BAB II KAJIAN PUSTAKA Cedera ligamen kolateral medial sendi lutut merupakan kondisi sangat kompleks, untuk memahami secara mendalam tentang kondisi cedera ligamen kolateral medial sendi lutut, maka perlu diketahui struktur jaringan spesifik, patologi cedera, dan mekanisme gangguan muskuloskeletal, dan penerapan pelaksanaan fisioterapi pada kondisi ini. 2.1 Anatomi Lutut Secara sekilas sendi lutut hanyalah sebuah sendi sederhana, tetapi sebenarnya sendi lutut adalah sendi yang terbesar dan sendi paling kompleks pada tubuh manusia. Sendi ini diklasifikasikan dalam synovial hinge joint dengan gerakan yang terjadi adalah fleksi dan ekstensi. Pada sendi lutut juga terdapat gerakan rotasi tetapi bukan rotasi murni yang dilakukan oleh sendi lutut tetapi merupakan kerjasama dengan sendi lain. Sendi lutut merupakan sendi yang memperoleh beban besar dengan gerakan yang luas, dan berfungsi sebagai pembentuk sikap tubuh, berperan dalam gerak weight transfer, dan dalam pergerakan seperti berjalan, berlari, melompat, menendang, mendorong, menarik dan lain sebagainnya (Higgins, 2011). Karena struktur dan fungsinya yang kompleks, maka sendi lutut memiliki susunan anatomis dan fungsi yang berbeda, sesuai dengan struktur pembentuknya. Oleh karena itu sendi lutut dapat disegmentasikan sebagai berikut: 9 10 2.1.1 Tulang dan Sendi Sendi lutut dibentuk oleh tiga tulang yaitu; tulang femur, tibia, dan patella, mempunyai dua derajat kebebasan gerak serta dibentuk oleh tiga persendian yaitu tibiofemoral joint, patellofemoral joint, dan proksimal tibiofibular joint yang ditutupi oleh kapsul sendi (Syaifudin, 2013). Tulang femur merupakan tulang terpanjang dan terberat dalam tubuh, yang bertugas meneruskan berat tubuh dari tulang coxae ke tibia sewaktu berdiri. Bagian proksimal dari tulang ini terdiri dari caput femoris yang bersendi dengan acetabullum, collum femoris dan dua trochanter major. Ujung distal tulang femur berakhir menjadi dua condylus yaitu epicondylus medialis dan epicondylus lateralis yang bersendi dengan tibia (Pearce, 2011). Tulang tibia yang besar merupakan tulang kuat satu-satunya yang menghubungkan antara femur dengan pergelangan kaki dan tulang-tulang kaki, serta merupakan tulang penyangga beban. Bagian proksimal tulang ini bersendi dengan condylus femur dan bagian distal bersendi dengan talus (Syaifudin, 2013). Tibiofemoral joint merupakan sendi dengan jenis sinovial hinge joint (sendi engsel) yang mempunyai dua derajat kebebasan gerak. Sendi tibiofemoral dibentuk oleh condylus medialis dan condylus lateralis tibia serta condylus femoris. Sendi ini mempunyai permukaan 11 yang tidak rata yang dilapisi oleh lapisan tulang rawan yang relatif tebal dan meniscus (Pearce, 2011). Patella merupakan tulang sesamoid terbesar pada tubuh manusia. Tulang ini berbentuk segitiga yang basisnya menghadap ke proksimal dan apex/puncaknya menghadap ke distal. Tulang ini mempunyai dua permukaan, yang pertama menghadap ke sendi (facies articularis) dengan femur dan yang kedua menghadap kedepan (facies anterior). Facies anterior dapat dibagi menjadi tiga bagian dan bergabung dengan tendon quadriceps. Pada sepertiga atas merupakan tempat perlekatan tendon quadriceps, pada sepertiga tengah merupakan tempat beradanya saluran vascular dan pada sepertiga bawah termasuk apex merupakan tempat awal ligamentum patella. Patellofemoral joint merupakan sendi dengan jenis modified plane jointdan terletak diantara tulang femur dan patella. Sendi ini berfungsi membantu mekanisme kerja dan mengurangi friction quadriceps. Proksimal tibio fibular joint merupakan sendi dengan jenis plane sinovial joint yang dibentuk antara caput fibula dengan tibia. Dilihat dari segi fungsional sendi ini lebih cenderung termasuk ke dalam persendian ankle karena pergerakan yang terjadi di lutut merupakan pengaruh gerak ankle ke arah cranial-dorsal (Syaifudin, 2013). 12 2.1.2 Muskular Jaringan otot ditandai oleh adanya myofibril yang dibentuk dari myofilamen pada sel-sel yang memanjang. Myofibril ini berperan terhadap kontraksi sel-sel otot. Myofibril ini terbagi dalam beberapa filamen atau serat dan filamen-filamen tersebut terbentuk dari proteinprotein kontraktil, antara lain myosin, actin, tropomyosin, dan troponin. Filamen-filamen yang tersusun dari protein kontraktil dibagi dalam dua jenis yaitu filamen tipis dan filamen tebal. Filamen tipis tersusun dari actin, tropomyosin dan troponin, sedangkan filamen tebal tersusun dari myosin dengan diameter kurang lebih dua kali diameter filamen tipis (Pearce, 2011). 1. Tipe serabut otot Ada tiga jenis jaringan otot yang dapat dibedakan atas dasar strukturnya dan ciri-ciri fisiologisnya : Yaitu otot polos, otot bercorak / lurik dan otot jantung. Dimana otot-otot penggerak adalah jenis otot bercorak. Otot bercorak sendiri terbagi menjadi dua tipe berdasarkan serabut ototnya (Guyton and Hall, 1997) 2. Kelompok otot-otot. Ada banyak otot yang terdapat disekitar sendi lutut. Meskipun ada di antara otot-otot itu yang tidak berperan langsung sebagai penggerak sendi lutut namun otot-otot itu berfungsi sebagai stabilisasi dinamik. Sesuai dengan osteo kinematiknya, otot penggerak sendi lutut dibagi dalam kelompok fleksor dan kelompok ekstensor. 13 1) Kelompok Otot Fleksor Grup otot fleksor terdiri dari M. Hamstring, juga terdapat m. Gracilis, m. Sartorius dan otot yang membantu gerak fleksi lutut yakni m. Plantaris dan m. Gastrocnemius pada tungkai bawah. M. Hamstring merupakan otot penggerak utama dari fleksi lutut yang memiliki 3 otot yakn m. biceps femoris pada bagian lateral, serta m. Semi membranosus pada bagian tengah, dan m. Semitendinosus pada bagian medial (Safirin Arifin dan Sriyani, 2013). Lingkup gerak sendi saat aktif fleksi adalah 140º dan 120º jika hip dalam keadaan ekstensi. Saat pasif fleksi dapat mencapai 160º dimana tumit dapat menyentuh bokong (Kapanji, 1987). Gambar 2.1 : Otot-otot fleksor lutut (Sumber : Guyton A.C and Hall J.E, 1997) 14 2) Kelompok Otot Ekstensor Grup ekstensor lutut terdiri dari M. Quadriceps femoris terdapat 4 otot yakni m. Rectus femoris, m. Vastus medialis, m. Vastus lateralis, dan m. Vastus intermedius. Grup otot ini berorigo pada Spina Iliaca Anterior Superior (SIAS) pada pelvis berjalan ke bawah dan berinsertio tuberositas tibia. Berfungsi sebagai ekstensor menjadikan otot ini bekerja juga sebagai penopang tubuh saat posisi tegak (Kisner and Colby, 2013). Ke 4 otot ini memiliki tipikal otot yang berbeda. Rectus femoris merupakan otot tipe I, m. Vastus medialis memiliki serabut tipe II, m. Vastus lateral memiliki serabut tipe I dan m. intermedius merupakan campuran antara serabut otot tipe I dan II. Fungsi m. Vastus medialis pada sendi lutut disamping berperan sebagai ekstensor sendi juga berperan dalam menjaga stabilisasi posisi patella bersama–sama dengan ligament. Sendi patellofemoral. Otot ini bekerja optimal sebagai ekstensor lutut pada 5º - 10º ekstensi lutut dan bila otot ini dapat berfungsi dengan efisien bersama dengan ketiga otot lainnya maka gerakan ekstensi penuh dapat dilakukan. Lingkup gerak sendi saat ekstensi adalah 5º - 10º hyperekstensi. Mengenai fungsi m.Vastus Medialis, literatur 15 lain menyatakan bahwa meskipun digambarkan sebagai ekstensor lutut, studi anatomis dan elektromyograprafik oleh Lieb dan Perry menyatakan bahwa otot tersebut tidak saja sebagai ekstensor, tetapi sebagai suatu otot yang didesain untuk mengontrol dan menyanggah patella selama gerakan lutut” (Richardson, 1999). Innervasi syaraf pada otot-otot sekitar sendi lutut yaitu N. Sciaticus untuk grup M. Hamstring dan N. Femoralis untuk grup M. Quadriceps Femoralis. N. Sciatic berasal dari akar syaraf L5, S1–S2 sedangkan N. Femoralis berasal dari akar syaraf L2– L4 (Guyton and Hall, 1997). Gambar 2.2 : Otot-otot ekstensi lutut (Sumber : Guyton A.C and Hall J.E, 1997) 16 3) Pes anserinus dan otot iliotibial band. Otot ini berpengaruh pada stabilitas lutut, otot ini membentang sejauh facies medialis tibiae yang berinsersio bersama-sama dengan m.semi tendinosus dan m.sartorius sebagai pes anserinus. Otot ini terletak paling medial, langsung dibawah permukaan medial sendi lutut dan bila paha di abduksikan tampak jelas gambaran lengkungnya. Otot ini berfungsi sebagai adductor panggul dan bila lutut difleksikan otot anserinus ini bersama-sama otot lain berfungsi sebagai rotator medial tungkai bawah dan juga penting mempertahankan secara aktif agar tidak terjadi genu valgus. Sementara terusan dari m.gluteus maximus dan m.tensor facia lata yang berasal dari spina iliaca anterior superior membentang ke distalis sampai trochanter major terus ke tractus iliotibialis berinsertio pada condylus lateralis tibiae, otot ini berfungsi sebagai abductor dan juga sangat penting mempertahankan secara aktif gerak berlebihan varus. 17 Gambar 2.3 : Otot iliotibial band dan pes anserinus (Sumber : Guyton A.C and Hall J.E, 1997) 3. Jenis-jenis kontraksi otot 1) Isotonik Kontraksi ini merupakan kontraksi otot dengan beban konstan dan terjadi perubahan panjang otot. Pada kontraksi isotonik dengan menggunakan beban dapat meningkatkan kekuatan otot sepanjang ruang lingkup gerak sendi sehingga kontraksi ini dapat digunakan dalam aktifitas bekerja. Selain itu kontraksi isotonik dengan beban juga dapat menimbulkan hipertrofi otot, pelebaran kapiler yang menyebabkan peredaran darah meningkat sehingga tidak cepat menimbulkan kelelahan. Pada kontraksi isotonik koordinasi neuromuscular dapat dihasilkan lebih baik karena innervasi pada nerve-mus cle lebih kompleks, dengan kata lain pada kontraksi isotonik lebih menerapkan prinsip motor performance.(Jensen, et al., 2009). 18 2) Eksentrik Kontraksi otot dimana kedua ujung/perlekatan otot (origoinsertio) saling menjauh, atau otot dalam keadaan memanjang. 3) Kosentrik Kontraksi otot dimana kedua ujung atau perlekatan otot (origo-insertio) saling mendekat atau otot dalam keadaan memendek (Kapanji, 1987). 4) Isometrik atau statik kontraksi. Kontraksi otot dimana tidak terjadi perubahan panjang otot dengan beban dapat berubah-ubah. Isometrik juga sering disebut statik kontraksi yaitu kontraksi otot dimana sendi dalam keadaan stastis. Pada kontraksi isometrik terjadi: Resiprocal innervation (Reserve Innervation) yaitu kelompok otot agonis berkontraksi maka akan diikuti oleh rileksasi pada kelompok otot antagonisnya. Pada latihan isometrik banyak menimbulkan sisa metabolisme sehingga akan cepat menimbulkan kelelahan karena sirkulasi yang kurang bagus, yaitu akibat adanya proses pumping action yang meningkatkan sistem sirkulasi darah sehingga terjadi vasokontriksi pembuluh darah akibat adanya tekanan dari kontraksi otot yang menyebabkan metabolisme menurun dan dapat mengakibatkan ischemic (Kapanji, 1987). 19 2.1.3 Vaskularisasi dan Persarafan Sendi Lutut Lutut mendapat suplai darah dari artery poplitea yang merupakan terusan dari artery iliac external yang menjadi artery femoralis di daerah proximal paha. Artery femoralis berjalan menuju ke arah posterior lutut dan menjadi artery poplitea. Untuk persarafan, sendi lutut dikelilingi oleh otot-otot yang mendapat persarafan dari serabut-serabut saraf yang juga mempersarafi anggota gerak bawah. Ada nervus femoralis dan nervus obturator yang berasal dari plexus lumbosacral dan menginervasi sisi depan dan anteromedial paha. 2.1.4 Ligamen Untuk fungsi stabilisasi pasif sendi lutut dilakukan oleh ligamen. Ligamen-ligamen yang terdapat pada sendi lutut adalah ligamen cruciatum yang dibagi menjadi dua yaitu ligamen cruciatum anterior dan ligamen cruciatum posterior, ligamen collateral yang juga dibagi menjadi dua bagian yaitu ligamen collateral medial dan ligamen collateral lateral, ligamen patellaris, ligamen poplitea oblique dan ligamen transversal. Ligamen cruciatum merupakan ligamen terkuat pada sendi lutut meskipun tidak menutupi kapsul sendi. Dinamakan ligamen cruciatum karena saling menyilang antara satu dengan yang lain. Ligamen ini berada pada bagian depan dan belakang sesuai dengan perlekatan pada tibia. Fungsi ligamen ini adalah menjaga gerakan pada sendi lutut, 20 membatasi gerakan ekstensi, dan mencegah gerakan rotasi pada posisi ekstensi, juga menjaga gerakan slide ke depan dan belakang femur pada tibia dan sebagai stabilisasi bagian depan dan belakang sendi lutut (Putz and Pabst, 2008). Ligamen crusiatum anterior membentang dari bagian anterior fossa intercondyloid tibia melekat pada bagian lateral condylus femur yang berfungsi untuk mencegah gerakan slide tibia ke anterior terhadap femur, menahan eksorotasi tibia pada saat fleksi lutut, mencegah hiperekstensi lutut dan membantu saat rolling dan gliding sendi lutut (Putz and Pabst, 2008). Ligamen crusiatum posterior merupakan ligamen yang lebih pendek tetapi lebih kuat dibanding dengan ligamen cruciatum anterior. Ligamen ini berbentuk kipas membentang dari bagian posterior tibia ke bagian depan atas dari fossa intercondyloid tibia dan melekat pada bagian luar depan condylus medialis femur. Ligamen ini berfungsi untuk mengontrol gerakan slide tibia ke belakang terhadap femur, mencegah hiperekstensi lutut dan memelihara stabilitas sendi lutut (Putz and Pabst, 2008). Ligamen collateral medial merupakan ligamen yang lebar, datar, dan membranosus bandnya terletak pada sisi tengah sendi lutut. Ligamen ini terletak lebih posterior di permukaan medial sendi tibiofemoral, yang melekat di atas epicondylus medial femur di bawah tuberculum adductor dan ke bawah menuju condylus medial tibia serta 21 pada medial meniscus. Seluruh ligamen collateral medial menegang pada gerakan penuh ROM ekstensi lutut, ligament kolateral medial ini juga melekat pada meniscus medialis. Ligamen ini sering mengalami cedera, cedera ligamen ini sering menyertai cedera meniscus medialis dan fungsinya untuk menjaga gerakan ekstensi dan mencegah gerakan ke arah luar (Putz and Pabst, 2008). Ligamen collateral lateral merupakan ligamen yang kuat dan melekat diatas ke belakang epicondylus femur dan dibawah permukaan luar caput fibula. Fungsi ligamen ini adalah untuk mengawasi gerakan ekstensi dan mencegah gerakan ke arah medial. Dalam gerak fleksi lutut ligamen ini melindungi sisi lateral lutut (Putz and Pabst, 2008). Ligamen patellaris merupakan ligamen kuat dan datar yang melekat pada lower margin patella dengan tuberositas tibia, dan melewati bagian depan atas patella dan serabut superficial yang berlanjut pada pusat serabut pada tendon quadriceps femoris (Putz and Pabst, 2008). Ligamen popliteal oblique merupakan ligamen yang lebar dan datar. Menutupi bagian belakang sendi dan melekat diatas upper margin fossa intercondyloid dan permukaan belakang femur dan dibawah margin posterior caput tibia. Pada bagian tengah terpadu dengan tendon otot semimembranosus dan bagian luar dengan lateral head otot gastrocnemius. 22 Ligamen ini juga berfungsi untuk mencegah hiperekstensi lutut (Putz and Pabst, 2008). Ligamen transversal merupakan ligamen yang pendek dan tipis dan berhubungan dengan margin convex depan meniscus lateral dan ujung depan meniscus medial. Selain itu terdapat tractus iliotibial yang berfungsi seperti ligamen yang menghubungkan crista illiaca dengan condylus lateral femur dan tuberculum lateral tibia. Pada sendi lutut tractus iliotibial berfungsi untuk stabilisasi ligamen antara condylus lateral femur dengan tibia. Gambar 2.4 : Ligament-ligament sendi lutut (Sumber : Guyton A.C and Hall J.E, 1997) 2.1.5 Meniscus Meniscus terdiri jaringan penyambung dengan bahan-bahan serabut kolagen yang juga mengandung sel-sel seperti tulang rawan. Meniscus ini disuplai oleh pembuluh darah dari A. genu inferior dan A. 23 genu medial, bersama-sama membentuk arcade arteria perimeniscus marginalis. Meniscus ini dibagi menjadi 2 : Meniscus medialis berbentuk semi sirkularis (setengah lingkaran) dan bersatu dengan ligamentum collaterale tibiale. Meniscus medialis lebih lebar di posterior daripada anterior, karena itu crus anterior lebih tipis dari pada crus anterior. Meniscus lateralis hampir berbentuk sirkular (lingkaran). Meniscus lateral lebih mudah bergerak daripada meniscus medial dan meniscus ini tidak menyatu dengan ligamentum collateral fibulare oleh karena itu ini kurang mendapat regangan pada bermacam-macam gerakan. Gambar 2.5 : meniscus (Sumber : Guyton A.C and Hall J.E, 1997) 2.1.6 Biomekanik Sendi Lutut Sendi lutut mempunyai dua derajat kebebasan gerak yaitu fleksi dan ekstensi pada bidang sagital dengan sumbu gerak medial lateral 24 dan rotasi pada bidang transversal atau longitudinal dengan sumbu gerak vertikal. Nilai ROM gerak fleksi dari 120° sampai 150° tergantung pada ukuran massa otot pada betis yang kontak dengan bagian posterior paha. Pada pria normal yang berusia 18 bulan sampai 54 tahun, Boone dan Azen (1979) meneliti bahwa nilai ROM rata-rata gerakan fleksi adalah 143° (SD = 5,4). Ketika hip ekstensi, ROM fleksi knee berkurang karena keterbatasan pada otot rectus femoris yang bagian proksimalnya berada pada spina iliaca anterior inferior. Hiperekstensi minimal dan tidak normal ketika mencapai 15°. Secara normal ketika lutut bergerak ke arah ekstensi, terjadi gerakan eksternal rotasi sekitar 20° dimana femur terfiksir. Gerakan yang dapat diamati pada akhir 20° ekstensi lutut dinamakan terminal rotasi lutut atau screw home mechanism. Ini merupakan gerakan yang terjadi baik pada gerakan ekstensi lutut secara aktif atau pasif dan tidak dapat dihasilkan atau dicegah secara volunter. Pada gerakan dengan closed-chain seperti saat berdiri dari kursi, terminal rotasi terjadi pada internal rotasi femur pada tibia yang terfiksir. Mekanisme ini memberikan stabilitas mekanik untuk menahan tekanan yang timbul pada bidang sagital. Juga untuk mempertahankan posisi tegak tanpa kontraksi otot quadriceps dan menahan tekanan depan-belakang ketika ekstensi lutut ketika kekuatan otot berkurang. 25 Meskipun nilai terminal rotasi pada lutut kecil seperti pada rotasi aksial tetapi penting pada fungsi lutut yang normal. 2.2 Patofisiologi cedera ligamen kolateral medial sendi lutut. 2.2.1 Penyebab cedera ligamen kolateral medial. Cedera ligamen kolateral medial merupakan type injury atau trauma yang terjadi pada berbagai aktivitas olahraga, seperti atlet sepak bola, pelari, ski dan beberapa jenis olahraga kontak lainnya terutama bila sendi ini digerakkan melebihi kapasitasnya akan menyebabkan kerusakan ligamen ini. Cedera pada ligamen kollateral medial dihasilkan oleh gaya valgus dan rotasi ektensi lutut yang tiba-tiba, dimana seringkali terjadi selama olahraga atletik atau exercise ketika berat tubuh yang diterima oleh lutut saat menyangga berat badan tidak sempurna atau tidak stabil menyebabkan lutut dalam posisi rotasi saat gaya tersebut terjadi. Akibatnya, ligamen kolateral medial mengalami over stretch atau sprain. Jika gaya yang terjadi pada lutut lebih hebat, maka ligament menjadi ruptur. Ada dua jenis cedera dalam berolahraga yaitu cedera langsung atau Traumatik injury maupun tidak langsung Overuse injury. Traumatik injuri disini dapat dilihat dengan jelas penyebabnya Misalnya Jatuh, salah gerak, tertabrak dan lain-lain sehingga menyebabkan robekan/putusnya jaringan lunak (soft tissue) seperti ligamen, otot, tendon hingga terjadinya fraktur. 26 Sedangkan Overuse injury yaitu cedera yang diakibatkan karena pemakaian jaringan yang berlebih berhubungan dengan beratnya beban latihan, istirahat yang kurang. Perawatan cedera sebelumnya yang kurang tepat serta persiapan dalam pertandingan seperti warming up, stretching dan cooling down setelah pertandingan yang kurang maksimal dan efektif. Selain itu cedera dapat terjadi oleh sebab-sebab non traumatik seperti post arthritis, tendinitis kronik, serta mekanik tubuh yang buruk misalnya adanya kelemahan otot-otot, kondisi struktur sendi valgus dapat juga mengalami cedera. 2.2.2 Gejala dan Tanda Klinis Cedera Ligamen Kolateral Medial Ketika seseorang mengalami cedera maka akan terjadi kerusakan struktur jaringan sekitarnya dan menimbulkan banyak problem diantaranya : 1. Nyeri Nyeri timbul segera setelah cedera ketika adanya aktivitas pembebanan pada jaringan seperti pada ektensi maupun fleksi lutut atau pada penguluran ligamen kolateral medial, dimana terproteksi daerah dengan yang timbulnya mengalami iritan kerobekan noxious yang mengisyaratkanadanya suatu kerusakan jaringan. Ujungujung saraf pada daerah tersebut mengeluarkan tachykinine 27 yang mengakibatkan sensitisasi yang ditimbulkan dari mekanosensori. 2. Sweling atau inflamasi Inflamasi atau peradangan dapat timbul setelah 24 – 36 jam setelah cedera yang meruan suatu reaksi setempat daripada jaringan tubuh terhadap trouma atau rangsangan yang hasilnya merupakan pengiriman cairan, zat-zat yang terlarut dan sel-sel dari yang bersirkulasi ke dalam jaringanjaringan interstisial pada daaerah cedera atau ischemik. Adanya peradangan tersebut akan menimbulkan iritasi kimiawi, pelengketan antara jaringan. Sistem metabolisme terganggu, gangguan keseimbangan asam basa jaringan, spasme otot dan timbul rasa nyeri. 3. kekakuan Kekakuan disebabkan oleh spasme otot tonik yang bertanda adanya proteksi cedera pada sekeliling otot-otot tersebut. Kekakuan terproteksi pada ruang gerak sendi yang terbatas baik gerak aktif maupun pasif, pada ekstensi lutut secara pasif ruang gerak sendi terbatas dengan rasa nyeri yang tajam menyebar kesekeliling lutut dan sampai ke proximal maupun ke distal. 28 2.2.3 Tingkat cedera ligamen Beberapa orang yang mengalami cedera igamen sering melaporkan adanya bunyi “ceklek” atau “letupan” saat terjadi cedera. Setelah cedera terjadi, pasien mengalami gangguan gerak dan fungsi tergantung dari derajat kerusakan yang diakibatkan oleh cedera tersebut. Cedera ligament dapat dikelompokkan menjadi 3 derajat berdasarkan derajat kerusakannnya, yaitu : 1. Derajat I, ditandai dengan : 1) Cedera ringan, nyeri ringan, sedikit bengkak, dan mungkin muncul kekakuan sendi. 2) Stretch ligamen atau kerobekan kecil pada ligamen. 3) Biasanya terjadi pada ligament krusiatum anterior. 4) Penurunan fungsi yang minimal. 5) Dapat kembali beraktivitas dalam beberapa hari setelah injury (dengan menggunakan brace atau taping). 2. Derajat II, ditandai dengan : 1) Nyeri yang sedang sampai nyeri hebat, pembengkakan, dan muncul kekakuan sendi. 2) Kerobekan parsial pada ligamen sendi . 3) Penurunan fungsi yang cukup berat dengan kesulitan berjalan. 4) Membutuhkan waktu 2 – 3 bulan sebelum memperoleh kembali kekuatan dan stabilitas sendi. 29 3. Derajat III, ditandai dengan : 1) Timbul nyeri hebat setelah cidera, yang kemudian diikuti oleh sedikit nyeri atau tanpa nyeri akibat kerusakan total dari serabut saraf. 2) Pembengkakan yang besar dan sendi menjadi kaku selama beberapa jam setelah cidera. 3) Ruptur secara komplet pada ligament kolateral (laxity yang berat). 4) Biasanya memerlukan beberapa bentuk immobilisasi selama beberapa minggu. 5) Hilangnya fungsi secara komplet (functional disability) dan memerlukan kruk. 6) Biasanya memerlukan terapi konservatif dengan program rehabilitasi exercise, tetapi dalam jumlah yang kecil memerlukan pembedahan. 7) Masa recovery selama 4 bulan Sementara itu. kronik cedera ligamen dapat terjadi pada penderita atau olahragawan yang mengalami overstretch (injury) ringan dan terjadi berulang kali tanpa mendapatkan pengobatan yang adequat. Cedera ini sering menjadi kronik cedera karena pasien tidak begitu memperhatikan cedera yang dialaminya sehingga tidak diobati atau mendapatkan pengobatan yang tidak adequat. Pada kronik cedera ligamen, nyeri yang dirasakan adalah dull aching (sakit tumpul), 30 bersifat intermitten atau kadang-kadang konstan, nyeri cenderung meningkat jika melakukan aktivitas atau olahraga yang melibatkan lutut. 2.2.4 Proses Penyembuhan Cedera ligamen Pada saat tubuh mengalami kerusakan jaringan atau luka maka akan terjadi peradangan yang ditandai dengan nyeri, bengkak, panas kemerahan dan gangguan fungsi. Hal ini perlu diuraikan sehubungan dengan patofisiologi cedera ligamen dan nantinya peneliti dapat menyesuaikan tahapan-tahapannya dengan usaha penyembuhan berdasarkan modalitas yang diterapkan. Adapun fase – fase penyembuhan luka secara fisiologis adalah sebagai berikut : a. Fase Perdarahan Fase perdarahan adalah fase yang terjadi antara 20 – 30 menit setelah terjadi trauma. Pada fase tahap ini perdarahan berhenti setelah dikeluarkan fibrin untuk menutupi luka. Pada fase ini ditandai dengan keluarnya hematoma dan keluarnya zat – zat iritan. b. Fase Peradangan Fase peradangan adalah fase yang terjadi antara 24 – 36 jam setelah trauma. Fase peradangan aktif ditandai dengan radang tinggi dengan gejala – gejala panas, merah 31 dan bengkak pada daerah trauma. Pada fase ini terjadi aktualitas nyeri yang tinggi dimana fase ini sebagai awal dari proses penyembuhan luka. c. Fase Regenerasi Pada fase ini terdiri dari tiga fase : 1) Fase proliferasi (2 – 4) hari Pada fase ini ditandai dengan menurunnya rasa nyeri, jumlah protein pertahanan tubuh banyak dan jumlah fibroblast meningkat. Pada fase ini juga terjadi rekonstruksi jaringan pembentukan jaringan permukaan dan memberikan kekuatan pada daerah trauma. Sel – sel lain peningkatan, juga terjadi peningkatan sel – sel macrophage dan sel – sel endothelial untuk membentuk pembuluh – pembuluh darah baru yang terkenal dengan proses angiogenesis. 2) Fase produksi (4 hari – 3 minggu) Pada fase ini ditandai dengan penurunan proses pertahanan tubuh, diikuti dengan peningkatan fibroblast yang tinggi, telah terjadi pelekatan kolagen dan jaringan granulasi baru serta peningkatan oksigenisasi pada daerah cidera. Beberapa fibroblast terbentuk menjadi myofibroblast yang memberikan efek wound contraction. 32 3) Fase remodeling (3 minggu – 3 bulan) Fase ini merupakan fase pembentukan jaringan yang normal. Jaringan granulasi menjadi lebih fibrous dan kekurangan vaskuler untuk membentuk jaringan fibrous yang rapat seperti scar tissue. Selama tiga minggu kekuatan pada daerah yang cedera sekitar 15%. Proses ini berlanjut sampai tiga bulan hingga terjadi pembentukan jaringan yang baru. Jumlah pembuluh darah berkurang untuk mempertahankan viabilitas jaringan. Arteri, vena dan lympa berkembang kembali dan terjadi regenerasi pada serabut saraf yang kecil. 2.2.5 Kelemahan Otot Kelemahan otot adalah penurunan kekuatan kontraksi otot. Kelemahan otot dapat disebabkan oleh akibat sistemik, chemical , atau lesi terhadap suatu saraf pada system saraf perifer atau sistem saraf pusat atau pada myojunction. Kelemahan otot juga diakibatkan adanya gangguan langsung pada otot atau karena inaktivitas. Kelemahan otot disebabkan oleh : 1) Inaktivitas akibat immobilisasi dan keterbatasan gerakan. 2) Jumlah motor unit dan menurun. 3) Gangguan sirkulasi pada otot. aktivitas neurotransmitter 33 4) Penurunan kualitas otot akibat proses degenerasi dan penuaan Otot sebagai stabilisator aktif dan sebagai penggerak sendi akan mengalami penurunan fungsinya oleh hal-hal tersebut diatas sehingga kecenderungan terjadinya cedera skunder akan lebih besar seperti pada Pes anserinus dan otot iliotibial band ( Kisner C , Colby LA, 2013). Otot ini berpengaruh pada stabilitas lutut dibentuk oleh otot tibialis serta membentuk gerakan kuat dan cepat lebih ke otot quadricep. Pes anserinus dan otot iliotibial band berpengaruh penting terhadap stabilitas lutut, untuk pes anserinus begian medial lutut sangat penting mempertahankan secara aktif agar tidak terjadi genu valgus sementara iliotibial band penting mempertahankan gerak berlebihan varus. Apabila otot – otot ini mengalami kelemahan maka akan kehilangan fungsinya sebagai stabilisator penting dalam mempertahankan secara aktif agar tidak terjadi genu valgus. 2.2.6 Gangguan Gerak dan Fungsi Disebabkan oleh : 1) Rasa nyeri saat melakukan aktivitas yang memerlukan posisi lutut ekstensi maupun fleksi yang disertai pembebanan. 2) Ketidak seimbangan kekuatan fungsi daripada kerja sendi. otot sehingga tidak stabilnya 34 2.2.7 Konsep Nyeri dan Proses Timbulnya Nyeri Nyeri adalah perasaan majemuk yang bersifat subyektif, yang disertai perasaan tidak enak, pedis dan dingin, rasa tertekan dan ngilu, pegal dan sebagainya. Sebagai aikibat adanya stimulasi ataupun trauma dari dalam dan dari luar neuromuscular sistem, yang mengakibatkan terangsangnya nociseptor pada saraf perifer diatas nilai ambang rangsang yang diteruskan ke korteks cerebri kemudian diterjemahkan kedalam bentuk nyeri dengan bentuk dan kualitas rangsangan yang berbeda. Sedangkan menurut International Association For The Study Of Pain, nyeri adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak nyaman, yang berkaitan dengan kerusakan jaringan atau berpotensi terjadi kerusakan jaringan, atau menggambarkan adanya kerusakan jaringan. 2.2.8 Mekanisme Timbulnya Nyeri Pada Cedera Ligamen Secara fisiologis rasa nyeri terjadi oleh karena kerusakan jaringan, atau penyakit yang mengawali perubahan kimiawi dan elektris didalam tubuh. Bila terdapat interaksi rangsangan mekenik, kimia dan suhu terhadap nicoseptor, maka tubuh akan menghantar rangsangan tersebut melalui aliran listrik pada ujung saraf sensori. Nyeri akibat cidera ligamen kollateral media ada nyeri yang dirasakan pada sisi bagian dalam dari sendi lutut akibat adanya overstrertch pada ligamen colarteral media sendi lutut. Adanya overstrertch pada ligamen kolateral 35 menyebabkan cedera atau kerusakan pada ligamen tersebut, sehingga merangsang serabut saraf afferen bermyelin tipis (serabut saraf A delta dan tipe C). Implus tersebut dibawa ke ganglia akar saraf dorsalis dan merangsang produksi “P” substance yang memicu terjadinya reaksi radang. Kemudian implus tersebut dibawa ke cornum dorsalis medula spinalis dan dikirim ke level SSP yang lebih tinggi melalui traktus spinothalamicus. Padsa level SSP yang lebih tinggi (cortex sensorik, hipothalamus, & limbik system) implus tersebut mengalami proses interaksi yang kemudian menghasilkan suatu perasaan subjektif yang dikenal dengan persepsi nyeri. Nyeri yang ditimbulkan akan menyebabkan spasme otot dan keterbatasan lingkup gerak sendi. Jika hal ini tidak ditanggani dengan baik maka akan timbul kelemahan otot, contraktur dan akhirnya kaku sendi. Selain itu akibat dari spasme otototot dan keterbatasan ruang gerak sendi akan mengalami pemendekatan cupsulo ligamenter sendi, sehingga menimbulkan nyeri rengang. 2.3 Pemeriksaan Fisik Cedera Ligamen Kolateral Medial Sendi Lutut Untuk dapat memastikan cedera ligamen kolateral medial sendi lutut memerlukan pemeriksaan spesifik yang akurat : 1. Tahapan pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik cedera ligamen kolateral medial sendi lutut dimulai dari pemeriksaan Inspeksi yang dilakukan saat pasien sedang berdiri dan Inspeksi sambil telentang, Pemeriksaan palpasi 36 lutut yang sedang inflamasi adalah mengamati gejala dan tanda radang seperti pembengkakan, kemerahan, panas, dan nyeri. Pembengkakan dan kemerahan harus terbukti dengan pemeriksaan. Nyeri diperoleh dari keluhan riwayat pasien dan panas dengan palpasi. 2. Tes Khusus Untuk cedera ligamen Sendi Lutut Fisioterapi dapat langsung mendiagnosa cedera pada ligamen kolateral medial sendi lutut ini dangan melihat bagaimana cedera terjadi dengan disertai pemeriksaan fisik. Ada beberapa jenis tes pemeriksaan sendi lutut. Setiap tes pemeriksaan khusus untuk cedera ligamen. Empat tes kusus untuk mendiagnosa kerusakan pada ligamen adalah laci sorong anterior, laci sorong posterior, tes valgus dan tes varus. Jika terdapat laxity (kelemahan) pada ligament ini maka hasilnya positf berarti terdapat kerusakan pada ligamen. 2.4 Pelaksanaan fisioterapi Melalui proses management pelayanan fisioterapi yaitu : Pemeriksaan, evaluasi, diagnosis, prognosis dan intervensi. Pelaksanaan atau penerapan didesain guna untuk mengoptimalkan hasil yang diharapkan. 37 2.4.1 Penerapan Bandage elastic 1. Pengertian. Bandage elastic merupakan tindakan yang umum dilakukan bila terjadi cidera atau trauma akut. Bandage elastic atau pembalutan adalah suatu upaya kompresi bagian yang cedera untuk mengurangi perdarahan dan edema, mengurangi gerak pada cedera tulang, mobilisasi, supporting, membatasi gerak sendi dan mencegah cedera berulang (Williams and Wilkins, 2009). 2. Bahan bandage elastic Bentuk Bandage elastic yang sering digunakan sangat ditentukan oleh tujuan, fase cedera dan lokasi cedera. a) Bandage elastic terdiri atas berbagai ketebalan dan ukuran (5cm 7,5cm, dan 10cm). b) Bandage elastic memiliki karakteristik elastis, sangat kuat dan terbuat dari bahan Zinc-oxida, terdiri dari bermacam ukuran (12mm, 25mm dan 50mm). Bentuk pemasangan pembalut Bandage elastic sebagai berikut: a) Bentuk spiral, sederhana yaitu bentuk sederhana dari pembalut elastic bandage yang mengelilingi tungkai atas maupun bawah, setiap putaran menutupi 1/2 atau 2/3 putaran sebelumnya, fungsi pembalut elastis bandage ini adalah untuk menahan penutup luka agar tidak bergerak atau untuk kompresi. 38 b) Bentuk delapan, diawali dengan sekali putaran, lalu menyeberangi sendi dan selanjutnya memutari bagian sebelah atas sendi untuk melengkapi bentuk balutan ini. Melihat pengulangan putaran pembalutan dan bentuk balutannya dikenal sebagai spica. Bentuk ini digunakan untuk kompresi sendi dan juga agar sendi dapat melakukan fleksi disamping membatasi gerak ektensi. c) Bentuk asendens, dimulai dengan balutan bentuk delapan diatas sendi lalu seterrusnya menjauh dari sendi d) Balutan jangkar, balutan pertama sebelum melanjutkan pemasangan balutan berikutnya. 3. Tujuan dan Manfaat Bandage elastic Bandage elastic, digunakan pada profilaktik, pengobatan dan rehabilitasi cedera. Tujuannya ialah untuk mencegah dan mengurangi hematoma dan immobilisasi, membatasi gerak berlebihan dan mencegah cedera berulang (Williams and Wilkins, 2009). Pada cedera akut dapat digunakan agar cedera atau luka tetap pada posisinya atau untuk kompressi (mengurangi oedema), dan untuk mengurangi rasa nyeri. Pembalut elastis dapat digunakan untuk mengurangi gerak sendi dan cedera tulang. Pada cedera kronik dapat digunakan untuk mengurangi gerakan sendi maupun otot. Aplikasi Bandage elastis bertujuan untuk memberi 39 kesempatan pada penderita yang sedang mengalami cedera kronis atau cidera ringan untuk tetap dapat beraktifitas. Pada saat rehabilitasi penderita sebaiknya secepatnya kembali bergerak, melakukan latihan otot dan lain-lain agar tidak terjadi kekakuan sendi dan kelemahan otot. Bila telah melewati fase penyembuhan penderita ataupun atlet telah dapat kembali berlatih dengan memakai pembalut atau pita perekat agar bagian tubuh yang cedera dapat digerakkan dengan leluasa namun tetap dalam batas – batas yang aman. Selain itu untuk mencegah trauma baru pada bekas lokasi cedera dan untuk mencegah cedera ulang. 4. Mekanisme Pengurangan nyeri pada penerapan Bandage elastic Penerapan bandage elastic pada kondisi cedera ini akan memberi efek mengurangi nyeri pada level sensorik oleh sebab adanya pumping action dari otot-otot sehingga memperbaiki sirkulasi darah perifer dan akan terabsorbsi zat-zat iritan yang diikuti oleh relaksasi otot-otot yang spasme oleh adanya zat-zat iritan tersebut. Selain itu juga berfungsi sebagai support dimana otot-otot terpriksir dengan merata sehingga memungkinkan pemblokiran gangguan metabolik (osmose zat iritan) pada saat peregangan jaringan (Williams and Wilkins, 2009). 5. Prosedur penerapan Bandage elastic Prosedur pemasangan Bandage elastic pada ligamentum Kollateral Media sendi lutut. 40 a) Persiapan penderita. Daerah yang mau dipasang Bandage elastic dibersihkan dari kotoran dan dikeringkan untuk menghindari gatal saat setelah di pasang. Penderita diberitau bahwa pemasangan elastis bermanfaat terhadap cedera yang dialaminya, kemudian atur posisi penderita dengan lutut fleksi 200 atau secomportable mungkin. b) Persiapan pembalut Bandage elastis Pastikan pembalut dalam keadaan bersih dan tergulung agar mudah pembalutan. c) Pembalutan : (1) Pembalutan elastis dimulai dari bawah keatas atau arah ke atas diawali 2 kali putaran, ketika memasang elastis bandage rol menghadap keatas pada tangan yang dominan. Selalu balut dengan arah yang dapat memendekkan struktur yang cedera. (2) Jangan memakai tungkai atau bagian tubuh lainnya untuk ankor untuk menghindari pembalutan terlalu ketat sehingga menghambat sirkulasi darah dan menimbulkan rasa nyeri. (3) Pembalutan elastis ini didesain untuk kompresi dan tidak untuk menyokong. Namun banyak tehnik 41 pemasangan akan lebih menyenangkan bila dilanjutkan pemasangan kinesio taping. (4) Pemasangan sebaiknya overlap 1/2 - 1/3 dari putaran pertama ke putaran berikutnya agar pembalutnya kuat dan merata. (5) Dianjurkan pemasangan selama 4 minggu dan 3 kali setiap minggunya. (6) Setelah selesai periksa kembali bagian distal (7) Bila ada keluhan perlu diperiksa kembali. Gambar 2.6 pemasangan Bandage elastic pada cedera ligamen kolateral medial sendi lutut. (Sumber : dokumen Pribadi) 2.4.2 Penerapan Kinesio Taping 1. Definisi Kinesio taping Definisi kinesio taping diciptakan oleh kenzo Kase pada tahun (1996), kinesio taping adalah pita khusus yang tipis, elastic, dan dapat ditarik hingga 120% - 140% dari panjang aslinya sehingga cukup dikatakan elastis dibanding dengan taping yang konvensional. 42 Hal ini memungkinkan pergerakan yang maksimal dari otot dan sendi, adanya tarikan pada kulit oleh pita perekat (taping) bertujuan untuk meningkatkan ruang antara kulit dan otot, sehingga mengurangi tekanan lokal dan membantu meningkatkan sirkulasi dan drainase limfatik, akibat dari proses tersebut dapat mengurangi nyeri, mengurangi oedema, dan mengurangi spasme otot. Kinesio taping adalah teknik yang didasarkan pada proses alami penyembuhan tubuh secara sendiri, proses dari teknik ini mengfasilitasi system saraf dan peredaran darah. Metode ini pada dasarnya berasal dari ilmu “Kinesiologi”, maka dari itu dinanamakan “kinesio”. Otot tidak hanya sebagai penyokong dan penggerak tubuh, tetapi juga mengontrol peredaran darah vena dan aliran getah bening, suhu tubuh, dan lain-lain. Oleh karena itu, kegagalan system fungsi musculoskeletal dapat menyebabkan berbagai macam gejala (Kase, 2003). Kinesio taping dikembangkan oleh Dr. Kenzo Kase pada tahun 1970-an. Pada awal penggunaannya Kinesiotaping banyak digunakan untuk dunia olahraga. Kinesiotaping dibuat menyerupai kulit, ketebalannya menyerupai epidermis kulit manusia dan dapat diregangkan hingga 140% dari panjang normal sebelum diaplikasikan ke kulit, sehingga memberikan ketegangan yang kuat saat diaplikasikan pada kulit (Prientice, 2011; Thelen, 2008). 43 Kinesio taping terdiri dari polimer elastis yang dibungkus serat katun 100%. Serat katun memungkinkan untuk terjadinya penguapan kelembapan tubuh dan cepat kering. Tidak terdapat lateks di dalam kinesio taping, perekat ini 100% acrylic dan pengaktif panas. Tegangan mempengaruhi atau uluran keberhasilan pada yang kinseio taping diharapkan. akan Dalam pengaplikasian, jika tehnik yang diperlukan adalah 25%, Namun pengukuran persentase penguluran tersebut sangatlah deskriptif dan tergantung dari kemampuan feeling dan pengalaman. 2. Tujuan dan manfaat Kinesio taping Kinesio Taping dapat di aplikasikan berdasarkan letak dan tujuannya antara lain sebagai berikut : a. Mechanichal correction Hal yang harus diperhatikan pada koreksi mekanik ini adalah posisi jaringan harus dalam keadaan bebas, dan bukan membuat jaringan atau sendi berada dalam posisi terfiksasi. taping diaplikasikan untuk memberikan stimulus pada mechanoreseptor pada jaringan atau sendi. Teknik ini dapat digunakan untuk membantu posisi dari otot, fascia, atau sendi untuk menstimulasi mechanoreseptor sehingga akan membantu tubuh beradaptasi dengan stimulus tersebut. 44 b. Fascia correction Fascia correction ini diaplikasikan untuk membuat fascia pada posisi yang benar, dan menjaga fascia untuk tidak kembali ke posisi yang tidak diinginkan. Teknik ini dimaksudkan untuk mengurai keterbatasan fascia secara perlahan melalui gerakan kulit dan kemampuan elastisitas dari taping itu sendiri. c. Space correction Space corection ini diaplikasikan untuk membuat ruang lebih langsung di area nyeri, inflamasi, atau oedem. Ruang yang meningkat akan menurunkan tekanan dengan cara mengkerutkan kulit pada area cidera. Hasil dari penurunan tekanan akan menurunkan tingkat iritasi receptor kimia dan akan menurunkan nyeri. d. Ligamen/ tendon correction Ligamen/ tendon correction ini diaplikasikan untuk membuat peningkatan pada daerah ligamen atau tendon yang dihasilkan dari peningkatan stimulasi mechanoreceptor. Stimulus ini dipercaya akan dirasakan sebagai propioceptive stimulation yang akan diinterpretasikan oleh otak sebagai tegangan jaringan yang normal. 45 e. Functional correction Functional correction digunakan ketika membantu keterbatasan gerak melalui stimulasi sensoris. Kinesiotaping diaplikasikan dengan tanpa tarikan selama gerak aktif. Tegangan yang muncul dipercaya akan memberikan stimulasi pada mechanoreceptor. Persepsi stimulasi dipercaya diinterpretasikan sebagai stimulasi propioceptif yang bertindak sebagai penanda pada posisi akhir gerakan. f. Lymphatic correction Lymphatic corection digunakan untuk membantu mengurangi bengkak dengan cara mengarahkan cairan menuju nodus lympatik yang lebih longgar. 3. Pedoman Penerapan kinesio taping Hal yang perlu dipahami pada aplikasi penerapan Kinesio taping pada cedera ligamen kolateral medial sendi lutut adalah derajad dari penguluran pada area target yaitu 75 % , hal ini dimaksudkan agar ligamen tersupport dan membantu ligamen sebagai stabilisasi tetap pada fungsinya. 46 Tabel 2.1 Tarikan kineosiotape (Kemampuan Uluran Kinesiotape) Tarikan Kinesiotape Persentase Penuh = 100% Berat = 75% Sedang = 50% Ringan (ketika kertas dilepas) = 15-25% Sangat ringan = 0-15% Tidak diulur = 0% (Sumber : Kase et al., 2003) Pemasangan Kinesio taping diawali dengan mengukur lembar taping mulai 2 inci dibawah origo atau 2 inci diatas insersio otot. Pemasangan diharuskan menyesuaikan bentuk anatomis tubuh manusia. Dasar pemasangan taping selalu diawali dan diakhiri tanpa adanya tegangan dari taping. Hal ini dimaksudkan untuk meminimalisir rasa kurang nyaman dari aplikasi taping (Kase et al., 2003). Penerapan Kinesio taping memiliki 4 fungsi utama yaitu: 1. Supporting muscle Penerapan Kinesio Taping dapat meningkatkan kemampuan otot yang lemah, mengurangi nyeri dan rasa lelah, dan menjaga otot dari keadaan kram, ketegangan dan kontraksi yang berlebihan. 47 2. Melancarkan sistem sirkulasi Penerapan Kinesio Taping dapat meningkatkan sirkulasi darah dan sistem limfatik, juga mengurangi pembengkakan yang terjadi pada jaringan. 3. Mengaktifkan sistem analgesik endogen Penerapan Kinesio taping dapat memfasilitasi tubuh untuk melakukan Self healing dan memproduksi zat analgesik sehingga dapat mengurangi nyeri. 4. Memperbaiki masalah persendian. Tujuan dari penerapan Kinesio taping adalah memperbaiki Range of motion dan menyesuaikan posisi sendi yang salah yang dihasilkan dari otot yang tegang. 5. Standar operasional prosedur pemasangan Kenesio Taping Hal yang harus selalu diperhatikan pada pemasangan Kinesio taping adalah posisi dari bagian tubuh yang akan ditaping diusahakan berada pada posisi yang lebih pendek , untuk mencegah tarikan pada bagian yang cedera sehingga proses penyembuhan dapat berlangsung dengan lebih baik. Pemasangan Kinesio taping yang beulang–ulang dapat menyebabkan kulit penderita mengalami iritasi. Sebelum melakukan pemasangan Kinesio taping, perlu diperhatikan beberapa hal dibawah ini , yaitu : a) Asess, tape, re asses 48 b) Tape untuk nyeri dan karena nyeri c) Bersihkan dan keringkan sebelum penggunaan d) Potong ujung setiap penggunaan e) Lakukan tanpa tarikan pada jangkar dan ekor f) Jangkar pada kulit diusahakan pada posisi netral g) Rambut dan bulu sebaiknya dibersihkan h) Edukasi ke pasien memudahkan penggunaan i) Tarikan yang sesuai diaplikasikan antara jangkar dan akhir disebut zona terapi j) Zona terapi adalah tempat dimana diaplikasikan tarikan pada target jaringan k) Sendi harus mampu bergerak dengan ROM penuh setelah aplikasi l) Setelah pemasangan gosok yang kuat untuk melengketkan m) Jangan pasang saat aktifitas, pasang 30 menit sebelum aktifitas a) Persiapan penderita. Setelah dipastikan kulit penderita bersih dan telah dikeringkan, kemudian atur posisi lutut fleksi 200 dengan memeberi support dibawah tumit. Penderita diberitahu bahwa manfaat pemasangan Kinesio taping pada kondisi cederanya, bila ada keluhan nyeri atau kesemutan beritahu terapist. 49 b) Persiapan alat (1) Peralatan yang akan digunakan harus sudah disiapkan terlebih dahulu agar saat pelaksanaan tidak ada yang tertinggal. (2) Pilih jenis tape yang hendak dipasang yaitu memiliki karakterristik elastis, adhesive, sangat kuat dan terbuat dari bahan Zinc-oxida, (3) Dan juga pilih tape yang memiliki karakteristik elastis, non adhesive, teridiri atas berbagai kerebalan dan ukuran (5cm, 7,5cm dan 10cm) c) Pemasangan (1) Setelah dipastikan Posisi Lutut fleksi (20 degree), kemudian terapist mendorong sedikit tungkai yang mengalami cedera kearah adduksi tungkai bawah atau searah varus agar ligamen dapat terfiksir dengan sempurna (2) Pasang ankor 5-8 cm dibawah lutut terfiksasi ligamen medial dari epicondilus lateralis menuju bidang atas lutut medial. (3) Kemudian pasang pita Taping 5 cm diatas ankor kemudian pita taping diatas ligamen yang mengalami cedera atau daerah zona target sekitar 75 50 % menuju atau searah dengan otot pes anserinus, taping atau pita rekat dipasang (4) Pasang ankor penutup pada ankor proksimal tanpa tarikan. (5) Dianjurkan pemasangan selama 6 sampai 8 minggu dan disertakan latihan stabilisasi, dengan durasinya 3 kali perminggu. (6) Setelah selesai pariksa bagian distal (7) Bila ada keluhan perlu diperiksa kembali. Gambar 2.7 : Penerapan Kinesio taping pada ligamen Kolateral medial sendi lutut. (Sumber : Dokumen pribadi) 5. Mekanisme pengurangan nyeri pada penerapan Kinesio taping Nyeri yang disebabkan oleh peregangan jaringan (pembebanan jaringan saat ekstensi maupun fleksi) atau propokasi aktivitas yang menyebabkan timbulnya sensitilisasi nosiceptor afferen dapat diatasi dengan adanya fiksasi atau stabilisasi pasif pada ligamen ini, sehingga memungkinkan untuk diberikan latihan 51 stabilisasi sendi atau penguatan otot-otot stabilisator yang mengalami cedera serta dapat dicapai stimulasi proprioseptif berupa reflek stumlasi langsung dan proses belajar (learning proses). Adanya fiksasi pada ligamen (stabilisasi pasif) dapat terjadi pemblokiran nyeri pada tingkatan sensorik level dan adanya pumping action dari otot-otot disekitar, meningkatkan system aliran darah capiler, meningkatkan proses metabolisme dan membantu proses absorbsi zat-zat iritan dan terjadi relaksasi otototot yang mengalami spasme dan kekakuan dapat diatasi. 2.4.3 Intervensi Latihan Stabilisasi 1. Pengertian. Cedera ligamen kolataral media sendi lutut sering menimbulkan rasa sakit serta ketidak mampuan untuk mencapai fungsinya. Nyeri dan ketidak mampuan akan bertambah dengan munculnya kelemahan dan atropi otot. Sedangkan otot-otot ini adalah merupakan komponen yang penting dalam membantu menstabilisir persendian, sementara kelemahan otot-otot seperti pes anserium dapat mengakibatkan semakin parahnya cidera. Sebaliknya dengan latihan stabilisasi akan terjadi penguatan otot-otot sehingga dapat mengurangi atropi otot dan membantu melindungi serta perbaiki problem yg muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. 52 Penurunan protein yang rata-rata tinggi di sekililing lutut yang mengalami cedera dapat mengganggu stabilitas. Akan tetapi akibat dari latihan stabilitasi, maka otot-otot stabilisator aktif pada sendi lutut dapat memperbaiki kekuatan, ukuran, daya kenyal, serta mencegah peradangan. Berkurangnya nyeri akan menimbulkan peningkatan kemampuan menyangga beban tubuh sehingga meningkatkan kemampuan fungsional. Sebagai akibat pengaruh latihan stabilisai maka setelah latihan akan meningkatkan peredaran darah pada persendian dan nutrisi tulang disamping karena memperbaiki kekuatan dan fungsi jaringan (tissue) sekililing persendian. Dengan demikian akan mengurangi resiko terluka atau cidera kronik pada persendian. Latihan stabilisasi juga memperbaiki sistem peredaran darah tepi dan getah bening oleh adanya pumping sehingga mengatasi terjadinya pembengkakan yang dapat mengganggu gerak dan fungsi sendi. 2. Jenis Latihan stabilisasi. Latihan stabilisasi sebagai salah satu modalitas fisioterapi, dapat digunakan untuk meningkatkan kekuatan otot yaitu dengan memberikan latihan strengthening. Karena dengan memberikan latihan strengthening maka akan terjadi penambahan jumlah sarkomer dan serabut otot (filamen aktin dan miosin yang diperlukan dalam kontraksi otot), sehingga dengan terbentuknya serabut-serabut 53 otot yang baru maka kekuatan otot dapat meningkat dan memperoleh stabilisasi aktif daripada sendi tersebut. Dalam memberikan latihan strengthening banyak teknik latihan yang dapat dilakukan, antara lain dengan teknik latihan isometrik, isokinetik dan isotonik (Kisner, 2007). Latihan isometrik adalah suatu jenis latihan statik kontraksi yaitu kontraksi muskular melawan tahanan tanpa ada perubahan panjang otot atau tidak diikuti oleh adanya gerakan sendi. Latihan isokinetik adalah suatu jenis latihan dinamik dimana kecepatan otot untuk memendek dan memanjang terjadi secara konstan. Latihan isotonik adalah suatu jenis latihan dinamis dengan kontraksi otot yang menggunakan resisten/beban yang tetap dan terjadi perubahan panjang otot pada lingkup gerak sendi. Latihan isotonik sebagai latihan penguatan otot yang paling sering digunakan pada latihan dinamik mempunyai beberapa metode, antara lain; De Lorme, Oxford,DAPRE, Circuit Weight Training, dan Plyometric Training. Metode-metode ini merupakan metode isotonic resistance exercise yang pendekatannya dilakukan dengan meningkatkan kekuatan otot pada seluruh lingkup gerak sendi yang ada, sehingga aktifitas fungsional dari sendi tersebut. 3. Tujuan Latihan stabilisasi. Tujuan umum program latihan stabilisasi adalah untuk mencapai gerak dan fungsi yang bebas gejala atau suatu 54 symptom. Melalui proses pemikiran klinis , seoramg fisioterapis harus menentukan jenis terapi latihan yang dapat digunakan untuk mencapai hasil fungsional yang terukur. Latihan isotonic adalah suatu jenis latihan dinamis dengan kontraksi otot yang menggunakan resisten/beban tetap dan terjadi perubahan panjang otot pada lingkup gerak sendi. Latihan isotonic dapat diberikan dalam bentuk latihan dengan tetap dan berubahubah, eksentrik dan konsentrik (American Geriatric Society, 2001). Latihan dengan teknik isotonik ini merupakan suatu teknik latihan yang paling sering dilakukan untuk meningkatkan kekuatan otot. Latihan ini adalah latihan dinamik yang dilakukan dengan prinsip resisten/beban yang konstan dan terjadi perubahan panjang otot. Pada latihan isotonik dapat diberikan dengan beban atau sering disebut dengan ‘heavy resistance exercise’, yaitu metode yang paling berguna untuk latihan penguatan otot. Karena latihan ini merupakan latihan meningkatkan yang tekanan dinamik maka intramuskuler latihan dan ini dapat menyebabkan meningkatnya aliran darah, sehingga latihan ini tidak cepat menimbulkan kelelahan Pada latihan ini dilakukan dengan memberikan beban dari beban rendah ke tinggi. Tujuan terapi latihan termasuk untuk mencegah dysfungsi melalui pengembanmgan , perbaikan , pengembalian , atau peliharaan : 55 a. Strength b. Endurance and cardiopulmonal fitness c. Mobility and flexibility d. Stability e. Relaxation f. Coordination , balance , and functional skill. (Kisner dan Colby, 1996) Salah satu tujuan terapi latihan yang dikemukakan diatas adalah Strength atau kekuatan otot. Kekuatan adalah kemampuan otot atau group otot untuk menghasilkan tegangan/tention dan menghasilkan gaya saat upaya maksimal , baik secara statik atau dinamik. Faktor – faktor yang mempengaruhi kekuatan otot normal antara lain: 1) Ukuran cross – sectional otot – diameter terbesar, kekuatan terbesar. 2) Length – tention yang berhubungan terhadap suatu otot pada waktu kontraksi – suatu otot menghasilkan tention terbesar ketika sedikit memanjang pada waktu kontraksi. 3) Rekruitmen motor unit - jumlah dan sinkronisasi dari motor unit terdepolarisasi lebih banyak , output gayanya lebih besar. 56 4) Distribusi tipe serabut – karakteristik tipe serabut otot mempengaruhi jumlah properti kontraktil otot seperti kekuatan, endurance, power, kecepatan/speed, dan resistensi terhadap kelelahan. 5) Simpanan energi membutuhkan dan suplay sumber energi darah yang - suatu cukup otot untuk berkontraksi, menimbulkan tegangan / tension, dan tahan lama. 6) Kecepatan kontraksi. 7) Motivasi pasien – pasien sebaiknya memiliki motivasi untuk melakukan upaya maksimal untuk menimbulkan kekuatan maksimal 4. Pedoman latihan stabilisasi Pedoman latihan untuk meningkatkan kekuatan otot adalah sebagai berikut : 1) Prinsip pembebanan atau overload. Untuk meningkatkan kekuatan, suatu beban harus digunakan melebihi kapasitas metabolik otot selama latihan. Hal ini akan menimbulkan hipertropi dan rekruitmen motor unit dan kemudian akan meningkatkan kekuatan otot. 2) Kapasitas otot untuk menghasilkan tegangan yang lebih besar dapat dicapai dengan intensitas latihan yang tinggi, latihan 57 dilakukan melawan beban, dengan jumlah pengulangan minimal. 3) Variasi jenis dan struktur program latihan, didesain untuk meningkatkan kekuatan. Pemilihan metoda dan tehnik latihan disarankan “untuk menggunakan penguatan pada Vastus medialis sebagai pendekatan awal” untuk penanganan nyeri akibat cidera ligament collateral medial. Latihan penguatan untuk m.vastus medialis dapat menggunakan teknik dan metoda , berupa : 1) Quadriceps setting in n pain – free position. Posisi pasien dalam posisi lutut bebas rasa nyeri saat melakukan gerakan latihan dengan beban minimal atau nondestructive loading. 2) Short – arch terminal extention. Dimulai dengan knee fleksi sekitar 20º. Jika dapat ditoleransi dan gerakan tidak menimbulkan nyeri, beban ringan dapat ditempatkan dipergelangan kaki. Penguatan dalam terminal extension untuk melatih fungsi otot dengan efisien karena pada posisi tersebut kompressi patellar minimal lebih besar pada trochlea femoris. 5. Standar operasional prosedur latihan stabilisasi. 58 Berdasarkan metoda dan tehnik latihan stabilisasi, disusun standar operasional prosedur dalam program latihan stbilisasi sebagai berikut : a) Posisi pasien : berbaring lurus terlentang dengan lutut disanggah pada posisi 20º fleksi. b) Arah dan gerakan : Pasien meluruskan lutut dengan gerakan ritmis dalam pola diagonal kemudian ditambah dengan Straight leg raising. c) Pembebanan : Pemberian kondisi nyeri beban disesuaikan dengan pasien. Pemberian beban berdasarkan prosentase berat tubuh dan lokasi grup otot, untuk universal leg extension menggunakan 10% berat badan. d) Pengulangan : Metoda Delorme menggunakan 10 Repetisi maksimal. e) Durasi latihan : Program Latihan dilakukan 3 kali perminggu selama kurang lebih 4 minggu. f) Perhatian : Hindari posisi penguncian sendi dan gerakan dihentikan bila timbul rasa nyeri. Latihan penguatan dilakukan dalam pengawasan fisioterapis untuk mengobservasi ketepatan arah gerakan dan tujuan latihan yang diharapkan. 59 6. Mekanisme pengurangan nyeri pada Latihan Stabilisasi. Intervensi latihan stabilisi atau pengutan otot-otot stabilitor dapat mengurangi atropi otot dan membantu melindungi serta memperbaiki problem yang muncul akibat instabilitas atau nyeri yang diakibatkan oleh kelemahan. Sebagai mamfaat dari latihan penguatan otot maka setelah latihan akan merangsang serabut afferen tipe Ia dan II yang berdiameter besar (Proprioseptor), sehingga aktivitas dari serabut afferen tersebut dapat menurunkan spasme otot disamping memperbaiki sistem pendarahan darah tepidan getah bening oleh adanya pumping action sehingga mengatasi terjadinya pembengkakan, penurunan spasme otot dan mampu mengurangi nyeri pada level sensorik yang dapat mengganggu gerakan dan fungsi sendi. Dengan demikian akan memperbaiki kekuatan dan fungsi jaringan (tissue) sekeliling persendian berikut akan mengurangi resiko cidera kronik pada persendian. 2.4.4 Pengukuran nyeri Visual Analog Scale (VAS) adalah suatu cara pengukuran nyeri. Dikatakan bahwa VAS merupakan sistim pengukuran nyeri yang valid dan lebih sensitif dibanding metode-metode lain. VAS terdiri dari sebuah garis lurus yang horisontal sepanjang 10 cm yang tidak diberi pembagian skala (gbr 4). Awal garis menunjukkan tidak adanya rasa 60 nyeri, sedang ujung garis menunjukkan nyeri yang tidak tertahankan. Pasien diminta menunjukkan lokasi nyeri pada garis tersebut, kemudian diukur dan dinyatakan dalam millimeter. 0 100 mm Tidak nyeri nyeri tak tertahankan Gambar 2.8 : Skala VAS. ( APTA 1995). Skor tersebut dicatat untuk melihat kemajuan pengobatan selanjutnya Pasien diminta menunjukkan intensitas nilai rasa nyerinya pada garis tersebut, kemudian diukur dan dinyatakan dalam millimeter. Konsep ini dalam VAS dan dapat dipahami bahwa: 1. Objek yang diukur adalah manusia tergantung intensitas nyeri pada masing-masing individu. 2. Alat ukur yang digunakan berupa garis lurus horizontal dengan panjang 100 mm. 3. Satuan ukur yang ditetapkan dalam cm atau millimeter. Prosedur pelaksanaan pengukuran nyeri adalah : 1. Peneliti membuat garis sepanjang 10 cm. 61 2. Pada ujung kiri diberi skala 0 mm “tidak ada nyeri ” dan pada ujung kanan diberi skala 100 mm “nyeri tak tertahankan”. 3. Sampel diberikan penjelasan untuk memberikan tanda titik di sepanjang garis tersebut sesuai dengan tingkat nyeri yang dirasakan. 4. Setelah pasien memberikan tanda titik pada garis tersebut, kemudian dilakukan pengukuran dari ujung kiri garis hingga tanda titik yang diberikan pasien. Panjang ukuran tersebut, yang dinyatakan dalam millimeter itulah yang menjadi nilai yang menunjukkan derajat nyeri yang dirasakan pasien. 5. Nilai tersebut kemudian dicatat sebagai nilai nyeri pasien sebelum intervensi. 6. Setelah intervensi, pasien kembal diminta untuk memberikan tanda pada garis tersebut. 7. Kemudian kembali dilakukan pengukuran untuk mendapatkan nilai yang menunjukkan derajat nyeri dan dicatat sebagai nilai nyeri setelah intervensi.