apresiasi dan memelihara relasi, keterikatan,
kohesi,
dan
keterkaitan
sosial
yang
rekat,
karena
bagaimanapun juga manusia tidak bisa survive tanpa ikatan
sosial yang dinamis. Konsep seperti ini banyak termaktub
dalam al-Qur‟an, salah satunya Q.S. al-Maidah (5): 2 yang
menerangkan betapa pentingnya prinsip tolong menolong
dalam kebajikan, memelihara solidaritas dan ikatan sosial
(takwa),
dengan
menghindari
tolong
menolong
dalam
kejahatan.
          
       
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)
kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong
dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah
Amat berat siksa-Nya. (Tafsir al Misbah, Vol. 3, Hal.
9)
Redaksi ayat tersebut mengisyaratkan bahwa tolong
menolong yang dapat mengantarkan manusia, baik sebagai
individu atau kelompok, kepada sebuah tatanan masyarakat
yang kokoh dalam bingkai persatuan dan kebersamaan adalah
tolong menolong dalam hal kebaikan, kejujuran dan ketaatan.
7.
Resolusi konflik dan rekonsiliasi nirkekerasan
Konflik dalam berbagai hal harus dihindari, dan
pendidikan harus mengfungsikan diri sebagai satu cara dalam
resolusi konflik. Adapun resolusi konflik belum cukup tanpa
rekonsiliasi,
yakni
upaya
perdamaian
melalui
sarana
pengampunan atau memaafkan (forgiveness). Pemberian
ampun atau maaf dalam rekonsiliasi adalah tindakan tepat
dalam situasi konflik komunal. Dalam ajaran Islam, seluruh
umat manusia harus mengedepankan perdamaian, cinta damai
dan rasa aman bagi seluruh makhluk. Juga secara tegas alQur‟an menganjurkan untuk memberi maaf, membimbing
kearah kesepakatan damai dengan cara musyawarah, duduk
satu meja dengan prinsip kasih sayang. (Baidhawy, 2005: 84)
Hal tersebut terdapat dalam Qur‟an Surat asy-Syuura
ayat 40 yang berbunyi :
           
    
Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang
serupa, Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik
maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya
Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim. (Dahlan, al
Farisi, 2009)
Apabila terjadi perselisihan, maka Islam menawarkan
jalur perdamaian melalui dialog untuk mencapai mufakat. Hal
ini tidak membedakan ras, warna kulit, etnik, kebudayaan dan
bahkan agama.
Kesadaran terhadap kehidupan yang multikultural pada akhirnya
akan menjelma menjadi suatu kesatuan yang harmonis yang memberi
corak persamaan dalam spirit dan mental. Untuk memperoleh keberhasilan
bagi terealisasinya tujuan mulia yaitu perdamaian dan persaudaraan abadi
di antara orang-orang yang pada realitasnya memang memiliki agama dan
iman berbeda, perlulah kiranya adanya keberanian mengajak pihak-pihak
yang
berkompenten
melakukan
pendidikan terutama sekali
perubahan-perubahan
melalui
kurikulumnya
di
bidang
yang berbasis
keanekaragaman.
Pada awal memulai kehidupan di Madinah, langkah pertama yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW adalah menyatukan masyarakat
Madinah dan sekitarnya yang terdiri dari beberapa suku dan agama.
Langkah strategis ini telah melahirkan beberapa kesepakatan atau
perjanjian yang biasa disebut “piagam madinah” yang meletakkan dasardasar kehidupan berbangsa dan bernegara bagi masyarakat majemuk.
Dalam piagam madinah tersebut diatur hubungan antara sesama manusia
atau pun sesama anggota komunitas Islam, dan antar anggota komunitas
Islam satu dengan yang lainnya.
Piagam madinah tersebut berisi; pertama, masyarakat Muslim dan
Yahudi hidup berdampingan dan bebas menjalankan agamanya masingmasing, kedua, Apabila salah satu diperangi musuh yang lainnya
membantu,
dan ketiga, Apabila terjadi perselisihan penyelesaiannya
diserahkan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai pemimpin tertinggi.
(As‟ad, Nursahad, 2009: 26).
Nabi Muhammad selalu mengajarkan untuk selalu menghormati
dan menghargai orang lain, baik dari golongan yang berbeda atau bahkan
agama yang sama sekali berbeda. Terlihat pada isi piagam di atas, bahwa
Islam mengajarkan kebaikan kepada setiap manusia. Islam sangat
menjunjung dan menghargai setiap Hak Asasi Manusia (HAM).
Dalam pandangan Islam yang berperan sebagai wahyu, ajaran,
serta nilai, tidak dipungkiri bahwa Islam adalah agama yang begitu toleran
dan merupakan rahmat bagi semesta alam. Ajaran-ajaran Islam menuntun
manusia untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Menghormati setiap hak asasi manusia, berjalan bersama, dan saling
tolong menolong dalam kebaikan.
Kini saatnya para pemeluk semua agama mengembangkan tafsir
baru atas wahyu yang mereka yakini yang termaktub dalam kitab suci
masing-masing, yaitu suatu tafsir fungsional bagi proyk kemanusiaan dan
keadilan bagi semua orang di luar batas kepemelukan dan paham
keagamaan. Perolehan janji surgawi tak hanya dilihat dari ketaatan ritual,
tetapi juga dari kepedulian terhadap si tertindas, miskin, dan menderita.
Ukuran utama keagamaan dilihat dari keikhlasan dan kejujuran membela
mereka yang tertindas, miskin, dan menderita tanpa melihat kepemelukan
dan paham keagamaan. (Mulkhan, 2007:319)
Oleh karena itu, misi suci dari semua agama perlu dikembangkan
bagi sebuah proyek kemanusiaan, bukan penundukan semua manusia
hanya pada agama yang dipeluknya sendiri. Dari sini, peradaban dunia
bisa berharap pada keagamaan dan menempatkannya sebagai pelindung.
Keagamaan baru di atas akan menampilkan Tuhan dan agama-Nya di
dalam wajah yang lebih ramah dan manusiawi. Ketinggian keagamaan dan
perolehan atas janji surgawi Tuhan bagi seseorang tidak semata-mata
dilihat dari ketaaatan formal atas kontruksi ajaran konservatif. Janji Tuhan
akan diberikan kepada mereka yang dengan penuh keikhlasan dan
kesungguhan membebaskan seluruh umat manusia dengan segala bentuk
kepercayaan keagamaan dari segala macam penderitaan. (Mulkhan, 2007:
319-320).
Pendidikan multikultural memegang peranan penting dalam
mewujudkan cita-cita mengenai kehidupan damai yang diimpikan bangsa
yang plural ini. Kehidupan yang bernuansa keimanan dan ketakwaan
terhadapa Tuhan Yang Maha Esa. Pendidikan multicultural bertugas
mensosialisasikan dan menanamkan nilai-nilai kemajemukan sebagai
suatu kazanah keilmuan yang harus diterima dan dipelajari oleh setiap
peserta didik.
Paradigma tentang pendidikan multikultural dan upaya-upaya
untuk penerapannya di Indonesia kini mendapat perhatian yang semakin
besar karena relevansi dan urgensinya yang tinggi. Pengembangan
pendidikan
multikultural
tersebut
diharapkan
dapat
mewujudkan
masyarakat multikultural, yaitu suatu masyarakat yang majemuk dari latar
belakang etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai tekad
dan cita-cita yang sama dalam membangun bangsa dan negara.
3. Urgensi Pendidikan Multikultural
Untuk mewujudkan multikultualisme dalam dunia pendidikan, maka
pendidikan multikultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum
nasional, yang pada akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat
Indonesia yang multicultural, serta upaya-upaya lain yang dilakukan guna
mewujudkannya.
Choirul
Mahfud
(2006)
berpendapat
ada
beberapa
urgensi
pendidikan multicultural jika melihat keberagaman yang ada di Indonesia,
antara lain:
1. Sebagai sarana alternatif pemecahan konflik
Penyelenggaraan
pendidikan
multicultural
di
dunia
pendidikan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan
disharmonisasi yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap
terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural.
Dengan kata lain, pendidikan multicultural dapat menjadi sarana
alternatif pemecahan konflik sosial budaya. (Mahfud, 2006: 208)
Pendidikan
merupakan
alat
yang
strategis
dalam
mengembangkan visi dan misi pendidikan multikultural. Melalui
pendidikan berbasis multikultural, diharapkan para pendidik
dapat membantu internalisasi nilai-nilai multikulturalisme dalam
diri masing-masing anak didik. Ketika peserta didik telah sampai
kepada pemahaman dan penghayatan mengenai nilai-nilai
multiculturalisme, peserta didik diharapkan mampu mengubah
sikap (bagi yang menafikkan adanya setiap perbedaan), sebagai
wujud pengimplementasian nilai-nilai multikulturalisme yang
sudah disampaikan oleh masing-masing pendidik.
Sebab, pendidikan tetap masih akan dikatakan gagal apabila
ia belum mampu membawa perubahan. Pendidikan harus mampu
mengubah terma-terma yang mendoktrin peserta didik, sehingga
diharapkan peserta didik dapat merubah perilaku mereka menjadi
lebih baik. Tugas seorang pendidikan tidak hanya sebatas
menyampaikan materi saja, namun harus memenuhi lingkup
ketiganya, yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik.
2. Supaya Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik,
pendidikan multikultural juga signifikan dalam membina siswa
agar tidak tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya,
tatkala dia berhadapan dengan realitas sosial-budaya di era
globalisasi. (Mahfud, 2006: 210)
Melalui pendidikan multikultural, peserta didik tidak akan
mudah terpengaruh dengan arus global yang terkadang
membawa
budaya
baru
yang
akan
berdampak
pada
perkembangan setiap peserta didik. Dengan maksud, peserta
didik mampu mengelola budaya-budaya “asing” agar tidak
menjadi
dampak
yang
negative
bagi
dirinya
maupun
lingkungannya.
Beragamnya budaya yang beradu, tidak menjadikan
limpung. Peserta didik akan dapat memilah-memilah budaya
yang masuk setelah mereka memahaminya.
3. Sebagai landasan pengembangan kurikulum nasional
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik
tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan
sejumlah materi dan isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa
dengan ukuran atau tingkatan tertentu, pendidikan multikultural
sebagai landasan pengembangan kurikulum menjadi sangat
penting. (Mahfud, 2006:214)
4. Menuju masyarakat Indonesia yang multikultural
Dalam masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak
masyarakat Indonesia yang bhinneka tunggal ika ini bukan hanya
dimaksudakan
pada
keanekaragaman
suku
bangsa
saja,
melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada dalam
masyarakat
Indonesia
secara
keseluruhan.
Eksistensi
keberagaman kebudayaan tersebut selalu dijaga/terjaga yang bisa
tampak dalam sikap saling menghargai, menghormati, toleransi
antar satu kebudayaan dengan kebudayan lainnya. Dalam
konteks ini ditegaskan, bahwa perbedaan bukan menjadi
penghalang untuk bersatu padu meraih tujuan dan mewujudkan
cita-cita dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila. (Mahfud, 2006:227).
Keragaman merupakan hasil penciptaan Tuhan yang
disengaja, DIA menghendaki setiap perbedaan yang ada (lihat
Q.S. al Maidah ayat 48).
Keragaman sosial, baik dalam kelompok budaya maupun
pemikiran (perbedaan pendapat) merupakan sunnatullah yang
wajib kita syukuri. Selanjutnya, tinggal bagaimana caranya
mengembangkan langkah yang bijak dalam menyikapi perbedaan
tersebut secara arif.
Menurut
Nizar
(2005),
wacana
membangun
pemahaman
multikultural dalam bingkai pendidikan yang dikembangkan merupakan
suatu yang urgen, bukan saja terhadap umat antar agama, tetapi juga
terhadap sesama intern umat (lintas budaya) dalam suatu agama. Dalam
hal ini, ada baiknya dipikirkan alternatif yang dapat ditawarkan dan perlu
dikembangkan di tengah-tengah masyarakat yang majemuk dalam upaya
membangun kerangka pendidikan multikultural, yaitu: (1) Menjamin
keselamatan fisik dari tindakan di luar hukum. (2) Memberikan
kesempatan kepada komunitas untuk membangun pola budaya yang
heterogen, tanpa melakukan intimidasi dan pemaksaan budaya. (3)
Menjamin
kebebasan
berkarya,
dan
berprestasi.
(4)
Menjamin
terbangunnya harmonisasi antar kultur untuk hidup berdampingan, tanpa
perlu merasa yang paling benar dan menganggap kultur lainnya tidak
benar. (5) Menjamin terpeliharanya keutuhan dan hak hidup dalam
interaksi kemanusiaan.
Dari wacana di atas, terlihat jelas demikian urgennya pendidikan
multikultural bagi umat manusia. Dalam hal ini, pemahaman positif
terhadap wacana pendidikan multikultural merupakan suatu keharusan,
bukan saja karena tuntutan objektif dari realitas kehidupan modern, karena
wacana pluralisme budaya merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari
ajaran agama Islam sebagai pembawa nilai-nilai rahmatan lil„alamin.
Hanya saja, dalam konteks ini pendidikan multikultural perlu dibatasi
hanya menyangkut persoalan peradaban umat manusia dan kehidupan
sosial (human relation) antar umat beragama yang tidak bertentangan
dengan “titah” Allah (akidah). (Nizar, 2005: 227-228).
Setiap individu tidak berhak mengatur, mencampuri, atau bahkan
memaksa orang lain untuk mengikuti sebuah ajaran atau agama yang
dianggapnya paling benar. Karena, setiap individu atau kelompok
mempunyai
ritus-ritus
suci
tersendiri
dalam
mengekspresikan
keberagamaannya dalam mencapai kesalehan individu terhadap Tuhannya.
Untuk mencapai kepada kehidupan yang damai, manusia dituntut mampu
menjadikan dirinya sebagai manusia yang saleh, tidak hanya individu
(dengan Tuhannya) tetapi juga saleh secara sosial.
Dasar ini dapat dilihat dengan tegas pada QS. Al-Kafirun ayat 6:
    
...untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku. (Tafsir Ibnu
Katsir, Vol. 4, Hal. 1062)
Quraish Shihab dalam bukunya yang berjudul Wawasan Al Qur‟an
menjelaskan bahwa al Qur‟an menganjurkan manusia agar mencari titik
temu lebih-lebih antar pemeluk agama. Al Qur‟an menganjurkan agar
dalam interaksi sosial, bila tidak ditemukan persamaan hendaknya masingmasing mengakui keberadaan pihak lain, dan tidak perlu saling
menyalahkan (al Imran ayat 64). (Shihab, 1999: 357)
Membiarkan yang lain hidup dengan nafas masing-masing. Saling
mengakui dan menghargai setiap perbedaan yang ada. Memberikan ruang
kebabasan terhadap siapa saja yang membutuhkannya.
4. Tujuan Pendidikan Multikultural
Berdasarkan setiap uraian yang disampaikan oleh para pakar
mengenai pendidikan multikultural, dapat dirumuskan beberapa tujuan
diusulkannya pendidikan yang berbasis multikulturalisme. Pendidikan
mutikultural mempunyai tujuan sebagai berikut:
a. Menanamkan kesadaran akan keragaman (plurality), kesetaraan
(equality), kemanusiaan (humanity), keadilan (justice), dan nilai-
nilai demokrasi (demokration values) yang dibutuhkan oleh setiap
individu maupun kelompok masyarakat.
Peserta
didik
diharapkan
mampu
menerima
setiap
perbedaan yang ada, memahami, dan menyikapinya secara arif.
Minimal peserta didik dapat menyikapi perbedaan yang sederhana
seperti yang sering mereka temui di bangku sekolah. Seperti kelas
ekonomi, kelas sosial, perbedaan warna kulit, bahasa, atau bahkan
bagi penyandang disabilitas yang kadang dimasukkan ke dalam
kaum minoritas.
Setelah itu, peserta didik akan dapat menjunjung tinggi
hak-hak kemanusiaan. Memuliakan manusia sebagai ciptaan
Tuhan
yang
paling
sempurna.
Menjadikan
semuanya
berkedudukan sama, sederajat, dan berlaku adil terhadap semua
golongan. Hal-hal tersebut sudah termasuk kedalam nilai-nilai
demokrasi. Ditegaskan oleh Haqqul Yaqin (2009) bahwa esensi
yang diajarkan dalam berdemokrasi adalah asas kedaulatan rakyat,
penghormatan hak-hak asasi manusia, serta keadilan sosial.
(Yaqin, 2009:76).
b. Membangun Paradigma keberagamaan Inklusif
Paradigma keberagamaan yang inklusif berarti lebih
mementingkan dan menerapkan nilai-nilai agama daripada hanya
melihat dan mengagungkan simbol-simbol keagamaan. Paradigma
pemahaman keagamaan aktif sosial berarti agama tidak hanya
menjadi alat pemenuhan kebutuhan rohani secara pribadi saja.
Akan tetapi yang terpenting adalah membangun kebersamaan dan
solidaritas bagi seluruh manusia melalui aksi-aksi sosial yang
nyata yang dapat meningkatkan kesejahteraan umat manusia.
(yaqin, 2005: 31).
Melalui Al Qur‟an, Allah mengajarkan kepada hambahambaNya untuk selalu menghargai setiap hak manusia, termasuk
hak dalam beragama. Al Qur‟an mengajarkan sikap inklusif dalam
beragama, yakni Islam melarang adanya paksaan terhadap
keberagamaan seseorang. Seseorang bebas memilih agama ini
(Islam) atau agama lain. Allah SWT berfirman:
            
    
Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman
semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka Apakah
kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi
orang-orang yang beriman semuanya ? (Tafsir Ibnu Katsir,
Vol 2, Hal. 276)
Munculnya sekelompok umat Islam yang menolak adanya sikap
pluralism, multikulturalisme, toleransi disebabkan karena kurangnya
pengetahuan dan wawasan tentang tujuan, semangat, dan esensi din (ajaran
Islam). Lebih-lebih sikap ekstrimisme, kekakuan, dan kebekuan dalam
ber-Islam, menunjukkan kedangkalan pengetahuan dan wawasan agama
dan sosialnya. Indikasi ekstrimisme adalah fanatisme dan sikap tidak
toleran. (Maksum, 2011:218)
Zuhairi Misrawi dalam bukunya Al Qur‟an Kitab Toleransi (2007)
menegaskan bahwa, Tuhan tidak menghendaki kejahatan dan kekerasan.
Sebab keduanya hanya akan meninggalkan luka dan duka. Manusia
diciptakan Tuhan bukan untuk menebarkan kekerasan dan kejahatan,
melainkan untuk menebarkan kebahagiaan dan kedamaian. Karena itu,
tidak ada jalan lain kecuali berusaha menjadikan iman dan amal saleh
sebagai basis toleransi. Iman dan amal saleh harus mampu membangun
kesadaran kolektif, bahwa untuk hidup rukun landasan paradigmatiknya
adalah iman dan amal saleh. Keduanya tidak bisa dipisahkan antara satu
dengan yang lain. iman dan amal saleh pada akhirnya harus mampu
menerjemahkan ajaran toleransi di antara sesama makhluk Tuhan. Artinya,
iman seseorang tidak bermakna apa-apa bilamana tidak membangun
kepekaan sosial, terutama dalam rangka mengatasi konflik yang pada
umumnya mengatasnamakan iman.
Spiritualitas agama yang sering dieksplorasi orang, serigkali hanya
berbicara
dalam
tema-tema
individual,
padahal
spiritualitas
(keberagamaan) yang matang dan sejati juga tidak lepas dari sifat
sosialnya. Karena itu, mengfungsikan kembali aspek sosial agama,
menuntut penafsiran baru yang sesuai dengan masalah sosial yang
kekinian: yaitu melalui suatu penafsiran teologi transformatif, yang
berangkat dari kondisi-kondisi psikologis menuju ke arah analisis sosial-
transformatif dalam rangka memperjuangkan tegaknya keadilan (sebagai
iman yang adil). (Rachman, 2001:331)
Oleh sebab itu, untuk sampai kepada masyarakat yang rukun dan
damai, seseorang dituntut untuk mempelajari agamanya melalui esensi
yang terkandung dalam setiap agama yang dipeluknya. Karena sejatinya,
setiap agama mengajarkan kebaikan dan kebijaksanaan dalam menjalani
kehidupan yang penuh perbedaan ini.
Sikap tidak menerima akan perbedaan akan berakibat menimbulkan
sikap kekakuan dalam beragama atau sikap “ekstrim”. Ektrimisme sering
tampak pada orang yang selalu menolak untuk mengubah atau
mempertimbangkan
pendapat
orang lain.
Berpegang teguh
pada
prasangka-prasangka dan kekakuan dalam beragama. Hal ini akan menjadi
lebih berbahaya ketika ada ungkapan bahwa dirinyalah satu-satunya yang
berada dalam kebenaran.
5. Membangun Sikap Sensitif Gender
Dalam kehidupan sosial, baik pria maupun wanita mempunyai hak
yang sama. Perannyalah yang berbeda sesuai kodrat yang dimiliki masingmasing.
Maksum (2011) berpendapat, persepsi masyarakat tentang peran
laki-laki dan perempuan terbangun melalui proses internalisasi budaya
laki-laki. Oleh karena itu, pandangan tentang gender tidak terlepas dari
dominasi budaya laki-laki. Bahkan budaya dominasi laki-laki tidak hanya
memengaruhi perilaku masyarakat saja, tetapi penafsiran terhadap teksteks agama pun (Al Qur‟an dan Hadits khususnya yang berkaitan dengan
gender) juga tidak luput dari dominasi budaya laki-laki. Sehingga hal itu
mengakibatkan, sering kali dalil-dalil agama dijadikan dalih untuk
menolak kesetaraan gender. Bahkan dalil-dalil agama dijadikan referensi
untuk melanggengkan pembagian kerja berdasarkan jenis kelamin. Seolaholah kaum lelaki ditakdirkan berkiprah di wilayah public dan perempuan
di wilayah domestic. Pemahaman agama yang demikian, mengendap di
alam bawah sadar perempuan yang berlangsung sedemikian lama,
sehingga melahirkan kesan seolah-olah perempuan memang tidak pantas
sejajar dengan laki-laki. Padahal salah satu tema pokok dalam ajaran Islam
adalah persamaan antara manusia, baik laki-laki dan perempuan, maupun
antar bangsa suku dan keturunan. Perbedaan yang digarisbawahi dan
menentukan tinggi rendahnya kedudukan manusia hanyalah nilai
pengabdian dan ketakwaannya di sisi Allah SWT. Demikian juga
kedudukan perempuan dalam pandangan ajaran Islam tidak sebagaimana
yang diduga dan dipraktikkan oleh masyarakat. Al Qur‟an sangat
memberikan perhatian dan penghormatan yang besar kepada perempuan.
(Maksum, 2011:258).
Mengenai asal kejadian perempuan, Islam melalui Al Qur‟an begitu
tegas menerangkan bahwa perempuan dan laki-laki berasal dari satu hal
yang sama. Allah berfirman dalam surah an-Nisa‟:
         
….       
Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang
telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya
Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah
memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang
banyak… (Dahlan, Al Farisi, 2009: 127)
Demikianlah al Qur‟an menolak pandangan-pandangan yang
membedakan antara laki-laki dan perempuan dengan menegaskan bahwa
keduanya berasal dari satu jenis yang sama dan bahwa dari keduanya
secara bersama-sama Tuhan mengembangbiakkan keturunannya baik lakilaki maupun perempuan.
Dalam literatur lain, Achmaduddin merumuskan konsep dan tujuan
pendidikan multikultural dalam ranah yang lebih sempit. Yaitu pendidikan
dalam lingkup keagamaan saja. Menurutnya, konsep pendidikan agama
berwawasan multikultural mencakup: (1) pendidikan agama berwawasan
multikultural bertujuan untuk memperkuat keyakinan agama masingmasing dan mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan. Pada saat yang
sama menekankan penghayatan nilai-nilai sosial yang bersumber dari
agama dan mendorong sikap toleransi dan saling menghargai antar
pemeluk agama yang berbeda, serta kerjasama dalam menyelesaikan
persoalan diberbagai aspek kehidupan sebagai bentuk pengamalan ajaran
agama. (2) pendidikan agama berwawasan multikultural menghargai
keragaman agama, budaya, etnis, dan bahasa dengan tetap berprinsip pada
agama masing-masing. (3) pendidikan agama berwawasan multikultural
merupakan upaya penyampaian pesan-pesan nilai-nilai multikultural
melalui kurikulum pendidikan agama yang sudah ada. (4) pendidikan
agama berwawasan multikultural pada hakekatnya upaya penafsiran ulang
terhadap teks-teks suci yang ada sebagai perwujudan kepedulian agama
terhadap realitas sosial.
Masih menurut Achmaduddin, ia bependapat bahwa pendidikan
agama berwawasan multicultural mempunyai beberapa tujuan, antara lain:
(1) menanamkan keyakinan yang kokoh peserta didik dalam mengamalkan
ajaran agama dalam kehidupan; (2) menekankan penghayatan nilai-nilai
sosial yang bersumber dari ajaran agama dan pada saat yang bersamaan
mendorong sikap toleransi, empati, simpati dan saling menghargai antar
pemeluk agama yang berbeda, serta kerjasama dalam menyelesaikan
persoalan di berbagai aspek kehidupan sebagai wujud pengamalan ajaran
agama; (3) menghargai keragaman agama, budaya, etnis dan bahasa
dengan tetap berprinsip pada ajaran agama masing-masing; dan (4)
menyampaikan pesan-pesan nilai multikultural melalui kurikulum
pendidikan agama. (Achmaduddin, 2006:42-51).
Pendidikan multikultural menyimpan potensi besar dalam upaya
mewujudkan kehidupan masyarakat yang ideal. Masyarakat yang sarat
dengan nilai-nilai Al Qur‟an sebagai rahmat bagi semua umat manusia.
Ali Nurdin (2006), menyimpulkan mengenai ciri-ciri khusus masyarakat
ideal yang tersirat dalam Al Qur‟an, yaitu; Musyawarah, Keadilan,
Persaudaraan, dan Toleransi. (Nurdin, 2006: 225-294).
Dalam hal menyatukan segala sesuatu yang berbeda diperlukan
musyawarah atau dialog antara satu dengan yang lain, bersikap adil serta
saling menghormati. Karena semua manusia hakikatnya merupakan
saudara, memupuk “rasa saling” yang dapat mempererat persaudaraan
individu, golongan, seagama, serta antar agama.
B. Analisis Pendidikan Multikultural dalam QS al Hujurat Ayat 9-13
Islam sebagai agama rahmatan li al‟alamin memberikan penyelesaian
mengenai perbedaan melalui al Qur‟an yang mulia. Perbedaan di sini tidak
sekedar dalam perbedaan budaya yang bermakna sempit. Budaya dalam arti
luas telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya. Banyak budaya yang
berbeda di negara kita tercinta ini.
Namun, dapat diperluas mengenai perbedaan yang ada pada setiap
individu. Suku, ras, bahasa, agama, dan sampai kepada pengkelasan bagianbagian tertentu. Seperti perbedaan kelas sosial dan kelas ekonomi yang
menyebabkan perpecahan. Padahal Allah SWT tidak pernah memandang
sejauh itu mengenai kedudukan seluruh umat manusia di bumi. Orang-orang
yang paling mulia di sisi Allah hanyalah mereka yang bertakwa.
Dengan
menggunakan
sekaligus
mengimplementasikan
strategi
pendidikan yang memiliki visi dan misi di dalamya yaitu, selalu menegakkan
keadilan dan selalu menghargai pluralisme, demokrasi, dan humanisme,
diharapkan siswa dapat menjadi generasi yang menjunjung tinggi moralitas dan
mempunyai kepedulian terhadap kelimpungan sosial dalam masyarakat. Selain
itu, para peserta didik diharapkan mampu mengemban amanah sebagai kholifah
fil ardl, tidak membeda-bedakan antara yang satu dengan yang lain dan
bersikap adil terhadap semua manusia.
Dalam QS. Al Hujurat ayat 9, Allah menyuruh manusia untuk melerai
kemudian mendamaikan apabila ditemukan dua golongan orang-orang yang
beriman melakukan peperangan. Mendamaikan antara keduanya dengan
keadilan dan kejujuran, tanpa memihak kepada salah satu pihak. Memerangi
mereka yang memerangi terlebih dahulu, berarti harus menyelesaikan masalah
berdasarkan pemahaman duduk permasalahannya, sehingga tahu mana yang
harus dihukumi dan mana yang harus dibela (tidak dihukumi). Tidak langsung
men-judgement sepihak, menghakimi, menuding, bahkan membunuh. Allah
mengajarkan untuk selalu bersikap jujur dan adil terhadap siapapun.
Kemudian, ayat ini diakhiri dengan kalimat sesungguhnya Allah menyukai
orang-orang yang berlaku jujur.
Dalam Qur‟an Surah al Maidah ayat 8 Allah berfirman:
         
           
        
Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu Jadi orang-orang
yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi
dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu
kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah,
karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada
Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu
kerjakan. (Tafsir al Misbah, Vol. 3, Hal. 41)
Pada ayat 10 dijelaskan bahwa, semua orang yang mempunyai iman
adalah bersaudara. Allah mengulangi kalimat-Nya untuk mendamaikan antar
saudara dan menyuruh manusia untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya agar
senantiasa mendapat curahan rahmat dari-Nya.
Penulis berpendapat bahwa orang-orang yang dianggap saudara tidak
hanya karena agama saja (saudara seagama), melainkan persaudaraan bisa juga
terjadi antara pemeluk agama yang berbeda. Allah memperjelas persaudaraan
seagama dalam Al Qur‟an jika memang yang dimaksud demikian. Misal pada
ayat berikut:
        
jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat,
Maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama. (Dahlan,
Al Farisi, 2009: 255)
Jelaslah bahwa ayat tersebut di atas ditujukan kepada semua
manusia. Muslim maupun non Muslim, esensinya mereka adalah bersaudara.
Ayat 11 menjelaskan, karena semua yang beriman merupakan saudara,
Allah melarang untuk saling menghina antara satu dengan yang lain. Baik lakilaki atau pun perempuan, tidak ada dasar yang membedakan antar keduanya
selain takwa. Belum tentu yang menghina atau yang mengolok-olok lebih baik
dari yang diolok-olok. Melalui al Qur‟an, Allah melarang manusia memberi
gelar atau sekedar memanggil dengan panggilan yang buruk terhadap manusia
lainnya.
Pada ayat 12, Allah menyuruh manusia untuk menjauhi prasangkaprasangka terhadap sesama dan agar tidak mencari-cari keburukan orang lain.
Selain itu, Allah juga melarang sebagian manusia dalam mempergunjingkan
sebagian yang lain. Hal tersebut diumpamakan seperti memakan bangkai
saudaranya. Bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah itu Maha
Menerima taubat dan Maha Kekal rahmat-Nya.
Pada ayat yang terakhir, ayat 13, Allah menegaskan bahwa laki-laki dan
perempuan merupakan makhluk yang sama. Allah meletakkan sejajar dengan
berurutan. Kemudian menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku
dengan tujuan agar mereka saling mengenal (dengan baik) satu sama lain.
Tidak ada perbedaan derajat di muka bumi di sini. Hanyalah orang yang
bertakwa yang paling mulia di sisi-Nya.
Ayat di atas menegaskan kesatuan asal usul manusia dengan
menunjukkan kesamaan derajat kemanusiaan manusia. Seseorang tidak pantas
merasa diri lebih tinggi dari yang lain, tidak hanya antar satu bangsa, suku, atau
warna kulit dengan selainnya, tetapi termasuk di dalamnya antar jenis kelamin.
Penjelasan lebih luas telah penulis sampaikan pada bab sebelumnya.
Melalui Al Qur‟an, Allah SWT mengajarkan kepada manusia untuk
selalu berbuat baik terhadap sesama. Memupuk persatuan dalam perbedaan.
Menyikapi
perbedaan
dengan
sikap
kearifan,
memaknainya
sebagai
sunnatullah. Karena, perbedaan setiap individu yang tidak dikemas dengan
rapih akan berpotensi menimbulkan banyak konflik.
Nilai-nilai multikulturalisme yang terdapat dalam QS Al Hujurat ayat 913 adalah:
a. Memupuk Persaudaraan dalam Perbedaan
Tiap-tiap manusia yang beriman merupakan saudara. Baik
antar pemeluk agama yang sama maupun antar pemeluk agama
yang berbeda. Masing-masing individu memiliki semangat (spirit)
tersendiri
dan
juga
memiliki
jalan
tersendiri
dalam
mengekspresikan spirit-nya tersebut. Namun, semuanya bermuara
pada satu tujuan, yaitu kedamaian yang bersifat absolute.
b. Saling Menghargai dan Saling Menghormati
Salah satu alasan diciptakannya manusia dalam keadaan
yang berbeda-beda, bisa jadi karena Allah ingin menguji setiap
hamba-Nya. Apakah manusia tersebut bersikap acuh terhadap
sesamanya ataukah sebaliknya.
c. Menjauhkan Diri dari Prasangka
Islam menuntun manusia untuk senantiasa menjaga
kebersihan hati dan lisan dari prasangka-prasangka buruk dan
kebiasaan manusia mencerca, mengumbar aib orang lain di depan
umum. Allah secara tegas melarang manusia untuk saling
menggunjing antara satu dengan yang lain, ataupun antar golongan
satu dengan golongan yang lain.
Selain diumpamakan seperti memakan daging saudaranya
yang sudah meninggal, menurut syeikh Muhammad Nawawi,
dalam kitab bidayatu hidayah menggunjing juga dikatakan lebih
hina daripada tiga puluh kali berzina.
d. Bersikap Terbuka
Dengan adanya perbedaan disetiap individu maupun
golongan tertentu, peluang untuk fastabiqul khoirot (berlombalomba
dalam
kebaikan)
semakin
terbuka
lebar.
Saling
mengingatkan dan saling tolong menolong dalam kebaikan.
Menjelaskan apabila ada kesalahpahaman, mengkonfirmasi untuk
menghindari prasangka-prasangka yang mungkin akan memancing
timbulnya permusuhan.
e. Menumbuhkembangkan Sikap Inklusif
Sikap menerima, menghargai, atau menghormati terhadap
sesama harus ditancapkan dalam hati setiap peserta didik. Melalui
hal ini, diharapkan peserta didik akan mampu menyampaikan
pesan-pesan damai melalui tingkah laku mereka sehari-hari.
f. Membangun Sikap Toleransi
Sikap toleransi sangatlah penting dalam kehidupan
bermasyarakat. Sikap toleransi mengakui perbedaan dan sikap siap
menerima bahwa orang lain berbeda dengan kita. Sehingga, dapat
membuka peluang untuk hidup berdampingan, saling memberi
peluang untuk menjadi manusia yang bermanfaat bagi manusia
lainnya. Naim dan Sauqi (2010) memberikan pengertian, toleransin
adalah kemampuan untuk menghormati sifat dasar, keyakinan, dan
perilaku yang dimiliki oleh orang lain.
Dalam literatur agama Islam, toleransi disebut dengan
tasamuh yang dipahami sebagai sifat atau sikap menghargai,
membiarkan, atau membolehkan pendirian (pandangan) orang lain
yang bertentangan dengan pandangan kita.
g. Meningkatkan Ketakwaan Terhadap Allah SWT
Takwa di sini meliputi tiga aspek yaitu, hablun min Allah,
hablun min annas, dan hablun min al‟alam. Implementasi dari
takwa itu sendiri sangatlah luas, tataran vertical menyangkut
peribadatan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan tataran
horizontalnya yaitu bagaimana manusia bersikap arif terhadap
kemajemukan sosial dan melestarikan karunia Allah yaitu alam
semesta. Allah menjanjikan “piala” menjadi manusia paling mulia
di sisi-Nya bagi mereka yang benar-benar mengamalkan nilai
takwa, baik secara vertical maupun horizontal. Hal ini menjadikan
manusia berlomba-lomba untuk menjadikan dirinya layak menjadi
manusia paling mulia.
Pendidikan di Indonesia, khususnya pendidikan Islam, masih dinilai
gagal dalam melaksanakan tugasnya. Mengenai pengertian pendidikan Islam,
Achmadi (1987) berpendapat, pendidikan Islam adalah segala usaha untuk
mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insan menuju terbentuknya
insan kamil sesuai dengan norma Islam. Yang dimaksud insan kamil ialah
muttaqin yang terefleksikan dalam perilaku baik, dalam hubungannya dengan
Tuhan, dengan sesama manusia maupun dengan alam sekitarnya. (Achmadi,
1987:10).
Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menjunjung tinggi
HAM (Hak Asasi Manusia) dan berjalan dengan nafas demokrasi serta
menghargai setiap perbedaan yang ada. Sistem pendidikan yang menghargai
setiap perbedaan, bersikap adil terhadap semua golongan.
Penulis menyimpulkan bahwa “spirit” untuk mewujudkan pendidikan
multikultural, paling tidak ada tiga pilar yang harus dilalui. Pertama adalah
dialog
(dalam
Islam
bisa
disebut
musyawarah).
Dalam
pendidikan
multikultural, semuanya dianggap sama. Tidak ada yang lebih unggul antara
satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain. Dialog dapat dijadikan jalan
bagi masing-masing budaya untuk menyumbangkan pikiran yang ada pada
setiap kebudayaan. Melalui dialog pula akan ditemukan titik temu (kalimatun
sawa‟) antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda. Karena sesungguhnya,
kebudayaan manusia memiliki nilai-nilai yang sama. Dialog diharapkan dapat
menemukan titik perbedaan dan persamaan yang ada.
Kedua yaitu menjunjung tinggi HAM. Bahwasannya, setiap menusia
memiliki hak-hak yang harus terpenuhi. Apabila titik temu tidak ditemukan
atau berarti berseberangan, maka jangan memaksakan kehendak sendiri.
Pendidikan multikultural menghormati setiap hak yang harus diterima oleh
semua manusia.
Terakhir yaitu toleransi. Toleransi merupakan sikap menerima bahwa
orang lain berbeda denga kita. Pendidikan multikultural mengharapkan
kehidupan yang damai, berjalan bersama meskipun terdapat banyak perbedaan.
Saling memberikan kebebasan untuk mengekspresikan kebudayaan masingmasing.
Namun, pendidikan multikultural pada saat ini masih menjadi cita-cita
bersama. Mengingat pentingnya pendidikan multikultural pada saat ini, penulis
beranggapan bahwa pendidikan multikultural tidak harus disajikan melalui
semua mata pelajaran yang disampaikan dan tidak harus merubah seluruh
kurikulum pendidikan yang sudah ada. Pendidikan multikultural bisa
dimasukkan kedalam mata pelajaran tertentu, seperti mata pelajaran
kewarganegaraan dan Pendidikan Agama Islam.
Al Qur‟an yang mulia pun mengajarkan nilai-nilai multikulturalisme
melalui kalimat-kalimatnya. Bukankah Allah sendiri yang menghendaki
adanya perbedaan, kemudian Allah pula yang menciptakan manusia dengan
sebaik-baik ciptaan (QS. At-Tiin: 4). Maka dari itu, manusia harus saling
mengerti dan memuliakan, tidak boleh saling merendahkan antara satu dengan
yang lain. Bukankah bisa jadi mereka yang kita rendahkan lebih baik dari kita
(QS al Hujurat: 11)?. Penulis berharap hal ini akan segera menjadi renungan
bersama pada umumnya dan para pemikir pendidikan pada khususnya.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Al Qur‟an sebagai kitab yang mengandung nilai-nilai universal,
penyempurna kitab-kitab sebelumnya, dan penuntun bagi semua umat
manusia juga telah menjelaskan mengenai keanekaragaman yang
memang dikehendaki oleh Allah. Allah menciptakan manusia berjenis
laki-laki dan perempuan, dan menjadikannya berbangsa-bangsa, dan
bersuku-suku, supaya mereka saling mengenal dengan baik antara satu
dengan yang lain (QS. Al Hujurat 13). Orang yang beriman akan selalu
berbuat baik terhadap sesama. Oleh sebab itu, Allah melarang mereka
saling mengolok-olok dan saling mencela (QS Al Hujurat 11), Allah
melarang manusia berprasangka buruk dan mempergunjingkan orang
lain (QS al Hujurat 12). Allah menyuruh manusia untuk selalu
bersikap adil, memperlakukan sama semua manusia, menghormati
menghargainya, mengakui eksistensinya, dan menerima setiap
perbedaan yang ada. Karena sesungguhnya, seluruh umat manusia
adalah bersaudara. Hal tersebut merupakan isyarat multikulturalisme
dalam al Qur‟an, yang kemudian dikristalkan dalam satu misi atau
jalan, yaitu pendidikan berbasis multikultural.
2. Pendidikan multikultural merupakan pendidikan yang menjunjung
tinggi HAM (Hak Asasi Manusia), menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia. Dalam pendidikan multikultural, tidak ada individu
atau golongan yang paling baik atau paling unggul. Lebih jauh lagi,
pendidikan multikultural tidak membenarkan adanya anggapan bahwa
salah satu golongan manusia merasa paling benar, dan bahkan
menganggap selainnya sama sekali salah. Perbedaan pemikiran atau
pendapat, perbedaan kelas ekonomi atau kelas sosial, dan sampai
kepada perbedaan suku, ras, budaya, dan lain sebagainya akan selalu
menjadi pemicu konflik berkepanjangan jika tidak dikemas secara
rapih. Pemikiran berparadigma eksklusif seperti di atas harus dirubah
menjadi paradigma inklusif. Menjadikan toleransi sebagai pedoman
dalam bersosial. Sikap menerima, bahwa orang lain berbeda dengan
kita. Pendidikan multikultural dapat disampaikan kepada peserta didik
dengan penambahan materi pengajaran dalam mata pelajaran, seperti
mata
pelajaran
pendidikan
agama
Islam
dan
pendidikan
kewarganegaraan.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan yang telah penulis uraikan di atas,
selanjutnya penulis menyampaikan saran-saran sebagai berikut:
1. Hendaknya pendidikan Indonesia dalam rangka meningkatkan mutu
pendidikan terkait dengan kesejahteraan masyarakat yang terdiri dari
banyak kultur budaya, ras, agama yang sangat beragam, serta
terciptanya suatu keadaan masyarakat yang dinamis, yang menjunjung
tinggi akan nilai-nilai persatuan dan kesatuan serta kearifan dalam
bermasyarakat, mempertimbangkan pendidikan multikultural sebagai
solusi untuk dijadikan bahan pijakan dalam rangka menata pendidikan
Indonesia menjadi lebih baik kaitannya dengan keberagaman
masyarakat Indonesia.
2. Perbedaan yang sangat beragam ini seharusnya menjadi kekuatan bagi
kita, bukan untuk dinodai dengan kekerasan dan kriminalitas dalam
bermasyarakat yang akan menghambat pembangunan dan kemajuan
bangsa. Lebih-lebih ketika kekerasan tersebut dilakukan atas nama
Tuhan dan agama mereka, hal tersebut dampaknya jauh lebih buruk.
Allah SWT telah menjelaskan melalui ayat-ayatnya, manusia
diciptakan untuk saling mengenal, tolong menolong, dan hidup
berdampingan
dengan
keharmonisan.
Keberagaman
dalam
mendapatkan hak pendidikan dan kesejahteraan dalam masyarakat
harus menjadi prioritas dalam mewujudkan tujuan-tujuan pendidikan.
Hal ini penting dalam rangka menjadikan bangsa ini menjadi bangsa
yang menjunjung tinggi akan nilai-nilai kearifan bermasyarakat yang
adil, damai, aman, dan nyaman.
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi. 1987. Ilmu Pendidikan Islam. IAIN Walisongo Salatiga
Achmaduddin. 2006. Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural: Konsep,
Karakteristik, dan Pendekatan. Dalam Jurnal Edukasi. Vol, 4, no.1.
Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan
Al Farisi, Zaka, dkk. 2009. Asbabun Nuzul. Bandung: CV Penerbit Diponegoro
Ar-Rifa‟I, Muhammad Nasib. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Vol. 4.Cet. 11.
Jakarta: Gema Insani
As‟ad, Mahrus, dkk. 2009. Sejarah Kebudayaan Islam. Jakarta: Penerbit Erlangga
Ata Ujan, Andre, dkk. 2009. Multikulturalisme: belajar hidup bersama dalam
perbedaan. Jakarta: PT Indeks
Baidhawy, Zakiyyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan Multikulural.
Jakarta: Penerbit Erlangga
Budiharjo. 2012. Ilmu-ilmu Al Qur‟an. Yogyakarta: Lokus
Ghazali, Syaikh Muhammad Al-. 2008. Al-Qur‟an Kitab Zaman Kita:
Mengaplikasikan Pesan Kitab Suci dalam Konteks Masa Kini. Bandung:
PT Mizan Pustaka
Mahfud,
M.
Choirul.
2006.
Pendidikan
Multikultural
Cross-Cultural
Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan. Cet. 2. Yogyakarta:
Pustaka Belajar
Maksum, Ali. 2011. Plural dan Multikulturalisne Paradigma Baru Pendidikan
Agama Islam di Indonesia. Yogyakarta: Aditya Media
Misrawi, Zuhairi. 2007. Al Qur‟an Kitab Toleransi: Inklusivisme, Pluralisme, dan
Multikulturalisme. Jakarta: Fitrah
Mulkhan, Abdul Munir. 2007. Manusia Al Qur‟an: Jalan Ketiga Religiositas di
Indonesia. Yogyakarta: Impulse
Munawar, Said Agil Husin Al-. 2002. Al Qur‟an Membangun Tradisi Kesalehan
Hakiki. Cet II. Jakarta: Ciputat Press
Nawawi, Muhammad. Marooqil „Ubuudiyyah. Semarang: Pustaka al „Alawiyyah
Na‟im, Ngainun, dkk. 2010. Pedidikan Multikultural konsep dan aplikasi. Cet II.
Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Nizar, Samsul. 2005. Sejarah pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam. Ciputat:
Quantum Teaching
Rachman, Budhy Munawar. 2001. Islam Puralis. Jakarta: Paramadina
Shihab, M. Quraish. 1999. Wawasan Al Qur‟an: Tafsir Maudlu‟I atas Pelbagai
Persoalan Umat. Cet IX. Bandung: Penerbit Mizan
Shihab, M. Quraish. 2007. Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan keserasian Al
Qur‟an. Volume 13. Cet. VII. Jakarta: Lentera Hati
Wahyunianto, Lyza. 2010. Memburu Akar Pluralisme. Malang: UIIN Maliki
Press
Yaqin, Haqqul. 2009. Agama dan Kekerasan dalam Transisi Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta: Elsaq Press
Yaqin, M. Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding
untuk Demokrasi dan Keadilan. Yogyakarta: Pilar Media
http://www.artikata.com/arti-341549-multikulturalisme.html//,
september 2013
diakses
10
LAPORAN SKK
Nama
: Siti Tafwiroh
NIM
: 11109031
Jurusan / Progdi
: Tarbiyah / Pendidikan Agama Islam
No
1
Jenis Kegiatan
OPAK 2009
Keterangan
Peserta
Pelaksanaan
18-20 Agustus
Nilai
3
2009
2
Pelatihan ESIQ
Peserta
21 Agustus 2009
3
3
User Education
Peserta
25-29 Agustus
3
2009
4
Pra DM KAMMI
peserta
7 September
3
2009
5
Masa Penerimaan Anggota
Peserta
Baru (MAPABA) PMII
22 Nopember
3
2009
Salatiga
6
Festival Bahasa
Peserta
20 April 2010
3
Peserta
23 April 2010
3
peserta
24 April 2010
2
peserta
24 Mei 2010
3
Peserta
28 Agustus 2010
3
Internasional CEC dan
ITTAQO
7
Diskusi Interaktif Korps
Perempuan PMII
8
Bedah Buku LDK STAIN
Salatiga
9
Musabaqah Tilawatil
Qur‟an II JQH STAIN
Salatiga
10
Workshop Jurnalistik 2010
HMJ STAIN Salatiga
11
Praktikum Baca Tulis Al
peserta
Qur‟an (BTA)
12
Seminar Nasional
2 Nopember
2
2010
Panitia
Pendidikan HMJ Tarbiyah
6 Nopember
6
2010
STAIN Salatiga
13
Penerimaan Anggota Baru
Peserta
(PAB) JQH STAIN
13 Nopember
3
2010
Salatiga
14
Masa Penerimaan Anggota
Panitia
Baru (MAPABA) PMII
12-14 Nopember
3
2010
Salatiga
15
Praktikum Etika Profesi
peserta
Keguruan
16
SK Pengangkatan Pengurus
25 Nopember
3
2010
Pengurus
11 Januari 2011
3
HMJ TArbiyah STAIN
Salatiga 2010-2011
17
Seminar Keperempuanan
peserta
17 Mei 2011
3
18
Lomba Cerpen Islami
Peserta
21 Mei 2011
3
Peserta
1 Juni 2011
3
Panitia
20 Juni 2011
6
Peserta
22 Juli 2011
3
Milad LDK Darul Amal
STAIN Salatiga
19
Seminar : “Radikalisme
Keagamaan di Indonesia”
STAIN Salatiga
20
Seminar Nasional
Pendidikan HMJ Tarbiyah
STAIN Salatiga
21
Praktikum Kepramukaan
Jurusan Tarbiyah STAIN
Salatiga
22
Praktikum Metodologi
Peserta
Pendidikan Agama Islam
23
3
2011
IBTIDA‟ LDK Darul Amal
Peserta
STAIN Salatiga
24
23 September
8-9 Oktober
2
2011
Workshop Pendidikan
Peserta
Anak Usia Dini Yayasan
19 Nopember
3
2011
Tunas Harapan Salatiga
25
SK Pengangkatan Pengurus
Pengurus
3 Januari 2012
3
Panitia
6 April 2012
3
Peserta
17 Mei 2012
2
Pengurus
4 Juni 2012
3
Peserta
3 Oktober 2012
3
Peserta
1 Desember 2012
3
Dewan Mahasiswa
(DEMA) STAIN Salatiga
26
Workshop Leadership
Dewan Mahasiswa
(DEMA) STAIN Salatiga
27
Lomba Cerpen Islami
Milad LDK Daru Amal
STAIN Salatiga
28
SK Pengangkatan Pengurus
PonPes Al Azhar Salatiga
39
MTQ Umum Mahasiswa,
Pesantren, SMA sederajat
se-Salatiga JQH STAIN
Salatiga
30
Tabligh Akbar “Tafsir
Tematik” JQH STAIN
Salatiga
Jumlah
92
Salatiga, 4 Februari 2014
Pembantu Ketua Bidang Kemahasiswaan
H. Agus Waluyo, M.Ag
Nip. 19750211 2000 03 1 001
Download