BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang As far as Ray was concerned, this was all revolting chatter. Adulteries and drunks and scandals-who was right and who was wrong? Who could care? That girl had grown up to preen and bargain like the rest of them. The waste of time, the waste of life by people all scrambling for excitement and paying no attention to anything that mattered (Munro, 2012: 85-86). [Sejauh yang diperhatikan Ray, semua ini adalah perbincangan yang menjijikkan. Tentang perzinaan, pemabuk, dan skandal. Siapa yang benar dan siapa yang salah? Siapa yang peduli? Gadis itu menjadi pesolek dan murahan seperti yang lainnya. Waktu disia-siakan, hidup dibuang percuma karena semua orang berebut mencari kesenangan dan tidak memedulikan persoalan sesungguhnya] Kutipan di atas merupakan gambaran Ray sebagai orang ketiga yang bercerita tentang seorang perempuan bernama Leah. Leah adalah refleksi perempuan abad ke-20 yang berbeda dari perempuan tradisional. Pada zaman tradisional ada beberapa hal yang dianggap tabu, melanggar norma masyarakat, dan agama jika dilakukan oleh perempuan. Sekarang hal tersebut dianggap biasa jika dilakukan. Pemikiran perempuan saat ini sudah sangat dipengaruhi oleh lingkungan tempat tinggal atau pengaruh-pengaruh lain yang berada di luar dirinya, termasuk pengaruh dari gerakan feminisme yang menuntut kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perubahan cara berpikir perempuan juga memengaruhi perubahan relasi keintiman pada pasangan. Dikatakan Lilian Rubin dalam buku Giddens (1992) yang berjudul The Transformation of Intimacy, perempuan kini menuntut persamaan hak dalam seksualitas seperti laki-laki. 1 Berbeda dengan perempuan sebelum perang dunia kedua yang masih mempertahankan keperawanannya sebelum menikah, perempuan masa kini sudah tidak lagi mempertahankan tradisi tersebut. Perempuan memiliki hak yang sama dengan laki-laki yang mempunyai kebebasan dalam hal seksualitas. Kebebasan ini akhirnya berpengaruh pula dalam hubungan keintiman suami istri. Wacana tentang pernikahan yang bahagia pun kini telah bergeser. Pernikahan yang bahagia menurut Giddens adalah pernikahan yang berdasar pada pure relationship. Pure relationship merupakan hubungan tulus atau relasi yang murni antarpasangan. Pasangan yang dimaksud di sini tidak hanya pasangan yang tercatat resmi dalam hubungan pernikahan, tetapi juga pasangan yang tidak menikah, heteroseksual, maupun homoseksual. Di dalam pure relationship terkandung plastic sexuality, yaitu hubungan seksual yang bertujuan untuk pleasure. Seksualitas jenis ini terbebas dari tuntutan reproduksi. Namun, plastic sexuality dianggap melanggar norma agama karena bagi agama apa pun tujuan seksualitas adalah untuk reproduksi, bukan pleasure. Pure relationship akan tercapai jika kedua pasangan mempunyai komitmen dan berusaha memperjuangkan komitmen yang telah disepakati bersama. Jika tidak terdapat komitmen dalam pernikahan, atau salah satu pasangan tidak memperjuangkan komitmen yang telah disepakati, maka kemungkinan besar akan menyebabkan hubungan antarpasangan menjadi tidak harmonis lagi. Ketidakharmonisan ini akhirnya dapat berujung pada perselingkuhan ataupun perceraian Perselingkuhan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah laki-laki atau perempuan, yang secara sah masih terikat 2 hubungan pernikahan, menyeleweng dengan laki-laki atau perempuan lain. Perselingkuhan bisa dilakukan oleh suami atau istri, ataupun keduanya. Dalam penelitian ini, penulis menekankan pada keintiman perempuan-perempuan yang berselingkuh. Seperti yang telah penulis ungkapkan di atas, perubahan zaman telah membuat hal-hal yang dulunya dianggap aneh, janggal, tidak umum menjadi hal yang biasa jika dilakukan pada masa sekarang. Termasuk dalam hal ini adalah perselingkuhan yang dilakukan oleh perempuan. Perempuan yang mempunyai banyak relasi mempunyai kesempatan untuk saling berbagi cerita dengan orang lain selain pasangannya. Beberapa dari mereka akan sangat terbuka tentang masalah rumah tangganya. Giddens mengatakan, perempuan yang lebih memilih menceritakan masalahnya dengan orang lain dan bukan kepada kekasihnya kemungkinan besar memiliki beban dalam hubungan cintanya (1992: 139). Tidak menutup kemungkinan mereka akan berbagi cerita dengan orang lain tentang masalah rumah tangga, kemudian membandingkan suaminya dengan laki-laki lain. Penyebab lain dari perselingkuhan adalah tuntutan-tuntutan istri yang tidak bisa dipenuhi oleh suaminya. Tuntutan perempuan pada laki-laki menimbulkan konflik-konflik dalam hubungan pernikahan yang pada akhirnya menyebabkan salah satu dari pasangan atau keduanya berselingkuh karena tidak mendapatkan apa yang mereka cari dalam pernikahannya. Kumpulan cerpen Dear Life berisi empat belas cerpen yang panjang (sekitar 40.000-100.000 karakter dengan spasi), empat cerpen terakhir merupakan 3 autobiografi dari Alice Munro sendiri. Cerpen-cerpen dalam Dear Life sebagian besar bercerita tentang keluarga, hubungan yang tidak harmonis antarpasangan, skandal, dan perselingkuhan. Penulis memilih tiga cerpen dalam kumpulan cerpen ini, yaitu Leaving Maverley, To Reach Japan, dan Gravel karena tiga cerpen ini mempunyai banyak kesamaan dalam alur cerita dan setting waktunya. Paragraf pembuka pada latar belakang penelitian ini adalah kutipan yang penulis ambil dari cerpen Alice Munro yang berjudul Leaving Maverley. Cerpen ini adalah salah satu dari kumpulan cerpen Munro di dalam buku Dear Life (2012). Leaving Maverley menceritakan kisah seorang perempuan penjaga tiket bioskop, Leah yang mengalami banyak perubahan setelah menikah. Leah berasal dari keluarga yang taat pada agama. Sang ayah sangat mengatur kehidupannya atas nama agama. Pada suatu hari Leah tiba-tiba menghilang. Ternyata ia menikah dengan pemain saksofon, anak seorang pendeta. Setelah memiliki dua anak, Leah tampil lebih modis dan lebih percaya diri. Leah dan anak-anaknya tinggal terpisah dari sang suami. Leah diketahui berselingkuh dengan pendeta yang baru. Pendeta yang baru itu pun sebenarnya telah memiliki seorang istri. Sang pendeta baru tidak menampik kebenaran bahwa dia telah berselingkuh dan berzina dengan Leah. Bahkan ia berani melakukan pengakuan di atas mimbar. Di akhir cerita, pendeta yang baru tidak menikah dengan Leah tetapi dengan seorang pendeta perempuan. Di sisi lain, Leah dipisahkan dari anak-anaknya oleh sang mantan suami, hingga pada akhirnya Leah tinggal sendiri dan tidak memiliki siapa pun. Leah adalah representasi dari perempuan yang sudah tidak lagi memegang nilai-nilai tradisional. Hal ini tergambar dalam pelanggaran yang berani ia lakukan 4 terhadap norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat dan agama. Ia adalah perempuan masa kini, yang aktif berkegiatan di luar ranah domestik. Pengaruh dari luar dirinya dan ketidakpuasannya pada suami membuatnya tidak bahagia. Pure relationship yang diharapkan dalam pernikahan tidak ia dapatkan, sehingga ia memilih untuk berselingkuh demi mencari kebahagiaan yang tidak ia temukan dalam pernikahannya. Cerpen selanjutnya berjudul To Reach Japan. Dikisahkan seorang ibu muda yang, berprofesi sebagai penyair bernama Greta, berselingkuh dengan dua lelaki, yaitu Harris Bennett dan Greg. Harris Bennett adalah laki-laki dari Toronto yang tidak sengaja bertemu di pesta para penulis. Pesona dan budi baik Harris mampu meluluhkan hati Greta. Setelah pulang dari pesta, Greta tidak bisa berhenti memikirkan Harris. Pada saat yang sama, Greta diminta menempati rumah temannya di Toronto selama sebulan. Greta kemudian berusaha mencari tahu alamat Harris, mengirim surat kepadanya tentang rencana kedatangan Greta ke Toronto. Di dalam kereta yang menuju Toronto, Greta bertemu dengan Greg, laki-laki muda yang awalnya hanya menghibur Katy, anak Greta. Setelah Katy tertidur, Greta dan Greg berbincang sambil minum minuman keras kemudian melakukan hubungan seksual. Sesampainya di Toronto, Harris telah menanti kedatangan Greta. Harris dan Greg membuat Greta sadar bahwa selama ini ia banyak berpura-pura pada Peter, tidak menjadi dirinya sendiri, sehingga ia merasa lebih nyaman ketika berbicara dengan Harris atapun Greg, karena terhadap dua laki-laki itu Greta bisa menjadi dirinya sendiri. 5 Mengutip artikel “Perselingkuhan di Sekitar Kita”, perselingkuhan kini lazim dan mudah ditemukan di kota-kota besar, dan sebagian besar pelakunya adalah orang-orang yang banyak berinteraksi dengan dunia luar atau ranah publik daripada di dalam rumah tangga atau ranah domestik (Munti, 2005: 84). Seperti halnya tokoh Greta yang merupakan perempuan yang memiliki kesibukan di luar rumah, ia banyak berinteraksi dengan laki-laki selain suaminya. Ia juga berani mengejar kenikmatan seksual. Ia bukan perempuan yang patuh dan tunduk sebagai seorang istri yang pasif seperti dalam kriteria perempuan tradisional. Cerpen terakhir yang penulis analisis berjudul Gravel. Dalam cerpen ini Munro masih mengangkat tema perselingkuhan. Narator cerpen ini adalah anak kedua dari istri yang berselingkuh. Munro tidak menyebutkan nama suami dan istri dalam cerita ini. Ia hanya menyebut Ayah dan Ibu. Gravel bercerita tentang seorang tokoh Ibu yang berparas cantik yang bekerja sebagai penjaga pintu teater melakukan perselingkuhan dengan laki-laki bernama Neal, seorang pemain teater. Tokoh Ibu merasa memiliki kecocokan dengan Neal daripada dengan suaminya. Kata-kata tokoh Ayah yang bertujuan memuji seni dan teater justru sering membuat tokoh Ibu menjadi malu di depan teman-temannya. Pertemuan yang intens antara tokoh Ibu dan Neal membuat mereka saling tertarik. Sampai akhirnya pada suatu hari, tokoh Ayah sangat terpukul dengan pengakuan tokoh Ibu bahwa anak yang dikandungnya adalah anak Neal. Tokoh Ibu memilih pergi dari rumah dengan membawa serta dua anaknya yang kemudian menikah dengan Neal. Di awal pernikahannya dengan Neal mereka bahagia. Tokoh Ibu melepas kebiasaan lama yang tidak ia sukai ketika masih dalam pernikahan pertamanya. 6 Pada akhir cerita, hubungan tokoh Ibu dan Neal tidak harmonis setelah anak hasil pernikahannya dengan tokoh Ayah meninggal. Tokoh Ibu menuduh Neal yang menyebabkan sang anak celaka. Tokoh ibu meninggalkan Neal dan memilih hidup dengan anak-anaknya tanpa Neal sedangkan tokoh Ayah menikah dengan teman lamanya dan hidup bahagia. Terdapat banyak persamaan kasus perselingkuhan yang Munro tuliskan dalam cerpen-cerpennya. Selain dampak dari perselingkuhan yang mengakibatkan keluarga tidak harmonis lagi, perempuan-perempuan yang berselingkuh adalah perempuan yang mempunyai berbagai aktivitas di luar rumah. Mereka digambarkan sebagai istri yang tidak puas dengan suami mereka, karena suami sibuk, kolot, pasif atau alasan-alasan yang lain. Kumpulan cerpen Dear Life karya Alice Munro merupakan karya sastra yang merefleksikan fenomena perselingkuhan dan keintiman dalam kajian feminisme. Tokoh-tokoh perempuan dalam cerpen ini adalah perempuanperempuan yang sudah tidak lagi memegang erat nilai-nilai tradisi dan menjaga sikap sebelum atau setelah menikah. Alice Munro sang penulis cerpen Dear Life, merupakan pemenang Nobel Sastra 2013. Ia dibesarkan di Wingham, Ontario, dan kuliah di University of Western Ontario. Sebelumnya ia telah menerbitkan sembilan buku, yaitu Dance of Happy Shades, Lives of Girls and Women, Something I’ve been Meaning to Tell You, Who do You Think You Are?, The Moons of Jupiter, The Progress of Love, Friend of My Youth, Open Secrets, Selected Stories, dan The Love of a Good Woman. Alice Munro telah banyak mendapat anugerah, tiga Anugerah Sastra dari 7 Gubernur Jenderal Kanada dan Giller Pize pada 1998; Rea Award for Short Fiction; Lannan Literary Award; W.H Smith Literary Award dari Inggris; dan National Book Critics Circle Award dari Amerika Serikat. Cerita-cerita yang Alice Munro tulis diterbitkan oleh New York Worker, The Atlantic Monthly, The Paris Review, dn lain-lain. Kumpulan ceritanya juga telah diterjemahkan ke dalam tigabelas bahasa (Munro, 2014: 303). Karya sastra bertema perselingkuhan telah banyak ditulis oleh para pengarang di seluruh dunia. Pada abad ke-17, Nathaniel Hawthorne menghebohkan dunia sastra karena berani menulis karya dengan tema perselingkuhan yang berjudul The Scarlet Letter. Pada abad ke-19 seorang penulis bernama Gustave Flaubert juga menulis karya sastra dengan tema perselingkuhan yang berjudul Madame Bovary. Di Rusia, karya bertema perselingkuhan ditulis oleh Leo Tolstoy dalam novel Anna Karenina. Pada abad ke-20 perselingkuhan menjadi hal yang sudah lebih diterima. Seperti yang terlihat pada novel Lady Chatterley’s Lover karya D. H Lawrence di Inggris. Bahkan di Indonesia pun, karya sastra tentang perselingkuhan sudah banyak ditulis. Karya tersebut antara lain; novel Belenggu karya Armin Pane (1940), cerpen Sebuah Pertanyaan untuk Cinta karya Seno Gumira Ajidarma (1993), Saman karya Ayu Utami (1998), Larung Ayu Utami (2001), novel The Sax karya Sujiwo Tejo (2003), dan Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan (2004). Karya sastra merupakan hasil cipta pengarang berdasarkan pengalaman dan pengamatan pengarang terhadap persoalan kehidupan manusia. Berbagai persoalan yang sering dihadapi manusia berupa persoalan cinta, persahabatan, 8 kekecewaan, kesedihan, kegelisahan, pernikahan, dan lain sebagainya yang tampak melalui tingkah laku tokoh dalam karya sastra. Hal tersebut sesuai pendapat Sastrowardoyo (dalam Tuloli, 2002:8), yang mengemukakan bahwa karya sastra tidak dapat dilepaskan kaitannya dengan kehidupan manusia. Berkaitan dengan pendapat tersebut, jelas bahwa segala persoalan kehidupan manusia merupakan sumber inspirasi pengarang dalam menciptakan sebuah karya sastra. Pengarang adalah jenius yang mahir merangkai realitas dalam bentuk fiksi. Mereka mengarang penuh dengan kesadaran untuk mengetengahkan sesuatu. Mereka menulis berdasarkan pengalaman dan argumen mereka meski dalam bentuk-bentuk dramatisasi dan pengembaraan inspirasi. Mengenal mereka lewat karya dan ideologi yang ditawarkan berarti mencoba memahami jembatan antara imajinasi dan riil mereka. Justru itu adalah tugas peneliti sastra yang menarik (Udasmoro, 2012: 8-9). Alice Munro lahir di Amerika pada tahun 1931. Munro merasakan perbedaan zaman sejak ia kecil sampai ia menuliskan cerpen-cerpen dalam Dear life. Kumpulan cerpen Dear life diterbitkan pada tahun 2012. Namun cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel mengambil setting waktu pasca perang (abad ke-20). Pelaku perselingkuhan adalah para perempuan, atau orangorang yang taat pada agama. Hal tersebut membuat penulis merasa tertarik untuk meneliti cerpen-cerpen ini. 1.2 Rumusan Masalah Dear Life merupakan kumpulan cerpen yang diterbitkan pada tahun 2012. Dalam ketiga cerpen yang berjudul To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel, Alice Munro sebagai penulis cerpen mengambil setting waktu abad ke-20. 9 Artinya, cerpen ini merupakan representasi rumah tangga pada abad ke-20. Dalam cerpen ini juga digambarkan orang-orang yang taat agama namun melakukan perselingkuhan. Berdasar teori intimacy yang dicetuskan Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy, telah terjadi perubahan sosial dan perilaku seksual dalam hubungan laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu yang menyebabkan perubahan relasi keintiman. Maka pertanyaan penelitian tesis ini adalah: 1. Bagaimana keintiman perempuan digambarkan dalam kumpulan cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel karya Alice Munro? 2. Bagaimana perubahan zaman mempengaruhi keintiman dan kepercayaan seseorang pada agama? 3. Apa pesan yang ingin disampaikan oleh Alice Munro dalam ketiga cerpen tersebut? 1.3 Objek Penelitian Objek dalam penelitian ini terdiri dari objek material dan objek formal. Objek material yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel yang terdapat dalam kumpulan cerpen Dear Life karya Alice Munro yang diterbitkan pada tahun 2012 oleh Vintage International di New York. 10 Objek formal yang penulis gunakan adalah teori intimacy yang dicetuskan oleh Anthony Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy yang diterbitkan oleh Stanford University Press California pada tahun 1992. 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tiga tujuan. Pertama, untuk mengetahui keintiman perempuan pada abad ke-20 seperti yang digambarkan oleh Alice Munro dalam cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Dengan mengetahui keintiman perempuan pada abad ke-20, kita akan mengetahui bahwa keintiman mengalami transformasi dari waktu ke waktu. Relasi keintiman pada suatu pasangan berdampak dalam hubungan antara orang tua dan anak, sehingga akan diketahui dampak apa yang ditimbulkan orang tua kepada anak apabila orang tuanya tidak mempunyai relasi yang harmonis. Penulis melihat terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Di dalam ketiga cerpen tersebut, perempuan digambarkan berani berselingkuh, bahkan orang-orang yang melakukan perselingkuhan adalah orang-orang yang menganut suatu agama tertentu dan beberapa dari mereka masih rajin melakukan ibadah. Sehingga, tujuan penelitian yang kedua adalah untuk mengetahui bagaimana perubahan zaman mempengaruhi keintiman dan kepercayaan seseorang pada agama. Tujuan yang terakhir adalah mengetahui pesan yang ingin disampaikan Alice Munro dalam To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Seperti yang sudah disampaikan penulis, cerpen Dear Life diterbitkan pada tahun 2012 namun 11 mengambil setting waktu abad ke-20. Sehingga, penulis ingin mengetahui pesan yang ingin disampaikan oleh Alice Munro. 1.5 Tinjauan Pustaka Penulis mengkategorikan tinjauan pustaka menjadi dua yaitu, (1) penelitian tentang perselingkuhan, (2) penelitian-penelitian yang menggunakan teori intimacy yang dicetuskan oleh Giddens sebagai pisau analisisnya. Pertama, penelitian yang dilakukan oleh Thomas Dutoit (2014) yang berjudul Boring Gravel: Literary Earth, Alice Munro’s Geolithic. Ia menyimpulkan bahwa Orang-orang Kanada dalam karya Munro sering dikaitkan dengan pertanian, jalan, kota, danau, sungai, bendungan di Amerika Utara atau Kanada. Penelitian yang kedua dilakukan oleh Marianus Woda Liru (2016), mahasiswa program Pascasarjana Ilmu Sastra, FIB, UGM. Judul penelitiannya adalah “Perempuan sebagai Subyek yang Mencintai dalam Novel Emma Karya Jane Austen”. Peneliti menggunakan dua teori yang dicetuskan oleh Giddens yaitu, The Transformation of Intimacy (1992) dan Modernity and Self Indentity (1991) yang menyatakan bahwa perubahan status perempuan dalam kehidupan sosial modern telah mempengaruhi bentuk dan karakter relasi keintimannya dalam masyarakat. Emma digambarkan sebagai subjek yang mencintai yang berusaha membangun relasi keintiman dengan pria yang menjadi pilihannya. Dalam penelitian ini dijelaskan tentang perjuangan Jane Austen merepresentasikan kehadiran perempuan sebagai subjek yang mencintai di dalam sebuah relasi 12 keintiman yang cair dan tidak terikat. Penelitian ini juga berfokus pada cara bertutur Jane Austen dalam memperjuangkan posisi perempuan sebagai subjek yang mencintai. Jane menghadirkan perempuan sebagai sebuah entitas yang otonom yang mempunyai hak yang sama dalam masyarakat patriarki dalam novel tersebut (Liru, 2016: ix). Selanjutnya, penelitian dilakukan oleh seorang dosen jurusan Kajian Budaya dan Media UGM, Ratna Noviani, dengan judul “Perempuan, Cinta dan Keintiman: Konstruksi Loving Subject dalam Film Rectoverso”. Ia mengkaji posisi perempuan sebagai the loving subject dalam wacana cinta dan keintiman serta melihat bagaimana perempuan dalam film tersebut memaknai relasi cinta dan keintiman dengan lawan jenis yang dihadirkan dalam film Rectoverso, khususnya dalam segmen “Curhat Buat Sahabat”, dan “Hanya Isyarat”. Film ini dipilih karena film ini diproduseri dan disutradarai oleh perempuan. Sehingga, Rectoverso diasumsikan menawarkan konstruksi tentang subjektivitas perempuan yang cenderung berbeda dari konstruksi gender dalam bingkai falosentris. Penelitian ini menggunakan metode analisis wacana dari Sara Mills. Hasil penelitian terhadap wacana cinta dan keintiman dalam film tersebut cenderung dikonstruksi sebagai persoalan privat dan individual. Perempuan menjadi the loving subject yang otonom dan memiliki agensi untuk membangun relasi cinta dan keintiman yang diidealkannya. Film Rectoverso juga membangun wacana tentang perempuan sebagai the loving subject yang modern, refleksif, juga teralienasi (Noviani, 2013). 13 Penelitian yang keempat juga menggunakan teori The Transformation of Intimacy Giddens sebagai pisau pembedahnya. Sastri Sunarti menulis artikel jurnal Literasi yang berjudul “Representasi Seksualitas dalam Tiga Novel Perempuan Indonesia: Saman, Larung, dan Nayla”. Artikel ini mendiskusikan representasi seksualitas dalam karya sastra dari perspektif perempuan. Analisis tiga novel ini bertujuan menunjukkan representasi seksualitas melalui ekspresi hasrat seksual, figur personal, wacana tubuh, metamorfosa seks perempuan, pernikahan, stereotip seks perempuan, dan pemerkosaan terhadap perempuan. Kesadaran ideologis di antara para penulis perempuan, khususnya yang disebabkan oleh wacana feminisme, menjadikan mereka berani menulis tidak hanya tentang perasaan mereka, tetapi pilihan mereka menjalani hidup, termasuk hasrat dan pilihan seksual. Terlepas dari perdebatan kontroversial di antara kritikus sastra, dengan merepresentasikan seksualitas, penulis perempuan bisa menikmati kebebasan. Dengan kata lain, mereka menolak menjadi objek dari hasrat lelaki. Lebih jauh, dalam tiga novel tersebut, para tokoh perempuan melawan dominasi patriarkhal (Sunarti, 2011:1). Tesis yang dilakukan oleh Lusia Kristiasih Dwi Purnomosari mahasiswa Pascasarjana UGM yang berjudul “Perselingkuhan Sebagai Elemen Tematik: Studi Sastra Banding Cladio Guillen Pada Lady Chatterley’s Lover, Madame Bovary, Anna Karenina, dan The Scarlet Letter”. Tesis ini mengangkat isu perselingkuhan yang berbeda tempat dan waktu kejadian. Alat untuk menjawab pertanyaan adalah teori sastra banding Claudio Guillen dan metode analissinya (tematologi). Paradigma penelitian ini adalah sastra banding. Hasil penelitian ini; 14 (1) persamaan elemen tematik perselingkuhan pada empat novel tersebut dilakukan oleh tokoh utama perempuan. Perselingkuhan berhubungan dengan masyarakatnya, perselingkuhan menuntut konsekuensi dan sanksi; (2) Perbedaan elemen tematik perselingkuhan menunjukkan bahwa tokoh utama perempuan melakukan perlawanan terhadap kesadaran masyarakat industrialis pada LCL, kepura-puraan pada AK, fantasi dan realitas pada MB, dan aturan kaum Puritan pada TSL; (3) Struktur diakronis elemen tematik perselingkuhan menunjukkan bahwa perselingkuhan pada LCL merupakan redifinisi dari TSL karena MB dan AK menimbulkan kematian pada tokoh utamanya. Perselingkuhan pada LCL lebih bersifat logikal daripada novel lain; (4) Supranasionalitas LCL, MB, dan AK adalah materialisme sedangkan TSL adalah Puritanisme (Purnomosari, 2013: xvii). Pada tahun 2013 Siti Khoiriyah, mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang melakukan penelitian dalam bentuk skripsi. Yang berjudul Konflik Perselingkuhan dalam Novel The Sax karya Sujiwo Tejo Kajian Psikososial Sastra. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui bagaimana konflik perselingkuhan, faktor, dan dampak konflik perselingkuhan pada novel The Sax karya Sujiwo Tejo. Penelitian ini menggunakan pendekatan psikologi sosial. Konflik perselingkuhan terjadi pada pasangan yang sudah menikah ataupun pasangan kekasih. Terdapat banyak faktor yang melatarbelakangi perselingkuhan, salah satunya adalah tidak tercapainya keinginan salah satu pasangan, tetapi keinginan itu didapatkan dari orang lain yang bukan pasangannya. Dampak dari 15 perselingkuhan sangat merugikan bagi pelaku perselingkuhan, keluarga, teman dekat, dan pasangan selingkuhnya (Khoiriyah, 2015: vi-vii). Dari tinjauan pustaka di atas, penulis menemukan satu penelitian dengan objek material yang sama, tiga penelitian menggunakan objek formal yang sama yaitu teori intimacy Giddens dengan mengacu pada buku The Transformation of Intimacy serta dua penelitian tentang perselingkuhan. Namun, penulis belum menemukan penelitian tentang perselingkuhan yang terjadi dalam cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley dan Gravel karya Alice Munro. Peneliti menganalisis keintiman perempuan pada abad ke-20 yang relasinya cenderung lebih cair dan dampak dari hal tersebut. 1.6 Landasan Teori Teori yang digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian terhadap cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley dan Gravel karya Alice Munro adalah teori intimacy yang dikemukakan oleh Anthony Giddens dalam bukunya yang berjudul The Transformation of Intimacy, Sexuality, Love & Eroticism in Modern Societies (1992). 1.6.1 Seksualitas dan Keintiman Seksualitas merupakan hal yang menarik untuk diperhatikan. Seksualitas dianggap given secara biologis dan penting bagi kelangsungan hidup spesies. Saat ini seks biasa dibicarakan di wilayah publik. Seksualitas mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Seksualitas merepresentasikan kenyataan akan potensi 16 kebebasan yang selama ini terpenjara oleh batas-batas peradaban (Giddens, 1992: 1). Menurut Giddens (1992:1-7), saat ini baik perempuan feminis atau bukan, menuntut kesetaraan dengan laki-laki. Perempuan dianggap biasa jika memiliki banyak kekasih sebelum, selama atau setelah mempunyai hubungan seksual yang serius. Dalam hal ini kesetaraan perempuan secara seksual dianggap mungkin terjadi. Fenomena tersebut berbeda dengan perempuan pada zaman tradisional yang dianggap lebih bernilai ketika dapat menahan dan menolak godaan seksual. Di sisi lain, laki-laki secara tradisional dianggap membutuhkan variasi seksual demi kesehatan jasmaniahnya. Laki-laki dibolehkan terlibat dalam berbagai perjumpaan seksual (sexual encounters) sebelum mereka menikah. Standar ganda ini terus dibawa bahkan sampai pernikahan sekalipun. Studi tentang sejarang perceraian di Inggris yang dilakukan oleh Lawrence Stone (dalam Giddens, 1992: 7) membuktikan bahwa sampai saat ini masih terdapat standar ganda antara pengalaman seksual laki-laki dan perempuan. Perzinaan yang dilakukan oleh seorang istri dianggap sebagai suatu kesalahan dan dosa yang tidak dapat dimaafkan. Namun sebaliknya, perzinaan yang dilakukan oleh seorang suami dianggap suatu hal yang salah tetapi sekaligus dianggap sebagai kelemahan yang dapat diampuni. Lilian Rubin (dalam Giddens, 1992: 9) melakukan penelitian pada tahun 1989 pada kurang lebih 1000 heteroseksual di Amerika Serikat yang berusia antara 18-48 tahun. Rubin memperoleh fakta bahwa telah terjadi perubahan dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan dari waktu ke waktu. Responden yang 17 berusia di atas 40 tahun mempunyai pengalaman seksual yang berbeda dengan responden yang berusia lebih muda. Seseorang yang menikah pada waktu Perang Dunia ke II adalah perempuan yang mengikuti aturan dan norma yang berlaku pada zamannya, tidak melakukan pemberontakan. Dalam hal seksualitas, perempuan masih menjaga keperawanannya. Sebelum menikah, persoalan virginitas pada sebagian gadis dijunjung tinggi baik oleh laki-laki maupun perempuan. Reputasi sosial perempuan diukur dari kemampuan mereka menolak rayuan seksual, sedangkan laki-laki justru diukur berdasar kemampuaan mereka melakukan penaklukan-penaklukan seksual. Menurut Rubin, dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya, saat ini pernikahan sudah dipersiapkan secara seksual, baik oleh perempuan maupun laki-laki. Perempuan berharap menerima dan juga memberi kenikmatan seksual. Rubin menambahkan, saat ini proporsi perempuan yang sudah berhubungan seksual di luar nikah sudah sama dengan laki-laki. Walaupun standar ganda masih ada, perempuan tidak lagi mentoleransi pandangan yang melarang mereka untuk melakukan seks di luar nikah, ketika pada saat yang sama laki-laki terbiasa melakukannya (Giddens, 1992: 12). Penelitian-penelitian yang terkait dengan perubahan sosial seperti penelitian yang dilakukan oleh Rubin, meskipun dilakukan terbatas dalam satu negara, namun umumnya perubahan seperti yang dijabarkan Rubin juga terjadi di hampir seluruh masyarakat Barat dan untuk beberapa tahap juga terjadi di negaranegara non-Barat. Perubahan yang terjadi tergantung pada sub kultur dan strata sosial ekonomi negara tersebut. Perubahan-perubahan yang terjadi di negara lain 18 mungkin tidak seradikal yang terjadi di Amerika Serikat. Nilai-nilai seksual di Amerika Serikat beberapa dekade yang lalu lebih mengikat, maka perubahan yang terjadi saat ini merupakan peristiwa yang dramatis (Giddens, 1992: 12-13). Dalam agama Kristen, hubungan seksual hanya mungkin dalam perkawinan. Prinsip ini berasal dari pemahaman perkawinan sebagai sakramen. Gereja Katolik Roma (GKR) mengutuk seks pranikah dan melihatnya sebagai menentang hukum alam, sementara dalam konteks hubungan seksual perkawinan semata-mata demi prokreasi. Paus Pius XI mengeluarkan ensiklik Casti Connubii tahun 1930, yang menyatakan bahwa tujuan perkawinan adalah prokreasi, dan segala tindakan mecegah prokreasi dengan cara apapun tidak dibenarkan (Teresa dalam Munti, 39-40). Luhmaan mengatakan, di Eropa ada kekhasan bahwa idealideal cinta sangat terkait dengan nilai-nilai moral Kristiani (dalam Giddens, 1992: 39). Ajaran yang mengatakan bahwa seseorang harus menyerahkan diri kepada Tuhan agar lebih mengenalNya. Dengan proses ini, kesatuan sakral antara lakilaki dan perempuan dapat dicapai (Gottlieb dalam Giddens, 1992: 39). Anthony Giddens dalam bukunya The Transformation of Intimacy (1992), mengungkapkan adanya perubahan-perubahan pandangan dalam hal seksualitas, cinta, dan erotisme yang membawa hubungan ke dalam keintiman. Keintiman sendiri merupakan kedekatan yang terjalin antara individu dengan orang lain. Relasi keintiman tidak hanya terjalin antara dua orang kekasih atau pasangan suami istri, tetapi juga bisa terjalin dalam persahabatan ataupun antara orang tua dan anak. 19 1.6.2 Relasi Keintiman dan Transformasinya Anthony Giddens (1992) melihat perubahan status perempuan dalam kehidupan sosial yang akhirnya mempengaruhi bentuk dan karakter relasi keintiman dalam masyarakat. Relasi keintiman yang dimiliki oleh masyarakat tradisional adalah romantic love atau cinta romantis. Relasi ini muncul sejak penghujung abad ke-18. Dalam cinta Romantis, hasrat seksual dikalahkan oleh kasih sayang dan cinta yang tulus. Mengacu pada Max Weber (dalam Giddens, 1992: 40), ciri cinta romantis hampir sama dengan ciri yang ada dalam ajaran Kristen. Munculnya cinta romantis berkaitan dengan pengaruh yang membentuk perempuan sejak akhir abad ke-18. Pengaruh tersebut adalah diciptakannya rumah, terjadinya pergeseran hubungan antara orang tua dan anak serta ditemukannya naluri keibuan (the invention of motherhood). Tiga hal tersebut berhubungan erat satu sama lain sepanjang berkenaan dengan status perempuan (Dally dalam Giddens, 1992: 41-42). Interaksi orang tua dan anak berubah secara substansial selama masa Victorian yang represif. Kekerasan seorang ayah pada masa Victoria sudah tidak ada lagi. Kekuasaan patriarkhi dalam rumah tangga selama akhir abad ke-19 juga semakin berkurang. Pentingnya kehangatan emosional antara orang tua dan anak mencairkan kekuasaan laki-laki. Kontrol perempuan pada anak muncul ketika keluarga menjadi lebih kecil dan disadari bahwa anak-anak membutuhkan kehangatan emosional (Giddens, 1992: 42). Gagasan tentang cinta romantis sedikit demi sedikit disamakan dengan subordinasi perempuan dalam rumah dan pemisahan perempuan secara relatif 20 dengan dunia luar (Giddens, 1992: 43). Dalam cinta romantis, menurut Giddens (1992: 61), ada ketertarikan dan keterlibatan emosional yang bersifat intrinsik antara dua pihak yang terlibat dalam relasi heteroseksual. The intrinsically subversive character of the romantic love complex was for a long while held in check by the association of love with marriage and motherhood; and by the idea that true love, once found, is forever. When marriage, for many of the population, effectively was forever, the structural congruence between romantic love and sexual partnership was clear-cut. The result may often have been years of unhappiness, given the tenuous connection between love as a formula for marriage and the demands of getting on later. Yet an effective, if not particularly rewarding, marriage could be sustained by a division of labour between the sexes, with the domain of the husband that of paid work and the wife that of the home. We can see in this regard how important the confining of female sexuality to marriage was as a mark of the 'respectable' woman. For this at the same time allowed men to maintain their distance from the burgeoning realm of intimacy and kept the state of being married as a primary aim of women (Giddens, 1992: 46-47). [Hakikat dari karakter subversif kompleks cinta romantis adalah diandaikannya cinta dengan pernikahan dan keibuan, serta gagasan bahwa cinta sejati hanya terjadi sekali untuk selamanya. Dulu, ketika bagi kebanyakan orang pernikahan secara efektif dianggap berlaku untuk selamanya, kesesuaian struktural antara cinta romantis dan partner seksual memiliki perbedaan yang tegas. Hasilnya seringkali tahun-tahun yang penuh ketidak-bahagiaan, atau kerenggangan hubungan antara cinta sebagai formula pernikahan dengan cinta sebagai tuntutan untuk meneruskannya pada masa berikutnya. Kendati demikian pernikahan yang efektif, kalau toh tidak cukup bermanfaat, masih dapat ditopang dengan pembagian kerja; suami mencari nafkah dan istri berada di rumah. Dalam hal ini kita dapat mengetahui betapa seksualitas perempuan yang mengikat pada pernikahan sangat penting. Ia adalah tanda perempuan terhormat. Karena itu pula, pada saat yang sama laki-laki dimungkinkan untuk mengelola jarak dunia keintiman yang sedang berkembang dan menjaga kondisi pernikahan sebagai tujuan utama perempuan.] Kegemaran dalam mengkonsumsi novel ataupun cerita-cerita romantis mempengaruhi fantasi-fantasi perempuan yang tidak terjadi dalam dunia nyata. Literatur romantis merupakan literatur tentang harapan, dan penolakan gagasan kerumahtanggaan atau domestisitas yang merupakan satu-satunya ekspresi yang 21 paling ideal. Dalam cerita romantis, perempuan menemukan sosok laki-laki yang bertanggungjawab dan dapat diandalkan (Giddens, 1992: 44). Sejalan dengan perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat pada abad ke-20, terjadi pegeseran wacana romantic love menjadi confluent love. Kaum feminis menjadi faktor penting munculnya confluent love. Relasi ini mengedepankan persamaan dalam memberi dan menerima emosi. Semakin intensif tindakan memberi dan menerima, maka semakin erat pula ikatan hingga menyerupai hubungan tulus. Confluent love is active, contingent love, and therefore jars with the 'forever', 'one-and-only' qualities of the romantic love complex (Giddens, 1992: 61). [Cinta konfluen merupakan cinta yang aktif dan kebetulan. Ia biasanya dijargonkan dengan kata ‘untuk selamanya’, ‘hanya satu-satunya,’ yang merupakan kualitas kompleks cinta romantis]. Confluent love presumes equality in emotional give and take, the more so the more any particular love tie approximates closely to the prototype of the pure relationship (Giddens, 1992: 62). [Cinta konfluen mengandaikan persamaan dalam memberi dan menerima emosi. Semakin intensif tindakan memberi dan menerima, maka semakin erat pula ikatan hingga menyerupai hubungan tulus.] Cinta konfluen berbeda dengan cinta romantis yang mengharuskan adanya relasi monogami. Relasi yang terjalin dalam cinta konfluen tidak hanya dalam bentuk heteroseksual namun juga homoseksual. Giddens mengemukakan, konsep confluent love ini bertransformasi menjadi pure relationship. Giddens mendefinisikan pure relationship sebagai berikut: A pure relationship has nothing to do with sexual purity, and is a limiting concept rather than only a descriptive one. It refers to a situation where a social relation is entered into for its own sake, for what can be derived by each person from a sustained association with another; and which is 22 continued only in so far as it is thought by both parties to deliver enough satisfactions for each individual to stay within it (Giddens, 1992: 58). [Sebuah hubungan yang tulus tidak ada hubungannya dengan kesucian seksual, dan itu merupakan sebuah konsep terbatas yang lebih baik daripada satu-satunya deskripsi. Ia merujuk pada situasi dimana sebuah hubungan sosial diikutsertakan dalam kepentingannya, demi segala yang bisa diperoleh setiap orang dari pergaulan yang terus menerus dengan orang lain; dan yang diteruskan hanya yang menurut pemikiran kedua belah pihak dapat memberikan cukup kepuasan bagi masing-masing individu untuk menjalaninya]. Giddens dalam bukunya Modernity and Self-Identity (1991) menyatakan, hubungan yang berkonotasi pada kedekatan dan ikatan emosional yang terusmenerus dikenal dengan istilah pure relationship (dalam Giddens, 1992: 58). Sebuah hubungan yang tulus namun tidak adanya hubungannya dengan kesucian seksual dan hanya bisa dijalankan apabila kedua belah pihak dapat memberikan kepuasan bagi masing-masing individu untuk menjalaninya (Giddens, 1992: 58). Mayoritas penduduk zaman dulu, yang seksualitasnya ‘normal’, cinta terikat dengan seksualitas melalui pernikahan; tetapi sekarang melalui hubungan tulus atau pure relationship. Marriage – for many, but by no means all groups in the population – has veered increasingly towards form of a pure relationship, with many ensuing consequence. The Pure relationship, to repeat, is part of generic restructuring of intimacy (Giddens, 1992: 58). [Pernikahan – bagi banyak kelompok, meskipun tidak semuanya – sudah semakin dibelokkan ke bentuk hubungan tulus, dan ini merupakan bagian dari restrukturisasi umum keintiman]. Di dalam hubungan tulus bentuk dan karakter keintiman mengalami perubahan. Keintiman dalam hubungan tulus mensyaratkan adanya keterbukaan dan kesetaraan antara pihak yang terlibat di dalamnya, termasuk dalam hal seksualitas. Kepuasan seksual tergantung pada keterbukaan yang diungkapkan 23 pada pasangannya. Kepercayaan dalam berhubungan juga merupakan hal yang penting dan utama bagi relasi jenis ini. Percaya artinya memberikan kebebasan serta kesempatan pada pasangannya. Kepercayaan dan keterbukaan ini akhirnya dapat menciptakan demokrasi dalam keintiman. ….’pure relationship’, a relationship of sexual and emotional equality, which is explosive in its connotations for prexesting forms of gender power (Giddens, 1992: 137). [Hubungan tulus merupakan hubungan yang berdasar pada kesetaraan seksual dan emosional yang eksplosif terhadap bentuk-bentuk pra ada kekuasaan gender]. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh gerakan feminisme yang menuntut adanya kesetaraan gender. Keintiman yang berbasis pada hubungan tulus juga tidak lagi dikendalikan atau dikontrol oleh faktor eksternal seperti kewajiban moral, sosial, maupun agama. Selain itu, dalam pure relationship pasangan yang satu akan merelakan pasangan yang lain, dan hubungan ini bisa diakhiri jika tidak diinginkan oleh salah satu pasangan. Komitmen sangat dibutuhkan dalam suatu hubungan karena ikatan tanpa syarat dan persetujuan bersama akan menyebabkan salah satu pasangan atau keduanya mengalami sakit hati karena terjadi hal- hal yang tidak diinginkan. Dalam ajaran agama juga disampaikan pentingnya komitmen karena komitmen yang dinegosiasikan dengan pasangan dapat meminalisir munculnya konflik-konflik dalam rumah tangga. Jadi, yang menjadi dasar terciptanya hubungan yang harmonis dalam pasangan suami-istri adalah komitmen yang telah disepakati bersama. Pernikahan adalah sebuah komitmen yang permanen. Pasangan yang telah dipersatukan Tuhan tidak akan dapat dipisahkan (Davis, 24 1995: 692). Ajaran Kristen tentang pernikahan memerintahkan pasangan suami dan istri tetap bersama walaupun keadaan berubah. Hal ini tercermin dalam sumpah yang dilakukan saat pernikahan berlangsung. Suami dan istri berjanji tetap setia dalam keadaan baik maupun buruk, kaya ataupun miskin, dan dalam keadaan sakit, sampai maut memisahkan keduanya (Davis, 1995: 693). Namun penelitian yang berjudul When God is Love: Reflections on Christian and Romantic Sentiments in Catholic Poland menyimpulkan bahwa agama tidak mampu untuk melawan ide-ide atau gagasan dari cinta saat ini ( Peperkamp, 2006: 91). Selanjutnya, Giddens mengatakan terdapat kontradiksi-kontradiksi dalam pure relationship. Seseorang yang menceritakan rahasia perasaan dan pengalaman-pengalamannya kepada seorang teman bukan kepada kekasihnya, kemungkinan besar memiliki beban-beban tertentu dalam hubungan cintanya. Hubungan heteroseksual sering terlihat tidak harmonis, di mana ada pertikaian dan ketidakpuasan antara kedua jenis kelamin yang berelasi. Hite (dalam Giddens, 1992: 148) menemukan fakta dari penelitiannya bahwa hampir seluruh responden perempuan heteroseksual menginginkan keterbukaan yang lebih verbal dengan suami mereka. Perempuan merasa putus asa dengan ketidaksetiaan pasangan mereka yang terus menerus, meskipun banyak perempuan juga mempunyai hubungan diluar nikah namun mereka menyembunyikan hubungan terlarangnya dari pasangan mereka. Hite (dalam Giddens, 1992: 148-149) menyatakan: Many women know they are not getting equal emotional support, esteem or respect in their relationships. And yet it can be difficult to describe definitively to a man just how he is projecting diminishing attitudes. Some of the ways this happens are so subtle in their expression that, while a 25 woman may wind up feeling frustrated and on the defensive, she can find it almost impossible to say just why: pointing to the subtle thing said or done would look petty, like overreacting. But taken all together, it is no surprise when even one of these incidents can set off a major fight - or, more typically, another round of alienation which never gets resolved. These little incidents cut away at the relationship, making women angry and finally causing love to dwindle down to a mere modest toleration. [Banyak perempuan mengetahui bahwa mereka tidak mendapatkan dukungan, penghargaan atau penghormatan seksual yang setara dalam hubungan-hubungan mereka. Namun sulit untuk menggambarkan secara jelas kepada seorang laki-laki bagaimana dia mengurangi perilakuperilakunya yang keras. Beberapa kejadian-kejadian ini begitu halus dalam ekspresi, ketika seorang perempuan kecewa dan defensif, ia dapat merasakannya hampir tidak mungkin untuk sekedar mengatakan mengapa: menunjukkan hal-hal yang dilakukan atau dikatakan secara halus akan terlihat bodoh, seperti banyak tingkah. Tetapi, menerima semuanya, akan menyebabkan siklus perselisihan yang tidak pernah terselesaikan. Insiden kecil ini memangkas habis hubungan, membuat perempuan marah dan akibatknya menyebabkan cinta menjadi kering]. Kemarahan laki-laki terhadap perempuan merupakan reaksi terhadap tuntutan diri perempuan. Perempuan memprotes dan ingin terbebas dari kurungan rumah tangga sedangkan laki-laki juga merasa masih terpenjara karena besarnya tekanan tanggung jawab sebagai pencari nafkah. Selanjutnya, di dalam pure relationship, terdapat plastic sexuality. Seksualitas plastis atau plastic sexuality merupakan seksualitas tak terpusat (decentered sexuality), yang terbebas dari kebutuhan-kebutuhan reproduksi. Fenomena ini merupakan sesuatu yang krusial bagi emansipasi, terutama terhadap tuntutan perempuan akan kenikmatan seksual. Ia juga secara mendasar membebaskan seksualitas dari aturan-aturan lingga (phallus) serta dari kepentingan pengalaman serta dari kepentingan pengalaman seksual laki-laki (Giddens, 1992: 2). Berlawanan dengan plastic sexuality, gereja mengajarkan bahwa seks terkait erat dengan prokreasi (Davis, 1995: 692). 26 Bagi Giddens, transformasi relasi intim dan perkembangan pure relationship yang menjunjung kesetaraan dan penghargaan pada masing-masing pihak akhirnya akan mengerucut pada terwujudnya demokrasi di dalam ruang privat. Dalam hal ini, tidak ada batas batas-batas yang ditetapkan untuk aktivitas seksual, kecuali bagi hal-hal yang diperlukan penyamarataan prinsip otonomi dan oleh norma-norma hubungan yang tulus yang dinegosiasikan. Emansipasi seksual bisa dicapai dengan diintegrasikannya seksualitas plastis dengan proyek reflektif diri. Perempuan khususnya, tidak lagi menjadi subyek yang disubordinasi dan dikontrol dalam relasi intimnya dengan pasangan (Giddens, 1992: 194-195). Transformasi keintiman tidak hanya terbatas pada seks dan gender yang berkaitan dengan pasangan, namun juga relasi antara orang tua dan anak. Janet Finch (dalam Giddens, 1992: 96) mengutarakan tentang komitmen dalam rumah tangga. Komitmen yang dinegosiasikan cenderung diperlukan demi kelangsungan rumah tangga. Dikatakan oleh Giddens, terdapat ketidakseimbangan kekuasaan dalam relasi antara orang tua dan anak khususnya pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Bukan hanya orang tua lebih berkuasa dibandingkan anak-anak, perilaku orang tua juga membentuk personalitas dan watak anak. Susan Forward dalam bukunya yang berjudul Toxic Parents: Overcoming Their Hurtful Legacy and Reclaiming Your life mengatakan, para orang tua dapat menjadi ‘racun’ bagi anak-anak mereka. Cara orang tua bersikap pada anak-anak mereka akan berpengaruh pada personalitas dan watak anak-anak. Orang tua yang secara konsisten menghancurkan perasaan personal anak, dapat menyebabkan anak-anak memiliki kenangan-kenangan buruk masa kecil yang berakibat pada masa dewasa 27 sang anak. Susan Forward menambahkan, orang tua yang tergolong dalam orang tua toksik/ yang beracun adalah oranng tua yang tidak cukup memberikan perhatian secara emosional, tidak menghargai atau melindungi sang anak, melepaskan tanggungjawab mereka terhadap anak, mengontrol perasaan dan kebutuhan sang anak yang disubordinasikan dengan perasaan dan kebutuhan orang tua, menekan sang anak dan melakukan penyelewengan-penyelewengan verbal ataupun fisik. Orang tua kadang-kadang mengatakan hal-hal yang membuat anak-anak mereka merasa disakiti (dalam Giddens, 1992: 104-106). Sehingga individu yang memiliki masalah dengan orang terdekat (pasangan) atau individu yang ingin mempunyai ikatan personal yang dekat dengan orang lain, dianjurkan untuk menyembuhkan luka masa lalu ketika masih anak-anak (Susan Forward dalam Giddens, 1992). Saat ini kekuasaan orang tua atas anak tumbang dengan semakin luasnya ruang keintiman. Relasi yang cocok untuk ikatan orang tua dan anak adalah cinta konfluen yaitu bahwa anak-anak memiliki hak, tidak hanya diberi makan, pakaian dan dilindungi, tetapi juga diperhatikan secara emosional dan dihargai perasaannya (Giddens, 1992: 108-109). 1.7 Metode Penelitian Metode dalam penelitian tesis ini dilakukan melalui dua langkah. Langkah pertama adalah pengumpulan data dan langkah kedua adalah analisis atau pengolahan data. 28 1.7.1 Pengumpulan Data Sumber data penelitian ada dua yaitu data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah teks-teks yang terdapat di dalam cerpen Dear Life, khususnya cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley, dan Gravel. Data sekunder penelitian ini diperoleh dari karya tulis, jurnal, artikel atau penelitianpenelitian lain yang masih berkaitan dengan keintiman perempuan, perubahan sosial, perilaku seksual, kepercayaan terhadap agama, serta data-data lain yang berkaitan dengan objek kajian. Data-data tersebut kemudian diklasifikasikan dalam dua kategori yaitu (1) Keintiman perempuan, (2) Hubungan antara perubahan zaman, keintiman dan agama. Data tersebut diperlukan untuk menjawab dan mengelaborasi pertanyaan penelitian. 1.7.2 Analisis Data Data yang terkumpul dikelompokkan sesuai kategori masing-masing kemudian data-data tersebut dianalisis sesuai dengan teori intimacy Anthony Giddens. Peneliti mencari kaitan atau hubungan data-data tersebut dengan keintiman perempuan sesuai setting waktu cerpen yaitu pasca perang atau abad ke-20 dan hubungan antara perubahan zaman dengan keintiman dan agama serta kontradiksi antara kenyataan dengan cerita yang digambarkan dalam tiga cerpen Dear Life sehingga peneliti mampu menjawab apa pesan yang ingin disampaikan oleh penulis dalam cerpen-cerpennya. 29 1.8 Sistematika Penyajian Penyajian dalam penelitian ini terdiri dari empat bab. Bab I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, objek penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian dan sistematika penyajian. Bab II merupakan pembahasan tentang keintiman perempuan yang digambarkan dalam cerpen To Reach Japan, Leaving Maverley dan Gravel yang terdapat dalam kumpulan cerpen Dear Life karya Alice Munro. Bab III membahas hubungan antara perubahan zaman, keintiman dan agama serta pesan yang ingin disampaikan oleh Alice Munro dalam tiga cerpen Dear Life. Bab IV merupakan bab terakhir yang berisi kesimpulan penelitian. 30