disini - Library Binus

advertisement
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Hubungan jarak jauh (long distance relationship)
Pengertian hubungan jarak jauh atau sering disebut dengan long distance
relationship adalah dimana pasangan dipisahkan oleh jarak fisik yang tidak
memungkinkan adanya kedekatan fisik untuk periode waktu tertentu
(Hampton, 2004).
Menurut Stafford (2005) kesempatan untuk komunikasi yang sangat
terbatas dalam persepsi individu masing-masing yang menjalani merupakan
hubungan jarak jauh. Sulitnya komunikasi yang dilakukan karena keterbatasan
alat serta tempat yang tidak trategis untuk berkomunikasi dengan lancar.
Sampai saat ini disampaikan oleh psikoloh ternama Amerika Serikat
Dr.Guldner belum ada definisi yang pasti mengenai hubungan jarak jauh.
Holt & Stone (dalam Kidenda, 2002) menggunakan faktor waktu dan
jarak untuk mengkategorikan pasangan yang menjalani hubungan jarak jauh.
Berdasarkan informasi demografis dari partisipan penelitian yang menjalani
hubungan jarak jauh, didapat tiga kategori waktu terpisah (0, kurang dari 6
bulan, lebih dari 6 bulan), tiga kategori pertemuan (sekali seminggu, seminggu
hingga sebulan, krang dari satu bulan) dan tiga kategori jarak (0-1 mil, 2-294
mil, lebih dari 250 mil). Dari hasil penelitian Hotl & Stone (dalam Kidenda,
2002)
Jadi dapat disimpulkan bahwa hubungan jarak jauh merupakan sebuah
proses seseorang dengan pasangan yang berada di tempat yang berbeda baik
jarak dan fisik, telah menjalani hubungan jarak jauh minimal 6 bukan dan
memiliki intensitas pertemuan yang minimal satu kali dalam satu bulan.
2.1.1 Komponen-komponen Hubungan Berpasangan
Menurut Karsner (2001), ada 4 komponen penting dalam menjalin
hubungan.
Kehadiran
komponen
tersebut
dalam
hubungan
akan
mempengaruhi kelanggengan hubungan yang dijalani. Komponen-komponen
tersebut adalah saling percaya yaitu kepercayaan dalam suatu hubungan akan
menentukan apakah suatu hubungan akan berlanjut atau berhenti. Kepercayaan
ini meliputi pemikiran-pemikiran kognitif individu tentang apa yang sedang
dilakukan oleh pasangannya. Komponen kedua adalah komunikasi yang
merupakan dasar dari terbinanya hubungan yang baik (dalam Johnson,
Caughlin & Huston, 1991). Feldman (1996) menyatakan bahwa komunikasi
merupakan situasi dimana seseorang bertukar informasi tentang dirinya
dengan orang lain. Komponen ketiga adalah keintiman yang merupakan
perasaan dekat terhadap pasangan (Syenberg dalam Shumway, 2003).
Keintiman tidak hanya terbatas pada kedekatan fisik saja. Adanya rasa
kedekatan emosional dan rasa kepemilikan terhadap pasangan merupakan
bagian dari keintiman. Komponen terakhir atau komponen keempat
yaitumeningkatkan komitmen, dimana menurut Kelly (dalam Stenberg, 1987)
komitmen lebih merupakan tahapan dimana seseorang menjadi terikat dengan
sesuatu atau seseorang dan terus bersamanya hingga hubungan berakhir.
2.1.2 Faktor Penyebab Hubungan Jarak Jauh
Kaufmann (2000) menyatakan bahwa faktor-faktor yang menyebabkan
individu menjalani hubungan jarak jauh diantaranya yaitu faktor pendidikan.
Pendidikan adalah salah satu faktor penyebab hubungan jarak jauh adalah
ketika individu berusaha untuk mengeja dan mencapai tingkat pendidikan
yang lebih tinggi sehinggan hubungan mereka dengan pasangan harus
dipisahkan oleh jarak. Stafford, Daly, & Reske (dalam Kauffman, 2000)
menyatakan bahwa sepertiga dari hubungan berpasangan di dalam universitas
yang dijalani oleh mahasiwa merupakan hubungan jarak jauh.
Faktor kedua yaitu pekerjaan, dimana hubungan jarak jauh juga
berhubungan dengan kecenderungan sosial pada saat ini. Hal ini dapat dilihat
dengan adanya peningkatan jumlah tenaga kerja ke luar negeri (Johnson &
Packer dalam Kauffman, 2000) dan juga dengan adanya kondisi mobilitas
kerja saat ini sehingga dalam usaha pencapaian karir mereka, hubungan
percintaan yang terjalin harus dipisahkan oleh jarak.
2.2
Dewasa Muda
Hurlock (1999) mengatakan bahwa masa dewasa muda dimulai
denganusia 18 tahun sampai 40 tahun, saat perubahan-perubahan fisik dan
psikologis yang menyertai berkurangnya kemampuan reproduktif.
Dewasa muda didefinisikan oleh Erikson (dalam Papalia, Olds &
Fieldman, 2007) sebagai tahap ke enam dari psychological development, yaitu
intimacy dan isolation jika dewasa muda tidak bisa membuat komitmen
pribadi yang mendalam kepada orang lain, maka mereka beresiko menjadi
terlalu terisolasi dan mementingkan diri sendiri. Mereka juga perlu beberapa
isolasi
untuk
merefleksikan
kehidupan
saat
mereka
bekerja
untuk
menyelesaikan tuntutan yang bertentangan dari keintiman, daya saing, dan
jarak. Pada usia dewasa muda Erikson juga mengembangkan rasa etis, yang
dianggap sebagai tanda kedewasaan.
Santrock (2002) mengatakan bahwa masa dewasa muda adalah masa
untuk bekerja menjalani hubungan dengan lawan jenis, terkadang menyisakan
sedikit waktu untuk hal lainnya.
Ada beberapa tugas perkembangan pada masa dewasa muda, yaitu
(Turner & Helms dalam Dariyo, 2008) mencari dan memiliki pasangan hidup,
belajar menyesuaikan diri dan hidup secara harmonis dengan pasangan, mulai
membentuk keluarga dan memulai peran baru sebagai orangtua, membesarkan
anak dan memenuhi kebutuhan mereka, belajar menata rumah tangga dan
memikul
tanggung
jawab,
mengembangkan
karir
atau
melanjutkan
pendidikan, memenuhi tanggung jawab sebagai warga Negara dan
menemukan kelompok sosial yang sesuai.
Dari tugas perkembangan yang disampaikan diatas terlihat bahwa tugas
terpenting dari masa dewasa muda adalah untuk membentuk hubungan intim
yang dekat dengan orang lain.
Menurut Hurlock (1999) fase memilih pasangan pada individu terjadi
pada fase dewasa muda. Masa dewasa muda adalah masa yang ditandai
dengan
adanya
kecenderingan
intimacy
versus
isolation,
dengan
mengembangkan hubungan intim merupakan tugas perkembangan yang
penting bagi dewasa muda dalam membina hubungan intim, individu memiliki
pemahaman diri, kemampuan dalam mengekspresikan emosi, kemampuan
dalam berkomitmen, dan mengambil keputusan dalam seksualitas. Hal-hal ini
sangat penting bagi dewasa muda dalam memutuskan untuk menikah,
membentuk pasangan yang tidak terikat pernikahan, atau hidup seorang diri,
atau memiliki atau tidak memiliki anak (Lambeth & Hallet dalam, Papalia et
al, 2008). Dalam penelitian ini tidak memiliki batas usia yang di ambil untuk
melakukan penelitian.
2.3
Komitmen Pernikahan
2.3.1 Pengertian Komitmen Pernikahan
Komitmen didefinisikan sebagai niat seseorang untuk mempertahankan
hubungan dan tetap melekat dalam hal psikologisnya (Rusbult, 1983).
Komitmen didefinisikan adalah hubungan terus menerut dengan yang
lain adalah sama pentingnya dengan upaya untuk menjamin maksimum pada
mempertahankan hubungan (Morgan & Hunt, 1994). Komitmen merupakan
sejauh mana pengalaman individu orientasi jangka panjang terhadap
hubungan, termasuk keinginan untuk mempertahankan hubungan untuk lebih
baik atau lebih buruk (Thibaut & Kelley, 1959).
Individu dengan kompetensi ini siap untuk mengirbankan tujuan
pribadinya untuk mencapai tujuan yang lebih besar, menemukan tujuan yang
mendasarkan dalam misi yang besar, menggunakan nilai-nilai yang mendasar
yang dimiliki dalam mengambil keputusan dan mengklasifikasikan pilihanpilihan. Pada seting pernikahan, yang dibicarakan adalah komitmen
pernikahan, dan yang menjadi tujuan individu adalah tujuan pernikahan
menurut pasangan (Duvall et al, 1977). Dari pendapat yang disampaikan di
atas menyatakan bahwa pernikahan yang bahagia melibatkan komitmen
terhadap hubungan pernikahan tersebut.
Dalam suatu hubungan berpasangan tidak terlepas dari hal pernikahan,
pernikahan yang di anggap ideal adalah yang dapat memberikan intimacy
(kedekatan), pertemanan, pemenuhan kebutuhan seksual, kebersamaan dan
perkembangan emosional (Papalia, Olds, & Feldman, 2005). Bagi orang yang
telah terikat dalam sebuah pernikahan, kepercayaan adalah hal yang paling
penting. Kualitas pernikahan seseorang merupakan salah satu pengaruh terkuat
dalam keseluruhan kepuasan dalam fase kehidupan (Fleeson, 2004 dalam
Olson & DeFrain, 2006). Pernikahan juga dapat didefinisikan sebagai
emosional dan komitmen hukum dari dua orang untuk berbagi keintiman
emosional dan fisik, berbagai tugas serta sumber daya ekonomi (Olson &
DeFrain, 2006).
Menurut Johnson, penggagas teori komitmen pernikahan dari The
Pennsylvania State University, komitmen pernikahan perlu di pahami dalam
tiga bentuk. Pertama komitmen personal, yaitu keinginan untuk bertahan
karena cinta terhadap pasangan dan perasaan puas terhadap hubungan itu
sendiri. Kedua adalah komitmen moral, yaitu rasa tanggung jawab secara
moral baik itu terhadap pasangan maupun janji pernikahan. Ketiga adalah
komitmen structural yang bicara mengenai komitmen untuk bertahan dalam
suatu hubungan karena alasan-alasan structural seperti yang disebutkan di atas.
Dalam penelitian ini komitmen pernikahan didefinisikan suatu kesepakatan
yang di buat oleh pasangan suami istri (dalam Johnson, Caughlin & Huston,
1991). Dan Johnson menjelaskan bahwa ketiga komitmen ini akan menjadi
sumber motivasi untuk mengatasi masalah, dengan motivasi tersebut dapat
tercipta perencanaan dan tindakan untuk menyelesaikan masalah dalam
hubungan pernikahan tersebut.
2.3.2 Komponen-Komponen Komitmen Pernikahan
Johnson (dalam Johnson, Caughlin & Huston, 1991)) komitmen
pernikahan perlu dipahami dalam tiga dimensi atau tiga bentuk, yaitu
komitmen personal, komitmen moral, dan komitmen structural. Dari setiap
bentuk komitmen di atas memiliki komponen masing-masing sebagai berikut:
Komitmen Personal yang mengandung arti sejauh mana seseorang ingin
bertahan dalam hubungannya. Komitmen ini dipengaruhi tiga hal. Pertama,
seseorang ingin bertahan dalam hubungannya karena memang masih ada cinta
atau ketertarikan yang kuat dengan pasangan. Kedua, ketertarikan dengan
hubungan itu sendiri, yakni bahwa hubungan yang ada memang memuaskan.
Komponen ketiga adalah identitas sebagai pasangan. Dalam hal ini, hubungan
yang dimiliki menjadi salah satu aspek konsep diri yang dianggap penting bagi
individu itu.
Komitmen moral adalah suatu rasa bertanggung jawab secara moral
untuk melanjutkan hubungan. Tipe komitmen ini juga terdiri dari tiga
komponen. Pertama adalah nilai-nilai mengenai moralitas dari hubungan itu
sendiri. Individu menganggap bahwa pernikahan adalah sesuatu yang
berlangsung sepanjang hidup dengan pasangan yang sama. Kedua adalah
perasaan bertanggung jawab secara pribadi terhadap orang lain. Misalnya
individu merasa pasangannya membutuhkannya atau ia merasa telah berjanji
untuk sehidup semati dengan pasangannya. Ketiga, seseorang merasa
bertanggung jawab untuk melanjutkan hubungan karena ia memiliki nilai
konsistensi general (general consistency values). Individu ini biasanya
merasakan kewajiban untuk menyelesaikan apa yang telah ia mulai, termasuk
dalam hal perkawinan.
Komitmen structural adalah keinginan bertahan dalam suatu hubungan
karena adanya faktor penahan dalam hubungan tersebut yang menghambatnya
untuk meninggalkan hubungan. Tidak adanya alternatif lain yang lebih baik
merupakan salah satu faktor yang membuat seseorang cenderung bertahan
dalam hubungannya. Faktor penahan lainnya adalah tekanan sosial. Jika
keputusan seseorang untuk bercerai ditentang oleh keluarga, teman, dan
masyarakat, akan jauh lebih mungkin seseorang untuk mempertahankan
hubungannya. Prosedur perceraian yang sulit dan menghabiskan waktu serta
biaya juga menjadi salah satu faktor yang membuat seseorang merasa lebih
baik bertahan dalam hubungannya. Faktor yang terakhir adalah investasi yang
telah ditanamkan selama hubungan berlangsung dan tidak dapat diambil
kembali (irretrievable investments). Individu yang merasa telah banyak
berkorban
dalam
hubungannya
biasanya
cenderung
mempertahankan
hubungan.
Berdasarkan uraian diatas dapt disimpulkan bahwa ada banyak
komponen-komponen
komitmen
pernikahan,
komponen-komponen
pernikahan yang akan digunakan sebagai alat ukur adalah kepada kerangka
konseptual komitmen pernikahan dari Johnson (dalam Johnson, Caughlin &
Huston, 1991) yang mengidentifikasi komitmen pernikahan ke dalam tiga
dimensi yaitu komitmen personal, komitmen moral dan komitmen struktural.
Download