BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang As far as

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
As far as Ray was concerned, this was all revolting chatter. Adulteries and
drunks and scandals-who was right and who was wrong? Who could care?
That girl had grown up to preen and bargain like the rest of them. The
waste of time, the waste of life by people all scrambling for excitement and
paying no attention to anything that mattered (Munro, 2012: 85-86).
[Sejauh yang diperhatikan Ray, semua ini adalah perbincangan yang
menjijikkan. Tentang perzinaan, pemabuk, dan skandal. Siapa yang benar
dan siapa yang salah? Siapa yang peduli? Gadis itu menjadi pesolek dan
murahan seperti yang lainnya. Waktu disia-siakan, hidup dibuang percuma
karena semua orang berebut mencari kesenangan dan tidak memedulikan
persoalan sesungguhnya]
Kutipan di atas merupakan gambaran Ray sebagai orang ketiga yang
bercerita tentang seorang perempuan bernama Leah. Leah adalah refleksi
perempuan abad ke-20 yang berbeda dari perempuan tradisional. Pada zaman
tradisional ada beberapa hal yang dianggap tabu, melanggar norma masyarakat,
dan agama jika dilakukan oleh perempuan. Sekarang hal tersebut dianggap biasa
jika dilakukan. Pemikiran perempuan saat ini sudah sangat dipengaruhi oleh
lingkungan tempat tinggal atau pengaruh-pengaruh lain yang berada di luar
dirinya, termasuk pengaruh dari gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan
antara laki-laki dan perempuan. Perubahan cara berpikir perempuan juga
memengaruhi perubahan relasi keintiman pada pasangan. Dikatakan Lilian Rubin
dalam buku Giddens (1992) yang berjudul The Transformation of Intimacy,
perempuan kini menuntut persamaan hak dalam seksualitas seperti laki-laki.
1
Berbeda dengan perempuan sebelum perang dunia kedua yang masih
mempertahankan keperawanannya sebelum menikah, perempuan masa kini sudah
tidak lagi mempertahankan tradisi tersebut. Perempuan memiliki hak yang sama
dengan laki-laki yang mempunyai kebebasan dalam hal seksualitas. Kebebasan ini
akhirnya berpengaruh pula dalam hubungan keintiman suami istri.
Wacana tentang pernikahan yang bahagia pun kini telah bergeser.
Pernikahan yang bahagia menurut Giddens adalah pernikahan yang berdasar pada
pure relationship. Pure relationship merupakan hubungan tulus atau relasi yang
murni antarpasangan. Pasangan yang dimaksud di sini tidak hanya pasangan yang
tercatat resmi dalam hubungan pernikahan, tetapi juga pasangan yang tidak
menikah, heteroseksual, maupun homoseksual. Di dalam pure relationship
terkandung plastic sexuality, yaitu hubungan seksual yang bertujuan untuk
pleasure. Seksualitas jenis ini terbebas dari tuntutan reproduksi. Namun, plastic
sexuality dianggap melanggar norma agama karena bagi agama apa pun tujuan
seksualitas adalah untuk reproduksi, bukan pleasure.
Pure relationship akan tercapai jika kedua pasangan mempunyai
komitmen dan berusaha memperjuangkan komitmen yang telah disepakati
bersama. Jika tidak terdapat komitmen dalam pernikahan, atau salah satu
pasangan tidak memperjuangkan komitmen yang telah disepakati, maka
kemungkinan besar akan menyebabkan hubungan antarpasangan menjadi tidak
harmonis
lagi.
Ketidakharmonisan
ini
akhirnya
dapat
berujung
pada
perselingkuhan ataupun perceraian Perselingkuhan yang dimaksud dalam
penelitian ini adalah laki-laki atau perempuan, yang secara sah masih terikat
2
hubungan pernikahan, menyeleweng dengan laki-laki atau perempuan lain.
Perselingkuhan bisa dilakukan oleh suami atau istri, ataupun keduanya. Dalam
penelitian ini, penulis menekankan pada keintiman perempuan-perempuan yang
berselingkuh.
Seperti yang telah penulis ungkapkan di atas, perubahan zaman telah
membuat hal-hal yang dulunya dianggap aneh, janggal, tidak umum menjadi hal
yang biasa jika dilakukan pada masa sekarang. Termasuk dalam hal ini adalah
perselingkuhan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang mempunyai
banyak relasi mempunyai kesempatan untuk saling berbagi cerita dengan orang
lain selain pasangannya. Beberapa dari mereka akan sangat terbuka tentang
masalah rumah tangganya. Giddens mengatakan, perempuan yang lebih memilih
menceritakan masalahnya dengan orang lain dan bukan kepada kekasihnya
kemungkinan besar memiliki beban dalam hubungan cintanya (1992: 139). Tidak
menutup kemungkinan mereka akan berbagi cerita dengan orang lain tentang
masalah rumah tangga, kemudian membandingkan suaminya dengan laki-laki
lain.
Penyebab lain dari perselingkuhan adalah tuntutan-tuntutan istri yang tidak
bisa dipenuhi oleh suaminya. Tuntutan perempuan pada laki-laki menimbulkan
konflik-konflik dalam hubungan pernikahan yang pada akhirnya menyebabkan
salah satu dari pasangan atau keduanya berselingkuh karena tidak mendapatkan
apa yang mereka cari dalam pernikahannya.
Kumpulan cerpen Dear Life berisi empat belas cerpen yang panjang
(sekitar 40.000-100.000 karakter dengan spasi), empat cerpen terakhir merupakan
3
autobiografi dari Alice Munro sendiri. Cerpen-cerpen dalam Dear Life sebagian
besar bercerita tentang keluarga, hubungan yang tidak harmonis antarpasangan,
skandal, dan perselingkuhan. Penulis memilih tiga cerpen dalam kumpulan cerpen
ini, yaitu Leaving Maverley, To Reach Japan, dan Gravel karena tiga cerpen ini
mempunyai banyak kesamaan dalam alur cerita dan setting waktunya.
Paragraf pembuka pada latar belakang penelitian ini adalah kutipan yang
penulis ambil dari cerpen Alice Munro yang berjudul Leaving Maverley. Cerpen
ini adalah salah satu dari kumpulan cerpen Munro di dalam buku Dear Life
(2012). Leaving Maverley menceritakan kisah seorang perempuan penjaga tiket
bioskop, Leah yang mengalami banyak perubahan setelah menikah. Leah berasal
dari keluarga yang taat pada agama. Sang ayah sangat mengatur kehidupannya
atas nama agama. Pada suatu hari Leah tiba-tiba menghilang. Ternyata ia menikah
dengan pemain saksofon, anak seorang pendeta. Setelah memiliki dua anak, Leah
tampil lebih modis dan lebih percaya diri. Leah dan anak-anaknya tinggal terpisah
dari sang suami. Leah diketahui berselingkuh dengan pendeta yang baru. Pendeta
yang baru itu pun sebenarnya telah memiliki seorang istri. Sang pendeta baru
tidak menampik kebenaran bahwa dia telah berselingkuh dan berzina dengan
Leah. Bahkan ia berani melakukan pengakuan di atas mimbar. Di akhir cerita,
pendeta yang baru tidak menikah dengan Leah tetapi dengan seorang pendeta
perempuan. Di sisi lain, Leah dipisahkan dari anak-anaknya oleh sang mantan
suami, hingga pada akhirnya Leah tinggal sendiri dan tidak memiliki siapa pun.
Leah adalah representasi dari perempuan yang sudah tidak lagi memegang
nilai-nilai tradisional. Hal ini tergambar dalam pelanggaran yang berani ia lakukan
4
terhadap norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan agama. Ia adalah
perempuan masa kini, yang aktif berkegiatan di luar ranah domestik. Pengaruh
dari luar dirinya dan ketidakpuasannya pada suami membuatnya tidak bahagia.
Pure relationship yang diharapkan dalam pernikahan tidak ia dapatkan, sehingga
ia memilih untuk berselingkuh demi mencari kebahagiaan yang tidak ia temukan
dalam pernikahannya.
Cerpen selanjutnya berjudul To Reach Japan. Dikisahkan seorang ibu
muda yang, berprofesi sebagai penyair bernama Greta, berselingkuh dengan dua
lelaki, yaitu Harris Bennett dan Greg. Harris Bennett adalah laki-laki dari Toronto
yang tidak sengaja bertemu di pesta para penulis. Pesona dan budi baik Harris
mampu meluluhkan hati Greta. Setelah pulang dari pesta, Greta tidak bisa
berhenti memikirkan Harris. Pada saat yang sama, Greta diminta menempati
rumah temannya di Toronto selama sebulan. Greta kemudian berusaha mencari
tahu alamat Harris, mengirim surat kepadanya tentang rencana kedatangan Greta
ke Toronto. Di dalam kereta yang menuju Toronto, Greta bertemu dengan Greg,
laki-laki muda yang awalnya hanya menghibur Katy, anak Greta. Setelah Katy
tertidur, Greta dan Greg berbincang sambil minum minuman keras kemudian
melakukan hubungan seksual. Sesampainya di Toronto, Harris telah menanti
kedatangan Greta. Harris dan Greg membuat Greta sadar bahwa selama ini ia
banyak berpura-pura pada Peter, tidak menjadi dirinya sendiri, sehingga ia merasa
lebih nyaman ketika berbicara dengan Harris atapun Greg, karena terhadap dua
laki-laki itu Greta bisa menjadi dirinya sendiri.
5
Mengutip artikel “Perselingkuhan di Sekitar Kita”, perselingkuhan kini
lazim dan mudah ditemukan di kota-kota besar, dan sebagian besar pelakunya
adalah orang-orang yang banyak berinteraksi dengan dunia luar atau ranah publik
daripada di dalam rumah tangga atau ranah domestik (Munti, 2005: 84). Seperti
halnya tokoh Greta yang merupakan perempuan yang memiliki kesibukan di luar
rumah, ia banyak berinteraksi dengan laki-laki selain suaminya. Ia juga berani
mengejar kenikmatan seksual. Ia bukan perempuan yang patuh dan tunduk
sebagai seorang istri yang pasif seperti dalam kriteria perempuan tradisional.
Cerpen terakhir yang penulis analisis berjudul Gravel. Dalam cerpen ini
Munro masih mengangkat tema perselingkuhan. Narator cerpen ini adalah anak
kedua dari istri yang berselingkuh. Munro tidak menyebutkan nama suami dan
istri dalam cerita ini. Ia hanya menyebut Ayah dan Ibu. Gravel bercerita tentang
seorang tokoh Ibu yang berparas cantik yang bekerja sebagai penjaga pintu teater
melakukan perselingkuhan dengan laki-laki bernama Neal, seorang pemain teater.
Tokoh Ibu merasa memiliki kecocokan dengan Neal daripada dengan suaminya.
Kata-kata tokoh Ayah yang bertujuan memuji seni dan teater justru sering
membuat tokoh Ibu menjadi malu di depan teman-temannya. Pertemuan yang
intens antara tokoh Ibu dan Neal membuat mereka saling tertarik. Sampai
akhirnya pada suatu hari, tokoh Ayah sangat terpukul dengan pengakuan tokoh
Ibu bahwa anak yang dikandungnya adalah anak Neal. Tokoh Ibu memilih pergi
dari rumah dengan membawa serta dua anaknya yang kemudian menikah dengan
Neal. Di awal pernikahannya dengan Neal mereka bahagia. Tokoh Ibu melepas
kebiasaan lama yang tidak ia sukai ketika masih dalam pernikahan pertamanya.
6
Pada akhir cerita, hubungan tokoh Ibu dan Neal tidak harmonis setelah anak hasil
pernikahannya dengan tokoh Ayah meninggal. Tokoh Ibu menuduh Neal yang
menyebabkan sang anak celaka. Tokoh ibu meninggalkan Neal dan memilih
hidup dengan anak-anaknya tanpa Neal sedangkan tokoh Ayah menikah dengan
teman lamanya dan hidup bahagia.
Terdapat banyak persamaan kasus perselingkuhan yang Munro tuliskan
dalam cerpen-cerpennya. Selain dampak dari perselingkuhan yang mengakibatkan
keluarga tidak harmonis lagi, perempuan-perempuan yang berselingkuh adalah
perempuan yang mempunyai berbagai aktivitas di luar rumah. Mereka
digambarkan sebagai istri yang tidak puas dengan suami mereka, karena suami
sibuk, kolot, pasif atau alasan-alasan yang lain.
Kumpulan cerpen Dear Life karya Alice Munro merupakan karya sastra
yang merefleksikan fenomena perselingkuhan dan keintiman dalam kajian
feminisme. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen ini adalah perempuanperempuan yang sudah tidak lagi memegang erat nilai-nilai tradisi dan menjaga
sikap sebelum atau setelah menikah.
Alice Munro sang penulis cerpen Dear Life, merupakan pemenang Nobel
Sastra 2013. Ia dibesarkan di Wingham, Ontario, dan kuliah di University of
Western Ontario. Sebelumnya ia telah menerbitkan sembilan buku, yaitu Dance of
Happy Shades, Lives of Girls and Women, Something I’ve been Meaning to Tell
You, Who do You Think You Are?, The Moons of Jupiter, The Progress of Love,
Friend of My Youth, Open Secrets, Selected Stories, dan The Love of a Good
Woman. Alice Munro telah banyak mendapat anugerah, tiga Anugerah Sastra dari
7
Gubernur Jenderal Kanada dan Giller Pize pada 1998; Rea Award for Short
Fiction; Lannan Literary Award; W.H Smith Literary Award dari Inggris; dan
National Book Critics Circle Award dari Amerika Serikat. Cerita-cerita yang
Alice Munro tulis diterbitkan oleh New York Worker, The Atlantic Monthly, The
Paris Review, dn lain-lain. Kumpulan ceritanya juga telah diterjemahkan ke dalam
tigabelas bahasa (Munro, 2014: 303).
Karya sastra bertema perselingkuhan telah banyak ditulis oleh para
pengarang di
seluruh
dunia. Pada
abad
ke-17,
Nathaniel
Hawthorne
menghebohkan dunia sastra karena berani menulis karya dengan tema
perselingkuhan yang berjudul The Scarlet Letter. Pada abad ke-19 seorang penulis
bernama Gustave Flaubert juga menulis karya sastra dengan tema perselingkuhan
yang berjudul Madame Bovary. Di Rusia, karya bertema perselingkuhan ditulis
oleh Leo Tolstoy dalam novel Anna Karenina. Pada abad ke-20 perselingkuhan
menjadi hal yang sudah lebih diterima. Seperti yang terlihat pada novel Lady
Chatterley’s Lover karya D. H Lawrence di Inggris. Bahkan di Indonesia pun,
karya sastra tentang perselingkuhan sudah banyak ditulis. Karya tersebut antara
lain; novel Belenggu karya Armin Pane (1940), cerpen Sebuah Pertanyaan untuk
Cinta karya Seno Gumira Ajidarma (1993), Saman karya Ayu Utami (1998),
Larung Ayu Utami (2001), novel The Sax karya Sujiwo Tejo (2003), dan Lelaki
Harimau karya Eka Kurniawan (2004).
Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan pengalaman
dan pengamatan pengarang terhadap persoalan kehidupan manusia. Berbagai
persoalan yang sering dihadapi manusia berupa persoalan cinta, persahabatan,
8
kekecewaan, kesedihan, kegelisahan, pernikahan, dan lain sebagainya yang
tampak melalui tingkah laku tokoh dalam karya sastra. Hal tersebut sesuai
pendapat Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 2002:8), yang mengemukakan bahwa
karya sastra tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kehidupan manusia.
Berkaitan dengan pendapat tersebut, jelas bahwa segala persoalan kehidupan
manusia merupakan sumber inspirasi pengarang dalam menciptakan sebuah karya
sastra.
Pengarang adalah jenius yang mahir merangkai realitas dalam bentuk fiksi.
Mereka mengarang penuh dengan kesadaran untuk mengetengahkan
sesuatu. Mereka menulis berdasarkan pengalaman dan argumen mereka
meski dalam bentuk-bentuk dramatisasi dan pengembaraan inspirasi.
Mengenal mereka lewat karya dan ideologi yang ditawarkan berarti
mencoba memahami jembatan antara imajinasi dan riil mereka. Justru itu
adalah tugas peneliti sastra yang menarik (Udasmoro, 2012: 8-9).
Alice Munro lahir di Amerika pada tahun 1931. Munro merasakan
perbedaan zaman sejak ia kecil sampai ia menuliskan cerpen-cerpen dalam Dear
life. Kumpulan cerpen Dear life diterbitkan pada tahun 2012. Namun cerpen To
Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel mengambil setting waktu pasca
perang (abad ke-20). Pelaku perselingkuhan adalah para perempuan, atau orangorang yang taat pada agama. Hal tersebut membuat penulis merasa tertarik untuk
meneliti cerpen-cerpen ini.
1.2 Rumusan Masalah
Dear Life merupakan kumpulan cerpen yang diterbitkan pada tahun 2012.
Dalam ketiga cerpen yang berjudul To Reach Japan, Leaving Maverley, dan
Gravel, Alice Munro sebagai penulis cerpen mengambil setting waktu abad ke-20.
9
Artinya, cerpen ini merupakan representasi rumah tangga pada abad ke-20. Dalam
cerpen ini juga digambarkan orang-orang yang taat agama namun melakukan
perselingkuhan.
Berdasar teori intimacy yang dicetuskan Giddens dalam bukunya The
Transformation of Intimacy, telah terjadi perubahan sosial dan perilaku seksual
dalam hubungan laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu yang menyebabkan
perubahan relasi keintiman. Maka pertanyaan penelitian tesis ini adalah:
1. Bagaimana keintiman perempuan digambarkan dalam kumpulan
cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel karya Alice
Munro?
2. Bagaimana
perubahan
zaman
mempengaruhi
keintiman
dan
kepercayaan seseorang pada agama?
3. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh Alice Munro dalam ketiga
cerpen tersebut?
1.3 Objek Penelitian
Objek dalam penelitian ini terdiri dari objek material dan objek formal.
Objek material yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah cerpen To Reach
Japan, Leaving Maverley, dan Gravel yang terdapat dalam kumpulan cerpen Dear
Life karya Alice Munro yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh Vintage
International di New York.
10
Objek formal yang penulis gunakan adalah teori intimacy yang dicetuskan
oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy yang
diterbitkan oleh Stanford University Press California pada tahun 1992.
1.4 Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, untuk mengetahui
keintiman perempuan pada abad ke-20 seperti yang digambarkan oleh Alice
Munro dalam cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Dengan
mengetahui keintiman perempuan pada abad ke-20, kita akan mengetahui bahwa
keintiman mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Relasi keintiman pada
suatu pasangan berdampak dalam hubungan antara orang tua dan anak, sehingga
akan diketahui dampak apa yang ditimbulkan orang tua kepada anak apabila orang
tuanya tidak mempunyai relasi yang harmonis.
Penulis melihat terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam cerpen To Reach
Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Di dalam ketiga cerpen tersebut,
perempuan digambarkan berani berselingkuh, bahkan orang-orang yang
melakukan perselingkuhan adalah orang-orang yang menganut suatu agama
tertentu dan beberapa dari mereka masih rajin melakukan ibadah. Sehingga,
tujuan penelitian yang kedua adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan
zaman mempengaruhi keintiman dan kepercayaan seseorang pada agama.
Tujuan yang terakhir adalah mengetahui pesan yang ingin disampaikan
Alice Munro dalam To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Seperti yang
sudah disampaikan penulis, cerpen Dear Life diterbitkan pada tahun 2012 namun
11
mengambil setting waktu abad ke-20. Sehingga, penulis ingin mengetahui pesan
yang ingin disampaikan oleh Alice Munro.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penulis mengkategorikan tinjauan pustaka menjadi dua yaitu, (1)
penelitian tentang perselingkuhan, (2) penelitian-penelitian yang menggunakan
teori intimacy yang dicetuskan oleh Giddens sebagai pisau analisisnya.
Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Thomas Dutoit (2014) yang
berjudul Boring Gravel: Literary Earth, Alice Munro’s Geolithic. Ia
menyimpulkan bahwa Orang-orang Kanada dalam karya Munro sering dikaitkan
dengan pertanian, jalan, kota, danau, sungai, bendungan di Amerika Utara atau
Kanada.
Penelitian yang kedua dilakukan oleh Marianus Woda Liru (2016),
mahasiswa program Pascasarjana Ilmu Sastra, FIB, UGM. Judul penelitiannya
adalah “Perempuan sebagai Subyek yang Mencintai dalam Novel Emma Karya
Jane Austen”. Peneliti menggunakan dua teori yang dicetuskan oleh Giddens
yaitu, The Transformation of Intimacy (1992) dan Modernity and Self Indentity
(1991) yang menyatakan bahwa perubahan status perempuan dalam kehidupan
sosial modern telah mempengaruhi bentuk dan karakter relasi keintimannya dalam
masyarakat. Emma digambarkan sebagai subjek yang mencintai yang berusaha
membangun relasi keintiman dengan pria yang menjadi pilihannya. Dalam
penelitian ini dijelaskan tentang perjuangan Jane Austen merepresentasikan
kehadiran perempuan sebagai subjek yang mencintai di dalam sebuah relasi
12
keintiman yang cair dan tidak terikat. Penelitian ini juga berfokus pada cara
bertutur Jane Austen dalam memperjuangkan posisi perempuan sebagai subjek
yang mencintai. Jane menghadirkan perempuan sebagai sebuah entitas yang
otonom yang mempunyai hak yang sama dalam masyarakat patriarki dalam novel
tersebut (Liru, 2016: ix).
Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh seorang dosen jurusan Kajian
Budaya dan Media UGM, Ratna Noviani, dengan judul “Perempuan, Cinta dan
Keintiman: Konstruksi Loving Subject dalam Film Rectoverso”. Ia mengkaji
posisi perempuan sebagai the loving subject dalam wacana cinta dan keintiman
serta melihat bagaimana perempuan dalam film tersebut memaknai relasi cinta
dan keintiman dengan lawan jenis yang dihadirkan dalam film Rectoverso,
khususnya dalam segmen “Curhat Buat Sahabat”, dan “Hanya Isyarat”. Film ini
dipilih karena film ini diproduseri dan disutradarai oleh perempuan. Sehingga,
Rectoverso diasumsikan menawarkan konstruksi tentang subjektivitas perempuan
yang cenderung berbeda dari konstruksi gender dalam bingkai falosentris.
Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana dari Sara Mills. Hasil
penelitian terhadap wacana cinta dan keintiman dalam film tersebut cenderung
dikonstruksi sebagai persoalan privat dan individual. Perempuan menjadi the
loving subject yang otonom dan memiliki agensi untuk membangun relasi cinta
dan keintiman yang diidealkannya. Film Rectoverso juga membangun wacana
tentang perempuan sebagai the loving subject yang modern, refleksif, juga
teralienasi (Noviani, 2013).
13
Penelitian yang keempat juga menggunakan teori The Transformation of
Intimacy Giddens sebagai pisau pembedahnya. Sastri Sunarti menulis artikel
jurnal Literasi yang berjudul “Representasi Seksualitas dalam Tiga Novel
Perempuan Indonesia: Saman, Larung, dan Nayla”. Artikel ini mendiskusikan
representasi seksualitas dalam karya sastra dari perspektif perempuan. Analisis
tiga novel ini bertujuan menunjukkan representasi seksualitas melalui ekspresi
hasrat seksual, figur personal, wacana tubuh, metamorfosa seks perempuan,
pernikahan, stereotip seks perempuan, dan pemerkosaan terhadap perempuan.
Kesadaran ideologis di antara para penulis perempuan, khususnya yang
disebabkan oleh wacana feminisme, menjadikan mereka berani menulis tidak
hanya tentang perasaan mereka, tetapi pilihan mereka menjalani hidup, termasuk
hasrat dan pilihan seksual. Terlepas dari perdebatan kontroversial di antara
kritikus sastra, dengan merepresentasikan seksualitas, penulis perempuan bisa
menikmati kebebasan. Dengan kata lain, mereka menolak menjadi objek dari
hasrat lelaki. Lebih jauh, dalam tiga novel tersebut, para tokoh perempuan
melawan dominasi patriarkhal (Sunarti, 2011:1).
Tesis yang dilakukan oleh Lusia Kristiasih Dwi Purnomosari mahasiswa
Pascasarjana UGM yang berjudul “Perselingkuhan Sebagai Elemen Tematik:
Studi Sastra Banding Cladio Guillen Pada Lady Chatterley’s Lover, Madame
Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter”. Tesis ini mengangkat isu
perselingkuhan yang berbeda tempat dan waktu kejadian. Alat untuk menjawab
pertanyaan adalah teori sastra banding Claudio Guillen dan metode analissinya
(tematologi). Paradigma penelitian ini adalah sastra banding. Hasil penelitian ini;
14
(1) persamaan elemen tematik perselingkuhan pada empat novel tersebut
dilakukan oleh tokoh utama perempuan. Perselingkuhan berhubungan dengan
masyarakatnya, perselingkuhan menuntut konsekuensi dan sanksi; (2) Perbedaan
elemen tematik perselingkuhan menunjukkan bahwa tokoh utama perempuan
melakukan perlawanan terhadap kesadaran masyarakat industrialis pada LCL,
kepura-puraan pada AK, fantasi dan realitas pada MB, dan aturan kaum Puritan
pada TSL; (3) Struktur diakronis elemen tematik perselingkuhan menunjukkan
bahwa perselingkuhan pada LCL merupakan redifinisi dari TSL karena MB dan
AK menimbulkan kematian pada tokoh utamanya. Perselingkuhan pada LCL
lebih bersifat logikal daripada novel lain; (4) Supranasionalitas LCL, MB, dan AK
adalah materialisme sedangkan TSL adalah Puritanisme (Purnomosari, 2013:
xvii).
Pada tahun 2013 Siti Khoiriyah, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni,
Universitas Negeri Semarang melakukan penelitian dalam bentuk skripsi. Yang
berjudul Konflik Perselingkuhan dalam Novel The Sax karya Sujiwo Tejo Kajian
Psikososial Sastra. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana konflik
perselingkuhan, faktor, dan dampak konflik perselingkuhan pada novel The Sax
karya Sujiwo Tejo. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sosial.
Konflik perselingkuhan terjadi pada pasangan yang sudah menikah ataupun
pasangan kekasih. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi perselingkuhan,
salah satunya adalah tidak tercapainya keinginan salah satu pasangan, tetapi
keinginan itu didapatkan dari orang lain yang bukan pasangannya. Dampak dari
15
perselingkuhan sangat merugikan bagi pelaku perselingkuhan, keluarga, teman
dekat, dan pasangan selingkuhnya (Khoiriyah, 2015: vi-vii).
Dari tinjauan pustaka di atas, penulis menemukan satu penelitian dengan
objek material yang sama, tiga penelitian menggunakan objek formal yang sama
yaitu teori intimacy Giddens dengan mengacu pada buku The Transformation of
Intimacy serta dua penelitian tentang perselingkuhan. Namun, penulis belum
menemukan penelitian tentang perselingkuhan yang terjadi dalam cerpen To
Reach Japan, Leaving Maverley dan Gravel karya Alice Munro. Peneliti
menganalisis keintiman perempuan pada abad ke-20 yang relasinya cenderung
lebih cair dan dampak dari hal tersebut.
1.6 Landasan Teori
Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian
terhadap cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley dan Gravel karya Alice
Munro adalah teori intimacy yang dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam
bukunya yang berjudul The Transformation of Intimacy, Sexuality, Love &
Eroticism in Modern Societies (1992).
1.6.1 Seksualitas dan Keintiman
Seksualitas merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Seksualitas
dianggap given secara biologis dan penting bagi kelangsungan hidup spesies. Saat
ini seks biasa dibicarakan di wilayah publik. Seksualitas mengalami perubahan
dari waktu ke waktu. Seksualitas merepresentasikan kenyataan akan potensi
16
kebebasan yang selama ini terpenjara oleh batas-batas peradaban (Giddens, 1992:
1).
Menurut Giddens (1992:1-7), saat ini baik perempuan feminis atau bukan,
menuntut kesetaraan dengan laki-laki. Perempuan dianggap biasa jika memiliki
banyak kekasih sebelum, selama atau setelah mempunyai hubungan seksual yang
serius. Dalam hal ini kesetaraan perempuan secara seksual dianggap mungkin
terjadi. Fenomena tersebut berbeda dengan perempuan pada zaman tradisional
yang dianggap lebih bernilai ketika dapat menahan dan menolak godaan seksual.
Di sisi lain, laki-laki secara tradisional dianggap membutuhkan variasi seksual
demi kesehatan jasmaniahnya. Laki-laki dibolehkan terlibat dalam berbagai
perjumpaan seksual (sexual encounters) sebelum mereka menikah. Standar ganda
ini terus dibawa bahkan sampai pernikahan sekalipun. Studi tentang sejarang
perceraian di Inggris yang dilakukan oleh Lawrence Stone (dalam Giddens, 1992:
7) membuktikan bahwa sampai saat ini masih terdapat standar ganda antara
pengalaman seksual laki-laki dan perempuan. Perzinaan yang dilakukan oleh
seorang istri dianggap sebagai suatu kesalahan dan dosa yang tidak dapat
dimaafkan. Namun sebaliknya, perzinaan yang dilakukan oleh seorang suami
dianggap suatu hal yang salah tetapi sekaligus dianggap sebagai kelemahan yang
dapat diampuni.
Lilian Rubin (dalam Giddens, 1992: 9) melakukan penelitian pada tahun
1989 pada kurang lebih 1000 heteroseksual di Amerika Serikat yang berusia
antara 18-48 tahun. Rubin memperoleh fakta bahwa telah terjadi perubahan dalam
hubungan antara laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu. Responden yang
17
berusia di atas 40 tahun mempunyai pengalaman seksual yang berbeda dengan
responden yang berusia lebih muda. Seseorang yang menikah pada waktu Perang
Dunia ke II adalah perempuan yang mengikuti aturan dan norma yang berlaku
pada zamannya, tidak melakukan pemberontakan. Dalam hal seksualitas,
perempuan masih menjaga keperawanannya. Sebelum menikah, persoalan
virginitas pada sebagian gadis dijunjung tinggi baik oleh laki-laki maupun
perempuan. Reputasi sosial perempuan diukur dari kemampuan mereka menolak
rayuan seksual, sedangkan laki-laki justru diukur berdasar kemampuaan mereka
melakukan penaklukan-penaklukan seksual. Menurut Rubin, dibandingkan
dengan generasi-generasi sebelumnya, saat ini pernikahan sudah dipersiapkan
secara seksual, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Perempuan berharap
menerima dan juga memberi kenikmatan seksual. Rubin menambahkan, saat ini
proporsi perempuan yang sudah berhubungan seksual di luar nikah sudah sama
dengan laki-laki. Walaupun standar ganda masih ada, perempuan tidak lagi
mentoleransi pandangan yang melarang mereka untuk melakukan seks di luar
nikah, ketika pada saat yang sama laki-laki terbiasa melakukannya (Giddens,
1992: 12).
Penelitian-penelitian yang terkait dengan perubahan sosial seperti
penelitian yang dilakukan oleh Rubin, meskipun dilakukan terbatas dalam satu
negara, namun umumnya perubahan seperti yang dijabarkan Rubin juga terjadi di
hampir seluruh masyarakat Barat dan untuk beberapa tahap juga terjadi di negaranegara non-Barat. Perubahan yang terjadi tergantung pada sub kultur dan strata
sosial ekonomi negara tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi di negara lain
18
mungkin tidak seradikal yang terjadi di Amerika Serikat. Nilai-nilai seksual di
Amerika Serikat beberapa dekade yang lalu lebih mengikat, maka perubahan yang
terjadi saat ini merupakan peristiwa yang dramatis (Giddens, 1992: 12-13).
Dalam agama Kristen, hubungan seksual hanya mungkin dalam
perkawinan. Prinsip ini berasal dari pemahaman perkawinan sebagai sakramen.
Gereja Katolik Roma (GKR) mengutuk seks pranikah dan melihatnya sebagai
menentang hukum alam, sementara dalam konteks hubungan seksual perkawinan
semata-mata demi prokreasi. Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik Casti Connubii
tahun 1930, yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah prokreasi, dan
segala tindakan mecegah prokreasi dengan cara apapun tidak dibenarkan (Teresa
dalam Munti, 39-40). Luhmaan mengatakan, di Eropa ada kekhasan bahwa idealideal cinta sangat terkait dengan nilai-nilai moral Kristiani (dalam Giddens, 1992:
39). Ajaran yang mengatakan bahwa seseorang harus menyerahkan diri kepada
Tuhan agar lebih mengenalNya. Dengan proses ini, kesatuan sakral antara lakilaki dan perempuan dapat dicapai (Gottlieb dalam Giddens, 1992: 39).
Anthony Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy (1992),
mengungkapkan adanya perubahan-perubahan pandangan dalam hal seksualitas,
cinta, dan erotisme yang membawa hubungan ke dalam keintiman. Keintiman
sendiri merupakan kedekatan yang terjalin antara individu dengan orang lain.
Relasi keintiman tidak hanya terjalin antara dua orang kekasih atau pasangan
suami istri, tetapi juga bisa terjalin dalam persahabatan ataupun antara orang tua
dan anak.
19
1.6.2 Relasi Keintiman dan Transformasinya
Anthony Giddens (1992) melihat perubahan status perempuan dalam
kehidupan sosial yang akhirnya mempengaruhi bentuk dan karakter relasi
keintiman dalam masyarakat. Relasi keintiman yang dimiliki oleh masyarakat
tradisional adalah romantic love atau cinta romantis. Relasi ini muncul sejak
penghujung abad ke-18. Dalam cinta Romantis, hasrat seksual dikalahkan oleh
kasih sayang dan cinta yang tulus. Mengacu pada Max Weber (dalam Giddens,
1992: 40), ciri cinta romantis hampir sama dengan ciri yang ada dalam ajaran
Kristen.
Munculnya cinta romantis berkaitan dengan pengaruh yang membentuk
perempuan sejak akhir abad ke-18. Pengaruh tersebut adalah diciptakannya
rumah, terjadinya pergeseran hubungan antara orang tua dan anak serta
ditemukannya naluri keibuan (the invention of motherhood). Tiga hal tersebut
berhubungan erat satu sama lain sepanjang berkenaan dengan status perempuan
(Dally dalam Giddens, 1992: 41-42). Interaksi orang tua dan anak berubah secara
substansial selama masa Victorian yang represif. Kekerasan seorang ayah pada
masa Victoria sudah tidak ada lagi. Kekuasaan patriarkhi dalam rumah tangga
selama akhir abad ke-19 juga semakin berkurang. Pentingnya kehangatan
emosional antara orang tua dan anak mencairkan kekuasaan laki-laki. Kontrol
perempuan pada anak muncul ketika keluarga menjadi lebih kecil dan disadari
bahwa anak-anak membutuhkan kehangatan emosional (Giddens, 1992: 42).
Gagasan tentang cinta romantis sedikit demi sedikit disamakan dengan
subordinasi perempuan dalam rumah dan pemisahan perempuan secara relatif
20
dengan dunia luar (Giddens, 1992: 43). Dalam cinta romantis, menurut Giddens
(1992: 61), ada ketertarikan dan keterlibatan emosional yang bersifat intrinsik
antara dua pihak yang terlibat dalam relasi heteroseksual.
The intrinsically subversive character of the romantic love complex was
for a long while held in check by the association of love with marriage and
motherhood; and by the idea that true love, once found, is forever. When
marriage, for many of the population, effectively was forever, the
structural congruence between romantic love and sexual partnership was
clear-cut. The result may often have been years of unhappiness, given the
tenuous connection between love as a formula for marriage and the
demands of getting on later. Yet an effective, if not particularly rewarding,
marriage could be sustained by a division of labour between the sexes,
with the domain of the husband that of paid work and the wife that of the
home. We can see in this regard how important the confining of female
sexuality to marriage was as a mark of the 'respectable' woman. For this
at the same time allowed men to maintain their distance from the
burgeoning realm of intimacy and kept the state of being married as a
primary aim of women (Giddens, 1992: 46-47).
[Hakikat dari karakter subversif kompleks cinta romantis adalah
diandaikannya cinta dengan pernikahan dan keibuan, serta gagasan bahwa
cinta sejati hanya terjadi sekali untuk selamanya. Dulu, ketika bagi
kebanyakan orang pernikahan secara efektif dianggap berlaku untuk
selamanya, kesesuaian struktural antara cinta romantis dan partner seksual
memiliki perbedaan yang tegas. Hasilnya seringkali tahun-tahun yang
penuh ketidak-bahagiaan, atau kerenggangan hubungan antara cinta
sebagai formula pernikahan dengan cinta sebagai tuntutan untuk
meneruskannya pada masa berikutnya. Kendati demikian pernikahan yang
efektif, kalau toh tidak cukup bermanfaat, masih dapat ditopang dengan
pembagian kerja; suami mencari nafkah dan istri berada di rumah. Dalam
hal ini kita dapat mengetahui betapa seksualitas perempuan yang mengikat
pada pernikahan sangat penting. Ia adalah tanda perempuan terhormat.
Karena itu pula, pada saat yang sama laki-laki dimungkinkan untuk
mengelola jarak dunia keintiman yang sedang berkembang dan menjaga
kondisi pernikahan sebagai tujuan utama perempuan.]
Kegemaran dalam mengkonsumsi novel ataupun cerita-cerita romantis
mempengaruhi fantasi-fantasi perempuan yang tidak terjadi dalam dunia nyata.
Literatur romantis merupakan literatur tentang harapan, dan penolakan gagasan
kerumahtanggaan atau domestisitas yang merupakan satu-satunya ekspresi yang
21
paling ideal. Dalam cerita romantis, perempuan menemukan sosok laki-laki yang
bertanggungjawab dan dapat diandalkan (Giddens, 1992: 44).
Sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pada abad
ke-20, terjadi pegeseran wacana romantic love menjadi confluent love. Kaum
feminis menjadi faktor penting munculnya confluent love. Relasi ini
mengedepankan persamaan dalam memberi dan menerima emosi. Semakin
intensif tindakan memberi dan menerima, maka semakin erat pula ikatan hingga
menyerupai hubungan tulus.
Confluent love is active, contingent love, and therefore jars with the 'forever', 'one-and-only' qualities of the romantic love complex (Giddens,
1992: 61).
[Cinta konfluen merupakan cinta yang aktif dan kebetulan. Ia biasanya
dijargonkan dengan kata ‘untuk selamanya’, ‘hanya satu-satunya,’ yang
merupakan kualitas kompleks cinta romantis].
Confluent love presumes equality in emotional give and take, the more so
the more any particular love tie approximates closely to the prototype of
the pure relationship (Giddens, 1992: 62).
[Cinta konfluen mengandaikan persamaan dalam memberi dan menerima
emosi. Semakin intensif tindakan memberi dan menerima, maka semakin
erat pula ikatan hingga menyerupai hubungan tulus.]
Cinta konfluen berbeda dengan cinta romantis yang mengharuskan adanya
relasi monogami. Relasi yang terjalin dalam cinta konfluen tidak hanya dalam
bentuk heteroseksual namun juga homoseksual. Giddens mengemukakan, konsep
confluent love ini bertransformasi menjadi pure relationship. Giddens
mendefinisikan pure relationship sebagai berikut:
A pure relationship has nothing to do with sexual purity, and is a limiting
concept rather than only a descriptive one. It refers to a situation where a
social relation is entered into for its own sake, for what can be derived by
each person from a sustained association with another; and which is
22
continued only in so far as it is thought by both parties to deliver enough
satisfactions for each individual to stay within it (Giddens, 1992: 58).
[Sebuah hubungan yang tulus tidak ada hubungannya dengan kesucian
seksual, dan itu merupakan sebuah konsep terbatas yang lebih baik
daripada satu-satunya deskripsi. Ia merujuk pada situasi dimana sebuah
hubungan sosial diikutsertakan dalam kepentingannya, demi segala yang
bisa diperoleh setiap orang dari pergaulan yang terus menerus dengan
orang lain; dan yang diteruskan hanya yang menurut pemikiran kedua
belah pihak dapat memberikan cukup kepuasan bagi masing-masing
individu untuk menjalaninya].
Giddens dalam bukunya Modernity and Self-Identity (1991) menyatakan,
hubungan yang berkonotasi pada kedekatan dan ikatan emosional yang terusmenerus dikenal dengan istilah pure relationship (dalam Giddens, 1992: 58).
Sebuah hubungan yang tulus namun tidak adanya hubungannya dengan kesucian
seksual dan hanya bisa dijalankan apabila kedua belah pihak dapat memberikan
kepuasan bagi masing-masing individu untuk menjalaninya (Giddens, 1992: 58).
Mayoritas penduduk zaman dulu, yang seksualitasnya ‘normal’, cinta terikat
dengan seksualitas melalui pernikahan; tetapi sekarang melalui hubungan tulus
atau pure relationship.
Marriage – for many, but by no means all groups in the population – has
veered increasingly towards form of a pure relationship, with many
ensuing consequence. The Pure relationship, to repeat, is part of generic
restructuring of intimacy (Giddens, 1992: 58).
[Pernikahan – bagi banyak kelompok, meskipun tidak semuanya – sudah
semakin dibelokkan ke bentuk hubungan tulus, dan ini merupakan bagian
dari restrukturisasi umum keintiman].
Di dalam hubungan tulus bentuk dan karakter keintiman mengalami
perubahan. Keintiman dalam hubungan tulus mensyaratkan adanya keterbukaan
dan kesetaraan antara pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk dalam hal
seksualitas. Kepuasan seksual tergantung pada keterbukaan yang diungkapkan
23
pada pasangannya. Kepercayaan dalam berhubungan juga merupakan hal yang
penting dan utama bagi relasi jenis ini. Percaya artinya memberikan kebebasan
serta kesempatan pada pasangannya. Kepercayaan dan keterbukaan ini akhirnya
dapat menciptakan demokrasi dalam keintiman.
….’pure relationship’, a relationship of sexual and emotional equality,
which is explosive in its connotations for prexesting forms of gender power
(Giddens, 1992: 137).
[Hubungan tulus merupakan hubungan yang berdasar pada kesetaraan
seksual dan emosional yang eksplosif terhadap bentuk-bentuk pra ada
kekuasaan gender].
Hal ini tidak terlepas dari pengaruh gerakan feminisme yang menuntut
adanya kesetaraan gender. Keintiman yang berbasis pada hubungan tulus juga
tidak lagi dikendalikan atau dikontrol oleh faktor eksternal seperti kewajiban
moral, sosial, maupun agama. Selain itu, dalam pure relationship pasangan yang
satu akan merelakan pasangan yang lain, dan hubungan ini bisa diakhiri jika tidak
diinginkan oleh salah satu pasangan. Komitmen sangat dibutuhkan dalam suatu
hubungan karena ikatan tanpa syarat dan persetujuan bersama akan menyebabkan
salah satu pasangan atau keduanya mengalami sakit hati karena terjadi hal- hal
yang tidak diinginkan.
Dalam ajaran agama juga disampaikan pentingnya komitmen karena
komitmen yang dinegosiasikan dengan pasangan dapat meminalisir munculnya
konflik-konflik dalam rumah tangga. Jadi, yang menjadi dasar terciptanya
hubungan yang harmonis dalam pasangan suami-istri adalah komitmen yang telah
disepakati bersama. Pernikahan adalah sebuah komitmen yang permanen.
Pasangan yang telah dipersatukan Tuhan tidak akan dapat dipisahkan (Davis,
24
1995: 692). Ajaran Kristen tentang pernikahan memerintahkan pasangan suami
dan istri tetap bersama walaupun keadaan berubah. Hal ini tercermin dalam
sumpah yang dilakukan saat pernikahan berlangsung. Suami dan istri berjanji
tetap setia dalam keadaan baik maupun buruk, kaya ataupun miskin, dan dalam
keadaan sakit, sampai maut memisahkan keduanya (Davis, 1995: 693). Namun
penelitian yang berjudul When God is Love: Reflections on Christian and
Romantic Sentiments in Catholic Poland menyimpulkan bahwa agama tidak
mampu untuk melawan ide-ide atau gagasan dari cinta saat ini ( Peperkamp, 2006:
91).
Selanjutnya, Giddens mengatakan terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam
pure relationship. Seseorang yang menceritakan rahasia perasaan dan
pengalaman-pengalamannya kepada seorang teman bukan kepada kekasihnya,
kemungkinan besar memiliki beban-beban tertentu dalam hubungan cintanya.
Hubungan heteroseksual sering terlihat tidak harmonis, di mana ada pertikaian
dan ketidakpuasan antara kedua jenis kelamin yang berelasi. Hite (dalam Giddens,
1992: 148) menemukan fakta dari penelitiannya bahwa hampir seluruh responden
perempuan heteroseksual menginginkan keterbukaan yang lebih verbal dengan
suami mereka. Perempuan merasa putus asa dengan ketidaksetiaan pasangan
mereka yang terus menerus, meskipun banyak perempuan juga mempunyai
hubungan diluar nikah namun mereka menyembunyikan hubungan terlarangnya
dari pasangan mereka. Hite (dalam Giddens, 1992: 148-149) menyatakan:
Many women know they are not getting equal emotional support, esteem
or respect in their relationships. And yet it can be difficult to describe
definitively to a man just how he is projecting diminishing attitudes. Some
of the ways this happens are so subtle in their expression that, while a
25
woman may wind up feeling frustrated and on the defensive, she can find it
almost impossible to say just why: pointing to the subtle thing said or done
would look petty, like overreacting. But taken all together, it is no surprise
when even one of these incidents can set off a major fight - or, more
typically, another round of alienation which never gets resolved. These
little incidents cut away at the relationship, making women angry and
finally causing love to dwindle down to a mere modest toleration.
[Banyak perempuan mengetahui bahwa mereka tidak mendapatkan
dukungan, penghargaan atau penghormatan seksual yang setara dalam
hubungan-hubungan mereka. Namun sulit untuk menggambarkan secara
jelas kepada seorang laki-laki bagaimana dia mengurangi perilakuperilakunya yang keras. Beberapa kejadian-kejadian ini begitu halus dalam
ekspresi, ketika seorang perempuan kecewa dan defensif, ia dapat
merasakannya hampir tidak mungkin untuk sekedar mengatakan mengapa:
menunjukkan hal-hal yang dilakukan atau dikatakan secara halus akan
terlihat bodoh, seperti banyak tingkah. Tetapi, menerima semuanya, akan
menyebabkan siklus perselisihan yang tidak pernah terselesaikan. Insiden
kecil ini memangkas habis hubungan, membuat perempuan marah dan
akibatknya menyebabkan cinta menjadi kering].
Kemarahan laki-laki terhadap perempuan merupakan reaksi terhadap
tuntutan diri perempuan. Perempuan memprotes dan ingin terbebas dari kurungan
rumah tangga sedangkan laki-laki juga merasa masih terpenjara karena besarnya
tekanan tanggung jawab sebagai pencari nafkah.
Selanjutnya, di dalam pure relationship, terdapat plastic sexuality.
Seksualitas plastis atau plastic sexuality merupakan seksualitas tak terpusat
(decentered sexuality), yang terbebas dari kebutuhan-kebutuhan reproduksi.
Fenomena ini merupakan sesuatu yang krusial bagi emansipasi, terutama terhadap
tuntutan perempuan akan kenikmatan seksual. Ia juga secara mendasar
membebaskan seksualitas dari aturan-aturan lingga (phallus) serta dari
kepentingan pengalaman serta dari kepentingan pengalaman seksual laki-laki
(Giddens, 1992: 2). Berlawanan dengan plastic sexuality, gereja mengajarkan
bahwa seks terkait erat dengan prokreasi (Davis, 1995: 692).
26
Bagi Giddens, transformasi relasi intim dan perkembangan pure
relationship yang menjunjung kesetaraan dan penghargaan pada masing-masing
pihak akhirnya akan mengerucut pada terwujudnya demokrasi di dalam ruang
privat. Dalam hal ini, tidak ada batas batas-batas yang ditetapkan untuk aktivitas
seksual, kecuali bagi hal-hal yang diperlukan penyamarataan prinsip otonomi dan
oleh norma-norma hubungan yang tulus yang dinegosiasikan. Emansipasi seksual
bisa dicapai dengan diintegrasikannya seksualitas plastis dengan proyek reflektif
diri. Perempuan khususnya, tidak lagi menjadi subyek yang disubordinasi dan
dikontrol dalam relasi intimnya dengan pasangan (Giddens, 1992: 194-195).
Transformasi keintiman tidak hanya terbatas pada seks dan gender yang
berkaitan dengan pasangan, namun juga relasi antara orang tua dan anak. Janet
Finch (dalam Giddens, 1992: 96) mengutarakan tentang komitmen dalam rumah
tangga. Komitmen yang dinegosiasikan cenderung diperlukan demi kelangsungan
rumah tangga. Dikatakan oleh Giddens, terdapat ketidakseimbangan kekuasaan
dalam relasi antara orang tua dan anak khususnya pada tahun-tahun awal
kehidupan anak. Bukan hanya orang tua lebih berkuasa dibandingkan anak-anak,
perilaku orang tua juga membentuk personalitas dan watak anak. Susan Forward
dalam bukunya yang berjudul Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy
and Reclaiming Your life mengatakan, para orang tua dapat menjadi ‘racun’ bagi
anak-anak mereka. Cara orang tua bersikap pada anak-anak mereka akan
berpengaruh pada personalitas dan watak anak-anak. Orang tua yang secara
konsisten menghancurkan perasaan personal anak, dapat menyebabkan anak-anak
memiliki kenangan-kenangan buruk masa kecil yang berakibat pada masa dewasa
27
sang anak. Susan Forward menambahkan, orang tua yang tergolong dalam orang
tua toksik/ yang beracun adalah oranng tua yang tidak cukup memberikan
perhatian secara emosional, tidak menghargai atau melindungi sang anak,
melepaskan tanggungjawab mereka terhadap anak, mengontrol perasaan dan
kebutuhan sang anak yang disubordinasikan dengan perasaan dan kebutuhan
orang tua, menekan sang anak dan melakukan penyelewengan-penyelewengan
verbal ataupun fisik. Orang tua kadang-kadang mengatakan hal-hal yang membuat
anak-anak mereka merasa disakiti (dalam Giddens, 1992: 104-106). Sehingga
individu yang memiliki masalah dengan orang terdekat (pasangan) atau individu
yang ingin mempunyai ikatan personal yang dekat dengan orang lain, dianjurkan
untuk menyembuhkan luka masa lalu ketika masih anak-anak (Susan Forward
dalam Giddens, 1992).
Saat ini kekuasaan orang tua atas anak tumbang dengan semakin luasnya
ruang keintiman. Relasi yang cocok untuk ikatan orang tua dan anak adalah cinta
konfluen yaitu bahwa anak-anak memiliki hak, tidak hanya diberi makan, pakaian
dan dilindungi, tetapi juga diperhatikan secara emosional dan dihargai
perasaannya (Giddens, 1992: 108-109).
1.7 Metode Penelitian
Metode dalam penelitian tesis ini dilakukan melalui dua langkah. Langkah
pertama adalah pengumpulan data dan langkah kedua adalah analisis atau
pengolahan data.
28
1.7.1 Pengumpulan Data
Sumber data penelitian ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data
primer dalam penelitian ini adalah teks-teks yang terdapat di dalam cerpen Dear
Life, khususnya cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Data
sekunder penelitian ini diperoleh dari karya tulis, jurnal, artikel atau penelitianpenelitian lain yang masih berkaitan dengan keintiman perempuan, perubahan
sosial, perilaku seksual, kepercayaan terhadap agama, serta data-data lain yang
berkaitan dengan objek kajian. Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan
dalam dua kategori yaitu (1) Keintiman perempuan, (2) Hubungan antara
perubahan zaman, keintiman dan agama. Data tersebut diperlukan untuk
menjawab dan mengelaborasi pertanyaan penelitian.
1.7.2 Analisis Data
Data yang terkumpul dikelompokkan sesuai kategori masing-masing
kemudian data-data tersebut dianalisis sesuai dengan teori intimacy Anthony
Giddens. Peneliti mencari kaitan atau hubungan data-data tersebut dengan
keintiman perempuan sesuai setting waktu cerpen yaitu pasca perang atau abad
ke-20 dan hubungan antara perubahan zaman dengan keintiman dan agama serta
kontradiksi antara kenyataan dengan cerita yang digambarkan dalam tiga cerpen
Dear Life sehingga peneliti mampu menjawab apa pesan yang ingin disampaikan
oleh penulis dalam cerpen-cerpennya.
29
1.8 Sistematika Penyajian
Penyajian dalam penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I merupakan
pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, objek penelitian,
tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan
sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan tentang keintiman
perempuan yang digambarkan dalam cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley
dan Gravel yang terdapat dalam kumpulan cerpen Dear Life karya Alice Munro.
Bab III membahas hubungan antara perubahan zaman, keintiman dan agama serta
pesan yang ingin disampaikan oleh Alice Munro dalam tiga cerpen Dear Life. Bab
IV merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan penelitian.
30
Download