Daftar Isi JURNAL ANALISIS PENDIDIKAN DASAR - Ja

advertisement
JURNAL ANALISIS PENDIDIKAN DASAR &
MENENGAH INDONESIA
(JA-DIKDASMEN)
Vol.2, No.1, Januari 2016
ISSN: 2460-5689
Daftar Isi
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Sunarijah ....................................................................................................... 121
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran
di Sekolah Dasar
Ismawati ........................................................................................................ 137
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
Mutrofin & Muhtadi Irvan ......................................................................... 149
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Sri Hartatik ................................................................................................... 163
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran
Penjasorkes
Sihono ............................................................................................................ 181
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Sumarni ......................................................................................................... 195
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
Budi Sasmito ................................................................................................ 207
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di Sekolah
Dasar Berbasis Pendekatan Meritokrasi
Endang Padmi Heruningsih ...................................................................... 217
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam
Mengaplikasikan Pembelajaran Berbasis Masalah
melalui Lesson Study
Dyah Ayundawati ........................................................................................ 227
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
Supriyati ........................................................................................................ 241
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 121-136
MENINGKATKAN SIKAP ILMIAH SISWA SMP
DALAM PEMBELAJARAN IPA MELALUI STRATEGI
PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING
Sunarijah
Pengawas Sekolah SD/MI Kota Mojokerto, Jawa Timur
Abstract
Integrated science teaching in junior high school is in desperate
need of creativity and innovation of teachers in choosing learning
strategies as part of the elements of pedagogy. The nature of
science teaching includes four main elements, namely, attitudes,
processes, products, and applications. Classroom action research
conducted in collaboration with teachers focusing on attitudes,
the scientific attitude of students. The study was conducted during
two cycles of treatment with guided discovery learning strategy.
The results showed that the average percentage of scientific
attitude of students in the first cycle is equal to 55.57% increase
to 76.14% in the second cycle. Thus, the action hypothesis which
reads “if teachers implement guided discovery instructional
strategies in learning science in junior high school, then the
scientific attitude of students will increase” acceptable.
Based on the results of this research suggested that in certain
topics for learning science in class VII SMP, the teacher tried to
apply guided discovery learning strategies. However, further
research is needed to test the effectiveness of guided discovery
learning strategies when compared with other learning strategies,
eg with expository teaching strateg y. The focus of the
characteristics of the students surveyed also needs to be
broadened, not only scientific attitudes but also achievement
motivation.
Keywords: Scientific attitude, science education, guided discovery
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 121
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
PENDAHULUAN
Pedagogi yang secara umum dipahami sebagai ilmu tentang mengajar memiliki kedudukan vital
dalam pembelajaran. Secara sederhana, menurut Pinto, Spares, &
Driscoll (2012), pedagogi adalah
tentang bagaimana pendidikan
diselenggarakan, atau tentang apa
strategi pembelajaran yang digunakan. Pedagogi mempengaruhi dan
dipengaruhi oleh konten dan topik.
Bagian tanggung jawab profesional
guru ialah mengambil keputusan
pedagogi, yakni dengan memilih
dari banyak sekali pedagogi yang
tersedia dan kemudian mengadaptasikannya ke kelas yang diampunya.
Masih menurut Pinto, Spares, &
Driscoll (2012), ketika membuat
pilihan pedagogi, ada banyak kriteria yang perlu dipertimbangkan,
baik secara sadar maupun menurut
intuisi, misalnya: 1) kesesuaian
dengan konten dan mata pelajaran
tertentu, 2) seberapa jauh mengacu
ke hasil pembelajaran tertentu, 3)
keseuaian dengan usia anak pada
level kelas yang dibelajarkan, 4)
bukti-bukti penelitian bahwa pedagogi tertentu berkontribusi terhadap pencapaian atau prestasi siswa,
dan 5) kesesuaian dengan filosofi
122
pendidikan guru, apakah berpusat
pada guru ataukah berpusat pada
siswa.
Peran vital pedagogi dalam
pembelajaran”pada konteks tentang apa strategi pembelajaran yang
digunakan”memperoleh dukungan
kuat teori deskriptif pembelajaran
sebagai bagian dari variabel yang
dihipotesiskan mempengaruhi hasil
pembelajaran dalam interaksinya
dengan kondisi pembelajaran tertentu (Reigeluth, 1983). Oleh karenanya, strategi pembelajaran relevan diteliti terus menerus.
Pembelajaran dalam konteks
Kurikulum 2013 diorientasikan
untuk menghasilkan insan Indonesia yang produktif, kreatif, inovatif,
dan afektif melalui penguatan sikap
(tahu mengapa), keterampilan (tahu
bagaimana), dan pengetahuan (tahu
apa) yang terintegrasi, (Kemendikbud, 2013). Orientasi ini dilandasi
oleh adanya kesadaran bahwa perkembangan kehidupan dan ilmu
pengetahuan abad ke-21, telah terjadi pergeseran ciri dibanding abad
sebelumnya. Sejumlah ciri abad ke21 tersebut adalah bahwa abad ke21 merupakan abad informasi,
komputasi, otomasi, dan komunikasi.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Hal tersebut dipertegas dalam
Lampiran III Permendikbud RI
Nomor 58 Tahun 2014 tentang
Kurikulum 2013 SMP/MTs bahwa
pembelajaran diarahkan untuk
mendorong peserta didik mencari
tahu dari berbagai sumber observasi, mampu merumuskan masalah
(menanya) bukan hanya menyelesaikan masalah. Di samping itu
pembelajaran diarahkan untuk melatih peserta didik berpikir analitis
(pengambilan keputusan) bukan
berpikir mekanistis (rutin), serta
mampu bekerjasama dan berkolaborasi dalam menyelesaikan masalah. Sehubungan dengan itu, Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan saintifik dalam pembelajaran
dan penilaian otentik yang menggunakan prinsip penilaian sebagai
bagian dari pembelajaran. Untuk
memperkuat pendekatan saintifik,
perlu diterapkan pembelajaran berbasis penemuan (discovery learning).
Hal inilah yang melandasi mengapa
pembelajaran penemuan relevan
diteliti.
Secara teoretik, pembelajaran
penemuan ingin mengubah kondisi
belajar yang pasif menjadi aktif
dan kreatif, pembelajaran yang
semula berorientasi pada guru ke
pembelajaran yang berorientasi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
pada siswa, dan mengubah modus
expository siswa yang hanya menerima informasi dari guru ke modus
discovery dimana siswa menemukan
informasi sendiri. Pembelajaran
penemuan adalah pembelajaran dimana siswa menyusun pemahamannya sendiri. Dalam pembelajaran penemuan, siswa harus
mencari tahu sendiri. Pembelajaran
penemuan berhubungan dengan ide
Piaget, yang mengatakan bahwa
setiap kali guru memberi tahu
siswa, maka sesungguhnya siswa
tidak belajar (Santrock, 2011).
Bruner (1966), mempromosikan konsep pembelajaran penemuan dengan mendorong guru untuk
memberi siswa kesempatan belajar
sendiri. Pembelajaran penemuan
mendorong siswa untuk berpikir
sendiri dan menemukan cara menyusun dan mendapatkan pengetahuan sendiri. Bruner (1966),
mengemukakan bahwa “discovery
learning can be defined as the learning
that takes place when the student is not
presented with subject matter in the final
form, but rather is required to organize
it himself ’.” Dasar ide Bruner ialah
pendapat Piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan aktif
dalam belajar di kelas.
123
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Pembelajaran penemuan sangat
efektif dalam pembelajaran sains.
Secara empirik telah ditemukan
bahwa siswa yang mempelajari
sains dengan menggunakan aktivitas dan metode pembelajaran
penemuan mendapat nilai lebih
tinggi dalam pelajaran sains daripada siswa di kelas yang diajar dengan metode pembelajaran langsung (Bredderman, 1982; dan juga
Glasson, 1989). Temuan ini diperoleh pada sekolah dasar dan menengah.
Namun demikian, Santrock
(2011), mengungkapkan bahwa
kebanyakan yang digunakan di
sekolah dewasa ini bukanlah pembelajaran penemuan “murni.” Dalam pembelajaran penemuan “murni” siswa didorong untuk belajar
sendiri dan instruksi diberikan pada
level minimal atau tidak diberikan
sama sekali. Sehingga saat guru
mulai menggunakan pembelajaran
penemuan, guru menyadari bahwa
agar efektif, ini perlu untuk dimodifikasi yang kemudian memunculkan istilah pembelajaran penemuan
terbimbing (guided discovery learning).
Pembelajaran penemuan terbimbing merupakan pembelajaran
dimana siswa didorong untuk menyusun sendiri pemahamannya,
124
namun juga dibantu dengan
pertanyaan dan pengarahan dari
guru. Hal ini dikarenakan belajar
sendiri tidak selalu bermanfaat bagi
banyak siswa. Memberi materi lalu
membiarkan siswa belajar sendiri
akan menyebabkan siswa mendapatkan solusi yang salah dan
strategi yang tidak efisien untuk
menemukan informasi. Bahkan ada
siswa yang tidak menemukan
pengetahuan sama sekali.
Menurut Eggen & Kauchak
(2012), pembelajaran penemuan
terbimbing dapat mendorong pemahaman materi secara mendalam
dan mengembangkan kemampuan
berpikir kritis siswa. Saat siswa
memberikan bukti bagi kesimpulan
yang diperoleh, hal ini sesungguhnya inti dari berpikir kritis. Strategi
penemuan terbimbing dalam penelitian ini diterapkan untuk pembelajaran Ilmu Pengetahuan Alam
(IPA) di Sekolah Menengah
Pertama (SMP).
IPA yang sering disebut juga
dengan istilah pendidikan sains
merupakan salah satu mata pelajaran dalam kurikulum pendidikan
pada jenjang SMP. Menurut rumusan Pusat Kurikulum (2006), IPA
berkaitan dengan cara mencari tahu
tentang alam secara sistematis,
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
sehingga IPA bukan hanya penguasaan kumpulan pengetahuan
yang berupa fakta-fakta, konsepkonsep, atau prinsip-prinsip saja
tetapi juga merupakan suatu proses
penemuan. Pendidikan IPA diharapkan dapat menjadi wahana bagi
peserta didik untuk mempelajari
diri sendiri dan alam sekitar, serta
prospek pengembangan lebih lanjut
dalam menerapkannya di dalam
kehidupan sehari-hari. Proses pembelajarannya menekankan pada
pemberian pengalaman langsung
untuk mengembangkan kompetensi agar siswa menjelajahi dan
memahami alam sekitar secara
ilmiah. Pendidikan IPA diarahkan
untuk inkuiri dan berbuat sehingga
dapat membantu peserta didik
untuk memperoleh pemahaman
yang lebih mendalam tentang alam
sekitar.
Secara umum IPA di SMP/
MTs, meliputi bidang kajian energi
dan perubahannya, bumi dan antariksa, makhluk hidup dan proses
kehidupan, dan materi dan sifatnya
yang sebenarnya sangat berperan
dalam membantu peserta didik
untuk memahami fenomena alam.
IPA merupakan pengetahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah
mengalami uji kebenaran melalui
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
metode ilmiah, dengan ciri:
objektif, metodik, sistematis, universal, dan tentatif. IPA merupakan
ilmu yang pokok bahasannya
adalah alam dan segala isinya.
Carin dan Sund (1993), sebagaimana dikutip Puskur (2006),
mendefinisikan IPA sebagai
“pengetahuan yang sistematis dan
tersusun secara teratur, berlaku
umum (universal), dan berupa
kumpulan data hasil observasi dan
eksperimen.” Sains atau IPA adalah
usaha manusia dalam memahami
alam semesta melalui pengamatan
yang tepat pada sasaran, serta
menggunakan prosedur dan dijelaskan dengan penalaran sehingga
mendapatkan
kesimpulan
(Susanto, 2013).
Merujuk pada pengertian IPA
itu, maka Puskur (2006), menyimpulkan bahwa hakikat pembelajaran IPA meliputi empat unsur
utama yaitu: (1) sikap: rasa ingin
tahu tentang benda, fenomena
alam, makhluk hidup, serta hubungan sebab akibat yang menimbulkan masalah baru yang dapat dipecahkan melalui prosedur yang
benar; IPA bersifat open ended; (2)
proses: prosedur pemecahan masalah melalui metode ilmiah;
metode ilmiah meliputi penyusunan
125
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
hipotesis, perancangan eksperimen
atau percobaan, evaluasi, pengukuran, dan penarikan kesimpulan;
(3) produk: berupa fakta, prinsip,
teori, dan hukum; (4) aplikasi: penerapan metode ilmiah dan konsep
IPA dalam kehidupan sehari-hari.
demikian dapat menumbuhkan
sikap ilmiah siswa yang diindikasikan dengan merumuskan masalah,
menarik kesimpulan, sehing ga
mampu berpikir kritis melalui pembelajaran IPA. Sikap ilmiah itulah
yang menjadi fokus penelitian ini.
Keempat unsur itu merupakan
ciri IPA yang utuh yang sebenarnya
tidak dapat dipisahkan satu sama
lain. Dalam proses pembelajaran
IPA keempat unsur itu diharapkan
dapat muncul, sehingga peserta
didik dapat mengalami proses pembelajaran secara utuh, memahami
fenomena alam melalui kegiatan pemecahan masalah, metode ilmiah,
dan meniru cara ilmuwan bekerja
dalam menemukan fakta baru.
Istilah sikap dalam bahasa Inggris disebut “attitude” sedangkan
istilah attitude sendiri berasal dari
bahasa latin yakni “aptus” yang berarti keadaan siap secara mental
yang bersifat untuk melakukan
kegiatan. Sikap ilmiah merupakan
sikap yang harus ada pada diri
seorang ilmuwan atau akademisi
ketika menghadapi persoalanpersoalan ilmiah. Sikap ilmiah ini
perlu dibiasakan dalam berbagai
forum ilmiah, misalnya dalam
diskusi, seminar, loka karya, dan
penulisan karya ilmiah.
Pembelajaran IPA merupakan
pembelajaran berdasarkan pada
prinsip-prinsip, proses yang mana
dapat menumbuhkan sikap ilmiah
siswa terhadap konsep-konsep IPA
(Susanto, 2013). Oleh karena itu,
pembelajaran IPA di SMP dilakukan dengan penyelidikan sederhana
dan bukan hafalan terhadap sekumpulan konsep IPA. Dengan kegiatan-kegiatan tersebut pembelajaran akan mendapat pengalaman langsung melalui pengamatan, diskusi, dan penyelidikan
sederhana. Pembelajaran yang
126
Sikap ilmiah dapat dibedakan
dari sekedar sikap terhadap Sains,
karena sikap terhadap Sains hanya
terfokus pada apakah siswa suka
atau tidak suka terhadap pembelajaran sains. Tentu saja sikap positif terhadap pembelajaran sains
akan memberikan kontribusi tinggi
dalam pembentukan sikap ilmiah
siswa. Sikap ilmiah dalam pembelajaran IPA sering dikaitkan dengan sikap terhadap IPA. Keduanya
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
saling berbubungan dan keduanya
mempengaruhi perbuatan. Penilaian hasil belajar IPA dianggap lengkap jika mencakup aspek kognitif,
afektif, dan psikomotor. Sikap merupakan tingkah laku yang bersifat
umum dilakukan siswa. Tetapi
sikap juga merupakan salah satu
yang berpengaruh pada hasil belajar
siswa (Herson, 2009).
Menurut Hadiat dan I Nyoman
Kertiasa (1976), ada beberapa sikap
ilmiah, yaitu: (1) objektif terhadap
fakta, (2) tidak tergesa-gesa mengambil kesimpulan, (3) berhati
terbuka, (4) tidak mencampuradukkan fakta dengan pendapat, (5) bersifat hati-hati, dan (6) ingin menyelidiki. Namun demikian pada hakekatnya banyak sekali sikap ilmiah
yang dapat ditumbuhkan pada diri
siswa. Pengukuran sikap ilmiah siswa dapat didasarkan pada pengelompokan sikap yang dimiliki
masing-masing siswa. Menurut
Herson (2009), “Sikap ilmiah diukur dengan bentuk penilaian non
tes. Teknik penilaian non-tes yang
sering digunakan adalah pengamatan (observasi), melakukan wawancara (interview), menyebar
angket (kuisioner), dan dokumen
(dokumentasi).”
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Menurut Harlen (2006), sedikitnya ada empat jenis sikap yang
perlu mendapat perhatian dalam
pengembangan sikap ilmiah siswa:
(1) sikap terhadap pekerjaan di sekolah, (2) sikap terhadap diri mereka sebagai siswa, (3) sikap terhadap ilmu pengetahuan, khususnya sains, dan ( 4) sikap terhadap
objek dan kejadian di lingkungan
sekitar. Keempat sikap ini akan
membentuk sikap ilmiah yang
mempengaruhi keinginan seseorang untuk ikut serta dalam kegiatan tertentu, dan cara seseorang
merespons kepada orang lain,
objek, atau peristiwa. Dengan
demikian, sikap ilmiah terhadap
sains menurut Harlen (2006),
meliputi: sikap ingin tahu (curiosity),
respek terhadap data (respect for
evidence), refleksi kritis (critical
reflection), tekun (perseverance),
kreatif dan cenderung menemukan
(creativity and inventiveness), bekerjasama dengan orang lain (co-operation
with others), keinginan menerima
ketidakpastian (willingness to tolerate
uncertainty), dan peka terhadap
lingkungan (sensitivity to environment).
Sedangkan menurut American
Association for Advancement of Science
(AAAS), sikap ilmiah meliputi:
jujur (Honesty), ingin tahu (Curiosity),
127
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
berpikiran terbuka (Open minded),
dan selalu ragu-ragu (Skepticism).
Setelah mencermati ketiga deskripsi mengenai sikap ilmiah tersebut, maka dalam penelitian ini
penulis menggunakan angket (kuesioner) dan lembar observasi sebagai instrumen penilaian sikap ilmiah. Pernyataan-pernyataan dalam
angket dan lembar observasi yang
penulis gunakan adalah pernyataan-pernyataan yang penulis kembangkan dari indikator-indikator
sikap ilmiah yang telah disusun
oleh ketiganya, namun dimodifikasi
menjadi lima sikap, yaitu: Jujur
(Honesty), Ingin tahu & ragu-ragu
(Curiosity & Skepticism), Objektifterbuka (Objective-open minded),
Kreatif-reflektif (Creativity and reflective), dan Sistematis-logis (Systematiclogical).
Berdasarkan uraian di muka,
penelitian ini diberi judul Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam
Pembelajaran IPA melalui Strategi
Pembelajaran Penemuan Terbimbing.
Penelitian ini merupakan studi
pendahuluan sebelum dilakukan
penelitian kuasi eksperimental
lebih lanjut dengan judul Pengaruh
Strategi Pembelajaran Penemuan
Terbimbing versus Ekspositori dan
Motivasi Berprestasi terhadap Hasil
128
Belajar IPA dan Sikap Ilmiah Siswa
Kelas VII SMP Negeri di Kota
Mojokerto.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian
tindakan kelas (PTK), suatu penelitian yang menurut Stringer (2007),
sebagaimana dikutip Mertler
(2012), adalah suatu “kerangka
kerja yang sederhana, namun berpengaruh kuat” yang terdiri dari
rutinitas “melihat, berpikir, dan bertindak.” Selama setiap tahap,
peneliti mengobservasi, merefleksikan, dan kemudian mengambil
sejumlah tindakan. Aksi ini mengarahkan peneliti ke tahap berikutya. Penelitian ini dilakukan dalam
dua siklus.
PTK yang dilaksanakan bersifat
kolaboratif antara peneliti dan guru
IPA. Sebelum penelitian dilakukan,
peneliti terlebih dahulu memperkuat pemahaman guru IPA tentang
perlakuan tindakan, yakni strategi
pembelajaran penemuan. Penguatan dilakukan dengan curah pendapat dan diskusi, serta pemberian
contoh tindakan. Setelah guru IPA
benar-benar siap, barulah penelitian dilakukan.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Penelitian ini dilakukan dengan
subjek penelitian siswa Kelas VII
SMP Islam Permata Mojokerto,
Jawa Timur semester ganjil tahun
akademik 2014-2015. Subjek penelitian berjumlah 35 orang, terdiri
atas 20 orang siswa perempuan dan
15 orang siswa laki-laki.
Materi ajar yang diajarkan dalam penelitian ini merupakan materi
IPA terpadu. Materi IPA terpadu ini
memadukan dua cabang ilmu yakni
Fisika dan Biologi. Dengan menggabungkan dua cabang ilmu maka
tema yang diambil adalah “Karenamu Aku Bisa Melihat.” Kompetensi Dasar (KD) bidang Fisika
meliputi: 6.3 menyelidiki sifat-sifat
cahaya dan hubungannya dengan
berbagai bentuk cermin dan lensa;
dan 6.4 mendeskripsikan alat-alat
optik dan penerapannya dalam
kehidupan sehari-hari. Adapun
subyek/materi adalah: Pembiasan
cahaya pada lensa cembung; Alat
optik, mikroskop. Sedangkan Kompetensi Dasar (KD) bidang Biologi
meliputi: 5.3 menggunakan mikroskop dan alat pendukung lainnya
untuk mengamati gejala-gejala
kehidupan; 2.1 mengidentifikasi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
struktur dan fungsi jaringan tumbuhan. Subyek/Materi: Mikroskop
dan penggunaannya; Struktur dan
fungsi organ tumbuhan.
Data sikap ilmiah dikumpulkan
melalui angket (kuesioner) dan
lembar observasi sebagai instrumen
penilaian sikap ilmiah. Data hasil
angket kemudian dianalisis dengan
menggunakan teknik analisis deskriptif, sedangkan data hasil observasi dianalisis dengan teknik narasi
kualitatif.
Hipotesis tindakan dalam
penelitian ini ialah: “jika guru
menerapkan strategi pembelajaran
penemuan terbimbing dalam pembelajaran IPA di SMP, maka sikap
ilmiah siswa akan meningkat.”
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan analisis hasil
kuesioner terhadap sikap ilmiah
siswa pada siklus I, diperoleh data
rata-rata sikap ilmiah siswa selama
mengikuti pembelajaran dengan
strategi penemuan terbimbing
sebagaimana dapat dilihat pada
Tabel 1 berikut.
129
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Tabel 1. Kriteria Sikap Ilmiah Siswa Siklus I
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kriteria
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
Total
Frekuensi
0
3
30
2
0
35
Persentase (%)
0
8,58
85,71
5,71
0
100
Sikap ilmiah siswa untuk setiap indikator disajikan dalam Tabel 2
berikut.
Tabel 2. Persentase Rata-rata Sikap Ilmiah Siswa Siklus I
No.
Indikator Sikap Ilmiah Siswa
1.
Jujur (Honesty)
2.
Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism)
3.
Objektif-terbuka (Objective-open minded)
4.
Kreatif-reflektif (Creativity and reflective)
5.
Sistematis-logis (Systematic-logical)
Persentase rata-rata sikap ilmiah siswa
Kategori
Persentase Rata-rata (%)
70,71
55,71
48,57
47,86
56,42
55,57
cukup
Data hasil kuesioner sikap ilmiah siswa pada siklus II disajikan pada
Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Kriteria Sikap Ilmiah Siswa Siklus II
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kriteria
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
Total
Frekuensi
6
15
14
0
0
35
Persentase (%)
17,14
42,86
40
0
0
100
Data sikap ilmiah siswa untuk setiap indikator dapat dilihat pada Tabel
4 berikut.
130
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Tabel 4 Persentase Rata-rata Sikap Ilmiah Siswa Siklus II
No.
Indikator Sikap Ilmiah Siswa
1.
Jujur (Honesty)
2.
Ingin tahu & ragu-ragu (Curiosity & Skepticism)
3.
Objektif-terbuka (Objective-open minded)
4.
Kreatif-reflektif (Creativity and reflective)
5.
Sistematis-logis (Systematic-logical)
Persentase rata-rata sikap ilmiah siswa
Kategori
Persentase Rata-rata (%)
85
78,57
72,85
69,28
85
76,14
Tinggi
Pembahasan
Berdasarkan Tabel 1, hasil pengukuran sikap ilmiah siswa dalam
pembelajaran pada siklus I menunjukkan, dari 35 siswa hanya ada 3
orang siswa (8,58%) yang memiliki
sikap ilmiah tinggi, 30 orang siswa
(85,71%) memiliki sikap ilmiah
cukup, dan hanya 2 orang siswa
(5,71%) yang memiliki sikap ilmiah
rendah.
Berdasarkan Tabel 2 nampak
bahwa indikator sikap ilmiah siswa
terting gi dengan persentase
70,71% adalah kejujuran dalam mengerjakan atau melaksanakan tugas
pembelajaran. Indikator keingintahuan karena ragu-ragu terhadap
suatu kebenaran mencapai 55,71%.
Indikator sikap objektif terhadap
data dan terbuka dalam pelaksanaan pembelajaran mencapai
48,57%. Indikator kemampuan
kreativitas dan kemampuan melakukan refleksi atas pekerjaannya
mencapai 47,86%, dan indikator
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
bekerja secara sistematis dan mengikuti logika atau alur yang benar
mencapai 56,42%.
Berdasarkan Tabel 3 di atas,
sikap ilmiah siswa dalam pembelajaran pada siklus II menunjukkan bahwa dari 35 siswa terdapat
6 orang siswa (17,14%) dengan
sikap ilmiah sangat tinggi, 15 orang
siswa (42,86%) dengan sikap ilmiah tinggi, dan 14 orang siswa (40%)
dengan sikap ilmiah cukup.
Berdasarkan Tabel 4 di atas,
sikap ilmiah siswa yang diamati meliputi lima indikator. Sikap ilmiah
dengan indikator kejujuran dalam
mengerjakan atau melaksanakan
tugas pembelajaran serta indikator
bekerja secara sistematis dan mengikuti logika atau alur yang benar
mencapai persentase tertinggi yaitu
85%. Indikator keingintahuan
karena ragu-ragu terhadap suatu
kebenaran mencapai mencapai
78,57%. Indikator sikap objektif
131
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
terhadap data dan terbuka dalam
pelaksanaan pembelajaran mencapai 72,85%. Sedangkan indikator
kemampuan kreativitas dan kemampuan melakukan refleksi atas
pekerjaannya mencapai 69,28%.
Berdasarkan data yang disajikan dalam hasil penelitian menunjukkan bahwa sikap ilmiah siswa
yang dimiliki pada siklus I mengalami perubahan pada siklus II, hal
ini dapat dilihat pada ringkasan
Tabel 5 berikut.
Tabel 5. Analisis Perbandingan Sikap Ilmiah Siswa antara Siklus I dan
Siklus II
No.
Kriteria
1.
2.
3.
4.
5.
Sangat Tinggi
Tinggi
Cukup
Rendah
Sangat Rendah
Total
Hasil Siklus I
(%)
0
8,58
85,71
5,71
0
100
Berdasarkan Tabel 5 diperoleh
data perbandingan sikap ilmiah
siswa antara siklus I dan siklus II,
hasil yang didapat adalah kriteria
sangat tinggi memiliki peningkatan
17,14% pada siklus II dari siklus I,
kriteria tinggi mengalami peningkatan sebesar 34,28% pada siklus
II dari siklus I, kriteria cukup mengalami penurunan sebesar
45,71% pada siklus II dari siklus I,
sedangkan kriteria rendah mengalami penurunan sebesar 5,71% ke
angka 0% dari siklus I ke siklus II.
Hal itu berarti penerapan strategi
pembelajaran penemuan terbimbing meningkatkan sikap ilmiah
132
Hasil Siklus II
(%)
17,14
42,86
40
0
0
100
Selisih Siklus I dan
Siklus II (%)
17,14
34,28
45,71
5,71
0
siswa. Tebel tersebut menunjukkan
bahwa terjadi peningkatan pada
kriteria sikap ilmiah siswa sangat
tinggi, tinggi, cukup, rendah dan
sangat rendah. Jadi, dapat disimpulkan bahwa pada siklus I sikap
ilmiah siswa belum maksimal
dengan menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing.
Selain itu, berdasarkan masingmasing indikator sikap ilmiah
siswa, persentase sikap ilmiah siswa
pada pembelajaran IPA dengan
menerapkan strategi pembelajaran
penemuan terbimbing sebagai
berikut.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
Tabel 6. Analisis Perbandingan Indikator Sikap Ilmiah Siswa Antara
Siklus I dan Siklus II
No.
Indikator Sikap Ilmiah
1.
2.
Jujur (Honesty)
Ingin tahu & ragu-ragu
(Curiosity & Skepticism)
Objektif-terbuka (Objectiveopen minded)
Kreatif-reflektif (Creativity
and reflective)
Sistematis-logis (Systematiclogical)
3.
4.
5.
Berdasarkan Tabel 6 nampak
bahwa persentase sikap ilmiah
siswa jika dilihat dari indikator sikap
ilmiah pada indikator kejujuran
dalam melaksanakan tugas pembelajaran dari 70,71% pada siklus I
dan 85% pada siklus II berarti mengalami peningkatan sebesar
14,29%. Indikator keingintahuan
karena ragu-ragu terhadap suatu
kebenaran sebesar 55,71% pada
siklus I dan 78,57% pada silus II
mengalami peningkatan sebesar
22,86%. Indikator sikap objektif
terhadap data dan terbuka dalam
pelaksanaan pembelajaran sebesar
48,57% pada siklus I dan 72,85%
pada silus II mengalami peningkatan sebesar 24,28%. Indikator
kreativitas dan kemampuan melakukan refleksi atas pekerjaannya
sebesar 47,86% pada siklus I dan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Hasil
Siklus I
(%)
70,71
55,71
Hasil
Siklus II
(%)
85
78,57
48,57
72,85
24,28
47,86
69,28
21,42
56,42
85
28,58
Selisih Siklus I
dan Siklus II (%)
14,29
22,86
69,28% pada siklus II mengalami
peningkatan sebesar 21,42%. Indikator bekerja secara sistematis dan
mengikuti logika atau alur yang
benar 56,42% pada siklus I dan
85% pada siklus II mengalami peningkatan sebesar 28,58%. Jika dihitung rata-rata persentase sikap
ilmiah siswa pada siklus I yaitu
sebesar 55,57% meningkat menjadi
76,14% pada siklus II.
Refleksi Tindakan
Terhadap tindakan pada siklus
pertama peneliti masih berkeyakinan bahwa sebagian besar siswa
yang bersikap ilmiah kategori cukup
hingga tinggi bukanlah dampak dari
tindakan pembelajaran penemuan
terbimbing. Hal itu didasari alasan
karena subjek penelitian adalah siswa Kelas VII SMP, dimana menye133
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
lidiki sifat-sifat cahaya dan hubungannya dengan berbagai bentuk
cermin dan lensa dan mendeskripsikan alat-alat optik dan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari
sudah dimulai sejak mereka masih
Sekolah Dasar (SD). Artinya, menggunakan alat optik dan mikroskop
sudah pernah dilakukannya di
kelas-kelas sebelumnya. Demikian
pula ketika mengamati gejala-gejala
kehidupan untuk mengidentifikasi
struktur dan fungsi jaringan tumbuhan, mereka juga pernah menggunakan mikroskop dan mengenali
struktur dan fungsi organ tumbuhan.
Akan tetapi ketika tindakan
pembelajaran penemuan terbimbing pada siklus kedua diintensifkan, keyakinan tersebut mulai berubah. Sikap ilmiah yang meningkat
tajam di berbagai indikator meyakinkan penulis bahwa strategi penemuan terbimbing jika dilaksanakan secara benar akan sangat menarik bagi siswa. Siswa tidak merasa kehilangan kendali dalam mengatasi tugas-tugas yang harus
dikerjakannya berkaitan dengan
topik pembelajaran itu. Sikap jujur
bahwa mereka belum menguasai
sepenuhnya penggunaan alat-alat
seperti lensa dan mikroskop me-
134
ngemuka ketika mereka mengungkapkan kepuasannya atas hasil
kerja sains yang mereka pelajari.
Satu hal yang sebelumnya tersembunyi di balik kediaman dan
ketidakberanian mereka untuk
mengungkapkannya di kelas.
Di siklus pembelajaran yang
kedua pula terungkap betapa antusiasnya siswa berebut alat yang begitu terbatas jumlahnya, hanya ingin
memuaskan rasa ketidaktahuan
mereka dan ingin membuktikan
bahwa teori yang didapat benar
adanya. Hal lain yang relevan
diketengahkan ialah bagaimana terbukanya para siswa terhadap saran
teman-teman sejawatnya. Keriuhan
yang terjadi di siklus dua bukan
arena pasar atau bermain, melainkan ajang kreativitas dan cara berpikir reflektif dengan menunjukkan
perbedaan keanekaragaman hayati
yang ditemukan siswa di lingkungan
sekolah.
SIMPULAN DAN SARAN
Pembelajaran IPA terpadu di
SMP sangat membutuhkan kreativitas dan inovasi guru dalam
memilih strategi pembelajaran
sebagai bagian dari unsur pedagogi.
Hakikat pembelajaran IPA meliputi
empat unsur utama yaitu, sikap,
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sunarijah
proses, produk, dan aplikasi. Penelitian tindakan kelas yang dilaksanakan melalui kolaborasi dengan
guru berfokus pada sikap, yakni
sikap ilmiah siswa. Penelitian
dilakukan selama dua siklus dengan
perlakuan strategi pembelajaran penemuan terbimbing. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ratarata persentase sikap ilmiah siswa
pada siklus I yaitu sebesar 55,57%
meningkat menjadi 76,14% pada
siklus II. Jadi, hipotesis tindakan
yang berbunyi “jika guru menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing dalam pembelajaran
IPA di SMP, maka sikap ilmiah
siswa akan meningkat” diterima.
Berdasarkan hasil penelitiaan
ini disarankan agar dalam topiktopik tertentu untuk pembelajaran
IPA di Kelas VII SMP, guru mencoba menerapkan strategi pembelajaran penemuan terbimbing.
Namun demikian, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menguji
efektivitas strategi pembelajaran
penemuan terbimbing jika dibandingkan dengan strategi pembelajaran lain, misalnya dengan strategi pembelajaran ekspositori. Fokus karakteristik siswa yang diteliti
juga perlu diperluas, bukan hanya
sikap ilmiah melainkan juga motivasi berprestasinya.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
DAFTAR RUJUKAN
Bredderman, T. 1982. Activity Science
– The Evidence Shows It Matters.
Science and Children, 20: 39-41.
Bruner, J.S. 1966. Toward a Theory of
Instruction. New York: Norton.
Eggen, P. & Kauchak, D. 2012.
Strategic and Models for Teachers:
Teaching Content and Teaching
Skills. Boston: Pearson Education, Inc.
Glasson, G.E. 1989. The Effect of
Hands-On Teacher Demonstration Laboratory Methods on
Science Achievement in
Relatiob to Reasoning Abilkuity
and Prior Knowledge. Journal of
Research in Science, 26: 121-131.
Hadiat & I Nyoman Kertiasa.
1976. Metodologi Ilmu Pengetahuan Alam. Jakarta: Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan.
Harlen, W. 2006. Teaching, Learning
and Assessing Science 5 12. London: Sage Publication, Inc.
Herson, A. 2009. Penilaian Sikap
Ilmiah dalam Pembelajaran
Sains. Jurnal Pelangi Ilmu, 2 (5):
103-114.
Kemendikbud. 2013. Informasi Kurikulum (untuk Masyarakat). Jakarta: Depdikbud.
Mertler, C.A. 2012. Action Research:
Improving Schools and Empowering
Educators. Third Edition. Thousand Oaks, California: SAGE
135
Meningkatkan Sikap Ilmiah Siswa SMP dalam Pembelajaran IPA
Melalui Strategi Pembelajaran Penemuan Terbimbing
Publication, Inc.
Pinto, L.E., Spares, S., & Driscoll,
L. 2012. 95 Strategies for Remodeling Instruction: Ideas for Incorporating CCSS. Thousand Oaks,
California: SAGE Publication,
Inc.
Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas. 2006. Panduan Pengembangan Pembelajaran IPA Terpadu
Sekolah Menengah Pertama/
Madrasah Tsanawiyah (SMP/
MTs). Jakarta: Departemen
Pendidikan Nasional RI.
136
Reigeluth, C.M. (Ed.). 1983. Instructional Design: What Is It
and Why Is It? Dalam
Reigeluth, C.M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models:
An Overview of their Current
Status. Hlm. 3-36. Hillsdale,
New Jersey: Laurence Erlbaum
Associates Publishers.
Santrock, J.W. 2011. Educational
Psychology. Fifth Edition. New
York: MacGraw Hill.
Susanto. 2013. Teori Belajar & Pembelajaran di Sekolah Dasar.
Jakarta: Prenadamedia Group.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 137-148
MENGINTEGRASIKAN NILAI-NILAI KARAKTER
DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR
Ismawati
Kepala SD Negeri Ketandan 4, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract
Character values is necessary to ensure students benefit educational outcomes. The values character building are part of national
development. Admittedly, the development of character values
do not require the allocation of its own time because it is not
science. This article suggest there are two ways that can be done
by the school for the character values into individual values are
practiced in life. In addition to integrating it into every topic of
learning by developing the syllabus and lesson plans on the existing
competence in accordance with the values to be applied, can
also be implemented through classroom action research.
Keywords: Character value, integrated learning, primary school
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 137
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
PENDAHULUAN
Apabila didalami secara serius,
Lampiran Permendiknas RI No. 13
Tahun 2007, tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, secara tersirat mengharuskan setiap kepala
sekolah/madrasah untuk memiliki,
mengamalkan, dan memberikan
suri tauladan perilaku yang sejalan
dengan nilai-nilai karakter bangsa
sebelum bertindak lebih jauh mengedepankan pendidikan karakter
bagi peserta didik di sekolah yang
dipimpinnya. Dimensi kompetensi
kepribadian dengan standar kompetensi 1.1 hingga 1.5; Dimensi
kompetensi kewirausahaan dengan
standar kompetensi 3.1 hingga 3.5;
dan Dimensi kompetensi sosial
dengan standar kompetensi 5.1,
merupakan bagian dari 18 nilai
karakter yang diintroduksikan oleh
Kemendiknas dan Kebudayaan.
Sebagaimana
dikatakan
Zuchdi, dkk. (2015), pendidikan
karakter akhir-akhir ini semakin
banyak diperbincangkan di tengahtengah masyarakat Indonesia, terutama oleh kalangan akademisi.
Sikap dan perilaku masyarakat dan
bangsa Indonesia sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur
yang sudah lama dijunjung tinggi
dan mengakar dalam sikap dan
138
perilaku sehari-hari. Nilai-nilai karakter mulia, seperti kejujuran, kesantunan, kebersamaan, dan religius, sedikit demi sedikit mulai tergerus oleh budaya asing yang cenderung hedonistik, materialistik,
dan individualistik, sehingga nilainilai karakter tersebut tidak lagi
dianggap penting jika bertentangan
dengan tujuan yang ingin diperoleh.
Sebagai bagian dari bangsa
Indonesia yang memiliki peradaban
yang mulia, yakni sebagai masyarakat madani dan peduli dengan
pendidikan bangsa, sudah seyogyanya kita berupaya untuk menjadikan nilai-nilai karakter mulia itu
tumbuh dan bersemi kembali menyertai setiap sikap dan perilaku
bangsa, mulai dari pemimpin tertinggi hingga rakyat jelata, sehingga
bangsa ini memiliki kebanggaan
dan diperhitungkan eksistensinya di
tengah-tengah bangsa-bangsa lain.
Salah satu upaya ke arah itu adalah
melakukan pembinaan karakter di
semuua aspek kehidupan masyarakat, terutama melalui institusi
pendidikan.
Mengapa nilai-nilai karakter ini
harus dikembangkan dan dididikkan? Menurut Mansyur Ramly
(2011), nilai-nilai karakter ditempatkan sebagai landasan untuk
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
mewujudkan visi pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat berakhlak mulia, bermoral,
beretika, berbudaya, dan beradab
berdasarkan falsafah Pancasila. Hal
ini sekaligus menjadi upaya untuk
mendukung perwujudan cita-cita
sebagaimana diamanatkan dalam
Pancasila dan Pembukaan UUD
1945. Di samping itu, berbagai persoalan yang dihadapi oleh bangsa
Indonesia dewasa ini makin mendorong semangat dan upaya pemerintah untuk memprioritaskan pendidikan karakter sebagai dasar pembangunan pendidikan. Semangat itu
secara eksplisit ditegaskan dalam
Rencana Pembangunan Jangka
Panjang Nasional (RPJPN) tahun
2005-2015, di mana Pemerintah
menjadikan pembangunan karakter
sebagai salah satu program prioritas
pembangunan nasional.
Masih menurut Mansyur Ramly
(2011), upaya pembentukan karakter sesuai dengan budaya bangsa ini
tentu tidak semata-mata hanya dilakukan di sekolah melalui serangkaian kegiatan belajar mengajar dan
luar sekolah, akan tetapi juga melalui pembiasaan (habituasi) dalam
kehidupan, seperti: religius, jujur,
disiplin, toleran, kerja keras, cinta
damai, tanggung-jawab, dan se-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
bagainya. Pembiasaan itu bukan
hanya mengajarkan (aspek kognitif)
mana yang benar dan salah, akan
tetapi juga mampu merasakan (aspek afektif) nilai yang baik dan tidak
baik serta bersedia melakukannya
(aspek psikomotorik) dari lingkup
terkecil seperti keluarga sampai
dengan cakupan yang lebih luas di
masyarakat.
Nilai-nilai tersebut perlu ditumbuhkembangkan peserta didik yang
pada akhirnya akan menjadi pencerminan hidup bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, sekolah (di bawah
pimpinan kepala sekolah) memiliki
peranan yang besar sebagai pusat
pembudayaan melalui pengembangan budaya sekolah (school
culture).
Adalah benar bahwa membangun karakter bangsa membutuhkan waktu yang lama dan
harus dilakukan secara berkesinambungan, sebab karakter yang
melekat pada bangsa kita akhirakhir ini bukan begitu saja terjadi
secara tiba-tiba, tetapi sudah melalui proses yang panjang. Potret kekerasan, kebrutalan, dan ketidakjujuran anak-anak bangsa yang
ditampilkan oleh media, baik cetak
maupun elektronik sekarang ini
sudah melewati proses panjang.
139
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Budaya seperti itu tidak hanya
melanda rakyat umum yang kurang
berpendidikan, tetapi sudah sampai
pada masyarakat yang terdidik,
seperti pelajar dan mahasiswa, bahkan juga melanda para elite bangsa
ini (Zuchdi, dkk, 2015).
Pendidikan yang merupakan
agen perubahan (agent of change)
harus mampu melakukan perbaikan karakter bangsa kita. Karena itu,
pendidikan kita perlu direkonstruksi ulang agar dapat menghasilkan
lulusan yang lebih berkualitas dan
siap menghadapi dunia masa depan
yang penuh dengan problem dan
tantangan serta dapat menghasilkan
lulusan yang memiliki karakter
mulia. Dengan kata lain, pendidikan
harus mampu mengemban misi
pembentukan karakter (character
building) sehingga para peserta didik
dan para lulusannya dapat berpartisipasi dalam mengisi pembangunan
di masa-masa mendatang tanpa
meninggalkan nilai-nilai karakter
mulia.
Salah satu upaya untuk mewujudkan pendidikan seperti di
atas, para peserta didik harus dibekali dengan pendidikan khusus
yang membawa misi pokok dalam
pembinaan karakter mulia. Pendidikan seperti ini dapat memberi
140
arah kepada para peserta didik
setelah menerima berbagai ilmu
maupun pengetahuan dalam bidang
studi masing-masing, sehingga
mereka dapat mengamalkannya di
tengah-tengah masyarakat dengan
tetap berpatokan pada nilai-nilai
kebenaran dan kebaikan yang
universal.
Kewajiban mengintegrasikan
pendidikan karakter melalui
berbagai bidang studi di sekolah,
terutama di tingkat pendidikan
dasar menjadi urgen, sebab sebagaimana dikatakan Davidson,
Lickona, & Khmelkov (2008), ada
sejumlah kekuatan nilai-nilai karakter yang dibutuhkan bagi perkembangan hasil belajar, yaitu: (1)
Belajar sepanjang hayat dan berpikir kritis; (2) Rajin dan memiliki
kemampuan; (3) Memiliki kecerdasan sosial dan emosional; (4) Pemikir moral/etis; (5) Sebagai agen
moral, memiliki rasa hormat dan
bertanggung jawab; (6) Pribadi
yang disiplin dan bergaya hidup
sehat; (7) Menjadi anggota masyarakat dan warga negara yang demokratis; dan (8) Terlibat dalam
menyusun pranata kehidupan
spiritual yang bertujuan mulia.
Sebetulnya, Kemdiknas telah
menyusun buku pedoman pen-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
didikan karakter yang dirumuskan
berdasarkan praktik terbaik (best
practices) yang dipublikasikan tahun
2011 oleh Kemdiknas untuk lingkungan pendidikan anak usia dini
(PAUD), pendidikan dasar (SDSMP), dan pendidikan menengah
(SMA/SMK). Artikel berikut ini
mencoba mengaktualisasikan
kembali urgensinya.
PEMBAHASAN
Konsep Dasar Nilai Karakter
Nilai merupakan satu prinsip
umum yang menyediakan anggota
masyarakat dengan satu ukuran
atau standar untuk membuat penilaian dan pemilihan mengenai
tindakan dan cita-cita tertentu.
Nilai adalah konsep, suatu pembentukan mental yang dirumuskan
dari tingkah laku manusia. Nilai
adalah persepsi yang sangat
penting, baik dan dihargai (Mustari,
2011). Menurut Clyde Kluckhohn
(1953), sebagaimana dikutip
Mustari (2011), nilai adalah standar
yang waktunya agak langgeng,
dalam pengertian yang luas, suatu
standar yang mengatur sistem tindakan. Nilai juga merupakan keutamanan (preference), yaitu sesuatu
yang lebih disukai, baik mengenai
hubungan sosial maupun mengenai
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
cita-cita serta usaha untuk mencapainya.
Di samping itu, nilai juga
melibatkan persoalan apakah suatu
benda dan tindakan itu diperlukan,
dihargai atau sebaliknya. Pada
umumnya nilai adalah sesuatu yang
sangat dikehendaki. Oleh sebab itu,
nilai melibatkan unsur keterlibatan
(commitment). Nilai juga melibatkan
pemilihan. Di kalangan masyarakat,
biasanya ada beberapa pilihan sewaktu seseorang menghadapi suatu
situasi. Pemilihan suatu pilihan
tertentu biasanya ditentukan oleh
kesadaran seorang individu terhadap standar atau prinsip yang ada
di kalangan masyarakat itu. Kebanyakan tingkah laku yang dipilih
melibatkan nilai-nilai individu atau
nilai-nilai kelompoknya.
Jadi, yang dimaksud nilai,
sebagaimana dikatakan Fraenkel
(1980), adalah ide atau konsep yang
abstrak tentang apa yang dipikirkan
seseorang atau dianggap penting
dalam hidup seseorang. Nilai itu
biasanya mengacu pada estetika
(keindahan), etika (pola perilaku
baik dan buruk), logika (benar/
salah) dan keadilan (justice).
Sedangkan karakter, menurut
Pusat Bahasa Depdiknas (2008:
628), adalah “bawaan, hati, jiwa,
141
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
kepribadian, budi pekerti, perilaku,
personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak.” Sedangkan karakter
menurut Kemendiknas (2011),
adalah cara berpikir dan berperilaku
yang menjadi ciri khas setiap individu untuk hidup dan bekerjasama,
baik dalam lingkup keluarga,
masyarakat, bangsa dan Negara.
Secara terminologi, Lickona
(2012), mengemukakan bahwa
karakter adalah “Sebuah disposisi
batin yang dapat diandalkan untuk
menanggapi situasi dengan cara
yang baik secara moral.” Selanjutnya ia mengemukakan bahwa karakter memiliki tiga bagian yang
saling terkait, yaitu, pengetahuan
moral, perasaan moral, dan perilaku
moral. Karakter baik menurutnya
meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulkan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan
akhirnya benar-benar melakukan
kebaikan. Menurut Lickona (2012),
orang yang berkarakter berarti
orang yang mengetahui hal-hal yang
baik, menginginkan hal-hal yang
baik dan juga melakukan hal-hal
yang baik. Karakter sebagai suatu
watak dari dalam yang dapat diandalkan untuk merespons situasi
dengan cara yang baik secara moral.
142
Kata karakter itu sendiri berasal
dari kata Yunani, charassein, yang
berarti mengukir sehingga membentuk sebuah pola. Mempunyai
akhlak mulia tidak secara otomatis
dimiliki oleh setiap manusia begitu
ia dilahirkan, tetapi memerlukan
proses panjang melalui pengasuhan
dan pendidikan (proses “pengukiran”). Menurut leksikal bahasa
arab karakter ini mirip dengan
akhlak (akar kata khuluk), yaitu
tabiat atau kebiasaan melakukan
hal yang baik (Megawangi, 2004).
Jauh-jauh hari, filsuf Yunani
Aristoteles mengajarkan bahwa
karakter yang baik adalah hidup
dalam kebaikan, kebaikan hidup
dalam berhubungan dengan orang
lain dan berhubungan dengan dirinya sendiri. Aristoteles juga mengingatkan bahwa pada masa modern
sekarang ada kecenderungan melupakan untuk hidup dengan berbudi luhur termasuk orientasi
pengendalian diri seperti nilai kasih
dan kedermawanan, kemampuan
mengontrol diri dari hawa nafsu dan
berbuat baik bagi orang lain
(Lickona, 2012).
Manullang (2012), memberikan
gambaran bagaimana karakter mewarnai seluruh perilaku seseorang.
Ketika seseorang ada di rumah ia
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
membawa kebaikan. Ketika melakukan aktivitas bisnis, ia menunjukkan kejujuran. Ketika bergaul di
tengah masyarakat, ia menampakkan kesopanan. Ketika bekerja,
ia bekerja dengan cermat. Ketika
bergabung dalam sebuah permainan, ia menunjukkan sportivitas.
Melihat orang yang beruntung, ia
memberi selamat dengan tulus. Jika
berhadapan dengan orang yang
lemah, ia menujukkan kemurahan
hatinya untuk menolong. Jika bertemu dengan orang jahat, ia bisa
bertahan untuk tidak ikut jahat.
Ketika bertemu dengan orang yang
kuat, ia percaya kekuatannya bisa
bermanfaat. Ketika berhadapan
dengan orang yang menyesal, ia
memaafkan dengan sung guhsungguh, dan terhadap Tuhan, ia
selalu memuliakan dan mencintai
dengan tulus.
Karakter bukan sebatas sifatsifat yang bisa dipilah-pilah, melainkan terintegrasi menjadi sebuah
kepribadian. Individu yang berkarakter baik atau unggul adalah
individu yang berusaha melakukan
hal-hal yang terbaik terhadap
Tuhan YME, diri sendiri, sesama
makhluk, lingkungan, bangsa dan
negara serta dunia internasional,
dengan mengoptimalkan potensi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
dirinya yang disertai dengan
kesadaran, emosi dan motivasi.
Dengan demikian, yang dimaksud dengan nilai-nilai karakter
dalam artikel ini adalah atribut
kompleks yang melekat pada
kepribadian seseorang menyangkut
peri rasa, peri akal, dan peri laku,
yang mampu membawa kebaikan
dirinya dalam menghadapi realitas
kehidupan, baik sebagai individu,
individu seorang anggota masyarakat dan warga negara, maupun
individu seorang yang berprofesi.
Dalam rangka lebih memperkuat pelaksanaan pendidikan
karakter telah teridentifikasi 18
nilai yang bersumber dari agama,
Pancasila, budaya, dan tujuan pendidikan nasional, yaitu: (1) Religius,
(2) Jujur, (3) Toleransi, (4) Disiplin,
(5) Kerja keras, (6) Kreatif, (7)
Mandiri, (8) Demokratis, (9) Rasa
Ingin Tahu, (10) Semangat Kebangsaan, (11) Cinta Tanah Air, (12)
Menghargai Prestasi, (13) Bersahabat/Komunikatif, (14) Cinta
Damai, (15) Gemar Membaca, (16)
Peduli Lingkungan, (17) Peduli
Sosial, & (18) Tanggung Jawab
(Pusat Kurikulum, 2009: 9-10).
Meskipun telah terdapat 18 nilai
pembentuk karakter bangsa, namun
satuan pendidikan dapat menentu143
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
kan prioritas pengembangannya
dengan cara melanjutkan nilai
prakondisi yang diperkuat dengan
beberapa nilai yang diprioritaskan
dari 18 nilai di atas. Dalam implementasinya jumlah dan jenis karakter yang dipilih tentu akan dapat
berbeda antara satu daerah atau
sekolah yang satu dengan yang lain.
Hal itu tergantung pada kepentingan dan kondisi satuan pendidikan
masing-masing. Di antara berbagai
nilai yang dikembangkan, dalam
pelaksanaannya dapat dimulai dari
nilai yang esensial, sederhana, dan
mudah dilaksanakan sesuai dengan
kondisi masing-masing sekolah
atau wilayah, yakni: bersih, rapih,
nyaman, disiplin, sopan dan
santun.
Pengintegrasian Pendidikan
Karakter
Di sekolah dasar (SD), dewasa
ini masih berlaku dua jenis kurikulum, ada yang masih melaksanakan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP) tahun 2004,
dan ada yang sudah memberlakukan Kurikulum Tematik Terintegrasi tahun 2013. Kedua jenis
kurikulum tersebut memiliki beban
dan alokasi waktu belajar yang
relatif tidak berbeda. Oleh karena
itu, menjadikan pendidikan
144
karakter sebagai mata ajar tersendiri
tentu membutuhkan alokasi waktu
tersendiri, guru tersendiri, dan sistem asesmen tersendiri pula. Operasional yang paling mungkin adalah
dengan mengintegrasikannya ke
dalam pembelajaran.
Bagi SD yang masih melaksanakan KTSP, strategi pelaksanaan
pendidikan karakter di satuan pendidikan merupakan suatu kesatuan
dari program manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah yang terimplementasi dalam pengembangan, pelaksanaan dan evaluasi
kurikulum oleh setiap satuan pendidikan. Strategi tersebut diwujudkan melalui pembelajaran aktif
dengan penilaian berbasis kelas
disertai dengan program remidiasi
dan pengayaan.
Sejalan dengan Pedoman Kemdiknas (2011), ada beberapa
strategi yang bisa ditempuh sekolah
guna menyelenggarakan pendidikan karakter, pertama, kegiatan pembelajaran dalam kerangka pengembangan karakter peserta didik dapat
menggunakan pendekatan kontekstual sebagai konsep belajar dan
mengajar yang membantu guru dan
peserta didik mengaitkan antara
materi yang diajarkan dengan
situasi dunia nyata, sehing ga
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
peserta didik mampu untuk membuat hubungan antara pengetahuan
yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka.
Dengan begitu, melalui pembelajaran kontekstual peserta didik lebih
memiliki hasil yang komprehensif
tidak hanya pada tataran kognitif
(olah pikir), tetapi pada tataran
afektif (olah hati, rasa, dan karsa),
serta psikomotorik (olah raga).
Pembelajaran kontekstual mencakup beberapa strategi, yaitu: (a)
pembelajaran berbasis masalah, (b)
pembelajaran kooperatif, (c) pembelajaran berbasis proyek, (d) pembelajaran pelayanan, dan (e) pembelajaran berbasis kerja. Kelima
strategi tersebut dapat memberikan
dampak ikutan (nurturant effect)
pengembangan karakter peserta
didik, seperti: karakter cerdas, berpikir terbuka, tanggung jawab, dan
rasa ingin tahu.
Kedua, Pengembangan Budaya
Sekolah dan Pusat Kegiatan Belajar. Pengembangan budaya sekolah dan pusat kegiatan belajar dilakukan melalui kegiatan pengembangan diri, yaitu: (a) Kegiatan rutin yaitu kegiatan yang dilakukan
peserta didik secara terus menerus
dan konsisten setiap saat. Misalnya
kegiatan upacara hari Senin,
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
upacara besar kenegaraan, pemeriksaan kebersihan badan, piket
kelas, shalat berjamaah, berbaris ketika masuk kelas, berdo’a sebelum
pelajaran dimulai dan diakhiri, dan
mengucapkan salam apabila bertemu guru, tenaga pendidik, dan
teman; (b) Kegiatan spontan. Kegiatan yang dilakukan peserta didik
secara spontan pada saat itu juga,
misalnya, mengumpulkan sumbangan ketika ada teman yang terkena
musibah atau sumbangan untuk
masyarakat ketika terjadi bencana;
(c) Keteladanan. Merupakan perilaku dan sikap guru dan tenaga
kependidikan dan peserta didik
dalam memberikan contoh melalui
tindakan-tindakan yang baik sehingga diharapkan menjadi panutan bagi peserta didik lain. Misalnya
nilai disiplin, kebersihan dan kerapihan, kasih sayang, kesopanan,
perhatian, jujur, dan kerja keras; (d)
Pengkondisian. Pengkondisian
yaitu penciptaan kondisi yang mendukung keterlaksanaan pendidikan
karakter, misalnya kondisi toilet
yang bersih, tempat sampah, halaman yang hijau dengan pepohonan, poster kata-kata bijak yang
dipajang di lorong sekolah dan di
dalam kelas.
Ketiga, Kegiatan ko-kurikuler
dan atau kegiatan ekstrakurikuler.
145
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Demi terlaksananya kegiatan kokurikuler dan ekstrakurikuler yang
mendukung pendidikan karakter,
perlu didukung dengan perangkat
pedoman pelaksanaan, pengembangan kapasitas sumber daya manusia dalam rangka mendukung pelaksanaan pendidikan karakter, dan
revitalisasi kegiatan ko dan ekstrakurikuler yang sudah ada ke arah
pengembangan karakter.
Keempat, Kegiatan keseharian di
rumah dan di masyarakat. Dalam
kegiatan ini sekolah dapat mengupayakan terciptanya keselarasan
antara karakter yang dikembangkan
di sekolah dengan pembiasaan di
rumah dan di masyarakat.
Apabila pendidikan karakter
diintegrasikan dalam ko-kurikuler
dan ekstrakurikuler akan memerlukan waktu sesuai dengan kebutuhan
dan karakteristiknya. Untuk itu, penambahan alokasi waktu pembelajaran dapat dilakukan, misalnya: (1) Sebelum pembelajaran di
mulai atau setiap hari seluruh siswa
diminta membaca surat-surat
pendek dari kitab suci, melakukan
refleksi (masa hening) selama 1520 menit; (2) Di hari-hari tertentu
sebelum pembelajaran dimulai
dilakukan kegiatan muhadarah
(berkumpul di halaman sekolah)
146
selama 35 menit. Kegiatan itu bisa
berupa baca Al-Quran dan terjemahan, maupun siswa berceramah
dengan tema keagamaan sesuai
dengan agama dan kepercayaan
masing-masing dalam beberapa
bahasa (bahasa Indonesia, bahasa
Inggris, dan bahasa Daerah, serta
bahasa asing lainnya), kegiatan
ajang kreativitas seperti: menari,
bermain musik dan baca puisi.
Selain itu juga dilakukan kegiatan
bersih lingkungan di hari Jum’at
atau Sabtu (Jum’at/Sabtu bersih);
(3) Pelaksanaan ibadah bersamasama di siang hari selama antara 3060 menit; (4) Kegiatan-kegiatan
lain diluar pengembangan diri, yang
dilakukan setelah jam pelajaran
selesai.
Pengintegrasian nilai-nilai karakter dalam pembelajaran dilakukan dengan cara mengembangkan
silabus dan RPP pada kompetensi
yang telah ada sesuai dengan nilai
yang akan diterapkan.
Bagi sekolah yang telah melaksanakan Kurikulum 2013, pengintegrasian nilai-nilai karakter jauh
lebih mudah karena hanya menambahkan subtema yang berkaitan
dengan nilai-nilai karakter yang
menjadi target atau sasaran di
setiap tema.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Ismawati
Hal lain yang barangkali tergolong baru adalah dengan merujuk
pengalaman terbaik (best practice)
sebagaimana dilakukan oleh Zuchi,
dkk. (2015), dimana nilai-nilai
karakter, selain diintegrasikan
melalui berbagai topik pembelajaran, juga dilaksanakan melalui
aplikasi penelitian tindakan kelas
(PTK). Pelaksanaan PTK dengan
sasaran nilai-nilai karakter tertentu
diprogram oleh guru. Hasilnya akan
lebih memastikan nilai-nilai karakter terinternalisasi oleh peserta
didik dan ada kepastian bagi guru
dalam penilaiannya.
SIMPULAN DAN SARAN
Nilai-nilai karakter sangat diperlukan untuk menjamin para
siswa mendapatkan manfaat hasil
pendidikan. Pengembangan nilainilai karakter adalah bagian dari
pembangunan kebangsaan. Harus
diakui, pengembangan nilai-nilai
karakter tidak memerlukan alokasi
waktu tersendiri karena ia bukankah ilmu pengetahuan. Ada dua
cara yang bisa dilakukan oleh sekolah agar nilai-nilai karakter menjadi
nilai individu yang diamalkan
dalam kehidupan. Selain mengintegrasikannya ke dalam setiap topik
pembelajaran dengan cara meVolume 2, Nomor 1, Januari 2016
ngembangkan silabus dan RPP
pada kompetensi yang telah ada sesuai dengan nilai yang akan diterapkan, juga dapat dilaksanakan
melalui penelitian tindakan kelas.
DAFTAR RUJUKAN
Davidson, M., Lickona, T., &
Khmelkov, V. 2008. Smart &
Good School: A New Paradigm
for High School Character
Education. Dalam L.P. Nucci
& D. Narvaez (Eds.). Handbook
of Moral and Character Education.
New York: Roudledge, Taylor
& Francois Group. Hlm. 91135.
Fraenkel, J.R. 1980. Helping Students
Think and Values: An Analytic
Approach. New Jersey: Prentice
Hall, Inc.
Kementerian Pendidikan Nasional.
2011. Pedoman Pelaksanaan Pendidikan Karakter (Berdasarkan
Pengalaman di Satuan Pendidikan
Rintisan). Jakarta: Pusat Kurikulum dan Perbukuan, Badan
Penelitian dan Pengembangan,
Kementerian Pendidikan
Nasional.
Lickona, T. 2012. Mendidik untuk
Membentuk Karakter: Bagaimana
Sekolah Dapat Mengajarkan
Sikap Hormat dan Tang gung
Jawab. Terjemahan Juma Abdu
Wamaungo. Jakarta: PT. Bumi
147
Mengintegrasikan Nilai-nilai Karakter dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Aksara.
Manullang, B. 2013. Grand Desain
Pendidikan Karakter Generasi
Emas 2045. Jurnal Pendidikan
Karakter, 3 (1): 1-14.
Megawangi, R. 2004. Pendidikan
Karakter: Solusi yang Tepat untuk
Membangun Bangsa. Jakarta:
BPMIGAS dan Star Energi.
Mustari, M. 2011. Nilai Karakter:
Refleksi untuk Pendidikan Karakter. Yog yakarta: LaksBang
PRESSindo.
Pusat Kurikulum. 2009. Pengembangan dan Pendidikan Budaya &
Karakter Bangsa: Pedoman Sekolah. Jakarta: Pusat Kurikulum
dan Perbukuan, Badan Pene-
148
litian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional.
Ramly, M. 2011. “Kata Pengantar”
dalam Kementerian Pendidikan
Nasional, Pedoman Pelaksanaan
Pendidikan Karakter (Berdasarkan Pengalaman di Satuan Pendidikan Rintisan). Jakarta: Pusat
Kurikulum dan Perbukuan, Badan Penelitian dan Pengembangan, Kementerian Pendidikan Nasional. Hlm. i.
Zuchdi, D., dkk. 2015. Pendidikan
Karakter: Konsep Dasar dan
Implementasi di Perguruan Tinggi.
Yogyakarta: UNY Press.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 149-162
DAMPAK BIAS GENDER
TERHADAP PROFESI KEGURUAN
Mutrofin & Muhtadi Irvan
Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)-FKIP Universitas Jember
Abstract
Gender equality is common goal for all of nations. That goals is
attainable if a part or all of the jobs give some assurance that
male and female have same opportunity for access. That is why
there is efforts to attainment of gender equality. But, the impact
of gender bias to teaching profession in the future must be
rethinking and restudied. This article describes about the
conceptions of gender equality, research opinions about gender
differences and the impact of gender bias to teaching profession
based on social cognitif theory of learning or observational
learning perspectives.
Keywords: gender bias, teaching profession.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 149
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
PENDAHULUAN
gemen dipegang oleh perempuan.
Kesetaraan gender (gender
equality) dalam berbagai profesi
terus menerus menjadi perhatian
para ilmuwan. Gambaran tentang
kesetaraan gender tersebut tercermin dalam kutipan Dryden & Vos
(1999), dari berbagai sumber yang
kredibel. Ketika Amerika menciptakan 22 juta lapangan kerja di
tahun 1990-an misalnya, dua per
tiga diantaranya diduduki oleh perempuan. Dari keseluruhan manager, 40% diantaranya adalah perempuan. Tiga puluh lima persen
ahli atau ilmuwan komputer adalah
perempuan. Di posisi akuntan bahkan perempuan mencapai 50%,
setara dengan peningkatan para ahli
hukum dan dokter. Di sekolah-sekolah bisnis dan medis, separuh
mahasiswa barunya adalah perempuan, dan perempuan yang menciptakan perusahaan baru sudah
setara dengan laki-laki.
Bagaimana dengan kesetaraan
gender dalam profesi keguruan? Di
Indonesia, data mutakhir para peminat pendidikan guru mencapai
1.293.490 orang, terdiri atas lakilaki sebanyak 491.777, dan
801.713 orang perempuan. Di Jawa
Timur, data mutakhir para peminat
pendidikan guru mencapai 188.234
orang, terdiri atas laki-laki sebanyak
79.570, dan 108.664 orang perempuan. Berdasarkan data tahun
2014, peminat pendidikan guru di
FKIP-Universitas Jember mencapai
2.240 orang calon mahasiswa, terdiri atas 740 orang laki-laki dan
1.582 orang perempuan. Mahasiswa calon guru yang diterima 1.104
orang, terdiri atas 290 orang lakilaki dan 814 orang perempuan. Jika
ditelusur lebih jauh, tren yang sama
terjadi di berbagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan
(LPTK) di Indonesia, baik negeri
maupun swasta. Data mendukung
argumentasi bahwa telah terjadi
bias gender dalam pemilihan profesi keguruan, yakni bias perempuan.
Tren kesetaraan gender tersebut
juga terjadi di Asia (Dryden & Vos,
1999). Di Jepang misalnya, para pengusaha jasa perdagangan kebanyakan perempuan. Di Singapura,
dalam 10 tahun terakhir, jumlah
manager perempuan meningkat
tiga kali lipat. Sedangkan di Hongkong, satu dari lima posisi mana150
Seperti diketahui, wacana
tentang gender berujung pada lokus
persoalan gender yang bersumbu
pada dua aras, yakni perbedaan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
gender dan kesamaan gender. Sedangkan bias gender, terutama bias
laki-laki telah menimbulkan dampak yang dikenal luas seperti stereotipe, diskriminasi, kekerasan, dan
lain-lain sehingga menjadi justifikasi bagi upaya untuk mencapai
apa yang disebut sebagai kesetaraan
gender. Urgensi kesetaraaan gender
itulah agaknya yang mendorong
Program PBB untuk Pembangunan
(United Nations Development Program/UNDP) menetapkan kesetaraan gender sebagai tujuan ketiga
dari Tujuan Pembangunan Milenium (Millenium Development Goals/
MDGs) hingga tahun 2015.
Pertanyaan yang relevan untuk
dijawab ialah, apa dampak bias
gender perempuan terhadap profesi
keguruan di masa depan? Artikel ini
membahas masalah tersebut dari
perspektif teori kognisi sosial atau
teori belajar observasional Bandura.
PEMBAHASAN
Konsepsi Kesetaraan Gender
Apakah yang dimaksud dengan
istilah gender? Dalam Concise
Oxford Dictionary of Current English
(1995), tertulis, “Gender is a grammatical classification of objects roughly
corresponding to the two sexes and
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
sexlessness, property of belonging to such
a class.” Secara harfiah, gender merupakan pengklasifikasian gramatikal yang berfungsi menggolongkan suatu objek pada kelompokkelompoknya. Pengklasifikasian
tersebut, dalam pandangan
McDonald, Sprenger & Dubel
(1999), sangat erat hubungannya
dengan dua jenis kelamin (laki-laki
dan perempuan). Pada umumnya
jenis kelamin laki-laki berhubungan
dengan gender maskulin, sedangkan
jenis kelamin perempuan berkaitan
dengan gender feminin, namun,
hubungan tersebut bukan merupakan hubungan yang absolut (Rogers, 1980). Biasanya, kata Illich
(1983), gender dipergunakan untuk
menandai perbedaan segala aspek
yang terdapat dalam masyarakat
melalui perbedaan seksual.
Lebih gamblang Rogers (1980),
mengatakan, gender secara konseptual dapat didefinisikan sebagai
konstruksi sosial budaya mengenai
perbedaan peran, kedudukan, kesempatan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan keluarga
dan bermasyarakat. Mengingat gender adalah konstruksi sosial budaya,
maka sudah barang tentu dapat
berubah dan diubah sesuai dengan
perubahan zaman. Kebanyakan
kalangan peneliti feminis sepaham
151
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
bahwa gender adalah peran yang
dibentuk oleh masyarakat serta
perilaku yang tertanam lewat proses
sosialisasi yang berhubungan dengan jenis kelamin laki-laki dan
perempuan (Lorber & Farrell,
1991). Itulah sebabnya mengapa
gender tidak disamakan dengan sex
atau jenis kelamin yang merupakan
perbedaan organ biologis antara
perempuan dan laki-laki, terutama
pada bagian reproduksi.
Jenis kelamin atau sex seringkali
dipandang sebagai kodrat atau
takdir Tuhan sehingga tidak dapat
digantikan perannya. Jenis kelamin
merujuk pada perbedaan biologis
antara perempuan dan laki-laki.
Karena perbedaan itu, peran biologis perempuan dan laki-laki juga
berbeda: perempuan melahirkan
dan menyusui misalnya, sedangkan
laki-laki membuahi sel telur. Peran
ini tidak dapat berubah, oleh karena
itu jenis kelamin bersifat kodrati.
Sedangkan gender adalah perbedaan peran dan fungsi antara laki-laki
dan perempuan yang dikonstruksikan oleh masyarakat dan budaya
sejak ia dilahirkan. Oleh karena itu,
cara yang berbeda diberlakukan
kepada anak laki-laki dan perempuan pada waktu mereka dibesarkan,
disosialisasikan, diajari berperilaku,
dan diharapkan.
152
Gailey (1987), secara tegas menyatakan, gender tidak bersifat universal. Gender bervariasi dan dapat
berubah atau berbeda antarwaktu,
antardaerah, dan antarkelompok
masyarakat. Sekalipun demikian,
ada dua elemen gender yang bersifat universal, yakni (a). gender
tidak identik dengan jenis kelamin;
dan (b) gender merupakan dasar
dari pembagian kerja di semua lapisan masyarakat (lihat pula
Humphrey, 1987).
Untuk mengenal adanya unsurunsur gender maka harus dilihat
bagaimana nilai-nilai gender itu
dikonstruksikan pada masingmasing masyarakat. Hal ini karena
nilai-nilai gender masyarakat itu
hanya dapat dideskripsikan, bukan
dijelaskan. Sebab dikhotomi antarjenis kelamin terjadi di semua masyarakat yang melewati batas waktu
dan tempat sehingga tidak dapat
dijelaskan bagaimana interaksi sosial dalam masyarakat yang berbeda-beda itu mengatur perananperanan berdasarkan seks. Buktinya, dalam kehidupan sehari-hari,
seringkali ada kerancuan gender
dan kodrati. Misalnya, sering terpikir bahwa peran gender bersifat
kodrati: perempuan sebagai ibu
rumah tangga dan laki-laki sebagai
kepala keluarga.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
Sering terpikir bahwa sifat-sifat
tertentu, bersifat kodrati: laki-laki
rasional, perempuan emosional,
laki-laki teledor, perempuan cermat. Sering terpikir bahwa pekerjaan tertentu bersifat kodrati: lakilaki berhubungan dengan pekerjaan-pekerjaan teknik, perempuan
pekerjaan kerumahtanggaan, dan
sebagainya. Dalam kenyataannya
tidaklah seperti itu, pandangan seperti itu disebut stereotipe gender.
Menurut Inpres No. 9/2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional disebutkan,
gender adalah konsep yang mengacu pada peran-peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan
dapat berubah oleh keadaan sosial
dan budaya masyarakat.
Menurut Deaux & Kite (1987),
gender dapat beroperasi dalam masyarakat dalam jangka waktu lama
karena didukung oleh sistem keyakinan gender. Sistem keyakinan
gender ini mengacu pada serangkaian pembenaran pendapat tentang laki-laki dan perempuan dan
tentang maskulinitas dan femininitas. Sistem tersebut mencakup
stereotipe perempuan dan laki-laki;
sikap terhadap peran dan tingkah
laku yang cocok bagi laki-laki dan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
perempuan; sikap terhadap individu yang dianggap berbeda secara
signifikan dengan pola baku. Sistem keyakinan gender mencakup
elemen deskriptif dan preskriptif,
yakni keyakinan tentang “bagaimana sebenarnya laki-laki dan perempuan itu” dan pendapat tentang
“bagaimana seharusnya laki-laki
dan perempuan itu.”
Seiring dengan perkembangan
studi-studi feminisme dan teoriteori pembangunan, terutama setelah para ilmuwan Barat menerapkan konsep kesetaraan sosial untuk
meneliti posisi kaum perempuan di
negara-negara berkembang yang
lazim disebut sebagai negara-negara
Dunia Ketiga, muncul pula konsep
gender dengan berbagai atribut
yang menyertainya, misalnya gender
mainstreaming; gender budget; gender
equality; gender and development, gender
needs, dan sebagainya.
Jadi, ketika istilah equality dipadukan dengan kosa kata gender
sehing ga menjadi frase gender
equality, pada umumnya dimaknai
sebagai “kesetaraan gender.” Namun jika dicermati lebih mendalam
berdasarkan dimensi waktu, agaknya konsep gender equality merupakan evolusi konsep equality of women
sebagai hasil World Conference of the
153
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
International Women’s Year (Konferensi Dunia tentang Tahun Perempuan Internasional). Di luar
makna “kesetaraan gender” untuk
gender equality, ada pula yang mengartikan sebagai “keadilan gender”
untuk frase yang sama, meskipun
sudah tersedia terminologi gender
equity untuk makna “keadilan
gender.” Tanpa perlu mempertentangkan keduanya, tentu menarik
apa yang dikatakan Harsoyo (2008:
8) bahwa “gender equity is a first step
towards the goal of gender equality.”
Ada juga yang saling mempertukarkan “kesetaraan gender” dan “keadilan gender” untuk memaknai
gender equality; atau menggabungkannya menjadi “keadilan dan kesetaraan gender” untuk terminologi
yang sama.
Dengan memperhatikan uraian
mengenai konseptualisasi gender
yang secara jelas mewacanakan tentang “peran laki-laki dan perempuan”, tidak sulit kiranya melacak
faktor pendorong munculnya konsep kesetaraan gender. Mengapa
demikian? Moore (1988) dan
Gailey (1987), memberikan jawaban yang amat jelas dan komprehensif. Menurut mereka, gender
memang tidak bersifat universal,
namun hirarkhi gender dapat
154
dikatakan universal. Berbagai studi
lintas kultural menunjukkan bahwa
kaum perempuan selalu berada
dalam posisi tersubordinasi (dinomorduakan). Oleh karena subordinasi perempuan tidak dapat
dijelaskan dengan perbedaan jenis
kelamin, maka kemudian lahirlah
konsep kesetaraan gender. Gailey
sendiri kemudian menjelaskan
secara rinci teori subordinasi untuk
menjelaskan hirarkhi gender dalam
empat kelompok besar, yaitu teori
adaptasi awal, teori teknik lingkungan, teori sosiobiologi, dan teori
struktural.
Teori mengenai kesetaraan
gender pada dasarnya didorong oleh
teori-teori feminis. Sebagaimana
dikatakan Humm (2008), semua
varian teori feminis cenderung
mengandung tiga unsur atau asumsi
pokok berikut ini: gender adalah
suatu konstruksi yang menekan
kaum perempuan sehingga cenderung menguntungkan laki-laki;
konsep patriarkhi (dominasi kaum
laki-laki dalam lembaga-lembaga
sosial) melandasi konstruksi tersebut; serta, pengalaman dan pengetahuan kaum perempuan harus
dilibatkan guna mengembangkan
suatu masyarakat non-seksis di
masa mendatang. Premis-premis
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
dasar tersebut mewarnai dua agenda utama teori feminis, yakni perjuangan untuk mengikis stereotipe
gender, dan perbaikan konstruksi
sosial budaya demi membela
kepentingan kaum perempuan yang
selanjutnya diejawantahkan sebagai
model-model feminis baru. Pada
intinya teori feminis berfokus pada
pengalaman seksualitas kaum perempuan, lingkungan pekerjaan dan
keluarganya, serta aspek-aspek
keperempuanannya yang acapkali
terabaikan dalam ilmu sosial
dengan kedok universalisme.
Sebagaimana
dipaparkan
Harsoyo (2008: 9), “gender equality
is often understood as equality of
opportunity. This means that women and
men, girls and boys are not discriminated
against in their access to opportunities.”
(Kesetaraan gender sering dipahami
sebagai peluang yang sama untuk
mendapatkan kesempatan. Hal itu
berarti baik laki-laki dan perempuan dewasa maupun anak-anak
hendaknya tidak didiskriminasi
aksesnya terhadap kesempatan
tersebut).
Dalam Inpres No. 9/2000
tentang Pengarusutamaan Gender
dalam Pembangunan Nasional,
kesetaraan gender disebut sebagai
kesamaan kondisi bagi laki-laki dan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai
manusia, agar mampu berperan dan
berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya,
pertahanan dan keamanan nasional,
dan kesamaan dalam menikmati
hasil-hasil pembangunan nasional.
Berdasarkan paparan di muka,
meskipun secara redaksional berbeda, agaknya ada kesamaan substansial bahwa yang dimaksud kesetaraan gender adalah “suatu kondisi dimana perempuan dan lakilaki menikmati status yang setara
dan memiliki kondisi yang sama
untuk mewujudkan secara penuh
hak-hak asasi dan potensinya bagi
pembangunan di segala bidang kehidupan.” Pada konteks tersebut,
kesetaraan gender menunjuk pada
definisi equality of opportunity, yakni
terciptanya peluang yang sama
untuk memperoleh kesempatan.
Kesimpulan tersebut agaknya sejalan dengan apa yang dikemukakan Muhadjir Darwin (2005),
bahwasanya harus diakui, laki-laki
dan perempuan secara kodrati
memiliki ciri-ciri biologis dan peran
reproduksi yang berbeda. Namun
perbedaan peran reproduksi tersebut tidak seharusnya menimulkan
perlakuan yang diskriminatif ter-
155
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
hadap perempuan dalam pengambilan keputusan di bidang politik,
ekonomi, sosial dan budaya. Fokus
perjuangan kesetaraan gender adalah tidak menjadikan perbedaan
biologis laki-laki dan perempuan
sebagai alasan untuk menciptakan
hirarkhi dalam relasi sosial antarkeduanya.
Riset Gender dan Profesi
Keguruan
Menurut Cruickshank, Jenkins,
& Metcalf (2012), dalam derajat
tertentu, karakteristik personal
akan menentukan perilaku saat mengajar. Karateristik ini, terdiri atas
gender, usia, pengalaman, kepribadian, dan kepercayaan. Pada
masa sekarang ini, kita sering kali
mendengar mengenai gender dan
perbedaan gender, jadi sangat
relevan membicarakan bagaimana
perbedaan antara guru laki-laki dan
perempuan.
Pendapat penelitian memperlihatkan bahwa rata-rata guru lakilaki tampil lebih dominan dan
bersifat otoriter. Buktinya, kelas
yang mereka tangani menjadi lebih
terorganisasi dan terkendali
(Dunkin, 1987; Weiner, 1995).
Guru laki-laki juga cenderung menerapkan hukuman agresif kepada
156
siswa laki-laki (Rodriguez, 2002).
Mereka juga cenderung lebih jarang
menyarankan siswanya untuk mendapatkan pendidikan khusus, yang
artinya dapat menjadi baik atau
buruk, baik jika memang para siswa
tidak membutuhkannya, buruk jika
para siswa membutuhkannya
(McIntyre, 1988).
Penelitian yang sama juga menunjukkan bahwa para guru perempuan cenderung menciptakan
situasi kelas yang ‘hangat’ dan lebih
toleran terhadap perilaku yang
salah (dan lebih banyak menyarankan siswa untuk mendapatkan
pendidikan khusus, berlawanan
dengan guru laki-laki). Lebih jauh
lagi, pada kelas yang ditangani guru
perempuan, para siswa cenderung
lebih banyak bertanya, memberikan lebih banyak jawaban salah,
dan berani mengambil risiko dengan
menebak jawaban. Guru perempuan juga cenderung lebih banyak
memuji dan lebih banyak memberikan jawaban yang benar ketika
para siswa tidak dapat menjawab
pertanyaan.
Dunkin menyimpulkan bahwa
situasi kelas yang dibimbing guruguru perempuan terasa lebih hangat
dan lebih bersifat mengasuh.
Sementara itu, kelas-kelas dengan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
guru-guru laki-laki akan lebih terorganisasi, teratur, serta lebih
berorientasi terhadap tugas. Coulter
(1987), melaporkan hal yang tidak
jauh berbeda mengenai perbedaan
gender tersebut. Ia menemukan
bahwa guru perempuan biasanya
lebih lembut dan suportif terhadap
orang lain serta kurang autoritatif,
dibandingkan guru laki-laki. Lebih
lanjut, ia mencatat bahwa perbedaan gender ini lebih menonjol
pada tingkat pendidikan menengah
daripada para guru di tingkat pendidikan dasar.
Baik guru-guru perempuan dan
laki-laki, lebih memperhatikan para
siswa laki-laki. Mereka berpendapat bahwa siswa laki-laki memperlihatkan lebih banyak inisiatif
dan memiliki kapasitas lebih besar
untuk belajar secara independen.
Mereka juga lebih cenderung
mengkritik dan menghukum untuk
kebaikan siswa laki-laki, serta
menaruh harapan besar pada siswa
laki-laki untuk mencapai standar
intelektual yang lebih tinggi. Namun, guru dengan kedua gender
menaruh harapan yang kurang
terhadap siswa-siswa perempuan
dan cenderung memberikan penghargaan akan perilaku baik serta
kerapihan (Duffy, Warren, &
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Walsh, 2001; Weiner, 1995).
Kebanyakan para guru pada
zaman sekarang mungkin saja
percaya bahwa anak laki-laki dan
perempuan harus diperlakukan
setara. Bagaimanapun juga, apakah
kepercayaan mengenai kesetaraan
gender ini konsisten dengan cara
mereka memperlakukan anak lakilaki dan perempuan? Dalam sebuah
penelitian terhadap guru-guru
pendidikan dasar, wawancara dilakukan untuk mendapatkan pandangan mereka tentang kesetaraan
gender. Kemudian, mereka diobservasi selama pengajaran untuk
melihat apakah perilaku para guru
konsisten dengan pendapat mereka
tadi. Meskipun para guru membicarakan niatan untuk berlaku setara terhadap kedua gender, dalam
derajat tertentu, ternyata perilaku
mereka mengingkari perkataan
mereka (Garrahy, 2003).
Guru dengan gender apakah
yang membantu siswa belajar lebih
banyak? Penelitian membuktikan
hasil yang bercampur aduk. Beberapa penelitian melaporan bahwa
gender memang berpengaruh, yaitu
siswa dapat lebih terbantu untuk
belajar ketika diajar oleh guru
dengan gender yang sama (Dee,
2006). Meskipun ada penelitian lain
157
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
melaporkan bahwa faktor gender
guru, ras, atau etnis memang memengaruhi derajat, banyaknya materi
yang diserap para siswa
(Ehrenberg, Goldhaber, & Brewer,
1995), namun apa pun gender guru
dan siswa, apa pun ras mereka, para
siswa belajar dengan jumlah materi
yang kira-kira sama dalam pelajaran
matematika, sains, sejarah, dan
membaca.
Guru dengan gender apakah
yang lebih baik dalam memberi
motivasi? Secara umum, siswa
perempuan lebih termotivasi setara
akademis daripada siswa laki-laki,
apa pun gender guru yang mengajar
mereka (Marsh, Martin, & Cheng,
2008).
Apakah ada perbedaan pandangan terhadap persiapan pengajaran
antara guru perempuan dan lakilaki? Ternyata guru perempuan
pendidikan menengah memiliki
optimistik yang lebih tinggi bahwa
persiapan mereka akan membantu
mereka menjadi guru yang lebih
baik. Para guru perempuan ini
cenderung membuat pembelajaran
yang mudah dipahami siswa, cenderung menerima tanggung jawab
mengajar siswa-siswa khusus, serta
cenderung memiliki harapan yang
realistis terhadap pengajaran.
158
Mereka juga kurang percaya diri
akan diri mereka sebagai guru.
Faktor kepercayaan diri mereka ini
akan menjadi faktor pertimbangan
dalam pembentukan harapan yang
realistis (Kalaian & Freeman,
1994).
Dampak Bias Gender
Menurut Schunk (2012), salah
satu tantangan besar terhadap
behaviorisme berasal dari studistudi pembelajaran observasional
yang dilakukan Albert Bandura dan
rekan-rekannya (1986, 2001).
Temuan paling penting dari penelitian ini adalah bahwa orang dapat
memelajari tindakan-tindakan baru
hanya dengan mengamati bagaimana orang lain melakukannya.
Pengamat tidak harus melakukan
tindakan-tindakan tersebut pada
saat ia memelajarinya. Penguatan
tidak diperlukan supaya pembelajaran dapat terjadi. Temuan-temuan
ini membantah asumsi sentral dari
teori-teori pengkondisian.
Bandura merumuskan teori
belajar observasional yang menyeluruh yang ia kembangkan untuk
mencakup penguasaan dan praktik
dari bermacam-macam keterampilan, strategi, dan perilaku. Prinsipprinsip kognitif sosial telah
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
diaplikasikan dalam belajar keterampilan-keterampilan kognitif,
motorik, sosial, dan regulasi diri,
dan juga dalam topik-topik kekerasan (secara langsung, melalui film),
perkembangan moral, pendidikan,
kesehatan, dan nilai-nilai sosial
(Schunk, 2012).
Bandura merasa bahwa yang
dipelajari seseorang bukan dibentuk oleh konsekuensinya, tetapi
karena dipelajari langsung dari
model. Bandura mengemukakan
bahwa belajar observasional baik
langsung maupun tidak langsung
melalui empat phase, yaitu menaruh perhatian, mengingat perilaku model, memroduksi perilaku,
dan akhirnya termotivasi untuk
mengulangi perilaku itu.
Berdasarkan perspektif tersebut, bias gender dalam profesi
keguruan sudah selayaknya dipikirkan kembali dan diteliti lebih lanjut.
Sebab, baik maskulinitas maupun
femininitas dipastikan berpengaruh
terhadap perkembangan siswa.
Sebagaimana dikemukakan oleh
pendapat penelitian sebelumnya,
perbedaan gender, lebih-lebih jika
bias gender, akan berpengaruh
terhadap pengajaran. Pada konteks
teori belajar observasional, guru
adalah model yang akan diper-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
hatikan perilakunya, diingat perilakunya, diproduksi perilakunya dan
pada akhirnya diulang perilaku
tersebut jika siswa ternotivasi.
Hipotesis yang mungkin terjadi
ialah, semakin feminin perilaku
model yang dijadikan acuan perilaku, semakin feminin pula produksi dan pengulangan perilaku.
Bagi guru perempuan yang mengajar sepenuhnya siswa perempuan, tentu tidak menjadi masalah,
namun bagi siswa laki-laki yang
sepenuhnya diajar oleh guru perempuan tentu akan merugi. Sangat
besar kemungkinannya maskulinitas siswa laki-laki akan terdegradasi oleh femininitas guru perempuan. Jika hal itu terjadi, maka
di masa depan akan tidak baik bagi
perkembangan bangsa ini.
Sejauh ini ada beberapa sebab
yang ditengarahi mengapa profesi
keguruan lebih banyak diminati
oleh perempuan ketimbang lakilaki. Sebab-sebab tersebut antara
lain: (1) ada filosofi yang merugikan bahwa pekerjaan guru lebih
banyak berkaitan dengan cinta
(love), peduli (care) dan kasih sayang
(compassion); (2) gagalnya internalisasi yang benar mengenai konsepsi
kesetaraan gender; (3) kurangnya
sosialisasi yang intensif tentang
159
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
profesi keguruan di tingkat SMA/
SMK; dan (4) kebijakan penerimaan mahasiswa calon guru di LPTK
yang sangat liberal dan belum
memperhatikan kesetaraan gender.
prinsip kesetaraan gender; dan (3)
diperlukan penelitian lebih lanjut
perihal dampak yang nyata (actual
impacts) dari bias gender perempuan
agar objektif.
SIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR RUJUKAN
Bias gender perempuan dalam
profesi keguruan sudah semestinya
menjadi perhatian serius para pemangku kepentingan (stakeholders)
sebab jika bias gender laki-laki
dalam berbagai bidang telah menimbulkan banyak persoalan, maka
bukan tidak mungkin bias gender
perempuan dalam profesi keguruan
juga berdampak macam-macam.
Hal yang harus diutamakan dalam
profesi keguruan adalah mencapai
keseimbangan, dalam arti mencapai
kesetaraan gender, bukan bias
gender.
Bandura, A. 1986. Social Foundations
of Thought and Action: A Social
Cognitive Theor y. Eglewood
Cliffs, NJ: Prentice Hall.
Bandura, A. 2001. Social Cognitive
Theory: An Agentic Perpective.
Annual Review of Psychology, 52:
1-26.
Coulter, E. 1987. Affective Characteristics of Student Teachers. Dalam M.J. Dunkin
(Ed.), International Encyclopedia
of Teaching and Teacher Education.
Hlm. 589-597. Oxford: Pergamon Press.
Cruickshank, D.R., Jenkins, D.B., &
Metcalf, K.K. 2012. The Act of
Teaching. 6 th ed. Singapore:
McGraw-Hill Education (Asia).
Dee, T. (Musim Gugur 2006). The
Why Chromosome. Education
Next,
6
(4).
http://
www.hoover.org/publication/
ednext/3853842.html
Dryden, G. & Vos, J. 1999. The
Learning Revolution. Torrance,
CA-USA: The Learning Web.
Duffy, J., Warren, K., & Walsh, M.
2001. Classroom Interactions.
Guna mengantisipasi dampak
bias gender perempuan dalam
profesi keguruan di masa depan,
maka perlu dilakukan berbagai hal,
antara lain: (1) melakukan sosialisasi yang tepat, terencana, kontinyu, dan komprehensif perihal profesi keguruan di tingkat SMA/
SMK; (2) perlu ada proteksi dan
kebijakan yang berpihak dalam
penerimaan mahasiswa baru calon
guru dengan memprioritaskan
160
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Mutrofin & Muhtadi Irvan
Sex Roles, 45 (9/10): 579-593.
Dunkin, M. J. 1987. Teacher’s Sex.
Dalam M.J. Dunkin (Ed.),
International Encyclopedia of
Teaching and Teacher Education.
Hlm. 606-608. Oxford:
Pergamon Press.
Ehrenberg, R., Goldhaber, D., &
Brewer, D. (April 1995). Do
Teacher’s Race, Gender, and
Ethnicity Matter? Evidence
from the National Education
Longitudinal Study. Industrial
and Labor Relations Review, 48
(3): 547-561.
Gailey, C.W. 1987. Evolutionary
Perspectives on Gender
Hierarchy. Dalam Beth, B.H. &
Myra, M.F. (Eds.). Analyzing
Gender: A Handbook of Social
Science Research. London, UK.:
Sage Publications, Inc.
Garrahy, D. 2003. Speaking Louder
than Words: Teacher’s Gender
Beliefs and Practices in Third
Grade Classrooms. Equity and
Excellence in Education, 36 (1):
96.
Harsoyo. (Agustus 2008). Analisis
Gender. Makalah disajikan dalam Pelatihan Metodologi Penelitian Berperspektif Gender.
Yogyakarta: Pusat Studi Wanita
Universitas Gadjahmada.
Humm, M. 2008. Feminist Theory.
Dalam Kuper, A. & J. Kuper.
(Eds.). The Social Science Encyclo-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
pedia. London, Boston and
Henley: Routledge & Kegan
Paul.
Illich, I. 1983. Gender. London and
New York: Open Forum
Marion Boyars.
Inpres RI No. 9/2000 tentang
Pengarusutamaan Gender dalam
Pembangunan Nasional. Jakarta:
Sekretariat Negara.
Kalaian, H., & Freeman, D. 1994.
Gender Difference in Self Confidence and Educational
Beliefs. Teaching and Teacher
Education, 10 (6): 647-658.
Lorber, J. & S.A. Farrell. 1991. The
Social Construction of Gender.
Newbury Park: Sage Publications.
Marsh, H., Martin, A., & Cheng, J.
(Februari 2008). A Multilevel
Perspective in Gender Classroom Motivation. Journal of
Educational Psychology, 100 (l):
78-95.
McDonald, M., Sprenger, E., &
Dubel, I. 1999. Gender dan Perubahan Organisasi: Menjembatani
Kesenjangan antara Kebijakan dan
Praktik. Yogyakarta: INSIST &
REMDEC, Pustaka Pelajar.
McIntyre, L. (Juni-Juli 1998). Teacher Gender: A Predictor of
Special Education Referral.
Journal of Learning Disabilities,
21 (6): 382-82.
161
Dampak Bias Gender terhadap Profesi Keguruan
Moore, H. 1988. Feminism and
Anthropology. Cambridge: Policy
Press.
Muhadjir M. Darwin. 2005. Negara
dan Perempuan: Reorientasi Kebijakan Publik. Yog yakarta:
Grha Guru kerjasama dengan
Media Wacana.
Rodriguez, N. 2002. Gender Difference in Disciplinary Approaches.
ERIC Document SPO41019.
Rogers, B. 1980. Domestification of
Women. New York: Tavistock
Publications.
162
Schunk, D.H. 2012. Learning Theories: An Educational Perspective.
6 th Edition. Boston, MA:
Pearson Education, Inc.
Weiner, G. 1995. Gender and Racial Differences among Students. Dalam L. Anderson
(Ed.), International Encyclopedia
of Teaching and Teacher Education.
Ed. 2. Hlm. 319-323. Tarrytown, NY: Elsevier Science.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 163-179
PEMANFAATAN TEKNOLOGI
DALAM PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DASAR
Sri Hartatik
Guru SD Negeri Pandean, Gondang, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract
Literate technology has become significant basic skills are just
under read, writing, and mathematics. This article defined
technology are tool used to help students at the purpose of
learning, using technology not an end in itself. Using technology
be the goal is not use best technology. This article suggest that
technology used deserve to when technology can help students
meet learn goals in more important than other tools implements.
For however primary school teachers must be able to use
information technology and communication in learning and their
lesson taught.
Keywords: Using technology, primary school instructional
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 163
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
PENDAHULUAN
Sebagaimana dikatakan Deni
Darmawan (2015), kemajuan teknologi dewasa ini dan di masa yang
akan datang terutama di bidang
informasi dan komunikasi menyebabkan dunia menjadi semakin
sempit cakupannya. Di bidang pendidikan, peran guru untuk mendidik
peserta didik menjadi manusia yang
selalu mengikuti perkembangan
zaman tanpa meninggalkan akar
budaya sangat penting dalam menentukan perjalanan generasi bangsa ini. Guru dituntut menjadi pendidik yang bisa menjembatani
berbagai kepentingan. Gagasan
inilah titik berangkat artikel ini.
Undang-undang (UU) RI No.
14/2005, tentang Guru dan Dosen
serta Peraturan Pemerintah (PP) RI
No. 74 Tahun 2008 tentang Guru,
menjelaskan bahwa profesi guru
memiliki sejumlah standar yang berlaku secara nasional, baik standar
kualifikasi maupun standar kompetensi. Standar kompetensi secara
rinci diatur dalam lampiran Permendiknas No. 19 tahun 2007, tentang Standar Kualifikasi Akademik
dan Kompetensi Guru. Sehubungan dengan standar yang wajib
dipenuhi para guru terkait dengan
keteknologian, ada dua standar,
164
yaitu Standar 5 (kompetensi inti
pedagogik) dan Standar 24 (kompetensi inti profesional).
Menurut Standar 5 kompetensi
inti pedagogik guru PAUD/TK/
RA dikatakan, “Memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan penyelenggaraan kegiatan pengembangan
yang mendidik” dengan kompetensi “Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk
meningkatkan kualitas kegiatan
pengembangan yang mendidik.”
Sedangkan Standar 5 kompetensi
inti pedagogik guru SD/MI; SMP/
MI; dan SMA/MA/SMK berbunyi
“Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan pembelajaran” dengan kompetensi “Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi dalam
pembelajaran” dan “Memanfaatkan
teknologi informasi dan komunikasi dalam pembelajaran yang
diampu.”
Sementara itu, Standar 24 kompetensi inti profesional guru sama
untuk guru PAUD/TK/RA; SD/
MI; SMP/MI; dan SMA/MA/SMK
berbunyi “Memanfaatkan teknologi
informasi dan komunikasi untuk
berkomunikasi dan mengembangkan diri” yang kemudian dirinci
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
dalam kompetensi 24.1 “Memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi dalam berkomunikasi” dan kompetensi 24.2 “Memanfaatkan teknologi informasi
dan komunikasi untuk pengembangan diri.”
dunia. Mesin pencari Internet
seperti Google, Dogpile, Yahoo,
You-Tube dan lain-lain juga telah
mengubah secara revolusioner cara
manusia mendapatkan informasi
yang tentu saja sangat berpengaruh
besar terhadap pembelajaran.
Pentingnya standar teknologi
sebagai bagian dari kompetensi
guru sangatlah tepat karena keberadaan teknologi saat ini merupakan
bagian tak terpisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Standar-standar tersebut menunjukkan apa yang
semestinya diketahui dan mampu
dilakukan oleh guru terkait dengan
penggunaan teknologi. Penulisan
artikel ini dilandasi oleh perlunya
standar tersebut diinternalisasi dan
menjadi kebiasaan guru dalam
pembelajaran, sebab sebagaimana
dikatakan oleh Eggen & Kauchak
(2012), melek teknologi telah
menjadi keahlian dasar yang signifikansinya hanya berada di bawah
membaca, menulis, dan matematika.
Namun demikian perlu disadari
bahwa peng gunaan teknologi
untuk kepentingan pembelajaran
bukanlah satu-satunya cara untuk
mencapai pembelajaran yang efektif. Menurut Cenamo, Ross, &
Ertmer (2010), sebagaimana
dikutip Eggen & Kauchak (2012),
teknologi adalah alat yang digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran, menggunakan teknologi bukanlah tujuan
itu sendiri. Menggunakan teknologi
menjadi tujuan bukanlah penggunaan terbaik teknologi. Alhasil, sesuai dengan pendapat Eggen &
Kauchak (2012), artikel ini juga
menyarankan agar teknologi digunakan sepantasnya apabila teknologi dapat membantu siswa memenuhi tujuan belajar secara lebih
efektif dibandingkan alat-alat lain.
Teknologi seperti telepon seluler dan jejaring sosial dalam jaringan (online) seperti Facebook,
Surat Elektronik (e-mail), Twitter,
Istagram, Linked-In, dan lain-lain
telah mengubah secara revolusioner
cara berkomunikasi manusia di
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
PEMBAHASAN
Dasar Teori
Tujuan akhir dari teknologi
pembelajaran adalah memudahkan
165
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
siswa dalam belajar (Ishak
Abdulhak & Deni Darmawan,
2015). Untuk mencapai tujuan
akhir tersebut, para teknolog di
bidang pembelajaran mengembangkan berbagai sumber belajar
untuk memenuhi kebutuhan setiap
siswa sesuai dengan karakteristiknya (Yusufhadi Miarso, 2015).
Dalam upaya itu, teknologi bekerja
mulai dari pengembangan dan
pengujian teori-teori tentang berbagai media pembelajaran melalui
penelitian ilmiah, dilanjutkan
dengan pengembangan desainnya,
produksi, evaluasi dan memilih
media yang telah diproduksi, pembuatan katalog untuk memudahkan
layanan penggunaannya, mengembangkan prosedur penggunannya
dan akhirnya menggunakannya
baik pada tingkat kelas maupun
pada tingkat yang lebih luas lagi
(diseminasi) (Smaldino, Lowtheer
& Russell, 2014).
Semua kegiatan tersebut dilakukan oleh para teknolog dengan berpijak pada prinsip bahwa suatu teknologi hanya memiliki keunggulan
dari media lainnya apabila digunakan oleh siswa yang memiliki karakteristik sesuai dengan rangsangan
yang ditimbulkan oleh media pembelajaran itu (Eggen & Kauchak,
166
2012). Dengan demikian, proses
belajar setiap siswa akan amat
dimudahkan dengan hadirnya teknologi pembelajaran yang sesuai
dengan karakteristiknya.
Jadi, dalam kaitannya dengan
teknologi, media pembelajaran
merupakan proses kompleks dan
terpadu yang melibatkan orang,
prosedur, ide, peralatan, dan organisasi untuk menganalisis masalah,
mencari cara pemecahan, melaksanakan, mengevaluasi, dan mengelola pemecahan masalah-masalah dalam situasi di mana kegiatan
belajar itu mempunyai tujuan dan
terkendali (Bambang Warsita,
2008). Sesuai lingkup teknologi
pembelajaran, pemecahan masalah
dilakukan dalam bentuk: kesatuan
komponen-komponen sistem pembelajaran yang telah disusun dalam
fungsi disain atau seleksi, dan
dalam pemanfaatan serta dikombinasikan sehingga menjadi sistem
pembelajaran yang lengkap. Komponen-komponen tersebut meliputi
pesan, orang, bahan, media, peralatan, teknik, dan latar (setting)
(Deni Darmawan, 2012).
Sebagaimana diungkapkan
Eggen & Kauchak (2012), teknologi telah mengubah cara kita hidup
dan cara kita belajar dan mengajar.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
Beberapa contoh pertumbuhan
teknologi yang cukup signifikan di
sekolah adalah sebagai berikut:
 Saat ini, rasio antara komputer
yang terhubung dengan internet
dan para siswa mencapai sekitar
­46 siswa untuk setiap komputer.
 Hampir 100% sekolah-sekolah
umum telah dihubungkan
dengan internet.
 Hampir semua sekolah di tiap
negara memiliki setidaknya satu
unit televisi dan videocassete
recorder.
Menurut Roblyer (2006), wilayah pertumbuhan teknologi yang
paling dramatis telah muncul
dengan adanya komputer. Pada
awalnya, literasi (tingkat melek)
komputer, atau menyiapkan siswa
untuk dapat hidup di zaman
komputer, merupakan salah satu
fokus yang paling diperhatikan dari
penggunaan komputer di sekolah.
Selanjutnya, penggunaan komputer
untuk pengajaran telah berkembang mencakup hal-hal berikut ini.
 Pengajaran yang dibantu oleh
komputer (computer assisted
instruction), yang mencakup
latihan dan praktik, tutorial, simulasi-simulasi, dan pengajaran
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
multimedia.
 Pengajaran yang diatur oleh
komputer (computer managed
instruction), yang mencakup perekaman catatan siswa, pengujian diagnostik dan preskriptif,
penilaian dan analisis ujian.
 Pola atau rancangan materi-materi pengajaran yang mencakup
tulisan dan gambar.
 Perangkat informasi untuk siswa, yang mencakup kemampuan-kemampuan komputer
dalam pemerolehan informasi,
pemrosesan, dan pembelajaran
multimedia.
Teknologi secara umum”dan
komputer secara khusus”juga
tengah dipandang sebagai bagian
penting dalam pembelajaran untuk
membantu ke­mampuan berpikir
kritis siswa (Roblyer, 2006). Guru
saat ini harus sudah akrab dengan
teknologi-teknologi ini.
Teknologi bisa menjadi perangkat yang handal dalam membantu
siswa yang memiliki keunikankeunikan dalam belajar. Teknologi
bantu (assistive techno­logy), yang
mencakup perangkat-perangkat
adaptif yang membantu siswa
menggunakan komputer dan jenisjenis teknologi lainnya, memiliki
167
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
pengaruh penting, khususnya pada
siswa-siswa yang memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Menurut
Schrum (2013), seorang guru dan
juga pemimpin sekolah harus dapat
mengenali pelajaran yang dirancang
dengan baik dan kaya teknologi,
tetapi mungkin akan menjadi lebih
penting untuk dapat memberikan
dukungan dan dorongan peningkatan pelajaran yang belum dikembangkan dengan baik.
Jenis Teknologi
Perkembangan informasi berjalan koheren dengan kemajuan
teknologi komunikasi. Ini yang
harus dikenali terlebih dahulu oleh
para guru agar tepat menggunakannya dalam pembelajaran. Sebagai suatu media yang menyebarluaskan informasi, menurut Seels &
Richey (1994), teknologi sebagai
media dapat dikategorikan menjadi
empat kelompok, yaitu teknologi
cetak, teknologi tampak dengar,
teknologi berbasis komputer, dan
teknologi terpadu.
Pertama, teknologi cetak adalah
cara-cara untuk memroduksi atau
menyebarkan informasi atau materi, seperti buku dan materi visual
statis, yang pada umumnya dilakukan melalui proses cetak mekanis
168
atau fotografis. Subkategori ini
mencakup teks, grafis dan sajian
atau reproduksi foto. Materi cetak
dan visual melibatkan teknologi
yang paling dasar. Materi ini memerikan dasar baik untuk perkembangan maupun pemanfaatan kebanyakan materi dalam bentuk
hardcopy. Teks yang ditampilkan
oleh komputer merupakan contoh
pemanfaatan teknologi berbasis
komputer untuk produksi. Apabila
teks itu dicetak dalam hardcopy dan
digunakan untuk pembelajaran, hal
itu merupakan contoh penyebaran
dalam teknologi cetak.
Cara untuk mengorganisasikan
informasi cetak dan informasi
visual memberikan kontribusi pada
tipe-tipe belajar yang akan terjadi.
Pada level yang paling dasar, buku
teks yang sederhana dapat diorganisasikan secara urut, namun bisa
diatur menurut kesukaan pemakai.
Bentuk lain teknologi cetak seperti
pembelajaran berprograma sudah
dikembangkan berdasarkan norma
teoretis dan strategi pembelajaran
lain. Secara spesifik, teknologi
cetak/visual memiliki karakteristik
sebagai berikut: (a) teks dibaca
secara linier, sedangkan visual disajikan secara parsial, (b) keduanya
merupakan media satu arah, (c)
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
keduanya merupakan visual statis,
(d) pengembangan keduanya
bergantung pada prinsip-prinsip
kebahasaan dan persepsi visual, (e)
keduanya berpusat pada pembelajar; dan (f) informasi dapat diorganisasi dan ditata lagi oleh pemakai.
Kedua, teknologi Audiovisual
adalah cara untuk memroduksi atau
menyebarkan informasi atau materi
dengan menggunakan mesin mekanis dan atau elektronis untuk menyajikan pesan auditori dan visual.
Pembelajaran audiovisual cenderung diwarnai oleh pemanfaatan
perangkat keras dalam proses pembelajaran. Mesin audiovisual didefinisikan sebagai produksi dan
pemanfaatan materi yang melibatkan belajar melalui penglihatan dan
pendengaran dan tidak secara
eksklusif tergantung pada pemahaman kata atau simbol-simbol sejenis
lain. Pada umumnya, teknologi
audiovisual memroyeksikan materi,
seperti film, slide, dan transparansi.
Tetapi televisi merupakan teknologi yang unik dalam pengertian
bahwa teknologi terpadu. Video,
apabila diproduksi dan disimpan
sebagai videotape, jelas bersifat
audiovisual karena linier dan
dimaksudkan untuk presentasi
daripada untuk interaksi.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Secara spesifik, teknologi
audiovisual cenderung memiliki
kaiakteristik sebagai berikut ini: (a)
bersifat linier; (b) menyajikan visual
dinamis; (c) digunakan dalam cara
yang ditentukan oleh perancang
atau developer; (d) cenderung menyajikan konsep real dan abstrak
secara fisik; (e) dikembangkan menurut prinsip teknologi behavioral
dan psikologi kognitif; dan (f) sering
berpusat pada pengajar (guru) dan
tidak banyak melibatkan kegiatan
pembelajar secara interaktif.
Ketiga, teknologi berbasis komputer adalah cara untuk menghasilkan atau menyebarkan informasi atau materi dengan menggunakan sumber-sumber yang didasarkan pada mikro prosessor. Teknologi berbasis komputer dibedakan
dengan teknologi lain karena informasinya disimpan secara elektronis
dalam bentuk data digital daripada
cetak atau visual. Pada dasarnya,
teknologi berdasar”komputer
menggunakan displai layar untuk
menyajikan informasi pada siswa.
Berbagai tipe aplikasi komputer
dikembangkan hampir secara
langsung dari teori behavioral dan
pembelajaran berprograma, tetapi
dewasa ini merefleksikan dasar
teori yang lebih kognitif.
169
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Secara spesifik aplikasi Computer Based Instruction (CBI) adalah
secara tutorial, drill and practice, yaitu
membantu pembelajar mengembangkan kelancaran dalam materi
yang sudah dipelajari; games and
simulations yang membantu memberikan kesempatan untuk menerapkan pengetahuan baru; dan
database, yang membantu pembelajar untuk mengakses struktur
data yang berskala besar oleh
mereka sendiri dengan menggunakan protokol pencari yang dipreskripsikan secara eksternal.
Teknologi berbasis komputer,
baik perangkat keras maupun
lunak, pada umumnya memiliki
karakteristik sebagai berikut: (a)
dapat digunakan secara random
atau tidak urut, maupun secara
liner; (b) dapat digunakan sesuai
dengan kemauan pembelajar, maupun dalam cara yang direncanakan
oleh perancang; (c) konsep-konsepnya pada umumnya disajikan
dalam gaya abstrak dengan katakata, simbol, dan grafik; (d) prinsip
ilmu pengetahuan kognitif diterapkan selama pengembangannya; dan
(e) belajarnya dapat berpusat pada
siswa dan menghendaki kegiatan
pembelajaran secara interaktif.
170
Keempat, teknologi terpadu adalah cara-cara untuk memroduksi
dan menyebarkan informasi atau
materi yang mengandung beberapa
bentuk media dengan panduan
komputer. Banyak kalangan percaya bahwa teknologi yang paling
canggih untuk pembelajaran melibatkan panduan beberapa bentuk
media dengan panduan komputer.
Contoh-contoh komponen perangkat keras dari sistem yang terpadu
dapat melibatkan komputer dengan
kemampuan materi berskala besar,
dengan hard drive internal dengan
colour monitor berresolusi tinggi.
Alat-alat periferal yang dipandu
komputer meliputi video-disc player,
atau display penunjang, networking
hardware, dan sistem audio.
Perangkat lunaknya bisa termasuk
videodisc, compact disc networking
software dan informasi digitalisasi.
Kesemuanya ini dapat dipandu oleh
pelajaran hypermedia yang beroperasi
di bawah sistem seperti hypercard
atau toolbook. Ciri utama teknologi
ini adalah melibatkan aktivitas interaktif pembelajar dengan berbagai sumber informasi.
Pembelajaran dengan teknologi
terpadu memiliki karakteristik
sebagai berikut: (a) dapat digunakan secara random atau tidak urut,
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
maupun secara linier; (b) dapat
digunakan sesuai dengan cara yang
dikehendaki oleh pembelajar, tidak
hanya cara yang direncanakan perancang; (c) konsep-konsep disajikan secara realistik dalam konteks
pembelajaran, menurut apa yang
relevan pada pembelajar, dan di
bawah kendali pembelajar; (d) prinsip-prinsip ilmu pengetahuan kognitif dan konstruktivistik diterapkan dalam pengembangan dan
pemanfaatan pelajaran; (e) belajar
berpusat secara kognitif dan terorganisasi sehingga pengetahuan
dapat terkontruksi ketika pelajaran
dipakai; (f) materi menunjukkan
intensitas kegiatan pembelajar secara interaktif; dan (g) materi
memadukan kata dan imagery dari
sumber-sumber media.
Saat ini sudah berkembang pula
teknologi telepon genggam (handphone) untuk memuat pesan yang
dikenal dengan konsep m-learning
(mobile learning). Oleh karenanya,
teknologi ini bisa dipastikan”lambat
atau cepat”akan masuk sekolah
sebagai bagian dari sistem pembelajaran berbasis teknologi.
Beberapa Aplikasi
Metode pembelajaran langsung
merupakan salah satu yang paling
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
cocok dengan penggunaan teknologi lebih-lebih apabila digunakan
untuk peraihan hasil belajar keterampilan (psikhomotorik) dasar.
Program tutorial yang berkualitas
tinggi misalnya, yakni piranti lunak
(software) pembelajaran yang memberikan keseluruhan rangkaian
pengajaran terintegrasi, bisa sangat
efektif dan, bahkan, berjalan
kurang lebih sama sebagaimana
penerapan nyata (live) dari strategi
pembelajaran langsung.
Tutorial berusaha menciptakan
sistem pembelajaran yang bertindak
sebagai guru efektif. Caranya,
dengan merespons pertanyaan-pertanyaan dan kekeliruan-kekeliruan
siswa lewat umpan balik langsung.
Tutorial mencakup tujuan belajar,
beragam jalur untuk mencapai tujuan, dan asesmen dengan umpan
balik yang diarahkan pada tujuan.
Tutorial dimulai dengan ide-ide
dasar seperti memahami bahwa 1/
4 itu lebih besar daripada 1/8, yang
mereplikasi fase presentasi dari
model ini dan berlanjut sampai terbangunnya keterampilan menjumlahkan dan mengurangi pecahan.
Tutorial memberi siswa latihan dan
umpan balik yang serupa dengan
fase latihan atau praktik terbimbing
saat menggunakan model ini.
171
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Di sekolah dasar, barangkali
yang paling mudah adalah programprogram yang mengajarkan keterampilan pengolahan-kata. Program-program itu meliputi pencetakan, penyimpanan, pemeriksa
ejaan, dan pemformatan teks (text
formatting) dengan font-font,
ukuran, dan gaya berbeda. Hal yang
terbaik mencakup fitur-fitur motivasi seperti tes dengan waktu yang
memberikan tantangan dan menciptakan otomatisitas. Juga, diagram-diagram yang menggambarkan kemajuan dari penguasaan
keterampilan.
Tutorial dapat memenuhi beberapa kebutuhan, termasuk pengajaran awal, dukungan tambahan
bagi siswa yang pemahamannya
belum berkembang penuh, studi
lanjutan untuk siswa bermotif
prestasi tinggi, atau alternatif bagi
pembelajaran yang dibimbing guru.
Tutorial bisa linier, tapi yang terbaik
adalah bercabang. Artinya, tutorial
itu beradaptasi dengan respons
siswa. Misalnya, ketika seorang
siswa secara keliru merespons item
pilihan ganda, program ini menjelaskan mengapa pilihan itu tidak
benar dan mengulangi pembelajaran. Tutorial efektif dirangkai
secara cermat sehingga keteram-
172
pilan-keterampilan baru dikembangkan secara sistematis dan didasarkan pada pemahaman yang
ada.
Sebagaimana semua bentuk
pembelajaran, efektivitas tutorial
tergantung pada kualitas interaksi
antara teknologi (guru) dan siswa.
Dan yang terbaik menuntut pengguna untuk sering merespons. Saat
siswa menjawab, tutorial menerima
segala kemungkinan variasi
jawaban yang tepat dan memberikan umpan balik korektif hanya
ketika diperlukan. Mereka juga
mencatat dan melaporkan kinerja
individual siswa untuk memungkinkan guru memantau kemajuan
belajar dan turun tangan manakala
perlu.
Dewasa ini guru tidak perlu
repot-repot lagi untuk menyusun
program tutorial sendiri, sebab di
pasaran sudah banyak tersedia
secara komersial dan non-komersial
sistem tutorial berdasarkan subjek
tertentu. Tutorial untuk beberapa
mata pelajaran yang termaktub
dalam kurikulum inti umumnya
sudah tersedia, baik yang berbahasa
Indonesia maupun yang berbahasa
Inggris atau berbahasa internasional lain karena sifak kontennya yang
relatif sama. Hal yang berbeda
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
barangkali adalah pengalaman
belajar yang disediakan dalam program tersebut.
Terkait dengan penggunaan
teknologi di dalam kelas, Jacobsen,
Eggen & Kauchak (2009), menyatakan bahwa ada keharusan bagi
guru untuk menambah presentasipresentasi verbal mereka dengan
umpan balik yang berkelanjutan
dan contoh-contoh, masalah-masalah, gambar-gambar, dan diagramdiagram yang memberikan kesempatan pada siswa untuk melihat
gagasan-gagasan abstrak yang saling
berhubungan dan disajikan dalam
bentuk yang konkret dan nyata
dalam pembelajaran yang berpusat
pada guru.
Teknologi dapat digunakan
untuk me­ningkatkan pembelajaran
yang berpusat pada guru dengan dua
cara penting, yaitu (1) Menggunakan power point untuk menyajikan
infor­masi dengan cara-cara yang
menarik dan interaktif, (2) Memberikan kesempatan-kesempatan
praktik dengan umpan balik berkualitas yang langsung dan responsif tentang performa siswa.
Menyajikan informasi yang
baru merupakan peran pengajaran
yang penting dalam pembelajaran
yang berpusat pada guru. Guru
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
sering dihadapkan pada masalah
tentang bagaimana menjelaskan
informasi dengan format-format
yang jelas dan membangkit­kan
semangat Format Microsoft Power
Point memberikan suatu alternatif
yang efektif.
Microsoft Power Point merupakan sebuah aplikasi prensentasi
untuk menyampaikan sebuah
materi yang sering digunakan oleh
para pengajar. Namun jika pengguna tidak mahir atau baru tahap
belajar maupun pemula maka akan
terasa sulit. Dengan Microsoft
Power Point ini kita bisa mempresentasikan sebuah materi pembelajaran, sehingga sangat menarik
bagi siswa, dan pembelajaran pun
tidak membosankan (Istiningsih,
2012). Namun agar lebih menarik
lagi adalah sebuah file yang di
hasilkan oleh Microsoft Power Point
ini yang extensinya ppt seyogyanya
dirubah menjadi flash.
Microsoft Power Point adalah
program aplikasi presentasi yang
merupakan salah satu program
aplikasi di bawah Microsoft Office.
Keuntungan terbesar dari program
ini adalah tidak perlunya pembelian
piranti lunak karena sudah berada
di dalam Microsoft Office. Jadi
pada waktu penginstalan program
173
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
Microsoft Office dengan sendirinya
program ini akan terinstal. Hal ini
akan mengurangi beban hambatan
pengembangan pembelajaran dengan komputer.
Keuntungan lain dari program
ini adalah sederhananya tampilan
ikon-ikon. Ikon-ikon pembuatan
presentasi kurang lebih sama
dengan ikon-ikon Microsoft Word
yang sudah dikenal oleh kebanyakan pemakai komputer. Pemakai
tidak harus mempelajari bahasa
pemrograman. Dengan ikon yang
dikenal dan pengoperasian tanpa
bahasa program maka hambatan
lain dari pembelajaran dengan komputer dapat dikurangi yaitu hambatan pengetahuan teknis dan teori.
Guru atau ahli bahasa dapat membuat sebuah program pembelajaran
tanpa harus belajar bahasa komputer terlebih dahulu.
Meskipun program aplikasi ini
sebenarnya merupakan program
untuk membuat presentasi namun
fasilitas yang ada dapat dipergunakan untuk membuat program pembelajaran. Program yang dihasilkan
pun akan cukup menarik. Keuntungan lainnya adalah bahwa program
ini bisa disambungkan ke jaringan
internet.
174
Power Point pada haki­katnya
merupakan format presentasi yang
serba­guna. Setelah dikuasai, perangkat ini pada akhirnya memungkinkan guru untuk dapat menyertakan atau memasukkan hal-hal
berikut ini dalam presentasinya:
 Teks tertulis
 Foto
 Contoh hasil kerja siswa
 Bagan dan grafik
 Video klip
 Voice-overs.
Siswa juga bisa belajar untuk
menggunakan Power Point dalam
presentasi mereka, dan opsi-opsi ini
dapat mendorong mereka untuk
berpikir lebih dalam tentang materi
yang mereka sajikan dan pengaruhnya terhadap audience. Akan
tetapi, Power Point tidak harus berfungsi sebagai perangkat penyajian
informasi saja. Saat guru menyajikan informasi, mereka dapat ™ dan
seharus­nya™ memeriksa apakah
siswa memahami dan ter­hubung
dengan gagasan-gagasan. Power
Point juga bisa digunakan untuk
menyajikan kuis-kuis yang dapat
memberi guru dan siswa umpan
balik yang instan dan cepat tentang
kemajuan siswa.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
Microsoft Power Point 2013
merupakan bagian dari Microsoft
Office 2013. Jadi tidak ada salahnya jika sedikit diketahui fitur-fitur
baru yang ditawarkan oleh Microsoft Office Suite 2013, untuk memudahkan dalam pengaplikasian
Microsoft Office 2013. Microsoft
Office 2013 datang dengan membawa aroma lebih “Cloud Based”
atau berbasis komputasi awan dari
seri sebelumnya. Sistem cloud memungkinkan pengguna menyimpan
dokumen kerja mereka pada server
SkyDrive.
Sebagai tambahan fiturnya,
Office 2013 juga menyediakan
dukungan penuh untuk membaca,
membuat, dan mengedit file PDF.
Fitur lainnya juga mencakup
mengenai metode cara baca pada
Miscrosoft Word, mode presentasi
baru pada Microsoft Power Point
2013, dan dukungan touch dan link
di semua aplikasi Mocrosoft
Office. Fitur-fitur lebih lanjut dari
Mocrosoft Office 2013 adalah:
 Tampilan ribbon yang lebih rata
dan dukungan animasi pada
saat mengetik atau melakukan
blok pada Microsoft Office
Word dan Microsoft Office
Excel.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
 Visualisasi baru dari fitur scheduled task Microsoft Outlook.
 Splash screen yang diperbarui
tampilannya sehingga tampak
berkesan lebih menonjolkan
aroma metro style.
 Objek seperti gambar dapat
digerakkan secara bebas dan
secara otomatis akan menempel
pada tepi paragraf, dokumen
margin, dan batas kolom.
 Kemampuan untuk mengembalikan posisi yang terakhir
dilihat atau yang telah diedit
pada Microsoft Word dan
Microsoft Power Point.
 Desain slide, animasi dan transisi yang baru pada Microsoft
PowerPoint 2013.
 Pada Microsoft Outlook mendukung server outlook.com dan
hotmail.com
Menurut Jacobsen, Eggen &
Kauchak (2009), oleh karena siswa
dapat meng gunakan programprogram latihan-dan-praktik secara
mandiri, maka guru tidak harus
terlibat secara langsung di dalamnya. Namun, program-program ini
tidak kemudian mengganti keistimewaan dan keahlian guru, dan
para pengembang program-program
ini berasumsi bahwa siswa sudah
175
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
mendapat pengajaran sebelumnya
yang berkaitan dengan fakta-fakta
atau konsep-konsep. Sebagai contoh, ketika siswa untuk pertama
kali belajar tentang perkalian, guru
yang efektif membantu mereka
mengerti bahwa 6 x 9 berarti 9 benda sebanyak 6, atau 6 benda sebanyak 9. Guru yang efektif kemudian juga menyajikan beberapa contoh konkret untuk mengilustrasikan
konsep perkalian. Program-program latihan dan praktik digunakan
pada saat pengajaran awal-awal
seperti di atas untuk membantu
mereka berlatih sampai keterampilannya dapat bekerja sendiri,
yakni sampai mereka mengetahui
fakta-fakta yang sesungguhnya
tanpa perlu terlalu keras berpikir
tentang hal tersebut (automaticity).
Ada beberapa program latihandan-praktik yang menggunakan
format permainan (game) untuk
meningkatkan motivasi siswa. Ketika mengetik jawaban yang benar
dari 6 x 9 = ?, siswa mungkin akan
lebih memilih untuk menembakkan
laser peledak pada alien-alien
(dalam game) sebanyak 54 kali.
menyesuaikan tuntutan tugas dengan kemampuan siswa. Misalnya,
dalam program yang dirancang
untuk meningkatkan pengetahuan
tentang fakta-fakta perkalian, program yang adaptif dimulai dengan
melakukan pretest untuk menentukan fakta-fakta perkalian apa yang
sudah diketahui oleh siswa.
Masalah-masalah kemudian secara
strategis disajikan untuk memastikan keberhasilan yang dicapai
siswa. Ketika siswa gagal menjawab
atau jawabannya salah, program ini
mendorongnya dengan memberikan (kunci) jawaban kemudian
mengetes ulang fakta tersebut.
Masalah-masalah yang lebih sulit
diperkenalkan hanya ketika siswa
telah mencapai tingkatan keterampilan tertentu. Karena tujuan akhirnya adalah agar siswa mampu
mengingat fakta-fakta matematika
secara otomatis, jumlah waktu yang
dialokasikan untuk menjawab seharusnya diperpendek agar mereka
menjadi lebih cakap. Cara ini juga
dapat meningkatkan motivasi
dengan menantang siswa menjadi
lebih cepat dalam menjawab.
Masih menurut Jacobsen,
Eggen & Kauchak (2009), program
latihan-dan-praktik yang terbaik
biasanya bersifat adaptif, dengan
Program latihan-praktik memberikan beberapa keuntungan.
Pertama, program ini menyajikan
praktik dengan umpan balik yang
176
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
efektif, dengan menginformasikan
secara langsung pada siswa tentang
apa yang telah mereka kuasai dan
di bagian mana mereka perlu bekerja lebih keras lagi. Kedua, program ini sering membangkitkan semangat agar siswa tidak lagi terusmenerus mendapatkan latihanlatihan tertulis, yang menggunakan
kertas dan pensil. Ketiga, program
ini menghemat waktu guru karena
mereka tidak perlu lagi menyaji­kan
informasi dan menilai jawabanjawaban siswa.
Akan tetapi perlu diingat bahwa waktu yang dihabiskan untuk
komputer tidak harus sama dengan
waktu yang dihabiskan untuk pembelajaran. Hal yang lebih penting
ialah kualitas pengalaman-pengalaman pembel­ajaran dan jangkauan dalam hal sejauh mana pengalaman-pengalaman tersebut dihubungkan dengan tujuan-tujuan
yang sudah dirumuskan oleh guru.
Prinsip-prinsip
Ada beberapa prinsip yang
perlu dipertimbangkan oleh Guru
dalam memilih dan menggunakan
teknologi untuk kepentingan
pembelajaran, yaitu:
 Tidak ada satu teknologi yang
paling unggul untuk semua
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
tujuan. Satu teknologi hanya
cocok untuk tujuan pembelajaran tertentu, tetapi mungkin
tidak cocok untuk yang lain.
 Teknologi adalah bagian integral dari proses pembelajaran.
Hal ini berarti bahwa teknologi
bukan hanya sekedar alat bantu
mengajar bagi pengajar saja,
tetapi merupakan bagian yang
tak dapat dipisahkan dari proses
pembelajaran. Penetapan suatu
teknologi haruslah sesuai dengan komponen yang lain dalam
perancangan pembelajarabn.
Tanpa alat bantu mengajar
mungkin pembelajaran tetap
dapat berlangsung, tetapi tanpa
teknologi pembelajaran itu
tidak akan terjadi.
 Teknologi apapun yang hendak
digunakan, sasaran akhirnya
adalah untuk memudahkan belajar siswa. Kemudahan belajar
siswa haruslah dijadikan acuan
utama pemilihan dan penggunaan suatu teknologi.
 Penggunaan berbagai teknologi
dalam satu kegiatan pembelajaran bukan hanya sekedar
selingan atau pengisi waktu
atau hiburan, melainkan mempunyai tujuan yang menyatu
dengan pembelajaran yang
177
Pemanfaatan Teknologi dalam Pembelajaran di Sekolah Dasar
sedang berlangsung.
 Pemilihan teknologi hendaknya
obyektif, artinya didasarkan pada tujuan pembelajaran, tidak
didasarkan pada kesenangan
pribadi.
 Penggunaan beberapa teknologi sekaligus akan dapat membingungkan siswa. Penggunaan
multimedia tidak berarti menggunakan media yang banyak
sekaligus, tetapi teknologi tertentu dipilih untuk tujuan tertentu dan teknologi yang lain
untuk tujuan yang lain pula.
 Kebaikan dan keburukan terknologi tidak tergantung pada
kekonkritan dan keabstrakannya. Teknologi yang kongkrit
wujudnya, mungkin sukar
untuk dipahami karena rumitnya, tetapi teknologi yang
abstrak dapat pula memberikan
pengertian yang tepat.
SIMPULAN DAN SARAN
Untuk mencapai pembelajaran
yang efektif, guru seyogyanya memanfaatkan teknologi dalam pembelajaran. Hal ini sudah sesuai
dengan kehendak dan perkembangan zaman, sebab melek teknologi
telah menjadi keahlian dasar yang
178
signifikansinya hanya berada di
bawah membaca, menulis, dan
matematika. Namun perlu disadari
bahwa peng gunaan teknologi
untuk kepentingan pembelajaran
bukanlah satu-satunya cara untuk
mencapai pembelajaran yang efektif. Oleh karena teknologi adalah
alat yang digunakan untuk membantu siswa mencapai tujuan pembelajaran, menggunakan teknologi
bukanlah tujuan itu sendiri. Menggunakan teknologi menjadi tujuan
bukanlah peng gunaan terbaik
teknologi, sehingga disarankan agar
teknologi digunakan sepantasnya
apabila teknologi dapat membantu
siswa memenuhi tujuan belajar
secara lebih efektif dibandingkan
alat-alat lain.
DAFTAR RUJUKAN
Bambang Warsita. 2008. Teknologi
Pembelajaran: Landasan &
Aplikasinya. Jakarta: Penerbit
Rineka Cipta.
Deni Darmawan. 2012. Inovasi
Pendidikan: Pendekatan Praktik
Teknologi Multimedia dan Pembelajaran Online. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Deni Darmawan. 2015. Teknologi
Pembelajaran. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sri Hartatik
Eggen, P. & Kauchak, D. 2012.
Strategi dan Model Pembelajaran:
Mengajarkan Konten dan Keterampilan Berpikir. Terjemahan
Satrio Wahono. Jakarta: PT.
Indeks.
Ishak Abdulhak & Deni Darmawan. 2015. Teknologi Pendidikan. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya.
Istiningsih. 2012. Pemanfaatan TIK
dalam Pembelajaran. Yogyakarta:
PT. Skripta Media Creative.
Jacobsen, D.A., Eg gen, P., &
Kauchak, D. 2009. Methods for
Teaching: Metode-metode Pengajaran
Meningkatkan Belajar Siswa TKSMA. Terjemahan Achmad
Fawaid & Khoirul Anam.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Lantip Diat Prasojo & Riyanto.
2011. Teknologi Informasi Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit
Gava Media.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Roblyer, M. 2006. Integrating Educational Technology Into Teaching
(4th ed.). Upper Saddle River,
NJ: Merrill/Prentice Hall.
Schrum, L. (Ed.). 2013. Teknologi
Pendidikan Bagi Para Pemimpin
Sekolah. Terjemahan Frida
Dwiyanti Widjaya. Jakarta: PT.
Indeks.
Seels, B.B. & Richey, R.S. 1994.
Instructional Technology: The Definition and Domain of the Field.
Washington, DC. : AECT.
Smaldino, S.E., Lowther, D.L. &
Russell, J.D. 2014. Instructional
Technology and Media Learning:
Teknologi Pembelajaran dan Media
untuk Belajar. Terjemahan Arif
Rahman. Jakarta: Kencana
Prenadamedia Group.
Yusufhadi Miarso. 2015. Menyemai
Benih Teknologi Pendidikan. Edisi
Kedua. Jakarta: Prenadamedia
Group bekerjasama dengan
Pustekkom Depdiknas.
179
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 181-194
ASESMEN OTENTIK KECERDASAN KINESTETIK
DALAM PEMBELAJARAN PENJASORKES
Sihono
Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, FKIP-Universitas Jember
Abstract
Kinesthetic intelligence as theorized Gardner in principle are in
all domains of learning, but it is more dominant on the attitudes
and psychomotor domain. Therefore, the conventional measure
in the form of a pencil and paper based test or objective test is
deemed to be a shortfall and less fair. This article suggests that
kinesthetic intelligence assessed with authentic assessment,
particularly the performance assessment. Performance assessment
are assessment requiring students to demonstrate their
achievement of understandings and skills by actually performing
a task or set of tasks.The teachers of physical and health studies
suggested that use of performance assessment in order to obtain
a student’s ability natural, real and fair.
Keywords: Authentic assessment, performance assessment, kinesthetic
intelligences
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 181
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
PENDAHULUAN
Howard E. Gardner, seorang
Profesor dibidang Cognition and Education di the Harvard Graduate School
of Education, Cambridge, Amerika
Serikat, pertama kali menerbitkan
hasil risetnya tentang kecerdasan
ganda/jamak/majemuk dalam
buku Frames of Mind: The Theory of
Multiple Intelligences tahun 1983.
Buku tersebut kemudian disempurnakan pada edisi termutakhir tahun
2006 berjudul Multiple Intelligences:
New Horizons in Theory and Practice,
setelah serangkaian karya sejenis
diterbitkan sepanjang 23 tahun.
Sejak itu sebagian besar para akademisi dan praktisi pendidikan di
seluruh dunia meyakini bahwa kecerdasan manusia bukan hanya
kecerdasan intelektual sebagaimana diteorikan Binet & Simon
yang populer disebut IQ (Intelligence
Quotient), melainkan ada banyak
potensi kecerdasan manusia.
Teori kecerdasan emosional
(Emotional Intelligence) dari Daniel
Goleman (1996), merupakan teori
kecerdasan lain yang sangat populer. Disusul kemudian teori kecerdasan Spiritual (Spiritual Intelligence), oleh Zohar & Marshall
(2000), sebagai pengembang pertama tentang kecerdasan spiritual
182
meskipun mereka masih berkisar
pada wilayah biologis dan psikologis. Teori tersebut muncul karena
rasional sebuah dimensi yang tidak
kalah pentingnya didalam kehidupan manusia apabila dibandingkan
dengan kecerdasan emosional,
dimana kecerdasan emosional lebih
berpusat pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal (sosial), sementara itu dimensi kecerdasan spiritual bersifat vertikal.
Gardner sendiri awalnya mengetengahkan 7 (tujuh) kecerdasan
majemuk, namun kemudian dikembangkan oleh pakar lainnya sehingga akan terus bertambah. Secara
orisinal Gardner mengemukakan
hakikat tentang potensi kecerdasan
kinestetik atau kecerdasan gerakanbadan. Kecerdasan kinestetikbadani, menurut Gardner (2006),
adalah kemampuan menggunakan
tubuh atau gerak tubuh untuk
mengekspresikan gagasan dan perasaan seperti ada pada aktor, atlet,
penari, pemahat, dan ahli bedah.
Dalam kecerdasan ini termasuk
keterampilan koordinasi dan fleksibilitas tubuh. Orang yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh
mereka. Apa yang mereka pikirkan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
dan rasakan dengan mudah diekspresikan dengan gerak tubuh,
dengan tarian dan ekspresi tubuh,
termasuk di dalamnya keolahragaan.
Teori kecerdasan kinestetik ini
semakin meyakinkan para guru sehingga menerapkannya dalam pembelajaran Penjasorkes. Pendidikan
Jasmani dan Olahraga, yang dalam
kurikulum disebut secara paralel
dengan istilah lain menjadi Pendidikan Jasmani, Olahraga dan
Kesehatan (Penjasorkes), pada hakikatnya adalah proses pembelajaran pendidikan yang memanfaatkan
aktifitas fisik untuk menghasilkan
perubahan holistik dalam kualitas
individu, baik dalam hal fisik,
mental dan emosional.
Penjasorkes merupakan bagian
integral dari pendidikan secara
keseluruhan, sehingga penjasorkes
memiliki arti yang cukup representatif dalam mengembangkan manusia dalam persiapannya menuju
manusia Indonesia seutuhnya. Pada
kenyataannya, penjasorkes adalah
suatu bidang kajian yang sungguh
luas. Titik perhatiannya adalah peningkatan gerak manusia. Lebih
khusus lagi, penjasorkes berkaitan
dengan hubungan antara gerak
manusia dan wilayah pendidikan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
lainnya: hubungan dari perkembangan tubuh-fisik dengan pikiran dan
jiwanya. Berfokus pada pengaruh
perkembangan fisik terhadap wilayah pertumbuhan dan perkembangan aspek lain dari manusia itulah
yang menjadikannya unik. Tidak
ada bidang tunggal lainnya seperti
penjasorkes yang berkepentingan
dengan perkembangan total
manusia.
Olahraga pendidikan adalah
pendidikan jasmani dan olahraga
yang dilaksanakan sebagai bagian
proses pendidikan yang teratur dan
berkelanjutan untuk memperoleh
pengetahuan, kepribadian, keterampilan, kesehatan dan kebugaran
jasmani (UU Nomor 3 Tahun 2005
Tentang Sistem Keolahragaan Nasional).
Banyak pakar yang telah mencoba merumuskan sesuai dengan
sudut pandang masing-masing.
Menurut Gafur (dalam Abdullah
dan Manadji, 1994), dikatakan
bahwa pendidikan jasmani adalah
suatu proses pendidikan seseorang
sebagai perorangan maupun sebagai
anggota masyaraklat yang dilakukan secara sadar dan sistematik
melalui kegiatan jasmani yang intensif dalam rangka memperoleh
peningkatan kemampuan dan
183
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
keterampilan jasmani, pertumbuhan kecerdasan dan pembentukan
watak. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pendidikan jasmani merupakan pendidikan yang menggunakan aktifitas para peserta
didik untuk menghasilkan perubahan dalam kualitas individu, baik
dalam hal fisik, mental maupun
emosional.
Mengingat penjasorkes sebagai
sekeping uang yang mempunyai dua
sisi, yaitu: (a) sisi pendidikan jasmani yang mengarah kepada aspek
edukatif, dan (b) sisi pendidikan
olahraga yang mengarah pada aspek
prestasi, maka kedua sisi tersebut
harus saling mengait dan melengkapi dalam rangka mewujudkan
pribadi pembelajar yang sehat jasmaniah-rohaniah, yang memungkinkan untuk berprestasi. Oleh
karena itu, perhatian pelatih dan
guru tidak hanya mengarah kepada
pelatihan teknik gerak saja, namun,
juga merangsang tumbuh kembangnya pribadi pembelajar yang utuh.
Penjasorkes harus memiliki
tujuan yang sejalan dengan tujuan
pendidikan, memberi kontribusi
yang sangat berharga dan memberi
inspirasi bagi kesejahteraan hidup
manusia. Makna yang terkandung
dalam pendidikan jasmani tidak
184
sekadar pendidikan yang bersifat
fisik atau aktifitas fisik, tetapi lebih
luas lagi keterkaitannya dengan
tujuan pendidikan secara menyeluruh serta memberikan kontribusi
terhadap kehidupan individu. Secara konseptual penjasorkes memiliki peran penting dalam peningkatan kualitas hidup peserta didik.
Penjasorkes diartikan sebagai pendidikan melalui dan dari pendidikan jasmani. Sebagaimana yang telah
dikemukakan oleh Siedentop
(1991), yang mengatakannya sebagai “education through and of physical
activities.”
Apabila dipandang sebagai
hasil, maka status sehat seutuhnya
yang dicapai pada saat ini merupakan tujuan belajar siswa. Namun
jika dipandang sebagai proses belajar sepanjang hayat, maka status
sehat seutuhnya pada saat itu, sebenarnya merupakan sarana untuk
menumbuhkembangkan potensi
yang mewujudkan pribadi siswa
yang mandiri di kemudian hari.
Dengan memadukan dua tujuan,
yaitu: (a) aspek jasmaniah, dan (b)
aspek rohaniah, yang mencakup
lima dimensi sehat, maka tujuan
penjasorkes dapat diungkapkan ke
dalam satu kerangka, sehingga
pembelajaran siswa dan pelatihan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
atlet mengarah pada pemanfaatan
aspek jasmaniah-rohaniah yang
serasi, yang memungkinkan berkembangnya dimensi sehat jasmaniah, sosial, emosional, mental, intelektual, dan spiritual pada pribadi
siswa/atlet.
Akan tetapi terkait dengan bagaimana menilai keberhasilan dan
pencapaian tujuan penjasorkes di
sekolah, banyak guru mengalami
kesulitan, terutama dengan kehadiran paradigma baru asesmen
yang dikehendaki Kurikulum
Tematik Terintegrasi tahun 2013,
yaitu asesmen otentik. Hasil wawancara penulis, dan kolaborasi
berbagai penelitian tindakan kelas
yang dilakukan bersama para guru
di sekolah menunjukkan betapa
sulitnya para guru melakukan asesmen otentik terhadap pembelajaran
penjasorkes.
Artikel berikut ini mencoba
menjembatani kesulitan tersebut
dalam konteks memaknai konten
penjasorkes sebagai bagian dari
salah satu kecerdasan majemuk
manusia, yaitu kecerdasan kinestetik.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
PEMBAHASAN
Hakikat Kecerdasan Kinestetik
Gardner (2006), mengemukakan bahwa kecerdasan kinestetikbadani adalah kemampuan untuk
menggunakan gerak tubuh atau
bergerak dengan ketepatan (presisi)
tinggi dan mengekspresikan ide
atau perasaan melalui gerakan tertentu. Contoh profesi yang sesuai
dengan tema kecerdasan ini adalah:
Atlet, pembalap, penari, koreografer, pemeran pantomim, aktor/
aktris, model, pramugari, ahli jam,
perakit senjata/bom, tentara, polisi, dokter bedah, trainer atraktif,
dsb. Dalam kecerdasan ini termasuk keterampilan koordinasi dan
fleksibilitas tubuh. Orang yang
mempunyai kecerdasan kinestetikbadani dengan mudah dapat mengungkapkan diri dengan gerak tubuh
mereka. Apa yang mereka pikirkan
dan rasakan dengan mudah diekspresikan dengan gerak tubuh, dengan tarian dan ekspresi tubuh, termasuk di dalamnya keolahragaan.
Mereka juga dengan mudah
dapat memainkan mimik, drama,
dan peran. Mereka dengan mudah
dan cepat melakukan gerak tubuh
dalam olahraga dengan segala
macam. variasinya. Hal yang sangat
menonjol dalam diri mereka adalah
185
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
koordinasi dan fleksibilitas tubuh
yang begitu besar. Mereka dapat
berdiri dalam keseimbangan yang
hebat pada waktu berolahraga atau
menari. Secara sederhana, mereka
dapat menyalurkan apa yang
mereka hidupi dengan gerak tubuh.
Orang yang kuat dalam kecerdasan
kinestetik-badani juga sangat baik
dalam menjalankan operasi apabila
ia seorang dokter bedah.
Siswa yang mempunyai kecerdasan kinestetik-badani biasanya
suka menari, olahraga, dan suka
bergerak. Siswa ini biasanya tidak
suka diam, ingin selalu menggerakkan tubuhnya. Apabila ada waktu
luang dan tidak ada pelajaran, anakanak ini dengan cepat akan main
di lapangan. Jika belajar menari,
anak seperti ini dengan cepat akan
bisa dan tidak kaku karena tubuhnya fIeksibel. Banyak dari siswa
yang mempunyai kecerdasan ini
berbakat melukis dengan baik,
dapat membangun bangunan seni.
Seorang pendidik yang melihat
siswa-siswanya berlatih tari atau
dansa akan dengan cepat mengenali
siswa mana yang punya kecerdasan
menonjol. Beberapa pelatih tari
profesional sering dengan cepat
dapat melihat mana siswanya yang
berbakat dan mana yang tidak.
186
Bahkan, sering kali mereka dengan
cepat hanya mau melatih yang berbakat karena dapat dilatih dengan
cepat dan hasilnya bagus. Sedangkan yang kecerdasan kinestetikbadaninya rendah meski sudah
dilatih tetap kurang begitu halus
tariannya (Suparno, 2004).
Demikian pula seorang pelatih
sepak bola dengan cepat akan tahu
siswa yang mana punya kecerdasan
ini dan mana yang tidak. Dari gaya
seorang siswa bermain dan memainkan bola dapat dilihat apakah
ia mempunyai kecerdasan kinestetik-badani tinggi atau tidak.
Menurut Gardner (2006), pengendalian gerakan-badan, tentu
saja, terletak di korteks motoris,
dengan setiap belahan otak mendominasi atau mengendalikan
gerakan badan yang berada di sisi
berlawanan. Pada orang yang tidak
kidal, dominasi dari gerakan seperti
itu biasanya ditemukan dalam belahan otak kiri. Kemampuan melakukan gerakan ketika diarahkan
untuk melakukan demikian dapat
dirusak bahkan pada individu yang
dapat melaksanakan gerakan yang
sama secara spontan atau bukan
secara sengaja. Adanya apraxia (kehilangan kemampuan melakukan
gerakan yang terkoordinasi) spe-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
sifik menyusun satu lini bukti untuk
kecerdasan gerakan badan.
Evolusi dari gerakan-badan
khusus adalah keunggulan yang
jelas bagi jenis yang bersangkutan,
dan pada manusia penyesuaian ini
meluas sampai penggunaan peralatan. Gerakan-badan mengalami
masa perkembangan yang ditetapkan dengan jelas pada anak-anak.
Dan hanya sedikit pertanyaan mengenai sifatnya yang universal lintas
budaya. Jadi tampaknya “pengetahuan” gerakan-badan memenuhi
persyaratan banyak kriteria untuk
dinyatakan sebagai kecerdasan
(Gardner, 2006).
Perhatian pada pengetahuan
gerakan-badan sebagai “penyelesaian masalah” mungkin kurang
intuitif. Pasti melaksanakan urutan
meniru atau memukul bola ternis
bukan menyelesaikan persamaan
matematika. Dan memang, kemampuan menggunakan badan seseorang untuk menyatakan emosi
(seperti dalam dansa), untuk melakukan permainan (seperti dalam
olahraga), atau untuk menciptakan
produk baru (seperti dalam mewujudkan penemuan) merupakan
bukti dari sifat kognitif dari penggunaan gerakan badan.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Dalam pembelajaran Penjasorkes, teori kecerdasan kinestetik
ini memberi justifikasi sekaligus memandu para guru untuk memastikan kemampuan yang dimiliki oleh
para siswanya, terutama untuk
olahraga prestasi. Sebagai suatu
ilustrasi, perhitungan spesifik yang
diperlukan untuk menyelesaikan
“masalah” gerakan-badan tertentu,
memukul bola tenis misalnya, diringkas dengan baik oleh Tim
Gallwey sebagaimana dikutip
Gardner (2006), berikut ini.
Pada saat bola bergerak mening galkan raket pemain yang
melakukan serve, otak menghitung
perkiraan di mana bola itu akan
mendarat dan di mana raket akan
memotong jalan bola. Perhitungan
ini termasuk kecepatan awal bola,
digabungkan dengan masukan dari
berkurangnya kecepatan bola berangsur-angsur dan pengaruh angin
serta setelah bola memantul. Secara
serentak, perintah kepada otot diberikan: bukan hanya sekali, tetapi
secara konstan dengan produktif
yang terus diperhalus dan dimutakhirkan. Otot harus bekerja sama.
Gerakan kaki dilakukan, raket
diayun ke belakang, permukaan
raket dipertahankan pada sudut
konstan. Kontak dilakukan di titik
187
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
yang tepat yang tergantung pada
apakah perintah diberikan untuk
memukul bola menyusur garis tepi
atau diagonal ke ujung lapangan
yang lain, perintah tidak diberikan
sampai setelah analisis sepersekian
detik dari gerakan dan keseimbangan lawan.
Untuk mengembalikan pukulan
serve rata-rata, petenis mempunyai
waktu sekitar satu detik untuk melakukan gerakan tadi. Untuk dapat
memukul bola sudah merupakan
sesuatu yang luar biasa dan sekalipun demikian bukan hal yang aneh.
Kebenaran adalah bahwa setiap
orang yang menghuni badan manusia mempunyai kreasi yang luar
biasa (Gallwey, 1976, dalam
Gardner, 2006).
Asesmen Otentik
Salah satu unsur yang sangat
penting dalam proses pembelajaran
adalah asesmen. Jelas asesmen
perlu disesuaikan dengan tujuan
dan juga cara mengajar seorang
guru. Apabila dalam pembelajaran
guru menggunakan kecerdasan
majemuk, maka asesmennya pun
perlu disesuaikan dengan kemampuan kecerdasan majemuk. Asesmen yang hanya mementingkan
salah satu kecerdasan, misalnya
188
matematis-logis, kurang dapat mengukur seluruh kemampuan siswa.
Secara umum asesmen perlu
lebih luas dan menyeluruh, bahkan
perlu memasukkan unsur lingkungan dan situasi nyata untuk dapat
mengukur seluruh kemampuan
siswa. Maka, berbagai bentuk seperti asesmen tertulis, lisan, dalam
bentuk proyek, tugas bersama,
refleksi pribadi, bentuk prestasi
yang dapat ditampilkan di depan
umum, dalam keaktifan proses
pembelajaran, pemantauan guru
selama pembelajaran, dan sebagainya, perlu digunakan dalam asesmen sebagai kesatuan. Sedapat
mungkin semua potensi kecerdasan
majemuk juga terukur dalam asesmen tersebut. Oleh karena itu, segi
hitungan, tulisan, musik, gerak,
ruang, kerja sama, refleksi, lingkungan perlu diperhatikan. Hal yang
perlu ditekankan di sini adalah
asesmen harus beraneka ragam,
disesuaikan dengan pendekatan
pembelajaran kecerdasan majemuk
yang juga beraneka ragam
(Armstrong, 1994; Suparno, 2004).
Pada umumnya fokus asesmen
pembelajaran meliputi asesmen
pengetahuan kognitif (fakta, konsep, prosedur, dan meta kognitif),
penilaian sikap dan perilaku (afek-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
tif), serta penilaian keterampilan
atau psikhomotorik (Anderson &
Krathwohl, 2001; Waugh &
Gronlund, 2012). Kecerdasan
kinestetik sebetulnya ada pada
semua domain, namun lebih dominan berada di domain sikap dan
perilaku (afektif), serta di domain
keterampilan atau psikhomotorik,
dan oleh karenanya diperlukan
penilaian atau asesmen yang berbeda dengan domain kognitif yang
selalu mengandalkan tes berbasis
pensil dan kertas.
Salah satu asesmen yang ditawarkan oleh para ahli untuk menilai kecerdasan kinestetik adalah
asesmen otentik. Asesmen otentik
(authentic assessment) menekankan
praktik pengembangan alat-alat
asesmen yang secara lebih akurat
mencerminkan dan mengukur apa
yang benar-benar dihargai oleh
pendidik dalam pendidikan. Suatu
upaya asesmen dapat dikatakan
sebagai otentik kalau upaya itu
melibatkan peserta didik dalam
berbagai tugas yang bernilai (worthwhile), signifikan, dan bermakna
(meaningful). Asesmen seperti itu
menyerupai dan menghendaki aktivitas pembelajaran, bukannya menyerupai tes sebagaimana lazimnya.
Asesmen jenis ini menuntut kete-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
rampilan berpikir yang lebih tinggi
tingkatannya dan juga koordinasi
cakupan pengetahuan yang rentangnya luas. Menurut Armstrong
(1994), Hart (1994), dan juga
Waugh & Gronlund (2012), asesmen otentik pada dasarnya adalah
asesmen berbasis proses pembelajaran dan hasilnya.
Asesmen otentik diadopsi oleh
Kurikulum 2013, yang meliputi
asesmen kinerja, asesmen sikap,
asesmen diri, asesmen proyek, asesmen portofolio, asesmen tertulis,
dan asesmen produk (hasil kerja).
Beberapa bentuk asesmen tersebut,
yang ditekankan oleh Armstrong
(1994), dan juga Hart (1994),
sangat sesuai untuk menilai siswa,
senada dengan pendekatan kecerdasan majemuk. Portofolio misalnya, yang merupakan laporan
tugas-tugas siswa selama seluruh
proses pembelajaran. Termasuk di
dalamnya adalah laporan tertulis,
hasil diskusi kelompok, hasil refleksi pribadi, tugas, gambar, laporan komputer, slide, atau video, bila
pernah dibuat. Tugas-tugas informal yang pernah dikerjakan siswa,
seperti catatan atau draf lagu,
permainan, kerja kelompok kecil,
perlu dikumpulkan pula.
189
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
Asesmen selama proses belajar
perlu dikumpulkan. Guru perlu
selalu memantau dan memberikan
penilaian singkat kepada setiap
siswa selama proses belajar: selama
diskusi, selama mereka bermain
bersama sesuai materi, dan selama
mereka aktif partisipasi dalam
pembelajaran. Soal tertulis yang
diberikan kepada siswa perlu juga
dirumuskan sesuai dengan kecerdasan majemuk tersebut. Maka,
perlu ada persoalan logika, musikal,
ruang, gerak, refleksi pribadi, dan
juga bahasa tertulis.
Lebih khusus untuk menilai
keberhasilan tujuan pembelajaran
Penjasorkes disarankan agar guru
menggunakan asesmen kinerja (Performance Assessments), suatu asesmen
yang mempersyaratkan siswa agar
mampu mendemonstrasikan pencapaian pemahaman dan keterampilan mereka melalui kinerja nyata
(Waugh & Gronlund, 2012). Asesmen kinerja dapat digunakan untuk
mengukur kinerja nyata atau aktual
siswa yang tidak memadai jika
diukur hanya dengan menggunakan
tes objektif. Kecakapan dalam
melempar lembing atau melakukan
serve bulutangkis adalah salah satu
contoh kecakapan yang sulit jika
diukur hanya dengan menggunakan
190
instrumen berupa tes objektif. Instrumen yang sesuai untuk digunakan mengukur kemampuan dalam
menerapkan prinsip–prinsip dalam
melakukan proses tersebut adalah
asesmen kinerja.
Waugh & Gronlund (2012),
mengemukakan beberapa keunggulan dan keterbatasan asesmen
kinerja untuk digunakan dalam
mengukur hasil belajar siswa. Keunggulan asesmen kinerja sebagai
sebuah instrumen penilaian adalah
sebagai berikut.
 Dapat mengukur aspek kemampuan yang tidak dapat
diukur melalui tes objektif.
 Bersifat lebih alamiah, langsung
dan lengkap dalam mengukur
kemampuan siswa.
 Berguna untuk mengukur siswa
yang memiliki keterbatasan
dalam menulis dan membaca.
 Dapat digunakan untuk mengukur kemampuan dalam
situasi nyata atau real life.
Selain memiliki keunggulan,
asesmen kinerja juga memiliki sejumlah keterbatasan sebagai sarana
penilaian sebagai berikut.
 Memerlukan waktu dan usaha
yang relatif besar untuk menerapkannya.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
 Lebih bersifat subjektif dengan
tingkat realibilitas yang relatif
rendah.
 Kegiatan asesmen lebih banyak
bersifat individual dibandingkan kelompok.
Asesmen kinerja merupakan
cara yang sistematik yang dapat
digunakan untuk melakukan asesmen terhadap hasil belajar yang
tidak dapat diukur hanya melalui
tes objektif. Walaupun tes objektif
dapat digunakan untuk mengetahui
hasil belajar, namun asesmen kinerja sangat bermanfaat untuk digunakan dalam mengetahui tingkat
pencapaian sikap dan keterampilan
siswa yang bersifat aktual. Asesmen kinerja juga dapat memberikan
kontribusi untuk mengetahui secara langsung kemampuan yang
dimiliki oleh siswa dalam situasi
yang sesungguhnya.
Dalam menerapkan asesmen
kinerja hendaknya diperhatikan
beberapa tahapan. Berikut langkahlangkah yang perlu diperhatikan
untuk membuat asesmen kinerja
yang baik antara lain:
 Identifikasi semua langkahlangkah penting yang diperlukan atau yang akan mempengaruhi hasil akhir yang terbaik;
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
 Tuliskan perilaku kemampuankemampuan spesifik yang penting dan diperlukan untuk menyelesaikan tugas dan menghasilkan hasil akhir yang terbaik;
 Usahakan untuk membuat kriteria-kriteria kemampuan yang
akan diukur tidak terlalu banyak sehingga semua kriteria
tersebut dapat diobservasi selama siswa melaksanakan tugas;
 Definisikan dengan jelas kriteria
kemampuan yang akan diukur
berdasarkan kemampuan siswa
yang harus dapat diamati (observable) atau karakteristik produk
yang dihasilkan;
 Urutkan kriteria kemampuan
yang akan diukur berdasarkan
urutan yang dapat diamati;
 Kalau ada, periksa kembali dan
bandingkan dengan kriteria
kemampuan yang sudah dibuat
sebelumnya oleh guru lain di
lapangan.
Dalam asesmen kinerja, ada
dua hal penting yang harus dirumuskan oleh guru, yaitu kriteria
dan rubrik. Kriteria adalah rumusan objektif yang meliput tujuan
pembelajaran dan pencapaian
kinerja yang diinginkan selama dan
setelah proses pembelajaran ber-
191
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
langsung. Meskipun dalam asesmen
otentik guru melakukannya secara
holistik yang meliputi kompetensi
utuh sehingga merefleksikan berbagai domain pembelajaran, tetap
saja kriteria harus dibatasi agar guru
tidak kesulitan dalam mengobservasi kinerja siswa. Disarankan cukup 4-5 kriteria dalam setiap topik
pembelajaran.
Kriteria kinerja merupakan indikator dari unjuk kerja yang baik
dan tepat dalam sebuah tugas, tentukan dahulu proses, produk atau
keduanya karena ini menentukan
kriteria yang dibuat. Berikut diberikan contoh perumusan kriteria dalam pembelajaran Penjasorkes dalam topik cara melakukan serve dalam permainan bulutangkis (badminton).
Tabel 1. Contoh Kriteria untuk Topik Serve Bulutangkis
NO
1
2
3
4
5
KRITERIA
Ketepatan penempatan diri di lapangan
Cara berdiri (kaki dan badan) dalam posisi serve
Cara memegang raket
Cara memegang shuttlecock
Cara memukul bola (shuttlecock)
Setelah dibuat kriteria seperti di
atas, selanjutnya dibuat pensekoran
dengan menggunakan rubrik. Rubrik adalah suatu pedoman pensekoran yang digunakan untuk menentukan tingkat kemahiran (proficiency) siswa dalam mengerjakan
tugas. Rubrik juga digunakan untuk
menilai pekerjaan siswa. Apabila
dua orang guru atau lebih sedang
menilai jenis pekerjaan yang sama,
maka peng gunaan rubrik yang
sama membantu mereka meman-
192
dang produk itu dengan cara yang
sama. Guru dari tingkat kelas
berbeda atau dari mata pelajaran
berbeda dapat menggunakan rubrik
yang sama. Hal ini akan menjaga
kesinambungan pengajaran dan
belajar dari tingkat ke tingkat dan
dari mata pelajaran ke mata pelajaran. Ada dua cara menyusun rubrik,
yakni rubrik dengan daftar cek
(checklist), dan rubrik dengan skala
pemeringkatan (rating scale). Berikut
contohnya.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sihono
Tabel 2. Contoh Rubrik dengan Daftar Cek (checklist) Serve Bulutangkis
NO
1
2
3
4
5
TANDA
CEK (√)
KRITERIA
Berdiri di sebelah kanan garis tengah lapangan
bagian depan
Kaki dalam posisi seperti akan berjalan (tidak
sejajar) dan badan membungkuk
Gagang raket digenggam kuat tangan kanan,
kiri jika kidal dalam posisi menyiku siap
mengayun
Ujung shuttlecock tidak digenggam melainkan
tetapi dipegang dua jari
Memukul bola (shuttlecock) dengan cara
mengayun ke arah lawan
TOTAL SKOR
Tabel 3. Contoh Rubrik dengan Skala Pemeringkatan (rating scale) Serve
Bulutangkis
SKOR
NO
KRITERIA
1
Berdiri di sebelah kanan garis tengah lapangan
bagian depan
Kaki dalam posisi seperti akan berjalan (tidak
sejajar) dan badan membungkuk
Gagang raket digenggam kuat tangan kanan, kiri jika
kidal dalam posisi menyiku siap mengayun
Ujung shuttlecock tidak digenggam tetapi dipegang
dua jari
Memukul bola (shuttlecock) dengan cara mengayun
ke arah lawan
2
3
4
5
1
2
3
4
TOTAL SKOR
Keterangan:
Skor 4: Selalu melakukan sesuai kriteria, benar dan cepat
Skor 3: Sering melakukan sesuai kriteria, benar namun lambat
Skor 2: Kadang-kadang melakukan sesuai kriteria, belum benar, lambat
Skor 1: Tidak melakukan, tidak benar, lambat
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
193
Asesmen Otentik Kecerdasan Kinestetik dalam Pembelajaran Penjasorkes
SIMPULAN DAN SARAN
Kecerdasan kinestetik sebagaimana diteorikan Gardner pada prinsipnya berada pada semua domain
pembelajaran, namun lebih dominan pada domain sikap dan keterampilan. Oleh karenanya penilaian
konvensional dalam bentuk tes
berbasis pensil dan kertas atau tes
objektif dipandang belum memenuhi sasaran dan kurang adil.
Berdasarkan uraian di muka, sangat
tepat apabila kecerdasan kinestetik
dinilai dengan asesmen otentik,
terutama asesmen kinerja. Guru
pengampu bidang studi Penjasorkes
disarankan agar meng gunakan
asesmen otentik kinerja agar memperoleh gambaran kemampuan
siswa yang alamiah, nyata dan adil.
DAFTAR RUJUKAN
Abdullah, A. & Manadji, A. 1994.
Dasar-Dasar Pendidikan Jasmani.
Jakarta: Proyek Pembinaan dan
Peningkatan Mutu Tenaga
Kependidikan, Direktorat
Jenderal Pendidikan Tinggi,
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan.
Anderson, L.W. & Krathwohl, D.R.
2001. A Taxonomy for Learning,
Teaching , and Assessing: A
Revision of Bloom’s Taxonomy of
Educational Objectives. Abridged
194
Edition. New York: Addison
Wesley Longman, Inc.
Armstrong, T. 1994. Multiple
Intelligences in the Classroom.
Alexandria, VA.: Association
for Supervision and Curriculum
Development.
Gardner, H. E. 2006. Multiple
Intelligences: New Horizons in
Theory and Practice. Cambridge:
Basic Books.
Goleman, D. 1996. Emotional
Intelligence. New York: Bantams
Books.
Hart, D. 1994. Authentic Assessment:
A Handbook for Educators.
Menlo Park, CA.: Addison
Wesley Publishing Company.
Siedentop, D. 1991. Developing
Teaching Skills in Physical Education. Mountain View California: May Field Publishing
Company.
Suparno, P. 2004. Teori Intelegensi
Ganda dan Aplikasinya di
Sekolah: Cara Menerapkan Teori
Multiple Intelligences Howard
Gardner. Yogyakarta: Kanisius.
Waugh, C.K. & Gronlund, N.E.
2012. Assessment of Student
Achievement. Tenth Edition.
Upper Saddle River, New
Jersey: Pearson Education, Inc.
Zohar, D. & Marshall, I. 2000. SQSpiritual Intelligence: the Ultimate
Intelligence.
Bloomsbury,
London: Notes Alison Morgan.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 195-206
MENDEKATKAN SEKOLAH DENGAN MASYARAKAT
Sumarni
Kepala SD Negeri Jatipunggur 2, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract
School education as a process is faced with various challenges.
One of the challenges come from the community itself. Public
as consumers of education does not regard the school as a beacon
of hope for the future of their children, but at the same time
making it an object of derision. Therefore, it is necessary to bring
the school to the community as part of the educational
management functions, namely the function of school-public
relationship. This article offers three strategic idea of building
public trust, creating ideal school, and build comparative
advantage and collaborative.
Primary school as an education organization need to take
proactive measures are essential in order to keep the public interest
from many participants. The end goal is to keep the interest of
the public to remain high. In addition to maintaining the quality
standards that have been achieved, the school must continue to
build public trust, offering to the public an ideal school
qualifications are characterized by education paradigm appropriate
basis, the effectiveness of the implementation of education, and
offers a comparative advantage or collaborative superiority.
Keywords: School-public relationship, primary education
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 195
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
PENDAHULUAN
Sedikitnya ada dua dimensi
kompetensi yang harus dikuasai
oleh seorang kepala sekolah/madrasah sebagaimana termaktub
dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No.
13 Tahun 2007 tentang Standar
Kepala Sekolah/Madrasah dalam
konteks mendekatkan sekolah dengan masyarakat. Pertama, dimensi
kompetensi manajerial (Dimensi
Kompetensi 2), dengan standar
kompetensi 2.8 yang berbunyi “Mengelola hubungan sekolah/madrasah dan masyarakat dalam rangka
pencarian dukungan ide, sumber
belajar, dan pembiayaan sekolah/
madrasah.” Kedua, dimensi kompetensi sosial (Dimensi Kompetensi 5), yang meliputi standar kompetensi “Bekerja sama dengan
pihak lain untuk kepentingan sekolah/madrasah (5.1); Berpartisipasi
dalam kegiatan sosial kemasyarakatan (5.2); dan memiliki kepekaan sosial terhadap orang atau kelompok lain (5.3).
Menurut teori birokrasi Weber
(Lunenburg & Orstein, 2004), dinyatakan bahwa kompetensi berkaitan dengan kualifikasi. Pada
konteks kekepalasekolahan, kualifikasi sudah ditentukan oleh Per196
mendiknas No. 13 Tahun 2007 dimuka. Menurut Chung & Megginson (1993), sebagaimana dikutip
Husaini Usman (2008), kompetensi
adalah sifat, pengetahuan, dan
kemampuan pribadi seseorang
yang relevan dalam menjalankan
tugasnya secara efektif. Lebih lanjut
dikatakan bahwa kompetensi
meliputi seluruh aspek penampilan
kerja, dan tidak hanya terbatas pada
keterampilan-keterampilan kerja,
melainkan juga persyaratan melatih
keterampilan-keterampilan tugas
individual, mengelola sejumlah
tugas yang berbeda di dalam pekerjaan, merespons ketidakteraturan
dan mengatasinya dalam tugastugas rutin, serta mempertemukan
tanggung jawab dengan harapanharapan di lingkungan kerja, termasuk bekerjasama dengan yang
lain.
Kompetensi terdiri atas kompetensi generik dan spesifik (Husaini
Usman, 2008). Kompetensi generik ialah kompetensi yang bersifat
umum yang harus dimiliki setiap
pekerja. Sedangkan kompetensi
spesifik ialah kompetensi khusus
untuk mengerjakan pekerjaan khusus. Kompetensi kepala sekolah/
madrasah sebagaimana dikemukakan di muka adalah jenis kom-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
petensi khusus. Secara umum, kompetensi merupakan pengetahuan,
keterampilan, dan nilai-nilai dasar
yang direfleksikan dalam kebiasaan
berpikir dan bertindak. Kebiasaan
berpikir dan bertindak secara konsisten dan terus menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilainilai dasar untuk melakukan sesuatu. Hal itu sejalan dengan pendapat Conny R. Semiawan (2006),
yang mendefinisikan kompetensi
sebagai kemampuan (ability), keterampilan (skill), dan sikap (attitude)
yang benar dan tuntas untuk menjalankan perannya secara lebih
efisien. Pada konteks artikel ini
dapat diketengahkan bahwa yang
dimaksud dengan kompetensi ialah
kemampuan dan karakteristik yang
dimiliki oleh seseorang, yang mencakup: kepribadian, manajerial,
entrepreneurship, supervisi, sosial,
administrasi, dan teknis dalam
melaksanakan tugas pokok dan
fungsinya sebagai kepala sekolah/
madrasah.
Secara tersirat penguasaan
kompetensi yang diwajibkan bagi
kepala sekolah/madrasah seperti
kerja sama, partisipasi, dan kepekaan sosial tersebut pada intinya
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
bertujuan untuk mendekatkan sekolah dengan masyarakat. “Mendekatkan sekolah dengan masyarakat” yang menjadi topik artikel ini
dilandasi beberapa alasan. Pertama,
sejak otonomi daerah diberlakukan
tahun 2004, ketersediaan jumlah
murid yang tidak sebanding dengan
jumlah SD yang tersedia telah
mengharuskan pemerintah daerah
melaksanakan program penggabungan beberapa sekolah. Penggabungan tersebut dalam jangka pendek dianggap efektif guna mencapai efisiensi dan efektivitas sumber daya. Namun dalam jangka panjang, langkah itu kontraproduktif
mengingat hilangnya eksistensi
suatu sekolah. Ketika isu kualitas
pendidikan menjadi unsur utama
pertimbangan masyarakat dalam
memilih sekolah pada satu sisi, sedangkan di sisi lain sekolah belum
mengimbanginya, maka yang terjadi
adalah minimnya basis informasi
masyarakat tentang kondisi faktual
suatu sekolah. Alhasil, pilihan masyarakat atas sekolah anak-anaknya
menjadi bias karena tidak berbasis
informasi yang benar.
Kedua, terjadi kompetisi antarsesama sekolah negeri dan dengan
sekolah swasta yang kurang sehat.
Di tengah kompetisi yang ketat
197
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
dalam mendapatkan siswa baru,
fakta yang terjadi ialah, ada sejumlah sekolah dasar yang kemudian
mendapatkan animo besar, sementara diketahui ada sekolah dasar
lain yang animonya kecil atau sedikit. Sekolah yang beranimo besar
pada umumnya sekolah yang
dianggap favorit menurut pandangan masyarakat meskipun belum
tentu bermutu dan lokasinya jauh
dari tempat tinggal siswa. Perihal
perburuan sekolah setiap tahun ajaran baru, Mutrofin (2000), menyatakan bahwa sejauh yang dapat
dikonfirmasi dari masyarakat, selama ini para orangtua calon siswa
baru tidak mendapatkan informasi
akurat guna menilai seberapa bermutu praktik profesional yang telah
dijalankan sekolah. Pilihan sekolah
semata-mata hanya didasarkan atas
opini publik bahwa sekolah-sekolah tertentu sajalah yang dianggap baik dan bermutu.
Cara atau strategi apa yang bisa
dilakukan oleh sekolah agar daya
tarik masyarakat terhadap sekolah
yang bersangkutan menjadi besar?
Artikel ini mengetengahkan gagasan perlunya mendekatkan sekolah
dengan masyarakat. Pertanyaannya
ialah bagaimana agar sekolah dekat
dengan masyarakat? Artikel ini
198
menawarkan tiga gagasan strategis,
yaitu membangun kepercayaan
masyarakat, menciptakan sekolah
ideal, dan membangun keunggulan
komparatif dan kolaboratif.
PEMBAHASAN
Membangun
Masyarakat
Kepercayaan
Mendekatkan sekolah dengan
masyarakat merupakan bagian dari
fungsi manajemen pendidikan,
yakni fungsi hubungan sekolah
dengan masyarakat (school- public
relationship). Salah satu kunci paling
mula dari upaya tersebut ialah
membangun kepercayaan masyarakat. Menurut Robbins (2000),
kepercayaan ialah harapan positif.
Ada lima dimensi kunci yang diperlukan oleh kepala sekolah/madrasah agar kepercayaan diberikan/
dihadirkan oleh masyarakat terhadap sekolah sebagai suatu organisasi pendidikan, yaitu: (1) integritas
(integrity), (2) kompetensi (competence), (3) konsistensi (concistency), (4)
kesetiaan (loyalty), dan (5) keterbukaan (openness) atau transparansi.
Integritas ialah sifat-sifat yang
jujur dan bermoral. Kejujuran adalah unsur yang menentukan dalam
peristiwa komunikasi. Kejujuran
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
tidak saja menjadikan proses komunikasi menjadi efektif, tetapi juga
mampu menciptakan pemahaman
yang baik di antara komunikan dan
komunikator. Pesan yang dilandasi
kejujuran mengarahkan komunikasi terhindar dari distorsi. Apalagi jika momentum komunikasi itu
terjadi dalam dunia pendidikan.
Nilai kejujuran mutlak dipenuhi.
Pendidikan tidak hanya menciptakan tamatan yang pintar, tetapi
juga harus jujur. Orang pintar belum tentu jujur, begitu pula sebaliknya orang jujur belum tentu pintar.
Kejujuran mensyaratkan ketidakbohongan. Orang jujur berarti tidak
pernah dusta. Tetapi orang yang
paling jujur sekalipun pasti pernah
melakukan kebohongan, namun
dilakukan dalam keadaan darurat
dan untuk kebaikan.
Sebagaimana pernah disinggung
Filsuf perempuan, Sissela Bok,
dalam bukunya Lying, menegaskan
bahwa berbohong boleh dilakukan
untuk menyelamatkan kehidupan
manusia yang tidak berdosa. Namun, jika kebohongan itu untuk
mendapatkan kekuasaan dan keuntungan finansial, maka perbuatan
itu tidak dapat dibenarkan bahkan
diharamkan hukumnya. Integritas
moral bukan bermakna kehidupan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
pribadi telah berkesesuaian dengan
persetujuan publik, tetapi juga telah
terciptanya kesatuan antara hati
nurani yang secara internal terdapat
dalam diri manusia, perilaku eksternal dapat dilihat secara fisik dan
kepatuhan kepada hukum moral.
Secara normatif, setiap orang diajarkan oleh orang tua dan budayanya tentang kejujuran dan moralitas
(Husaini Usman, 2008).
Selain berintegritas, kompetensi sebagaimana dijelaskan di
muka juga menjadi penentu kepercayaan masyarakat terhadap
sekolah.
Konsistensi ialah sifat kokoh
atau teguh (persistent) pada pendirian, meskipun berbagai ancaman
menghadang. Orang yang konsisten
dapat diramalkan tingkah lakunya,
tidak mudah berubah-ubah perilakunya (sikap, pikiran, dan perbuatannya), ucapan, dan janjinya
dapat dipercaya, serta cocok antara
kata dengan perbuatannya. Ketidakkonsistenan antara ucapan dan
perbuatan, janji dan buktinya, dapat mengurangi bahkan menghilangkan kepercayaan. Sedangkan
kesetiaan ialah keinginan untuk
selalu melindungi, menyelamatkan,
mematuhi atau taat pada apa yang
disuruh atau dimintanya, dan
199
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
penuh pengabdian. Orang yang
setia tidak akan berkhianat, serong,
atau berselingkuh dalam arti luas.
Keterbukaan ialah keadaan di
mana setiap orang yang terkait
dengan pendidikan dapat mengetahui proses dan hasil pengambilan
keputusan dan kebijakan sekolah.
Keterbukaan sama dengan polos,
apa adanya, tidak bohong, tidak
curang, jujur, dan terbuka terhadap
publik tentang apa yang dikerjakan
oleh sekolah. Hal-hal yang dibuka
misalnya adalah administrasi kedinasan, keuangan sekolah, manajemen sekolah, dan kebijakan sekolah. Pemimpin Unit Produksi Sekolah (UPS) yang terikat dengan
warga sekolah, dalam mengembangkan UPS harus melakukan
diskusi terbuka dalam memajukan
UPS. Keterbukaan seorang entrepreneur dalam manajemen UPS
dapat mengurangi, bahkan menghilangkan rasa saling curiga antara
sekolah dengan para pemangku kepentingan. Sekolah yang dicurigai
tidak jujur akan ditinggalkan para
pemangku kepentingan. Keterbukaan merupakan awal dari kejujuran. Kejujuran terletak dalam
hati nurani. Sekarang banyak orang
pintar, tetapi sedikit orang yang
jujur. Tugas kepala sekolah dan
200
guru adalah memberi contoh sebagai orang yang jujur kepada siswa-siswanya. Keterbukaan hanya
akan efektif jika ada komunikasi
yang efektif.
Sekolah adalah organisasi pelayanan publik dalam bidang pendidikan yang diberi mandat oleh
masyarakat sehingga keterbukaan
merupakan hak publik. Pengembangan keterbukaan sangat diperlukan untuk membangun keyakinan
dan kepercayaan publik terhadap
sekolah. Ada banyak cara untuk
meningkatkan keterbukaan, misalnya: (1) mendayagunakan berbagai
jalur komunikasi, baik langsung
maupun tidak langsung; menyiapkan kebijakan yang jelas tentang
cara mendapatkan informasi, bentuk informasi dan prosedur pengaduan apabila informasi tidak sampai kepada publik; (3) mengupayakan peraturan yang menjamin
hak publik untuk memperoleh
informasi (Husaini Usman, 2008).
Menurut Reinhartz & Beach
(2004), cara membangun kepercayaan masyarakat adalah menjadi
pemimpin yang mampu menyesuaikan diri, teguh pendiriannya,
peduli, dapat dipercaya (jujur), bersama-sama menciptakan visi dan
budaya, bersama-sama mencipta-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
kan dan mencapai tujuan, menjadi
pendengar yang baik, mendemonstrasikan keterampilan profesional;
komitmen terhadap diri sendiri,
kelompok, dan organisasi.
Menciptakan Sekolah Ideal
Sebagian besar pendapat menyatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses yang tidak
pernah berhenti (never ending process)
sehingga konsep sekolah yang ideal
terus menerus mengalami perkembangan. Konsep sekolah ideal dengan demikian sangat bergantung
kepada pandangan dasar (paradigma) filsafat pendidikan yang sedang dikembangkan, baik di tingkat
makro (nasional) maupun di tingkat
mikro (daerah dan sekolah). Misalnya, pada masa lalu dikenal paradigma fungsional dan paradigma
sosialisasi; sedangkan dewasa ini
dikenal paradigma sintetis-sistemik
dalam dunia pendidikan (Zamroni,
1995).
Paradigma fungsional berpandangan bahwa keterbelakangan
dan kemiskinan suatu masyarakat
dikarenakan negara miskin tidak
mempunyai cukup penduduk yang
memiliki pengetahuan, kemampuan
dan sikap modern. Menurut paradigma fungsional, setiap sekolah
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
merupakan lembaga utama untuk
mengembangkan pengetahuan,
melatih kemampuan dan keahlian
serta menanamkan sikap modern
pada individu yang diperlukan dalam proses pembangunan. Paradigma fungsional selanjutnya melahirkan teori Human Investmen (investasi sumber daya manusia) yang
menyatakan bahwa investasi dalam
diri manusia lebih menguntungkan
karena memiliki nilai kembalian
ekonomi (economic rate of return) yang
lebih besar dibandingkan dengan
investasi di bidang fisik.
Sedangkan paradigma sosialisasi berpandangan bahwa setiap sekolah dalam pembangunan memiliki peranan untuk: (a) mengembangkan kompetensi individu; (b)
kompetensi yang lebih tinggi tersebut diperlukan untuk meningkatkan produktivitas, dan; (c) secara umum, meningkatnya kemampuan warga masyarakat dan semakin banyaknya warga masyarakat yang memiliki kemampuan
akan meningkatkan kehidupan
masyarakat secara keseluruhan.
Berdasarkan paradigma sosialisasi
ini, pendidikan kemudian diperluas
secara besar-besaran (massal) dan
menyeluruh.
201
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Baik paradigma fungsional
maupun sosialisasi memandang
proses pendidikan di sekolah sebagai sesuatu yang linier dan mekanistis. Proses pendidikan dipandang
sebagai fungsi produksi yang terdiri
atas unsur-unsur masukan (input),
proses (process), produk (product),
lulusan (output) dan keluaran (outcome). Paradigma ini telah terbukti
menjauhkan sekolah dari dunia
kerja dan masyarakat lingkungannya. Banyak warga masyarakat yang
relatif telah mengenyam pendidikan sekolah tidak bisa bertahan
dari kesulitan hidup, dan jumlah
angka pengangguran orang-orang
berpendidikan karena tidak bisa
mandiri dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan masyarakatnya bertambah besar.
Dewasa ini pendidikan di Indonesia dikembangkan berdasarkan
paradigma sintetis-sistemik. Paradigma ini berpandangan bahwa
sekolah harus memiliki karakteristik ideal sebagai berikut: (1) pendidikan yang diselenggarakan lebih
menekankan pada proses pembelajaran (learning) daripada pengajaran (teaching); (2) pendidikan
diorganisasikan dalam suatu struktur yang fleksibel; (3) pendidikan
akan memperlakukan peserta didik
202
sebagai individu yang memiliki
karakteristik khusus dan mandiri;
serta (4) pendidikan merupakan
proses yang berkesinambungan dan
senantiasa berinteraksi dengan
lingkungan. Menurut paradigma
sintetis-sistemik, unsur-unsur masukan, proses, produk, lulusan dan
keluaran tetap dipertahankan,
namun diharuskan memiliki kaitan
yang jelas dan terukur dengan dunia kerja dan masyarakat lingkungannya.
Selama lebih dari satu dekade,
kementerian pendidikan nasional
telah meluncurkan berbagai kebijakan pendidikan guna merealisasikan paradigma tersebut yang
antara lain: Manajamen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah
(MPMBS) yang embrio pelaksanaannya telah disosialisasikan sejak
tahun 1999 (Umaedi, 1999; Depdiknas, 2000); Program Pendidikan
Berorientasi Kecakapan Hidup
(Life Skill Education) melalui
pendekatan Broad-Based Education
(BBE-Pendidikan Berbasis Luas)
(Tim BBE Depdiknas, 2002);
Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK); Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP); dan Kurikulum Tematik Terintegrasi Tahun
2013.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
Berdasarkan uraian di muka
tampak jelas bagaimana sebenarnya konsep suatu sekolah yang
ideal. Jadi, sekolah ideal yang selama ini sering disebut-sebut sebagai sekolah unggul dan bermutu
karena mampu menghasilkan kualitas NUN (Nilai Ujian Nasional)
yang tinggi menjadi tidak berarti
apabila masih menghasilkan manusia-manusia yang cerdas namun
tidak memiliki nilai guna, bahkan
tercerabut dari akar masyarakatnya.
Dengan kata lain, suatu sekolah
bisa disebut ideal apabila, selain
mampu menghasilkan para lulusan
yang cerdas secara intelektual,
emosional dan spiritual; juga menghasilkan para lulusan yang bisa
menjalani kehidupan nyata karena
memiliki bekal keterampilan atau
kecakapan hidup yang sesuai
dengan lingkungan masyarakatnya.
Namun harus disadari bahwa
konsep sekolah ideal seperti itu terkesan idealis. Konsep tersebut hanya akan terlaksana apabila sekolah
benar-benar dijalankan secara
efektif. Menurut Mortimore sebagaimana dikutip Suyanto (1995),
ada 12 faktor penting yang menjadi
ciri suatu sekolah disebut efektif.
Keduabelas ciri tersebut ialah: (1)
kepemimpinan kepala sekolah
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
yang berorientasi pada tujuan pendidikan yang harus dicapai; (2)
keterlibatan para wakil kepala sekolah secara fungsional; (3) keterlibatan praktisi pendidikan
dalam setiap kegiatan sekolah; (4)
konsistensi di antara para tenaga
kependidikan; (5) adanya sesi pembelajaran yang terstruktur; (6)
proses pembelajaran yang secara
intelektual terus menerus menantang; (7) tersedianya lingkungan
yang berorientasi pada kultur kerja;
(8) adanya fokus yang terbatas pada
sesi-sesi pembelajaran; (9) ada
komunikasi optimal antara tenaga
kependidikan dan peserta didik;
(10) ada dokumentasi aktivitas
sekolah yang baik; (11) ada keterlibatan orangtua peserta didik
secara fungsional dan sistematis
tanpa harus diorganisasikan; (12)
terciptanya iklim sekolah yang
kondusif dan positif.
Menciptakan
Keunggulan
Komparatif-Kolaboratif
Mendekatkan sekolah dengan
masyarakat tidaklah cukup hanya
berbekal kepercayaan dan penciptaan sekolah ideal. Selain sosialisasi
informasi atas mutu sekolah yang
ditandai oleh tingginya prestasi
siswa dan prestasi sekolah di bidang
203
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
lainnya, maka hal lain yang tidak
kalah pentingnya ialah menciptakan keunggulan komparatif-kolaboratif. Salah satu alternatif yang
bisa dilakukan sekolah agar dekat
dengan masyarakat adalah dengan
menunjukkan bukti-bukti bahwa
sekolah memiliki keunggulan komparatif-kolaboratif. Keunggulan
komparatif yang dimaksud dalam
artikel ini ialah keunggulan sekolah
dalam berbagai bidang, baik
akademis maupun nonakademis
dibandingkan dengan sekolahsekolah lain di wilayahnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan keunggulan kolaboratif adalah kemampuan sekolah guna menjalin kerja sama akademik dan nonakademik (misalnya ketenagakerjaan dan kegiatan lain) dengan
organisasi di luar sekolah dan dunia
kerja. Kerja sama di bidang akademis manakala lulusannya melanjutkan studi ke jenjang sekolah
yang lebih tinggi. Kerjasama nonakademis manakala lulusannya
tidak berkesempatan melanjutkan
studi ke jenjang pendidikan yang
lebih tinggi atau ketika harus terjun
langsung dalam kehidupan bermasyarakat dan dunia usaha.
Keunggulan kolaboratif bisa
dicapai sekolah melalui berbagai
204
cara. Salah satu di antaranya ialah
melalui peningkatan kualitas pembelajaran dan efektivitas pemanfaatan waktu kontak di sekolah. Di
bidang kurikuler, rata-rata prestasi
ujian sekolah diusahakan setinggi
mungkin melalui berbagai kiat.
Beberapa alternatif bisa ditempuh.
Misalnya saja mengunakan kiat-kiat
lembaga bimbingan belajar. Bisa
juga melalui penambahan waktu
belajar di luar jam sekolah selama
masyarakat memperkenankannya.
Di bidang kokurikuler, misalnya
saja memperkuat bidang keolahragaan prestasi seperti atletik, bulutangkis, sepakbola dan sebagainya
yang dipilih oleh sekolah secara
komprehensif berdasarkan sumber
daya manusia dan fasilitas yang
ada.
Agar keunggulan kolaboratif
bisa dicapai, setiap sekolah harus
memilih fokus keunggulannya dalam satu atau dua bidang saja yang
berbeda dengan yang dikembangkan sekolah lainnya. Guna memberi
bukti keung gulan kolaboratif,
sekolah harus mengembangkan life
skill education atau muatan vokasional dengan melibatkan berbagai
pihak dan kalangan. Agar efektif,
pendidikan kecakapan hidup mesti
dilaksanakan seusai dengan minat
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Sumarni
dan bakat para siswa. Sesuai buku
panduan yang ditulis oleh Tim
BBE, terdapat 21 tema yang berisi
246 keahlian yang bisa dipilih oleh
sekolah sesuai dengan kemampuannya. Apakah sekolah memilih
tema keahlian elektronika/listrik,
otomotif, koperasi, bangunan, atau
yang lain tidak menjadi soal. Dasar
pertimbangannya ialah, selain koneksitas (keterkaitan dengan kebutuhan) dengan masyarakatnya
terjamin; juga harus berprinsip
berbeda tema dan keahlian dengan
sekolah lain.
SIMPULAN DAN SARAN
Pendidikan sekolah sebagai
suatu proses sedang berhadapan
dengan berbagai tantangan. Salah
satu tantangan datang dari masyarakat sendiri. Masyarakat selaku
konsumen pendidikan tidak hanya
memandang sekolah sebagai tumpuan harapan bagi masa depan
anak-anaknya, namun sekaligus
menjadikannya sebagai bahan
cemoohan. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mendekatkan
sekolah dengan masyarakat sebagai
bagian dari fungsi manajemen
pendidikan, yakni fungsi hubungan
sekolah dengan masyarakat (schoolpublic relationship). Artikel ini meVolume 2, Nomor 1, Januari 2016
nawarkan tiga gagasan strategis,
yaitu membangun kepercayaan
masyarakat, menciptakan sekolah
ideal, dan membangun keunggulan
komparatif dan kolaboratif.
Sekolah dasar sebagai organisasi pendidikan perlu menempuh
langkah-langkah proaktif yang
mendasar agar tetap diminati masyarakat luas dari berbagai kalangan. Tujuan akhirnya ialah menjaga
animo masyarakat agar tetap tinggi.
Selain mempertahankan baku mutu
yang sudah dicapai, sekolah harus
terus menerus membangun kepercayaan masyarakat, menawarkan
kepada masyarakat suatu kualifikasi sekolah ideal yang ditandai
oleh basis paradigma pendidikan
yang tepat, efektivitas pelaksanaan
pendidikannya, dan menawarkan
keunggulan komparatif maupun
keunggulan kolaboratifnya.
DAFTAR RUJUKAN
Conny R. Semiawan. 2006. Memantapkan Peran LPTK dalam
Peningkatan Profesi Pendidik dan
Tenaga Kependidikan. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Depdiknas. 2000. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah:
Konsep dan Pelaksanaan. Edisi 2:
205
Mendekatkan Sekolah dengan Masyarakat
Revisi. Jakarta: Depdiknas.
Husaini Usman. 2008. Manajemen:
Teori, Praktik & Riset Pendidikan. Edisi Kedua. Jakarta: PT.
Bumi Aksara
Lunenburg, F.C. & Ornstein, A.C.
2004. Educational Administration: Concepts and Practice.
Third Edition. Belmont, CA:
Wadsworth Thomson Learning.
Mutrofin. 2000. Paradigma Baru
Pengelolaan Sekolah. Makalah
disampaikan dalam Seminar
Regional tentang “Paradigma
Baru dalam Pengelolaan Sekolah Menyongsong Otonomi
Pendidikan.” Jember: FKIPUniversitas Jember dan Depdiknas Kabupaten Jember.
Reinhartz, J. & Beach, D.M. 2004.
Educational Leadership Chaning
Schools, Chaning Roles. New York:
Pearson.
206
Robbins, S.P. 2000. Organization
Theor y Structure, Design and
Application. London: PrenticeHall International, Inc.
Suyanto. 1995. Efektivitas dan Kualitas Sekolah. Yogyakarta: Lembaga Penelitian IKIP-Yogyakarta.
Tim BBE. 2002. Pendidikan
Berorientasi Kecakapan Hidup
(Life Skill) Melalui Pendekatan
Broad-Based Education (BBE).
Jakarta: Depdiknas.
Umaedi. 1999. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah:
Sebuah Pendekatan Baru dalam
Pengelolaan Sekolah untuk Peningkatan Mutu. Jakarta: Depdikbud.
Zamroni. 1995. Paradigma Pendidikan dan Implikasinya Terhadap Sistem Pendidikan
Nasional. Educatio Indonesiae, III
(1). Januari-Maret. Jakarta: IKIP
Muhammadiyah Jakarta.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 207-216
MENJADI PENGAWAS SEKOLAH EFEKTIF
Budi Sasmito
Pengawas Sekolah (SMK) Dinas Pendidikan Kota Blitar, Jawa Timur
Abstract
Based on the Regulation of the Minister of National Education
of Indonesia on Standards for School or Madrasah Superintendent
Number 12/2007, educational supervisor is a professional
position that is intended to provide professional development. It
is supporting the principals, teachers, and school institutions.
Supervisor provides the supervision of academic, administrative
and managerial to the education unit. Supervisor is must have
the competencies of personality, managerial supervision,
supervision of academic, evaluation of education, research and
development and social competence. This article suggested, in
order to be an effective school superintendent, the school
superintendent must hold to the authority and at the same time
have the required competence. The school superintendent should
diligently examine what is the authority and always learn to master
the various competencies required position; own creativity in
building the elementary schools; mastering performance
management professionals, and have the ability to develop
instruments with good supervision. Except that he had to run a
variety of supervisory principles that include: scientific,
democratic, cooperative, constructive and creative.
Keywords: Effective superintendent, vocational education
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 207
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
PENDAHULUAN
Berdasarkan filsafat progresivisme sebagaimana dipopulerkan
filosof pendidikan sekaligus seorang pedagog John Dewey, ditandaskan bahwa proses dan hasil pendidikan yang dilalui oleh manusia
haruslah memberi manfaat bagi kehidupannya. Filosofi itu pula yang
digunakan sebagai landasan dasar
dalam menyusun kurikulum pendidikan sekolah. Salah satu pendidikan sekolah yang tinggi persentasenya dalam menerapkan filosofi
tersebut adalah pendidikan kejuruan (vocational education).
Di Indonesia, jalur pendidikan
menengah kejuruan diselenggarakan oleh Sekolah Menengah
Kejuruan (SMK). SMK merupakan
salah satu lembaga pendidikan yang
bertanggungjawab untuk menciptakan sumber daya manusia yang
memiliki kemampuan, keterampilan dan keahlian, sehingga lulusannya dapat mengembangkan
kinerja apabila terjun dalam dunia
kerja. Pendidikan SMK itu sendiri
bertujuan “meningkatkan kemampuan siswa untuk dapat mengembangkan diri sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi dan kesenian, serta menyiapkan siswa untuk memasuki
208
lapangan kerja dan mengembangkan sikap profesional.”
Sekolah Menengah Kejuruan
(SMK) dengan demikian memiliki
tugas dan tanggung jawab menyiapkan lulusannya sebagai calon
tenaga kerja yang profesional pada
tingkat menengah. Oleh karena itu,
SMK dituntut dapat mengembangkan mutu dan relevansinya. Salah
satu langkah yang diambil Departemen Pendidikan Nasional dan
Kebudayaan, terutama oleh Direktorat Pendidikan Menengah Kejuruan dalam rangka mengembangkan mutu dan relevansinya
adalah mendorong semua SMK
agar dapat berfungsi sebagai “Pusat
Pengembangan Budaya Profesional.”
Budaya profesional tersebut
tidak muncul begitu saja tetapi
perlu ditumbuh kembangkan.
Perilaku-perilaku profesional di
SMK tidak lepas dari faktor guru
dan kepemimpinan sekolah. Guru
merupakan komponen sekolah
yang berhubungan langsung dengan
siswa terutama melalui proses
belajar mengajar (PBM). Dalam
proses belajar mengajar guru
berinteraksi dengan siswa. Sesuai
dengan tugasnya, perilaku guru
akan mempengaruhi perilaku
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
siswa. Guru cenderung menjadi
contoh bagi siswanya.
Dari hal-hal tersebut diatas
patut diyakini bahwa guru mempunyai andil yang besar dalam
menanamkan kebiasaan-kebiasaan
kepada siswa. Mengembangkan
budaya profesional di sekolah dapat
dilakukan dengan: (1) menerapkan
sistem penerimaan siswa baru yang
ketat, (2) kegiatan orientasi sekolah
pada siswa baru, (3) memberlakukan tata tertib sekolah dan tugas
kompensasi, (4) melaksanakan
sistem pembelajaran yang mantap,
dan (5) melaksanakan pemasaran
lulusan.
Kebiasaan positif yang menjadi
dasar budaya profesional dapat
tumbuh dan berkembang di SMK
bisa dimulai dengan proses internalisasi nilai-nilai luhur budaya profesional pada diri siswa maupun
guru. Pada diri siswa proses internalisasi tersebut terjadi karena hal-hal
sebagai berikut: (1) penanaman kesadaran tentang nilai-nilai budaya
profesional oleh guru dan pimpinan
sekolah, (2) faktor internal siswa
(dorongan dari diri sendiri), dan (3)
penyesuaian diri dengan lingkungan
yang telah berbudaya profesional.
Di luar itu, dewasa ini pendidikan kejuruan sebagai pranata
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
utama penyiapan SDM kejuruan,
dihadapkan pada berbagai perubahan karakteristik dunia kerja
yang begitu cepat dan beragam.
Perubahan karakteristik dunia kerja
tersebut tidak hanya menuntut angkatan kerja yang memiliki kemampuan dasar yang semakin kuat (Hard
Competence), tetapi juga menuntut
kemampuan mendemonstrasikan
penguasaan kognitif yang lebih
tinggi, disamping kemampuan memecahkan masalah dan keterampilan sosial untuk berinteraksi dan
bekerjasama (Soft Competence).
Dihadapkan pada persoalan
perubahan karakteristik dunia kerja
mendatang, maka diperlukan SDM
yang memiliki kemampuan berpikir
tingkat tinggi, pemecahan masalah
dan bekerja secara kolaboratif,
tidak lagi kompetitif. Dalam kondisi dunia kerja yang penuh ketidakpastian, kemampuan seseorang untuk mengkonstruksi dan
mengadaptasikan pengetahuan,
sikap dan keterampilan sesuai
dengan pengalaman yang dimiliki
dan konteks yang dihadapi menjadi
amat vital. Sumber daya manusia
yang mampu berperan sebagai
faktor keunggulan kompetitif adalah yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki
209
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
keterampilan yang ting gi, berperilaku profesional dan dapat
mengembangkan diri. Pendidikan
Menengah Kejuruan sebagai sub
sistem dari pendidikan nasional
berperan penting dalam menyiapkan sumber daya manusia yang
berkualitas profesional.
Alhasil, apapun jenis keahlian
pendidikan yang dikembangkan di
SMK haruslah bermuara pada
terciptanya lulusan yang memiliki
kemampuan, keterampilan serta
ahli di dalam bidang ilmu tertentu.
Selanjutnya mampu dan terampil
mengaplikasikannya dalam dunia
kerja. Konten itulah yang membedakan SMK dengan SMA.
Banyak faktor yang dapat
mempengaruhi berkembangnya
budaya profesional di SMK dan
pencapaian tujuan SMK. Faktorfaktor yang berkaitan dengan jalannya proses pembelajaran di SMK
sangat mempengaruhi pengembangan budaya profesional tersebut.
Faktor kepala sekolah, guru, karyawan, kepemimpinan, administrasi
dan pengawas sekolah diduga
mempengaruhi berkembangnya
budaya profesional di SMK.
Sebagai suatu contoh soal
pengaruh pengawas sekolah, hasil
penelitian Matondang & Syahrul
210
(2012), menunjukkan bahwa
“efektivitas pengawasan mempunyai hubungan yang positif dan
berarti dengan kinerja guru.” Hal
itu berarti semakin tinggi (baik)
efektivitas pengawasan maka
semakin baik kinerja guru. Selain
itu, “efektivitas pengawasan dan
sikap inovasi secara bersama-sama
mempunyai hubungan yang positif
dan berarti dengan kinerja guru.”
Artinya, efektivitas pengawasan
dan sikap inovasi guru secara bersama-sama mempunyai hubungan
(kontribusi) yang lebih besar dalam
menjelaskan kinerja guru, dibandingkan sendiri-sendiri. Besarnya
sumbangan relatif efektivitas
pengawasan terhadap kinerja guru
adalah sebesar 27,51%. Besarnya
sumbangan efektif dari efektivitas
pengawasan terhadap kinerja guru
adalah sebesar 12,75%.
Jika memang terbukti bahwa
pengawasan dapat mempengaruhi
kinerja SMK, maka pertanyaannya
ialah pengawasan yang bagaimana
dan sosok pengawas seperti apakah
yang diperlukan agar efektif ? Artikel berikut ini mencoba menggagas
bagaimana menjadi pengawas
sekolah yang efektif.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
PEMBAHASAN
Otoritas dan Kompetensi
Secara sederhana, otoritas pengawas sekolah adalah melaksanakan supervisi dengan pengamatan
terhadap pegawai dan kegiatan
pendidikan, serta memastikan
segala sesuatunya berjalan dengan
baik, aman dan sempurna. Hawkins
& Shohet (2006: 225), mengatakan
bahwa “Supervision is a quintessential
interpersonal interaction with the general
goal that one person, the supervisor, meets
with another, the supervisee, in an effort
to make the latter more effective in helping
people.” Kegiatan inti dari pengawasan adalah pertemuan antara
pengawas dengan orang yang diawasi untuk mengusahakan tercapainya tujuan dalam bimbingan
profesional. Pengawasan dapat dipahami sebagai upaya yang diberikan kepada guru dalam forum
pengaturan kolegial, kolaboratif,
dan profesional, sebagai bantuan
khusus dalam meningkatkan pengajaran dan berikutnya meningkatkan prestasi siswa.
Berdasarkan pandangan tersebut dapat dimengerti bahwa pengawasan sekolah dan atau pendidikan adalah bimbingan profesional bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya seperti kepala sekolah.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Bimbingan profesional memberikan kesempatan bagi mereka untuk
berkembang secara profesional.
Guru akan maju dalam pekerjaan
mereka, yaitu untuk memperbaiki
dan meningkatkan belajar siswa.
Pengawas pendidikan bagi
sekolah juga memiliki otoritas yang
harus dijalankan. Pedersen (2007:
4), mengatakan bahwa pengawas
sekolah memainkan otoritas
sebagai: (1) penasihat, berpartisipasi dengan guru dalam eksplorasidiri; penetapan batas-batas, menyadari nilai-nilai dan kemungkinan
bias, dan menghadapi berbagai
emosi yang pasti terjadi; (2) guru,
menanamkan pengetahuan baru;
pemurnian keterampilan sebagaimana yang diminta oleh guru atau
sebagai kesempatan panggilan
untuk bertanya tentang orientasi
teoritis kognitif guru; menunjukkan
dengan contoh sebagai model
peran; memastikan guru memiliki
berbagai pengalaman, dan mengamati serta memberikan umpan
balik pada kinerja; (3) konsultan,
dapat mengadakan pertemuan
mingguan dengan guru; menanggapi permintaan guru khusus untuk
sebuah konferensi atau konseling
tertentu, atau pendekatan/teknik
yang dapat dimanfaatkan guru;
211
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
menekankan komitmen profesional
dan perbaikan.
Itulah sebabnya mengapa semangat yang tersurat dalam Permendiknas Nomor 12 Tahun 2007
tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, mensyaratkan kualifikasi pengawas sebagai guru atau
mantan guru atau kepala sekolah
yang diberi tugas khusus. Pengawas
sekolah telah mengetahui dan
memahami bagaimana mengajar
dan bagaimana memimpin di
sekolah. Sebagai guru, konselor,
dan konsultan, pengawas harus
memiliki empati untuk mengembangkan kemampuan guru.
Pada posisi dengan otoritas
seperti itu, maka ada kewajiban
yang melekat pada pengawas sekolah, yakni melaksanakan tugas:
(1) Menyusun program pengawasan, melaksanakan program pengawasan, melaksanakan evaluasi hasil
pelaksanaan program pengawasan,
dan membimbing dan melatih profesional guru; (2) Meningkatkan
dan mengembangkan kualifikasi
akademik dan kompetensi secara
berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni; (3) Menjunjung
ting gi peraturan perundangundangan, hukum, nilai agama, dan
212
etika; (4) Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa
(Darianta, 2012). Pengawas sekolah atau madrasah dengan demikian
memiliki otoritas memilih dan
menentukan metode kerja; menilai
kinerja guru dan kepala sekolah;
menentukan dan/atau mengusulkan program pembinaan; dan melakukan pembinaan (Fathurrohman
& Ruhyanani, 2015).
UNESCO-International Institute for Educational Planning
(2007: 7), mengatakan bahwa pada
umumnya, pengawasan staf diharapkan untuk memainkan tiga
peran berbeda namun saling melengkapi, yang jelas dalam deskripsi
pekerjaan. Pengawas bertugas mengontrol dan mengevaluasi, memberikan dukungan dan saran, dan
bertindak sebagai agen penghubung. Masing-masing peran memiliki dua bidang aplikasi yang
tidak selalu mudah untuk dipisahkan, yaitu pedagogis dan administratif. Selain itu, supervisor bisa
fokus baik pada masing-masing
guru atau di sekolah secara keseluruhan dan mereka juga dapat memainkan peran penting dalam pemantauan sistem secara keseluruhan (Gambar 1).
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
Gambar 1: Domain Supervisi Pendidikan (Sumber: UNESCOInternational Institute for Educational Planning, 2007)
Selain otoritas sebagai konsekuensi dari kualifikasinya, pengawas sekolah juga diwajibkan menguasai kompetensi yang dipersyaratkan. Kompetensi merupakan
“the requisite knowledge and ability”
(Alfonso, Firth, & Neville, 1981).
Seperti halnya potensi kecerdasan,
kompetensi pada prinsipnya dapat
dipelajari, dideskripsikan, dan keberadaannya bervariasi. Kompetensi ini diperlukan pengawas dalam
rangka melaksanakan tugas-tugas
atau otoritasnya, baik sebagai penasihat, guru, konsultan maupun
sebagai evaluator.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Meminjam gagasan Alfonso,
Firth, & Neville (1981), berangkat
dari konsep kompetensi administrator yang efektif sebagaimana dikemukakan Katz & Mann, sekurangnya ada tiga kompetensi yang
harus dimiliki oleh pengawas sekolah. Pertama, kompetensi teknis
(technical competence). Kompetensi ini
berhubungan dengan pengetahuan
khusus yang diperlukan untuk
memerankan fungsi-fungsi pokok
atau tugas-tugas yang berkenaan
dengan posisi supervisor. Bobot
kompetensi ini sekitar 50%. Kedua,
kompetensi hubungan kemanusiaan (human relation competence).
213
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
Kompetensi ini berkaitan dengan
kemampuan pengawas sekolah
bekerja sama dengan orang lain dan
memotivasi mereka agar bersungguh-sungguh dalam bekerja.
Bobotnya sekitar 30%. Ketiga,
kompetensi manajerial (managerial
competence), yakni kompetensi yang
berkaitan dengan kemampuan
membuat keputusan dan melihat
hubungan-hubungan penting dalam
mencapai tujuan. Bobot kompetensi ini sekitar 20%.
Di Indonesia, berdasarkan Lampiran Permendiknas Nomor 12
Tahun 2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, kompetensi tersebut diperluas. Pengawas
sekokah harus memenuhi kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi
supervisi akademik, kompetensi
evaluasi pendidikan, kompetensi
penelitian dan pengembangan, serta
kompetensi sosial.
Sosok Pengawas Efektif
Sejauh penelusuran literatur
tentang kepengawasan, pada
dasarnya tidak ada tip dan strategi
yang jitu bagaimana menjadi
pengawas sekolah yang efektif.
Perbedaan budaya, pola pikir, dan
kebiasaan yang berbeda antar-
214
bangsa adalah penyebab utamanya.
Akan tetapi dari segi akademik terdapat kaidah-kaidah universal yang
bisa menjembatani segala perbedaan tersebut. Berdasarkan uraian
tentang otoritas dan kompetensi dimuka, maka hal paling mula yang
menjadikan seorang pengawas
efektif adalah berpegang teguh
pada otoritas dan sekaligus memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Pengawas sekolah hendaknya rajin mencermati apa yang
menjadi otoritasnya dan selalu
belajar menguasai berbagai
kompetensi yang dipersyaratkan
jabatannya.
Fathurrohman & Ruhyanani
(2015), merevitalisasi tiga kunci
agar pengawas sekolah sukses dan
efektif. Ketiganya ialah, memiliki
kreativitas dalam membangun
sekolah binaannya, menguasai
manajemen kinerja profesional, dan
memiliki kemampuan untuk
menyusun instrumen supervisi
dengan baik. Kelihatannya tip dan
strategi tersebut sederhana, namun
pada kenyataannya diperlukan
usaha keras yang kontinyu dan
sungguh-sungguh dari pengawas
sekolah agar apa yang menjadi
tugas pokok dan fungsinya bisa
efektif.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Budi Sasmito
Di luar itu, sosok pengawas
sekolah efektif haruslah mampu
menjalankan berbagai prinsip kepengawasan. Ada beberapa prinsip
yang dapat digunakan dalam melaksanakan pengawasan. Prinsipprinsip tersebut ialah ilmiah,
demokratis, kooperatif, konstruktif
dan kreatif. Ilmiah berarti bekerja
secara sistematis, objektif dan
menggunakan ragam instrumen
supervisi. Sistematis berarti mengimplementasikan secara teratur,
perencanaan, dan bekerja secara
berkelanjutan. Objektif berarti
bahwa data yang diperoleh berdasarkan pengamatan nyata. Kegiatan perbaikan atau pengembangan berdasarkan hasil dari kebutuhan guru atau kelemahan
guru, bukan berdasarkan interpretasi pribadi. Penggunaan instrumen dapat memberikan informasi
sebagai umpan balik untuk melakukan penilaian terhadap proses
pembelajaran. Demokratis berarti
menjunjung tinggi prinsip musyawarah, memiliki keramahan yang
kuat dan mampu menerima pendapat orang lain. Kooperatif berarti
semua staf berpartisipasi dalam
pengumpulan data, analisis data
dan pengembangan proses belajar
mengajar. Konstruktif dan kreatif
berarti selalu menimbulkan dan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
membantu inisiatif guru. Pengawas
sekolah harus mendorong guru
untuk aktif menciptakan suasana
di mana setiap orang merasa aman
dan bebas untuk mengembangkan
potensinya.
Di luar ketiga kunci efektivitas
tersebut, setiap pengawas sekolah
hendaknya tidak alergi terhadap
berbagai macam perubahan, tidak
bekerja seperti robot yang hanya
menjalankan apa yang dikehendaki
pemerintah. Intinya, pengawas
sekolah harus mengubah pola pikir
(mind-set) dari pola pikir yang statik
menjadi dinamik (terus berubah),
dari berkompetisi menjadi berkolaborasi, dari instruksi ke negosiasi,
dari mengendalikan ke membantu,
dan dari mekanistis menjadi klinis.
SIMPULAN DAN SARAN
Pengawas sekolah adalah jabatan profesional yang dimaksudkan
untuk memberikan pembinaan
profesional terhadap kepala sekolah, guru, dan lembaga sekolah. Pengawas sekolah melaksanakanb
supervisi akademik, administrasi
dan manajerial terhadap satuan pendidikan. Pengawas harus memenuhi
kompetensi kepribadian, kompetensi supervisi manajerial, kompetensi supervisi akademik, kom215
Menjadi Pengawas Sekolah Efektif
petensi evaluasi pendidikan, kompetensi penelitian dan pengembangan, serta kompetensi sosial.
Agar dapat menjadi pengawas
sekolah yang efektif, maka
pengawas sekolah harus berpegang
teguh pada otoritas dan sekaligus
memiliki kompetensi yang dipersyaratkan. Pengawas sekolah hendaknya rajin mencermati apa yang
menjadi otoritasnya dan selalu belajar menguasai berbagai kompetensi yang dipersyaratkan jabatannya; memiliki kreativitas dalam
membangun sekolah binaannya;
menguasai manajemen kinerja profesional, dan memiliki kemampuan
untuk menyusun instrumen supervisi dengan baik. Kecuali itu ia
harus menjalankan berbagai prinsip
kepengawasan yang meliputi: ilmiah, demokratis, kooperatif,
konstruktif dan kreatif.
216
DAFTAR RUJUKAN
Alfonso, R.J., Firth, G.R. & Neville,
R.F. 1981. Instructional Supervision: A Behavioral System.
Boston: Allyn and Bacon, Inc.
Darianta, N. 2012. Pengawas
Sekolah sebagai Karier. Dalam
Eko Supriyanto, dkk. Supervision: Bunga Rampai Supervisi
Pendidikan, From Control to Help.
Yogyakarta: Fairus Media.
Fathurrohman, M. & Ruhyanani, H.
2015. Sukses Menjadi Pengawas
Sekolah Ideal. Yogyakarta: ARRUZZ MEDIA.
Hawkins, P. & Shohet, R. 2006.
Supervision in the Helping Professions. Berkshire: Open University Press McGraw-Hill
Education.
IIEF-UNESCO. 2007. Role and
Functions of Supervisors. Paris:
IIEF-UNESCO.
Matondang, Z. & Syahrul. 2012.
Hubungan Efektifitas Pengawasan dan Sikap Inovasi dengan Kinerja Guru SMP Sub
Rayon 2 Kota Medan. Jurnal
Tabularasa PPS UNIMED, 9
(1): 97-110.
Pedersen, L. 2007. School Supervisor’s Manual for Internship:
School Counseling Program: SCED
516. Portland: Lewis & Clark
College.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 217-225
MEMBANGUN PROFESIONALISME GURU
BERKELANJUTAN DI SEKOLAH DASAR BERBASIS
PENDEKATAN MERITOKRASI
Endang Padmi Heruningsih
Kepala SD Negeri Kedungmlaten, Lengkong, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract
Building a sustainable teachers professionalism is the duty and
responsibility of the leadership in stages, starting from the
principal, the head of education, up to the head region. In this
context should not be made based on the likes and dislikes; by
corruption, collusion and nepotism; and should not happen
forgery file. This article suggests how to build sustainable
professionalism of teachers through merit system is seen as more
equitable, weighted, and elegant as basing decisions
professionalism of performance-based development.
Keywords: Teachers professionalism, merit system
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 217
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
PENDAHULUAN
Sejak Undang-undang (UU) RI
No. 14/2005 tentang Guru dan
Dosen serta Peraturan Pemerintah
(PP) RI No. 74/2008 tentang Guru
diundangkan, banyak sejawat guru
sekolah dasar (SD) yang melanjutkan studi, baik ke jenjang S1, S2,
bahkan S3. Kedua regulasi tersebut
dipandang memberi angin segar
bagi guru yang berkualifikasi sesuai
yang dipersyaratkan untuk kepentingan membangun profesionalisme
mereka. Lebih-lebih kemudian
pemerintah memberlakukan wajib
sertifikasi bagi guru jika ingin
memenuhi syarat Undang-undang
sebagai guru yang profesional.
Profesi, tidak terkecuali profesi
guru, kata Pribadi sebagaimana
dikutip Oemar Hamalik (1991),
pada hakikatnya adalah suatu pernyataan atau suatu janji terbuka
bahwa seseorang akan mengabdikan dirinya kepada suatu jabatan
atau pekerjaan dalam arti biasa,
karena orang tersebut merasa terpanggil untuk menjabat pekerjaan
itu. Hal itu berarti seorang pekerja
profesional berjanji untuk menunaikan tugas secara sungguhsungguh berdasarkan etika yang
terkandung dalam suatu profesi.
Janji yang bersifat etis demikian
218
mengandung sanksi-sanksi tertentu
apabila dilanggar oleh pemangku
jabatan profesional, yang bisa
berupa sanksi hukum, sanksi sosial,
maupun sanksi moral keagamaan.
Pekerjaan yang dilakukan pekerja
profesional tidak semata-mata
untuk mencari keuntungan pribadi,
tetapi lebih dimaksudkan untuk
menunaikan tugas-tugas dan
pengabdian masyarakat.
Menurut Parkay & Stanford
(1992), orang-orang profesional
memiliki derajat yang tinggi atas
pengetahuan teoretik spesifik,
metode dan teknik yang diterapkannya dalam pekerjaan mereka
sehari-hari. Kaum profesional
terpadu dalam solidaritas kelompok
yang ting gi, yang berasal dari
pendidikan, pelatihan dan ketaatan
pada doktrin-doktrin dan metodemetode yang didalaminya. Masih
menurut Parkay & Stanford (1992),
karakteristik suatu profesi antara
lain mampu menjalankan pekerjaan
dengan derajat otonomi yang tinggi, menempuh suatu pendidikan
dan pelatihan dengan periode yang
panjang sebelum mereka memasuki
praktik profesional, memberikan
jasa yang spesial bagi kliennya dan
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang umumnya tidak dimiliki
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
oleh mereka yang bukan profesional.
Jadi, berdasarkan pengertian
dan karakteristik yang terkandung
dalam suatu profesi, maka orangorang yang tergolong profesional
adalah mereka yang memiliki
keahlian spesifik tinggi dengan
penguasaan teoretik dan metode
atau prosedur kerja tertentu yang
digunakannya dalam memberikan
pelayanan atau pekerjaan seharihari. Profesi guru termasuk kategori
profesional. Sebab tugas dan kewajiban guru tidak dapat dilakukan
oleh sembarang pekerja. Profesionalisme guru hanya bisa dicapai
melalui suatu proses pendidikan
yang terprogram secara khusus dan
membutuhkan waktu relatif lama,
termasuk di dalamnya adalah
pelatihan atau praktek mengajar di
sekolah.
Menurut Parkay & Stanford
(1992), ada lima basis pengetahuan
profesionalisme guru, yaitu pengetahuan tentang diri dan siswa, pengetahuan tentang bahan ajar, pengetahuan tentang teori dan penelitian pendidikan, keterampilan teknologi pembelajaran, dan kemampuan komunikasi antarpribadi.
Kelima basis pengetahuan tersebut
tentu saja sudah termaktub dalam
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
berbagai jenis kompetensi yang
harus dimiliki oleh profesi guru
sebagaimana diatur Undangundang, mulai dari kompetensi profesional, kompetensi pedagogik,
kompetensi kepribadian, dan
kompetensi sosial.
Salah satu kebijakan yang
diintroduksikan oleh pemerintah
adalah pembangunan dan pengembangan profesionalisme guru
dilakukan secara berkelanjutan.
Akan tetapi dalam praktiknya
banyak keluhan datang dari para
guru, terutama dari teman sejawat
guru SD karena sebagian besar
mentok karirnya. Meskipun hal itu
membutuhkan penelitian yang
lebih mendalam, sudah pada tempatnya jika diusulkan agar praktik
membangun profesionalisme yang
selama ini masih merugikan guru
dihentikan. Membangun profesionalisme guru tidak boleh berdasarkan kedekatan semata dengan
pimpinan atau kepala daerah,
karena faktor suka atau tidak suka,
lebih-lebih jika diharuskan berbekal gratifikasi atau korupsi (suap
menyuap). Di sisi lain guru juga
tidak boleh memalsukan berbagai
persyaratan kenaikan pangkat dan
jabatan atau membeli dengan cara
instan.
219
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
Artikel ini mendeskripsikan
perlunya membangun profesionalisme guru berkelanjutan dengan
sistem meritokrasi. Sistem yang
dipandang lebih adil, berbobot dan
elegan demi kemajuan karir guru
profesional yang bermutu.
PEMBAHASAN
Profesionalisme Guru
Sebagaimana ditulis Moh. Uzer
Usman (1991) dalam Sudarwan
Danim (2010), guru merupakan
suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus sebagai
guru. Jenis pekerjaan ini mestinya
tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang di luar bidang kependidikan. Berdasarkan pandangan
tersebut seharusnya setiap penyelenggara dan pengelola satuan pendidikan, baik negeri maupun swasta
tidak boleh mengangkat sembarang
orang menjadi guru, dengan alasan
otonomi daerah sekali pun. Jika kemudahan mengangkat sembarang
orang menjadi guru terus dilakukan,
maka dampaknya akan luar biasa.
Selain menumpulkan kembali profesionalisme profesi guru, juga
akan menyebabkan runtuhnya profesionalitas profesi (deskilled profession) yang berakhir pada tidak
220
tercapainya tujuan pendidikan
nasional.
Sehubungan dengan profesionalisme profesi guru, unsur terpenting yang relevan dipenuhi
sebagai persyaratan umum untuk
menjadi guru minimal ada tiga hal,
yaitu, kualifikasi akademik; penguasaan sejumlah kompetensi
sebagai keterampilan atau keahlian
khusus yang diperlukan untuk
melaksanakan tugas mendidik dan
mengajar secara efektif dan efisien;
serta sertifikasi bagi para guru yang
dipandang memenuhi kedua syarat
sebelumnya; dan tentu saja harus
sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan
nasional (Oding Supriadi, 2011).
Pembangunan dan pengembangan guru meliputi pembinaan
dan pengembangan profesi dan
karir. Pembangunan dan pengembangan profesi guru meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi
kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional. Pembangunan dan pengembangan profesi
guru dilakukan melalui jabatan
fungsional. Pembangunan dan pengembangan karir guru meliputi
penugasan, kenaikan pangkat, dan
promosi. Pembangunan keprofesi-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
an berkelanjutan adalah pengembangan kompetensi guru yang dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan,
bertahap, berkelanjutan dan dapat
meningkatkan profesionalismenya.
Pembangunan profesionalisme
guru berkelanjutan sudah diatur
oleh Keputusan Presiden No. 87/
1999 tentang Rumpun Jabatan
Fungsional Pegawai Negeri Sipil
(PNS); Undang-undang (UU) No.
20/2003 tentang Sisdiknas; UU
No. 14/2005 tentang Guru dan
Dosen; PP No. 74/2008 tentang
Guru; Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi No. 16/
2009 tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya; dan
Peraturan Bersama Mendiknas dan
Kepala BKN No: 03/V/PB/2010,
Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya.
Seorang kepala sekolah, Kepala
Dinas, dan pimpinan daerah berbagi tanggung jawab dalam membangun profesiolisme guru berkelanjutan. Oleh karena itu ketiga
pemimpin tersebut wajib memahami semua regulasi yang bertalitemali dengan pembangunan
profesionalisme guru berkelanjutan
sehingga terhindar dari berbagai
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
praktik yang merugikan karir
profesional guru.
Pendekatan Meritokrasi
Istilah meritokrasi secara
umum berasal dari kata merit atau
manfaat. Meritokrasi sebenarnya
menunjuk kepada bentuk sistem
politik yang memberikan penghargaan lebih kepada mereka yang
berprestasi atau berkemampuan
yang dapat dipakai untuk menentukan suatu jabatan tertentu. Meritokrasi kerap kali dianggap sebagai
suatu bentuk sistem masyarakat
yang sangat adil dengan memberikan tempat kepada mereka yang
berprestasi untuk duduk sebagai
pemimpin, tetapi tetap dikritik
sebagai bentuk ketidakadilan yang
kurang memberi tempat bagi mereka yang kurang memiliki kemampuan untuk tampil memimpin.
Atau jika dalam dunia kerja arti
dari meritokrasi adalah sebuah
penghargaan atau imbalan (reward),
atau bayaran/gaji (sallary) yang diberikan kepada pekerja/karyawan
disesuaikan dengan keahliannya/
jabatannya atau prestasinya. Dalam
pengertian khusus meritokrasi
kerap dipakai guna menentang
birokrasi yang sarat KKN (korupsi,
kolusi, dan nepotisme) terutama
221
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
pada aspek nepotisme. Dalam
keadaan meritokrasi yang murni,
gen akan menentukan siapa yang
menang dan kalah.
Dari kosa kata meritrokasi
lahirlah apa yang disebut sebagai
sistem merit. Istilah sistem merit
(merit system) sendiri dalam konteks
manajemen sumber daya manusia
(SDM) selama ini telah diartikan
secara beragam oleh berbagai pihak.
Bagi sebuah organisasi bisnis, termasuk di Indonesia, sistem merit
digunakan khususnya dalam konteks manajemen remunerasi (penggajian/pengupahan) (Agus Darminto Usodo, 2006). Bagi organisasi pemerintah, sistem merit diartikan sebagai kebijakan dan sistem
dimana kenaikan gaji dan imbalan
(rewards) sepenuhnya didasarkan
pada tingkat prestasi kerja (kinerja)
pegawai (Achmad S. Ruky, 2002).
Sistem meritokrasi mengandaikan, siapa saja personal yang berprestasi akan naik karirnya dan
siapa saja personal yang tidak berprestasi akan mandek atau turun
karirnya. Pengelolaan SDM yang
didasarkan pada prestasi (merit),
merupakan segenap perilaku kerja
pegawai dalam wujudnya sebagai
baik atau buruk, hal mana berpengaruh langsung pada naik
222
turunnya karir jabatan pegawai
(Hartanto Brotoharsojo, 2004).
Oleh karena itu, dalam sistem
merit perlu dilakukan perumusan
kebijakan, seperti penilaian (menghasilkan penilaian yang optimal dan
objektif), karir (memberikan
kejelasan dan kepastian arah jenjang
karir atau promosi, rotasi atau
demosi), dan pelatihan (training)
yang meningkatkan secara optimal
aspek pengetahuan dan keterampilan serta sikap kerja. Artinya,
dalam sistemn merit, siapa saja
personal yang berprestasi akan naik
karirnya dan siapa saja personal
yang tidak berpertasi akan mandek,
stagnan, bahkan turun karirnya
Sistem merit atau meritokrasi
pada prinsipnya merupakan aplikasi dari manajemen kinerja. Menurut Setyo Arinanto (2004), kinerja merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan
suatu kegiatan (program) atau kebijakan organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi, keluaran
hasil kerja organisasi dalam mewujudkan tujuan strategis yang
ditetapkan organisasi, kepuasan
pelanggan, serta kontribusinya
terhadap perkembangan ekonomi
masyarakat. Kinerja dapat dinilai
dengan ukuran penilaian yang
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
didasarkan pada indikator berikut:
1. Masukan (input), yaitu tolok
ukur kinerja berdasarkan tingkat atau besaran sumber dana,
sumber daya manusia, material,
waktu, teknologi, dan sebagainya yang digunakan untuk
melaksanakan program dan
atau kegiatan.
2. Keluaran (output), yaitu tolok
ukur kinerja berdasarkan produk (barang atau jasa) yang
dihasilkan dari program atau
kegiatan sesuai dengan masukan yang digunakan.
3. Hasil (outcome), yaitu tolok ukur
kinerja berdasarkan tingkat
keberhasilan yang dapat dicapai
berdasarkan keluaran program
atau kegiatan yang sudah
dilaksanakan.
4. Manfaat (benefit), yaitu tolok
ukur kinerja berdasarkan tingkat kemanfaatan yang dapat
dirasakan sebagai nilai tambah
bagi masyarakat dan pemerintah daerah dari hasil.
5. Dampak (impact), yaitu tolok
ukur kinerja berdasarkan dampaknya terhadap kondisi makro
yang ingin dicapai dari manfaat.
Manajemen dengan pendekatan
kinerja adalah suatu sistem yang
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
mengutamakan upaya pencapaian
hasil kerja atau produk dari perencanaan alokasi biaya atau masukan
yang ditetapkan. Manajemen yang
disusun dengan pendekatan kinerja
dengan demikian dapat dijelaskan
sebagai berikut: “Suatu sistem yang
mengutamakan upaya pencapaian
hasil kerja (output) dari perencanaan
alokasi biaya (input) yang ditetapkan. Keluaran (output) menunjukkan produk (barang atau jasa) yang
dihasilkan dari program atau kegiatan sesuai dengan masukan
(input) yang digunakan. Masukan
(input) adalah besarnya sumber
dana, sumber daya manusia,
material, waktu, dan teknologi yang
digunakan untuk melaksanakan
program atau kegiatan sesuai dengan masukan (input) yang digunakan. Kinerja ditunjukkan oleh
hubungan antara masukan dengan
keluaran.”
Pertanyaannya ialah, apakah
pembangunan profesionalisme
guru berkelanjutan di sekolah dasar
sudah berdasarkan meritrokasi?
Diperlukan penelitian yang mendalam untuk menjawab pertanyaan
tersebut. Sebab seperti diketahui,
kewenangan pembangunan profesionalisme guru berkelanjutan di
sekolah dasar (SD) merupakan
223
Membangun Profesionalisme Guru Berkelanjutan di SD Berbasis Pendekatan Meritokrasi
otonomi daerah Kabupaten/Kota.
Dengan demikian pelaksanaannya
pun sangat tergantung pimpinan,
yakni Bupati/Wali Kota tempat di
mana guru bertugas.
kasus gugatan atas mutasi guru
tanpa dasar yang dimenangkan oleh
para guru di daerah merupakan
bukti bahwa sistem merit belum
berjalan sempurna.
Sebagai public servant, guru tidak
dibiarkan melaksanakan profesinya
sekehendak hati. Setiap pekerja
profesional, termasuk guru memerlukan penilaian kinerja. Penilaian
kinerja guru adalah penilaian dari
tiap butir kegiatan tugas utama
guru dalam rangka pembinaan karir
kepangkatan dan jabatannya. Guru
dalam lingkungan pendidikan yang
diselenggarakan oleh pemerintah,
pemerintah provinsi, maupun oleh
pemerintah daerah dan swasta
memiliki kewajiban yang sama
untuk tunduk kepada aturan main
yang diberlakukan untuk penilaian
kinerja dimaksud. Penilaian kinerja
untuk guru mengacu kepada ketentuan tentang jabatan fungsional
guru dan angka kreditnya.
Artinya, Keputusan Presiden
No. 87/1999 tentang Rumpun
Jabatan Fungsional Pegawai Negeri
Sipil (PNS); Undang-undang (UU)
No. 20/2003 tentang Sisdiknas; UU
No. 14/2005 tentang Guru dan
Dosen; PP No. 74/2008 tentang
Guru; Peraturan Menteri Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara
dan Reformasi Birokrasi No. 16/
2009 tentang Jabatan Fungsional
Guru dan Angka Kreditnya; dan
Peraturan Bersama Mendiknas dan
Kepala BKN No: 03/V/PB/2010,
Nomor: 14 Tahun 2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya,
belum berjalan secara sempurna.
Adalah benar bahwa hasil
pembangunan profesionalisme
guru berkelanjutan pada akhirnya
ditentukan oleh Direktorat Tenaga
Kependidikan di Kemdiknas,
Jakarta. Akan tetapi sudah jamak
terjadi bahwa prosesnya di daerah
belum sepenuhnya memenuhi
standar meritokrasi. Sejumlah
224
SIMPULAN DAN SARAN
Membangun profesionalisme
guru berkelanjutan merupakan
kewajiban dan tanggung jawab
pimpinan secara bertingkat, mulai
dari kepala sekolah, kepala dinas
pendidikan, hingga kepala daerah.
Pada konteks tersebut tidak boleh
dilakukan berdasarkan rasa suka
atau tidak suka; berdasarkan
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Endang Padmi Heruningsih
korupsi, kolusi dan nepotisme; dan
tidak boleh terjadi pemalsuan
berkas. Artikel ini menyarankan
bagaimana membangun profesionalisme guru berkelanjutan
melalui sistem merit yang dipandang lebih adil, berbobot, dan
elegan karena mendasarkan keputusan pembangunan profesionalisme berdasarkan prestasi kerja.
DAFTAR RUJUKAN
Achmad S. Ruky. 2002. Manajemen
Penggajian dan Pengupahan untuk
Karyawan Perusahaan. Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka Utama.
Agus Darminto Usodo. 2006. Sistem
Merit: Teori, Aplikasi dan Kasus.
Bandung: CV. Mandar Maju.
Arief Yantinarto. 2005. Sistem
Penilaian Kinerja: Manajemen
Unjuk Kerja. Bandung: Penerbit
Ganesha.
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
Hartanto Brotoharsojo. 2004. Merit
System bagi Organisasi Publik.
Jakarta: PT. Elex Media Komputindo.
Setyo Arinanto. 2004. Manajemen
Berbasis Kinerja: Teori dan Praktek. Bandung: CV. Mandar
Maju.
Sudarwan Danim. 2010. Profesionalisasi dan Etika Profesi Guru.
Bandung: Penerbit ALFABETA.
Oding Supriadi. 2011. Profesi
kependidikan. Yog yakarta:
LakBang PRESSindo.
Oemar Hamalik. 1991. Pendidikan
Guru: Konsep dan Strategi.
Bandung: CV. Mandar Maju.
Parkay, F.W. & Stanford, B.H.
1992. Becoming Teacher: Accepting
the Challenge of a Profession.
Boston: Allyn and Bacon.
225
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 227-239
MENINGKATKAN KEMAMPUAN GURU IPS SMP DALAM
MENGAPLIKASIKAN PEMBELAJARAN BERBASIS
MASALAH MELALUI LESSON STUDY
Dyah Ayundawati
Pengawas SMP Kabupaten Blitar, Jawa Timur
Abstract
In problem-based learning (PBL) courses, students work with
classmates to solve complex and authentic problems that help
develop content knowledge as well as problem-solving, reasoning,
communication, and self-assessment skills. These problems also
help to maintain student interest in course material because
students realize that they are learning the skills needed to be
successful in the field. Therefore social science teachers must
master the ability to implement the learning strategy. Lesson Study
is a Japanese model of teacher professional development in which
small groups of teachers collaboratively plan, teach and revise a
lesson to improve the quality of their teaching as well as to enrich
students’ learning experiences. The objective of this action
research is to improve the ability of social studies teachers at
junior high school to practice or implementation of problem-based
learning or instruction through lesson study. The result of this
research shows that the social studies learning with problem based
learning model through lesson study activity can help teachers to
develop sets of learning equipment and give the better learning.
It can be shown in the increasing observation result on pretest
and performance test in before and after action research.
Keywords: Problem-based learning, lesson study, social studies, junior
high school teachers
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 227
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran
Berbasis Masalah melalui Lesson Study
PENDAHULUAN
Tujuan instruksional umum dan
tujuan instruksional khusus dalam
setiap strategi pembelajaran apa
pun cenderung mirip dan mungkin
bisa sama, namun dalam Pembelajaran Berbasis Masalah (PBM)
merupakan translasi dari ProblemBased Instruction/Learning­ isi dan
struktur program berbeda. PBM dimulai dengan asumsi bahwa belajar
dan pembelajaran adalah proses
aktif, terpadu, dan konstruktif yang
dipengaruhi oleh faktor-faktor
sosial dan kontekstual (Barrows,
1996; Gijselaers, 1996). Berdasarkan kajian tentang literatur,
Wilkerson & Gijselaers (1996: 101102), menyatakan bahwa PBM
ditandai dengan pendekatan yang
berpusat pada siswa, guru sebagai
“fasilitator, bukan penyebar ilmu
pengetahuan” dan membuka masalah yang “berfungsi sebagai stimulus
awal dan kerangka kerja untuk belajar.” Pengajar juga berharap untuk
mengembangkan kepentingan intrinsik siswa dalam materi pelajaran, menekankan belajar sebagai
lawan mengingat, mempromosikan
tugas kelompok, dan membantu
siswa menjadi pembelajar mandiri.
PBM “berpusat pada siswa” karena siswa diberi kebebasan untuk
228
mempelajari topik-topik yang menarik bagi mereka dan menentukan
yang paling ingin mereka pelajari.
Melalui PBM siswa berkewajiban
mengidentifikasi kebutuhan belajar, rencana bantuan untuk kelas
mereka, memimpin diskusi kelas,
dan menilai pekerjaan mereka sendiri dan pekerjaan teman sekelas
mereka (Gallagher, 1997). Siswa
mengembangkan kesadaran yang
lebih mendalam dan kepemilikan
konsep penting dalam pelajaran
dengan kegiatan bekerja, serta mengenali prinsip dasar pendekatan
konstruktivis dalam belajar. Selain
menekankan belajar dengan “melakukan,” PBM menuntut siswa
untuk menyadari pembentukan
metakognitif (Gijselaers, 1996).
Artinya, siswa harus belajar untuk
menjadi sadar akan apa informasi
yang mereka sudah ketahui tentang
suatu masalah, apa informasi yang
mereka perlu ketahui untuk memecahkan masalah, strategi yang digunakan untuk memecahkan masalah, dan dapat mengartikulasikan
pikiran seperti membantu siswa
menjadi lebih efektif memecahkan
masalah secara mandiri.
PBM adalah seperangkat model
mengajar yang menggunakan masalah sebagai fokus untuk mengem-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
bangkan keterampilan pemecahan
masalah, materi, dan pengaturandiri (Hmelo-Silver, 2004). Pembelajaran dengan PBM memiliki
tiga karakteristik: (1) pelajaran berfokus pada memecahkan masalah.
Pelajaran selalu berawal dari satu
masalah dan memecahkannya adalah fokus pelajarannya sehingga
memecahkan masalah adalah tujuan dari masing-masing pelajaran;
(2) tanggung jawab untuk memecahkan masalah bertumpu pada
siswa. Siswa bertanggung jawab
untuk menyusun strategi dan memecahkan masalah, biasanya dilakukan secara berkelompok, yang
cukup kecil (tidak lebih dari empat)
sehingga semua siswa terlibat dalam proses itu; (3) dan Guru mendukung proses saat siswa mengerjakan masalah. Guru menuntun
upaya siswa dengan mengajukan
pertanyaan dan memberikan dukungan pengajaran lain saat siswa
berusaha memecahkan masalah.
Karakteristik ini penting dan menuntut keterampilan serta pertimbangan yang sangat profesional
guna memastikan kesuksesan pelajaran. Jika guru tidak memberikan
cukup bimbingan dan dukungan,
siswa akan gagal, membuang waktu, dan mungkin memiliki konsepsi
keliru. Jika guru memberikan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
terlalu berlebihan, siswa tidak akan
mendapatkan banyak pengalaman
pemecahan masalah. Menarik garis
batas di tempat yang tepat menuntut pertimbangan profesional yang
cermat (Eggen & Kauchak, 2012).
Senada dengan pandangan di
atas, pelaksanaan pembelajaran
dengan menggunakan model PBM
setidaknya memenuhi beberapa
karakteristik, diantaranya dalam
proses pembelajaran harus dimulai
dengan adanya permasalahan; isi
dan pelaksanaan pembelajaran harus dapat menarik perhatian siswa,
guru hanya bertindak sebagai pemandu dalam kelas, siswa diberi
waktu untuk berfikir atau mencari
informasi untuk mendapatkan jawaban dari permasalahan dan dalam proses pembelajaran tersebut
kekreatifan mereka dalam berfikir
harus dapat didorong, menciptakan
situasi belajar yang nyaman dan
santai untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam berfikir dan
mencari jawaban dari permasalahan secara mandiri (Akinoglu &
Tandogan, 2007).
Model PBM hasil karya John
Dewey ini mendorong guru untuk
melibatkan siswa diberbagai proyek
berorientasi masalah dan membantu mereka menyelidiki suatu
229
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran
Berbasis Masalah melalui Lesson Study
permasalahan. Karakteristik PBM
sebagaimana dikemukakan oleh
Arends (2007), antara lain adanya
pertanyaan atau masalah perangsang, pembelajaran berbasis masalah mengorganisasikan pengajaran
diseputar pertanyaaan dan masalah
yang penting dan bermakna bagi
siswa.
Untuk menerapkan PBM di
kelas, terutama dibidang ilmu pengetahuan sosial, kebanyakan guru
mengalami kesulitan, karena dalam
PBM guru harus menjadi instruktur
atau tutor atau “pelatih kognitif.”
Sedangkan diketahui, literatur yang
bisa dipelajari lebih banyak di bidang sains (IPA) atau bidang kedokteran/kesehatan, awal mula strategi
PBM ditemukan atau diterapkan.
Hasil supervisi penulis terhadap sejumlah guru IPS di Kabupaten
Blitar, Jawa Timur, menunjukkan
betapa gagapnya para guru terhadap PBM. Atas dasar itulah penulis melakukan penelitian tindakan guna meningkatkan kemampuan para guru IPS SMP di Kabupaten Blitar dalam mengaplikasikan
PBM melalui lesson study.
Di dalam kelas, lesson study adalah suatu pendekatan pengembangan profesional untuk “belajar
dari praktik.” Selama lesson study,
230
guru merumuskan tujuan jangka
panjang untuk belajar dan pengembangan siswa; bekerja secara kolaboratif atas “riset pembelajaran”
untuk membawa tujuan-tujuan
hidup; mengamati dokumen dan
membahas tanggapan siswa untuk
pelajaran ini; serta merevisi pelajaran (dan pendekatan yang lebih luas
untuk pengajaran) (Lewis, 2002;
Stigler & Hiebert, 1999). Keempat
kegiatan–perencanaan, mengamati,
menganalisis belajar siswa, dan merevisi pembelajaran–merupakan
siklus penyelidikan kolaboratif berpusat pada pembelajaran kelas,
membuat proses lesson study konsisten dan lebih berkualitas.
Lesson study merupakan model
Jepang untuk pengembangan profesional guru di mana kelompokkelompok kecil dari guru secara kolaboratif merencanakan, mengajar
dan merevisi pembelajaran untuk
meningkatkan kualitas pengajaran
mereka serta untuk memperkaya
pengalaman belajar siswa (Lewis &
Tsuchida, 1998; Lewis, 2002). Para
peneliti di AS menyarankan lesson
study karena efektif untuk pengembangan profesional guru (DarlingHammond & McLaughlin, 1995;
Putnam & Borko, 2000).
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
Berdasarkan pandangan tersebut, pada prinsipnya lesson study
dapat dijadikan salah satu metode
untuk guru dalam melakukan tukar
pikiran dalam penyusunan dan pengembangan rencana pembelajaran
IPS terpadu. Berbeda dengan lesson
study di kelas, lesson study untuk guru
merupakan suatu kegiatan yang
dilakukan oleh guru dengan saling
bekerjasama merencanakan kegiatan untuk meningkatkan kualitas
pembelajaran yang dilakukan guru
dan aktivitas belajar siswa, serta
akan menjadikan guru yang profesional dengan desain pelaksanaan
yang baik (Mustikasari, 2008).
Menurut Sudrajat (2008), lesson
study merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan proses dan
hasil pembelajaran yang dilaksanakan secara kolaboratif dan berkelanjutan. Lesson study relevan dilakukan karena upaya-upaya peningkatan kualitas kemampuan
guru yang telah dilakukan pemerintah melalui berbagai program
pelatihan guru, umumnya sebatas
untuk peningkatan pemahaman
materi pelajaran, sedangkan pengenalan metode pembelajaran dilakukan terpisah dari materi pelajaran.
Lesson study yang diterapkan sebagai
model bimbingan mahasiswa calon
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
guru terbukti dapat meningkatkan
kemampuan mahasiswa dalam
menerapkan strategi pembelajaran
(Rustono, 2007).
Di bawah kerja sama antara
Pemerintah Indonesia dan JICA-Jepang, tiga universitas (UPI Bandung, UNY Yogyakarta dan UM
Malang) melakukan proyek yang
disebut IMSTEP-JICA untuk meningkatkan praktik yang baik dibidang pembelajaran matematika
(dan IPA) dengan memberdayakan
dan mengembangkan pendidikan
guru. Mulai tahun 1999 dan berlangsung hing ga tahun 2005,
piloting kegiatan proyek diperluas
melalui lesson study tiga klaster di
Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Hasil studi secara signifikan
menunjukkan bahwa ada perbaikan
dari praktek proses belajar mengajar matematika dalam hal metodologi pengajaran, kompetensi
guru, prestasi siswa, evaluasi alternatif, sumber daya pembelajaran
dan silabus (Marsigit, 2014; Karim,
2006).
Tiga bagian utama dari lesson
study adalah bagian pertama, yaitu
identifikasi tema penelitian (research
theme), bagian kedua pelaksanaan
sejumlah research lesson yang akan
mengeksplorasi research theme, dan
231
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran
Berbasis Masalah melalui Lesson Study
bagian ketiga adalah refleksi proses
pelaksanaan lesson study (Isoda,
2010). Melalui tiga tahapan yang
ada dalam lesson study, yaitu perencanaan (plan), pelaksanaan (do) dan
refleksi (see), guru yang berkolaborasi dalam penyusunan rencana
pembelajaran dapat saling bertukar
pikiran untuk mendapatkan solusi
untuk permasalahan yang dihadapi.
Berdasarkan uraian dimuka dirumuskan masalah, bagaimanakah
lesson study meningkatkan kemampuan guru IPS SMP dalam mengaplikasikan strategi pembelajaran
berbasis masalah? Tujuan yang
ingin dicapai dalam penelitian ini
dengan demikian ialah meningkatkan kemampuan guru IPS SMP
dalam mengaplikasikan pembelajaran berbasis masalah melalui lesson
study. Adapun hipotesis tindakan
dirumuskan “jika dilakukan lesson
study secara benar dan intensif,
maka kemampuan guru IPS SMP
dalam mengaplikasikan strategi
pembelajaran berbasis masalah
akan meningkat.”
METODE PENELITIAN
Penelitian dilakukan dengan
metode penelitian tindakan (Action
Research), yang menurut Mills
(2011), adalah penelitian sistematis
232
apapun yang dilakukan oleh guru,
administrator, konselor, pengawas,
atau yang lain dengan maksud mengajar dan mempelajari proses atau
lingkungan untuk tujuan mengumpulkan informasi tentang bagaimana sekolah mereka khususnya
beroperasi, bagaimana mengajar,
dan bagaimana siswa belajar. Penelitian tindakan dimulai dengan satu
masalah atau topik sentral. Masalah dalam penelitian ini ialah kemampuan merencanakan dan melaksanakan PBM. Tercakup disini
beberapa observasi atau pemantauan praktik-praktik terkini, diikuti
dengan pengumpulan dan sintesis
dari informasi dan data. Akhirnya,
beberapa jenis tindakan diambil,
yang kemudian berfungsi sebagai
basis bagi tahap berikut dari penelitian tindakan.
Subjek penelitian tindakan ini
adalah para guru IPS SMP di wilayah Kabupaten Blitar, Jawa Timur
dengan partisipan teranalisis sebanyak 25 orang guru. Penelitian
dilaksanakan selama 4 minggu pada
periode bulan Agustus-September
2015. Sebelum melaksanakan lesson
study, dilakukan prates kemampuan
mereka mengenai PBM, terutama
dari segi kognitif. Dua minggu
pertama adalah siklus I, dan dua
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
minggu berikutnya adalah siklus II.
Selama pelaksanaan dilakukan observasi dan tes kinerja (performance
test) di akhir siklus. Hasilnya digabung dan dikategorikan menjadi 5
kategori, yaitu sangat baik, baik,
cukup baik, kurang baik, dan sangat
kurang baik.
Materi PBM yang ditritmenkan
dalam penelitian ini adalah: (1) kemampuan merencanakan PBM
yang meliputi kemampuan mengidentifikasi topik, kemampuan menentukan tujuan belajar, kemampuan mengidentifikasi masalah, dan
kemampuan mengakses materi; (2)
kemampuan menerapkan (mengaplikasikan) PBM yang meliputi:
kemampuan mereview dan menyajikan masalah (menarik perhatian siswa dan menarik mereka ke
dalam pelajaran, secara informal
menilai kemampuan awal, memberikan fokus konkret untuk pelajaran), kemampuan menyusun
strategi (memastikan sebisa mungkin bahwa siswa menggunakan pendekatan berguna untuk memecahkan masalah), kemampuan nenerapkan strategi (memberi siswa pengalaman untuk memecahkan masalah), dan kemampuan membahas
dan mengevaluasi hasil (memberi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
siswa umpan balik tentang upaya
mereka) (Eg gen & Kauchak,
2012).
Topik IPS yang dijadikan objek
PBM bebas sesuai dengan kurikulum yang berlaku dan sepanjang
pengalaman pembelajaran guru.
Sebab lesson study mempersyaratkan
adanya “pengalaman pembelajaran”
(lesson research) sebagai bagian yang
akan di-share (dibagi bersama)
sebagai lesson study.
Dalam pelaksanaannya, guru
dibagi menjadi 5 kelompok dengan
anggota antara 4-6 orang. Masingmasing kelompok melakukan aktivitas tiga tahapan yang ada dalam
lesson study, yaitu perencanaan
(plan), pelaksanaan (do) dan refleksi
(see), guru yang berkolaborasi dalam penyusunan rencana pembelajaran dapat saling bertukar pikiran
guna mendapatkan solusi bagi
permasalahan yang dihadapi.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian ini merupakan
ringkasan dari data observasi dan
tes kinerja yang dilakukan peneliti.
Data hasil penelitian dipaparkan
dalam Tabel 1 dan Tabel 2 berikut
ini.
233
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran
Berbasis Masalah melalui Lesson Study
Tabel 1. Persentase Kemampuan Menguasai PBL pada Pra Siklus dan
Siklus I
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kategori
Kemampuan
Jumlah
Guru
Sangat baik
Baik
Cukup baik
Kurang baik
Sangat kurang baik
Jumlah
1
4
8
12
0
25
Pra
Siklus
(%)
4
16
32
48
0
100
Jumlah Siklus I
Guru
(%)
5
11
5
3
1
25
20
44
20
12
4
100
Tabel 2. Persentase Kemampuan Menguasai PBL pada Siklus I dan
Siklus II
No.
1.
2.
3.
4.
5.
Kategori
Kemampuan
Sangat baik
Baik
Cukup baik
Kurang baik
Sangat kurang baik
Jumlah
frekuensi
5
11
5
3
1
25
Siklus I
Siklus II
frekuensi
(%)
(%)
20
17
68
44
5
20
20
1
4
12
2
8
4
0
0
100
25
100
Pembahasan
Berdasarkan data sebagaimana
dipaparkan pada Tabel 1 dan Tabel
2 nampak bahwa pelaksanaan lesson
study efektif dalam meningkatkan
kemampuan guru IPS SMP dalam
melaksanakan PBM. Berdasarkan
Tabel 1 dapat dilihat, sebelum dilakukan perlakuan (tahap pra
siklus), guru yang berkemampuan
sangat baik dibidang PBM hanya 1
(satu) orang. Pada akhir siklus I
234
meningkat menjadi 5 orang. Guru
yang berkemampuan Baik dibidang
PBM sebelum siklus I hanya 4 orang
dan meningkat menjadi 11 orang
pada akhir siklus I. Guru yang berkemampuan Cukup Baik dibidang
PBM sebelum siklus I ada 8 orang
dan berkurang menjadi 5 orang pada
akhir siklus I. Guru yang berkemampuan Kurang Baik dibidang
PBM sebelum siklus I ada 12 orang
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
dan berkurang menjadi 3 orang pada
akhir siklus I. Namun yang menarik, di pra siklus yang sebelumnya
tidak ada guru yang berkemampuan
Sangat Kurang Baik, justeru di
akhir siklus I ada 1 guru yang ber-
kemampuan Sangat Kurang Baik.
Secara lebih lengkap barangkali
perlu diperhatikan hasil pada Tabel
2 yang membandingkan hasil antara
siklus I dan siklus II. Hal itu digambarkan dalam grafik berikut ini.
Gambar 1. Grafik Perbandingan Kemampuan PBM Guru
pada Siklus I dan II
Keterangan:
1 = Sangat Baik
2 = Baik
3 = Cukup Baik
4 = Kurang Baik
5 = Sangat Kurang Baik
Berdasarkan Tabel 2 dan Gambar 1 di atas nampak jelas perbedaan kemampuan guru dalam merencanakan dan melaksanakan PBM.
Sesuai dengan tabel dan gambar
tersebut dapat dilihat, guru yang
berkemampuan Sangat Baik diVolume 2, Nomor 1, Januari 2016
bidang PBM yang pada siklus I adalah 5 orang, meningkat menjadi 17
orang pada akhir siklus II. Guru
yang berkemampuan Baik dibidang
PBM pada siklus I sebanyak 11
orang, berkurang menjadi 5 orang
pada akhir siklus II. Guru yang
235
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran
Berbasis Masalah melalui Lesson Study
berkemampuan Cukup Baik dibidang PBM pada siklus I ada 5 orang,
berkurang menjadi 1 orang pada
akhir siklus II. Guru yang berkemampuan Kurang Baik dibidang
PBM pada siklus I ada 3 orang, berkurang menjadi 2 orang pada akhir
siklus II. Dan di akhir siklus II tidak
ada guru yang berkemampuan PBM
Sangat Kurang Baik.
Hasil tersebut masuk akal karena adanya perbedaan daya serap
guru. Hal yang tidak diungkapkan
dalam penelitian ini adalah apakah
kemampuan tersebut bisa bertahan
lama ataukah tidak. Tentu hal itu
memerlukan studi lebih lanjut
untuk mendalaminya.
Refleksi Tindakan
Di kalangan guru-guru IPS,
lesson study tergolong cara baru ketika melaksanakan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran).
Teknik tersebut lebih sering dilakukan untuk guru Matematika dan
Sains. Dari tiga tahapan yang ada
dalam lesson study, yaitu perencanaan
(plan), pelaksanaan (do) dan refleksi
(see), kesulitan paling menonjol
pada siklus satu adalah pelaksanaan
dan refleksi. Pada tahap perencanaan relatif sebagian besar mengua-
236
sai. Sedangkan pada siklus kedua,
kesulitan tersebut bisa diatasi.
Di antara materi PBM yang
dipandang sulit oleh sebagian besar
peserta lesson study adalah kemampuan menyusun strategi, yakni memastikan sebisa mungkin bahwa
siswa menggunakan pendekatan
berguna untuk memecahkan masalah dan kemampuan nenerapkan
strategi, yakni memberi siswa
pengalaman untuk memecahkan
masalah. Barangkali hal ini disebabkan karena permasalahan yang
terjadi dibidang sosial jauh lebih
rumit dibandingkan permasalahan
yang bisa ditemukan dibidang
Matematika atau Sains.
Sebagai suatu contoh, ketika
guru membahas masalah “permintaan dan persediaan barang”
dalam konsep ekonomi, terjadi perdebatan panjang karena secara
teoritis social studies tidak memberikan penjelasan yang memadai.
Ada yang mengetengahkan segi
harga, mafia dagang, kualitas
barang produksi, hingga faktor gaji
tenaga kerja; sedangkan diketahui
hal itu berbeda antarnegara dan
satu sama lain argumen tersebut
nampak saling terkait.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
Ucapan Terimakasih
Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar yang memberikan izin pelaksanaan penelitian
dan kegiatan ini, para Kepala SMP
Negeri dan swasta se-Kabupaten
Blitar, dan lebih-lebih para guru
partisipan yang tergabung dalam
MGMP.
SIMPULAN DAN SARAN
Melalui pembelajaran berbasis
masalah (PBM), siswa bekerja dengan teman sekelas untuk memecahkan masalah yang kompleks dan
otentik yang membantu mengembangkan pengetahuan konten serta
pemecahan masalah, penalaran,
komunikasi, dan keterampilan menilai diri sendiri. Masalah-masalah
ini juga membantu untuk mempertahankan minat siswa dalam materi
pelajaran karena siswa menyadari
bahwa mereka belajar keterampilan
yang dibutuhkan untuk menjadi
sukses di lapangan. Untuk itulah
guru harus menguasai bagaimana
teknik merencanakan PBM dan
bagaimana melaksanakan atau
mempraktikkan PBM.
Sedangkan lesson study merupa-
kan model Jepang untuk pengembangan profesional guru di mana
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
kelompok-kelompok kecil dari guru
secara kolaboratif merencanakan,
mengajar dan merevisi pembelajaran untuk meningkatkan kualitas
pengajaran mereka serta untuk
memperkaya pengalaman belajar
siswa.
Teknik lesson study yang dilaksanakan melalui MGMP untuk meningkatkan kemampuan guru IPS
SMP di Kabupaten Blitar dalam
merencanakan dan mempraktikkan
PBM terbukti efektif. Oleh karena
itu disarankan agar teknik sejenis
bisa diterapkan dalam MGMP
bidang yang lain. Namun demikian
perlu diteliti lebih lanjut apakah
kemampuan tersebut masih tetap
ada (retensi) ketika para guru sudah
selesai menjalani lesson study, yakni
ketika mereka telah kembali dan
mengajar di kelas IPS.
DAFTAR RUJUKAN
Akinoglu, O. & Tandogan, R.O.
2007. The Effects of Problem
Bbased Learning in Science Education on Students Academic
Achievement, Attitude and
Concept Learning. Eurasia Journal of Mathematics, Sciense & Technology Education, 3 (1): 71-81.
Arends, R. I. 2007. Learning to Teach.
New York: The McGraw Hill
Company.
237
Meningkatkan Kemampuan Guru IPS SMP dalam Mengaplikasikan Pembelajaran
Berbasis Masalah melalui Lesson Study
Barrows, H. S. 1996. ProblemBased Learning in Medicine
and Beyond: A Brief Overview.
Dalam L. Wilkerson & W. H.
Gijselaers (Eds.), Bringing
Problem-Based Learning to Higher
Education: Theory and Practice.
Hlm. 3-12. San Francisco:
Jossey- Bass.
Darling-Hammond, L., & McLaughlin, M. W. 1995. Policies
that Support Professional Development in an Era of Reform. Phi Delta Kappan, 8(76):
597-604.
Eggen, P. & Kauchak, D. 2012.
Strategic and Models for Teachers:
Teaching Content and Teaching
Skills. Boston: Pearson Education, Inc.
Gallagher, S. A. 1997. ProblemBased Learning: Where Did It
Come From, What Does It Do,
and Where Is It Going?” Journal
for the Education of the Gifted, 20
(4): 332-362.
Gijselaers, W. H. 1996. Connecting
Problem-Based Practices with
Educational Theory. Dalam L.
Wilkerson & W. H. Gijselaers
(Eds.), Bringing Problem-Based
Learning to Higher Education:
Theory and Practice. Hlm. 13-21.
San Francisco: Jossey- Bass.
Hmelo-Silver, C.E. 2004. ProblemBased Learning: What and How
Do Students Learn? Educational
238
Psychology Review, 16(3): 236266.
Isoda, M. 2010. Lesson Study:
Problem Solving Approaches in
Mathematics Education as a
Japanese Experience. Procedia
Social and Behavioral Sciences, 8
(2010): 17–27.
Karim, A.M. 2006. Implementation
of Lesson Study for Improving
the Quality of Mathematics
Instruction in Malang. Tsukuba
Journal of Educational Study in
Mathematics, 25: 67-73.
Lewis, C. & Tsuchida, I. 1998. A
Lesson is Like a Swiftly Flowing River: Research Lessons
and the Improvement of Japanese Education. American Educator, 14-17 & 50-52.
Lewis, C. 2002. Lesson Study: A
Handbook of Teacher-led Instructional Improvement. Philadelphia:
Research for Better Schools,
Inc.
Marsigit, S., Sumardi, Y., Kadarisman, N., Mahmudi, A., & I
Made Sukarna. 2014. The Teacher
Professional Development Through
Lesson Study In Indonesia: a
Success Story from Yogyakarta. Yogyakarta: International Congress
for School Effectiveness and
Impovement, Yogyakarta State
University.
Mills, G.E. 2011. Action Research: A
Guide for the Teacher Researcher.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Dyah Ayundawati
Forth Edition. Boston: Pearson
Education, Inc.
Mustikasari, A. 2008. Menuju Guru
Yang Profesional Melalui Lesson
Study. Online. http://eduarticles.com/menuju-guru-yangprofesional-melaui-lesson-study/
.Diunduh 14 Juni 2014.
Perry, R., & Lewis, C. 2008. What
is Successful Adaptation of
Lesson Study in the U.S.? Journal of Educational Change, DOI
10.1007/s10833-1000819069-10837.
Putnam, R. T., & Borko, H. 2000.
What do New Views of Knowledge and Thinking Have to Say
about Research on Teacher
Learning? Educational Researcher,
29(1): 4-15.
Rustono, E.H.M. & Abdul Muin.
2007. Lesson Study Sebagai Model
Bimbingan Mahasiswa PGSD
Pada Program Pengalaman Lapangan Di Sekolah Dasar. Peneli-
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
tian Pembinaan. Fakultas Ilmu
Pendidikan UPI.
Stigler, J. W., & Hiebert, J. 1999.
The Teaching Gap: Best Ideas from
the World’s Teachers for Improving
Education in the Classroom. New
York: The Free Press.
Sudrajat, A. 2008. Lesson Study
untuk Meningkatkan Proses
dan Hasil Pembelajaran.
Online.
http://
akhmadsudrajat.wordpress.com/
2008/02/22/lesson-study-untukmeningkatkan-proses-dan-hasilpembelajaran/. Diunduh 14 Juni
2014.
Wilkerson, L., & Gijselaers, W. H.
1996. Concluding Comments.
Dalam L. Wilkerson & W. H.
Gijselaers (Eds.), Bringing Problem-Based Learning to Higher
Education: Theory and Practice.
Hlm. 101-104. San Francisco:
Jossey- Bass.
239
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia (JA-DIKDASMEN)
ISSN: 2460-5689
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016, 241-249
MENJADI KEPALA SEKOLAH DEMOKRATIS
Supriyati
Kepala SD Negeri Nglinggo 2, Gondang, Nganjuk, Jawa Timur
Abstract
As a headmaster, a school principal must behave democratically
in performing their duties and functions. The democratic school
principal, among others: being open to carry out the duties and
functions as the principal, acting as a consultant for teachers,
improving the ability of staff to work and think together, resolve
any disagreements and take decisions through consideration of
the group, did not veto the group’s decision but accepted it as a
basis for consideration in the staff participation in planning and
decision-making. This article suggested the democratic leadership
are run by principals since shown to be correlated with the quality
and service of education in schools.
Keywords: Principal leadership, democratic attitudes
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689 [Volume 2, Nomor 1, Januari 2016] | 241
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
PENDAHULUAN
pendidikan.
Semenjak refor masi tahun
1998, banyak kalangan menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
demokrasi ketiga terbesar di dunia
setelah Amerika Serikat dan India.
Sebutan tersebut bukan saja membanggakan karena kecenderungan
banyak negara menuju demokrasi
terjadi di belahan mana pun, namun
sekaligus tersirat tanggung jawab
agar setiap warga negara bangsa
bersikap dan berperilaku demokratis. Lebih-lebih para pemimpinnya, termasuk kepala sekolah
sebagai pemimpin pendidikan.
Membicarakan masalah kepemimpinan kepala sekolah berarti
membicarakan kepribadiannya.
Suatu kompetensi yang relevan
dikuasai dan dikembangkan oleh
seorang kepala sekolah. Salah satu
ciri kepribadian yang demokratis
adalah bersikap terbuka dalam
melaksanakan tugas pokok dan
fungsi sebagai kepala sekolah.
Dalam buku Rahasia Sukses
Kepala Sekolah, Supriadi (2011),
mengajukan pertanyaan menarik,
bagaimana dengan gaya kepemimpinan Anda? Apakah Anda seharisehari memimpin dengan gaya
otoritarian, laizzes-faire, demokratis,
atau pseudo democratic? Jawaban
Anda akan sangat menentukan kesuksesan Anda. Meskipun demikian– sebagaimana ditunjukkan
dalam bagian akhir bukunya–gaya
kepemimpinan yang demokratis
disarankan, sebab gaya kepemimpinan demokratis dalam pendidikan sangat sesuai dengan kondisi
kekinian dan terbukti mampu meningkatkan kualitas atau mutu
242
Dalam banyak kajian disebutkan bahwa pemimpin pendidikan
itu beraneka ragam. Salah satu di
antaranya ialah Kepala Sekolah.
Kepala sekolah merupakan jabatan
administratif. Pada jabatan tersebutlah prinsip-prinsip kepemimpinan dioperasionalisasikan. Dengan kata lain, seorang kepala
sekolah haruslah individu yang memiliki unsur-unsur kepemimpinan
yang memadai, karena dengan
kepemimpinan itu, kepala sekolah
menakhodai perjalanan sebuah
kapal yang bernama “sekolah”
mencapai “pelabuhanb” tujuannya,
yaitu tujuan pendidikan dan
pengajaran.
Suatu penelitian atau kajian
yang menguji berbagai perspektif
kepala sekolah atas kepemimpinan
demokratis fasilitatif dan pembagian kekuasaan di sekolah telah
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
banyak dilakukan. Hasilnya mengungkapkan bahwa perubahan psikodinamik utama itu berlangsung
sebagai hasil pengembangan suatu
kolaborasi atau gaya kepemimpinan
yang siap berbagi dan terbuka.
Lebih dari itu, para kepala sekolah
tidak sendirian lagi dan lebih termotivasi dari keikutsertaan dalam
pembagian kekuasaan, dan aksiaksi mereka menjadi lebih konsisten dengan sistem nilai dan kepercayaan mereka sebagai suatu hasil
dari pembagian kekuasaan bersama
(Blasé & Blasé, 1999).
Aspek lain yang tidak kalah
pentingnya adalah interaksi di dalam kepemimpinan seorang kepala
sekolah. Terutama interaksi kepala
sekolah dengan para wakil kepala
sekolah, dewan guru dan staf administrasi. Kondisi interaksi inilah
yang sedikit banyak mempengaruhi
kepemimpinan seorang kepala
sekolah, termasuk di dalamnya
mutu kepemimpinan.
Pendidikan dan pengalaman
yang dimiliki kepala sekolah merupakan faktor yang mempengaruhi kepemimpinannya. Disamping
itu pendelegasian tanggung jawab
supervisi kepadanya; kesadarannya
terhadap fungsinya sebagai pemimpin pendidikan serta waktu yang
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
dapat dipakai oleh kepala sekolah
untuk menjalankan fungsi supervisi, adalah merupakan faktorfaktor yang sangat mempengaruhi
kesempatan kepala sekolah untuk
mengembangkan kepemimpinannya.
Tugas kepala sekolah sebagai
pemimpin pendidikan itu tidak
mudah, menuntut segenap kesanggupan kepala sekolah untuk melaksanakannya. Artikel ini hanya mempromosikan sebagian hal yang meringankan tugas tersebut, yakni
bagaimana menjadi kepala sekolah
yang demokratis dalam kaitannya
dengan terciptanya kualitas pendidikan di sekolah yang dipimpinnya.
PEMBAHASAN
Kepemimpinan Kepala Sekolah
Terkait dengan organisasi pendidikan, maka yang disebut kepemimpinan adalah proses memberi
inspirasi kepada semua pendidik,
tenaga kependidikan, dan karyawan
agar bekerja sebaik-baiknya untuk
mencapai hasil yang diharapkan.
Kepemimpinan adalah cara mengajak pendidik, tenaga kependidikan, dan karyawan agar bertindak
secara benar, mencapai komitmen
dan memotivasi mereka untuk mencapai tujuan bersama (Armstrong,
243
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
2003).
Menurut Bennis (1991), kepemimpinan adalah kepemimpinan
yang memiliki suatu misi yang berarti, pemimpinnya menjadi seorang
pemikir besar, pemimpinnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika, pemimpinnya menjadi pakar perubahan, peka, berani mengambil
resiko, seorang pengambil keputusan (decision maker) yang menggunakan kekuasaan dengan bijak dan
penuh komitmen.
Kualitas kepemimpinan seorang kepala sekolah akan lebih
tampak lagi apabila dikaitkan
dengan pemberdayaan guru. Hal itu
merupakan bentuk layanan prima
yang dilakukan kepala sekolah.
Menurut
Per madi
dalam
Syafaruddin (2002), ada tujuh layanan prima kepala sekolah yaitu: (1)
sekolah memiliki visi, strategi, misi
dan target mutu yang ingin dicapai;
(2) menciptakan lingkungan sekolah yang aman dan tertib; (3)
menciptakan sekolah yang memiliki
kepemimpinan yang kuat; (4)
adanya harapan yang tinggi dari
personal sekolah untuk berprestasi;
(5) adanya pengembangan staf
sekolah secara terus-menerus sesuai tuntutan iptek; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yang berkelan-
244
jutan terhadap berbagai aspek
pembelajaran dan administrasi
serta pemanfaatan hasilnya untuk
peningkatan mutu, dan (7) adanya
komunikasi dan dukungan intensif
dari orangtua dan masyarakat.
Kepala sekolah sebagai pelaksana kepemimpinan pendidikan di
sekolah harus memiliki kemampuan dan keterampilan yang dapat
dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari. Menurut Hendyat
Soetopo & Wasty Soemanto
(1984), terdapat item-item yang
menentukan kesuksesan kepala
sekolah sebagai pemimpin pendidikan; merupakan pemikiran dari
para administrator yang menginginkan perlunya administrasi yang baik
dalam wujud tindak laku; merupakan “barometer” kebaikan kepemimpinan kepala sekolah dan
menggambarkan tugas-tugas dan
peranan-peranan kepala sekolah
dalam melaksanakan kepemimpinan pendidikan. Item-item tersebut
meliputi pemimpin dibidang: (1)
kurikulum; (2) personalia; (3) public
relation; (4) hubungan guru-peserta
didik; (5) personal dan non-pengajaran; (6) hubungan dengan
Kantor Kemendiknas; (7) pelayanan bimbingan; (8) artikulasi dengan
sekolah-sekolah lain; (9) penge-
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
lolaan pelayanan, rumah sekolah
dan perlengkapan; dan (10) bidang
pengorganisasian.
Sedangkan menurut Armstrong
(2003), secara umum para pemimpin menggunakan gaya kepemimpinan berbeda­beda yang dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
 Kharismatik/non-kharismatik.
Para pemimpin kharismatik
sangat bergantung pada kepribadian mereka, kualitaskualitas inspirasional (pemberi
semangat) serta auranya. Seringkali, mereka adalah pemimpin yang visioner, yang memiliki orientasi prestasi, pengambil risiko yang penuh
perhitungan, dan juga merupakan komunikator yang baik.
Adapun para pemimpin nonkharismatik sangat bergantung
pada pengetahuan mereka
(wewenangnya jatuh kepada
orang yang memiliki pengetahuan tersebut), kepercayaan
diri dan ketenangan diri, serta
pendekatan analitis dalam
menangani permasalahan.
 Otokratis/demokratis. Para
pemimpin otokratis cenderung
membuat keputusan sendiri,
menggunakan posisinya untuk
memaksa pendidik, tenaga
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
kependidikan dan karyawan
agar melaksanakan perintahnya. Adapun para pemimpin
demokratis mendorong pendidik, tenaga kependidikan dan
karyawan untuk ikut serta
dalam pembuatan keputusan.
 Pendorong/Pengawas. Adalah
pemimpin yang memiliki sifat
mendorong, memberi semangat
kepada pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan
meng gunakan visinya dan
memberdayakannya untuk
mencapai tujuan kelompok.
Adapun pemimpin bergaya
pengawas memanipulasi pendidik, tenaga kependidikan dan
karyawan agar patuh.
 Transaksional/transfor masional. Para pemimpin transaksional memanfaatkan uang, pekerjaan dan keamanan pekerjaan untuk memperoleh kepatuhan dari pendidik, tenaga
kependidikan dan karyawan.
Para pemimpin transformasional memberikan motivasi
kepada pendidik, tenaga kependidikan dan karyawan untuk
bekerja keras mencapai tujuantujuan yang lebih tinggi.
245
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
Kepala Sekolah Demokratis
Kepemimpinan kepala sekolah
melekat pada kompetensinya dalam mengembangkan visi, keterampilan perencanaan, berpikir kritis,
keterampilan teknis kepemimpinan, keteguhan hati, keterampilan mempengaruhi, keterampilan
hubungan interpersonal, percaya
diri, pengembangan, empati, dan
toleransi terhadap stres. Di antara
empat gaya kepemimpinan di
muka, dalam penerapannya ada
kecenderungan menggunakan gaya
otokrasi, demokrasi, transaksional,
dan transformasional.
Kepemimpinan transformasional meliputi gaya partisipasi, konsultasi, delegasi, dan instruksi. Gaya
kepemimpinan demokrasi berbeda
secara diametral dari gaya kepemimpinan otoriter. Gaya kepemimpinan demokrasi ditandai dengan
tingkat hubungan bawahan-atasan
yang relatif tinggi dan intensitas
penugasan yang rendah. Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter
berciri hubungan antara bawahanatasan yang relatif rendah dan
intensitas penugasannya tinggi.
Dengan demikian, kedua gaya
kepemimpinan ini satu dengan
lainnya saling berlawanan.
246
Gaya kepemimpinan yang dimiliki kepala sekolah akan mempengaruhi mutu pendidikan.
Artinya, seorang pimpinan yang
bergaya kepemimpinan demokrasi
lebih partisipatif dalam mempertimbangkan berbagai hal yang
dijadikan dasar dalam kepemimpinan. Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter lebih intsruktif dan
kurang mendapatkan simpatik dari
bawahan dan hal ini akan berpengaruh dalam pemberian layanan
terhadap penyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian mudah
diduga bahwa mutu pendidikan
yang didasarkan pada pertimbangan
gaya kepemimpinan demokratis,
lebih tinggi daripada mutu pendidikan yang didasarkan pada gaya
kepemimpinan otoriter.
Yang dimaksud kualitas layanan adalah penciptaan budaya layanan yang diimplementasikan
dalam bentuk produk dari diterapkannya kebijakan, praktik, dan prosedur organisasi yang mendukung,
memelihara, dan memberi imbalan
terhadap perilaku melayani yang
prima dari seorang karyawan dalam
memberikan jasa, yaitu pemahanaman mengenai sifat dari layanan itu
sendiri, yang meliputi: pemberian
bantuan kepada seseorang, seperti:
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
membantu, memberi, berbagi, dan
memenuhi kebutuhan pelanggan
dalam rantai penciptaan dan penyaluran jasa serta mampu memenuhi
keinginan pelanggan yang diukur
dengan skala pengukurannya yang
terdiri dari sepuluh indikator, yaitu:
pembantu kepemimpinan, visi
layanan, perlakuan pelanggan, pemberdayaan pegawai, pelatihan layanan, ganjaran layanan, pencegahan
kegagalan layanan, kegagalan/pemulihan layanan, teknologi layanan, komunikasi standar-standar
layanan. Adapun, mutu pendidikan
adalah kualitas penyelenggaraan
pendidikan yang meliputi: kesiapan
peserta didik, ketersediaan tenaga
pengajar, sarana dan prasarana,
metode pembelajaran, relevansi
pendidikan dengan kebutuhan,
suasana lingkungan, dan iklim
institusi (Supriadi, 2010).
Salah satu faktor yang erat
kaitannya dengan pelayanan adalah
gaya kepemimpinan, dimana gaya
kepemimpinan adalah kemampuan
seseorang yang mempengaruhi
orang lain, sehingga mampu mencapai tujuan yang diharapkan.
Dengan demikian, seorang pemimpin pendidikan dengan gaya kepemimpinan yang dipersepsi bawahan
dengan kualitas layanan yang tinggi
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
dapat berpengaruh terhadap mutu
pendidikan.
Gaya kepemimpinan demokratis, maupun otoriter dengan
kualitas layanan menjadi faktor penyebab bermutu tidaknya pendidikan yang diupayakan seorang
pemimpin pendidikan. Artinya,
perbedaan gaya kepemimpinan
berakibat pada perbedaan mutu
pendidikan yang diupayakannya.
Begitu pula dengan perbedaan
kualitas layanan, yang juga menjadi
determinan bagi perbedaan mutu
pendidikan yang diupayakannya.
Faktor gaya kepemimpinan dan
kualitas layanan berpengaruh
terhadap mutu pendidikan. Dapat
dipastikan, terdapat perbedaan
kualitas layanan yang menyebabkan
perbedaan mutu pendidikan antarinstitusi yang dipimpin oleh pimpinan yang gaya kepemimpinannya
sama, atau sebaliknya, perbedaan
gaya kepemimpinan menyebabkan
perbedaan mutu pendidikan
dengan kualitas layanan yang sama.
Kepala sekolah dengan gaya
kepemimpinan demokratis dan
memiliki kualitas layanan yang
ting gi, akan mampu mencapai
mutu pendidikan yang lebih tinggi,
dibandingkan dengan kepala
sekolah yang bergaya kepemim247
Menjadi Kepala Sekolah Demokratis
pinan otoriter, apalagi dengan
kualitas layanan yang rendah. Jadi,
terdapat interaksi antara gaya
kepemimpinan yang dipersepsi
bawahan dengan kualitas layanan
terhadap mutu pendidikan.
Seperti apakah ciri-ciri atau
karakteristik gaya kepemimpinan
kepala sekolah yang demokratis?
Setiap orang yang memegang
jabatan kepala sekolah pada prinsipnya adalah pemimpin pendidikan. Hal ini mungkin benar, tetapi
kepemimpinan itu sendiri bukanlah
fungsi jabatan. Jabatan kepala
sekolah belum menjamin apakah
kepala sekolah adalah pemimpin
pendidikan.
Tidak semua kepala sekolah
mengerti maksud kepemimpinan,
kualitas serta fungsi-fungsi yang
harus dijalankan oleh pemimpin
pendidikan. Setiap orang yang
memberi sumbangan bagi perumusan dan pencapaian tujuan bersama adalah pemimpin, namun
individu yang mampu memberi
sumbangan lebih besar terhadap
perumusan tujuan serta terhimpunnya kelompok di dalam kerja
sama mencapainya, diang gap
sebagai pemimpin yang sebenarnya
(Supriadi, 2010).
248
Kepala sekolah bekerja bukan
hanya mengembangkan dan menyerahkan suatu program pengajaran kepada guru-guru untuk
dilaksanakan. Kepala sekolah sebagai pemimpin resmi harus mampu
menggunakan proses-proses demokrasi atas dasar kualitas sumbangannya. Ia bertindak sebagai
konsultan bagi guru-guru yang
dapat membantu mereka memecahkan permasalahan mereka. Ia
hendaknya berusaha meningkatkan
kemampuan staf untuk bekerja dan
berpikir bersama. Setiap usaha perubahan program pendidikan hendaknya melalui evaluasi dan perencanaan oleh kelompok. Ia harus
mampu mengatasi setiap perbedaan pendapat dan mengambil
keputusan melalui pertimbangan
kelompok. Ia jangan memveto
keputusan kelompok, melainkan
menerimanya sebagai dasar pertimbangan selanjutnya. Ia hendaknya
menyadari, bahwa partisipasi staf
di dalam perencanaan dan pembuatan keputusan adalah membantu mereka untuk bertumbuh. Ia
hendaknya membantu guru-guru
untuk memberi kesempatan kepada
setiap orang untuk berpartisipasi
dalam program pengajaran.
JA-DIKDASMEN, ISSN: 2460-5689
Supriyati
Koheren dengan kepemimpinan demokratis, setiap kepala sekolkah hendaknya memiliki kepribadian dan perilaku antara lain:
mempercayai staf pengajar, mendelegasikan tugas dan wewenang,
adiraga, membangun dan memanfaatkan waktu, tanpa toleransi atas
ketidakmampuan, peduli dengan
staf pengajar, membangun visi dan
strategi, mengembangkan tujuan
institusi, cekatan dan tegas sekaligus sabar, berani melakukan introspeksi, memiliki konsistensi,
bersikap terbuka, dan berjatidiri
(berkarakter) tinggi.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan uraian dimuka
dapat disimpulkan bahwa kepala
sekolah yang demokratis itu antara
lain: bersikap terbuka dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsi
sebagai kepala sekolah, bertindak
sebagai konsultan bagi guru-guru,
meningkatkan kemampuan staf
untuk bekerja dan berpikir bersama, mengatasi setiap perbedaan
pendapat dan mengambil keputusan melalui pertimbangan kelompok, tidak memveto keputusan
Volume 2, Nomor 1, Januari 2016
kelompok melainkan menerimanya
sebagai dasar pertimbangan partisipasi staf di dalam perencanaan
dan pembuatan keputusan. Kepemimpinan demokratis disarankan
dijalankan oleh kepala sekolah karena terbukti berhubungan dengan
kualitas dan layanan pendidikan di
sekolah.
DAFTAR RUJUKAN
Amstrong, M. (2003). Strategic
Human Resource Management: A
Guide to Action. London: Kogan
Page Limited.
Bennis, W. et al. 1991. Paradigma
Baru Kepemimpinan. Penerjemah
OKA. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Soetopo, H. & Soemanto, W . 1984.
Kepemimpinan dan Supervisi
Pendidikan. Malang: FIP-IKIP
Malang.
Supriadi, O. 2010. Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan. Yogyakarta: LaksBang
PRESSindo.
Supriadi, O. 2011. Rahasia Sukses
Kepala Sekolah. Yog yakarta:
LaksBang PRESSindo.
Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu
Ter padu dalam Pendidikan.
Jakarta: Grasindo.
249
intentinally blank
Jurnal Analisis Pendidikan Dasar dan Menengah Indonesia
(JA-DIKDASMEN) (p-ISSN: 2460-5689 )
Petunjuk Penulisan
Ketentuan Umum
1. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris sesuai dengan
format dan atau gaya selingkung yang ditentukan.
2. Penulis mengirim naskah artikel melalui e-mail.
3. Artikel yang dikirim belum pernah diterbitkan di media lain yang dibuktikan
dengan pernyataan tertulis yang ditandatangani oleh semua penulis bahwa
artikel tersebut belum pernah dipublikasikan. Pernyataan tersebut
dilampirkan pada artikel.
4. Artikel dikirim ke: [email protected]; atau ke
[email protected]
Standar Penulisan
1. Artikel diketik menggunakan program Microsoft Word pada ukuran kertas
A4, jarak 2 spasi, jenis huruf Times New Roman berukuran 12 point, margin
kiri 4 cm, serta margin atas, kanan, dan bawah masing-masing 3 cm.
2. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan. Gambar dan tabel menyatu
bersama artikel.
3. Angka dan huruf pada gambar, tabel, atau histogram menggunakan jenis
huruf Times New Roman berukuran 10 point.
4. Artikel ditulis maksimum sebanyak 15 halaman termasuk gambar dan tabel.
Urutan Penulisan Artikel
1. Artikel hasil penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, instansi atau tempat
bertugas Penulis, Abstract, Pendahuluan, Metode Penelitian, Hasil dan
Pembahasan, Simpulan dan Saran, Ucapan Terima Kasih (Opsional), dan
Daftar Rujukan.
2. Artikel hasil pemikiran dan atau kajian pustaka yang setara dengan hasil
penelitian terdiri atas Judul, Nama Penulis, instansi atau tempat bertugas
Penulis, Abstract, Pendahuluan, Masalah dan Pembahasan, Ucapan Terima
Kasih (Opsional), Simpulan dan Daftar Rujukan.
3. Judul ditulis singkat, spesifik, dan informatif yang menggambarkan isi Artikel
maksimal 15 kata. Untuk kajian pustaka, di belakang judul harap ditulis
Suatu Kajian Pustaka. Judul ditulis dengan huruf kapital dengan jenis huruf
Times New Roman berukuran 14 point, jarak satu spasi, dan terletak di tengahtengah tanpa titik.
4. Nama Penulis ditulis lengkap tanpa gelar akademis disertai alamat institusi
penulis.
5. Abstract ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 200 kata menggunakan
bahasa Inggris. Abstract mengandung uraian secara singkat tentang tujuan,
metode, hasil utama, dan simpulan yang ditulis dalam satu spasi.
6. Kata Kunci (Keywords) ditulis miring, maksimal 5 (lima) kata, satu spasi setelah
abstract.
7. Pendahuluan berisi latar belakang, tujuan, dan pustaka yang mendukung.
Dalam mengutip pendapat orang lain dipakai sistem nama penulis dan
tahun. Contoh: Reigeluth (2009); Bruner, et.al. (2014).
8. Metode Penelitian ditulis lengkap.
9. Hasil dan Pembahasan memuat diskusi hasil penelitian sendiri yang
dikaitkan dengan tujuan penelitian (pengujian hipotesis). Diskusi diakhiri
dengan simpulan dan pemberian saran jika dipandang perlu.
10. Pembahasan (review/kajian pustaka) memuat bahasan ringkas mencakup
masalah yang dikaji.
11. Ucapan Terima Kasih disampaikan kepada berbagai pihak yang membantu
sehingga penelitian dapat dilangsungkan, misalnya pemberi gagasan dan
penyandang dana (boleh tidak dicantumkan).
12. Ilustrasi:
a. Judul tabel, grafik, histogram, sketsa, dan gambar (foto) diberi nomor urut.
Judul singkat tetapi jelas beserta satuan-satuan yang dipakai. Judul
ilustrasi ditulis dengan jenis huruf Times New Roman berukuran 10 point,
masuk satu tab (5 ketukan) dari pinggir kiri, awal kata menggunakan
huruf kapital, dengan jarak 1 spasi.
b. Keterangan tabel ditulis di sebelah kiri bawah menggunakan huruf Times
New Roman berukuran 10 point jarak satu spasi.
c. Penulisan angka desimal dalam tabel untuk bahasa Indonesia dipisahkan
dengan koma (,) dan untuk bahasa Inggris digunakan titik (.).
d. Gambar/Grafik dibuat dalam program Excel. Nama Latin, Yunani, atau
Daerah dicetak miring sedang istilah asing diberi tanda petik.
e. Satuan pengukuran menggunakan Sistem Internasional (SI).
13. Daftar Pustaka
a. Hanya memuat referensi yang diacu dalam Artikel dan ditulis secara
alfabetik berdasarkan huruf awal dari nama penulis pertama. Jika dalam
bentuk buku, dicantumkan nama semua penulis, tahun, judul buku, edisi,
penerbit, dan tempat. Jika dalam bentuk jurnal, dicantumkan nama
penulis, tahun, judul tulisan, nama jurnal, volume, nomor publikasi, dan
halaman. Jika mengambil artikel dalam buku, cantumkan nama penulis,
tahun, judul tulisan, editor, judul buku, penerbit, dan tempat.
b. Diharapkan dirujuk referensi 10 tahun terakhir dengan proporsi pustaka
primer (jurnal) minimal 75%.
c. Hendaknya diacu cara penulisan kepustakaan seperti yang dipakai pada
JA-DIKDASMEN dengan berikut ini:
Jurnal
Chika, P. O. 2012. The Extent of Students’ Responses in the Classroom.
International Journal of Academic Research in Business and Social Sciences, 2 (1):
22-37.
Buku
Degeng, I.N.S. 2013. Ilmu Pembelajaran: Klasifikasi Variabel untuk Pengembangan
Teori dan Penelitian. Bandung: Kalam Hidup & Aras Media.
Artikel dalam Buku
Landa, L.N. 1983. Descriptive and Prescriptive Theories of Learning and
Instruction: An Analysis of Relationships and Interactions. Dalam
Regeluth, C.M. (Ed.). Instructional-Design Theories and Models: An Overview
of their Current Status (hlm. 55-69). Hillsdale, New Jersey: Laurence Erlbaum
Associates Publishers.
Skripsi/Tesis/Disertasi
Haas, M.S. 2002. The Influence of Teaching Methods on Student Achievement on
Virginia’s End of Course Standards of Learning Test for Algebra I. Thesis Doctoral
unpublished, Virginia Polytechnic Institute and State University.
Internet
Schwerdt, G. & Wuppermann, A.C. 2008. Do Teaching Practices Influence Student
Achievement? (Online), (www.edge-page.net/TeachingPractice.pdf),
diakses 16 Juni 2014.
Dokumen
[BPS] Biro Pusat Statistik Republik Indonesia. 2015. Pendidikan Dalam Angka
Tahun 2014.
Download